Rabu, 19 Juli 2023

raja majapahit 4

ditempatkan di birokrasi kolonial di Jawa harus 
dilatih memahami bahasa Jawa. Lembaga ini pada awalnya 
berjalan dengan baik namun pada dalam perjalananya 
mendapatkan resistensi dari para muridnya yang merasa tidak layak menjadi murid seorang guru yang half-blood,
(C.F. Winter yang merupakan keturunan Belanda-Jawa). 
Sehingga akhirnya lembaga ini dibubarkan, sebagai 
gantinya lembaga serupa dan lebih luas cakupannya 
didirikan di Delft Belanda.85
Dalam menjalankan kerjanya, Winter sebagai 
pemimpin institut banyak bekerjasama dengan para 
pujangga lokal, seperta R. Ngabehi Ronggowarsito dan 
Kertapraja. Keduanya sangat mempuni dalam bahasa 
kesusastraan, penulisan sejarah Jawa. Winter sendisi tidak 
diragukan kemampuannya setelah sekian lama bergaul dan 
berguru dengan mereka. Mereka diibaratkan sebagai 
bronen van nutritie (sumber nutrisi) bagi Winter.86 Lembaga 
ini juga yang banyak berperan melakukan pengumpulan 
sumber-sumber manuskrip Jawa dan juga 
penerjemahannya dalam Bahasa Belanda. Dari lembaga ini 
pula lahir Babad Tanah Jawi dalam versi prosa yang 
kemudian diedit oleh Meinsma, sehingga dalam dunia 
akademis Belanda dikenal dengan Babad Meinsma. 
Menurut Ricklefs yang telah mengaji secara kritis tentang Babad Meinsma, yang kemudian diterjemahkan dan 
dilatinkan oleh Olthoff (terbit tahun 1941) ini bersumber 
dari Major Babad Tanah Jawi dari istana Surakarta yang 
ditulis selama pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IV. 
Sekarang salinan naskah ini berada di Universitas Leiden 
Belanda. Sementara itu naskah aslinya tidak lagi diketahui 
apakah masih ada di Surakarta. Babad Meinsma menurut 
Ricklefs sangat membantu dalam memahami struktur 
Babad Tanah Jawi secara keseluruhan dengan pembagian 
sub-sub bab di dalamnya, namun nilainya sebagai sumber 
sejarah rendah dan harus dibaca dengan seksama, karena 
telah mengalami penyuntingan berlapis. Bahkan edisi 
pertama dari naskah yang akan diterbitkan batal terbitkan 
karena pemerintah kolonial menginginkan adanya 
penghapusan beberapa episode penting yang dianggap 
terlalu mitologis.87
Namun di kalangan para sarjana Belanda karya 
Meinsma ini sangat popular dan menjadi rujukan penting 
banyak para penulis sejarah Jawa. Pada tahun 1939, Major 
Babad Tanah Jawi yang dikoleksi oleh Universitas Leiden itu 
dicetak masih dalam huruf Jawa ke dalam 31 buku oleh 
Balai Poestaka. Terbitan baru ini menjadi pembanding 
penting bagi karya Meinsma, mengingat karya ini yang 
menjadi sumber rujukan dari versi prosa. Karena karya ini 
masih dalam bentuk pusisi Jawa (tembang Macapat) dan 
dalam huruf Jawa tentunya masih kalah popular dengan 
karya Meinsma. Glorifikasi Majapahit oleh Kaum Orientalis Belanda 
Semakin membanjirnya naskah-naskah klasik Jawa 
sebagai sumber referensi instituut kolonial di Belanda, 
khususnya selama abad ke-18 yang oleh Pigeaud disebut 
sebagai “Renasissance Kesusatraan Jawa Klasik”88 (masa 
Hindu-budha), maka wacana tentang kejayaan Jawa di masa 
Hindu-Budha mengemuka. Seiring dengan itu upaya-upaya 
melakukan rekonstruksi situs-situs peninggalan sejarah 
periode itu semakin gencar dilakukan. Berbagai artefak, 
prasasti dan segala sesuatu yang berkaitan dengan periode 
ini diburu dan dikaji. Dari kajian-kajian inilah kemudian 
mengemuka tentang Majapahit sebagai Kerajaan Hindu 
terbesar di Jawa yang kekuasaanya mencapai wilayah 
seberang lautan. Artikel dan buku tentang periode ini 
banyak ditulis dan diterbitkan. Bahkan karya-karya roman 
semi-sejarah mulai muncul. Di antaranya yang paling 
menarik adalah dua jilid roman Majapahit karya J.S.G 
Gramberg.89 Dari kata pengantar bukunya di jilid pertama 
ini kita dapat memahami apa arah dan tujuan glorifikasi 
terhadap Majapahit ini. Dalam kata pengantar itu Gramberg 
mengritik kebijakan pemerintah kolonial yang ia katakana 
“telah membiarkan Islam berkembang di Jawa” yang telah 
menghancurkan kejayaan dan keunggulan budaya 
masyarakat Jawa. Islam dianggap menjadi biang keladi atas 
segala kehancuran masyarakat dan kebudayaan Jawa. Oleh 
karenanya menyarankan agar pengetahuan tentang sejarah 
Jawa dan masa keemasan mereka dapat menjadipemahaman generasi baru masyarakat Jawa. 
Dari pernyataan Gramberg ini jelas bahwa 
glorifikasi Majapahit menjadi landasan akademis untuk 
dapat menyadarkan masyarakat Jawa dari “kesesatannya” 
memilih Islam sebagai masa depan” yang tentu saja 
dianggap menjadi ancaman penting bagi tatanan kolonial 
yang sedang diperkuat di Jawa. Kuatnya literasi tentang 
narasi Majapahit dalam historiografi dan sastra kolonial ini 
menjadi pengetahuan dan ispirasi penting bagi para penulis 
Jawa di masa peralihan dari abad ke-19 hingga abad ke-20, 
ketika muncul karya-karya seperti Serat Sabdo Palon yang 
berisi ramalan-ramalan tetang kebangkitan lagi kejayaan 
Hindu-Budha 600 tahun sesudah kejatuhannya. Munculnya 
literasi jenis ini dianggap sebagai penyokong tradisi 
glorifikasi Majapahit ala orientalis Belanda dan sebagai 
narrative counter (narasi tandingan) atas menjamurnya 
teks-teks Islam. Karya-karya sastra sejenis yang dianggap 
sebagai oposisi Islam misalnya Serat Darmagandul dan 
Suluk Gatholoco. Naskah-naskah yang mendiskreditkan 
Islam dan mengagungkan kembali agama lama Jawa itu 
disinyalir sebagai wujud oposisi kelompo Kristen.90
Glorisfikasi Majapahit berlanjut di dalam kurikulam 
nasional sekolah-sekolah kolonial. Dari buku-buku 
pelajaran sejarah sekolah Eropa, seperti karya Krom dan 
Stutterheim.91 Dan di masa kemerdekaan orang-orang 
seperti Muhammad Yamin menjadi penerusnya. Sejarawan yang kritis seperti Slamet Muljana92 juga tidak dapat 
melepaskan diri dari tradisi ini sekalipun ia tidak melihat 
jatuhnya Majapahit sebagai diskontinuitas sejarah karena 
kemudian menyusul munculnya Islam dan kebudayaan 
Islam yang dianggapnya lebih sebagai penerus Majapahit 
dengan pakaian yang berbeda. Cara pandang Slamet 
Mulyana ini juga sejalan dengan penulis-penulis 
sejamannya seperti H.J De Graaf dan Pigeaud yang membuat 
seri kajian tentang kerajaan-kerajaan Islam di Jawa penerus 
Majapahit.93
Ada yang Ironis di sini bahwa glorifikasi Majapahit 
yang diinisiasi oleh para orientalis Belanda untuk 
mengendorkan perkembangan Islam atau sebagai oposisi 
terhadap Islam justru menjadi senjata makan tuan. Karena 
semangat penyatuan Nusantara di masa kejayaan Majapahit 
digunakan oleh para tokoh nasional dan pergerakan sebagai 
epitome negara baru yang merdeka dari kekuasaan kolonial. 
Majapahit dalam Historiografi Nasional Indonesia 
Sejarawan sekaligus ahli hukum seperti Muhammad 
Yamin adalah proponen utama yang ikut mengglorifikasi 
Majapahit. Ia menulis buku yang panjang lebar tentang 
Majapahit dan juga tentang Gadjah Mada.94 Tak ketinggalan 
para tokoh nasional seperti Sukarno dalam pidatonya 
tanggal 1 Juni 1945 menggali nilai-nilai Pancasila dari nilai-
nilai moral dan politik yang pernah diterapkan di Nusantara 
pada masa Majapahit. Ia memandang unitary state yang 
ingin dijadikan bentuk negara Indonesia yang akan segera 
diproklamerkan pada tanggal 17 Agustus itu adalah 
mendapat legitimasi historisnya dari pengalaman Sriwijaya 
dan majapahit. Pandangan-pandangan ini kemudian 
mempengaruhi banyak buku pelajaran sejarah sesudah 
kemerdekaan dan dalam historiografi Indonesia 
mempengaruhi penyusunan kronologi Sejarah Nasional 
Indonesia. 
