Rabu, 19 Juli 2023

raja majapahit 5

diri ke tempat ini. Selain itu di 
kawasan ini juga terdapat resi atau pemuka agama yang 
dapat melindungi mereka dari bahaya. Hingga kini tokoh 
agama atau dukun Tengger memiliki status yang 
terpandang dan sangat dipercaya oleh masyarakat Tengger. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi dukun adat baik 
sebagai penyembuh, pemimpin upacara, dan tokoh 
masyarakat yang disegani serta penengah suatu 
permasalahan. 
Setelah masa Majapahit, kawasan Pegunungan 
Tengger masih dianggap sebagai tempat pertahanan 
ataupun pengungsian yang mumpuni. Pada masa Mataram 
kawasan ini ditempati oleh para pemberontak Mataram. 
Tokoh pemberontak Mataram seperti Trunojoyo dan 
Suropati pernah membuat pertahanan di kawasan ini 
ketika mereka terdesak. Ketika membuat pertahanan ini 
mereka dibantu juga oleh penduduk yang berada di 
kawasan Pegunungan Tengger (Hefner, 1999:58-59). 
Simpulan 
Varian genetik yang dihasilkan dari komparasi 
dengan rCRS pada masyarakat Tengger khususnya Tengger 
Wonokitri yaitu berjumlah 30 titik mutasi atau haplotype. 
Di antara 30 titik mutasi itu, terdapat kesamaan mutasi 
pada antar sampel. Kesamaan titik-titik mutasi ini 
mengindikasikan adanya hubungan kekerabatan di antara 
semua sampel Tengger Wonokitri kecuali TW VIII. 
Kesamaan ini dimungkinkan terjadi karena adanya 
perkawinan endogami. Namun, Perkawinan endogami 
pada masyarakat Tengger tidak begitu kuat, karena varian 
genetik pada masyarakat Tengger sangatlah beragam 
dalam satu sampel. Keragaman itu dapat terlihat dari 
jumlah titik mutasi yang muncul pada masing-masing 
sampel. 
Perbandingan data sekuens masyarakat Tengger di Wonokitri dengan temuan rangka Kedaton menunjukkan 
adanya similaritas di antara keduanya. Similaritas itu 
terlihat pada beberapa sampel yaitu sampel KDT II dan V; 
TW V, VII, dan XIV. Sampel masyarakat Tengger yang 
menunjukkan similaritas kuat terlihat pada sampel TW XIV 
dengan kedua sampel Kedaton. Similaritas genetik di 
antara kedua jenis sampel ini didasarkan pada titik-titik 
mutasi atau haplotype. Titik mutasi yang menunjukkan 
similaritas di antara kedua sampel terlihat pada A87T dan 
-111A. Maka dimungkinkan masyarakat Majapahit di masa 
keruntuhannya bercampur dengan penduduk asli 
Pegunungan Tengger atau Walandit sehingga membentuk 
masyarakat Tengger seperti saat ini. 
Arkeologi maritim masa kini memanfaatkan ragam 
disiplin, termasuk arkeologi terestrial, antropologi, dan 
sejarah. Landasan interdisipliner itu menjawab kebutuhan 
untuk mendapatkan lebih banyak informasi dari sebuah 
situs yang terkait kemaritiman (Fontenoy, 1998; 
Muckelroy, 1998). Di sini arkeologi maritim dapat merujuk 
kepada suatu kajian tentang interaksi manusia dengan 
perairan, baik laut maupun darat melalui kajian arkeologis 
atas manifestasi budaya materialnya, antara lain sarana 
transportasi, fasilitas-fasilitas, kargo dan permukimannya, 
bahkan sisa-sisa biologis lingkungan dan manusianya 
(Mundardjito, 2007). Kajian arkeologi maritim kita masih 
miskin sekali untuk penelitian biologi manusianya, padahal 
tujuannya adalah upaya untuk mengungkap kehidupan 
manusia yang terkait dengan wilayah kemaritiman. 
Pantai Utara Jawa, terutama Jawa Tengah bagian 
timur dan Jawa Timur bagian barat, merupakan lokasi yang 
memiliki banyak potensi sumberdaya arkeologis, terutama 
yang berhubungan dengan bukti-bukti arkeologis maritim. 
Kawasan pesisirnya menunjukkan telah ada 
keberlangsungan hidup penduduknya yang berupa 
permukiman-permukiman dan aktivitas ekonomis 
(Setyawati, 1992; Ernawan, 2001). Seringkali dalam kawasan permukimannya ditemukan kubur-kubur sebagai 
bukti ekofak, ipsefak, dan artefaknya. 
Salah satu situs di Pantai Utara Jawa Tengah yang 
memiliki potensi sebagai bahan penelitian arkeologi 
maritim dan masa akhir Majapahit adalah Caruban, Lasem, 
Rembang. Situs itu terletak di Dukuh Caruban, Kelurahan 
Gedongmulyo, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang(Gambar 1). Situs ini terletak 1,5 kilometer di sebelah barat 
laut Lasem. Luas Dukuh Caruban sekitar 14, 727 Ha (Nastiti 
& Rangkuti, 1988). Situs ini merupakan situs peralihan dari 
masa Klasik menuju masa Islam. Bukti-bukti itu 
berdasarkan penelitian terhadap sumber historis dan 
arkeologis yang berkaitan dengan aktivitas perekonomian 
yang terjadi sekitar abad 14–17 M (Satari, 1983).
Penelitian intensif terhadap situs Caruban, Lasem, 
Rembang, dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi 
Nasional pada tahun 1979, 1980, 1981, 1983, 1984, dan 
1985. Pada ekskavasi tahap ketiga (tahun 1981) ditemukan 
tiga rangka manusia. Seluruh rangka ditemukan pada 
sektor II; di mana Rangka I diangkat pada tanggal 4 Juni 
1981, rangka II diangkat pada tanggal 3 Juni 1981, dan 
rangka III diangkat pada tanggal 2 Juni 1981. Penanggalan 
radiokarbon terhadap rangka-rangka tersebut belum 
dilakukan, namun berdasarkan temuan-temuan 
artefaktualnya, mereka diperkirakan berasal dari masa 
peralihan antara masa Klasik menuju masa Islam (Nastiti & 
Rangkuti, 1981). Jika dikaitkan dengan situs penguburan 
lainnya di Pantai Utara Jawa Tengah, rangka dari Caruban 
itu diperkirakan memiliki penanggalan yang berdekatan 
dengan rangka dari Bancar, Kabupaten Tuban, yang di 
simpan di Universitas Airlangga (Sukadana & Wangania, 
1977). 
