Rabu, 09 Juli 2025

pelajaran hindu. 3


 aruna mengamati semua 

mahkluk dari tempatnya yang tinggi, dimana matahari diyakini sebagai 

istana-Nya. Beliau digambarkan sebagai laki-laki yang tampan berkulit 

putih mengendarai monster laut yang disebut Makara (Gajahmina) 

berupa binatang laut yang pada bagian depannya berwujud seekor 

kijang, sedangkan bagian belakangnya berwujud seekor ikan. Istri 

Waruna bernama Waruni yang tinggal di istana mutiara. Dewa Waruna 

adalah penguasa hukum alam yang disebut Rta. Nama lain dari Dewa 

Waruna adalah Pracheta (yang bijaksana), Jalapati (raja air), Yadapati 

(raja binatang laut), Ambhuraja (raja air), Pasi (yang membawa jaring). 

Berikut ini adalah mantra yang termuat dalam kitab suci weda untuk 

memuliakan Dewa Waruna;

”Agam su tubhayam varuna svadhavo, hdri stoma upasritas cid astu, 

sam nah kseme sam u yoge no astu, yuyam pata svastibhih sada nah”.

Terjemahannya;

Semoga pujaan ini berkenan pada hatimu. Oh Waruna yang bebas. 

Semoga kami selamat dalam istirahat, selamat dari kerja. Lindungilah 

kami selalu dengan berkahmu.

”Prece tad eno varuna didrksu po emi cikituse viprccham, Samanam in 

me kanvayas cid ahur, ayam ha tubhyam varuno hrnite”.

Terjemahannya;

Kami bertanya tentang dosa itu dengan maksud ingin mengetahuinya. 

Kami mendekati dia yang arif untuk bertanya. Sang Pendeta mengatakan 

satu dan hal yang sejenis kepada kami. Waruna ini marah kepadamu.

74 Kelas XII SMA/SMK 

Pada zaman weda ajaran agama Hindu lebih menonjolkan pembacaan 

ayat-ayat mantra yang tertulis dalam berbagai kitab suci weda. Para 

Dewa dipuja dengan khusyuknya. Pemujaan terhadap para dewa pada 

masa ini ditujukan kehadapan Dewa; Agni, Indra, Rudra dan Waruna. 

Demikianlah sejarah perkembangan agama Hindu pada zaman weda, 

sebagaimana tersurat dan tersirat dalam kitab suci weda.

2. Zaman Brahmana.

Kata Brahmana berarti penjelasan atau ekspresi dari seorang pendeta yang 

cerdas dan bijaksana dalam hal ilmu upacara. Brahmana dapat diartikan 

kumpulan pertanyaan-pertanyaan dan diskusi-diskusi mengenai ilmu 

upacara. Munculnya zaman Brahmana ditandai dengan terbitnya kitab 

Brahmana. Kitab brahmana banyak memuat tentang upacara dan tata cara 

melaksanakan upacara keagamaan. Materi pokok yang dibicarakan dalam 

kitab brahmana adalah tentang upacara yadnya yang meliputi; arti yadnya, 

persyaratan yadnya, dan kekuatan gaib yang ada dalam upacara itu. Pada 

zaman brahmana pelaksanaan upacara yadnya dipandang sebagai sesuatu 

yang amat penting, sehingga kehidupan keagamaan pada waktu itu sangat 

didominasi oleh pelakasanaan upacara. Setiap pelaksanaan upacara 

keagamaan wajib mengikuti aturan-aturan yang telah ada dan setiap 

penyimpangan dari peraturan itu berarti batalnya upacara itu.

Unsur-unsur upacara yang ada dalam 

kitab weda dikembangkan secara luas 

di dalam kitab Brahmana. Bila di zaman 

weda pelaksanaan upacara keagamaan 

memiliki arti untuk memohon 

waranugraha dari para dewata, 

sedangkan pada zaman brahmana para 

dewata dipandang memiliki kedudukan 

yang sangat penting terutama dalam 

sistem upacara. Menurut para ahli, 

menyatakan bahwa kitab-kitab 

brahmana juga berisi mitologi tentang; 

kejadian alam atau kosmologi, legenda-

legenda atau dongeng-dongeng, namun 

tema-temanya tetap utuh mengenai upacara yang merupakan titik awal dari 

setiap diskusi dan pemecahannya.

Adanya kehidupan bermasyarakat yang bersifat ritualistis pada zaman 

brahmana itu, merupakan dasar untuk menuju pada tingkat kehidupan 

spiritual berikutnya yaitu ajaran karma dan jnana. Dengan demikian 


maka pelaksanaan upacara, karma, dan jnana dapat berjalan sebagaimana 

mestinya pada zaman itu. Untuk memudahkan pelaksanaan upacara 

yadnya, maka dibuatlah kitab-kitab penuntun yang disebut Kalpasutra. 

Kitab kalpasutra bersumber pada kitab brahmana, dan dimaksudkan dapat 

dipergunakan sebagai pedoman bagi setiap orang yang telah berumah tangga 

dan bermasyarakat. Menurut isinya, kitab kalpasutra dapat diklasifikasikan 

menjadi empat jenis antara lain:

a. Srautasutra.

Kitab ini memuat tentang penjelasan tata cara persembahyangan 

agnihotra dan tata cara persembahyangan dasa purnamas, yaitu 

persembahyangan yang dilakukan pada hari purnama dan tilem atau 

bulan mati. Selain itu juga ada kitab penuntun upacara-upacara besar 

dalam lingkungan keluarga raja dan negara, misalnya upacara Rajasuya 

dan Aswaweda. Rajasuya adalah upacara penobatan seseorang untuk 

menjadi raja, sedangkan Aswaweda upacara pelepasan kuda yang diikuti 

oleh sepasukan tentara untuk menentukan wilayah suatu kerajaan.

b. Grhyasutra.

Kitab ini memuat tentang pokok-pokok ajaran tata upacara penyucian 

atau sangaskara yang wajib dilakukan oleh mereka yang telah berumah 

tangga, mulai dari upacara garbhasadhana samskara (Upacara bayi 

dalam kandungan) sampai dengan upacara Antyesti samskara (upacara 

kematian). Sesungguhnya kitab Grhyasutra merupakan kitab penuntun 

melaksanakan upacara yadnya yang kanista dalam lingkungan keluarga, 

dan dapat dilakukan setiap hari atau berkala.

Upacara yang dilaksanakan setiap hari seperti; persembahyangan Tri 

Sandhya, mengaturkan canang, mesegeh untuk para mahkluk halus dan 

sebagainya (disesuaikan dengan tempat). Sedangkan upacara yadnya 

dilakukan secara berkala, misalnya upacara ulang otonan, potong 

gigi, perkawinan, piodalan di Merajan, upacara pitra yadnya, dan lain 

sebagainya. 

c. Dharmasastra. 

Kitab ini memuat tentang pokok-pokok ajaran agama Hindu yang 

berhubungan dengan; hukum, adat kebiasaan, hak dan kewajiban, 

sosial-politik, ekonomi, dan upacara agama lainnya dengan penekanan 

pada pelaksanaannya.


d. Sulwasutra.

Kitab ini memuat penjelasan tentang pokok-pokok aturan tata bangunan. 

Disamping itu juga memuat tentang ukuran membuat altar yang ada 

kaitannya dengan kebutuhan upacara sebagaimana termuat dalam kitab 

Srautasutra.

Dari beberapa penjelaskan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa 

perkembangan agama Hindu pada zaman brahmana telah sampai ke India 

bagian tengah, yaitu di dataran tinggi Dekan disekitar lembah sungai 

Yamuna. Ditempat inilah ditulis peraturan-peraturan mengenai tuntunan 

upacara dan tata susila. Dasar penyusunannya adalah berdasarkan pada 

kitab weda, dengan demikian kebenaran isinya tidak perlu diragukan lagi. 

Pelaksanaan upacara yadnya pada zaman Brahmana selalu disertai dengan 

mantra-mantra catur weda sruti yang dirapalkan oleh para pendeta. Pendeta 

yang khusus bertugas merafalkan Rg.Weda disebut dengan nama Hotri, 

untuk Sama Weda disebut dengan Udgatri, untuk Yajur Weda disebut 

dengan Adwaryu, sedangkan pendeta yang merapalkan kitab Atharwa 

Weda disebut dengan nama Brahmana.

Mengingat betapa pentingnya upacara yadnya yang dilakukan pada waktu 

itu, maka rapalan-rapalan mantra weda sruti pun harus menyertai dan 

diucapkan dengan baik dan benar. Oleh sebab itu, ke empat bagian dari 

weda sruti harus dipelajari secara baik oleh para pendeta yang membacanya 

pada waktu upacara berlangsung.

Sedangkan kehidupan masyarakat pada zaman brahmana terbagi menjadi 

empat kelompok yang disebut dengan istilah Catur Asrama yaitu 

(Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta, Samyasin). Keempat system inilah 

yang dipergunakan sebagai penuntun umat untuk mencapai kesempurnaan 

hidup di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya pemikiran yang ada pada 

zaman brahmana merupakan pendahuluan dari pemikiran yang bersifat 

metafisik. Pemikiran semacam ini pada dasarnya sudah ada di zaman weda, 

hanya saja pada zaman Brahmana pemikiran itu diperluas dengan bentuk 

yang abstrak dan sistematis.

Konsep ketuhanan pada zaman brahmana bersifat satu kesatuan dalam arti 

bahwa keberadaan para dewa yang banyak itu pada hakekatnya berasal 

dari dewa yang dipandang sebagai asal mula semua yang ada. Semua yang 

ada di alam semesta ini dipandang sebagai perwujudan dari dewa yang 

satu, yang disebut Brahman atau Prajapati. Beliau adalah maha kuasa, 

adi kodrati, kekal, dan yang dipandang sebagai Tuhan Yang Maha Esa, 

pencipta alam semesta beserta dengan isinya.

                                           

Manusia pada zaman Brahmana dipandang sebagai mahkluk yang paling 

utama di Bumi, yang terdiri dari dua bagian, yaitu ”nama” dan ”rupa”. Yang 

dimaksud dengan ”Nama” adalah unsur-unsur rohani yang menentukan 

proses hidup, terdiri dari; citta, budhi, ahamkara, manas, indriya-indriya, 

dan atman. Diantara semua unsur-unsur rohani ini atman dipandang paling 

menentukan hidup manusia di dunia ini. 