Pengajian tentang sejarah Majapahit semakin 
berkembang saat ini demikian juga publikasi tentang hasil￾hasil kajian mutakhir itu. Perdebatan juga semakin meluas 
ke berbagai isu, dari kronologi, sebab-bab kejatuhan, 
sikapnya terhadap Islam dan juga reputasi politik dan 
ekspansi wilayah dan kekuasaanya. Beberapa tokoh 
pentingpun juga mulai diperbincangkan, dari para raja yang 
memerintah, para punggawa kerajaan, hingga perempuan￾perempuan di sekitar raja dan bangsawan istana lainnya. 
Maraknya literatur tentang sejarah Majapahit ini juga 
berpengaruh besar terhadap perkembangan karya fiksi 
maupun semi-fiksi tentang Majapahit.95
Dari sekian banyak kajian tentang Majapahit itu, 
pada umumnya tidak terlalu banyak perkembangan yang 
berarti dari sisi sumber penulisan khususnya sumber￾sumber tertulis. Majapahit meninggalkan banyak artefak 
penting berupa material cultures, yang ditemukan di kompleks utama ibukota Majapahit dimana istana berdiri, 
tetapi sumber-sumber itu umumnya sumbe-sumber bisu 
yang masih perlu dikaji agar dapat menjelaskan banyak 
unsur tentang sejarah Majapahit.96 Sementara itu sumber￾sumber yang berupa prasasti rupanya sedikit dapat 
membantu menjelaskan kejatuhan Majapahit. Sekalipun 
parasasti-prasati itu sendiri tidak menyebutkan 
kejatuhannya namun usia-usia prasasti dapat dipakai 
petunjukkan tentang bentang waktu eksistensi kerajaan 
Majapahit. Contoh penting dari studi-studi terhadap 
prasasti-prasasti ini seperti yang dilakukan oleh J.G. de 
Casparis.97
 
Hingga saat ini kesimpulan-kesimpulan yang 
dihasilkan dari berbagai kajian-kajian tentang sejarah 
Majapahit yang dilakukan oleh sejarawan Indonesia 
maupun asing belum didasarkan pada bukti yang definitif 
tentang tahun keruntuhan Majapahit. Yang ada hanyalah 
patokan-patokan khusus yang digali dari berbagai sumber 
untuk mendapatkan bentangan waktu eksistensi kerajaan 
Majapahit. Terlepas dari berbagai perbedaan angka tahun 
yang dihasilkan itu namun ada suatu benang merah yang
dapat ditarik bahwa keruntuhan Majapahit adalah proses 
yang gradual yang memakan waktu hingga beberapa 
dekade sampai akhirnya eksistensi Majapahit benar-benar 
lenyap dari Jawa Timur. Proses yang gradual itu merupakan 
kombinasi antara konflik politik yang melibatkan berbagai 
pihak, baik internal dinasti maupun para vasal Majapahit 
sendiri. Unsur-unsur lain adalah munculnya kekuatan baru 
Islam yang mengambil alih pusat-pusat ekonomi dan 
perdagangan di pesisir laut Jawa oleh kaum pedagang 
muslim. Demikian pula pertentangan aliran di dalam agama 
Hindu sendiri juga menjadi penyebab yang lain runtuhnya 
Majapahit. 
Cara pujangga Mataram menggambarkan 
keruntuhan Majapahit, seperti yang digambarkan dari 
berbagai babad utama, jelas melibatkan unsur kekerasan, 
yang ironisnya ditempatkan dalam konteks pertalian 
genealogis. Namun gambaran seperti ini tidak hanya khas 
sejarah transformasi dari Hindu ke Islam pada abad ke-15 
saja, namun juga menjadi pola pokok dalam sejarah politik 
Jawa di kemudian hari. Para pujangga Jawa dari periode 
Mataram Islam mengedepankan nilai-nilai keagamaan 
sebagai caesura untuk memisahkan secara tegas jaman 
lama (Hindu=kafir) dan Jaman Baru (Islam). Sebaliknya 
dalam tradisi historiografi kolonial, runtuhnya Majapahit 
(Hindu) dan munculnya Demak (Islam) adalah sebuah 
kemunduran dalam pencapaian budaya dan peradaban. 
Sebuah cara pandang yang sangat dipengaruhi oleh idiologi 
kolonial, untuk menepiskan Islam yang telah membawa 
efek buruk bagi eksistensi negara kolonial. Namun 
glorifikasi periode Hindu Jawa dengan menempatkan
periode kekuasaan Majapahit sebagai masa keemasan Jawa, 
telah dimanfaatkan oleh para tokoh pergerakan yang justru 
dimanfaatkan untuk mengembangkan rasa senasib dan 
solidaritas kebangsaan. Dengan kata lain senjata yang 
diciptakan oleh historiografi kolonial itu telah melukai dan 
bahkan membunuh si penciptanya sendiri ketika Indonesia 
memproklamirkan kemerdekaannya dengan membangun 
landasan idiologi yang digali dari nilai-nilai dan capaian 
politik Majapahit. Glorifikasi terhadap Majapahit terus 
berlanjut hingga kini, dan seperti sulit untuk tidak 
mengakui bahwa semua itu bermula dari upaya-upaya yang 
telah dilakukan oleh sejarawan kolonial. Sebuah warisan 
historiografis yang berharga bagi historiografi nasional 
Indonesia sebagai landasan historis memumpuk persatuan 
dan kesatuan, dalam kerangka sebuah negara yang besar 
dan hegemonik.
Sejarah menyebutkan bahwa banyak peradaban 
manusia berkembang di sekitar tepi sungai, dimulai sejak 
zaman pra sejarah sampai sekarang, seperti zaman manusia 
Purba yang banyak bermukim di sepanjang Bengawan Solo. 
Banyak kerajaan berkembang di sekitar daerah aliran 
Brantas Jawa Timur. Berawal dari Mpu Sindok 
memindahkan Kerajaan Mataram Kuna dari Jawa Tengah ke 
darah aliran Bengawan Brantas Jawa Timur pada tahun 928 
Syaka (1006 M) yang mendirikan Kerajaan Medang 
berwangsa Isyana sampai berakhirnya Majapahit. Saat 
berakhirnya ini dikenal dengan “sandhyakala ning 
Majapahit” pada 1400 Syaka (1478 M). Sampai akhirnya 
raja-raja ditaklukan Demak pada awal tahun 1500 M. Sungai 
Brantas mempunyai peran penting bagi kerajaan kerajaan 
saat itu dan menjadi saksi utama peristiwa-peristiwa 
kesejarahan di Jawa Timur. Mpu Sindok menurunkan 
Erlangga, dan terus-menerus sampai ke raja-raja pertama 
Majapahit. 
Sungai Brantas bermata airnya ada di lereng selatan 
kompleks gunung Arjuno-Anjasmoro. Sungai Brantas 
mengalir ke timur terus ke selatan baru ke utara dan 
disudet ke arah timur. Pola melingkar yang panjang ini 
mempunyai karakter berbeda di bagian hulu, tengah dan 
hilir Brantas. Kegiatan politik dan ekonomi kerajaan￾kerajaan berbeda beda di sepanjang Kali Brantas antara hulu dan muara Brantas. Daldjoeni (1982) secara geologi 
dan geografi membagi daerah aliran Bengawan Brantas 
menjadi tiga bagian yaitu aliran hulu, aliran tengah dan 
aliran hilir.
1. Aliran Brantas bagian atas menempati dataran 
tinggi Malang sekarang yang dulunya ditempati 
oleh wilayah induk Tumapel sejak akuwu 
Tunggul Ametung berkuasa sampai pada masa 
berkuasanya Kertajaya, raja terakhir Kerajaan 
Kediri (1220 M). 
2. Aliran Brantas bagian tengah adalah tempat 
ibukota Kerajaan Panjalu (1041 M), yaitu Daha 
(Gelang-gelang, Gegelang, atau Kediri) sebelum 
menjadi Kerajaan Kediri (1045-1222 M). 
Dataran rendah Kediri memanjang dari selatan 
ke utara, dari Tulungagung sampai Kertosono 
sekarang, diapit oleh tiga gunung: Wilis di 
sebelah barat dan Arjuno-Anjasmoro serta 
Kawi-Kelud di sebelah timurnya. 
3. Aliran Brantas bagian bawah memanjang barat￾timur dari Kertonoso sampai Delta Brantas di 
area Surabaya sekarang. Di sinilah terletak 
Trowulan, di Kabupaten Mojokerto sekarang, 
ibukota Kerajaan Majapahit. 
Kerajaan yang ideal dan kuat bila suatu kerajaan 
dapat menguasai seluruh aliran sungai, sehingga menguasai 
pertanian (agraria) di pedalaman dan perdagangan maritim 
di muaranya. Struktur ini pernah nyata pada zamanAirlangga memerintah Kahuripan (1037-1041 M), 
kemudian diikuti Kertanegara di Singhasari (1268-1292 M), 
dan terakhir Hayam Wuruk di Majapahit (1350-1389 M). 