Penelitian lebih lanjut pada situs Caruban, Lasem, 
Rembang, telah dilakukan oleh Rangkuti (1986) dengan 
menganalisis pola persebaran artefaktualnya. Hasil 
penelitiannya berkesimpulan bahwa situs itu merupakan 
situs permukiman berdasarkan temuan-temuan arkeologisnya yang merujuk ke kegiatan sehari-hari. Bukti￾bukti arkeologis lainnya ditunjukkan oleh Prijoharijono 
(1986) dengan menerapkan metode sampling pada 
artefak-artefaknya untuk memperkirakan frekuensi, 
kepadatan temuan artefak pada situs, luas dan sebaran 
artefak di permukaan situs tersebut. 
Tiga individu rangka manusia dari Caruban, Lasem, 
Rembang, telah diteliti oleh Boedhisampurno (1984) 
dengan mendeskripsikan karakteristik-karakteristik 
osteometris, kraniometris dan odontometrisnya. Penelitian 
itu juga telah mengidentifikasi jenis kelamin, yakni Rangka 
I dan III adalah perempuan, dan Rangka II adalah laki-laki. 
Selanjutnya, Rangka I berumur sekitar 17 tahun, Rangka II 
sekitar 25–30 tahun dan Rangka III sekitar 20 tahun. 
Sementara itu, informasi mengenai ras yang didapat dari 
tengkorak dan geliginya menunjukkan bahwa ketiga 
individu itu berafinitas Mongoloid. Lebih jauh penelitian itu 
mengungkap pengaruh budaya berupa mutilasi gigi yang 
dapat ditemukan pada Rangka II dan III. 
Penelitian ulang yang dilakukan saat ini memiliki 
beberapa perbedaan dengan penelitian tahun 1984 itu. 
Fokus penelitian sekarang untuk mengetahui kondisi 
kesehatan yang terkait penyakit dan kelainan pada ketiga 
individu rangka Caruban, Lasem, Rembang, yang tidak 
dibahas dalam penelitian sebelumnya. Penelitian mengenai 
penyakit berdasarkan rangka manusia di Indonesia yang 
berkaitan dengan konteks arkeologis telah dilakukan 
sebelumnya oleh beberapa orang peneliti Indonesia. Murti 
et al. (2013) telah meneliti patologi vebtebrata individu 
Liang Bua 3 dari Liang Bua, Manggarai, Flores. Suriyanto et al. (2012) telah mendeskripsikan ragam patologi dari 
sebuah tenkorak beserta latar belakangnya yang berasal 
dari paruh pertama Abad ke-20 M. Pada penelitian lainnya, 
Indriati (2006) mendiskusikan mengenai bekas luka pada 
kranium Homo erectus Ngandong 7 dari masa Pleistosen, 
yang disebabkan karena faktor kekerasan yang terjadi pada 
individu tersebut. 
Penelitian mengenai kondisi kesehatan masa 
lampau pada konteks yang lebih luas di Asia Tenggara 
sudah dilakukan dalam berbagai topik bahasan, seperti 
studi kasus penyakit oleh Tayles (2003), Domett & Buckley 
(2012), Willis & Oxenham (2013), Vlok et al. (2017). 
Selanjutnya penyakit gigi dan hubungannya dengan 
perpindahan menuju bercocok tanam oleh Tayles et al.
(2000), Pietrusewsky & Douglas (2001), Oxenham et al. 
(2006) dan Newton et al. (2013). Penelitian lain terkait 
status kesehatan dan demografi oleh Douglas (1996), 
Labidon (2012) dan Cekalovic (2014). Terkait modifikasi 
gigi terutama ablasi gigi oleh Nelsen et al. (2001), Domett 
et al. (2011) dan Willman et al. (2016). Enamel hypoplasia 
dan kaitannya dengan kesehatan ibu dan bayi dibahas oleh 
McDonell & Oxenham (2014). Penelitian mengenai kondisi 
kesehatan masa lampau seperti itu dalam konteks 
Indonesia dapat memperkaya khazanah bioarkeologi dan 
paleopatologi Indonesia terkait perubahan lingkungan dan 
kebudayaan, sejarah dan persebaran penyakit, migrasi dan 
kontak populasi. Selama proses persebaran populasi 
manusia bersamaan dengan evolusi budaya dan kontak dan 
konflik antar populasi di hampir penjuru dunia lebih dari 
50.000–100.000 tahun yang lalu, maka di sini telah terjadi beberapa transisi mayor dalam hubungan manusia modern 
dengan lingkungannya, antara lain: 1). Pertanian dan 
permukiman awal (sekitar 10 ribu tahun yang lalu), di 
mana manusia lebih aktif berkontak dengan mikroba￾mikroba dari hewan-hewan dan tanaman-tanaman 
(sylvatic enzootic) –bersifat lokal; 2). Peradaban-peradaban 
Eurasia Awal (misal Kekaisaran Yunani, Romawi dan Cina 
sekitar dua sampai tiga ribu tahun yang lalu), di mana 
makin aktif kontak militer dan perdagangan diikuti makin 
menyebarnya penyakit-penyakit infeksi utama di antara 
mereka –bersifat kontinental; 3). Ekspansionisme Eropa 
(kolonialisme, imperialisme), lebih dari lima abad yang 
lalu, membawa penyakit-penyakit infeksi yang mematikan 
ke benua-benua di seberang lautan –bersifat 
interkontinental; dan 4). Masa sekarang ini, di mana wabah 
berbagai penyakit infeksi memperoleh pertambahan, 
persebaran, perluasan dan percepatannya karena makin 
ditunjang kebudayaan dan perubahan lingkungan yang 
makin radikal –bersifat global. 