Sedangkan yang dimaksud dengan ”Rupa” adalah bagian yang bersifat fisik, 

yaitu daging, tulang, sumsum, rambut kulit dan sebagainya. Jika seorang 

meninggal dunia, maka unsur-unsur rohani itu meninggalkan unsur-unsur 

fisik, dan kemudian unsur-unsur fisik itu kembali ke asalnya, yaitu alam 

Panca Maha Bhuta. Mengenai hubungan manusia dengan alam semesta 

pada zaman brahmana dinyatakan sebagai sesuatu yang bersifat pararel atau 

sejajar, dengan demikian terjadi hubungan yang harmonis dalam kehidupan 

ini. Dalam kenyataan hidup ini dikemukakan dengan beberapa contoh 

sebagai berikut; wajah disamakan dengan bumi, suara disamakan dengan 

aapi, mata disamakan dengan matahari, telinga disamakan dengan penjuru 

alam, nafas disamakan dengan bulan. Sebagai asas alam disamakan dengan 

angin, dan akal disamakan dengan bulan. Alam semesta dipandang sebagai 

Brahman/Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan yang dipandang sebagai asas 

manusia adalah Atman. Kedua azas yang ada pada zaman Brahmana ini, 

kemudian disatukan pada zaman Upanisad.

Kehidupan alam akhirat pada zaman Brahmana dikatakan ada dua macam, 

yaitu alam nenek moyang atau alam pitara dan alam para dewa yang disebut 

dengan surga. Bagi mereka yang berbuat baik dan melakukan yadnya 

sesuai dengan kitab suci setelah mereka meninggal dunia mencapai surga. 

Sedangkan mereka yang perbuatan baik dan perbuatan buruknya seimbang 

dilahirkan kembali ke dunia ini. Kelahiran kembali ke dunia sebagai 

manusia dipandang sebagai suatu anugrah dari Brahman. Sehubungan 

dengan itu, maka nasib manusia di dunia sangat dipengaruhi oleh karma 

wasana masing-masing. 

Demikianlah ajaran keyakinan mengenai adanya Brahman, atman, karma, 

punarbhawa, dan moksa, sesungguhnya telah ada pada zaman Brahmana 

dan kemudian mendapat penyempurnaan pada zaman berikutnya, yaitu 

pada zaman Upanisad.

3. Zaman Upanisad.

Sejalan berkembangnya zaman, agama Hindu pun terus berkembang 

seiring dengan kemajuan zaman yang dilaluinya. Pada zaman upanisad 

perkembangan agama kita dimulai dari daratan tinggi Dekan di lembah 

7

sungai Yamuna terus meluas sampai ke lembah sungai Gangga yang 

penduduknya bermata pencahariaan sebagai pedagang. Sehubungan 

dengan itu maka kehidupan mereka beragama lebih menekankan pada hal-

hal yang bersifat filosofis dari pada pelaksanaan upacara. Dengan demikian 

munculah diskusi-diskusi keagamaan antara para Maha Rsi sebagai guru 

dengan para siswanya. Dari para siswanya yang selalu aktif mendalami 

agama dengan metode diskusi akhirnya menimbulkan perkembangan 

filsafat Hindu yang lebih menekankan pada aspek jnana. 

Dalam diskusi para siswa duduk dibawah dekat kaki guru kerohanian atau 

para Maha Rsi. Para Maha Rsi memberikan jawaban dari permasalahan 

yang disampaikan oleh para siswanya dengan tetap berpedoman pada 

ajaran kitab suci Weda. Dengan demikian kebenaran yang didapat oleh 

para siswa kerohanian itu tidak perlu diragukan. Cara pendalaman 

ajaran agama dengan berdiskusi seperti itu disebut Upanisad. Periode ini 

dikatakan berkembang ± tahun 800 – 300 SM (Team Penyusun ”Buku 

Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi” Anuman Sakti, 1996). 

Fase perkembangan fisafat Hindu pada masa itu disebut dengan zaman 

Upanisad. Pada masa ini pulalah bermunculan berbagai macam kitab-kitab 

upanisad.

Kitab Upanisad merupakan bagian Jnana kanda dari kitab weda sruti, yang 

isinya bersifat ilmiah, spekulatif, tetapi tetap pada ruang lingkup keagamaan. 

Pada umumnya kitab-kitab upanisad berisi pembahasan tentang hakekat 

Brahman, atman, hubungan Brahman dengan atman, hakikat maya, hakikat 

widya, serta mengenai moksa atau kelepasan. Pandangan yang menonjol 

dalam ajaran upanisad adalah mengajarkan bahwa segala sesuatu yang 

bermacam-macam ini dialirkan dari satu azas, satu realitias tertinggi yang 

tidak dapat dilihat, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat ditangkap oleh akal 

manusia, tetapi melingkupi segala yang ada di alam semesta ini. Itulah 

yang disebut dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Brahman itulah 

yang dipandang sebagai pusat, awal, dan berakhirnya segala sesuatu yang 

ada dan yang mungkin ada, serta bersifat transenden dan imanen. 

Transenden berarti Brahman ada di luar batas alam pikir manusia, 

sedangkan imanen berarti Brahman ada di dalam batas pikir manusia. 

Dalam kitab Brhad Aranyaka Upanisad disebutkan Brahman itu bersifat 

Neti-neti, artinya bukan kasar, bukan pendek, bukan panjang, bukan 

bayangan, bukan kegelapan, bukan hawa, tanpa ukuran, tanpa lahir, tanpa 

bhatin, dan sejenisnya. Dari pernyataan ini dapatlah dikemukakan bahwa 

Brahman bukanlah suatu substansi dan bukan tidak memiliki sifat-sifat.

Brahman memiliki sifat Sat Cit Ananda, yang artinya keberadaan, 

                                           

kesadaran, dan kebahagiaan. Dari ungkapan ini memberikan petunjuk 

kepada kita bahwa Brahman adalah satu-satunya realitas yang bersifat 

mutlak yang meliputi segala yang ada, yang sadar, dan bersifat rohani. 

Dengan demikian Brahman dipandang sebagai sumber alam semesta, 

sumber semua mahkluk, dan penguasa segala yang ada.

Pada zaman Upanisad keberadaan atman disebutkan meliputi segala 

sesuatu yang ada ini. Dan Atman berada dalam lubuk hati manusia. Atman 

yang ada dalam tubuh manusia dilapisi oleh lapisan zat yang disebut Panca 

Maya Kosa. Adapun unsur-unsur dari adalah; 

a. Anamaya kosa = lapisan badan jasmani yang berasal dari makanan.

b. Pranamaya kosa = lapisan badan yang berasal dari prana atau energi.

c. Manomaya kosa = lapisan yang berasal dari alam rasa dan pikiran.

d. Wijnanamaya kosa = lapisan badan yang berasal dari alam kesadaran.

e. Anandamaya kosa = lapisan badan yang berasal dari kesadaran yang 

membahagiakan. 

Semua lapisan itu dapat berubah-ubah, sedangkan atman adalah subyek 

yang tetap ada diantara semua yang berubah-ubah itu. Atman bebas dari 

dosa-dosa, umur, tua, maut, rasa lapar, dahaga, dan kesusahan. Atman 

berada dalam keadaan yang bermacam-macam. Misalnya seperti dalam 

keadaan terjaga atau jagrapada, dalam mimpi atau svapnapada, dalam tidur 

nyenyak atau susuptipada, dalam keadaan turya, yakni atman berada dalam 

kesadaran yang intuitif, dimana tidak ada lagi pengetahuan akan obyek-

obyek baik yang ada diluar maupun yang di dalam. 

Disinilah atman dinyatakan berada dalam alam yang sejati, yang penuh 

dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dalam zaman Upanisad selanjutnya 

dinyatakan bahwa atman itu sesungguhnya adalah Brahman yang dibatasi 

oleh sarana tambahan, berupa tubuh. Orang yang mengetahui atman 

mengetahui pula Brahman yang merupakan inti segala yang ada dan 

yang mesti ada di alam semesta ini. Mengenai ajaran Karma pada zaman 

Upanisad dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang selalu diikuti oleh 

pahala atau akibatnya. Sesungguhnya ajaran karma berakar pada ajaran 

Rta yang ada pada zaman weda. Rta adalah hukum alam semesta. Pada 

zaman brahmana, Rta disamakan artinya dengan yadnya. Setiap upacara 

yadnya yang dilakukan oleh umat pada zaman itu mendapat pahala yang 

baik. Demikian pula sebaliknya, siapa saja yang berani berbuat buruk pasti 

menerima pahala yang buruk juga. Ajaran karma bukan saja berlaku pada 

kehidupan sekarang tetapi juga berlaku pada masa kehidupan yang datang. 

8

Sehubungan dengan itu, maka timbulah ajaran tentang kelahiran kembali 

”punarbhawa”, yang sudah dikenal pada zaman weda dan zaman brahmana.

Ajaran tentang kelahiran kembali atau punarbhawa pada zaman brahmana 

dipandang sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Pada zaman 

Upanisad sudah muncul suatu persoalan dan pertanyaan, seperti; mengapa 

kehidupan seseorang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada orang yang 

dilahirkan sebagai orang yang miskin, ada orang yang dilahirkan sebagai 

orang yang kaya, orang cacat, ada yang cantik, ada yang tampan, namun 

ada pula orang yang dilahirkan sebagai penjahat. Semua permasalah dan 

persoalan itu dalam zaman Upanisad dijelaskan karena ada karma sebagai 

suatu mata rantai kehidupan yang amat panjang. Karma bukan saja 

menguasai kehidupan yang datang, juga kehidupan yang telah lalu serta 

kehidupan pada masa sekarang. Kehidupan pada masa sekarang ditentukan 

oleh kehidupan masa lalu, kehidupan masa sekarang menentukan kehidupan 

masa yang datang.