Bahan dan Data 
Berdasarkan banyaknya penemuan di desa-desa di 
situ berupa fondasi bangunan, candi, gapura, kolam air dan 
umpak-umpak rumah. Juga penemuan barang￾barang pakai, perhiasan dan patung-patung kini masih 
dapat dilihat di museum arkeologi Trowulan. Banyak ahli 
bersepakat bahwa Kerajaan Majapahit berada di Trowulan 
yang letaknya kurang lebih 10 Km di sebelah Baratdaya 
Mojokerto sekarang. Kerajaan ini di sebelah Utaranya 
terhampar dataran banjir kali Brantas sedang disebelah 
Selatan dan Tenggaranya sejauh kurang lebih 25 Km 
menjulang tinggi kompleks gunung Anjasmoro, Arjuna dan 
Welirang dengan ketinggian antara 2000 dan 3000 
m (Daldjoeni, 1992). Pelabuhan Majapahit diperkirakan 
kali Surabaya (kali Mas) semula merupakan alur pelayaran 
yang penting karena menghubungkan Majapahit dengan 
dunia luar. Adapun sungai Brantas sebagai cabang kali 
Brantas dapat dilayari untuk mendekati pusat kerajaan, 
paling tidak sampai daerah Japaran. 
Kerajaan Majapahit merupakan sebuah negara 
agraris dan maritim sangat bergantung kepada sungai 
sebagai penunjang baik dalam irigasi dan sarana 
transportasi. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat 
Majapahit yang melakukan kegiatan pertanian dengan 
bercocok tanam, menangkap ikan serta 
berdagang. Kegiatan produksi menghasilkan barang dan jasa ini tidak terlepas dari peran anak-anak cabang Sungai 
Brantas. Cabang Sungai Brantas mempermudah distribusi 
barang-barang secara cepat dengan menggunakan perahu 
atau rakit. 
Menurut sejarah geologinya, dataran rendah 
lembah Sungai Brantas dari Blitar sampai Mojokerto 
dulunya merupakan suatu teluk lautan yang semakin lama 
terisi oleh endapan gunung berapi dari Gunung Kelud 
(Daldjoeni, 1984). Oleh karenanya endapan Sungai Brantas 
berasal dari Gunung Kelud maka endapan di sepanjang 
alirannya ini subur dan cocok untuk perniagaan. Selain itu 
keberadaan Sungai Brantas menguntungkan karena sebagai 
akses penghubung yang lebih cepat dan aman antar daerah 
pedalaman dengan pesisir. Mengingat Ibukota kerajaan 
Majapahit yang berada di pedalaman, maka kerajaan 
Majapahit sukses memadukan keunggulan agraris dan 
memperluas kekuatan maritimnya dengan memanfaatkan 
Sungai Brantas sebagai penghubung ke laut lepas. Wilayah 
Majapahit termasuk kawasan rawan bencana geologi 
berupa letusan gunungapi, gempa, banjir dan semburan 
lumpur. Pada masa Singasari dan Majapahit, bencana￾bencana ini pernah terjadi melanda dua kerajaan tersebut, 
seperti tercatat di Kitab Pararaton. Penggalian arkeologi 
masih berlangsung dan telah menemukan beberapa lapisan 
bangunan Majapahit dan yang lebih tua yang terkubur 
lumpur lempung dan/atau sebagian material volkanik hal 
ini tertulis dalam “Pararaton” yang memuat berita kejadian 
bencana geologi seperti banyu pindah, gunung anyar, 
gunung jeblug, lindu di kawasan Kerajaan Singasari dan 
Majapahit di sekitar Kediri sampai Delta Brantas sekarang. Delta Sungai Brantas terbentuk selama berabad 
abad dan tersusun oleh endapan delta, endapan sungai dan 
endapan rawa air payau. Tanah endapan delta Brantas 
umumya jelek dan tidak subur yang tumbuh hanya semak 
belukar. Endapan delat terus maju ke arah laut dan semakin 
luas. 
Slamet Muljana dalam Nagarakrtagama dan Tafsir 
Sejarahnya menerjemahkan peristiwa yang dicatat Mpu 
Prapanca dalam kisah kelahiran Raja Hayam Wuruk. Ada 
peristiwa alam yang terjadi ditafsirkan sebagai isyarat 
keluhuran sang bayi. Seperti gempa bumi di Banupindah, 
hujan abu diikuti guruh dan halilintar. Segala isyarat 
kebesaran itu terlaksana setelah baginda dewasa dan 
memegang tampuk kepemimpinan. Kerajaan aman 
dan tenteram, bebas dari kejahatan. Slamet 
menerjemahkan kalimat tahun saka memanah 
surya sebagai petunjuk tahun terjadinya peristiwa yaitu 
pada 1256. Serat Pararaton juga memberitakan, setelah 
peristiwa Sadeng, terjadi gempa bumi di Banupindah pada 
1256 Saka. Dwi Cahyaono mengemukaan dalam mitologi 
Hindu, gempa terjadi akibat hewan-hewan penompang 
bumi berubah posisinya. Bumi dipercaya disangga oleh 
beberapa binatang mitologis: delapan ekor gajah raksasa 
yang berdiri di atas termpurung kura-kura, ular dengan 
tujuh kepalanya, babi hutan dengan gadingnya, dan lembu 
dengan tanduknya. Apabila di antara binatang mitologis itu 
berganti posisi, bumi yang ditopangnya akan 
bergoncang. Sementara budaya Jawa sangat terpengaruh 
budaya India. Kestabilan dunia amat tergantung pada dua 
ekor naga yang menjadi penjaga dan penyangga bumi. Naga Ananta (Anantaboga) yang berada di dalam perut bumi, 
bertugas sebagai penjaga bumi. Naga Sesa (Ananta Sesa 
atau Adi Sessa) yang menyelam ke dasar laut (patala), 
bertugas menyangga pertiwi. Kata lindu juga digunakan 
sebagai perumpamaan untuk menggambarkan kondisi yang 
berguncang. Ia bersinonim dengan kata reg. Akar 
kata reg menunjuk kepada gerakan menghentak, atau 
getaran bahkan goncangan hebat. 
Kerajaan-kerajaan yang beribukota di daerah Jawa 
Timur, seperti Kanjuruhan, Mataram setelah 929-1049 
M, Pangjalu (Kadiri) dan Jenggala, Singhasari dan 
Majapahit, bukanlah tidak mungkin pernah terpapar gempa 
bumi. Paling tidak gempa vulkanis karena lokasinya tak 
jauh dari gunung berapi aktif seperti Semeru, Bromo, Kelud 
(Kampud), Welirang (Kumukus), dan Penanggungan 
(Pawitra). Serat Pararaton memberitakan meletusnya 
gunung pada 1233 Saka (1311 M), gemuruh lahar dingin 
(guntur banyu pindah) pada 1256 Saka (1334 
M), munculnya gunung anyar (baru) pada 1307 Saka (1385 
M), gunung meletus pada 1317 Saka (1395 M), gunung 
meletus pada 1343 Saka (1421 M) disusul kekurangan 
pangan pada 1348 Saka (1426 Masehi), gempa bumi 
(palindu) pada 1372 Saka (1450 Masehi) disusul gunung 
meletus setahun kemudian, 1373 Saka (1451 M), gunung 
meletus pada 1384 Saka (1462 M), gunung lainnya meletus 
pada 1403 Saka (1481 M). 
Berdasarkan data BBWS Brantas (2011) 
menyebuatkan bahwa Wilayah Sungai Brantas merupakan 
wilayah sungai strategis nasional dan menjadi kewenangan 
Pemerintah Pusat berdasarkan Permen PU No. 11A Tahun
2006, terletak di Propinsi Jawa Timur pada 110°30' BT 
sampai 112°55' BT dan 7°01' LS sampai 8°15' LS. Kali 
Brantas mempunyai panjang ± 320 km dan memiliki luas 
cacthment area ± 14.103 km2. Curah hujan rata-rata 
mencapai 2.000 mm/tahun sekitar 85% jatuh pada musim 
hujan sehingga potensi air permukaan per tahun rata-rata 
13,232 milyar m3. WS Brantas terdiri dari DAS Brantas 
seluas 11.988 km2 dan lebih dari 100 DAS kecil yang 
mengalir ke pantai selatan P. Jawa antara lain DAS Kali 
Tengah, DAS Ringin Bandulan, DAS Kondang Merak dan 
DAS kecil lainnya dengan total luas sekitar 2115 km2. Salah 
satu sumber sedimen yang masuk ke Kali Brantas dari 
letusan Gunung Kelud yang sudah meletus jauh sebelum 
kerajaan Majapahit dan diketahui aktif sampai sekarang. 
Konsep geologi yang dipergunakan dalam 
penelitian ini adalah konsep geologi tentang 
uniformitariansme Lyeel (1830) menyebutan bahwa proses 
yang terjadi di masa kini sama dengan yang terjadi di masa 
lampau (The present is the key to the past). Dengan demikian 
K Brantas telah mengalami banyak banjir setiap tahun dan 
saat terjadi letusan G. Kelud maka daya rusak banjir K 
Brantas sangat di rasakan penduduk di kiri kanan K 
Brantas. Pengendalian banjir K Brantas dengan 
membangun bendungan dan atau tanggul pada masa Jawa 
Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Bendungan dan atau 
tanggul menahan dan atau mengalihkan air banjir sehingga 
air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman 
penduduk.
Penelitian ini bersifat eksploratif meliputi tahap 
persiapan, tahap analisis data sekunder, tahap penelitian 
lapangan dan tahap analisis dan pembahasan. Tahap 
persiapan berkaitan dengan pencarian data sekunder dan 
penyiapan alat alat untuk pengukuran di lapangan. Data 
sekunder yang diperlukan antara lain data arkeologis, 
toponimi dan Cerita Tutur/Rakyat: Cerita rakyat serta 
karya budaya lainnya seperti prosa maupun puisi, yang 
meliputi kepercayaan, adat istiadat, seni pertunjukan yang 
ada, kajian terdahulu, foto satelit, peta topografi dan data 
hasil temuan masyarakat.