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan 
bagaimana kondisi kesehatan penduduk pesisir pada 
sekitar masa akhir Majapahit berdasarkan temuan rangka￾rangka manusia Caruban, Lasem, Rembang. Temuan status 
kesehatanya itu akan dikaitkan dengan aspek lingkungan 
dan budayanya dengan menggunakan pendekatan 
bioarkeologis. 
Bahan dan Metode 
Laut Jawa merupakan jalur strategis untuk 
pelayaran dan perdagangan di perairan Nusantara karena memiliki gelombang yang relatif tenang, dan banyak 
pantainya yang landai yang sangat mudah untuk diakses. 
Lalu lintas pelayaran kapal-kapal dari Laut Cina Selatan, 
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik akan 
memanfaatkan bandar-bandar di Jawa bagian utara untuk 
berlabuh dan berdagang. Salah satu bandar yang ramai itu 
Lasem (Aziz, 2014; Unjiya, 2014; Nurhajarini et al., 2015; 
Utomo, 2017; Utomo et al., 2018). Wilayah Lasem bagian 
utara membentang daerah pesisir, bagian timurnya berupa 
rangkaian pegunungan dan bagian tengah bertopografi 
datar. Lasem memiliki sungai yang dapat menjadi lalu lintas 
perdagangan yang menghubungkan daerah pedalaman di 
sekitarnya dengan daerah pesisirnya. Di situ bandar￾bandar berfungsi sebagai arena keluar masuk orang dan 
barang, baik dari daerah Lasem dan sekitarnya maupun 
dari wilayah yang akan ke Lasem dan sekitarnya. Sungai 
Kiringan mengalir ke muara di sisi Barat Laut Lasem dan 
Sungai Lasem yang mengalir di bagian tengah Lasem. 
Lasem juga merupakan sentra produsen kapal yang 
tangguh, baik kapal perang maupun kapal dagang sejak 
zaman Majapahit hingga masa VOC (Nurhajarini et al., 201). 
Kondisi itu berpengaruh pada dinamika sosial dan budaya 
yang terjadi di Lasem. 
Lasem sebagai tanah lungguh Majapahit mulai 
berkembang pada abad ke 13–14 M. Dalam Serat Badra 
Santi yang ditulis Mpu Santi Badra tahun 1479, disebutkan 
bahwa pada tahun 1273 S atau 1351 M, Lasem telah 
menjadi tanah perdikan Majapahit. Lasem termasuk ke 
dalam wilayah Negara Agung atau Negara Utama, yaitu 
bagian dari inti kerajaan (wilayah sekitar ibukota kerajaan) yang dikelola oleh Bhre (kerabat dekat raja) (Unjiya, 2014). 
Waktu itu Lasem dipimpin seorang perempuan bernama 
Dewi Indu, keponakan Raja Hayam Wuruk bergelar Bhre 
Lasem, dalam versi Kitab Negarakertagama. Bhre Lasem 
waktu itu adalah seorang putri bernama Sri 
Rajasaduhitendudewi, adik sepupu perempuan Hayam 
Wuruk. 
Sepeninggal Hayam Wuruk pada tahun 1389, tahta 
Majapahit diserahkan kepada Wikramawardhana, sebagai 
raja istana barat. Ketika Dewi Indu meninggal dunia, 
jabatan Bhre Lasem diserahkan pada putrinya 
Nagarawardhani; namun Wikramawardhana juga 
mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem. Dalam 
Pararaton menyebutkan dua orang Bhre Lasem yaitu Sang 
Halemu, istri dari Bhre Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang 
Ahayu, istri dari Wikramawardhana. Sengketa jabatan Bhre 
Lasem ini menciptakan perang dingin antara istana barat 
dan timur, sampai akhirnya Nagarawardhani dan 
Kusumawardhani sama-sama meninggal pada tahun 1400. 
Wikramawardhana segera mengangkat menantunya (istri 
Bhre Tumapel) sebagai Bhre Lasem yang baru. Setelah 
pengangkatan Bhre Lasem baru, perang dingin antara 
istana barat dan timur berubah menjadi perselisihan. 
Pararaton juga mencatat bahwa terjadi pertengkaran hebat 
di antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana pada 
akhir tahun 1401. Pusat kerajaan di Trowulan juga makin 
lemah. Setelah runtuhnya Majapahit pada tahun 1478, 
kemudian berdiri Kerajaan Demak pada tahun 1481. Lasem 
kemudian berada dalam kekuasaan Kerajaan Demak. 
Kondisi kekuasaan Majapahit dan Demak itu yang kemudian menyebabkan pengaruh Islam bisa tumbuh dan 
berkembang di Lasem (Nurhajarini et al., 201). 
Seiring dengan berdirinya Kerajaan Demak, Lasem 
diperintah oleh Pangeran Santipuspa. Beliau menggantikan 
Nyi Ageng Malokah yang meninggal pada tahun 1490. 
Pangeran Santipuspa adalah anak sulung Pangeran Santi 
Badra. Pangeran Santipuspa pernah menjabat Dhang 
Puhawang di Bandar Caruban, Lasem, Rembang. Saat itu 
Caruban menjelma menjadi kawasan yang penting dalam 
bidang perdagangan dan kelautan. Kekuasaan perairannya 
membentang dari Juana di Pati sampai ke Sarang, bagian 
paling timur Kabupaten Rembang saat ini. Adipati 
Santipuspa meninggal dunia pada tahun 1501, dan 
dimakamkan di Caruban. Penguasa Lasem selanjutnya 
adalah Pangeran Kusuma Badra yang kekuasaannya 
sampai ke kawasan Tuban, Lamongan dan Gresik. 