Demikianlah manusia dilahirkan secara berulang-ulang, dalam ajaran 

Agama Hindu yang disebut Punarbhawa.  Bila seorang meninggal dunia, 

badan halusnya terpisah dengan badan kasarnya, semua karma wesana 

yang ada di badannya melekat pada badan halusnya. Badan halus hidup 

bersama atman yang kemudian menjelma mengambil badan baru. Proses 

punarbhawa ini sangat sulit diketahui oleh orang biasa, kecuali oleh para 

maharsi karena semua itu kehendak dari Brahman itu sendiri. Tujuan hidup 

tertinggi umat Hindu adalah dapat mencapai moksa atau kelepasan yakni 

bersatunya atman dengan Brahman. Pada zaman Upanisad, jalan untuk 

mencapai moksa dapat dilalui dengan jalan berbuat baik, bakti, tapa, brata, 

dan yoga, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kitab-kitab upanisad.

Pemikiran yang ada dalam kitab Upanisad sangat berpengaruh dalam tata 

pikir ajaran agama Hindu yang sangat toleran terhadap berbagai macam 

perbedaan yang ada. Oleh karena itu terjemahan kitab upanisad sebagai 

satu kesatuan pemikiran untuk mendapatkan pandangan dan pegangan yang 

lebih luas dan sempurna tentang weda sangat diperlukan. Secara historis 

dapat diakui bahwa proses perkembangan agama Hindu pada hakekatnya 

dimulai dari penafsiran otentik. Cara-cara itu telah dituliskan dalam kitab 

Upanisad dan dalam kitab-kitab Brahmana. Tanpa memahami dasar-dasar 

pengertian yang ada dalam kitab Upanisad, sulitlah memahami kedalaman 

ajaran agama Hindu secara lebih baik.

Secara tradisi dalam kitab Muktika Upanisad disebutkan jumlah kitab 

Upanisad itu ada seratus delapan (108) buah buku. Dari seratus delapan 

buah buku itu dapat dikelompokan menurut weda sruti, sebagai berikut;

                                           

a. Upanisad yang tergolong kelompok Rg. weda, berjumlah 10 buah buku 

terdiri dari; Aitarya, Kausitaki, Nada-Bindu, Nirwana, Atmaprabodha, 

Mudgala, Aksamalika, Tripura, Sambhagya, dan Bahwrca Upanisad.

b. Upanisad yang tergolong kelompok Samaweda, berjumlah 16 buah 

buku, terdiri dari; Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Maitreyi, 

Wajrasucika, Yogacudamani, Wasudewa, Mahat, Sanyasa, Awyakta, 

Kandika, Sawitri, Rudaksa-Jabala, Darsana, dan Jabali Upanisad.

c. Upanisad yang tergolong kelompok Yajurweda, terdiri dari dua bagian 

besar, yaitu:

1). Upanisad yang tergolong dalam kelompok Yajurweda Hitam, 

berjumlah 32 buah buku antara lain; Kathawali, Taittiriyaka, 

Brahma, Kaiwalya, Swetaswatara, Gharba, Narayana, Amrtabhindu, 

Asartanada, Katagnirudra, Kansikasi, Sarwasara, Sukharahasya, 

Tejobhindu, Dhyanabhindu, Brahmawidya, Yogatattwa, 

Daksinamurti, Skanda, Sariraka, Yogasikha, Ekaksara, Aksi, 

Awadhuta, Katha, Rudrahrdaya, Yogakundalini, Pancabrahma, 

Paramagnihotra, Waraha, Kalisandarana, dan Saraswatirahasya 

Upanisad.

2). Upanisad yang tergolong Yajurweda Putih, terdiri dari 19 buah 

buku yaitu; Isawasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paraahamsa, 

Subaia, Mantraika, Niralamba, Trisihibrahmana, Mandalabrahma, 

Adwanyataraka, Pingalu-bhiksu, Turiyatika, Adhyatma, Tarasara, 

Yajnyawalkya, Satyayani, dan Muktita Upanisad.

d. Upanisad yang tergolong kelompok Atharwaweda, terdiri dari 31 buah 

buku Upanisad, antara lain; Prasna, Munduka, Mandukya, Atharwasira, 

Atharwasikha, Brhadjabala, Narasimhatapini, Naradapariwrajaka, Sita, 

Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya, Parahamsapari, 

Warajaka, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahmana, Tripura 

tapini, Dewi, Bhawana, Brahma, Ganapati, Mahawakya, Gopalatapini, 

Kresna, Hayagriwa, Dattatreya, dan Garuda Upanisad. Di antara 

semua kitab Upanisad itu, menurut Maharsi Sankaracharya ada 11 

kitab Upanisad yang dipandang utama, yaitu: Isa, Kena, Katha, Prasna, 

Mudaka, Mandukya, Taittriya, Aitareya, Candhogya, Brhadaranyaka, 

dan Swetaswatara Upanisad. 

Materi pokok-pokok yang dibicarakan pada kitab-kitab Upanisad secara 

umum adalah mengenai hakekat metafisika tanpa mengadakan penekanan 

pada aspek ritualnya. Demikian pula mengenai tata kemasyarakatan yang 

menyangkut sistem warna hampir tidak dibicarakan. Sehubungan dengan 

8

itu, maka isi pokok Upanisad lebih banyak merupakan ajaran filsafat 

dengan penekanan pada aspek kerohaniaan yang meliputi Brahman, 

Atman, Maya, Widya-Awidya, Etika, Karma, Samsara, dan Moksa. 

Pada zaman Upanisad sistem hidup kerohanian masyarakat tumbuh dan 

berkembang dengan subur, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya 

berbagai macam aliran filsafat keagamaan. Seluruh aliran filsafat itu 

dikelompokkan menjadi 9 yang disebut ”Nawa Darsana” terdiri dari; 

Astika atau Sad Darsana, yang meliputi; Nyaya, Waesiseka, Mimamsa, 

Samkhya, Yoga, dan Wedanta. Sedangkan Nastika, meliputi; Budha, 

Carwaka, dan Jaina.

Demikian uraian singkat sejarah perkembangan agama Hindu di India 

yang dihubungkan dengan adanya zaman weda, brahmana, dan zaman 

upanisad. Pada hakikatnya satu dengan yang lainnya tidak dapat 

dipisahkan, karena semuanya menjadi fondasi dari sejarah perkembangan 

agama Hindu selanjutnya.

Beragama ”meyakini ajaran Tuhan” adalah instingtif bagi manusia, karena 

titik tolak kehidupan manusia dimulai dari suatu kepercayaan. Untuk dapat 

menyelami keagungan Tuhan sebagai jiwa agama kita harus meng-aproach 

agama dengan seluruh kemampuan kita. Bila kita mau memandang agama 

dari sejarah maka dapat kita katakan bahwa agama itu muncul bersamaan 

dengan lahirnya peradaban manusia. India adalah sebuah negara yang 

disebut-sebut sebagai negara yang bangsanya memiliki peradaban sangat 

tinggi. India juga diyakini sebagai pusat pewahyuan ajaran Hindu ”weda” 

sebelum menyebar keseluruh jagat raya ini. Sejarah menuliskan bahwa pada 

awalnya agama Hindu berkembang di India. Berbagai fakta sejarah yang 

ada dapat kita pergunakan sebagai reprensi untuk menyatakan agama Hindu 

adalah agama yang besar. Hindu disebut-sebut sebagai agama yang pernah 

memiliki pengaruh di seluruh dunia. Pengaruh yang besar itu karena kurang 

terkoordinasi maka lama-kelamaan menjadi potongan-potongan kepercayaan 

yang lupa induknya. Walaupun demikian pengaruh Hindu yang luas itu masih 

dapat dirasakan nafasnya sampai sekarang. Hal itu dapat kita ketahui dari 

adanya beberapa bukti peninggalah sejarah dan kepercayaan masyarakat yang 

masih terpelihara sampai saat ini.

Bagaimana Perkembangan agama Hindu di Dunia? Simaklah uraian berikut ini!

                                           

Beberapa bukti peninggalan sejarah dan kepercayaan masyarakat dunia dapat 

kita pergunakan sebagai dasar untuk menyatakan dan mempelajari bahwa 

agama Hindu pernah berkembang di negara-negara lain selain India, adapun 

negara-negara yang dimaksud adalah sebagai berikut;

1. Mesir (Afrika).

Sebuah prasasti dalam bentuk inkripsi yang berhasil digali di Mesir 

berangka tahun 1280 S.M. Isinya memuat tentang perjanjian antara raja 

Ramases II dengan bangsa Hittite. Dalam perjanjian yang dilaksanakan 

oleh Raja Ramases II dengan bangsa Hittite tersebut, Maitravaruna 

sebagai dewa kembar dalam weda telah dinyatakan sebagai saksi (H.R. 

Hall ”Ancient History of the New East”, hal 364). Maitravaruna adalah 

sebutan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam konsep ketuhanan agama 

Hindu. Raja-raja Mesir dijaman purbakala mempergunakan nama-nama 

seperti; Ramesee I, Rameses II, Rameses III dan seterusanya. Tentang 

kata Rameses, mengingatkan kita kepada Rama yang terdapat dalam kitab 

Ramayana. Rama, oleh umat Hindu diyakini sebagai penjelmaan atau 

awatara Vishnu, yaitu manifestasi dari Tuhan sebagai pemelihara. Vishnu-

lah yang menyelamatkan dunia ini dari ancaman keangkara-murkaan.

2. Madagaskar.

Madagaskar adalah sebuah pulau yang terletak agak jauh dari pantai timur 

Afrika selatan. Dinyatakan kebanyakan nama-nama tempat yang ada disana 

mempergunakan kata yang memiliki hubungan dengan sebutan Rama. 

3. Afrika utara.

Mengenai istilah gurun Sahara, para ahli geologi mengemukakan suatu teori 

yang menyatakan bahwa gurun itu adalah sebuah samudra yang mengering. 

Samudra dalam bahasa sanskerta disebut Sagara. Ada kemungkinan bahwa 

kata Sahara yang ada sekarang merupakan salah ucapan dari kata Sagara 

dalam bahasa sanskerta. Dikatakan juga bahwa ketika Sahara masih ada 

di bawah air, masyarakat yang hidup disekelilingnya kebanyakan diantara 

mereka mempergunakan nama-nama yang ada hubungannya dengan bahasa 

sanskerta. Beberapa diantara mereka dinyatakan mempunyai hubungan 

keluarga dengan negeri Kosala (Ensiklopedia Brittannica Jilid XXIII, di 

bawah kata Sahara).