Survei di lapangan terkait erat untuk pembuktian 
dari hasil interpretasi geologi dari ata foto satelit dan peta 
topografi dan pengukuran geolistrik. Untuk memindai 
kondisi lapisan tanah yang ada di dalam bumi bisa dilakukan dengan metoda geolistrik yaitu dengan jalan 
memasukkan arus dan beda potensial ke dalam tanah 
dengan konfigurasi terterntu sehingga bisa diketahui 
resistivias tanah di dalam bumi. Pada prakteknya arus 
listrik dimasukkan melalui elektroda C1 dan C2. sedangkan 
beda potensial diukur dengan elektroda potensial P1 dan P2
yang terletak antara C1 dan C2 (Gambar 2).
Akibat pengaruh arus pada elektroda C2, maka 
bidang equipotensial yang terbentuk akan semakin 
berbentuk tidak setengah bola silinder. Jika jarak antar 
elektroda C1 dan C2 diperbesar, maka equipotensial 
bernilai lebih kecil dari setengah permukan bola silinder. 
Bila mediumnya tidak homogen isotrop, maka 
resistivitasnya disebut resistivitas semu. Dengan 
menggunakan susunan elektroda tertentu maka harga K 
dapat diketahui. Beda potensial dan arus yang dialirkan 
dapat diukur. Dengan demikian resistivitas semu dapat 
dihitung seperti tercantum dalam Gambar 3.
Hasil dan Diskusi 
Secara geologi Sungai Brantas berada diwilayah 
tektonik aktif dan dikelilingi gunung berapi aktif (Gambar 
4.), sehingga ada kemungkinan hubungan antara musnahnya sisa peradaban disekitar delta Sungai Brantas 
dengan bencana alam (Gempa Bumi, Gunung Meletus, 
Banjir dan Longsor) yang terjadi di masa lampau. 
Berdasarkan data citra satelit yang diakses melalui 
portal www.earthexplorer.usgs tahun 1972, 2000 dan 
2017, dapat dilakukan rekonstruksi garis pantai seperti 
terlihat pada Gambar 5. Secara detail besar perubahan garis 
pantai ditunjukan pada Gambar 6, dimana garis pantai 
tahun 2017 ditandai dengan warna kuning, garis pantai 
tahun 2000 ditandai dengan warna hijau dan garis pantai 
tahun 1972 ditandai dengan warna merah. Dengan 
melakukan perata-rataan nilai perubahan garis pantai dari 
tahun 1972 sampai tahun 2017 didapatkan informasi 
besarnya perubahan garis pantai sebesar kurang lebih 40 
meter pertahun. Dari informasi tersebut kemudian 
dilakukan interpretasi rekonstruksi garis pantai pada 
zaman Majapahit sampai dengan tahun 1200 M. 
Rekonstruksi garis pantai pada tahun 1200, 1400 
dan 1750 dapat dilihat pada Gambar 7. Penarikan garis 
pantai didasarkan pada informasi perubahan garis pantai 
pertahun berdasarkan citra satelit dan topografi atau 
elevasi permukaan tanah saat ini. Lembah delta Sungai 
Brantas yang menghadap kearah Timur berupa cekungan 
atau Teluk, yang seiring berjalannya waktu terisi oleh 
sedimen yang dibawa oleh Sungai Brantas yang berasal dari 
gunung-gunung api aktif yang mengelilinginya. 
Selain rekonstruksi garis pantai berdasarkan citra 
satelit Lansat dan citra Google Earth juga dilakukan 
interpretasi daerah aliran sungai (DAS) atau beberapa anaksungai yang sangat mungkin mempengaruhi proses 
sedimentasi di pantai Timur, meskipun kondisi saat ini 
sudah bukan menjadi anak sungai lagi seperti ditunjukan 
pada Gambar 8. Pada beberapa lokasi anak Sungai Brantas banyak 
ditemukan sisa sisa peradaban yang mungkin berkaitan 
dengan era Kerajaan Majapahit atau sebelumnya, seperti 
temuan berupa sumur atau jobong. Selain berbentuk sumur 
juga ditemukan bangunan yang diperkirakan merupakan 
bekas pelabuhan sungai Kadipaten Terung yang berada di 
desa Terung Wetan Sidoarjo saat ini (Gambar 9). Di sekitar temuan sisa bangunan yang diperkirakan 
bangunan pelabuhan sungai Kadipaten Terung ini 
dilakukan pengukuran geolistrik untuk mengetahui 
ketebalan lapisan penutup sisa bangunan tersebut seperti 
ditunjukan pada Gambar 10. 
Simpulan 
1. Laju sedimentasi delta Sungai Brantas rata rata dari 
tahun 1972 – 2017 rata-rata sebesar 40 meter pertahun 
atau 1,837 m dalam 45 tahun. 
2. Berdasarkan data ketebalan lapisan tanah penutup sisa 
bangunan pelabuhan sungai Kadipaten Terung 
diperkirakan garis tepian sungai yang ada di kawasan 
Terung berada disekitar temuan sisa bangunan 
pelabuhan atau sekitar 100 meter dari tepian sungai 
sekarang pada era Kerajaan Majapahit dan sebelumnya. 
3. Material letusan Gunung Kelud berperanan penting 
dengan laju sedimentasi Sungai Brantas dan 
terpendamnya jejak jejak peradaban disekitar sistem 
sungai. 
4. Peradaban disekitar Sungai Brantas dipengaruhi oleh 
kejadian gempa yang terjadi di masa lampau karena 
sebagian besar bangunan hancur.
Kemajuan dan pudarnya suatu negara atau kerajaan 
berpengaruh pada perkembangan peradaban bangsa dalam 
negara atau kerajaan tersebut, yang dipengaruhi oleh 
kondisi sosial, politik, keamanan, lingkungan geografi dan 
iklim wilayahnya. Lingkungan geografi dan iklim adalah 
faktor alam, sedangkan kondisi sosial, politik, keamanan 
merupakan faktor yang timbul sebagai akibat interaksi 
manusia atau masyarakat dalam negara tersebut. 
Uraian, pandangan ataupun kesimpulan banyak ahli 
sejarah menyatakan banwa kemajuan dan kemunduran 
(pemerintahan) kerajaan-kerajaan (besar maupun kecil) 
yang ada di Indonesia pada masa lalu seperti Sriwijaya dan 
Majapahit disebabkan oleh masalah sosial, politik, 
keamanan dan agama (Andrisijanti, 2014; Kartodirdjo et al.,
1976; Mulyono, 2005; Pusponegoro dan Notosusanto, 
1993; Putri, 2019; Raditya, 2018). Sangat sedikit ahli yang 
meninjau adanya pengaruh alam, seperti kondisi geografi, 
perubahan lingkungan dan bencana alam yang dijadikan 
sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan 
suatu (pemerintahan) kerajaan-kerajaan yang pernah ada 
di Indonesia. Tercatat beberapa nama seperti Sampurno 
dan Bandono (1980), Purwanto (1983), Zaim (1977) dan 
Satyana (2007) yang menyatakan adanya pengaruh alam 
terhadap kemunduran kerajaan-kerajaan besar yang 
pernah ada di Indonesia pada masa lalu, termasuk Kerajaan
Majapahit. 
Setelah dibukanya hutan Dukuh Tarik oleh Raden 
Wijaya tahun 1292, nama Tarik lalu dirubah manjadi 
Majapahit sebagai wilayah pemukiman baru yang 
kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan baru yaitu 
Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 
1293, pada saat Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja 
Majapahit pertama yang bergelar Raden Kertajasa 
Jayawardhana, 
Yang menarik adalah pemilihan hutan Dukuh Tarik 
sebagai wilayah pemukiman baru, yang tentunya meliputi 
area yang luas sehingga layak sebagai daerah pemukiman. 
Secara morfologi, daerah Tarik merupakan daerah dataran, 
dekat dengan aliran Sungai Brantas yang tidak jauh dari 
muara sungai tersebut, merupakan daerah yang subur dan 
sangat mungkin sebagiannya merupakan daerah rawa￾rawa. Aliran Sungai Brantas yang dekat dengan Dukuh Tarik 
merupakan wilayah yang strategis untuk jalur transportasi 
air, yang sangat vital dalam suatu wilayah pemukiman. 
Disamping itu, Sungai Brantas juga sebagai sumber air yang 
penting untuk pertanian, dan kebutuhan 
masyarakat,sehingga pemilihan membuka hutan Dukuh 
Tarik dan sekitarnya sebagai wilayah pemukiman adalah 
sangat tepat. Wilayah Kerajaan Majapahit yang semula 
hanya di Dukuh Tarik dan sekitarnya, yang sekarang ini 
masuk wilayah Sidoarjo, berkembang dan meluas sampai 
Trowulan-Mojokerto. Pusat pemerintahan Majapahit lalu 
berpindah dari Tarik ke daerah Trowulan yang diyakini 
menjadi pusat Majapahit berdasarkan bukti-bukti arkeologi 
yang ditemukan di Trowulan.