Material yang dipergunakan pada penelitian ini 
adalah temuan ekskavasi tiga individu rangka manusia dari 
Caruban, Lasem, Rembang, yang tersimpan di 
Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, 
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan 
Keperawatan, Universitas Gadjah Mada. Penelitian tiga 
rangka manusia ini bersifat deskriptif analitis dan 
menggunakan metode analisis makroskopis. Ketiga 
individu Caruban pada saat ini kondisinya relatif lengkap 
dan utuh dengan beberapa kerusakan tafonomik. 
Kelengkapan tulang post-cranium Rangka I mencapai 
sekitar 70%, yakni dengan tidak lengkapnya humerus, 
scapula dan manubriumnya. Seluruh tulang panjang berada 
dalam keadaan lengkap pada Rangka II yang mencapai 80%, yakni dengan tidak adanya scapula dan vertebra 
thoracicaenya. Sementara pada Rangka III hanya 
ditemukan tengkorak dan bagian ekstremitas atasnya. 
Tidak ada penjelasan dari arsip laporan lapangannya 
apakah temuannya itu hanya berupa ekstremitas atas atau 
ekstremitas bawah tidak dapat diangkat. 
Proses identifikasi individuasi ketiga rangka 
manusia Caruban, Lasem, Rembang, dikerjakan lagi, yang 
meliputi jenis kelamin, umur, ras dan tinggi badannya. 
Selanjutnya akan diteliti secara makroskopis mengenai 
penyakit-penyakit dan kelainan lainnya serta pengaruh 
aktivitas dan dinamika sosial budaya pada biologisnya. 
Hasil dan Diskusi 
Identifikasi biologis tiga individu rangka Caruban, 
Lasem, Rembang, dimulai dengan menentukan jenis 
kelaminnya. Penanda penentuan jenis kelaminnya pada 
tengkorak merujuk pada protuberantia occipitalis externa, 
processus mastoideus, margo supraorbitalis, glabella, dan 
protuberantia mentalis; dan untuk karakteristik￾karakteristik pelvisnya merujuk pada incisura ischiadica 
major, arcus subpubicus dan ramus inferior ossis pubis 
(White & Folkens, 2005). Walaupun kepastian jenis 
kelamin Rangka I relatif sulit karena terkendala oleh 
umurnya yang relatif muda, namun karakteristik￾karakteristiknya merujuk perempuan berdasarkan 
incisura ischiadica major yang membundar dan bersudut 
lebar, arcus subpubicus yang melebar dan ramus inferior 
ossis pubis yang mulai nampak nyata. Rangka II berjenis 
kelamin laki-laki berdasarkan karakteristik-karakteristik tengkorak dan pelvisnya. Rangka III bersjenis kelamin 
perempuan berdasarkan processus mastoideus, margo 
supraorbitalis, protuberantia occipitalis externa dan 
protuberantia mentalisnya. 
Identifikasi biologis berikut adalah umurnya. 
Perkiraan umur individunya menggunakan beberapa 
metode, yaitu: perubahan morfologi pada permukaan 
symphysi pubis (Todd, 1920), atrisi gigi (Lovejoy, 1985), 
derajat penutupan sutura kranial (Meindl & Lovejoy, 1985), 
morfologi facies auricularis (Lovejoy et al., 1985) dan 
penyatuan epiphysis dan diaphysis pada tulang-tulang 
ekstremitas (Buikstra & Ubelaker, 1994). Individu Rangka 
I berumur sekitar 15–16 tahun berdasarkan penyatuan 
epiphysis dan diaphysis pada ulna dan humerusnya. 
Individu Rangka II berumur lebih dari 40 tahun. Hasil 
pengamatan ini berbeda dengan hasil dari penelitian 
sebelumnya yang dilakukan oleh Boedhisampurno (1985) 
yang menyebutkan individu ini berada pada umur 25–30 
tahun. Penentuan umur berdasarkan sutura pada 
tengkoraknya merujuk pada kisaran umur 30–40 tahun. 
Selanjutnya adanya osteopit pada patella, sacrum, vertebra 
cervicalis dan vertebra lumbalis yang menandakan umur 
individu ini setidaknya telah melewati 40 tahun, dan pola 
bekas pakai pada geligi menunjukkan kisaran umur 35–40 
tahun. Penentuan umur berdasarkan facies 
symphysialisnya merujuk umur 35–45 tahun. Sementara 
itu, berdasarkan facies auricularisnya merujuk umur 40–45 
tahun. Berdasarkan itu, dapat disimpulkan bahwa individu 
ini memiliki umur sekitar 40 tahun ketika mati. Individu 
Rangka III berbeda dengan hasil identifikasi Boedhisampurno (1985) yang menyimpulkan bahwa 
individu ini meninggal dunia pada usia sekitar 20 tahun. 
Pada identifikasi ulang kali ini, usia ketika mati Rangka III 
berkisar antara 35–40 tahun berdasarkan penanda bekas 
pakai pada geligi yang menghasilkan kisaran umur antara 
35–40 tahun. Sementara itu perkiraan umur berdasarkan 
sutura kranialnya merujuk sekitar 45,2 tahun dengan 
deviasi 9,1 tahun. 
Perkiraan tinggi badan ketiga individu Caruban, 
Lasem, Rembang, berdasarkan femur, fibula, tibia dan 
humerus. Individu Rangka I bertinggi badan sekitar 156,99 
± 3,24 cm. Individu Rangka II bertinggi badan sekitar 
165,308 ± 3,18 cm. Selain itu, tempat melekatnya otot pada 
tulang sangat jelas terlihat pada humerus, ulna dan 
radiusnya. Bukti itu menunjukkan bahwa individu ini 
memiliki tubuh yang kekar. Berdasarkan tebal diaphysis 
dapat disimpulkan bahwa bagian tubuh kiri dan kanan 
individu ini dipergunakan dengan seimbang. Perbedaan 
tebal lengan bagian kanan yang hanya berbeda 0,1 cm lebih 
banyak pada bagian kanan menunjukkan bahwa tidak 
terlihat adanya preferensi penggunaan salah satu sisi 
badan dalam aktivitas kehidupan sehari-harinya. 
Identifikasi tinggi badan Rangka III sulit ditentukan karena 
sudah tidak ditemukan tulang panjang utuh pada 
rangkanya. 