4. Mesiko.

Mesiko terbilang negeri yang sangat jauh dari India. Masyarakat negeri ini 

dikatakan telah terbiasa merayakan sebuah hari raya pesta-ria yang disebut 

dengan hari Rama-Sita. Waktu hari pesta-ria ini memiliki hubungan erat 

84 Kelas XII SMA/SMK 

dengan waktu hari suci Dussara atau Navaratri dalam agama Hindu ”India” 

(T.W.F. Gann ”The Maya Indians of Southerm Yucatan, North and British 

Honduras” halaman 56). Penggalian-penggalian peninggalan bersejarah 

yang dilakukan di negeri Mesiko telah menghasilkan penemuan beberapa 

patung Ganesa (Baron Humbolt dan Harlas Sanda ”Hindu Superiority” 

halaman 151).

Penduduk zaman purbakala yang ada di daerah-daerah ”Mesiko” adalah 

orang-orang Astika yaitu orang-orang yang percaya dengan keberadaan 

weda-weda. Kata Astika adalah sebuah istilah yang sampai saat ini masih 

terdengar oleh kita dipergunakan oleh masyarakat disana, sebagai salah 

ucapan dari kata Aztec.

Festival Rama-Sita yang dirayakan oleh masyarakat Mesiko dapat 

disamakan dengan perayaan hari Dussara atau Navaratri. Penemuan patung 

Ganesa kita hubungkan dengan arca Ganesa sebagai putra Dewa Siwa 

dalam mithologi Hindu. Masyarakat Astika adalah suku bangsa Aztec itu 

sendiri yang kebanyakan diantara mereka memiliki kepercayaan memuja 

Dewa Siwa.

5. Peru.

Disebelah barat-daya Amerika Latin terdapat negeri yang disebut dengan 

Peru. Penduduknya melakukan pemujaan terhadap Dewa Matahari. Hari-

hari raya tahunan masyarakat ini jatuh pada hari-hari Soltis. Masyarakat 

negeri Peru dikenal dengan bangsa Inca. Kata Inca berasal dari kata Ina 

yang berarti matahari (Asiatic Researches, Jilid I halaman 426). 

Soltis jatuh pada tanggal 21 Juni dan 22 Desember, yaitu pada hari-hari 

dimana matahari telah sampai pada titik deklanasinya di sebelah selatan dan 

di sebelah utara untuk kembali lagi pada peredarannya. Sebagaimana biasa 

mulai tanggal 21 Juni matahari ada dititik bumi belahan utara ”Utarayana”, 

waktu yang dipandang baik untuk melaksanakan upacara yang berkaitan 

dengan Dewa Yajna. Sedangkan tanggal 22 Desember matahari berada 

di titik bumi belahan selatan ”Daksinayana” dimana waktu ini dipandang 

baik untuk melaksanakan upacara yang berhubungan dengan Bhuta Yajna. 

Dewa Matahari menurut keyakinan umat Hindu Indonesia ”Bali” menyebut 

Siwa Raditya = Surya = Matahari. Pemujaan kehadapan Dewa Matahari 

”Surya Raditya” terbiasa dilakukan oleh umat Hindu kita, sebagaimana 

juga dilaksanakan oleh bangsa Inca sebagai penduduk negeri Peru.

                                           

6. Kota California.

California adalah sebuah Kota yang terdapat di Amerika. Nama Kota ini 

diperkirakan memiliki hubungan dengan kata Kapila Aranya. Di Kota 

California terdapat Cagar Alam Taman Gunung Abu ”Ash Mountain Park” 

dan sebuah Pulau Kuda ”Horse Island” di Alaska–Amerika Utara.

Kita mengenal kisah dalam kitab Purana tentang keberadaan Raja Sagara 

dan enam puluh ribu (60.000) putra-putranya yang dibakar habis hingga 

menjadi abu oleh Maha Rsi Kapila. Raja Sagara memerintahkan kepada 

putra-putranya untuk menggali bumi menuju ke Patala-loka dalam rangka 

kepergian mereka mencari kuda untuk persembahan. Oleh putra-putra 

Raja Sagara, kuda yang dicari itu diketemukan di lokasi Maha Rsi Kapila 

mengadakan tapabrata. Oleh karena kedatangan mereka ”putra araja 

sagara” mengganggu proses tapabrata beliau, akhirnya Maha Rsi Kapila 

memandang putra-putra raja itu dengan pandangan amarah sampai mereka 

musnah menjadi abu.

Kata Patala-loka memiliki arti negeri dibalik India, yaitu benua Amerika. 

Kata California memiliki kedekatan dengan kata Kapila Aranya. Kondisi 

ini memungkinkan sekali karena secara nyata dapat kita ketahui bahwa di 

Amerika terdapat cagar alam Taman Gunung Abu yang kemungkinan sekali 

berasal dari abunya putra-putra raja Sagara yang berjumlah enampuluh 

ribu dan nama pulau kuda yang diambil dari nama kuda persembahan raja 

sagara.

7. Australia.

Penduduk negeri Kangguru ini memiliki jenis tarian tradisional yang 

disebut dengan ”Siwa Dance” atau ”Tari Siwa”. Siwa Dance adalah 

semacam tarian yang umum berlaku diantara penduduk asli Australia 

(Spencer dan Gillen ”The Native Tribes of Central Australia” halaman 

621. Macmillan, 1899). Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa para penari 

”Siwa Dance” menghiasi dahinya dengan hiasan mata yang ke tiga. Hal ini 

merupakan suatu bukti yang dapat dijadikan sumber memberikan informasi 

kepada kita bahwa penduduk asli negeri Kangguru ”Australia” ini telah 

mengenal atau mendengar dongeng-dongeng weda dan nama-nama Dewa 

dalam kitab suci weda. 

Sejak kapan dan bagaimana ajaran agama Hindu masuk ke Indonesia? 

Carilah artikel yang menguraikan tentang proses masuknya agama Hindu 

ke Indonesia! Selanjutnya diskusikanlah!


8. Agama Hindu di Indonesia.

Di Indonesia, banyak ditemukan berbagai bentuk peninggalan sejarah 

bercorak Hindu. Agama Hindu disebut-sebut sebagai agama yang tertua 

dalam sejarah peradaban manusia. Agama Hindu pertama kali tumbuh dan 

berkembang dengan subur di negara India. Disana agama Hindu berkembang 

pesat. Setelah di India, barulah agama Hindu merambah ke negara-negara 

lainnya. Peninggalan sejarah agama Hindu pun sangat banyak dan beragam 

serta tersebar di berbagai negara. Perkembangan ajaran agama Hindu 

berawal sekitar tahun 1500 sebelum Masehi (SM). 

Ditandai dengan datangnya 

bangsa Yunani. Mereka memasuki 

wilayah Nusantara dengan perahu 

layar. Kelompok ini datang dari 

Kampuchea (Kamboja). Mereka 

mendirikan rumah dan hidup 

secara berkelompok dalam 

masyarakat desa dan menetap di 

Nusantara. Kebudayaan mereka 

sudah cukup maju. Mereka sudah 

mengenal bercocok tanam. Mereka 

juga berdagang dan membuat 

peralatan dari tanah liat serta 

logam. Kepercayaan yang mereka anut adalah animisme dan dinamisme. 

Animisme adalah kepercayaan yang memuja roh nenek moyang atau roh 

halus. Dinamisme adalah pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap 

memiliki kekuatan gaib. Misalnya keris, tombak, batu akik, dan patung. 

Ajaran Hindu masuk ke Indonesia sejak permulaan masehi. Agama Hindu 

dikenal oleh penduduk Indonesia melalui hubungan dagang dengan India. 

Kitab suci agama Hindu yaitu Weda. Ajaran Hindu merupakan ajaran yang 

memuja banyak Dewa. Dewa-Dewa yang dianggap menempati posisi paling 

tinggi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Ketiga Dewa 

itu disebut Trimurti (tiga Dewa yang bersatu). Trimurti diwujudkan dalam 

bentuk patung. Tentang tata kemasyarakatan dalam ajaran agama Hindu 

mengenal adanya varna. Varna adalah susunan kelompok masyarakat Hindu 

sesuai dengan tingkat keahlian atau profesi yang dimiliki oleh individu 

umat bersangkutan, yang terdiri dari varna; brahmana, ksatriya, wesya, dan 

sudra. Siapakah yang menyebarkan pengaruh Hindu ke Indonesia?


Dalam beberapa prasasti yang terdapat di pulau Jawa dan lontar-lontar 

yang terdapat di pulau Bali menjelaskan bahwa ”Maha Rsi Agastya” 

yang menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Menurut data 

peninggalan sejarah yang ada dinyatakan bahwa Maha Rsi Agastya 

menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia melalui Sungai Gangga, 

Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Karena begitu besar jasa-jasa 

beliau dalam penyebaran ajaran Agama Hindu, maka namanya disucikan 

di dalam prasasti ‘Dinaya’. Prasasti ‘Dinaya’ diketemukan di Jawa Timur 

yang ditulis dengan berangka tahun Saka 682 (760 M), menjelaskan bahwa 

seorang raja yang bernama Gaja Yana membuatkan pura suci untuk Rsi 

Agastya, dengan maksud untuk memohon kekuatan suci dari Rsi Agastya 

(Shastri, N.D. Pandit, 1963:21). Prasasti Porong yang ditemukan di Jawa 

Tengah berangka tahun Saka 785 (863 M) juga menyebutkan keagungan 

serta kemuliaan jasa-jasa Maha Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Maha 

Rsi Agastya, maka beliau diberi julukan ‘Agastya Yatra’ artinya perjalanan 

suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya 

untuk Dharma. Oleh karena itu beliau juga diberi julukan ‘Pita Segara’, 

artinya ”Bapak dari Lautan” karena beliau yang mengarungi lautan luas 

demi untuk Dharma.

Diperkirakan pada abad ke-4 Masehi (di Kutai-Kalimantan Timur), agama 

Hindu di Indonesia sudah berkembang dengan subur. Disinyalir agama 

Hindu dibawa dari India ke Indonesia dengan perantara para pedagang. 

Sebelum masuknya agama Hindu, Indonesia masih dalam masa pra-sejarah 

atau masa di mana masih belum mengenal tulisan. Dengan masuknya agama 

Hindu perubahan besar pun terjadi di Indonesia. Zaman prasejarah berganti 

dengan zaman sejarah di mana tulisan mulai diperkenalkan melalui ukiran-

ukiran yang terdapat pada yupa. Kehidupan politik kerajaan-kerajaan 

Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan 

ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga 

Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif. 

Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula 

sistem barter hingga sistem nilai tukar uang. Agama Hindu masuk ke 

Indonesia dinyatakan terjadi pada awal tahun Masehi, hal ini dapat diketahui 

dengan adanya bukti tertulis dari benda-benda purbakala pada abad ke 4 

Masehi yakni diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai 

di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan 

tentang kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: 

88 Kelas XII SMA/SMK 

”Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh 

Raja Mulawarman”. Pada keterangan yang lain menyatakan bahwa Raja 

Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja 

Dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan ”Vaprakeswara”.

Dari berbagai peninggalan yang ditemukan, diketahui bahwa kehidupan 

masyarakat Kutai sudah cukup teratur. Walau tidak secara jelas 

diungkapkan, diperkirakan masyarakat Kutai sudah terbagi dalam beberapa 

penggolongan meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Dari penggunaan 

bahasa Sanskerta dan pemberian hadiah sapi, dapat disimpulkan bahwa 

dalam masyarakat Kutai terdapat golongan brahmana, golongan yang 

sebagaimana juga di India memegang monopoli penyebaran dan upacara 

keagamaan. Di samping golongan brahmana, terdapat pula kaum ksatria. 

Golongan ini terdiri dari kerabat dekat raja. Di luar kedua golongan 

ini, sebagian besar masyarakat Kutai masih menjalankan adat-istiadat 

dan kepercayaan asli mereka. Walaupun Hindu telah menjadi agama 

resmi kerajaan, namun masih terdapat kebebasan bagi masyarakat untuk 

menjalankan kepercayaan aslinya.

Diperkirakan bahwa lahan pertanian, baik di sawah maupun di ladang adalah 

merupakan mata pencarian utama masyarakat Kutai. Melihat letaknya di 

sekitar Sungai Mahakam sebagai jalur transportasi laut, mengantarkan 

perdagangan masyarakat Kutai berjalan cukup ramai. Bagi pedagang luar 

yang ingin berjualan di Kutai, mereka harus memberikan ‘hadiah’ kepada 

raja agar diizinkan berdagang. Pemberian ‘hadiah’ ini biasanya berupa 

barang dagangan yang cukup mahal harganya; dan pemberian ini dianggap 

sebagai upeti atau pajak kepada pihak Kerajaan. Melalui hubungan dagang 

tersebut, baik melalui jalur transportasi sungai-laut maupan transportasi 

darat, berkembanglah hubungan agama dan kebudayaan dengan wilayah-

wilayah sekitarnya. Banyak pendeta yang diundang datang ke Kutai. 

Banyak pula orang Kutai yang berkunjung ke daerah asal para pendeta 

tersebut.

Selanjutnya, agama Hindu berkembang pesat di Indonesia melalui 

kerajaan-kerajaan yang berdiri pada waktu itu, baik di Jawa maupun luar 

Jawa. Kehadiran agama Hindu di Indonesia, menimbulkan pembaharuan 

yang besar, seperti berakhirnya zaman pra-sejarah Indonesia. Perubahan 

dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama dengan memuja Tuhan 

Yang Maha Esa berdasarkan kitab Suci Weda dan juga munculnya kerajaan 

yang mengatur kehidupan suatu wilayah. 

                                           

Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang 

di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, 

yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, 

Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sanskerta dan 

memakai huruf Pallawa. Bersumberkan prasasti-prasasti itu didapatkan 

keterangan yang menyebutkkan bahwa ”Raja Purnawarman dari kerajaan 

Tarumanegara menganut agama Hindu. Beliau adalah raja yang gagah 

berani yang dilukiskan dengan tapak kakinya yang disamakan dengan 

tapak kaki Dewa Wisnu”. Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah 

adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan 

diperkirakan dibuat pada masa kerajaan Tarumanegara. Berdasarkan data 

tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama 

Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang 

Maha Esa.

Kehidupan masyarakat Tarumanegara tak jauh beda dengan Kutai. 

Menurut sebuah prasastinya, kehidupan social masyarakatnya telah 

berkembang baik, terlihat dari penggalian kanal (sungai yang digali) 

Gomati dan Candrabhaga secara gotong-royong. Tenaga kerja yang 

diperintah menggali kanal tersebut biasanya dari golongan budak dan 

kaum sudra. Pembangunan kanal Gomati dan Candrabaga begitu bermakna 

bagi perekonomian Tarumanegara. Selain sebagai sarana pencegah banjir, 

juga dapat dipergunakan sebagai sarana transportasi (lalu lintas) air dan 

perdagangan antara pedagang Tarumanegara dengan pedagang daerah 

lain. Hasil bumi merupakan komoditas utama. Melalui perdagangan, 

masyarakat Tarumanegara dapat memperoleh barang yang tidak dihasilkan 

di kerajaannya. Kehidupan ekonomi Tarumanegara bertumpu pada hasil 

ladang dan kebun. Barang yang ditawarkan adalah beras dan kayu jati. 

Mayoritas rakyat Tarumanegara adalah peladang. Karena masyarakat 

peladang selalu berpindah-pindah tempat. Ini berbeda dengan masyarakat 

petani yang selalu menetap di satu tempat, misalnya seperti di Jawa Tengah 

dan Timur. 

Kehidupan sosial-ekonomi Kendan-Galuh tidak jauh beda dengan 

Tarumanegara. Masyarakatnya berprofesi sebagai peladang. Agama yang 

dianut bangsawan adalah Hindu-Wisnu, sedangkan rakyatnya mayoritas 

menganut animisme dan dinamisme. Sementara itu, sistem transportasi pada 

masa Kendan dan Galuh diperkirakan dilakukan melalui Sungai Cimanuk 

dan pelabuhan tua di pesisir pantai utara, contohnya di sekitar Indramayu 

dan Cirebon. Sementara itu mengenai masalah tenaga kerja, baik pegawai 


istana maupun tentara, biasanya berasal dari golongan bangsawan kerabat 

raja. Mengenai sistem perpajakan biasanya pedagang mengirim hadiah 

berupa benda-benda langka dan mahal. Sedangkan bagi wilayah yang 

berada di bawah kerajaan mereka harus mengirim upeti berupa emas atau 

benda-benda berharga lain, sebagai tanda kesetiaannya terhadap atasan.

Kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Pakwan Pajajaran secara garis 

besar dapat digolongkan ke dalam golongan seniman, peladang (pecocok 

tanam), pedagang. Dari bukti-bukti sejarah diketahui, umumnya masyarakat 

Pajajaran hidup dari hasil perladangan. Seperti masyarakat Tarumanegara 

dan Galuh, mereka umumnya selalu berpindah pindah. Hal ini berpengaruh 

pada bentuk rumah tempat tinggal mereka yang sederhana. Dalam hal tenaga 

kerja, yang menjadi anggota militer diambil dari rakyat jelata dan sebagian 

anak bangsawan. Mereka dibiayai oleh negara. Dalam bidang ekonomi, 

Kerajaan Sunda dan Pajajaran telah lebih maju dari masa Tarumanegara. 

Kerajaan Sunda-Pajajaran memiliki setidaknya enam pelabuhan penting: 

Banten, Pontang, Cigede, Tarumanegara, Sunda Kelapa, dan Cimanuk. 

Setiap pelabuhan ini dikepalai oleh seorang syahbandar yang bertanggung 

jawab kepada raja. Para syahbandar ini bertindak sebagai wakil raja di 

pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya, sekaligus menarik pajak dari 

para pedagang yang ingin berjualan di daerah ini, pajak tersebut berupa 

kiriman upeti berwujud barang dagangan yang mahal atau uang. Dalam hal 

transportasi air, selain melalui laut, dilakukan pula melalui sungai-sungai 

besar seperi Citarum dan Cimanuk, sebagai jalur perairan dalam negeri. 

Melalui pelabuhan ini, Pajajaran melakukan aktivitas perdagangan dengan 

negara lain. Dalam berbagai peninggalan sejarah diketahui, masyarakat 

Pajajaran telah berlayar hingga ke Malaka bahkan ke Kepulauan MalaDeva 

yang kecil di sebelah selatan India. Barang barang dagangan mereka 

umumnya bahan makanan dan lada. Di samping itu, ada jenis bahan 

pakaian yang didatangkan dari Kamboja (India). Sementara mata uang 

yang dipakai sebagai alat tukar adalah mata uang Cina.

Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang 

dibuktikan adanya prasasti Tukmas yang ditemukan di lereng gunung 

Merbabu. Prasasti ini berbahasa sanskerta memakai huruf Pallawa dan 

bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Dalam prasasti inilah 

dituliskan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak 

dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi. 

Keyakinan memuja Tri Murti juga disebutkan dalam prasasti Canggal, 

yang berbahasa sanskerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal 

dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan 

                                           

Candra Sengkala berbunyi: ”Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang 

pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai 

Tri Murti. Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran 

tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan 

yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, 

merupakan bukti bahwa adanya perkembangan Agama Hindu yang sangat 

pesat terjadi di Jawa Tengah.

Sumber-sumber berita Cina mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram 

dari abad ke-7 sampai ke-10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun 

luar negeri berlangsung ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-

barang keramik dari Vietnam dan Cina. Kenyataan ini dikuatkan lagi 

dengan berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah 

kerajaan dari Jawa, dalam hal ini Mataram. Dari Prasasti Warudu Kidul 

diperoleh informasi adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di 

Mataram. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk 

pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih 

mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu 

adalah para saudagar dari luar negeri. Namun, sumber sumber lokal tidak 

memperinci lebih lanjut tentang orang-orang asing ini. Kemungkinan besar 

mereka adalah kaum migran dari Cina.

Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota kerajaan terdapat istana raja 

yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, 

berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di 

dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi 

kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam 

perkampungan khusus di mana para hamba dan budak yang dipekerjakan 

di istana juga tinggal sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus 

ini sampai sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. 

Di luar tembok kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar. 

Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris karena pusat 

Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan 

sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di samping itu, penduduk 

di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, 

ayam, babi, dan itik. Sebagai tenaga kerja, mereka juga berdagang dan 

menjadi pengrajin. Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi 

tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap 

hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender 

Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari 

Manis atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking 


(Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar 

diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa 

sebelah utara.