Wilayah Tarik-Trowulan yang datar di dekat sungai 
besar seperti Sungai Brantas, juga rentan terhadap bencana 
alam, seperti bencana banjir. Dari aspek geomorfologi, 
Daerah Tarik-Trowulan dan sekitarnya, terletak pada 
daerah dataran rendah, di bagian utaranya terdapat 
tinggian berupa Pegunungan Kendeng, di selatannya 
terdapat gunung api aktif seperti G. Wilis, dan Komplek 
Kelud (Gn. Kelud–Gn. Anjasmoro–Gn. Welirang) dan yang 
tidak aktif yaitu G. Penanggungan. Oleh sebab itu, secara 
klimatologis, daerah selatan Tarik - Trowulan merupakan 
wilayak pemasok air yang baik 
Lembah luas di antara G. Wilis dan Komplek Kelud 
terdapat aliran Sungai Brantas, yang sumber mata-airnya 
berasal dari lembah di lereng barat G. Anjasmoro, mulanya 
mengalir ke arah selatan lalu membelok ke arah barat 
memutari lereng selatan kaki G. Kelud, lalu membelok 
kearah utara sebagaimana alirannya sekarang ini di dataran 
lembah antara G. Wilis di barat dan Komplek Kelud di timur. 
Pasokan air yang berasal dari curahan hujan maupun 
melalui aliran Sungai Brantas termasuk anak-anak 
sungainya dapat berdampak banjir pada wilayah dataran 
rendahnya, membawa material tanah dan bebatuan yang 
terbawa aliran sungai hasil erosi dari hulu sungai. Selain itu, 
daerah selatan Tarik-Trowulan yang merupakan komplek 
gunung api, juga memberikan pasokan material tanah dan 
batuan hasil erosi serta material piroklastika hasil dari 
kegiatan letusan gunung api tersebut. Di Jawa Timur, 
wilayah Majapahit tidak saja di wilayah dataran Tarik￾Trowulan saja, tetapi meluas ke timur mengikuti rute 
perjalanan Raja Hayam Wuruk yang meliputi wilayah
wilayah di Kabupaten Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo, 
Lumajang, Malang, Jember, Probolinggo , Bondowoso, dan 
Banyuwangi (Rangkuti, 2000). 
Sampurno dan Bandono (1983), Purwanto (1983), 
dan Zaim (1977) menyatakan bahwa material hasil letusan 
gunung api yang berada di selatan Tarik-Trowulan berupa 
lahar dan endapan piroklastika lainnya yang masuk ke 
dalam aliran Sungai Brantas, menyebabkan terjadinya 
banjir di daerah dataran rendah Tarik-Trowulan. serta 
pendangkalan Sungai Brantas. 
Pratomo (1992) mengatakan bahwa telah terjadi 
letusan dahsyat G. Kelud, berdasarkan teks Sansekerta 
Goentoer Pabanjoepinda pada tahun 1334 yang berbunyi: 
“…Bumi mengguncang, uap panas dimuntahkan dari 
gunung api dan banyak abu jatuh, gemuruh guntur, petir 
besar-besar…,muntahan lahar segera tiba kemudian….”. 
Material volkanik hasil letusan tersebut akan dibawa oleh 
berbagai sungai di sekitar tubuh G. Kelud, salah satunya 
Sungai Brantas, yang akan diendapkan pada daerah 
rendahan, termasuk wilayah pusat Kerajaan Majapahit, 
yaitu daerah Tarik-Trowulan. Hal ini sesuai dengan hasil 
penelitian Sutikno (1993) yang menyatakan bahwa dataran 
rendah di utara dari Komplek G. Arjuno dan G. Welirang 
terbentuk dari hasil endapan gunungapi berupa kipas 
alluvial terdiri dari pasir dan lempung, yang menurutnya 
sebagai endapan fluvio-volkanik. Meski peristiwa letusan 
dahsyat G. Kelud terjadi pada tahun 1334, pada periode 
awal Kerajaan Majapahit, namun sepanjang masa 
pemerintahan Majapahit selama 185 tahun (1298-1478) 
tidak mustahil telah terjadi berulang kali letusan gunung api yang berada di sebelah selatan wilayah pemerintahan 
Majapahit yaitu G. Kelud, G. Anjasmoro maupun G. Welirang. 
Satyana (2007) mengaitkan adanya bencana alam 
intrusi gunung lumpur (mud volcano) seperti bencana 
Gunung lumpur LUSI (= Lumpur Sidoarjo) yang sekarang ini 
terjadi di daerah Sidoarjo. Fenomena intrusi gunung 
lumpur ini menurut Satyana (2007) juga pernah terjadi di 
wilayah dan pada periode pemerintahan Majapahit yang 
jejaknya terdapat di dekat Surabaya, karena wilayah ini 
merupakan daerah hasil sedimentasi delta Sungai Brantas. 
Di daerah pengendapan delta, sangat sering terbentuk 
lapisan lumpur di bawah permukaan yang karena proses 
sedimentasinya berjalan cepat maka bersifat over pressure
yang masih seperti bubur lumpur, yang jika ada celah ke 
permukaan tanah maka akan menerobos mengalir keluar 
permukaan tanah membentuk aliran dan genangan 
(gunung) lumpur seperti yang terjadi pada Lumpur LUSI 
sekarang ini yang merupakan bencana alam merusak 
lingkungan yang luas baik wilayah pemukiman maupun 
pertanian. 
Bencana alam seperti banjir, intrusi gunung lumpur, 
pendangkalan Sungai Brantas dan letusan gunungapi dapat 
berdampak pada kondisi Majapahit. Banjir, dan letusan 
gunungapi tentu berdampak pada kerusakan pertanian, 
perkebunan serta aspek ketahanan sosial-ekonomi 
masyarakat. Majapahit yang merupakan sebuah kerajaan 
yang kuat dalam bidang pelayaran maka pendangkalan 
Sungai Brantas sebagai sarana utama transportasi akan 
melemahkan jalur pelayaran untuk rantai-pasok 
perdagangan, hal ini dapat memperlemah ketahanan ekonomi maupun keamanan. 
Semua bencana alam tersebut di atas berdampak 
pada pelemahan kesejahteraan, sosial-ekonomi, psikologi 
masyarakat dan keamanan Majapahit, yang turut memicu 
terjadinya gejolak politik yang menyebabkan lemah dan 
pudarnya Majapahit, dah hal ini dapat menjawab 
pertanyaan: “Adakah Kejayaan Majapahit Pudar karena 
Bencana Alam?” Kerajaan Majapahit atau Wilwatikta didirikan oleh 
Raden Wijaya. Raen Wijaya adalah menantu raja terakhir 
Singosari, Kartanegara. Majapahit didirikan dengan 
menghancurkan kekuasaan Jayakatwang dari Kediri, 
pemberontak Singasari. Kerajaan ini mencapai 
kejayaannya semasa Raja ke-4 yaitu Rajasanagara atau 
Hayam Wuruk dengan patihnya yang bernama Gajah Mada. 
Menurut Negarakertagama; Pararaton; dan Hikayat Raja￾Raja Pasai, pada masa kejayaannya Majapahit menguasai 
hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini. Wilayah 
kerajaan Majapahit tidak hanya di pulau Jawa dan Bali 
namun dari negeri Pasai hingga Banda serta Cebu di 
Philipina. Pengaruh Majapahit tidak hanya di wilayah 
Indonesia tetapi meluas hingga ke kerajaan lain di Asia 
Tenggara seperti Siam, Ayuthaya, Campa, dan Annam. 
Pengaruh Majapahit dengan negara lain bukanlah 
pengaruh seperti layaknya penguasaan suatu negara tetapi 
dalam bentuk persahabatan setara atau mitra satata
(Djafar, 2012:51-52; Nugroho, 2010:128-129).
Kerajaan Majapahit mengalami masa 
keruntuhannya ketika raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah 
Mada meninggal. Permasalahan keluarga menjadi salah 
satu penyebab mulai merosotnya kerajaan ini. Masalah inidiawali dengan Raja Hayam Wuruk tidak memiliki putra 
dari Parameswari, istri sah Raja Hayam Wuruk. Raja Hayam 
Wuruk dengan Parameswari melahirkan anak perempuan 
bernama Kusumawardhani sedangkan dengan salah satu 
selirnya memiliki putra bernama Wirabhumi. Perselisihan 
perwarisan kerajaan membuat Majapahit dibagi menjadi 
dua; Majapahit Barat dikuasai oleh Wikramawardhana, 
suami Kusumawardhani, sedangkan Majapahit 
Timur/Blambangan dikuasai Wirabhumi. Perpecahan ini 
membuat berbagai persengketaan sering terjadi salah 
satunya pada tahun 1404-1406 terjadi perang saudara 
yang dinamakan perang paregreg. Setelah perang paregreg, 
keadaan Majapahit tidaklah sama seperti sebelumnya, 
ekonomi menjadi hancur, kewibawaan dan pengaruhnya 
tidak sama ketika masa-masa jayanya (Muljana, 2013:177-
179). 