Berdasarkan karakteristik-karakteristik geligi 
individu Caruban, Lasem, Rembang, berafiliasi Mongoloid. 
Saat itu populasi Mongoloid ini telah mondominasi 
kawasan Jawa berdasarkan kurun sejarah migrasi 
Nusantara (Suriyanto & Koesbardiati, 2006; Suriyanto etal., 2006; Suriyanto, 2007; Koesbardiati & Suriyanto, 
2007a). 
Kondisi Kesehatan Penduduk Caruban, Lasem, 
Rembang 
Beberapa penyakit gigi dijumpai pada individu 
Rangka II dan Rangka III. Penyakit gigi kedua individu itu 
meliputi karies pada oklusal dan akar gigi, atrisi gigi, 
kalkulus sub dan supra gingival, periodontitis dan enamel 
hypoplasia. Di sana juga ditemukan modifikasi gigi labial, 
oklusal dan lingual dan ablasi giginya. Sebagai tambahan, 
pada individu Rangka III, terlihat tidak adanya erupsi pada 
molar ketiga mandibula kanannya, yang dapat terjadi 
karena kelainan genetis (dental agenesis) atau karena 
impaksi gigi yang biasa terjadi pada molar ketiga. 
Karies merupakan penyakit infeksi pada gigi yang 
merusak struktur gigi, mahkota atau akarnya yang dimulai 
dengan aktivitas mikroba pada permukaan giginya. 
Penyebab utama karies adalah bakteri Streptococcus 
mutans atau Lactobacillus acidophilus (Roberts & 
Manchester, 2005). Individu Rangka II berkaries pada 
mahkota M1 kanan; selain itu, terdapat karies pada oklusal 
M2,3 kiri. Pada individu Rangka III, karies terlihat pada akar 
gigi M2 kanan dan M2,3 kiri (Gambar 2). Mereka merasakan 
nyeri dan mengganggu proses mastikasinya, dan biasanya 
terlihat pada perubahan penggunaan sisi untuk 
mengunyah. Di sini karies gigi itu dapat mengganggu 
aktivitas keseharian dan kualitas kehidupannya (Sheiham, 
2006). Berdasarkan perbandingan dengan situs lain di 
Thailand, dari 67 rangka yang ditemukan di Khok Phanom Di, 39 rangka memiliki karies gigi; berikutnya, Ban Lum 
Khao 19 dari 43 rangka dan Noen U-Loke 13 dari 42 rangka 
(Tayles et al., 2000). Peristiwa itu makin meningkat seiring 
Homo sapiens meninggalkan aktivitas subsistensi 
pemburu-pengumpul ke diet kaya karbohidrat (Ungar, 
2014). 
Gambar 2. Karies gigi pada bagian occlusal M2 kiri dan M2 kanan 
Rangka III 
(Sumber: Dokumentasi peneliti) 
Atrisi gigi merupakan produk natural yang terjadi 
pada gigi karena proses mastikasi makanan. Atrisi gigi 
biasanya terjadi pada permukaan oklusal dan terjadi 
karena proses gesekan dan tumbukan antara geligi mandibula dan maxilla (Ortner, 2003). Pada kawasan 
hunian pesisir, atrisi gigi dapat menjadi lebih signifikan 
dari daerah lainnya karena sering tercampurnya makanan 
dan pasir dari hembusan angin yang acapkali terjadi. Bisa 
juga terjadi karena faktor pengolahan dan penyajian 
makanannya. Pada masa kini makanan diolah dengan 
proses relatif lebih panjang sehingga lebih lembut dan 
lebih mudah untuk dikunyah (Roberts & Manchester, 
2005). Walaupun individu-individu rangka Caruban, 
Lasem, Rembang, dikuburkan dalam tanah yang bercampur 
dengan pasir, namun tidak terlihat adanya tanda-tanda 
abrasi gigi yang normal terjadi pada penduduk yang tinggal 
di daerah pantai. 
Kalkulus gigi adalah mineralisasi dari plak gigi yang 
merupakan kumpulan matriks dari mikroorganisme yang 
melekat pada gigi. Proses pertumbuhan kalkulus gigi akan 
semakin cepat jika individu tersebut mengkonsumsi diet 
tinggi protein dan/atau tinggi karbohidrat, dan dengan 
kondisi mulut yang memiliki keasaman tinggi (Roberts & 
Manchester, 2005). Kalkulus gigi dibagi menjadi dua 
berdasarkan lokasinya yaitu supra-gingival dan sub￾gingival. Supra-gingival merujuk kalkulus yang terletak di 
atas gusi. Kalkulus ini merupakan jenis yang lebih umum, di 
mana berukuran relatif lebih tebal dan berwarna cokelat 
atau abu-abu. Sementara sub-gingival terletak di bawah 
batas gusi, sering terlihat pada akar gigi yang tersingkap, 
keras dan berwarna kehijauan atau kehitaman (Roberts & 
Manchester, 2005). Kalkulus gigi juga dapat dipergunakan 
untuk mendeteksi jenis dietnya. Kalkulus supra-gingival 
individu Rangka II terdapat pada rahang atas, antara lain: M1,2 kiri, I1,2 kiri, C kiri dan P1,2 kanan; dan rahang bawah, 
antara lain: I1,2, C, P1 dan M1,2,3 kiri. Kalkulus sub-gingival 
individu Rangka III terdapat pada rahang atas, antara lain: 
C, P1,2 dan M1,2 kanan, dan P2 dan M1 kiri; dan rahang 
bawahnya, antara lain: P1,2 dan seluruh molarnya. Pada 
rangka ini juga terdapat supra-gingival kalkulus pada P2
kiri dan kanan dan M1 kiri dan kanan. Pada perbandingan 
dengan situs lain di Asia Tenggara, kalkulus gigi terdapat 
pada populasi Guar Kepah dan Gua Cha di Malaysia dengan 
tingkat persentase mencapai lebih dari 33% total populasi 
untuk Guar Kepah dan sekitar 43% untuk Gua Cha 
(Bullbeck, 2005). Boleh jadi karena kalkulus gigi tidak 
menimbulkan rasa sakit, maka individu-individu Caruban, 
Lasem, Rembang, itu tidak mempedulikan keberadaannya. 