Pada hari pasaran ini, desa-desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai 

didatangi pembeli dan penjual dari desa-desa lain. Mereka datang dengan 

berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa 

barang dagangannya seperti beras, buah-buahan, dan ternak untuk dibarter 

dengan kebutuhan yang lain. Selain pertanian, industri rumah tangga 

juga sudah berkembang. Beberapa hasil industri ini antara lain anyaman 

seperti keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, 

gula kelapa, arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat 

diperoleh di pasar-pasar yang ada. Sementara itu, bila seseorang berjasa 

(biasanya pejabat militer atau kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang 

bersangkutan akan diberi hak memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya 

tempat itu adalah hutan yang kemudian dibuka menjadi pemukiman baru. 

Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi penguasa tempat yang 

baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepala desa), 

senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan 

kepada kaum brahmana untuk dijadikan asrama sebagai tempat tinggal 

mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau wihara.

Setelah di Jawa Tengah, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, hal 

ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat 

Kota Malang. Prasasti ‘Dinaya’ berbahasa sanskerta dan ditulis memakai 

huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang 

diadakan oleh Raja Dewa Simha pada tahun 760 Masehi yang dilaksanakan 

oleh para ahli Weda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk 

negeri. Dewa Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi 

Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai 

peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 muncullah Empu Sendok dari dinasti 

Isana Wamsa dan bergelar Sri IsanottunggaDeva, yang artinya raja yang 

sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Sebagai pengganti 

Empu Sendok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga 

(yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga 

adalah penganut Hindu yang setia. Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa 

Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengembang 

agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, 

misalnya Kitab Smaradahana, Bharatayudha, Lubdhaka, Wrtasancaya dan 

kitab Kresnayana.

                                           

Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada zaman 

kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi 

Singosari sebagai peninggalan keHinduan pada zaman kerajaan Singosari. 

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan 

Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan 

masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan 

Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, 

yaitu bangunan suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga 

munculnya buku Negarakertagama.

Di Jawa Timur berkembang aliran Tantrayana seperti yang dilakukan 

Kertanegara dari Singasari yang dipandang merupakan penjelmaaan Siwa. 

Kepercayaan terhadap roh leluhur masih terwujud dalam upacara kematian 

dengan mengadakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 

2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak hal-hal yang dilakukan oleh 

masyarakat Jawa.

Menurut berita Cina, Kediri terkenal dengan kehidupan masyarakatnya 

yang damai, masyarakat Kediri hidup berkecukupan. Penduduk wanitanya 

memakai kain sarung sampai bawah lutut dan rambutnya terurai. Rumah 

mereka bersih dan rapi, lantainya dari ubin berwarna hijau dan kuning. 

Dalam upacara perkawinan mereka memakai maskawin dari emas dan 

perak. Masyarakatnya sering mengadakan pesta air (sungai atau laut) 

maupun pesta gunung sebagai ungkapan terima kasih kepada para Dewa 

dan leluhur mereka. Kehidupan perekonomian Kediri berpusat pada 

bidang pertanian dan perdagangan. Hasil pertanian masyarakat Kediri 

umumnya beras. Sementara barang-barang yang diperdagangkan antara 

lain emas, kayu cendana, dan pinang. Walaupun terletak di pedalaman, 

jalur perdagangan dan pelayaran maju pesat melalui Sungai Brantas yang 

dapat dilayari sampai ke pedalaman wilayah Kediri dan bermuara di Laut 

Selatan (Samudra Indonesia). Masyarakat Kediri juga sudah mempunyai 

kesadaran tinggi dalam membayar pajak. Mereka membayar pajak dalam 

bentuk natura yang diambil dari sebagian hasil bumi mereka.

Sementara itu, kehidupan sosial Singasari dapat diketahui dari 

Negarakretagama dan Pararaton serta kronik Cina. Disebutkan, masyarakat 

Singasari terbagi dalam kelas atas, yaitu keluarga raja dan kaum bangsawan, 

dan kelas bawah yang terdiri dari rakyat umum. Selain itu, ada kelompok 

agama, pendeta Hindu maupun Buddha. Namun pembagian atas golongan 

ini tidak seketat pengkastaan seperti di India. Ini membuktikan, sekali lagi, 

kearifan lokal yang dimiliki masyarakat pribumi. Dari Negarakretagama 

dan Pararaton diperoleh gambaran tentang kehidupan perekonomian di Jawa 

9

pada masa Singasari. Di desa pada umumnya penduduk hidup dari bertani, 

berdagang, dan kerajinan tangan. Tidak sedikit pula yang bekerja sebagai 

buruh atau pelayanan. Kegiatan berdagang dilakukan dalam 5 (Lima) hari 

pasaran pada tempat yang berbeda (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). 

Oleh karena itu, sarana transportasi darat memegang peranan penting. 

Beberapa prasasti melukiskan bagaimana para pedagang, pengrajin, dan 

petani membawa barang dagangannya. Mereka digambarkan melakukan 

perjalanan sambil memikul barang dagangannya atau mengendarai 

pedati-kuda. Ada pula yang melakukan perjalanan melalui sungai dengan 

menggunakan perahu.

Dengan disebutnya alat angkut pedati dan perahu, dapatlah disimpulkan 

bahwa perdagangan antar desa cukup ramai. Apalagi di wilayah Singasari 

terdapat dua sungai besar, Bengawan Solo dan Kali Brantas yang 

dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian dan lalu lintas perdagangan 

air. Perdagangan mulai mendapatkan perhatian cukup besar semasa 

Kertanegara memerintah. Kertanegara mengirimkan ekspedisi militer ke 

Melayu (Pamalayu) untuk merebut kendali perdagangan di sekitar Selat 

Malaka. Pada masa ini memang Selat Malaka merupakan jalur sutera yang 

dilalui oleh para pedagang asing.

Dalam hal kepemilikan tanah, transportasi, perpajakan, dan tenaga kerja; 

kehidupan rakyat Medang Kamulan menyerupai Mataram, karena Medang 

Kamulan tak lain adalah kelanjutan Mataram. Yang berbeda adalah hanya 

nama dinastinya dan perpindahan wilayah kekuasaan dari barat ke timur. 

Masa pemerintahan Empu Sendok yang bergelar Sri Isana Tunggawijaya, 

merupakan masa yang damai. Namun, sejak pemerintahan Dharmawangsa 

Teguh, politik Kerajaan cenderung mengarah ke luar negeri. Tujuannya 

adalah untuk merebut dominasi perdagangan di perairan Jawa, Sumatera, 

dan Kalimantan, yang ketika itu dikuasai Sriwijaya. Untuk keperluan 

itu, Dharmawangsa Teguh membangun armada militer yang tangguh. 

Dengan kekuatan militernya, Medang Kamulan menaklukkan Bali, lalu 

mendirikan semacam koloni di Kalimantan Barat. Medang Kamulan 

kemudian menyerang Sriwijaya, walaupun tidak menang. Dharmawangsa 

pun mengembangkan pelabuhan Hujung Galuh di selatan Surabaya 

dan Kembang Putih (Tuban) sebagai tempat para pedagang bertemu. 

Ketika Airlangga berkuasa, kerajaan menjaga hubungan damai dengan 

kerajaan-kerajaan tetangga demi kesejahteraan rakyat. Ini diperlihatkan 

dengan mengadakan perjanjian damai dengan Sriwijaya. Kerajaan pun 

memperlakukan umat Hindu dan Buddha sederajat.

                                           

Dari peninggalan sejarah diketahui bahwa masyarakat Majapahit relatif 

hidup rukun, aman, dan tenteram. Majapahit menjalin hubungan baik 

dan bersahabat dengan Negara tetangga, di antaranya dengan Syangka 

(Muangthai), Dharma Negara, Kalingga (Raja Putera), Singhanagari 

(Singapura), Campa dan Annam (Vietnam), serta Kamboja. Negara-

negara sahabat ini disebut dengan Mitreka Satata. Disebutkan bahwa pada 

masa Hayam Wuruk, penganut agama Hindu Siwa dan Buddha dapat 

bekerjasama. Hal ini diungkapkan oleh Empu Tantular dalam Sutasoma 

atau Purusadashanta yang berbunyi ”bhinneka tunggal ika tan hana 

dharma mangrawa” yang artinya: ”di antara pusparagam agama adalah 

kesatuan pada agama yang mendua.” Rakyat Majapahit terbagi dalam 

kelompok masyarakat berdasarkan pekerjaan. Pada umumnya, rakyat 

Majapahit adalah petani, sisanya pedagang dan pengrajin. Selain pertanian, 

Majapahit juga mengembangkan perdagangan dan pelayaran. Hal ini dapat 

simpulkan dari wilayah kekuasaan Majapahit yang meliputi Nusantara 

bahkan Asia Tenggara. Barang utama yang diperdagangkan antara lain 

rempah-rempah, beras, gading, timah, besi, intan, dan kayu cendana. 

Sejumlah pelabuhan terpenting pada masa itu adalah Hujung Galuh, 

Tuban, dan Gresik. Majapahit memegang dua peranan penting dalam dunia 

perdagangan. Pertama, Majapahit adalah sebagai kerajaan produsen yang 

menghasilkan barang-barang yang laku di pasaran. Hal ini bisa dilihat 

dari wilayah Majapahit yang demikian luas dan meliputi daerah-daerah 

yang subur. Kedua, peranan Majapahit adalah sebagai perantara dalam 

membawa hasil bumi dari daerah satu ke daerah yang lain. Perkembangan 

perdagangan Majapahit didukung pula oleh hubungan baik yang dibangun 

penguasa Majapahit dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Barang-barang 

dari luar negeri dapat dipasarkan di pelabuhan-pelabuhan Majapahit. Dan 

sebaliknya, barang-barang Majapahit dapat diperdagangkan di negara-

negara tetangga. Hubungan sedemikian tentu sangat menguntungkan 

perekonomian Majapahit. Dalam hal kepemilikan tanah di Majapahit 

memiliki kesamaan dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan sebelumnya. 

Begitu pula mengenai perpajakan dan tenaga kerja. Para petani selalu 

bergotong royong dalam hal bercocok tanam dan mengairi sawahnya.