 Pada akhir abad ke-15 kekuatan kerajaan Islam 
yang telah muncul di daerah pesisir tidak bisa dibendung 
oleh kerajaan Majapahit yang berada di pedalaman Jawa 
(Djafar, 2012:69). Menurut Serat Kanda runtuhnya 
Majapahit terjadi ketika masa Bhre Kertabhumi atau lebih 
dikenal dengan prabu Brawijaya V. Hal ini 
diperlambangkan dalam bentuk candra sengkala “sirna￾ilang-kertaning-bumi” yang menunjukkan tahun saka 1400 
atau 1478 masehi. Menurut Serat Kanda dan catatan yang 
tersimpan di Klenteng Sam Po Kong Semarang, ketika raja 
Kertabumi berkuasa terdapat kerajaan Islam yang 
berkuasa di pesisir pulau Jawa yang lebih dikenal dengan 
kerajaan Demak. Kekuasaan kerajaan ini membesar seiring 
banyaknya adipati yang tertarik untuk memeluk Islam. Tetapi Prabu Brawijaya dan Adipati Klungkung tidak 
tertarik dengan ajakan untuk memeluk Islam. Seiring 
perkembangan Agama Islam di Jawa, kerajaan ini menjadi 
lebih kuat dan menyerang Majapahit, kekuatan kerajaan 
Demak yang besar membuat pihak Majapahit mundur. 
Merasa terdesak, Prabu Brawijaya beserta pengikutnya 
mengungsi ke Sengguruh (Muljana, 2013:52-54). Wilayah 
ini dirasa belum aman sehingga mereka berpindah ke arah 
timur yang dirasa lebih kondusif. Daerah-daerah yang 
menjadi tempat migrasi pengikut Prabu Brawijaya atau sisa 
penduduk Majapahit itu ialah Pegunungan Tengger, 
Banyuwangi dan Bali (Waluyo, 1997:12). 
Masyarakat Tengger percaya bahwa mereka 
merupakan keturunan masyarakat Majapahit yang 
terdesak ketika masa akhir kerajaan ini (Waluyo, 1997:11; 
Hefner, 1999:14; Warouw et al., 2012:14). Berpindahnya 
masyarakat Majapahit ke arah timur dan pegunungan 
dikarenakan beberapa penduduk masih ingin 
mempertahankan tradisi dan kepercayaan yang dimiliki 
dari desakan kerajaan Islam. Hingga kini masyarakat 
Pegunungan Tengger masih mempertahankan 
kepercayaan Hindu, walaupun pada akhirnya terdapat 
varian-varian yang membedakannya dengan Hindu Bali. 
Varian yang terlihat di antara Tengger dengan Bali ialah 
upacara Kasada yang ditemui pada masyarakat Tengger 
sedangkan masyarakat Bali tidak mengenal adanya 
upacara ini. Terdapat kisah rakyat masyarakat Tengger 
yang menceritakan asal mula masyarakat ini. Masyarakat 
Tengger mempercayai Rara Anteng dan Jaka Seger sebagai 
leluhur mereka. Perpaduan nama kedua tokoh ini dijadikan nama masyarakat ini, Teng dari nama Rara Anteng dan Ger 
dari nama Jaka Seger (Sutarto, 2006:5). 
Asal-usul masyarakat Tengger hingga kini masih 
belum diketahui. Di samping itu terdapat temuan prasasti 
Walandit yang ditemukan di kawasan Penanjakan, 
Wonokitri. Pada prasasti ini menunjukkan angka tahun 
ketika Hayam Wuruk berkuasa (Waluyo, 1997:11). Hal ini 
mengindikasikan bahwa sejak jaman Majapahit berdiri 
kawasan tersebut telah dihuni oleh penduduk. Selain itu 
anggapan asal-usul Tengger yang berasal dari pengungsi 
Majapahit ditentang oleh beberapa peneliti salah satunya 
penelitian somatologis (Sukadana, 1969:73). Menurut 
Glinka dan Koesbardiati (2007) masyarakat Tengger 
memiliki ciri-ciri protomalayid yang besar. Kepercayaan 
masyarakat dan cerita rakyat Tengger berbeda dengan 
penelitan somatologis. 
 Hingga kini asal mula masyarakat Tengger masih 
belum diketahui pasti sehingga perlu adanya penelitian 
lanjutan dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya budaya 
maupun sejarah. Kemajuan teknologi dan perkembangan 
ilmu genetik dapat digunakan untuk pencarian asal-usul 
masyarakat Tengger. Penelitian genetika populasi dapat 
menunjukkan pola migrasi dan kondisi suatu populasi, 
bahkan penelitian genetika dapat digunakan pada populasi 
kuno (Hagelberg, 1994:195). Ilmu genetik dapat dijadikan 
data pelengkap pada penelitian arkeologi dan antropologi. 
Pada penelitian Renatasya (2017) yang membahas tentang 
variasi genetik mtDNA temuan 5 rangka di Trowulan 
menunjukkan bahwa antara KDT I, KDT II, dan KDT V masih 
dalam satu populasi sehingga di antara temuan tersebut terdapat hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan 
ini dapat dilihat dari sekuens haplotipe atau titik mutasi 
mitochondria DNA pada bagian HVS II. Rangka yang 
ditemukan diasumsikan berstatus sosial tinggi 
berdasarkan gambaran lokasi rangka ditemukan dan 
temuan-temuan yang ada. Kelima rangka ini ditemukan di 
sekitar candi Kedaton (Sumur Upas). Data sekuens mtDNA 
temuan rangka Trowulan dapat dijadikan data pembanding 
untuk mengetahui similaritasnya dengan masyarakat 
Tengger. 
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi 
genetik berdasarkan mutasi atau haplotype yang terjadi 
pada HVS II (hypervariable segment II) D-Loop mtDNA dan 
mengetahui similaritas antara variasi haplotype 
masyarakat Tengger dengan temuan rangka Kedaton, 
Trowulan. 
Metode Penelitian 
Penelitian ini berfokus pada deskripsi similaritas 
masyarakat Tengger dengan temuan rangka di Candi 
Kedaton, Trowulan berdasarkan sekuens mitochondrial 
DNA (mtDNA). Analisis mtDNA menggunakan bagian D￾loop daerah HVS (hypervariable segment) II. Bagian HVS II 
dijadikan obyek penelitian dikarenakan bagian ini telah 
diambil sebelumnya pada data sekuens temuan rangka 
Trowulan. Kedua data, baik data pembanding dan yang 
dibandingkan haruslah sama atau setara dalam hal ini 
bagian yang sama itu adalah mtDNA HVS II. Selain itu 
penelitian ini menggunakan metode komparatif untuk 
melihat similaritas masyarakat Tengger dengan temuan rangka Trowulan. 
Penelitian berlokasi di desa Wonokitri, Kecamatan 
Tosari, Kabupaten Pasuruan. Lokasi ini dipilih karena pada 
daerah penanjakan Wonokitri ditemukan adanya prasasti 
Walandit yang dikeluarkan di era Hayam Wuruk untuk 
daerah Walandit yang merupakan wilayah suci. Prasasti ini 
menunjukkan bahwa daerah Wonokitri telah ditempati 
penduduk sejak jaman dahulu. Lokasi ini juga tidak 
dijadikan tujuan wisata utama seperti yang terdapat di 
Desa Ngadisari, karena aksesnya yang curam. Selain itu 
mayoritas kepercayaan yang dianut di desa ini adalah 
Hindu yang merupakan kepercayaan masyarakat Tengger. 
Hal ini didukung data BPS tahun 2017 yang menunjukkan 
bahwa tempat ibadah yang terdapat di desa Wonokitri 
kebanyakan pura sedangkan desa Ngadisari masih 
terdapat 1 langgar. Adanya langgar dimungkinkan 
pengaruh dari sistem kepercayaan luar masuk ke desa 
tersebut. Di samping itu penduduk Tengger pada wilayah 
ini memiliki model perkawinan endogami (Batoro, 
2017:12; Hefner, 1999:271). 
Sampel yang digunakan ialah sel epitel mukosa 
yang terdapat di bagian mulut. Sampel diambil dari 6 orang 
penduduk Tengger yang tinggal di Wonokitri secara tidak 
acak. Sampel berjumlah 6 orang, berdasarkan kondisi 
masyarakat Tengger yang bersifat homogen yaitu 
kebanyakan petani, kepercayaan yang dianut kebanyakan 
Hindu dan kebanyakan bukan pendatang. Selain itu 
masyarakat Tengger memiliki model perkawinan 
endogami. Individu yang dijadikan sampel merupakan 
penduduk asli Tengger sejak tiga generasi dari garis ibu dan tidak memiliki hubungan darah secara maternal. 
Sel epitel mukosa yang telah didapat diperiksa 
bagian mtDNA di laboratorium Institute of Tropical Disease 
(ITD) UNAIR. Hasil sekuens mtDNA yang telah diperiksa 
dianalisis untuk melihat variasi genetiknya. Di samping itu 
digunakan juga data sekuens 5 temuan rangka Trowulan 
untuk melihat similaritas masyarakat Tengger dengan 
temuan rangka Trowulan. Data sekuens ini didapat dari 
penelitian yang telah dilakukan oleh Dr.Phil. Toetik 
Koesbardiati. 
Pemeriksaan mtDNA terdiri dari beberapa tahap 
yaitu tahap pengambilan sampel, isolasi DNA, proses PCR 
dan sekuensing mtDNA (Syukriani, 2012:79). Beberapa 
tahap pemeriksaan mtDNA dilakukan oleh laboran yang 
ada di Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas 
Airlangga. Proses yang dilakukan oleh laboran-laboran ITD 
ialah isolasi DNA, proses PCR dan sekuensing mtDNA, 
sedangkan pengambilan sampel dilakukan oleh peneliti. 
Data hasil pemeriksaan mtDNA laboratorium ITD 
UNAIR dibandingkan dengan data sekuens referensi untuk 
mengetahui varian nukleotida atau titik-titik mutasi 
mtDNA Hypervariable II. Sekuens referensi yang digunakan 
ialah rCRS (revised Cambridge Reference Sequence). 