Jika kejadian itu berlanjut dapat berujung terhadap 
kurangnya tingkat kepedulian dan pengetahuan untuk 
membersihkan geligi. 
Dental crowding merupakan suatu keadaan di mana 
geligi mandibula atau maxilla terdesak dari tempat 
seharusnya sehingga bergeser. Peristiwa ini terjadi ketika 
ukuran rentetan seluruh geliginya melebihi ukuran 
rahangnya. Penyebab dari keadaan itu masih belum dapat 
dipastikan (Ortner, 2003), namun pengaruh dari 
perkembangan pertanian dapat berasosiasi dengan reduksi 
ukuran gigi, bertambahnya karies gigi dan periodontitis 
(Latham, 2013). Peristiwa itu bukan merupakan 
permasalahan gigi populasi modern saat ini saja (Pinhasi et 
al, 2015). Tentu saja peristiwa itu dapat dianggap sebagai 
salah satu gangguan pada aparatus gigi karena 
mempengaruhi aktivitas normal fungsi mastikatorinyayang berupa maloklusi. Individu Rangka II Caruban, Lasem, 
Rembang, membuktikan kejadian itu pada C mandibula 
kanannya (Gambar 3). 
Gambar 3. Dental crowding Rangka II, periodontitis M1
kiri Rangka II dan enamel hypoplasia pada Rangka III 
(Sumber: Dokumentasi peneliti) 
Gingivitis dikenal sebagai gusi berdarah. Peristiwa 
ini terjadi karena adanya pembengkakan gusi yang berupa 
jaringan lunak dan biasanya terjadi pada daerah 
perbatasan gusi dengan gigi, yaitu di antara mahkota gigi 
dan akar gigi. Kondisi itu sering dipicu karena adanya plak 
gigi. Gingivitis dapat berubah menjadi periodontitis tatkala 
diabaikan. Jika gingivitis ini makin parah dapat berakibat 
tanggalnya gigi (Ortner, 2003). Periodontitis merupakan 
suatu keadaan di mana tulang alveolar dan ligamen periodontal menghilang yang dapat memperlemah 
struktur penyokong gigi (Ortner, 2003). Peristiwa 
demikian bisa muncul di antara gigi, jaringan lunak (gusi) 
dan rahang, dan adanya kalkulus gigi pada regio tersebut. 
Periodontitis merupakan penyakit gigi yang umum pada 
masa kini dan merupakan salah satu penyebab tanggalnya 
gigi (Roberts & Manchester, 2005). Periodontitis individu 
Rangka II terdapat pada M1 kiri (Gambar 3), dan pada 
individu Rangka III terdapat pada M3 kiri. Diperkirakan 
kedua individu itu memiliki penyakit tersebut karena 
memiliki kalkulus gigi tingkat lanjut yang kemudian 
menjadi periodontitis. Periodontitis dapat menyebabkan 
rasa sakit yang akan mempengaruhi kehidupan keseharian 
individu tersebut. 
Enamel hypoplasia merupakan kondisi di mana 
kualitas gigi yang rendah berakibat pada dentin dan 
enamelnya. Cacat yang terjadi pada enamel berupa garis, 
lubang-lubang kecil atau lekukan pada permukaan enamel 
yang biasanya terdapat pada geligi seri dan taring (Roberts 
& Manchester, 2005). Enamel hypoplasia bisa dikaitkan 
dengan beberapa penyakit seperti sifilis, rakhitis, 
tuberculosis, trauma dan kekurangan gizi (Ortner, 2003). 
Enamel hypoplasia lebih sering dikaitkan kepada gangguan 
pada pertumbuhan fisik dalam temuan-temuan arkeologis 
(Hillson, 1996). Acapkali peristiwa ini terjadi sebelum 
umur 6 tahun karena saat itu merupakan umur ketika 
mahkota gigi permanen terbentuk (Regezi et al., 2000). 
Dalam konteks temuan individu Caruban, Lasem, Rembang, 
enamel hypoplasia lebih dikaitkan kepada faktor 
kurangnya gizi pada waktu individu ini bertumbuh-kembang karena tidak terberkas penyakit-penyakit 
tersebut pada tulang-tulangnya. Enamel hypoplasia 
terberkas pada gigi taring rahang atas kanan individu 
Rangka III. Pada individu tersebut, garis kerusakan yang 
terlihat hanya berupa satu alur tipis yang melintang 
(Gambar 3). Pada perbandingannya dengan situs lain di 
Asia Tenggara, enamel hypoplasia telah dijumpai pada 
individu dari Gua Cha dan Guar Kepah; di mana jumlah 
individu dengan enamel hypoplasia dari kedua situs 
tersebut pada gigi caninus adalah 32 dari 51 individu di Gua 
Cha dan 7 dari 28 individu dari Guar Kepah (Bulbeck, 
2005). 
Modifikasi gigi dilakukan sebagai penanda individu 
tersebut telah melakukan suatu ritus kedewasaan, ritus 
berkabung, identitas kelompok, estetika atau ritual 
pernikahan (Ichord, 2000; Domett et al., 2011). Modifikasi 
gigi dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu ablasi 
atau pencabutan gigi, filing atau pengikiran (pangur), 
pewarnaan, pengeboran gigi dan pengisian dengan 
material berhias (Barnes, 2010). Individu-individu rangka 
Caruban, Lasem, Rembang, memperlihatkan modifikasi 
pangur dan ablasi gigi. Pengikiran (pangur) biasanya 
terjadi pada gigi seri dan taring, karena gigi dan mulut juga 
sebagai organ sosial (Koesbardiati & Suriyanto, 2007b). 