Selanjutnya agama Hindu berkembang di Bali. Kedatangan agama Hindu 

di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini dibuktikan dengan adanya 

prasasti-prasasti, Arca Siwa yang bertipe sama dengan Arca Siwa di 

Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8. Menurut uraian lontar-

lontar di Bali, bahwa Empu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di 

Bali. Pengaruh Empu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte 

yang hidup pada zaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan 

9

melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah 

Kemulan sebagaimana termuat dalam Usana Dewa. Mulai abad inilah 

dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. 

Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan 

Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke 

Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam 

teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, 

kehidupan agama Hindu mencapai zaman keemasan dengan datangnya 

Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau 

sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang 

bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem 

Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali 

pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. 

Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita 

Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, 

Surya kanta tahun1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durgha 

Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Pinandita tahun 

1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha 

Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 

1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 

November tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma 

Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam 

Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. 

Pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali 

dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali yang 

selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Perkembangan 

dan kemajuan selanjutnya tentu terjadi, seirama dengan perkembangan 

atau kemajuan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dunia 

pada umumnya.

Uji Kompetensi:

1. Setelah anda membaca teks kebudayaan prasejarah dan sejarah 

agama Hindu, apakah yang anda ketahui tentang agama Hindu? 

Jelaskan dan tuliskanlah!

                                           

B. Teori-Teori Masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Perenungan.

”Prajàpate na tvad etàny anyo

viúvà jàtàni pari tà babhùva,

yatkàmàs te juhumas tan no astu

vayam syàma patayo rayinàm.

Terjemahan:

‘Om Hyang Prajapati, pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha 

kuasa, mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita-

cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada 

kami’ (Ã…gveda X.121.10).

2. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan materi penerapan 

kebudayaan prasejarah dan sejarah agama Hindu, guna 

mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, dari 

berbagai sumber media pendidikan dan sosial yang anda ketahui! 

Tuliskan dan laksanakanlah sesuai dengan petunjuk dari bapak/

ibu guru yang mengajar di kelasmu!

3. Apakah yang anda ketahui tentang kebudayaan prasejarah dan 

sejarah agama Hindu? Jelaskanlah!

4. Bagaimana cara kita untuk mengendalikan diri baik itu dari unsur 

jasmani maupun rohani menurut petunjuk kitab suci yang pernah 

anda baca? Jelaskan dan tuliskanlah pengalamannya!

5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha 

dan upaya untuk mewujudkan kebudayaan prasejarah dan sejarah 

agama Hindu”? Tuliskanlah pengalaman anda!

6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan penerapan 

kebudayaan prasejarah dan sejarah agama Hindu guna mewujudkan 

tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, buatlah catatan 

seperlunya dan diskusikanlah dengan orang tuanya! Apakah yang 

terjadi? Buatlah narasinya 1–3 halaman diketik dengan huruf  

Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kwarto; 4-3-

3-4!

9

Dari lembah Sungai Sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh 

pelosok dunia, seperti ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang 

dan akhirnya sampai ke Indonesia. Di Indonesia banyak ditemukan berbagai 

bentuk peninggalan sejarah bercorak ke-‘Hindu’-an. 

Kehadiran budaya Hindu di Indonesia menyebabkan terjadinya akulturasi dan 

perubahan tatanan sosial sistem religius dari bangsa Indonesia. Akulturasi 

merupakan perpaduan beberapa budaya, dimana unsur-unsur kebudayaan itu 

menyatu dan hidup berdampingan saling mengisi serta tidak menghilangkan 

unsur-unsur asli dari kebudayaan aslinya. Kebudayaan Hindu masuk ke 

Indonesia diterima dengan tidak begitu saja melainkan dengan melalui proses 

pengolahan dan penyesuaian kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa 

menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena;

1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup 

tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah 

perbendaharaan kebudayaan aslinya.

2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau lokal genius 

merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur 

kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan 

kepribadian bangsanya.

3. Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang 

telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu melahirkan akulturasi 

yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan 

hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing ”India” sesuai dengan 

kebudayaan Indonesia.

Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia, terjadi perubahan dalam tatanan 

sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dengan dikenalnya pembagian 

masyarakat atas Varna ”profesi” atau yang lebih dikenal dengan sebutan 

wangsa. Perubahan yang terjadi tidak begitu berpengaruh besar terhadap 

ekonomi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat 

Indonesia telah mengenal sistem pelayaran dan perdagangan tersendiri jauh 

sebelum masuknya pengaruh tersebut. Sebelum masuknya pengaruh Hindu di 

Indonesia, sistem pemerintahan dipimpin oleh kepala suku yang dipilih karena 

Kita semua patut bersyukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena 

atas kehadiran agama Hindu bangsa Indonesia mengenal sejarahnya. 

Bagaimana ajaran agama Hindu masuk ke Indonesia? Diskusikanlah, 

sesuai dengan petunjuk Bapak/Ibu Guru yang mengajar di kelas-mu!

                                           

yang bersangkutan dipandang memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan 

anggota masyarakat/kelompok lainnya. Setelah pengaruh Hindu masuk maka 

berdirilah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara 

turun-temurun. Raja dianggap sebagai keturuanan dari Dewa yang memiliki 

kekuatan, dihormati, dan dipuja, sehingga memperkuat kedudukannya untuk 

memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun serta meninggalkan sistem 

pemerintahan kepala suku.

Agama Hindu dinyatakan masuk ke Indonesia 

pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui 

dengan adanya bukti tertulis dari benda-benda 

purbakala pada zaman abad ke 4 Masehi dengan 

diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan 

kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh 

buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai 

kehidupan keagamaan pada waktu itu yang 

menyatakan bahwa: Yupa itu didirikan untuk 

memperingati dan melaksanakan yajña oleh Raja 

Mulawarman”. Sang Mulawarman adalah raja 

yang berperadaban tinggi, kuat, dan berkuasa 

merupakan putra dari Sang Aúwawarman, dan 

sebagai cucu dari Sang Maharaja Kundungga. 

Keterangan yang lain menyebutkan bahwa Raja 

Mulawarman melakukan yajña (Kenduri) pada 

suatu tempat suci untuk memuja Dewa Siwa. 

Tempat itu disebut dengan ”Vaprakeswara”.

Kehadiran agama Hindu di Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang 

besar, seperti berakhirnya zaman prasejarah Indonesia. Perubahan dari religi 

kuno ke dalam kehidupan beragama dengan memuja Tuhan Yang Maha Esa 

berdasarkan kitab Suci Weda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur 

kehidupan suatu wilayah. Mengenai masuknya agama Hindu ke Indonesia, 

ada beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut. Teori-teori yang dimaksud 

antara lain: 


1. Teori Brahmana; 

Dikemukakan oleh J.C. Van Leur, 

berisi bahwa kebudayaan Hindu 

dibawa oleh para brahmana yang 

diundang oleh para kepala suku 

agar mereka dapat mensahkan/

melegitimasi (investitur) kekuasaan 

mereka sebagai kepala suku di 

Indonesia sehingga setaraf dengan 

raja-raja di India. Teori ini pun dapat 

disanggah karena raja di Indonesia 

akan sangat sulit mempelajari kitab 

Weda dan ada pula aturan bahwa 

kaum Brahmana tidak diperbolehkan 

menyebrangi lautan, apalagi 

meninggalkan tanah kelahirannya

2. Teori Ksatriya; 

Dikemukakan oleh F.D.K Bosch dan C.C. Berg, 

berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh kaum kasta 

Ksatria (raja, pangeran) yang melarikan diri ke 

Indonesia karena kalah perang/ kekacauan politik 

di India. Di Indonesia sendiri, mereka mendirikan 

kerajaan sendiri dengan bantuan masyarakat sekitar 

dan karena kedudukannya sebagai raja, maka 

penduduk pun akan pula menganut agama Hindu.

Teori ini pun juga memiliki kelemahan yaitu; 

a. Kalangan ksatria tidak mengerti agama dan 

hanya mengurusi pemerintahan.

b. Adanya ketidak-mungkinan seorang pelarian mendapat kepercayaan 

dan kedudukan mulia sebagai raja.

c. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa raja di Indonesia adalah raja asli 

Indonesia, bukan orang India.


3. Teori Wesya; 

Dikemukakan oleh N. J. Kroom, 

berisi bahwa agama Hindu dibawa 

oleh para pedagang India yang 

singgah dan menetap di Indonesia 

ataupun bahkan menikah dengan 

wanita Indonesia. Merekalah yang 

mengajarkan kepada masyarakat 

dimana mereka singgah. Teori ini 

pun dapat dibantah dimana hanyalah 

Varna Brahmana yang mampu dan 

bebas mengetahui isi dari kitab suci 

agama Hindu, Weda. Ini disebabkan 

bahasa yang dipakai adalah bahasa 

kitab, Sanskerta, bukan bahasa sehari-

hari, Pali

4. Teori Sudra;

Dikemukakan oleh Van Faber berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh 

para orang buangan berkasta Sudra (tawanan perang) yang dibuang dari 

India ke Nusantara. Teori ini lemah karena pada dasarnya kebudayaan 

Hindu bukanlah milik dan cakupan varna mereka sebab kebudayaan Hindu 

dianggap terlalu tinggi untuk mereka

5. Teori Arus Balik

Teori ini berisi dua cara bagaimana Agama 

Hindu masuk ke Indonesia, antara lain;

a. Para Brahmana diundang kepala suku di 

Indonesia untuk memberikan ajaran Hindu 

dan juga melakukan upacara Vratyastoma, 

yaitu upacara khusus untuk meng-Hindu-

kan seseorang. 

b. Para raja di Indonesia pergi ke India 

untuk mempelajari agama Hindu. Setelah 

menguasai agama Hindu, mereka kembali 

ke Indonesia, memiliki kasta Brahmana, 

lalu mengajarkan agama Hindu kepada 

masyarakatnya.


c. Dari seluruh teori yang telah disebutkan di atas, teori Brahmana adalah 

teori yang paling dapat diterima karena yaitu.

d. Agama Hindu dalam kehidupan di masyarakat segala upacara 

keagamaan cenderung dimonopoli oleh kaum Brahmana sehingga 

hanyalah Brahmana yang mungkin menyebarkan agama Hindu.

e. Prasasti yang ditemukan di Indonesia berbahasa Sanskerta yang 

merupakan bahasa kitab suci dan upacara keagamaan, bukan bahasa 

sehari-hari sehingga hanya dimengerti oleh Kaum Brahmana.