Sekuens referensi ini merupakan data sekuens lengkap 
manusia yang didapat dari hasil penelitian Anderson et al.
pada tahun 1981. Sekuens referensi rCRS didapat melalui 
Genbank dengan nomor NC_012920. Varian nukleotida 
masyarakat Tengger Wonokitri yang telah terdidentifikasi 
dideskripsikan similaritasnya dengan data sekuens temuan 
rangka Trowulan, sehingga asal-usul masyarakat Tengger yang dianggap berasal dari masyarakat Majapahit akhir 
dapat dibuktikan. 
Hasil 
Sampel yang telah dikumpulkan berasal dari sel 
epitel mukosa masyarakat Tengger yang mendiami 
Wonokitri selama 3 generasi Setiap sampel diberi kode TW 
dan diberi nomor Romawi seperti I, II, III, dst. 
Pemeriksaan PCR yang telah dilakukan pada 
sampel epitel mukosa 6 individu menghasilkan urutan￾urutan nukleotida. Hasil sekuensing ini berupa rangkaian 
basa nitrogen yaitu basa purin (adenin, timin) dan basa 
pirimidin (guanin, citosin). Rangkaian basa nitrogen 
disimbolkan dari huruf depan masing-masing unsur, yaitu 
A untuk adenin, T untuk timin, G untuk guanin dan C untuk 
citosin. Rangkaian basa ini tergambar dalam bentuk 
elektroforegram yang berisi kurva berwarna mewakili 
setiap unsur nukleotida. Unsur Adenin dilambangkan 
dengan garis kurva berwarna hijau, unsur timin 
dilambangkan dengan garis kurva berwarna merah, unsur 
guanin dilambangkan dengan garis kurva berwarna hitam, 
dan unsur citosin dilambangkan dengan garis kurva 
berwarna biru. 
Penentuan haplotipe atau lokasi mutasi 
menggunakan perangkat online yang bernama BLAST atau 
Basic Local Alignment Search Tool. Pada perangkat ini 
terdapat dua jenis nukleotida yang harus dimasukkan 
untuk dianalisis yaitu query dan subject. Query merupakan 
data sekuens pembanding yaitu revisied Cambridge 
Reference Sequences (rCRS), sedangkan subject merupakan
data sekuens epitel mukosa yang didapat. 
Perbandingan dengan rCRS menunjukkan adanya 
perubahan nukleotida pada beberapa lokasi nukleotida. 
Perubahan nukleotida hanya berubah pada tiap-tiap 
nukelotida saja tidak sampai keseluruhan. Menurut 
Apriliyanto dan Sembiring (2016:4) perubahan atau mutasi 
pada tingkatan satu basa nitrogen atau nukleotida disebut 
dengan mutasi titik. Mutasi titik terbagi dua yaitu subsitusi 
dan in-del. Mutasi subsitusi merupakan perubahan basa 
nitrogen menjadi basa nitrogen lain baik sejenis maupun 
berbeda. Mutasi subsitusi terbagi menjadi dua yaitu mutasi 
transisi dan transversi. Mutasi transisi merupakan 
perubahan nukleotida yang sejenis seperti purin dengan 
purin (T-A) dan pirimidin dengan pirimidin (C-G), 
sedangkan tranversi merupakan perubahan nukleotida 
yang berbeda jenis basa nitrogennya seperti purin￾pirimidin (T-G). Mutasi indel merupakan mutasi yang 
terjadi ketika adanya pengurangan nukleotida (delesi) atau 
penambahan nukleotida (insersi). Mutasi ini biasanya 
dilambangkan dalam bentuk “–“ atau gap. 
Analisis Homologi Antar Sampel Tengger dengan 
Temuan Rangka Kedaton, Trowulan 
Titik-titik mutasi pada masing-masing sampel 
menunjukkan adanya kesamaan pada nomor nukleotida 
tertentu. Sampel yang memiliki kesamaan mutasi terdapat 
pada TW I, II, III, V dan VI. Pada tabel 1 Nomor nukleotida 
dengan mutasi terbanyak ada pada nomor 73 dan 87. 
Sampel dengan kesamaan titik mutasi terbanyak 
ada pada sampel TW I dengan TW III, TW II dengan TW IIIdan TW III dengan TW VI yaitu sebanyak 2 mutasi. 
Kesamaan mutasi yang paling sedikit terdapat pada sampel 
TW V yang hanya menunjukkan satu kesamaan mutasi 
dengan sampel TW II dengan III. Pada sampel TW IV tidak 
ditemukan adanya kesamaan mutasi dengan sampel lain.

Perubahan nukleotida atau mutasi pada nomor 
yang sama menggambarkan adanya hubungan kekerabatan 
di antara sampel. Menurut Yudianto dan Masjkur 
(2012:64) individu yang berbeda tetapi memiliki mutasi 
pada nomor nukleotida yang sama menunjukkan adanya
hubungan kekerabatan, semakin banyak kesamaan titik 
mutasi maka semakin kuat hubungan kekerabatannya. 
Berdasarkan kesamaan atau homogenitas mutasi yang 
terjadi, beberapa sampel menunjukkan adanya hubungan 
kekerabatan seperti yang terlihat pada gambar 1. 
Kesamaan mutasi pada sampel TW V 
memperlihatkan adanya hubungan kekerabatan dengan 
sampel TW II dan III, sedangkan TW I memiliki hubungan 
kekerabatan dengan TW III dan TW VI. Namun hubungan 
kekerabatan pada sampel TW V tidak sekuat hubungan 
kekerabatan yang terjadi pada sampel TW III. Sampel TW 
III memperlihatkan memiliki hubungan kekerabatan 
dengan sampel lain kecuali TW IV. Hal ini mengindikasikan 
beberapa memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain 
berdasarkan garis ibu yang sama. Sedangkan sampel TW IV 
memiliki nenek moyang dari garis ibu yang berbeda dengan 
sampel lain.
Hubungan genetik antara temuan rangka Trowulan 
dengan masyarakat Tengger dapat dilihat dengan 
membandingkan titik-titik mutasi pada kedua sampel. Pada 
tabel 2 menunjukkan adanya kesamaan titik mutasi di 
antara kedua sampel. Sampel yang menunjukkan kesamaan 
titik mutasi terdapat pada sampel TW I, TW III dan TW VI 
dengan KDT II. Kesamaan mutasi pada sampel ini dapat 
dilihat pada nomor nukleotida 87 dengan perubahan 
nukleotida adenin menjadi timin. Kesamaan mutasi juga 
ditunjukkan pada nomor nukleotida 111 yang ditunjukkan 
adanya penambahan nukleotida adenin. Mutasi ini terjadi 
pada sampel TW VI dengan KDT V. 
 Pada tabel 2 perbandingan kedua kelompok sampel 
menunjukkan sampel Tengger dengan kode TW VI 
memiliki hubungan genetik yang kuat dengan sampel 
Kedaton. Kesamaan mutasi pada sampel TW VI dengan 
sampel Kedaton terjadi pada nomor nukleotida yang 
berbeda. Selain itu pada sampel Tengger yang lain 
menunjukkan adanya hubungan genetik dengan Kedaton 
walaupun hubungan itu tidak sekuat sampel TW VI. Hal ini 
mengindikasikan adanya hubungan genetik di antara 
sampel Kedaton dengan Tengger berdasarkan mutasi yang 
terjadi.
Hubungan genetik yang terjadi di antara sampel 
Tengger dengan Kedaton merupakan hubungan genetik 
berdasarkan garis ibu. Hal ini terjadi karena mutasi yang 
ada pada sampel adalah mutasi mtDNA. Mitochondria DNA 
memiliki sifat penurunan hanya pada garis ibu atau disebut 
juga maternal inheritance. Sehingga bila dua individu 
memiliki hubungan kekerabatan berdasarkan mtDNA 
maka hubungan kekerabatan itu berasal dari nenek 
moyang perempuan yang sama. 
Beberapa sampel Tengger tidak memiliki hubungan 
genetik dengan sampel Kedaton begitupun juga sebaliknya. 
Namun pada penelitian Renatasya (2017) menunjukkan 
adanya hubungan kekerabatan di antara sampel-sampel 
Kedaton. Selain itu pada sampel Tengger menunjukkan 
terdapat hubungan kekerabatan di antara sampel-sampel. 
Sehingga bila salah satu sampel baik Kedaton maupun 
Tengger yang saling berkerabat memiliki hubungan 
genetik maka dapat mengindikasikan beberapa sampel 
yang tidak memiliki hubungan genetik secara langsung 
dimungkinkan masih memiliki hubungan satu sama lain. Di 
samping itu beberapa sampel yang tidak menunjukkan 
adanya kesamaan mutasi mengindikasikan adanya 
nukleotida yang telah berubah. Hal ini terjadi karena 
mutasi pada mitochondria DNA memiliki laju mutasi yang 
cepat yaitu sekitar 1 mutasi tiap 33 generasi (Syukriani, 
2012:74). 
Pembahasan 
Mutasi yang terlihat pada sampel masyarakat 
Tengger menunjukkan adanya variasi genetik yang beragam walaupun tidak terlalu banyak. Keberagaman 
mutasi ini menunjukkan adanya pencampuran dengan 
populasi lain. Hal ini mengindikasikan masyarakat Tengger 
merupakan masyarakat yang terbuka dengan populasi lain, 
sehingga asal-usul masyarakat Tengger tidak hanya dari 
satu populasi tetapi dari populasi lain juga. Menurut 
Sutarto (2006) terdapat dua kemungkinan asal-usul 
masyarakat yang mendiami kawasan Pegunungan Tengger: 
kemungkinan pertama kawasan ini telah didiami 
penduduk sejak Kerajaan Majapahit berdiri dan memiliki 
corak religi yang sama dengan masyarakat Majapahit di 
waktu itu, sehingga penduduk asli ini membentuk 
masyarakat Tengger; kemungkinan kedua penduduk asli 
kawasan Pegunungan Tengger menerima dengan tangan 
terbuka pengungsi Majapahit yang lari dari pengaruh 
Islam, sehingga terjadi kawin campur antara penduduk asli 
dengan pengungsi Majapahit dan menurunkan masyarakat 
Tengger yang ada hingga saat ini. 
Penduduk asli ini diindikasikan adalah orang-orang 
protomalayid yang telah mendiami Indonesia lebih dahulu. 
Menurut Glinka dan Koesbardiati (2007) secara morfotipe 
wajah dan kepala masyarakat Tengger memiliki ciri 
protomolayid sebesar 90,8% dan ciri deutromalayid 
sebesar 8,9%. Protomalayid hingga kini dapat ditemui di 
wilayah Indonesia Timur dan beberapa pulau kecil di 
Sumatera, sedangkan deutromalayid dapat ditemui di 
Indonesia bagian barat seperti suku Jawa. Bila dilihat dari 
cerita rakyat ataupun legenda masyarakat Tengger, mereka 
memiliki nenek moyang berasal dari Majapahit. Penelitian 
terkait identifikasi afiliasi kelompok rangka Kedaton menunjukkan memiliki kesamaan ciri dengan mongoloid 
(Koesbardiati, 2016:61) 
Penelitian somatologi menunjukkan adanya isolasi 
yang terjadi pada masyarakat Tengger sehingga 
menimbulkan perbedaan ciri-ciri dengan masyarakat di 
sekitarnya. Namun dari perbandingan genetik dengan 
temuan rangka Kedaton menunjukkan adanya similaritas 
di antara keduanya. Maka dimungkinkan pada masyarakat 
Tengger terjadi fenomena gene drift. 
Wilayah Pegunungan Tengger dan masyarakatnya 
tidak bisa terlepas dari masa-masa kerajaan Hindu￾Buddha. Catatan sejarah tentang wilayah Tengger dan 
masyarakatnya sudah ada sejak masa Mpu Sindok, dalam 
prasasti Muncang yang dikeluarkan tahun 944 Masehi 
disebutkan bahwa terdapat tanah perdikan yang 
digunakan untuk pembangunan siddhayoga yaitu tempat 
pemujaan kepada Sang Hyang Swayambhu (yang ada 
dengan sendirinya) atau dewa Brahma di wilayah 
Walandit. Prasasti yang menjelaskan tentang 
penyembahan kepada penguasa kawasan Walandit 
(Bhatara-i-Walandit) juga dijelaskan dalam prasasti Lingga 
sutan yang dikeluarkan pada masa Mpu Sindok (Istari, 
2015). Pada prasasti Penanjakan atau Walandit disebutkan 
bahwa kawasan Walandit merupakan tempat tinggal para 
abdi atau penyembah dewata sehingga kawasan 
disekitarnya merupakan kawasan suci (hila-hila). Kerajaan 
Majapahit saat itu dilarang menarik pajak titileman atau 
pajak untuk upacara kenegaraan kepada masyarakat 
kawasan Walandit. Pajak dibebaskan kepada masyarakat 
Walandit karena mereka diwajibkan melaksanakan persembahan kepada dewa Brahma (dewa api) yang 
bersemayam di Gunung Bromo di bulan Asada (Sutarto, 
2006). 
Prasasti-prasasti yang telah ditemukan 
menunjukkan kawasan Walandit merupakan kawasan suci 
sejak masa Mpu Sindok hingga masa Majapahit. Menurut 
Sutarto (2006) wilayah Walandit terletak di kawasan 
Pegunungan Tengger yang didiami oleh penganut Siwa￾Buddha. Bila ditarik ke masa sekarang Masyarakat Tengger 
saat ini kebanyakan menganut agama Hindu Dharma. 
Namun dengan mempertahankan beberapa upacara￾upacara penghormatan kepada roh nenek moyang. Pada 
upacara kematian masyarakat Tengger tidak mengenal 
adanya ngaben atau kremasi. Keluarga yang telah 
meninggal akan dikuburkan mirip seperti yang dilakukan 
umat Islam. Begitupun juga ketika perayaan setelah 
kematian terdapat upacara entas-entas (nyewu), upacara 
ini dilaksanakan dengan membuat boneka mirip dengan 
leluhur yang meninggal dan selanjutnya disucikan oleh 
dukun dengan cara dibakar. Walaupun mereka telah 
menganut agama Hindu Dharma, masyarakat Tengger 
masih mempertahankan agama asli mereka yang 
menghormati roh nenek moyang. Kepercayaan yang dianut 
oleh masyarakat Tengger saat ini memiliki kemiripan 
dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat ketika 
masa Majapahit. Menurut Stutterheim (1930) dalam Kusen 
et al. (1993:92) agama yang dianut ketika masa kerajaan 
Majapahit adalah agama Siwa, Buddha, dan Karsyan tetapi 
agama-agama ini kebanyakan dianut oleh para raja dan 
bangsawan tetapi kebanyakan masyarakat menganut agama asli Jawa. Agama asli Jawa ketika itu menjadi 
terpengaruh dengan adanya agama Siwa-Buddha. 
Ketika Majapahit mengalami keruntuhannya di 
abad 15 atau 16 keagamaan masa itu mengalami 
perubahan. Agama Asli yang telah ada sebelumnya, 
menjadi sangatlah menonjol. Agama asli yang berkembang 
ketika itu mempercayai adanya roh-roh yang mendiami 
alam semesta. Roh-roh yang dimaksud bisa berupa roh 
nenek moyang, roh baik dan buruk. Namun karena adanya 
pengaruh Hindu roh itu dipersonifikasikan menjadi dewa￾dewa. Selain itu agama asli juga menjadikan gunung 
sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang, 
sehingga gunung menjadi tempat yang didewakan (Kusen 
et al., 1993:97-99). Pada kepercayaan masyarakat Tengger, 
Gunung Bromo menjadi pusat aktivitas mereka dalam 
melaksanakan ibadah dan berbagai kegiatan. Di samping 
itu Gunung Bromo dianggap sebagai tempat dewa Brahma 
dan roh nenek moyang mereka bersemayam. Kepercayaan 
masyarakat Tengger saat ini memperlihatkan kepercayaan 
agama asli ketika masa-masa keruntuhan Majapahit. 
Kawasan Walandit atau Pegunungan Tengger 
diindikasikan merupakan tempat melaksanakan 
wanasrama atau tapawana (kegiatan meninggalkan 
kehidupan duniawi). Tempat pertapaan seperti ini 
biasanya didiami oleh para resi ataupun penduduk yang 
ingin mengasingkan diri. Tempat pertapaan atau mandala
ketika itu biasanya dipimpin oleh seorang siddhapandhita. 
Menurut Soepomo (1977:67-68) aktivitas komunitas kecil 
ini biasanya berada di sekitaran pegunungan dengan pusat 
berada di puncak bukit (tunha nin acala). Wilayah sedikit kebawah dari puncak aktivitas biasanya digunakan oleh 
para pertapa perempuan (ubwan) sedangkan tempat 
tinggal para resi biasanya berada di lembah-lembah (lebak￾lebak) dekat dengan pegunungan ini. Tempat tinggal para 
resi dan keluarganya menyatu menjadi suatu desa kecil 
yang disebut dukuh. Selain itu para masyarakat 
pegunungan ini biasanya mengonsumsi hasil bumi berupa 
tanaman di ladang-ladang kering atau gogo. Penggambaran 
yang dilakukan oleh Soepomo (1977) berdasarkan kitab 
Arjunawijaya memperlihatkan kawasan pertapaan tidak 
hanya berfungsi sebagai tempat pemujaan kepada dewa 
atau kegiatan mengasingkan diri tetapi juga menjadi 
kawasan permukiman kecil. 
Kawasan Tengger berdasarkan prasasti dan 
penggambaran sebagai tempat wanasrama, dulunya sudah 
terdapat banyak penduduk yang hidup layaknya penduduk 
lain di masa Majapahit ketika itu hanya saja mereka 
mengabdikan hidupnya untuk dewata. Ketika Majapahit 
mengalami keruntuhan, sebagian penduduk Majapahit 
yang tidak mampu melanjutkan hingga ke Bali pergi 
menuju Pegunungan Tengger yang dianggap suci. Alasan 
mereka mengungsi ke Pegunungan Tengger disebabkan 
karena kawasan ini memiliki geografis yang mumpuni 
sebagai tempat pertahanan serta pengungsian dan 
dimungkinkan terdapat keluarga dekat maupun jauh yang 
sedang mengasingkan diri

Related Posts:

  • raja majapahit 4 ditempatkan di birokrasi kolonial di Jawa harus dilatih memahami bahasa Jawa. Lembaga ini pada awalnya b… Read More