Pangur gigi terdapat ditemukan pada individu Rangka II 
yang dilakukan pada bagian labial, lingual dan klusal 
geliginya (Gambar 4). Pada individu Rangka II juga dapat 
dirasakan pada permukaan oklusal geligi seri 
mandibulanya, yang berarti dia mendapatkan proses 
pangur pada bagian oklusalnya dalam rentang waktu tidak lama sebelum yang bersangkutan meninggal dunia. Bukti 
ini berasal dari morfologi oklusalnya yang kasar dan 
hampir tidak rata. Lebih lanjut, jika diraba pada bagian 
oklusal-lingualnya maka geligi serinya terasa tajam yang 
dapat menjadi bukti bahwa individu ini belum banyak 
menggunakan geligi serinya setelah proses pangur hingga 
meninggalnya. 
Bukti lain menunjukkan modifikasi I1,2 dan C 
maxilla kiri dan kanannya pada bagian labial dan lingualnya 
sehingga membuat gigi berbentuk pipih menajam. Pada 
rangka ini dapat dilihat bahwa proses mengikir gigi 
dilakukan dari dua arah, seperti tampak pada I1 kiri 
berfacies pada lingual dan labialnya. Modifikasi seperti itu 
dapat ditemukan pada rangka-rangka arkeologis 
Semawang (Bali) dan Liang Toge (Flores) (Koesbardiati et 
al., 2015). Di Asia Tenggara, proses pangur ditemukan pada 
rangka-rangka arkeologis dari Phum Sophy dan Phum 
Snay, Kamboja. Pengikiran gigi memiliki frekuensi yang 
sangat rendah dengan hanya 6,9% maxilla dan 4,3% 
mandibula pada Phum Sophy, dan mencapai 4,8% untuk 
maxilla dan 6,5% untuk mandibula pada Phum Snay. 
Kesimpulan yang menarik dari penelitian tersebut adalah 
tidak ada kaitan antara umur, jenis kelamin dan modifikasi 
giginya (Domett et al, 2011). Terdapat bukti etnografis 
bahwa pangur masih diperatekkan hingga saat ini, seperti 
pada masyarakat Bali, sebagai ritus pendewasaan untuk 
anak laki-laki dan perempuan yang memasuki masa 
pubertas. Modifikasi gigi lain yang dipratekkan pada individu 
rangka Caruban, Lasem, Rembang, adalah pencabutan atau 
ablasi gigi. Pada individu yang memiliki modifikasi ini, akan 
terlihat seperti gigi yang hilang sebelum mati (antemortem 
toothloss) dan dibedakan dengan posisinya yang simetris 
dan biasanya terjadi pada geligi seri atau taring. Geligi 
anterior individu Rangka III telah mengalami ablasi 
(Gambar 4). Seluruh gigi serinya memiliki tanda-tanda 
telah dicabut dan mengalami proses penyembuhan 
sehingga lubang alveolus telah tertutup. Tanggalnya geligi 
seri kiri dan kanan terdapat pada beberapa situs di 
Indonesia, yaitu Liang Bua, Lewoleba dan Melolo 
(Suriyanto & Kosbardiati, 2010; Koesbardiati et al., 2015). 
Pada konteks yang lebih luas dilaporkan terdapat pada 
rangka-rangka manusia Neolitik di Asia Tenggara, seperti 
Ban Kao di Thailand. Individu termuda yang mengalami 
proses ablasi berumur 18 tahun dan menunjukkan bukti 
bahwa ablasi merupakan ritual menuju kedewasaan (Sangvichien et al., 1969). Sementara itu, Situs Phum Snay 
and Phum Sophy, menunjukkan tingginya antemortem 
tooth loss terjadi secara simetris (83,5% pada maxilla dan 
61,1% pada mandibula) (Domett et al., 2011). Ablasi gigi 
yang dilakukan untuk alasan ritual nampak pada 72% 
individu yang terdapat pada pada situs Neolitik Khok 
Phanom Di (Thailand) dengan penanggalan 4000–3500 BP 
(Tayles, 1996). Pada situs lainnya dari masa Logam di 
Thailand, yaitu Noen U-Loke, terdapat individu yang 
kehilangan gigi seri rahang atas keduanya. Peristiwa yang 
langka bahwa ketidak-hadiran gigi seri rahang atas lateral 
ini kemungkinan karena agenesis gigi, atau tidak 
munculnya gigi sejak lahir (Nelsen et al., 2001). 
Ivory osteoma 
Ivory osteoma merupakan tumor jinak yang 
biasanya terletak pada bagian ektokranial tengkorak. 
Tumor ini biasanya memiliki ukuran kurang dari 1 cm, 
soliter, padat dan dapat terlihat batas pinggirnya (Ortner, 
2003). Tumor ini tidak menimbulkan rasa sakit dan 
gangguan terhadap kehidupan individu yang memilikinya. 
Bahkan mustahil untuk dapat diketahui oleh individu 
tersebut ketika hidup kecuali tumor ini telah memiliki 
ukuran yang signifikan besar. Tumor ini terdapat pada dua 
individu, yaitu pada individu Rangka II yang terletak pada 
parietal kanannya (Gambar 5), dan pada individu Rangka 
III yang terletak pada parietal kirinya. Tumor ini tidak 
mengganggu kedua indvidu ini ketika mereka masih hidup. 
Presentase tercatatnya ivory osteoma pada konteks 
arkeologis mencapai 41%, dan pada konteks masa kini mencapai 38% dari populasi tanpa ada perbedaan pada ras, 
dan jenis kelamin (Eshed et al, 2002). Jika dibandingkan 
dengan perbandingan tersebut, sangat wajar untuk dapat 
menemukan osteoma tersebut pada populasi Caruban, 
Lasem, Rembang.
Gambar 5. Osteoma pada parietal kanan Individu II 
(Sumber: Dokumentasi Peneliti) 
Trauma 
Pada individu rangka Caruban, Lasem, Rembang 
terdapat tanda-tanda trauma yang terjadi pada Rangka II. 
Pada bagian tulang sesamoid lateral metatarsal kiri 
pertamanya berukuran tiga kali dari ukuran normal 
(Gambar 6). Letak tulang sesamoid pada kaki itu rentan 
oleh trauma dan fraktur (Nwawka et al., 2013). Trauma itu 
dapat berlanjut menjadi sesamoiditis. 
Terdapat lima penyakit yang umum terjadi pada 
tulang sesamoid yaitu, trauma, sesamoiditis, infeksi, 
osteoarthritis dan sindroma rasa sakit (Nwawka et al., 
2013). Trauma individu Rangka II itu terjadi ketika masih 
berumur relatif muda. Dalam proses penyatuan dari
trauma itu kembali, ternyata tulangnya bersama dengan 
darah yang menggenang di antara ototnya kemudian 
membentuk osifikasi atau penulangan. Morfologi 
penulangan itu kemudian tidak berubah hingga individu 
meninggal dunia. Pada tulang sesamoidnya dapat dilihat 
alur yang merupakan pengikat jaringan otot flexor hallucis 
brevis. Dia dapat merasakan nyeri seperti ditusuk dan 
pembengkakan pada regio itu, dan seringkali terpincang 
atau jalan dengan menggunakan bagian luar kakinya. Nyeri 
demikian dapat terjadi selama berbulan-bulan (Nwawka et 
al., 2013). Peristiwa itu di masa modern biasa terjadi pada 
orang yang sering meloncat, penari, pelari, atau orang yang 
sering menggunakan sepatu hak tinggi (Karasick & 
Schweitzer, 1998). Dia mendapakan cedera pada telapak 
kakinya itu saat bermobilitas tinggi. 
Osteopit 
Osteopit merupakan suatu keadaan di mana tulang 
pada tepi persendian bertumbuh sebagai akibat dari badan 
beradaptasi terhadap beban yang diterima oleh 
persendian; dan semakin tinggi beban yang diterima 
persendian, semakin besar ukuran osteopit yang dapat 
muncul (Roberts & Manchester, 2005). Osteopit individu 
Rangka II terdapat pada bagian patella, sacrum, vertebra 
cervicalis dan vertebra lumbalisnya. Osteopit individu 
Rangka III terdapat hanya pada vertebra thoracicaenya. 
Individu Rangka I tidak memiliki osteopit karena umurnya 
relatif masih muda. 
Simpulan
Sejauh ini ekskavasi di situs Caruban, Lasem, 
Rembang, yang berasal dari sekitar masa akhir Majapahit, 
telah menemukan tiga individu rangka manusia. Penelitian 
intensif terhadap situs tersebut telah dilakukan oleh Pusat 
Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1979, 1980, 
1981, 1983, 1984 dan 1985. Pada ekskavasi tahap ketiga 
(tahun 1981) ditemukan tiga rangka manusia. Seluruh 
rangka ditemukan pada sektor II; di mana inividu Rangka I 
diangkat pada tanggal 4 Juni 1981, individu Rangka II 
diangkat pada tanggal 3 Juni 1981, dan inividu Rangka III 
diangkat pada tanggal 2 Juni 1981. Individu Rangka I adalah 
seorang perempuan bertinggi badan 154,69–156,99 cm 
dan berumur sekitar 15–16 tahun. Berikutnya, individu 
Rangka II adalah seorang laki-laki bertinggi badan 163–165 
cm dan berumur sekitar 40 tahun. Selanjutnya, individu 
Rangka III adalah seorang perempuan berumur sekitar 35–40 tahun. Mereka adalah populasi Mongoloid. 
Beberapa bukti patologis terekam pada individu￾individu rangka manusia arkeologis Caruban, Lasem, 
Rembang. Individu Rangka I tidak terlihat adanya penyakit 
pada poskraniumnya. Pada individu Rangka II terdapat 
osteopit pada patella, vertebra lumbalis dan vertebra 
cervicalis, karies dan atrisi gigi, serta ivory osteoma pada 
parietal kanannya. Sesamoiditis pada tarsal pertama 
menunjukkan bahwa individu ini mengalami cedera pada 
masa mudanya. Berdasarkan tinggi badan dan perlekatan 
ototnya pada humerus, radius dan ulnanya yang sangat 
kentara mengesankan bahwa dia berbadan kekar. Patologi 
yang terekam pada individu Rangka III adalah karies, 
kalkulus dan atrisi gigi, periodontitis, enamel hypoplasia, 
osteopit dan ivory osteoma. Mereka juga mengalami 
cultural dental trauma. Bukti-bukti patologis yang terekam 
pada sisa-sisa hayatnya itu menunjukkan kondisi individu￾individu itu selama hidup. Yang bisa jadi sebagai gambaran 
kondisi kesehatan penduduk pesisir pada sekitar masa 
akhir Majapahit di Caruban, Lasem, Rembang. Bukti-bukti 
yang didapatkan itu hanya sebagian dari ragam patologis 
individu-individu tersebut karena bukti-buktinya hanya 
berasal dari sebagian jaringan keras yang berupa geligi dan 
belulangnya. Mereka mati dalam usia remaja awal sampai 
dewasa tengah yang berarti mereka harus bertahan hidup 
dalam lingkungannya yang relatif keras. Mereka terpapar 
beragam penyakit karena ketidakmampuannya 
mengimbangi dinamika lingkungannya. Kondisi kesehatan 
seperti itu dalam konteks bioarkeologis dapat terkait oleh 
perubahan atau dinamika lingkungan dan kebudayaannya,sejarah dan persebaran penyakit, migrasi dan kontak di 
antara populasi. Di sini kondisi itu juga bisa terkait dengan 
transisi perubahan-perubahan kekuasaan di suatu 
wilayah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan 
gambaran kehidupan penduduk pesisir masa lampau 
dalam suatu kurun waktu dan wilayah, terutama yang 
terkait dengan kondisi kesehatannya berdasarkan temuan￾temuan osteologis manusianya. Penelitian seperti itu dapat 
memberikan sumbangsih untuk kajian arkeologi maritim 
Indonesia yang masih sangat miskin dengan pendekatan 
bioarkeologis, khususnya sekitar masa dan pasca 
kekuasaan Majapahit.

Related Posts:

  • raja majapahit 5 diri ke tempat ini. Selain itu di kawasan ini juga terdapat resi atau pemuka agama yang dapat melindungi mereka dari… Read More