Diantara pendapat dan teori yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di 

atas yang paling mendukung terkait dengan masuk dan diterimanya pengaruh 

Hindu oleh bangsa Indonesia adalah teori Brahmana. Hal ini dilandasi dengan 

asumsi dan pemikiran bahwa, yang paling banyak tahu tentang urusan agama 

adalah golongan ”warna” brahmana. Warna brahmana dalam tata kehidupan 

masyarakat Hindu disebut-sebut sebagai kelompok masyarakat yang ahli 

agama.

Sedangkan teori-teori yang lainnya masing-masing memiliki kelemahan 

tertentu dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang dituju serta 

sifat-sifat Hindu itu sendiri. Demikianlah beberapa teori yang dikemukan oleh 

para ahli tentang bagaimana pengaruh Hindu masuk ke Indonesia pada 

zamannya.

Uji Kompetensi:

1. Setelah anda membaca tentang teks teori-teori masuknya agama 

Hindu ke Indonesia, apakah yang sudah anda ketahui terkait 

dengan keberadaan agama Hindu di tanah air? Jelaskan dan 

tuliskanlah!

2. Buatlah ringkasan materi yang berhubungan dengan penerapan 

teori-teori masuknya agama Hindu ke Indonesia, guna 

mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, dari 

berbagai sumber media pendidikan dan sosial yang anda ketahui! 

Tuliskan dan laksanakanlah sesuai dengan petunjuk dari bapak/

ibu guru yang mengajar di kelasmu!

                                           

C. Bukti-Bukti Monumental Peninggalan Prasejarah 

dan Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Dunia

Perenungan.

”Etadàkhyànamàyuûyaý

paþhan ràmàyaóaý naraá,

saputrapautraá sagaóaá

pretya svage mahiyate.

Terjemahan:

‘Seseorang yang membaca cerita Ràmàyaóa ini akan memperoleh umur 

panjang dan setelah meninggal akan memperoleh kebahagiaan di sorga 

bersama putra-putranya, cucu-cucunya, dan pengikutnya (Úrimadvàlmikiya 

Ràmàyaóa I.1).

Zaman Prasejarah tidak meninggalkan bukti-bukti berupa tulisan. Zaman 

prasejarah hanya meninggalkan benda-benda atau alat-alat hasil kebudayaan 

manusia. Peninggalan seperti itu disebut dengan artefak. Artefak dari zaman 

prasejarah terbuat dari batu (zaman batu atau teknologi zaman batu) tanah liat 

dan perunggu. Berikut ini peninggalan zaman prasejarah di Indonesia;

3. Apakah yang anda ketahui tentang teori-teori masuknya agama 

Hindu ke Indonesia? Jelaskanlah!

4. Bagaimana cara-mu untuk mengetahui teori-teori masuknya agama 

Hindu ke Indonesia? Jelaskan dan tuliskanlah pengalamannya!

5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari 

mengetahui teori-teori masuknya agama Hindu ke Indonesia? 

Tuliskanlah pengalaman anda!

6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan teori-teori 

masuknya agama Hindu ke sekitar wilayah lingkungan-mu, 

buatlah catatan seperlunya dan diskusikanlah dengan orang 

tuanya! Apakah yang terjadi? Buatlah narasinya 1–3 halaman 

diketik dengan huruf  Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm, 

ukuran kertas kwarto; 4-3-3-4!

1

1. Kapak genggam

Kapak gemgam juga disebut dengan nama kapak 

perimbas. Alat ini berupa batu yang dibentuk 

menjadi semacam kapak. Teknik pembuatannya 

masih kasar, bagian tajam hanya pada satu sisi. 

Alat tersebut belum bertangkai, dan digunakan 

dengan cara digenggam. Daerah atau tempat 

ditemukannya benda prasejarah ini adalah di 

wilayah Indonesia, antara lain di; Lahat Sumsel, 

Kalianda Lampung, Awangbangkal Kalsel, 

Cabbenge Sulsel dan Trunyan Bali. Gambar: 

2.16 ini adalah hasil temuannya.

2. Alat serpih.

Alat serpih adalah merupakan batu pecahan 

sisa dari pembuatan kapak genggam yang 

dibentuk menjadi tajam. Alat tersebut berfungsi 

sebagai serut, gurdi, penusuk dan pisau. Daerah 

atau tempat ditemukannya benda-benda pra-

sejarah ini adalah; di daerah Punung, Sangiran, 

dan Ngandong (lembah Sungai Bengawan 

Solo); Gombong Jateng; lahat; Cabbenge; 

dan Mengeruda Flores NTT. Gambar: 2.17 ini 

adalah hasil temuannya.

3. Sumatralith.

Sumatralith nama lainnya adalah Kapak 

genggam Sumatera. Teknik atau cara 

pembuatannya adalah lebih halus dari kapak 

perimbas. Bagian tajam sudah ada pada di kedua 

sisi. Cara menggunakannya masih digenggam. 

Daerah tempat ditemukannya benda prasejarah 

ini adalah bertempat di daerah Lhokseumawe 

Aceh dan Binjai Sumut. Gambar: 2.18 ini 

adalah hasil temuannya;

4. Beliung persegi

Beliung persegi adalah merupakan alat alat-

alat penemuan zaman prasejarah dengan 

permukaan memanjang dan berbentuk persegi 


empat. Seluruh permukaan alat tersebut telah 

digosok halus. Sisi pangkal diikat pada tangkai, 

sisi depan diasah sampai tajam. Beliung persegi 

berukuran besar berfungsi sebagai cangkul. 

Sedangkan yang berukuran kecil berfungsi 

sebagai alat pengukir rumah atau pahat. 

Daerah tempat ditemukan benda prasejarah ini 

adalah di beberapa daerah Indonesia, seperti; 

Sumatera, Jawa, Bali, Lombok dan Sulawesi. 

Gambar: 2.19 ini adalah hasil temuannya; 

5. Kapak Lonjong

Kapak Lonjong adalah merupakan alat 

penemuan zaman prasejarah yang berbentuk 

lonjong. Seluruh permukaan alat tersebut telah 

digosok halus. Sisi pangkal agak runcing dan 

diikat pada tangkai. Sisi depan lebih melebar 

dan diasah sampai tajam. Alat ini dapat 

digunakan untuk memotong kayu dan berburu. 

Daerah ditemukan benda ini adalah di wilayah 

Negara Kesatuan Republi Indonesia (NKRI) 

seperti di; Sulawesi, Flores, Tanimbar, Maluku 

dan Papua. Gambar: 2.20 ini adalah hasil 

temuannya; 

6. Mata panah

Mata panah adalah merupakan bendan prasejarah 

berupa alat berburu yang sangat urgent. Sealin 

untuk berburu, mata panah digunakan untuk 

menangkap ikan, mata panah dibuat bergerigi. 

Selain terbuat dari batu, mata panah juga terbuat 

dari tulang. Daerah ditemukan benda prasejarah 

adalah di; Gua Lawa, Gua Gede, Gua Petpuruh 

(Jatim), Gua Cakondo, Gua Tomatoa Kacicang, 

Gua Saripa (Sulsel). 

7. Alat dari tanah liat

Alat dari tanah liat adalah peralatan zaman 

prasejarah yang dibuat dari tanah liat. Benda-

benda tersebut antara lain; Gerabah, alat 

ini dibuat secara sederhana, tapi pada masa 

perundagian alat tersebut dibuat dengan teknik 

yang lebih maju. Gambar: 2.22 ini adalah hasil 

temuannya;

8. Bangunan megalitik

Bangunan megalitik adalah bangunan-

bangunan yang terbuat dari batu besar didirikan 

untuk keperluan kepercayaan. Bentuk bangunan 

ini biasanya tidak terlalu halus, hanya diratakan 

secara sederhana untuk dapat dipergunakan 

seperlunya. Adapun hasil-hasil terpenting dari 

kebudayaan megalitik antara lain: Menhir, 

Dolmen, Sarkopagus (kranda), Batu kubur, 

dan Funden berundak-undak. Gambar: 2.23 ini 

adalah hasil temuannya berupa kubur batu ;

9. Nekara dari perunggu

Nekara adalah semacam berumbung dari 

perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya 

dan sisi atasnya tertutup. Diantara nekara-

nekara yang ditemukan di negeri kita, sangat 

sedikit yang masih utuh, kebanyakan 

diantaranya sudah rusak dan yang tertinggal 

hanya berupa pecahan-pecahan sangat kecil. 

Adapun tempat ditemukannya Nekara perunggu 

di negara kita antara lain seperti di; Sumatra, 

Jawa, Bali, Pulau Sangean dekat Sumbawa, 

Rote, Leti, Selayar dan Kepulauan Kei. Di Alor 

juga terdapat Nekara, namun bentuknya lebih 

kecil dan ramping, dibandingkan dengan nekara 

yang terdapat di daerah lainnya. Gambar: 2.24 ini adalah hasil temuannya.

Peninggalan Sejarah Hindu di Indonesia. Sejarah menyatakan bahwa 

”Maha Rsi Agastya” yang menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. 

Data ini ditemukan sebagai bukti yang terdapat pada beberapa prasasti 

di pulau Jawa dan lontar-lontar di pulau Bali. Menurut data peninggalan 


Gambar 2.25 Arca Maha Rsi 

Agastya

sejarah tersebut dinyatakan bahwa Rsi Agastya 

menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia 

melalui Sungai Gangga, Yamuna, India Selatan 

dan India Belakang. Karena begitu besar jasa-

jasa Rsi Agastya dalam penyebaran ajaran Agama 

Hindu, maka namanya disucikan di dalam prasasti, 

antara lain; Prasasti Dinoyo yang berada di Jawa 

Timur dan bertahun Saka 682, dimana seorang 

patih raja yang bernama Gaja Yana membuatkan 

pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud untuk 

memohon kekuatan suci dari beliau (Rsi Agastya). 

Dan Prasasti Porong di Jawa Tengah bertahun Saka 

785, juga menyebutkan keagungan serta kemuliaan 

jasa-jasa Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi 

Agastya, maka terdapat istilah atau julukan yang 

diberikan untuk beliau, diantaranya Agastya Yatra 

yang artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam