Rabu, 13 September 2023
jenderal sudirman
By Lampux.blogspot.com September 13, 2023
untuk mempertahankan Indonesia, mengantarkannya menjadi
seorang panglima besar dan menempati rumah dinas panglima
di Bintaran. Kala itu ia sedang sakit dan masih dalam tahap
penyembuhan. Proses penyembuhan itu berbarengan dengan
situasi politik nasional yang tidak menentu. Situasi ini membuat
Jenderal Sudirman harus berjuang mempertahankan negara
Indonesia.
Dimulainya Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman
Dari Kabupaten Bantul Ke Daerah Lainnya
Jenderal Soedirman meninggalkan Yogyakarta menuju Bantul
yaitu sebuah langkah yang tepat. Kala itu, perjalanan
Jenderal Soedirman menuju Bantul penuh dengan ketegangan.
Ia berada terus diintai Belanda, baik dari udara maupun darat. Dalam perjalanan ini ia seringkali berlika-liku atau
berpindah-pindah lokasi untuk mengelabuhi Belanda. Menurut
Mayor Tugiyo, beberapa kali Jenderal Soedirman harus
menghadapi penghadangan dari Belanda. Pemantauan yang
begitu ketat ini mengisyaratkan bahwa perjalanan yang
dilakukan tidak selalu mulus.
Pukul 11.30, ia meninggalkan rumah dinas dan bergerak ke jalan
Bintaran Wetan, bergerak ke timur ke jalan Taman Siswa,
lalu ke selatan menuju jalan Sugiyono, lalu ke barat
sampai ke Plengkung Gading memasuki benteng. Perjalanan
ini dilakukan oleh Jenderal Soedirman untuk
menyelamatkan keluarganya di nDalem Mangkubumen, rumah
yang sudah disediakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
ini memang sudah direncanakan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono IX untuk menitipkan keluarga Jenderal
Soedirman di lingkungan Keraton Yogyakarta demi keamanan
keluarganya.
Setelah itu Jenderal Soedirman melanjutkan untuk berjuang
melawan Belanda padahal Jenderal Soedirman sedang ia hanya
memiliki 1 (satu) paru-paru yang berfungsi dengan normal. Sebenarnya ia ingin beristirahat di nDalem Mangkubumen, akan
tetapi Letkol Abdul Hakim datang dan melaporkan bahwa
“bapak panglima harus segera meninggalkan kota Yogyakarta kalau
tidak ingin ditangkap Belanda”. Tidak lama lalu Belanda
sudah menjebol istana dan menangkap para pemimpin Republik
Indonesia. Beberapa pejabat istana seperti presiden dan wakil
presiden dan juga sebagian menteri ditangkap dan diasingkan
di pulau Bangka.
Akhirnya Jenderal Soedirman tidak jadi beristirahat di nDalem
Mangkubumen dan memerintahkan pengawalnya untuk
menyiapkan kendaraan agar segera bergerak ke arah Bantul
meninggalkan nDalem Mangkubumen pada pukul 14.00, dengan
melewati pojok benteng barat. Ia lalu menuju arah selatan
yaitu mengarah ke Goa Selarong. lalu rute diubah ke arah
Perempatan Palbapang, lalu ke timur arah ke Perempatan
Bakulan, lalu belok ke selatan ke arah Kretek. ini
dipilih oleh Jenderal Soedirman karena di sana ada rute strategis
untuk menyelamatkan diri dari kejaran Belanda. Taktik lika-liku
ini membuat Belanda merasa kebingungan. Jenderal
Soedirman pada waktu itu memang mencari tempat yang amankarena Belanda memantau Jenderal Soedirman melalui udara
maupun darat.
Kamrihadi menerangkan, pada waktu itulah, Jenderal
Soedirman meninggalkan Yogyakarta dengan jalur perjalanan
menuju Kretek. Perjalanan Jenderal Soedirman ini sampai
di kecamatan Kretek pada pukul 17.00, saat ia melihat para
pengawalnya, ia lalu memikirkan nasib pasukannya yang
tidak membawa bekal apapun. Lalu ia menginstruksikan kepada
Hanung Paeni dan Kopral Aceng untuk kembali ke nDalem
Mangkubumen, meminta semua perhiasan istrinya, dan
nantinya digunakan Jenderal Soedirman dalam peperangan
melawan penjajah. Mayor Heru Santoso lebih sepakat dengan
versi ini dan diperkuat juga dengan buku karya Tjokropranolo
berjudul Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin
Pendobrak Penjajahan Terakhir di Indonesia.
1
saat Aceng dan adik iparnya kembali ke nDalem
Mangkubumen, dan sebelum mereka kembali lagi, Jenderal
Soedirman sudah dijemput oleh lurah Grogol yang bernama
Mulyono Djiworedjo. Di wilayah ini , lurah Mulyono Djiworedjo sudah mengetahui akan kedatangan Jenderal
Soedirman dan sudah menyiapkan penyambutanya. Mayor
Heru Santoso juga menceritakan Mulyono Djiworedjo yang
sempat memberi kabar kepada warga bahwa ia akan
menjemput Jenderal Soedirman. “Saya akan menjemput pejuang
kita”, begitu katanya. Dalam versi Pak Kamrihadi, kedatangan
Jenderal Soedirman kala itu sudah diketahui oleh lurah Grogol
melalui badan telik sandi. “Ya sudah tahu kalau mau kesini, ada
telik sandinya” ujarnya. Ini menandakan bahwasanya badan
telik sandi selalu menjalin komunikasi tanpa henti dengan
Jenderal Soedirman untuk melaporkan berbagai situasi yang
sedang terjadi.
Pilihan Jenderal Soedirman untuk menuju Bantul didasarkan
pada pertimbangan bahwasanya terdapat rute untuk menuju
Kediri, dan juga kondisi geografis yang mendukung untuk
perang gerilya. Selain itu, faktor keamanan menjadi
pertimbangan mengingat lurah di desa Parangtritis yaitu
seorang perwira dari tentara PETA yang bernama Mulyono
Djiworedjo.
Saat itu juga, warga menyiapkan sebuah perjamuan
sebagai bentuk antusias dan kegembiraan yang mereka rasakan.
Selain itu, kondisi geografis dapat melindungi wilayah ini
dari serangan Belanda, yaitu adanya pemisah wilayah ini
berupa Sungai Opak, lalu perbukitan yang membuat
wilayah ini jauh akan deteksi Belanda.
Pada saat itu Sungai Opak sedang terjadi banjir dan belum ada
jembatan seperti yang kini menjadi jalan Parangtritis.
Penyeberangan baru dapat dilakukan saat sungai sudah surut. Setelah menunggu Sungai Opak surut, malam itu ia baru bisa
menyeberangi Sungai Opak dengan menaiki rakit seadanya.
Setibanya di tepi sungai, lalu ia menaiki dokar yang
ditarik oleh warga sekitar. ini dilakukan sebab
Mulyodiharo khawatir, jika dokar ditarik menggunakan kuda
maka disita oleh Belanda. Sesampainya di kediaman lurah
Grogol, malam itu juga ia langsung disambut oleh warga
sekitar.
Setelah merasa aman, di wilayah ini Jenderal Soedirman
akhirnya beristirahat untuk menenangkan pikiran dan
membangun strategi, karena perjalanan gerilya akan dimulai
dari daerah ini . Beberapa isi dari strategi ini
mencantumkan informasi mengenai jalur-jalur yang aman
untuk dilewati dan yang akan mengawal Jenderal Soedirman.
Beberapa prajurit pengawal diposisikan untuk melewati jalurjalur yang berbeda. Setelah memastikan bahwa kondisi benarbenar aman, Jenderal Soedirman akan melewati jalan ini .
Pagi harinya, Jenderal Soedirman kembali melanjutkan
perjalanan gerilya. Karena kondisi fisiknya yang sudah mulai
menurun, akhirnya ia dibuatkan tandu oleh warga setempat dengan menggunakan kursi dari lurah Mulyono
Djiworedjo, sedang pembawa tandu juga dari warga Grogol
yaitu Weryowiyono (Rawun), Setrodikromo (Panggung),
Suwitowarno (Kalijan), dan Adiwiyono (Cecek). Selain diiringi
warga Grogol, Kapten Soeparjo. Sedangkan, Sersan Mayor
Oetoyo Kolopaking pergi ke Wonosari terlebih dahulu untuk
menyiapkan tempat di sana dan menjalin hubungan dengan staf
Kolonel Gatot Soebroto.
Setelah itu Jenderal Soedirman berangkat untuk menjalankan
perang gerilyanya menuju Kediri. Perjalanan pertama dilakukan
Jenderal Soedirman dengan ditandu warga setempat secara
estafet dari Grogol menuju Panggang, Gunungkidul2 dan terus
menuju desa Paliyan. Kapten Tjokropranolo memerintahkan
Pleton Djoemadi yang terdiri dari 80 prajurit untuk menyusul.
Belum sampai di Kecamatan Paliyan, Jenderal Soedirman
bermalam di Desa Karangduwet dan pagi harinya ia
melanjutkan perjalanannya kembali dengan ditandu, kurang lebih selama dua jam, dari Paliyan sampai ke Playen. Setibanya
di Playen, perjalanan dilanjutkan mengguanakan kendaraan
yang lebih cepat, yaitu dokar, akan tetapi dokar itu ditarik oleh
dua ajudanya yaitu Soepardjo Roestam dan Tjokropranolo.
Mayor Heru Santoso menambahkan keterangan bahwa selain
dua orang ini , dokar juga di dorong oleh Mayor Sulondo,
dokter pribadi Jenderal Soedirman.3
Ada satu cerita menarik yang dikisahkan oleh Mayor Heru
Santoso. Setibanya di Lapangan Wonosari, mereka berempat
berhenti untuk beristirahat sejenak. Jenderal Soedirman tiba-tiba
mendapatkan firasat, untuk segera meninggalkan tempat
peristirahatan itu dan melanjutkan perjalanannya kembali.
Mendengar hal itu, mereka langsung hengkang dari tempat
ini . Benar saja, setelah 200 meter melangkah, beberapa
serdadu elite Belanda turun di lokasi yang tepat saat mereka
beristirahat. Akhirnya mereka dapat lolos dari serbuan Belanda.4
Prajurit ini mengambil jalan melewati Imogiri lalu
bergabung dengan rombongan Jenderal Soedirman di dekatWonogiri. Pada hari itu juga, Utoyo Kolopaking datang dari
Wonosari untuk melaporkan hasil persiapannya.5 Perjalanan
dari Grogol ini yaitu titik awal perjalanan gerilya
Jenderal Soedirman menuju ke wilayah Gunungkidul, Wonogiri,
sampai ke wilayah Kediri.
Riwayat Kedatangan Jenderal Sudirman Ke
Kabupaten Bantul
Setelah Yogyakarta dinyatakan aman, Jenderal Soedirman
dipanggil Presiden Soekarno untuk kembali ke Yogyakarta.
Tepat pada tanggal 7 Juli 1949, ia meninggalkan markas Sobo,
Pacitan, Jawa Timur yaitu rumah pak Kabayan Karsosumito. Ia
ditandu melewati beberapa kota selama tiga hari. Pada tanggal
10 Juli 1949, ia sampai di perbatasan Prambanan, Sungai Opak
dengan melewati Piyungan dan di Piyungan ia dijemput oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono IX. Daerah Piyungan yaitu
termasuk daerah Prambanan, tapi secara kabupaten, ia masuk
wilayah Bantul.6 Perjalanan Singgah Jenderal Soedirman ini juga tidak begitu mulus, ada intrik yang terjadi di sana. Dimana
masih banyak tentara Belanda yang berkeliaran untuk
mengejarnya, maka dari itu banyak tantara bahkan warga
Piyungan saling bahu membahu untuk mengamankan Jenderal
Soedirman.
ini dimulai Jenderal Soedirman keluar dari hutan, yaitu ada
4 orang tantara yang keluar dari hutan (sekarang masuk dukuh
plesetan) menuju dukuh Mojosari, sementara Jenderal
Soedirman bersama pengikutnya turun melalui Hargodumilah.
Dengan kamuflase itu membuat Jenderal Soedirman selamat
dan sampai dirumah dukuh Piyungan Bapak Joyokartono. Akan
tetapi 4 orang tantara yang mengkamuflase Jenderal Soedirman
ini akhirnya harus gugur karena ditembaki tentara
Belanda. Saat ini, terdapat tugu di wilayah Tambalan, Srimartani
yang menjadi tetenger peristiwa perlawanan TNI bersama
warga melawan Belanda.
Sesampainya di rumah singgah pada pukul 08.00, dan di sana
sudah banyak tantara sekitar 1 batalion yang akan
mengamankan Jenderal Soedirman. Sesampainya di sana tidak
ada yang mengenali Jenderal Soedirman, karena memang disengaja demi keamanan dari perburuan mata-mata dan
tentara Belanda. Banyak tentara yang keluar-masuk di rumah
singgah ini , guna mengelabui musuh tentang keberadaan
Jenderal Soedirman. warga Piyungan juga sampai tidak
mengetahui Jenderal Soedirman itu yang mana.
Setelah sampai di sana, warga sudah menyediakan
suguhan berupa hasil bumi seperti ketela, jagung, dan lain
sebagainya untuk disuguhkan kepada Jenderal Soedirman dan tentaranya. Bahkan para pemuda Piyungan yang tidak
terorganisir pun, bersiap siaga mengamankan Jenderal
Soedirman saat berada di Piyungan. Dikarenakan situasi pada
saat itu belum aman, dan para tentara Belanda yang bermarkas
di Bedog (Maguwo) belum kembali ke markas besarnya di Kota
Baru. Maka dari itu pengamanan Jenderal Soedirman dimualai
dari ring pertama yang dijaga oleh tentara loyalisnya. Dan yang
terakhir yaitu warga Piyungan sendiri yang juga
berinisiatif untuk bersiaga menjaga Jenderal Soedirman.7
saat ia dirumah singgah ini , ia juga disambut oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan menemaninya untuk singgah
di sana. Setelah dirasa cukup aman, sekitar pukul 11.00, Jenderal
Soedirman diantarkan ke titik penjemputanya yaitu di
Prambanan dengan penjagaan ketat, dimana dari wilayah timur
sudah dijaga oleh batalyon dari Surakarta dan wilayah barat
dijaga dari Batalyon Yogyakarta.
Setelah itu Jenderal Soedirman melanjutkan perjalanan menuju
Istana Gedung Agung untuk melaporkan dari hasil
kepemimpinanya dalam menjalankan perang gerilya. Setelahmelaporkan hasil perang gerilya, ia mendapatkan jajar
kehormatan di Alun Alun Utara karena lokasi Istana Gedung
Agung dengan Alun Alun Utara tidak jauh. Pada saat itu banyak pasukan TKR yang meneteskan air mata,
membayangkan sosok panglima tertinggi, ataupun panglima
TKR-nya memberi komando pada memimpin perang gerilya dalam keadaan sakit. Walaupun dalam keadaan sakit, suaranya
masih sangat keras, semangat, dan pantang menyerah. Banyak
dari mereka membayangkan bahwa sosok Jenderal Soedirman
mempunyai fisik yang tinggi besar. Begitu melihat sosok
Jenderal Soedirman yang kurus dan pucat pasi, banyak pasukan
TKR yang meneteskan air mata.
Setelah itu Jenderal Soedirman memeriksakan kondisi fisiknya
ke Rumah Sakit Panti Rapih. Ternyata, satu paru-paru yang
semula berfungsi dengan normal kini terserang penyakit juga. Ia
kembali dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Ia tidak kembali ke rumah dinas dan tinggal di tempat dinas
Letnan Jenderal Urip Sumardjo di Kotabaru dengan
pertimbangan lebih dekat ke Rumah Sakit Panti Rapih. Di sana, ia dirawat kurang lebih empat bulan lamanya. Setelah mendapat
saran dari dokter pribadinya, ia dipindahkan ke Pesanggrahan
Wilujang, Magelang. Di sana ia dirawat kurang lebih tiga bulan
lamanya. Tepat pada tanggal 29 Januari 1950 ia dipanggil Yang
Maha Kuasa. Atas jasa jasanya yang sangat luar biasa terhadap
bangsa dan negara ini, ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kusumanegara.
Peran Serta warga Bantul Dalam Mendukung
Perjuangan Jenderal Soedirman
warga yang riang gembira bahkan memberi sambutan
meriah seolah-olah yang datang yaitu seorang bangsawan,
hingga warga menyebut Jenderal Soedirman dengan nama
“Gusti Tentara”. Di rumah lurah Grogol, ia disiapkan untuk
mandi, akan tetapi karena kondisi sakit akhirnya ia hanya disibin
atau dilap-lap dengan air hangat. Setelah itu dipersilahkan
untuk makan bersama dengan para pejuang. Jenderal Soedirman
yaitu orang yang sangat-sangat merakyat.
Ia tidak langsung memakan hidangan yang ada dihadapannya
sebelum memastikan bahwa yang lain akan mendapat bagian
dari hidangan ini , atau nanti ia akan berkata “kita akan makan sama-sama”. Kalau hanya ia sendiri yang makan, ia tidak
akan pernah mau memakan hidangan ini . Setelah makan
bersama, lalu mengistirahatkan tubuhnya sebentar di
sana8 karena pagi harinya ia harus melanjutkan perjuangannya
memimpin perang gerilya.
Kondisi kesehatan yang semakin menurun membuatnya tidak
dapat melanjutkan gerilya dengan jalan kaki dan diputuskan
untuk melanjutkan perjalanan menggunakan tandu. Tandu
pertama dibuat di wilayah Grogol. Tandu ini terbuat dari
kursi tamu lurah Mulyono Djiworedjo. Empat orang warga
Grogol pun membantu untuk membawa tandu.
Antusiasme warga Bantul dalam mendukung Jenderal
Soedirman terlihat saat warga Grogol menyambutnya
dengan sukacita atas kedatangan seorang panglima besar ke
wilayah ini . Meskipun demikian, penyambutan ini
tetap dilaksanakan dengan kewaspadaan penuh, seperti yang dijelaskan oleh Kamrihadi dan Mayor Heru Santoso. warga
disini juga memberi sambutan dengan menyuguhkan hasil
bumi mereka untuk disuguhkan kepada Jenderal Soedirman dan
juga para tentara. Ini menandakan bahwasannya warga
Bantul mendukung penuh perang gerilya yang dilakukan oleh
Jenderal Soedirman dan juga tentaranya. Karena warga
Bantul pada waktu itu menginginkan kemerdekaan secara
penuh.9
Saat ini, terdapat monumen yang menjadi penanda perjuangan
gerilya Jenderal Soedirman. Monumen Gerilya Panglima Besar
Jenderal Soedirman berbentuk golong gilig, menandakan tekad
dan bersatunya warga dalam perjuangan gerilya bersama
Jenderal Soedirman. Sikap rela berkorban, kerja sama, setia
terhadap NKRI, disertai rasa saling menghormati dimiliki
warga setempat untuk mengusir penjajah dari wilayah
Kretek.
Penyambutan Jenderal Soedirman tidak hanya dilakukan oleh
warga Bantul saat ia sedang berangkat gerilya saja.
Penyambutan juga dilakukan oleh warga Bantul di wilayah
Piyungan tatkala ia kembali dari gerilya. Di sana, ia juga
disambut oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, staff, dan
seluruh lapisan warga bahkan para pemuda yang tidak
terorganisir oleh negara dengan siap siaga untuk mengamankan
Jenderal Soedirman dari kejaran mata-mata maupun pasukan Belanda. warga mempersiapkan hasil bumi mereka untuk
disuguhkan kepada Jenderal Soedirman dan juga para tentara.
ini yaitu bentuk kebanggaan warga Bantul
dengan perjuangan Jenderal Soedirman yang berperang demi
kemerdekaan negara Indonesia.
Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa
Bodas Karangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah.1 Soedirman terlahir dari keluarga
yang sederhana bahkan bukan dari kalangan militer. Ayahnya
bernama Karsid Kartawiradji dan ibunya bernama Siyem.2
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, orang tua Karsid Kartowiraji, dari keluarga petani yang tinggal di Desa
Tinggarwangi atau yang lebih dikenal dengan Desa Gentawangi, Kecamatan
Jatilawang. Sedangkan ibunya, Siyem, berasal dari Desa Parakan Onje yang
terletak di sebelah Selatan Desa Ajibarang. Karsid bekerja di pabrik gula
Kalibogor, lalu pindah ke Dukuh Rembang karena tidak cocok berkerja
dengan Belanda. Lihat, Sulistyo Admodjo, Mengenang Almarhum Panglima
Besar Jenderal Soedirman-Pahlawan Besar, (Jakarta: Yayasan Panglima Besar
Jenderal Soedirman,
Soedirman pernah bekerja di sebuah pabrik, bertani dan menjadi
pedagang antar kampung.
Sebelum Soedirman lahir, orang tua Soedirman mendatangi
seorang asisten wedana3 Rembang yakni Raden Tjokrosunaryo.
Kedatangan mereka bermaksud untuk mencari pekerjaan,
karena sebagai seorang pedagang waktu itu tidak banyak
menguntungkan. Dengan kemurahan hati Raden
Tjokrosunaryo, orang tua Soedirman pun diterima secara baik.
Mereka mendapat pekerjaan untuk membantu kehidupan
sehari-hari Raden Tjokrosunaryo.
Keberanian orang tua Soedirman meminta pekerjaan pada
asisten wedana Rembang ini bukan semata Raden
Tjokrosunaryo sebagai asisten wedana, namun ia juga
yaitu kakak ipar Siyem. Raden Tjokrosunaryo memiliki
tiga istri, yang salah satunya yaitu kakak kandung Siyem. Dengan kata lain, keluarga Raden Tjokrosunaryo masih
memiliki hubungan kekeluargaan dari pihak ibu.
Pada sekitar pertengahan tahun 1916, Raden Tjokrosunaryo
yang menjabat sebagai asisten wedana Rembang memasuki
masa pensiun. lalu ia memutuskan untuk tinggal dan
menetap di Cilacap.4 yang diikuti oleh kedua orang tua
Soedirman. Setelah dua tahun tinggal di Cilacap, sekitar tahun
1918 ibunya melahirkan seorang anak laki-laki yang lalu
diberi nama Muhammad Samingan.
Tidak berselang lama, ayah Soedirman meninggal dunia.
lalu Siyem pulang ke kampung halamannya dan menikah
lagi. Ia mengijinkan dua anaknya (Soedirman dan Muhammad
Samingan) diadopsi oleh Raden Tjokrosunaryo. ini
dilakukan oleh Siyem, karena pertimbangan ekonomi, khawatir
kelak tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan
anak-anaknya. Sehingga ia memasrahkan anaknya untuk hidup
bersama keluarga Raden Tjokrosunaryo.Perjalanan hidup Soedirman bisa dikatakan beruntung,
meskipun ia harus berpisah dengan orang tuanya kandungnya,
namun Soedirman hidup dalam lingkungan orang tua
angkatnya yang ekonominya berkecukupan. Alasan Raden
Tjokrosunaryo mengadopsi Soedirman karena ia tidak
dianugerahi keturunan meskipun memiliki tiga istri. Bahkan,
nama Soedirman bukan pemberian dari orang tua kandungnya
sendiri, akan tetapi nama ini diberikan oleh Raden
Tjokrosunaryo.5 Sebab itulah, sebagian ada yang menyebut
bahwa Soedirman bergelar “Raden Soedirman”6
Kehidupan pendidikan Soedirman sangat sederhana layaknya
penduduk pribumi lainnya zaman penjajahan. Proses
pendidikannya lebih banyak ditempuh di surau dengan cara
mengaji atau belajar ilmu agama. Soedirman mengenyam
pendidikan dasar melalui didikan ayah angkatnya.
Kesederhanaan hidup Soedirman tumbuh dari latar belakang dirinya yang lahir dari keluarga kurang mampu. Namun karena
kebaikan hati pamannya, ia bisa tumbuh menjadi pribadi
dengan nilai-nilai moral dan pendidikan yang baik. Sehingga
dapat membuat jiwanya ramah penuh kebijaksanaan.
Pada masa kolonial, penduduk pribumi tidak bebas melakukan
aktivitas sehari-hari. Keterbatasan ini tentu menjadi kendala
bagi warga , kecuali mereka yang diberi jabatan oleh
pemerintah kolonial, seperti Raden Tjokrosunaryo yang menjadi
asisten wedana. Karena itulah, Soedirman di bawah asuhan
Raden Tjokrosunaryo memiliki kesempatan lebih banyak dalam
mengenyam pendidikan. Selain pendidikan non formal seperti
di surau, Soedirman juga mendapat kesempatan mengenyam
pendidikan umum atau formal. Pada usia tujuh tahun,
Soedirman masuk HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Cilacap.
Setelah lulus dari HIS tahun 1930, selama dua tahun Soedirman
tidak sekolah, dan sebagai gantinya ia bekerja, bertani, dan
mengaji. Pada tahun 1932 Soedirman memasuki MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs) Wiworotomo dan tamat pada tahun
1935. Perguruan Wiworotomo yaitu perguruan yang
bertujuan menampung anak-anak pribumi yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan pelajarannya di sekolah (negeri).7 Di
MULO Wiworotomo, Soedirman mendapatkan didikan dari
guru-guru yang yaitu tokoh pergerakan anti Belanda,
seperti R. Sumoyo (tokoh Budi Utomo), dan R. Suwarjo
Tirtosupono (lulusan Akademi Militer Breda di Belanda).8
Pada masa mudanya Soedirman dikenal sebagai seorang
pemuda yang tumbuh bertanggung jawab dan senang
mengikuti berbagai kegiatan perkumpulan/organisasi.9
Soedirman selain aktif dalam organisasi kepanduan, ia juga aktif
di Hizbul Wathan, yaitu sebuah organisasi yang berada di bawah
naungan Muhammadiyah.10 Setelah lulus mengenyam pendidikan, Soedirman berkarir menjadi seorang guru di
sekolah Hollandsche Indische School (HIS), sebuah sekolah rakyat
milik Muhammadiyah pada tahun 1936.11 Tidak lama
lalu , ia diangkat menjadi kepala sekolah di instansi
ini karena kemampuan yang dimilikinya.
Pada tahun 1936, Soedirman menikah dengan Siti Alfiah, anak
perempuan dari Sastroatmodjo asal Plasen, Cilacap. Siti Alfiah
ini dikenal saat Jenderal Soedirman sedang menempuh
pendidikan di Parama Wiworo Tomo. Pernikahan Soedirman
dengan Siti Alfiah dikaruniai tujuh (7) orang anak, yaitu: Ahmad
Tidarwono, Didi Praptiastuti, Didi Suciati, Taufik Efendi, Didi
Pudjiati, Titi Wahjuti Satyaningrum, dan Muhammad Teguh
Bambang Cahyadi,
Dedikasi Soedirman dalam pendidikan dan berorganisasi terus
ditekuninya. Pada tahun 1937, Soedirman lalu menjadi
salah satu pemimpin organisasi Pemuda Muhammadiyah.
Bahkan saat Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942,
Soedirman masih setia menjadi guru. Kedatangan Jepang ke
Indonesia pada 8 Maret 1942. Pada awal pemerintahannya,
Jepang mengeluarkan kebijakan untuk menutup sekolah HIS
Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar.
Pada saat itulah, muncul rasa kecewa atas kebijakan Jepang.
Sebagai bentuk dari kekecewaan ini , lalu Soedirman
bersama teman-temannya mendirikan perkumpulan yang
dibawahi oleh sebuah koperasi dagang bernama Perbi. Inisiatif
ini muncul dari usaha yang dilakukan oleh ayah
mertuanya sebagai pedagang batik. Sementara tujuan koperasi
dagang Perbi ini sebagai lembaga yang mengakomodir berbagai
bahan makanan dan beberapa keperluan hidup sehari-hari yang
lalu dijual dengan harga murah kepada warga . Perkenalan Soedirman dalam dunia militer tidak bisa
dipisahkan dengan perjuangannya saat mendirikan koperasi
dagang. Melalui gerakan koperasi dagang ini , sikap
kejujuran dan jiwa militan Soedirman mulai terlihat, hingga
akhirnya ia ditunjuk untuk menjadi salah satu kader dalam
pelatihan Pembela Tanah Air (PETA). PETA (Giguyun)
yaitu organisasi bentukan Jepang yang didirikan pada
bulan Oktober 1943. Proses pelatihan dalam PETA, secara tidak
langsung memberi pendidikan kemiliteran bagi rakyat
Indonesia. PETA yaitu suatu lembaga yang memiliki
gerakan semi-militer bentukan Jepang yang sifatnya sukarela
dengan perekrutannya dari kalangan rakyat Indonesia.
Karir kemiliteran Soedirman dimulai saat resmi menjadi
anggota PETA yang dibentuk dan dilatih oleh Jepang. Pada
tahun 1943, , Soedirman diangkat oleh pemerintahan Jepang
menjadi anggota Syu Sangikai,13 Banyumas. Setelah selesai
mengikuti pelatihan PETA, Soedirman diangkat sebagai Daidanco (Komandan Batalyon) yang ditempatkan di Kroya,
Banyumas. Sejak Soedirman diangkat sebagai Daidanco oleh
pemerintahan Jepang, secara tidak langsung ia telah memulai
karir hidupnya dalam dunia militer. Seiring berjalannya waktu,
Soedirman dan beberapa perwira PETA lainnya dianggap
berbahaya bagi pemerintahan Jepang, mereka dipanggil untuk
berangkat ke Bogor dengan dalih akan mendapat pelatihan
PETA tingkat berikutnya. Padahal Soedirman dan beberapa
perwira yang lain dipanggil dengan maksud untuk dibunuh
oleh pemerintahan Jepang. Akan tetapi inisiatif ini tidak
terwujud, karena pada 14 Agustus 1945 pemerintahan Jepang
menyerah pada sekutu.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 18 Agustus
1945 pihak Jepang membubarkan PETA. Soedirman lalu
mengumpulkan para perwira didikan PETA, lalu membentuk
Badan Keamanan Rakyat (BKR). Peristiwa ini membuat
kondisi negara mulai mengkhawatirkan, karena tentara sekutu
masuk ke Indonesia yang diikuti oleh Netherlands Indies Civil
Administration (NICA). Maka tidak mengherankan jika
Soedirman membentuk BKR sebagai salah satu bentuk
pertahanan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Seiring perkembangannya, istilah BKR yang dibentuk oleh
Soedirman itu terus mengalami perubahan hingga empat kali.
Pertama, dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) menjadi TKR
(Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945. Kedua, dari
TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menjadi TKR (Tentara
Keselamatan Rakyat) pada 7 Januari 1946. Ketiga, dari TKR
(Tentara Keselamatan Rakyat) menjadi TRI (Tentara Republik
Indonesia) pada 26 Januari 1946. Keempat, dari TRI (Tentara
Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia)
pada 3 Juni 1947.
Peristiwa yang cukup menggemparkan terjadi pada 20 Oktober
1945. Pada saat itu, pasukan tentara Inggris mendarat di
Semarang untuk melucuti senjata dan menaklukkan Jepang.
Setelah berhasil melakukan hal itu, tentara Inggris menuju ke
Magelang dengan maksud untuk membebaskan warga Belanda
yang menjadi tahanan Jepang. Ternyata setelah tentara Inggris
berhasil menuju Magelang, mereka tidak mau untuk
melangkahkan kaki keluar dari Magelang dan berusaha
bertahan di Magelang untuk menguasai daerah ini .Pertempuran tidak bisa dielakkan, saat secara diam-diam
pasukan tentara Inggris keluar dari Magelang dengan tujuan
Ambarawa.14 Di wilayah inilah TKR berusaha mengejar mereka
dan terjadilah pertempuran. Pertempuran dengan pasukan TKR
dipimpin oleh Letnan Kolonel Isdiman Suryokusumo
(komandan resimen TKR Banyumas). Ia menjadi tangan kanan
Soedirman sekaligus perwira terbaik dalam TKR. Sayangnya,
dalam pertempuran itu, Isdiman, salah satu pasukan TKR harus
gugur.
Selanjutnya pada 11 Desember 1945, Soedirman menggelar rapat
dengan komandan sektor TKR. Rapat digelar dalam rangka
mengusir tentara Inggris yang posisinya di Ambarawa. Pada 12
Desember 1945, saat dini hari, serangan dimulai yang dipimpin
oleh Soedirman. Pertempuran pun meletus di Ambarawa dan
sekitarnya. Taktik yang digunakan oleh Soedirman yaitu
“Supit Urang”,
15(strategi pengepungan rangkap) sehingga
tentara Inggris benar-benar terkepung dan mundur menuju arah ,
Semarang. Pertempuran terjadi selama empat hari empat
malam, pertempuran Ambarawa berakhir pada 15 Desember
1945 dengan kemenangan pasukan Soedirman di bawah panji
TKR.
Atas jasa perjuangan Soedirman dan beberapa tokoh hingga
memperoleh kemenangan pada pertempuran Ambarawa,
lalu diabadikan dalam bentuk Monumen Palagan
Ambarawa dan peringatan Hari Infanteri (Juang Kartika) setiap
tanggal 15 Desember tiap tahunnya.
Negara sempat mengalami kekosongan kursi panglima besar,
sehingga negara berusaha mencari panglima yang sesuai dalam
memimpin komando bagi tentara Indonesia. Situasi ditambah
dengan ketidakstabilan negara dengan adanya Agresi Militer
Belanda I. Pemerintah memutuskan untuk mengadakan
pemilihan calon panglima TKR.16
saat pemilihan itu diadakan, seluruh komandan resimen dan
komandan divisi untuk mengikuti jalannya pemilihan panglima
besar yang akan mengomando mereka. Empat kandidat ini yaitu Sri Sultan Hamengkubowono IX, Letnan Jenderal Urip
Sumaharjo, Jenderal Mayor Gusti Purbonegoro (mantan kasat
pertama dari Keraton Solo), dan yang terakhir yaitu Kolonel
Soedirman. Saat itu, Soedirman masih berpangkat rendah di
antara kandidat lain. Ia masih seorang perwira yang bertugas di
Komandan Divisi V Banyumas. Namun, secara mengejutkan ia
mampu mengalahkan 3 kandidat lainnya. Bahkan saingan
terdekatnya yaitu Jenderal Urip Sumoharjo dengan selisih satu
suara.
Keberhasilan Soedirman dalam memimpin perjuangan ini
membuat pemerintah semakin yakin dan percaya akan
kecakapan Soedirman dalam memimpin tentara. Keberhasilan
Soedirman dalam memimpin berbagai perjuangan, maka
akhirnya Soedirman dilantik menjadi panglima TKR pada
tanggal 18 Desember 1945, dari yang semula berpangkat kolonel
naik menjadi Jenderal.
lalu pemerintah mengangkat seorang Jendral sebagai
wakil Soedirman yaitu Letnan Jenderal Urip Sumaharjo.
Keputusan yang diambil oleh pemerintah sudah sangat tepat
dengan melantik Jenderal Soedirman menjadi Panglima TKR. ini berkaca dari kemampuanya dalam menjalankan
peperangan mengusir sekutu dari negara ini. Setelah dilantik
lalu ia menempati rumah dinas di Bintaran Yogyakarta
beserta keluarga selama kurang lebih 3 tahun lamanyaMeskipun Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan,
Belanda kembali menyerang. Pasukan tentara Belanda
melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Mereka
melakukan penyerangan terhadap Yogyakarta sebagai ibukota
Republik Indonesia saat itu. Lalu bergerak ke seluruh wilayah
Republik Indonesia. Penyerangan yang dilakukan oleh Belanda
dalam Agresi Militer II bukan hanya fokus ke Yogyakarta, tetapi
dilakukan di beberapa titik lain, seperti daerah Pujon, Batu,
Malang, Jawa Timur. Mahardika menyebutkan bahwa
penyerangan Belanda saat itu dilaksanakan dengan strategi
yang sangat rapi, tetapi sulit meraih keberhasilan.1 ini
karena pertahanan TKR dalam menghadapi Belanda juga mempunyai taktik lebih cerdik dengan menguasai medan
pertempuran yang dijalani.
ini tetap dilakukan oleh Belanda dengan melanggar
perjanjian seruan gencatan senjata dalam perjanjian Renville.
Dengan melihat pada dua peristiwa sejarah, perjanjian Renville
dan Agresi Militer Belanda II, pemerintah Belanda selalu
menggunakan tipu daya dan kelicikan demi menguasai
Republik Indonesia. Dari berbagai perjuangan yang dilakukan
oleh sejumlah kalangan warga Indonesia, perlawanan
Jenderal Soedirman pada akhirnya menjadi sebuah bom waktu
yang terus membakar jiwa pejuang yang ada di seluruh wilayah
Indonesia.
Perjuangan di Luar Yogyakarta
Suatu hari dengan adanya tekad dan keyakinan yang mendalam,
Jenderal Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk
memimpin perang gerilya yang berlangsung selama tujuh bulan.
Dalam menjalankan peperangan ini kondisi fisik
Soedirman dalam keadaan sakit. Sehingga, dalam perjalanan
perangnya ia harus ditandu untuk memimpin pasukannya.
Ada beberapa alasan perang gerilya itu dilakukan, diantaranya
ialah strategi gerilya memiliki karakteristik perang dengan
persenjataan atau kekuatan militer yang minim. Strategi yang
digunakan Jenderal Soedirman dalam melawan Belanda dengan
gerilyanya bersifat non-kooperatif. Ia tidak mau menjalin
perundingan ataupun kerja sama dengan pemerintah kolonial.
Strategi gerilya ini memiliki sifat melemahkan, bukan
menghancurkan. Selain itu dalam strategi perang gerilya
berusaha agar serangan mencakup di berbagai daerah seluasluasnya. Sementara tujuan memperluas serangan agar lawan
dapat menyebar pasukannya, sehingga kekuatan mereka
menjadi terpecah dan mudah untuk ditaklukkan.2
Berdasarkan rute perjalanan gerilya Jenderal Soedirman
berangkat dari Yogyakarta lewat jalur selatan menuju arah timur
melewati Bantul, Palbapang, Bakulan, Kretek, Grogol,
Parangtritis, Karangtengah, Panggang, Paliyan (Karangduwet),
Playen, Siyono, Wonosari, Semanu, Bedoyo, Pracimantoro, Pulo,
Karangbendo, Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Jatisrono, Slogohimo, Purwantoro, Sumoroto, Ponorogo, Jetis, Sambit,
Sawo, Tumpakpelem, Nglongsor, Tugu, Trenggalek, Bendorejo,
Kalangbret, Kediri, Sukorame, Karangnongko, Pekso,
Krampyang, Bajulan, Salamjudeg, Makuto, Sawahan, Ngliman,
Gimbal, Gedangklutuk, Selayang, Serang, Jambu, Wayang,
sampai ke Banyutowo,Di Banyutowo, Jenderal Soedirman bermalam selama lima hari.
Setelah itu ia melanjutkan perjalanan kembali menuju
Warungbung, Gunungtukul, Ngindang, ke arah Sawo,
Nglongsor, Tugu, Trenggalek, Karangan, Suruwetan, Dongko,
Panggul, Sudimoro, Bodang, Nogosari, Gebyur, Pringapus,
Gebyur, Wonosidi, Kerto, Wonokerto, Gebyur, Tegalombo, Mujing, Ngambarsari, Sompok, Nawangan, Sobo. Rute ini
juga disertai pasukan pengawalan yang melewati jalur yang
berbeda. lalu pada saat berada di Sobo, Jenderal
Soedirman diminta agar kembali lagi ke Yogyakarta. Hal
ini lalu dilakukan dengan rute pulang ke Yogyakarta
melewati Tokawi, Tirtomoyo, Baturetno, Pulo, Karangnongko,
Ponjong, Karangmojo, Grogol Gati, Gading, Patuk, Piyungan,
Prambanan, Maguwo, hingga ke Yogyakarta.
Rute perjalanan perang gerilya Jenderal Soedirman dari
Yogyakarta hingga Pacitan yaitu sebuah usaha untuk
mengelabuhi tentara kolonial. Pada 1 April 1949, Jenderal
Soedirman menetap di daerah Dukuh Sobo, Desa Pakis,
Kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Pada saat itu
keadaan Jenderal Soedirman sedikit mulai membaik. Ia bisa
melakukan komunikasi dengan pejabat pemerintah yang ada di
Yogyakarta dengan perantara kurir. Jenderal Soedirman berada
di Pacitan selama kurang lebih tiga bulan. Selain kronologi
ini , bukti lain bahwa Jenderal Soedirman bergerilya dari
Yogyakarta hingga Pacitan yaitu sebuah monumen Panglima
Besar Jenderal Soedirman yang berada di Pakis Baru,
Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Pada saat Jenderal Soedirman dalam masa perang gerilya, terjadi
Perjanjian Roem-Roijen tanggal 7 Mei 1949. Perjanjian ini
ditandatangani oleh perwakilan dari kedua negara yakni
Mohammad Roem (delegasi dari Indonesia) dan Herman van
Roijen (delegasi dari Belanda). Berdasarkan pada perjanjian ini,
pada Juni 1949 Presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad
Hatta serta pejabat pemerintah RI yang ditahan pihak Belanda
di Pulau Bangka dikembalikan lagi ke Yogyakarta. Perjanjian
Roem-Royen yaitu salah satu dari cara perjuangan guna
mempertahankan kemerdekaannya melalui strategi diplomasi,
sehingga kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia kembali
lagi ke Yogyakarta.
Setelah presiden kembali lagi ke Yogyakarta, Jenderal
Soedirman pun diminta untuk kembali juga ke Yogyakarta,
namun ia menolak. Atas penolakan ini , pihak pemerintah
meminta bantuan Kolonel Gatot Subroto, yang pada waktu itu
menjabat sebagai Panglima Divisi XI yang memiliki hubungan
baik dengan Jenderal Soedirman. Gatot mengirim surat yang
bertujuan untuk membujuk Jenderal Soedirman agar mau
kembali lagi ke Yogyakarta. Pada 10 Juli 1949, dengan berbagai
pertimbangan dan maksud untuk menghargai Gatot, Jenderal ,Soedirman bersama pasukannya bersedia kembali lagi ke
Yogyakarta. Mulai sejak itu, Jenderal Soedirman kembali
bersama pasukannya dan menetap di Yogyakarta dan
penyakitnya kambuh kembali.
Perjuangan di Yogyakarta
Peran dan perjuangan yang dilakukan Jenderal Soedirman di
Yogyakarta tidak berlangsung begitu lama dibandingkan di
daerah lain. Yogyakarta hanya menjadi tempat persinggahan
Soedirman, karena pada waktu itu Yogyakarta yaitu
ibukota Indonesia yang menjadi incaran tantara Belanda untuk
dihancurkan.
saat Jenderal Soedirman keluar dari Yogyakarta untuk
melakukan perlawanan dengan siasat perang gerilya,
Yogyakarta berhasil dikuasai oleh pasukan Belanda pada 19
Desember 1948. Mereka menahan Presiden dan Wakil Republik
Indonesia Pihak Belanda mengira bahwa Indonesia telah
berhasil dihancurkan jika menahan presiden dan wakilnya, tapi
faktanya tidak seperti yang mereka duga. Presiden Soekarno
telah menyerahkan mandat pemerintahan kepada Sjafruddin
Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuranyang bertempat di Sumatera Barat. Selain itu juga, pasukan
tentara Indonesia masih utuh bersama panglima besarnya yakni
Jenderal Soedirman yang pada saat itu sedang melakukan
perjalanan perang gerilya. Dengan mengetahui ini ,
pihak Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejar
pasukan Jendeal Soedirman untuk ditangkap.
Di tengah gentingnya keadaan saat itu, Jenderal Soedirman
bersama staf dan anggotanya melakukan rapat untuk kebaikan
TNI. Lalu, T.B. Simatupang dan A.H. Nasution menemukan
strategi perongrongan (attrition strategy). Strategi ini yaitu
strategi perang yang bersifat jangka panjang yang lalu
dijabarkan dalam organisasi dan sistem wehrkreise (lingkungan
pertahanan atau pertahanan daerah). lalu pada
November 1948, sistem wehrkreise ini disahkan penggunaannya
melalui SURAT PERINTAH SIASAT No.1 yang ditandatangani
oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II, Jenderal
Soedirman mengeluarkan SURAT PERINTAH KILAT
No.1/PB/D/48. Isi surat Perintah Kilat ini yaitu bahwa
pada 19 Desember 1948 angkatan perang Belanda telahmenyerang Kota Yogyakarta dan Lapangan Terbang Udara
Maguwo. Pemerintah Belanda telah membatalkan gencatan
senjata (sebagaimana tercantum dalam Pernjanjian Renville
yang ditandatangani pada 17 Januari 1948). Semua angkatan
perang telah menjalankan rencana untuk menghadapi serangan
Belanda.
Serangan 1 Maret 1949 disebabkan oleh pemberitaan Belanda
kepada dunia bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui
akses jaringannya di luar negeri, Sri Sultan Hamengkubuwono
IX langsung menyampaikan kabar itu kepada Soeharto agar
segera merencanakan serangan balik kepada Belanda untuk
memberi sinyal kepada dunia bahwa Indonesia masih berdiri.
Berita penyerangan ini disiarkan melalui RRI, lalu
ditangkap oleh BBC London, dan disampaikan kepada Dewan
Keamanan PBB. saat berita ini menyebar luas, seluruh
wartawan internasional berkumpul di Hotel Merdeka untuk
mewawancarai para pejuang. Propaganda Belanda diringkus
habis dengan pernyataan bahwa kabar burung dari Belanda itu
keluar dari para pengacau keamanan. Dengan demikian,
Indonesia mendapatkan kedaulatannya kembali pada tanggal 27
Desember 1949. Puncak dari perang gerilya ini yaitu serangan 1 Maret 1949
yang direncanakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
lalu dikomando oleh Jenderal Soedirman, dan
dilaksanakan oleh Letkol Suharto. Ini menjadi bukti bahwasanya
segala komando perjuangan masih berada di pundak panglima
besar Jenderal Soedirman seperti yang telah dijelaskan di awal.
Perlawanan ini membuat Belanda semakin tercengang,
karena serangan ini memang sengaja dilakukan oleh
Indonesia, dan memberi tahu bahwa bangsa Indonesia tidak
takut dan masih akan terus berdaulat. Serangan ini yaitu
tanda bahwa bangsa Indonesia masih ada dan tidak takut
dengan segala bentuk penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia
siap untuk melawan dan mengusir segala bentuk penjajahan di
negara Indonesia dan perjuangan ini tidaklah sia-sia,
karena serangan ini mampu membungkam propaganda
yang dibuat oleh Belanda. Belanda pada waktu itu mengatakan
bahwa Indonesia sudah dikuasai, dan intrik-intrik itu
yaitu gerakan yang dilakukan oleh pengacau keamanan,
bukan dari para pejuang. Akhirnya serangan ini mampu
membungkam propaganda yang dilakukan oleh Belanda.
Perjuangan ini juga menjadi tonggak perjuangan para
pahlawan di medan perang karena perjuangan di ranah diplomasi juga memberi hasil yang baik, di mana Belanda
dapat diusir kembali ke negeri asalnya,
Nilai-nilai kehidupan yang dapat kita teladani salah satunya
yaitu religiusnya, di mana ia yaitu seorang jenderal yang
sangat taat terhadap agamanya. Soedirman yaitu seorang
muslim yang sangat taat, ia juga aktif sebagai juru dakwah di
bidang keagamaan. saat ia telah menjadi Panglima
Soedirman, ia tetap aktif melakukan kegiatan pengajian di
Gedung Pesantren Kauman Yogyakarta setiap selasa malam.1
Dengan ini membuat Jenderal Soedirman sangat
memegang kuat prisnsip kehidupanya berlandaskan agama.
Mayor Heru Santoso dan Kamrihadi memberi banyak
informasi atas sisi religius Jenderal Soedirman, termasuk
mengenai kekuatannya untuk bangkit dari tempat tidur setelah memanjatkan doa yang begitu khusyuk untuk keamanan negara
Indonesia. Ini menandakan bahwasanya dengan keadaan
apapun ia terus pasrahkan segala urusan kepada Tuhannya.
Terbukti dengan penjelasan di atas, saat Belanda sudah mulai
menyerang dan menguasai lapangan Maguwo, ia tetap
memanjatkan doa untuk keselamatan bangsanya.2 Nilai ini
tentunya harus dicontoh oleh generasi-generasi penerus, yaitu
segala bentuk kehidupan ini harus dilandaskan dengan
agama. Karena dengan pasrah ini Tuhan akan memberi
pertolongan kepada kita dengan cara yang tidak di duga-duga.
Tawakal menjadi bentuk kepasrahan seorang Jenderal
Soedirman, pasrah yang bukan tanpa usaha, tetapi ia
mengerahkan segala kemampuannya, lalu memasrahkan segala
urusanya kepada Allah. Sebagai seorang muslim yang taat ia
bertawakal dalam setiap usahanya saat bergerilya. Karena,
dengan ia bertawakal, Allah akan memberi anugerah berupa
keselamatan bagi dirinya ,Mayor Heru Santoso menyebut Jenderal Soedirman sebagai
tokoh nasionalis yang religius. Ia juga membeberkan lima ajaran
dari Jenderal Soedirman. Pertama yaitu setia akidah, yaitu
pemahaman bahwa pada dasarnya manusia yaitu ciptaan
Tuhan dan untuk itu harus setia kepada Tuhan. Kedua yaitu
setia ibadah, yaitu setiap manusia harus setia menjalankan
bentuk ibadah, apapun agamanya, sebagai bentuk kesetiaan kepada Tuhan yang telah menciptakannya. Ketiga yaitu setia
ilmu, bahwa anugerah tertinggi yang diberikan kepada manusia
yaitu akal budi. Akal budi ini yang memberi pembeda antara
manusia dengan hewan. Keempat ialah setia berkorban, yaitu
bagaimana usaha manusia agar ia dapat memberi manfaat
untuk manusia lain, sesuai dengan ajaran agama. Kelima yaitu
setia perjuangan, bahwa hakikat dari kehidupan yaitu sebuah
perjuangan. Kelima ajaran ini disebut sebagai “Lima Setia”.
Selain itu Jenderal Soedirman juga selalu menjaga kesucian
dirinya dengan menjaga wudhunya dimanapun tempatnya.
Bahkan saat ia sampai dirumah singgah Piyungan, ia tidak
melupakan wudhu dan menjalankan sholat sunah sebagai rasa
syukurnya karena telah diberikan keselamatan dalam perjalanan
gerilyanya. ini memberi pelajaran penting bagi
generasi sekarang walaupun sudah diberikan kemudahan
dalam menjalankan segala keinginan, hal yang harus dilakukan
yaitu bersyukur dan selalu ingat dengan Tuhan. Ini menjadi
penting susaha terhindar dari sifat sombong atau takaburPatriotisme yaitu sikap seseorang yang bersedia
mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan
kemakmuran tanah airnya.Melihat generasi muda sekarang
yang sudah tidak begitu memahami sikap patriotisme, maka
buku ini hadir untuk memberi pemahaman terkait sikap
patriotisme seorang Jenderal Soedirman yang berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan Jenderal
Soedirman begitu hebat, rela berkorban untuk mempertahankan
kemerdekaan bangsa ini dari segala ancaman bangsa asing.
Perjuangan ini ia lakukan demi negara ini dapat merdeka
seutuhnya.
Mayor teguh memberi informasi atas pengabdian Jenderal
Soedirman kepada bangsa ini, begitu pula Kamihardi. Mereka
sepakat bahwa Jenderal Soedirman tetap setia pada jalur tentara
dan ia tidak pernah memasuki ranah politik sama sekali hingga
akhir hayatnya.Sikap patriotisme Jenderal Soedirman membuatnya dicintai oleh
warga , selain itu mengajarkan para pengikutnya untuk
loyal. ini menjadi panutan utama para perwira sampai
sekarang. Jiwa patriotisme Jenderal Soedirman selalu diajarkan
dilingkungan TNI sebagai bentuk rasa hormat dan cinta kepada
Panglima Besar.
Pernyataan ini menjelaskan bahwa seorang prajurit
memiliki pendirian yang tegas serta tanggungjawab dalam
mempertahankan negara dari segala bentuk ancaman. Sebagai
ujung tombak keamanan negara, prajurit harus siap sedia
berkorban untuk bangsa dan negara, dan tidak boleh mudah
berbelok tujuan dari visi mulia dalam mempertahankan negara.
Ini yaitu nilai patriotik yang sangat luar biasa dari seorang
Jenderal Soedirman.
Pengorbanan yang ia lakukan tidak hanya berupa tenaga dan
pikiran, akan tetapi sesuatu yang sifatnya materil juga ia
korbankan. Seperti halnya saat ia sedang diburu oleh Belanda,
lalu melarikan diri dari Yogyakarta menuju Bantul ia
memerintahkan adik ipar dan ajudannya untuk mengambil seluruh perhiasan istri sang jenderal untuk perbekalan bagi
segenap pasukannya.
ini mengambarkan ketulusan pengorbanan Jenderal
Soedirman terhadap bangsa Indonesia. Hal-hal semacam ini
sepatutnya diwariskan kepada generasi penerus susaha
generasi penerus dapat meneladani sikap patriotisme Jenderal
Soedirman. Ini menjadi penting susaha generasi muda mampu
memiliki karakter yang kuat dan sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila, dan jauh dari pengaruh globalisasi yang akan
mengikis karakter bangsa Indonesia.
Aksinya dalam mempertahankan negara yaitu sebuah
perwujudan sikap patriotisme. Sikap hidup dan perilaku hidup
yang ikhlas berkorban, tidak mengenal putus asa, serta
senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara,
tabah dan tahan menanggung setiap ancaman sebagai akibat
kesetiaannya kepada tugas dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan. “Makin dekat cita-cita kita capai, makin besar
penderitaan yang harus kita alami.” ucap Jenderal Soedirman.Sebagai seorang panglima besar, Jenderal Soedirman tentunya
memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat luar biasa. ini
dapat dilihat dari kepemimpinannya dalam memenangkan
peperangan dalam rangka mengusir penjajah dari Indonesia.
ini dapat dilihat saat ia masih menjadi seorang kolonel,
kecakapannya mampu memukul mundur musuh saat
peperangan di Ambarawa pada tahun 1945.
Soedirman mampu mengintegrasikan seluruh kekuatan
bersenjata yang ada di seluruh wilayah Indonesia, baik dari
tentara reguler seperti TRI maupun dari badan-badan
perjuangan/laskar yang ada di kalangan warga .
Soedirman juga dikenal sebagai sosok pimpinan angkatan
perang yang cerdas, cakap, tegas dan bijak.Bentuk pengabdian
dan pengorbananya ia wujudkan untuk membangun kekuatan
guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari segala
bentuk penjajahan, maka Jenderal Soedirman telah membuktikan kepemimpinannya sebagai Panglima TNI yang
dapat digunakan sebagai teladan bagi generasi sekarang dan
yang akan datang.Walaupun dalam keadaan sakit, ia mampu memimpin seluruh
pasukanya untuk menjalankan strategi. Betapa hebatnya
Jenderal Soedirman dalam memimpin bahkan saat anak
buahnya sedih melihat keadaannya yang sedang sakit, akan tetapi ia tetap menjaga semangat pengikutnya untuk terus kuat
dalam menjalankan misi perjuangan. Di tengah anak buahnya
yang sedang merasa khawatir, Jenderal Soedirman
menyampaikan ‘Yang sakit yaitu Soedirman, panglima besar tidak
pernah sakit.”
Inilah bentuk tanggung jawab dari seorang pemimpin yang
terus memberi semangat pantang menyerah kepada prajuritprajuritnya untuk senantiasa bersemangat demi tercapainya
cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka seutuhnya. Hal
ini selaras dengan pernyataan Hadari Nawawi, yang
menjelaskan bahwasannya “Kepemimpinan yaitu proses
mengarahkan, membimbing, mempengaruhi, menguasai pikiran,
perasaan atau tindakan dan tingkah laku seseorang”.
Kepemimpinan lebih cenderung pada proses dari kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat
orang lain bersedia mengikuti perintah dalam mencapai sebuah
tujuan dari lembaga atau lembaga tertentu.” ini
dikarenakan Jenderal Soedirman sebagai seorang panglima besar akan memikul segala tanggung jawabnya sebagai seorang
pemimpin kepada prajuritnya, lalu dalam keadaan negara
sudah diserang ia harus hadir ditengah-tengah prajuritnya
untuk memotivasi dan mengarahkan susaha terkomando
dengan baik. Tidak heran, kala Soekarno memintanya untuk
tinggal sejenak di Yogyakarta, ia berkata “Maaf saja saya tidak bisa,
tempat saya yang terbaik yaitu ditengah-tengah anak buah, saya akan
meneruskan perjuangan Met of zonder pemerintah APRI berjuang
terus.
Pernyataannya ini menandakan ia sangat bertanggung
jawab sebagai seorang pemimpin yang lebih memikirkan
prajuritnya daripada dirinya sendiri. Ini menandakan bahwa
Jenderal Soedirman yaitu seorang pimpinan yang sangat
bertanggung jawab kepada semua prajuritnya. Tidak heran jika
di usia yang begitu muda ia sudah dipercaya untuk menjadi
seorang panglima besar, dan mengemban tugas dan tanggung
jawab yang besar.Tugas dan tanggung jawab yang diembannya ini ia pegang kuat dan sangat amanah. Nilainilai ini harus diajarkan kepada generasi penerus agar nilai-nilai
perjuangan itu terwariskan sebagai bekal para putra bangsa
membangun negara Indonesia untuk menjadi yang lebih baik.
sejarah majapahit 3
By Lampux.blogspot.com September 13, 2023
kerajaan Tartar. Maka
tentara Tartarpun sepakat dengan permintaan R Wijaya, akhirnya peperangan
terjadi tentara R Wijaya dibantu oleh pasukan Tartar melakukan penyerangan
dan berhasil membunuh Jayakatwang.sesudah Jayakatwang terbunuh, Raden
Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar
Kubilai Khan, sebagai wujud penyerahan dirinya. Panglima Tartar
mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, bukannya
mempersiapkan upeti, R Wijaya dan pasukannya malah menghabisi para
pengawal dari Tartar yang menyertainya. sesudah itu, dengan membawa
pasukan yang lebih besar, R Wijaya memimpin pasukan menyerbu pasukan
Tartar yang sedang dijamu dan merayakan pesta kemenangannya.
Pasukan Tartar yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa R
Wijaya akan bertindak demikian, akhirnya pasukan Tartar dibuat kalang
kabut menghadapi serangan mendadak yang dilancarkan oleh pasukan
Majapahit, seranga itu mampu membuat pasukan Tartar kocar kacir, pasukan
Tartar ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, dan memaksa mereka
keluar dari Pulau Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Bahkan
Panglima perang yang memimpin penyerangan ke pulau Jawa, harus
melarikan diri, sebelum akhirnya dapat bergabung kembali dengan sisa
pasukan yang menunggunya di pesisir utara (Ujunggaluh). Dari sini mereka
berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou.
Adalah Lembu Sora dan Ranggalawe, dua panglima perang Majapahit
yang bekerja sama dengan orang-orang Tartar menjatuhkan Jayakatwang, yang
melakukan penumpasan itu. Kekalahan balatentara Tartar oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya, mereka
nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di
dunia. Ada sebuah catatan yang mengatakan pada pertempuran di Ujung
Galuh, saat tentara tartar berhasil dikalahkan Majapahit, maka saat Itulah
bendera Getah Getih (Merah Putih) dikibarkan, kekalahan pasukan Tartar
sebagai tanda terbebasnya Nusantara dari interfensi kerajaan asing dan
Majapahit menjadi kerajaan yang merdeka.
sesudah berhasil mengusir pasukan Tartar dari pulau Jawa, maka Raden
Wijaya lalu menobatkan dirinya menjadi raja pertama Majapahit dengan
gelar Kertarajasa Jayawardana.. Penobatan R Wijaya sebagai Raja Majapahit
diperkirakan terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1216 Saka, atau 10
November 1293 M, lalu disaat yang sama dia menyatakan berdirinya
sebuah kerajaan baru yang dinamakan Wilwatikta atau Majapahit.
Dalam memimpin Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya dikenal
memerintah dengan tegas dan bijak. Kepemimpinan Kertarajasa dianggap
cukup bijaksana, dengan mengangkat para pengikutnya yang setia dalam
perjuangan dengan memberikan kedudukan dan hadiah yang pantas kepada
para pendukungnya. Arya Wiraraja yang banyak berjasa ikut mendirikan
Majapahit, diberi daerah khusus (Madura) dan diberi diberi kekuasaan atas
daerah Lumajang hingga Blambangan. Disamping itu Arya Wiraraja dan
Ranggalawe diangkat sebagai Pasangguhan Pranajaya (pejabat tinggi
kerajaan semacam hulubalang istana yang bertugas merencanakan dan
mengambil keputusan tentang seluk beluk pemerintahan yang harus
dilaksanakan para pejabat di bawahnya). Nambi diangkat menjadi patih,
Ranggalawe juga diangkat sebagai Adipati Tuban, dan Lembu Sora sebagai
patih Dhaha (Kadiri). Demikianlah sebuah catatan berdirinya kerajaan besar
di Nusantara yang pada akhirnya mampu menyatukan Nusantara dalam satu
payung besar Majapahit.
Majapahit mengalami kegaduhan dan guncangan kekusaan saat Raja
Jayanagara yang tewas ditikam tabibnya sendiri ( baca; Ra Tanca ) pada 1328
M. Putra R. Wijaya1
, pendiri kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, itu
belum sempat dikaruniai anak. Tak ayal, kematian Jayanagara menimbulkan
polemik terkait siapa penggantinya. Situasi inilah yang nantinya menaikkan
Tribhuwana Tunggadewi ke tampuk kekuasaan. Lantaran Jayanegara tidak
punya putra mahkota, yang berhak naik takhta adalah Gayatri, salah satu istri
R. Wijaya yang juga ibu tiri Jayanegara. Namun, Gayatri enggan menjadi
penguasa, ia sudah melepaskan ambisi duniawinya dengan menjadi bhiksuni
(Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Volume 1, 2006: 30). Di lingkaran
utama kekuasaan Majapahit saat itu sudah tidak ada laki-laki lagi. Dari
kelima istrinya, R. Wijaya hanya dikaruniai satu orang putra, yakni
Jayanegara, serta dua orang putri, yaitu Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah
Wiyat. Gayatri lalu memberi titah kepada putri pertamanya,
Tribhuwana Tunggadewi, untuk naik takhta, menjadi ratu penguasa
Majapahit. Demi baktinya kepada sang ibunda, Tribhuwana bersedia dan
kelak mengantarkan Majapahit ke gerbang kejayaan.
Nama asli Tribhuwana Tunggadewi adalah Dyah Gitarja. Beberapa bulan
sesudah Jayanegara tewas, ia dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Majapahit
pada 1329, dengan gelar Tribhuwana Tunggadewi Maharajasa
Jayawisnuwardhani (Slamet Muljana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya,
1979:135). lalu Tribhuwana Tunggadewi dipanggil sebagai “rajaputri”,
untuk membedakan dengan istilah “ratu” . Rajaputri Tribhuwana Tunggadewi
sebenarnya tidak pernah terpikir naik takhta sebagai pemimpin Kerajaan
Majapahit. Ia hanya mematuhi titah sang ibunda, Gayatri, dan memang sebab
tidak ada keturunan laki-laki lain sepeninggal Jayanegara.
Semasa Jayanegara masih hidup, Tribhuwana Tunggadewi dan adiknya, Dyah
Wiyat, dilarang menikah. Jayanegara takut takhtanya terancam oleh suami-suami
kedua adik tirinya itu. sesudah raja ke-2 Majapahit itu tewas, banyak pangeran
dari berbagai negeri yang datang untuk melamar Tribhuwana Tunggadewi dan
Dyah Wiyat. sesudah diadakan sayembara, Tribhuwana Tunggadewi disunting
oleh Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana, bangsawan muda keturunan rajaraja Singhasari, sedangkan Dyah Wiyat menikah dengan pangeran lainnya
bernama Kudamerta. Nantinya perkawinan Tribhuwana dengan Cakradhara
dikaruniai anak laki-laki bernama Hayam Wuruk. Orang inilah yang kelak
membawa Majapahit mencapai puncak keemasannya, berkat rintisan serta
bimbingan sang Rajaputri.
Selama era Jayanegara (1309-1328), Majapahit belum sempat menikmati
masa-masa indah. Ia dianggap lemah, jahat, dan tidak bermoral. Banyak intrik
yang muncul sebab kepemimpinannya yang dinilai kurang baik. Setidaknya
sudah terjadi lebih dari 8 kali pemberontakan terhadap Jayanegara yang akhirnya
tewas dibunuh tabibnya sendiri. Naik takhtanya Tribhuwana Tunggadewi
sebagai pengganti Jayanegara pun sempat memantik keraguan sebab belum ada
sejarahnya Majapahit dipimpin seorang perempuan. Namun, sang rajaputri
berhasil menepis skeptisme itu dan justru menjadi pembuka gerbang Majapahit
menuju masa emas. Purwadi (2007) dalam buku Sejarah Raja-raja Jawa:
Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa menyebut bahwa jasa
besar Tribhuwana Tunggadewi adalah meletakkan dasar-dasar politik
kenegaraan Majapahit (hlm. 107).
Gajah Mada berperan besar dalam kesuksesan era Tribhuwana. Saat
dilantik menjadi mahapatih pada 1334, Gajah Mada mengucapkan Sumpah
Palapa (Pitono Hardjowardojo, Sedjarah Indonesia Lama, 1961:191). Ia berikrar
tidak akan merasakan kenikmatan duniawi sebelum berhasil mempersatukan
Nusantara di bawah naungan Majapahit. Pada era Tribhuwana Tunggadewi
inilah ekspansi besar-besaran dimulai. Tahun 1343, Majapahit menaklukkan
Bali. Tiga tahun berselang, giliran kerajaan-kerajaan di kawasan lain di
Nusantara, terutama di Sumatera, yang ditundukkan. Majapahit sebenarnya
sedang menuju kegemilangan ketika Tribhuwana Tunggadewi memutuskan
turun takhta pada 1350. Keputusan ini diambil seiring wafatnya Gayatri.
Bagi Tribhuwana, singgasana Majapahit sebenarnya adalah hak sang ibunda
yang memberinya kuasa untuk menjadi pemimpin. sesudah Gayatri tiada,
Tribhuwana Tunggadewi menganggap bahwa amanat sang ibunda telah
ditunaikannya, dan ia merasa tidak berhak lagi menjadi penguasameskipun saat itu Majapahit tengah merintis pamor sebagai kerajaan yang
digdaya. Takhta Majapahit selanjutnya diserahkan kepada putra mahkota,
Hayam Wuruk. Tribhuwana Tunggadewi sendiri lalu menempati posisi
sebagai salah satu anggota Saptaprabhu, semacam dewan pertimbangan
agung yang beranggotakan keluarga kerajaan.
Pada masa pemerintahan Hanyam Wuruk dan atas saran Tribhuwana
Tunggadewi maka digelar sebuah upacara besar sebagai penghormatan untuk
Gayatri, Raja Hayam Wuruk menggelar upacara besar-besaran yakni Upacara
Srada. Seluruh pegawai istana, pemuka kerajaan, rakyat, juga para raja dari
berbagai negeri datang berbondong-bondong ke Majapahit untuk menghadiri
upacara ini . (Negarakertagama, pupuh 61-67). Tribhuwana Tunggadewi,
juga Gajah Mada, mendampingi Hayam Wuruk mengelola pemerintahan,
termasuk meneruskan obsesi penaklukan wilayah-wilayah lain di Nusantara.
Pada masa inilah Majapahit mencapai puncak kejayaannya yang dirintis sejak
era kepemimpinan sang rajaputri Tribhuwana Tunggadewi. Pada saat inilah
dalam usaha mempersatukan nusantara lalu Maha Patih Gajah Mada
mulai melaksanakan politik pemerintahan Majapahit yang lalu dikenal
dengan semboyan Mitreka Satata, sebuah semboyan politik dimana kerajaan -
kerajaan tetangga dianggap sebagai mitra dan berdiri sejajar dengan
Majapahit. Saking hebatnya pengaruh semboyan mitreka satata, dalam
sebuah percakapan dengan salah satu pemerhati Majapahit yaitu Nanang
Muni, mengatakan bahwasannya Mitreka Satata lah yang melatari sikap
politik Soekarno saat mendirikan organisasi Negara – Negara Non Blok.
Hayam Wuruk yang lalu bergelar Maharaja Sri Rajasanagara
yang memerintah Majapahit pada 1350-1389, mampu mencapai puncak
kejayaan dibantu oleh mahapatihnya yakni Gajah Mada (1313-1364),
tentunya, bimbingan, ajaran serta apa yang telah diberikan oleh Tribhuwana
Tunggadewi juga memiliki peran yang sangat besar. Pada masa Hayam
Wuruk Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Wilayah yang dikuasai
mencakup seluruh nusantara yakni sampai seluruh nusantara, Semenanjung
Malaya, Kalimantan, dan Sulawesi. Adapun di Kepulauan Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua, sekitar 98 kerajaan pada saat itu ada pada genggaman
Majapahit. Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh 13-15, daerah
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan,
Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura)
dan sebagian kepulauan FilipinaPupuh 13
1. Terperinci pulau Negara bawahan, paling dulu M’layu, Jambi,
Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut Daerah Kandis,
Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane.
2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga
Barus. Itulah terutama Negara‐negara melayu yang telah tunduk. Negara‐
negara di Pulau Tanjungnegara; Kapuas‐ Katingan, Sampit, Kota Lingga,
Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut ini
Pupuh 14
1. Kandandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan.
Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solor dan juga Pasir. Barito, Sawaku,
Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau
Tanjungpura.
2. Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut
Langkasuka, Saimwang, Kelantan, serta Trengganu Johor, Paka, Muar,
Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah. Jerai, Kanjapiniran, semua sudah
lama terhimpun.
3. Disebelah timur Jawa, seperti yang berikut: Bali dengan Negara yang
penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, Pulau Sapi,
dan Dompo. Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
4. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan
daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah
Bantayan beserta Kota Luwuk. Sampai Udamaktraya dan pulau lain‐lainnya
tunduk
5. ini pula pulau‐pulau Makasar, Buton, Bangawi Kunir, Galian,
serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula, Wanda (n), Ambon atau pulau
Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau‐pulau lain.
Pupuh 15
1. Inilah nama Negara asing yang mempunyai hubungan. Siam dengan
Ayudyapura, begitu pun Darmanagari Marutma, Rajapura, begitu juga
Singanagari. Campa, Kamboja, dan Yawana ialah Negara sahabat.
2. Tentang pulau Madura, tidak dipandang Negara asing. sebab sejak
dahulu dengan Jawa menjadi satu. Konon tahun Saka lautan menantang
bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
3. Semenjak Nusantara menadah perintah Sri Baginda. Tiap musim
tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan
menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti
warga Majapahit umumnya merupakan warga yang
majemuk. Wilayah Kerajaan Majapahit yang sangat luas, dengan segala
karakteristik wilayahnya, menjadikan Majapahit memiliki keragaman yang
ditentukan oleh banyak hal, wilayah di pedalaman yang bersendikan agraris,
akan memiliki pola kebudayaan yang berbeda dengan daerah pantai yang
bersendikan perdagangan. warga pedalaman lebih bersifat tertutup
dengan kebudayaan siklus (berputar tetap). Sementara warga pantai
yang secara geografis sering berhubungan dengan bangsa asing, lebih bersifat
terbuka terhadap hal-hal baru. Kehidupan keagamaan Majapahit
menunjukkan pula hubungan dengan sendi-sendi toleransi yang kuat.
Majapahit mengakui dan menghormati dua agama besar saat itu, yakni Hindu
dan Buddha, dalam bentuk pengangkatan pejabat keagamaan dalam struktur
pemerintahannya (Pinuluh, Esa Damar, 2010).
Semasa menjabat menjadi raja, Hayam Wuruk tidak hanya menerapkan
kebijakan untuk meningkatkan bidang pertahanan dan keamanan di dalam
negeri. Meningkatkan bidang pertahanan dan keamanan, Majapahit di masa
pemerintahan Hayam Wuruk terbebas dari ancaman baik dalam maupun luar
negeri. Tidak ada pemberontakan yang digencarkan dari dalam negeri, maupun
dari luar negeri Majapahit. Hubungan kerja sama di bidang ekonomi dengan
negara-negara tetangga sangatlah penting bagi Majapahit. Hal ini sebab
Majapahit merupakan sumber barang dagangan yang sangat laku di pasaran.
Barang dagangan seperti beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkih,
pala, kapas, dan kayu cendana. Bidang perdagangan, Majapahit memiliki
peranan ganda yang sangat penting, yakni sebagai produsen dan perantara.
Dengan luasnya kerajaan Majapahit yang mampu mempersatukan
banyak pulau-pulau di Nusantara, hal itu membuat majapahit menjadi kerajaan
maritim yang amat kuat. Bahkan kerajaan-kerajaan tetangga segan dan takut
dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh Majapahit pada masa mahapatih
Gajah Mada masih menjabat. Kekuatan armada laut Majapahit bahkan dipuji
para penjelajah laut. Kekuasaan Majapahit yang sangat luas ini tentu bukan
sebuah pekerjaan mudah dan begitu saja diperolehnya, namun untuk
mencapai puncak kejayaannya, Majapahit memiliki kekuatan militer yang
sangat kuat yang kita kenal dengan pasukan Bhayangkara. Bhayangkara
adalah nama pasukan elit Kerajaan Majapahit. Mereka lah yang dikerahkan di
garda depan saat terjadi peperangan. Mereka pula yang membuat rakyat
Majapahit selalu merasa terayomi dan aman. Seleksi untuk menjadi Pasukan
Bhayangkara tidaklah mudah. Seorang calon anggota Bhayangkara harus
menguasai berbagai ilmu dan tangkas dalam bela diri. Seleksi yang ketat ini
menjadikan jumlah pasukan hanya sedikit. Namun ini tidak menjadi masalah
sebab kekuatan satu orang Bhayangkara sama dengan kekuatan empat puluh
orang prajurit biasa.
Namun sebesar apapun armada yang dipakai , sebanyak apapun
pasukan yang dimiliki, jika tidak ada pimpinan yang dapat mengatur strategi,
maka semuanya akan sia-sia. Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam
Wuruk memiliki dua pemimpin militer yang jenius, yaitu Gajah Mada dan
Mpu Nala. Mpu Nala bertanggung jawab atas pertahanan laut kala itu.
Sementara Gajah Mada sangat pandai dalam mengatur strategi baik operasi
intelejen, penyerangan, maupun pertahanan. Ia memimpin hampir di setiap
peperangan. Ia pula yang merakit senjata-senjata yang dipakai oleh
prajurit Majapahit. Salah satu rakitannya adalah cetbang.
Pada masa keemasannya bukan hanya kekuatan maritimnya saja yang
berkembang pesat bahkan siklus perekonomian yang ada di kerajaan
Majapahit berjalan amat baik, perdagangan antar kerajaan juga berlangsung
dengan baik bahkan sebagai alat transaksi pasar pada masa Majapahit telah
memakai mata uang logam sebagai alat transaksi ekonomi mereka. Pada
masa kejayaannya itu, Majapahit memang dikenal sebagai negara yang kuat
oleh berbagai kerajaan tetangga. Beberapa kerajaan disekitar Asia Tenggara
yang memiliki hubungan dagang yang baik dengan Majapahit adalah
Thailand, Singapura dan Malaysia. Selain dari sisi perdagangan, pertaninan
milik rakyat Majapahit juga berjalan baik dengan hasil panen yang cukup
baik tiap tahunnya, hal ini disebabkan sebab pusat pemerintahan
Majapahit terletak di daerah yang subur.
Kebesaran Majapait tidak hanya terbangun sebab kekuasan yang
sedemikian luasnya dan kehidupan perekonomian berkembang dengan pesat,
namun kerukunan hidup yang terjali pada saat itu merupakan faktor lain yang
mampu membawa Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar, pada saat itu setiap
warga Negara ( Rakyat ), hidup damai dan berdampingan, hal itu mampu
terbangun karna mereka meyakini falsafah kehidupan Bhinneka Tunggal Ika Tan
Hana Dharma Mangrwa yang tertuang dalam naskah Sutasoma karya agung
Rakawi Tantular dan lalu falsafah inilah yang melatarbelakangi atau
menjadi cikal bakal terbentuknya Pancasila yang masih relevan dan begitu
penting untuk dimaknai bagi bangsa Indonesia saat ini. Lebih enam ratus tahun
lalu, Gajah Mada, seorang negarawan sejati telah membuktikan keampuhan
falsafah ini menjadi kekuatan spiritual untuk membangun persatuan yang
terbukti mampu membawa bangsa yang sangat heterogen ini mencapai kejayaan
yang sangat disegani dan berwibawa di mata mancanegara
Sejenak kita akan kembali pada sebuah masa, dimana pada saat itu
berdiri sebuah kerajaan besar yang awalnya hanya berupa pedukuhan kecil di
alas Terik, ya nama pedukuhan itu adalah Majapahit sebuah nama yang
diambil dari buah maja yang rasanya pahit. Seiring perjalanan waktu tepat
saat pasukan tartar mau menyerang pulau jawa, saat itulah awal dari
bangkitnya Majapahit, hingga akhirnya mampu menjadi penguasa Nusantara
yang mampu menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan
Majapahit. Hingga pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk dengan gelar
Rajasanagara yang didampingi Mahapatih Gajah Mada, Majapahit telah
berhasil dalam menghimpun kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain di
Nusantara. Meski sang mahapatih hanya mendampingi selama 14 tahun,
keberhasilan ini tidak hanya dalam hal politik atau keamanan regional, tetapi
juga dalam perdagangan.
Majapahit berkepentingan mengamankan wilayah kerajaan-kerajaan
lain sebab kerajaan adikuasa itu membutuhkan pasar untuk menjual hasil
buminya, sekaligus membutuhkan sumber daya dari kerajaan lain yang
berpotensi untuk perdagangan. Pada masa itu arus perdagan berjalan dari
Majapahit ke Negara – Negara kecil ( Pramudya Ananta Toer, Arus Balik )
hal inilah yang pada akhirnya mebentuk hubungan dagang sehingga
warga Majapahit menjadi multikultur.” Majapahit berkembang menjadi
sebuah metropolitan, tempat beragam budaya dan agama bertemu dan
membentuk kehidupan kota. Gambaran ragam budaya yang hidup bersama di
Majapahit dituliskan oleh Prapanca dalam Kakawin Nagarakertagama pada
1365, “Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung dari
Jumbudwipa (India), Kamboja, Cina, Yamana, Campa, dan Goda, serta
Saim. Mereka mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta,
semua merasa puas, menatap dengan senang.”
Masuknya berbagai suku bangsa dalam pusaran perdagangan
Majapahit juga memunculkan keberagan kepercayaan (agama), pada masa itu
agama yang berkembang adalah Hindu dan Budha. Rajasanagara telah
menempatkan rumah ibadah yang akhirnya membentuk tata kota Majapahit:
Sebelah timur untuk Siwa, sedangkan sebelah Barat untuk Buddha. Setiap
tahun sang raja juga berkeliling ke tempat-tempat yang berbeda, dari kota
pelabuhan hingga tempat pertapaan pendeta Siwa di gunung-gunung. Rajaraja di Majapahit, khususnya Rajasanagara, mempunyai kebijakan untuk
mengatur kehidupan multiagama. Dalam sebuah peraturan dipaparkan tujuan
kebijakan ini adalah saling menghargai antaragama, mencegah konflik
sosial-agama atau manajemen konflik, dan menunjukkan sifat toleransi yang
menghargai perbedaan. Bahkan nilai – nilai luhur pancasila dilandasi oleh
kitab sutasoma, sebuah kitab yang lahir dan ditulis oleh Empu Tantular pada
masa Majapahit, “bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” sebuah
penggalan falsafah hidup yang dipegang teguh pada masa itu. sebab hal
itulah pada saat itu warga Majapahit yang beragam mampu hidup
berdampingan.
Lantas bagaimana dengan keberagaman dan pengamalan pancasila
pada manusia Indonesia modern saat ini? Ketika bicara mamusia modern tiba
– tiba ada seulas senyum pada bibir penulis, baiklah kita bahas fenomena
keberagaman dewasa ini, pertama. Kita bahas tentang kejadian yang sempat
viral yaitu : Fenomena kesalahan melafalkan sila Pancasila yang terjadi pada
finalis ajang pemilihan Puteri Indonesia 2020 utusan provinsi Sumatera Barat
beberapa waktu lalu patut dicatat sebagai bukti nyata posisi Pancasila dewasa
ini yang tengah berada pada titik nadir. Menurut Romo Benny Susetyo, Staf
Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),
ketidakhafalan sila-sila Pancasila menjadi fenomena lazim sejak tumbangnya
Orde Baru. “Masalahnya, hampir sesudah Reformasi mata pelajaran Pancasila
ditiadakan. Akibatnya, generasi pasca Reformasi tidak hafal lagi Pancasila,”
tuturnya (Detiknews, 07 Maret 2020).
Akan tetapi, apabila lalu kita ikut-ikutan merundung pribadi finalis
Puteri Indonesia 2020 utusan provinsi Sumatera Barat ini , saya pikir hal itu
sangat tidaklah bijak. Justru, fenomena ini menjadi pelajaran bagi kita semua,
terutama insan-insan di lingkungan lembaga pendidikan. Apakah kita sendiri
juga hafal sila-sila dalam Pancasila? Apakah kita sendiri telah memahami dan
melaksanakan butir-butir nilai ajaran yang terkandung dalam Pancasila, serta
mengajarkannya pada peserta didik di lingkungan pendidikantempat kita mengabdikan diri? Apakah kita memahami perjalanan sejarah
kelahiran Pancasila sebagai konsepsi kebangsaan Indonesia?
Akan menyita waktu yang panjang bagi masing-masing dari kita
untuk menengok kembali diri kita lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini . Tetapi, waktu yang panjang juga bukan alasan untuk tidak
melakukan refleksi dan berinstrokspeksi. Apalagi, jika kita sudi untuk
menengok ke belakang; melihat kembali kebermaknaan nilai-nilai yang kita
sebut sebagai Pancasila ini di masa lalu.
Pancasila lahir dan hadir melalui sejarah yang panjang dan berliku
untuk bangsa Indonesia sebagai falsafah kebangsaan. Pada batang tubuh
Pancasila terkandung nilai-nilai yang menunjukkan kejatidirian kita sebagai
bangsa yang memiliki keberagaman. Bangsa Indonesia tidak hanya memiliki
keberagaman ras, warna kulit, jenis rambut, dan seterusnya, namun juga
memiliki keberagaman agama, etnik –berikut sub etnik-, bahasa daerah, dan
sebagainya yang melahirkan keberagama adat istiadat serta pola pikir dan
perilaku masing-masing warga bangsa. Keberagaman ini jelas menuntut
sistem pengelolaan ekstra dalam mengurus eksistensi dan keberlanjutan
negara-bangsa Indonesia. Apalagi tanpa adanya staminaspiritual yang luar
biasa dan saling pengertian yang mendalam antar-warga Indonesia
(Ma’arif, 2015:20).
Saling pengertian inilah yang menjadi modal dasar lahir, berkembang,
dan berjayanya sebuah bangsa. Sejarah dunia telah mencatat bahwa ada
bangsa dan negara yang lahir namun lalu pecah menjadi rumpun
bangsa dan negara yang lebih kecil sebab punahnya rasa saling pengertian di
antara warganya. Sejarah lahir dan terpecahnya beberapa negara di Eropa
Timur di tahun 1990-an hingga 2000-an, seperti Cekoslowakia yang terpecah
menjadi Ceko dan Slowakia, Yugoslavia yang terpecah menjadi Serbia,
Montenegro, Chechnia, dan Moldovia, dan tentu saja pecahnya Uni Soviet
menjadi Rusia, Armenia, Azerbaizan, Turkmenistan, dan beberapa lagi
lainnya. Kesadaran untuk membangun konstruksi saling pengertian ini
lalu bermutasi menjadi persatuan dan kesatuan.
Persatuan dan kesatuan bangsa bukan sesuatu yang terberi sebagaimana
karunia pemberian Tuhan. Persatuan dan kesatuan bangsa menuntutperjuangan
dalam proses kelahiran maupun perkembangannya. Proses ini di Indonesia
diawali denganterbentuknya Kerajaan Sriwijaya pada abad VII dan Kerajaan
Majapahit pada abad XIV. Pada era Majapahit ini pulalah untuk pertama kalinya
dikenalkan konsepsi bernegara bernama “Pancasila”.
Meski Pada saat itu belum timbul rasa kebangsaan,yang ada adalah
semangat bernegara, padakenyataannya terdiri dari beberapa kerajaan kecil.
Rumusan falsafah negara belum jelas, konsepsi cara pandang belum ada,
yang ada berupa slogan-slogan seperti yang ditulis oleh Mpu Tantular;
Bhineka Tunggal Ika (Sekretariat Jendral MPR RI, 2012 : 151). Hal inilah
yang lalu mengilhami para founding fathers Indonesia untuk menggali
kembali, memakai dan memelihara visi Nusantara,bersatu dalam
Wawasan Nusantara dengan Pancasila sebagai ideologi negara dengan
membangun penafsiran baru sebab dinilai relevan dengankeperluan strategis
bangunan Indonesia merdekayang terdiri dari beragam agama, kepercayaan,
ideologi politik, etnis, bahasa, dan budaya.
Perkembangan Kerajaan Majapahit memwarisi cara pandang kesatuan
teritorial nusantara (Wawasan Nusantara) dari masa Kerajaan Sriwijaya, dan
Kerajaan Singasari. Terlebih ketika Singasari di bawah pemerintahan
Kertanegara (mertua R. Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit). Kertanegara
menganggap penting adanya nusantara yang bersatu guna membendung
ekspansi Tiongkok (Kerajaan Tartar/Mongolia) ke wilayah Asia Tenggara
(Mulyono, 2006:32).
Di masa pemerintahan Raja Prabhu Hayam Wuruk dan Patih
Mangkubumi Gajah Mada telah berhasil mewujudkan mimpi leluhur raja-raja
Majapahit. Beberapa hal yang dibangun Hayam Wuruk dan Gajah Mada
untuk menciptakan Wawasan Nusantara (sebagai landasan Pancasila) kala itu
masih bernuansa oligarkhi yaitu menempatkan kekuatan religio magis yang
berpusat pada Sang Prabhu, ikatan sosial kekeluargaan terutama antara
kerajaan-kerajaan daerah di Jawa dengan Sang Prabhu dalam lembaga Pahom
Narandra.Jadi dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai religius sosial dan politik
yang merupakan materi Pancasila sudah muncul sejak memasuki jaman
sejarah (Suwarno, 1993: 23-24).
Negarakertagama dan Sutasoma merupakan dua buah karya monumental
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Dalam kitab Negarakertagama karya
Mpu Prapanca istilah ‘Pancasila’ disebutkan sebagai “berbatu sendi yang lima”
(dalam bahasa Sansekerta), juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang
lima” (Pancasila Krama), yaitu: (1)tidak boleh melakukan kekerasan; (2) tidak
boleh mencuri; (3) tidak boleh berjiwa dengki;
(4) tidak boleh berbohong; dan (5) tidak boleh mabuk minuman
keras(Darmodihardjo, 1978:6). Sedangkan dalam nukilan “Bhineka Tunggal
Ika” termaktub dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang meski konteks
penulisannya diperuntukkan bagi toleransi antar penganutSiwa dan Budha
namun dapat diperluas maknanya menjadi keberterimaan pada keberagaman
dan tidak menjadikannya sebagai pemicu perpecahan (Sekretariat Jendral
MPR RI, 2012:181).
Salah satu kebijakan Hayam Wuruk dalam pengelolaan warga
yang multi-agama di Majapahit adalah mereka mengangkat pejabat-pejabat
tinggi baik dari agama Siwa maupun dari agama Buddha bersama-sama.
Pejabat tinggi yang menangani hukum dan kehidupan beragama ada 2 yaitu
Dharmādhyaksa ring Kaśaiwan (agama Siwa) dan Dharmādhyaksa ring
Kasogatan (agama Buddha). Di samping kedua pejabat tinggi ini , masih
ada 5-7 pejabat pelaksana di bidang hukum dan agama yang disebut Sang
Upapatti yang lalu berubah menjadi Sang Upapatti
Saptadulur(Budianta, 2002:63). Lembaga ini beranggotakan pejabat lintas
agama dan mengatur mekanisme ritual ibadah masing-masing agama.
Di masa itu juga diatur tentang peta penyebaran agama. Daerah
sebelah timur Majapahit untuk para bhiksu menyebarkan agamanya,
sedangkan para bhiksu tidak boleh menyebarkan agama di sebelah barat,
sebab daerah itu diperuntukkan pendeta Siwa. Pengaturan ruang gerak itu
disertai himbauan agar para pendeta baik Saiwa maupun Buddha tidak lupa
mengutamakan kepentingan negara dan tidak asyik dengan kepentingan
sendiri (Pigeaud I, 1960:12-13).
Pelembagaan sistem pengelolaan kegiatan keagamaan ini di masa
Majalahit di atas tidak hanya bertumpu pada keamanan dan kenyamanan untuk
melakukan ibadah sesuai dengan nilai Sila Pertama Pancasila; “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Namun juga mempertimbangkan aspek keadilan sebagai manusia
dengan sistem adab yang disepakati bersama sebagaimana nilai yang terkandung
dalam Sila Kedua Pancasila; “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” serta Sila
Kelima Pancasila; “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Pelembagaan dengan anggota yang memiliki perbedaan latar belakang agama
serta dalam mekanisme pengambilan keputusannya mengedepankan musyawarah
untuk mufakat merupakan bentuk konkret perwujudan nilai pada Sila Keempat
Pancasila; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam
permusyawaratan/perwakilan”.Hebatnya, kesemuanya didasarkan pada
ekspektasi untuk menjaga stabilitas kesatuan Majapahit agar tidak mengarah
pada perpecahan berdasar sentimen agama. Sesuatu yang menjadi spirit
mendasar dalam Sila Ketiga Pancasila; “Persatuan Indonesia”.
Perjalanan suatu bangsa tidak bisa lepas dari akar-akar
kebudayaannya dari masa lalu, agar selamat dan sentosa dalam
mengembangkan dinamika hidup pada masa sekarang dan masa mendatang.
Sekilas perwujudan nilai-nilai Pancasila dalam perikehidupan warga ,
bangsa, dan negara di masa Majapahit menandaskan bahwa dari dahulukala
bangsa kita adalah bangsa yang religius,mengedepan persatuan dan kesatuan,
menjunjung tinggi toleransi, gemar bergotong-royong dan bermusyawarah
demi kebaikan bersama.
Menjadi indah bukan jika Pancasila tidak semata berhenti pada hafalan,
namun telah meresap dalam setiap tarikan nafas, detak jantung, pandangan mata,
serta jejak langkah kehidupan –baik di lingkungan kita yang terkecil yaitu
keluarga hingga lingkungan berwarga , berbangsa, dan bernegara-.
Pagi ini, udara sangat sejuk, kicau burung bersahutan, matahari
bersinar agak redup, dan angin sepoi-sepoi semilir, membuat orang enggan
bekerja dan berangkat sekolah. Yah, untung saja pagi ini adalah Hari
Minggu. Sungguhpun demikian, orang-orang di lereng Pawitra tetap harus
bekerja, sebab mereka harus pergi kesawah dan ladang untuk segera
memanen padi dan sayuran yang mereka tanam. Buah-buahan belum bisa
dipanen, sebab baru berbunga. Selain itu warga disekitar Pawitra juga
banyak yang menanam tanaman hias.
Jika liburan sekolah menjelang, gunung dan lereng Pawitra ini ramai
sekali dikunjungi oleh pengunjung yang hendak menikmati keindahan
panorama serta pemandangannya. Sungai yang berliku, gemericik air, sawah
luas terbentang bagai permadani, hamparan bunga yang berwarna-warni,
sangat elok untuk dinikmati oleh mata kita. Dari kejauhan, lembah tampak
hijau bagai hamparan permadani. Begitu pula dengan udaranya yang segar,
menambah nyamannya suasana. Ditambah lagi dengan aroma pohon pinus
yang ada di kiri kanan jalan saat menuju daerah yang lebih atas lagi.
Bagi pecinta alam dan pendaki gunung, Gunung Pawitra adalah medan
alam yang lengkap dan sempurna untuk pendaki pemula. Siapapun bisa
mencapai puncaknya asalkan bernyali besar untuk tidak putus asa sampai ke
puncak, Meskipun tidak begitu tinggi, namun untuk mencapai puncaknya
diperlukan waktu 5-6 jam untuk bisa menikmati betapa indah dan agungnya
ciptaan Yang Kuasa. Dari atas gunung, pendaki bisa melihat hamparan laut
jawa, sungai berantas yang memanjang seperti ular dari hulu ke hilir, hangat
dan indahnya sinar matahari terbit dari timur, pada malam hari cahaya lampu
kota-kota di bawah gunung, serta cahaya bulan dan bintang, dan yang pasti
udara dingin yang menusuk tulang, jika perjalanan mendaki ditempuh pada
malam hari. Semua lelah akan terbayarkan jika sudah sampai puncaknya.
Dahsyat rasanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata hanya bisa dirasakan
dan diresapi dalam jiwa atas karunia dan keagungan Tuhan. Satu-satunya
kata yang bisa terucap adalah rasa syukur kepada Tuhan Maha Besar, sekali
lagi terima kasih atas karuniaMu.
Gunung Pawitra adalah sebuah gunung yang tidak begitu tinggi hanya
memiliki ketinggian 1.659 m. Gunung Pawitra ini gunung yang berkabut.
Makanya dinamakan Pawitra, yang artinya kabut, sebab puncaknya yang
runcing selalu tertutup kabut. Gunung Pawitra ini dikelilingi oleh empat
gunung di sekitarnya yang tidak lebih tinggi, yaitu Gunung Gajah Mungkur
(1.084 m), Gunung Bekel (1.240 m), Gunung Sarahklopo (1.235 m), dan
Gunung Kemuncup (1.238 m). Keadaan medan Gunung Pawitra tidak
berbeda dengan gunung - gunung lain , datar, landai, miring, berbukit dan
berjurang. Di kaki gunung, keadaan medannya landai sampai sejauh 2 km.
Naik ke atas kemiringannya berkisar 30 - 40 derajat. Di bagian perut gunung
agak curam, berkisar 40 -50 derajat sepanjang 1 km. Sampai di dada gunung,
banyak jurang-jurang dengan kemiringan berkisar 50-60 derajat, tanahnya
berbatu sepanjang 2 km dari dada, leher sampai puncak gunung. Medannya
amat curam, berbatu, licin dan kemiringannya berkisar 60 -80 derajat
sepanjang 1,5 km. sampai di puncak, batu - batu padas nampak di sana - sini.
Di puncak ada lembah, barangkali semacam kawah yang sudah tidak
aktif lagi. Luasnya sekitar 4 ha.
Gunung Pawitra merupakan gunung api yang tidur atau jenis gunung
bukan berapi. Letak gunung berapi tidur ini membelah Kabupaten Pasuruan
dan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, berjarak kurang lebih 60 km dari
Surabaya. Di dekatnya Gunung Pawitra ada juga Gunung Arjuno dan
Gunung Welirang. Diantara gunung lainnya Gunung Pawitra tak setinggi
gunung-gunung tetangganya. Setiap gunung ini juga mempunyai cerita dan
misteri alamnya yang tersembunyi.
Tuhan begitu sayangnya dengan melimpahkan semua karunia ini pada
manusia. Karunia ini harus disyukuri dan dijaga kelestariannya. Begitu pula
dengan warga di lereng Gunung Pawitra ini sangat mensyukuri nikmat
Tuhan yang diciptakanNya bagi segenap warga lereng gunung. Segala
kebaikan alam sudah Tuhan ciptakan pada Gunung Pawitra.
Gunung Pawitra adalah gunung yang sangat terkenal, baik pada masa
lalu maupun pada masa sekarang. Gunung Pawitra mempunyai nama lain
yaitu Gunung Penanggungan. Dalam mitologi Jawa, Penanggungan adalah
gunung yang dianggap paling suci. Gunung ini dikenal memiliki nilai sejarah
tinggi sebab di sekujur lerengnya ditemui berbagai peninggalan purbakala,
baik candi, pertapaan, maupun petirtaan dari periode Jawa Kuno di Jawa
Timur. Di masa itu gunung ini dikenal sebagai Gunung Pawitra. Setidaknya
ada 81 bangunan candi yang pernah berdiri di kawasan lereng Pawitra.
Dari angka tahun yang ditemukan di beberapa bangunan candinya, diketahui
bahwa bangunan-bangunan ini didirikan antara abad X Masehi
(Pemandian Jalatundo, 977 M) sampai dengan abad XVI Masehi.
Semua peninggalan bersejarah yang ada di kawasan Pawitra
ditemukan pada tahun 1920 an, saat terjadi kebakaran hutan yang hebat di lereng
gunung ini . Dari kejadian itu pula, benda-benda dari masa kejayaan
Majapahit ikut banyak ditemukan beserta situs arkeologi dan ribuan artefak
lainnya yang tersebar di lembah dan lereng sisi barat dan utara Penanggungan
bisa terungkap. Dari situs peninggalan dan berbagai buku kuno akhirnya bisa
diceritakan tentang asal usul Gunung Pawitra sebagi berikut.
Dikisahkan pada zaman dahulu Pulau Jawa atau Jawa Dwipa (sebutan
Pulau Jawa pada jaman dulu) masih selalu bergoyang-goyang, selalu
berpindahpindah terombang-ambing terbawa arus ombak Samudra Hindia
dan Laut Jawa. Pulau Jawa Dwipa tidak bisa tetap pada suatu tempat. Selalu
berpindah kemana arus samudra membawanya.
Para Dewa di Kahyangan sangat resah akan hal ini. Bumi belum
seimbang. Untuk membuat pulau Jawa tetap tinggal di tempatnya, Para dewa di
kahyangan telah memutuskan bahwa Tanah Jawa itu cukup baik untuk
perkembangan peradaban manusia selanjutnya, untuk itu harus dihentikan
goncangannya. Keadaan Pulau Jawa saat itu membuat Batara Guru prihatin.
Batara Guru adalah raja para dewa. Dia dengan dibantu para dewa bertugas
menjaga seluruh dunia ciptaan Tuhan. Batara Guru mencari akal untuk membuat
Pulau Jawa menjadi berat agar tidak selalu berpindah-pindah tempat.
Kegundahan hati Batara Guru diketahui oleh Batara Narada. Batara Naradaadalah dewa tertua yang menjadi penasihat Batara Guru. Batara Narada
segera menemui Batara Guru. Batara Guru berterus terang kepada Batara
Narada. Batara Narada menganggukangguk sesudah mengetahui persoalan
yang membuat hati Batara Guru gundah.
Dewa Batara Guru sebagai raja para dewa memerintahkan kepada
para dewa yang lain untuk memotong puncak gunung Mahameru di
Jambhudwipa (India) dan memindahkannya ke Pulau Jawa sebagai bahan
pemberat, agar Pulau Jawa tidak bergoyang-goyang di Lautan.
Para dewa di kahyangan memutuskan untuk memindahkan Gunung
Mahameru yang menjadi pusat alam semesta dari Jambhudwipa (India) ke
Pulau Jawadwipa. Mahameru lalu dipotong dan digotong bersama-sama oleh
Dewa sambil terbang di angkasa.
Selama perjalanan, bagian-bagian lereng Gunung Mahameru
berguguran dan berceceran, maka terciptalah rangkaian gunung-gunung dari
Jawa bagian barat hingga Jawa Timur. Tubuh Mahameru yang berat jatuh
berdebum menjadi Gunung Sumeru atau Semeru sekarang, gunung tertinggi
di tanah Jawa.
Walaupun sudah diletakkannya puncak Mahameru menjadi Gunung
Semeru, tapi Pulau Jawa masih tetap miring, akhirnya Para Dewa memotong
lagi Puncak Semeru dan meletakkan potongan puncaknya pada suatu tempat.
Potongan puncaknya itu menjadi Gunung Pawitra atau Penanggungan
sekarang ini. Jadi Gunung Penanggungan adalah gunung yang menanggung
keseimbangan Pulau Jawa. Makanya diberi nama Gunung Penanggungan.
Gunung ini juga selalu diselimuti kabut putih, makanya disebut juga
Gunung Pawitra.
Para Dewa merasa lega, sebab tugas berat untuk menyeimbangkan
Pulau Jawa sudah terlaksana dengan baik. Sejak saat itu Pulau Jawa menjadi
pulau yang banyak gunungnya. Dan tidak lagi terombang ambing di ombak
laut dan samudra.
sesudah semua selesai, Dewa Batara Guru ingin mengunjungi Pulau
Jawa, segera lalu menuju ke Gunung Pawitra atau Penanggungan untuk
bertapa dan bersemedi. Selama bertapa setiap hari Dewa Batara Guru mandi
sebanyak enam kali dalam sehari semalam. Memang sumber air disini sangat
segar dan jernih serta bersih. Akibatnya seluruh mata air atau tandon air yang
ada di Gunung Pawitra menjadi habis. sebab kehabisan air, maka Dewa
Betara Guru terpaksa pindah mandi ke gunung di dekatnya, yaitu yang
bernama Gunung Kemukus.
Di Gunung Kemukus ini persediaan air masih banyak dan melimpah.
Sewaktu akan mandi, airnya berbau belerang sehingga akhirnya gunung ini
dikenal dengan nama Gunung Welirang. Gunung ini letaknya berdekatan
dengan Gunung Pawitra.
Maka dari itu sangat dianjurkan kepada para pecinta alam dan
pendaki gunung untuk membawa bekal air sewaktu mendaki Gunung Pawitra
sebab dikawasan ini sulit mencari air, sebab persediaan air telah dihabiskan
Batara Guru.
Gunung Pawitra yang dulu, oleh warga sekarang lebih dikenal
dengan nama Penanggungan. Pawitra yang berarti kabut sebab tubuhnya
selalu diselimuti kabut. Walau setinggi 1659 m di atas permukaan laut,
gunung ini tak mudah dilalui. Cuacanya selalu berubah-ubah, berkabut dan
gerimis, tak peduli musim.
Konon segala kebaikan dan cerita tentang Gunung Pawitra menjadi
perhatian banyak orang tanpa terkecuali termasuk raja, resi, dan rakyat biasa.
Mereka meyakini bahwa Gunung Pawitra adalah tanah suci, swargaloka dan
tanah tempat bersemayam para dewa. Banyak orang yang menggantungkan
hidup pada kesuburan dan keindahannya, juga flora dan fauna yang hidup
didalam hutan Gunung Pawitra.
sebab itu, raja-raja yang berkuasa di Tanah Jawa pada saat itu lebih
memilih membangun tempat pemujaan kepada Tuhan di daerah Gunung
Pawitra, agar negara dan bangsanya damai dan makmur. Bahkan raja-raja
yang kalah perang juga mencari perlindungan ataupun melarikan diri ke
Gunung Pawitra. sebab tempat ini dianggap suci, maka tidak ada yang
berani melakukan peperangan di tempat ini ataupun berbuat yang tercela di
sini. Seperti tempattempat suci lainnya, di gunung ini semua terjaga dengan
baik dan selaras dengan alam.
Gunung Pawitra merupakan pusat kegiatan kaum resi atau karsyan.
Para resi adalah mereka yang mengundurkan diri dari dunia ramai, memilih
hidup menyepi di keheningan alam pegunungan dan kehijauan hutan yang
masih asri. Gunung Pawitra dijadikan pusat aktivitas keagamaan kaum resi,
tentu berdasar pemikiran bahwa Pawitra tidak lain dari puncak Mahameru
itu sendiri. Apabila para resi dan kaum pertapa itu bermukim di lerengnya,
berarti lebih mendekati Rahmat Tuhan, lebih mudah berkomunikasi dengan
dunia Swarloka.
Selain itu Gunung Pawitra juga dijadikan sebagi tempat untuk belajar
banyak hal, seperti ilmu pengetahuan, ilmu kanuragan, ataupun kesenian.
Gunung Pawitra memang berkah Tuhan untuk semua makhluk di bumi.
Mayarakat pada masa itu sebagaimana juga dengan warga
lainnya memanfaatkan sumberdaya lingkungan sesuai dengan perkembangan
peradaban, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya mereka
sudah cukup tinggi terbukti mampu membangun candi-candi yang megah
dengan peralatan yang masih sederhana. Hasil pengamatan terhadap segala
bentuk, posisi, atribut, dan keadaan relief flora dan fauna di Relief fauna
yang teridentifikasi menunjukkan hewan peliharaan seperti anjing yang
berkalung, burung dan juga hewan ternak seperti angsa dan ayam.
Selain itu ada juga hewan yang dipakai untuk transportasi atau
dimanfaatkan tenaganya seperti kuda, gajah, keledai, sapi dan kerbau.
lalu ada juga relief rusa yang kemungkinan sebagai hewan buruan dari
hutan yang ada di sekitar lereng Pawitra. Selain itu ditemukan juga gambar
singa yang tidak ditemui di Indonesia. sebab tidak pernah melihat langsung,
bentuk singa ini jadi aneh dalam penggambarannya.
Resi sebagai orang yang pintar selalu memberi saran kepada raja.
Salah satu pesannya kepada raja bahwa, candi, prasasti, tempat ibadah,
pertapaan dan tempat peristirahatan di Pawitra tidak bisa dibangun
disembarang tempat, harus didirikan di atas tanah yang subur.
Raja belum mengerti maksud perkataan Resi. Akhirnya Raja
memanggil Resi ini .
“Resi, ceritakan padaku apa maksud wejangan singkatmu tadi,”
kata Raja.
“Tuanku Raja, kalau boleh hamba memberi saran, dalam membangun candi
perhatikan unsur lingkungan, maksudnya candi selalu didirikan di atas tanah
yang subur, dekat dengan sumber air atau sungai,” kata Resi.
“Mengapa?” kata Raja
“sebab air mempunyai peranan yang sangat besar untuk upacaraupacara
keagamaan, seperti membersihkan anggota tubuh sebelum berdoa dan
membersihkan tempat ibadah” kata Resi.
“Untuk itu warga harus selalu menjaga kelestarian air dengan tidak
menebangi pohon-pohon yang besar dan berusaha menanami lingkungan
sekitar candi dengan pohon-pohon yang mampu mengikat air seperti pohon
beringin, pohon bambu, dan tumbuhan besar lainnya” begitu pesan Resi
selanjutnya.
Selain itu Resi juga punya permintaan berkaitan dengan itu, yaitu
bahwa Raja harus mau membebaskan rakyat dari pungutan pajak atau sima
bagi warga yang hidup di daerah sekitar tempat suci di Pawitra. Sebagai
gantinya rakyat harus mau merawat lingkungan serta bangunan suci dan
tempat pertapaan yang ada di Pawitra.
Oleh Raja semua permintaan Resi dikabulkan, dan pesan singkat itu
diabadikan pada sebuah prasasti (batu bertulis). Tujuannya agar keturunan dan
warga yang mendiami Gunung Pawitra selalu menjaga tanah suci ini, agar
tetap lestari dan bermanfaat. Hidup selaras berdampingan dengan alam.
Dengan dikabulkannya permintaan sang Resi, maka warga yang
hidup di dekat bangunan suci dan candi-candi di Gunung Pawitra dianjurkan
untuk merawat candi sebagai syarat untuk dibebaskan dari pajak. Raja
memungut pajak dari warga desa yang lain dan pajak itu akan
dipakai untuk merawat bangunan suci. Namun warga tetap
diperbolehkan untuk bekerja sesuai dengan keahliannya. Selain merawat
bangunan suci, sebagian besar warga hidup dari bertani dan pertanian
pada masa itu juga cukup berkembang.
Untuk melestarikan mata air di Gunung Pawitra, Resi dan Raja juga
sudah memikirkannya. Air adalah hal yang penting dalam kehidupan maupun
peribadatan. Untuk itu dibangunlah sebuah petirtaan. Adalah pemandian kuna
(patirthan) Jalatunda yang ada di lerengnya. Pemandian itu dibangun
pada tahun 899 - 977 M dan masih mengalirkan air hingga sekarang. Airnya
dianggap amerta (air keabadian) sebab ke luar langsung dari tubuh
Mahameru, gunung pusat alam yang di puncaknya ada swarloka,
persemayaman dewa - dewa. Sampai sekarang air petirtaan ini dianggap
bermanfaat bagi kesehatan warga setempat. Petirtaan lain yang tak kalah
bermanfaatnya yaitu petirtaan Candi Belahan. Konon dikisahkan bahwa
pembangunannya selain untuk bersucinya badan juga dimaksudkan sebagai
bukti cinta raja pada permaisurinya. Selain petirtaan sebagai bukti cinta para
raja kepada permaisurinya banyak sekali candicandi yang dibuat sebagia
bukti cintanya, banyak relief candi juga ditemukan yang berkisahkan
percintaan seperti kisah Ramayana.
Tahun berganti tahun, Gunung Pawitra sebagai tempat suci atau
swargaloka tak lagi terdengar suaranya. Gunung Pawitra lebih banyak
dimanfaatkan untuk kepentingan uang daripada fungsi awalnya sebagai
penanggung, penyeimbang, pusat kebaikan. Zaman modern membuat
warga setempat melupakan pesan singkatnya Sang Resi.
Manusia mulai serakah dan tak peduli lagi akan lingkungan, hutan di
Pawitra kini telah gundul oleh penebangan liar pencurian hasil hutan. Selain
itu juga terjadi pengrusakan tanah oleh pabrik serta pengambilan tanah secara
besarbesaran untuk tanah urug (tanah penimbun), pembukaan lahan
pertanian. Bahkan bangunan candipun tak luput dari pencurian dan
penjarahan. Belum lagi ulah sebagian para pendaki gunung yang tidak
bertanggung jawab yang membuang sampah sembarangan, membuat coretan
pada candi ataupun secara tak sengaja merusak artefak, pepunden, candi dan
bebatuan lain yang bernilai sejarah tinggi.
Banyak hutan yang sudah gundul sudah mulai dirasakan akibatnya
oleh warga sekitar, beberapa sumber air sudah mulai kering dan kalau hujan
menimbulkan kekhawatiran tanah longsor, udara Pawitra sekarang tidak lagi
sesejuk dahulu. Bahkan beberapa flora dan fauna asli Pawitra sudah mulai
musnah. Sehingga akibat keserakahan dan kesalahan ini beberapa tahun yang
lalu, banjir bandang pernah menimpa daerah ini dan menewaskan banyak
orang. Demikianlah keadaan Pawitra atau Penanggungan yang sekarang
sangat memprihatinkan.
Hingga pada suatu hari ada seorang ketua adat setempat yang
bermimpi, bahwa bencana tanah longsor dan banjir yang mengerikan
melanda daerah sekitar lereng dan gunung akan terjadi lagi. Selain itu ketua
adat juga bermimpi mendapatkan wejangan singkat dari Resi yang bernama
Mpu Sindok, yang isinya mengingatkan kembali akan pentingnya menjaga
kelestarian alam yang sudah dilakukan oleh warga Pawitra sejak zaman
dulu, seperti menanam pohonpohon yang mampu mengikat air, menjaga
kelestarian candi dan memanfaatkan alam secara arif dan bijaksana. Tidak
menebang pohon, menjaga sumber air dan bercocok tanam dengan benar.
Ketika terbangun Pak Ketua Adat merasa bersalah, sebagai pemimpin
dia harus lebih peduli dan akan menggalakkan budaya kearifan dalam
menjaga alam, agar alam tetap bersahabat dengan manusia, dan tidak
menyian-yiakan anugerah Tuhan begitu saja.
Sejak dulu nenek moyang kita sudah mengajarkan secara benar
mengenai alam, dan arti pentingnya bagi manusia. Kalau kita merwat alam
dengan baik, maka alam akan bersahabat, sebaliknya kalau kita merusaknya
bencana akan melanda dan menimpa kita.
Sejak kejadian itu, sang ketua adat mulai berkampanye tentang
kelestarian alam Pawitra. Semua warga diajak untuk melestarikan Gunung
Pawitra seperti yang sudah dilakukan oleh nenek moyang mereka sejak zaman
dulu. Selain reboisasi, warga juga berusaha untuk melindungi aset bangsa
yang lain yaitu berupa candi-candi, arca-arca, yang banyak bertebaran di
sekitar gunung. Semua wajib bertanggung jawab, tanpa kecuali. Sebutan
tempat suci untuk Pawitra harus dilestarikan jika kita ingin melindungi
generasi selanjutnya. Diciptakan Tuhan berkabut, mungkin agar manusia
enggan dan tidak berani menjamahnya, agar tetap lestari sebagai tanah yang
menanggung kehidupan
Dalam rangka pembangunan nasional, Pemerintah berusaha menggali
dan mengembangkan berbagai potensi sumber daya yang ada di setiap daerah.
Salah satunya dengan mengembangkan potensi pada sektor pariwisata. Untuk
mencapai pembangunan ini Pemerintah telah mengeluarkan berbagai
kebijakan dalam bidang kepariwisataan. Pembangunan pariwisata perlu
ditingkatkan untuk memperluas kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan
devisa serta memperkenalkan alam kebudayaannya
Pembangunan sektor pariwisata ini merupakan salah satu program
andalan Pemerintah Indonesia yang memiliki prospek dan peranan penting
dalam pembangunan. Hal ini sebab Indonesia memiliki potensi keindahan
alam, keanekaragaman seni budaya, adat istiadat serta peninggalan sejarah.
Semua itu merupakan aset pariwisata yang potensial untuk dikembangkan.
Suksesnya pengembangan kepariwisataan sangat ditentukan oleh adanya
dukungan serta partisipasi aktif seluruh lapisan warga terutama
penduduk sekitar objek wisata. Kegiatan pariwisata tentunya tidak lepas dari
potensi pariwisata yang ada di setiap daerah. Di Indonesia banyak sekali
objek yang menarik yang biasa dijadikan sebagai objek wisata, objek-objek
ini antara lain objek wisata alam, wisata budaya (wisata religi), dan
wisata bahari. Oleh sebab itu, setiap daerah berusaha mengembangkan dan
saling bersaing dalam sektor pariwisata.
Perkembangan makam Troloyo sebagai objek wisata religi, tidak terlepas
dari pengaruh perkembangan Islam di Jawa yang terjadi dengan pesat pada abad
XV-XVI, namun sebelumnya telah didahului oleh pertumbuhan komunitas
muslim secara sporadis di kota-kota pelabuhan Majapahit, khususnya bandarbandar sepanjang pantai utara Jawa Timur, Sungai Brantas, serta di sekitar
Trowulan, dan Troloyo dijadikan sebagai pusat perkembangan Islam oleh
Pemerintahan kerajaan Majapahit. Saat inilah terjadi perpindahan
agama dari Hindu-Budha ke Islam oleh sebagian besar penduduk di pusatpusat perdagangan ini (Mustopo, 2001:2).
Tjandrasasmita (dalam Wahab, 2008:82-82) menjelaskan bahwa
keberadaan nisan–nisan Islam di Troloyo menandakan bahwa Islam
berkembang bukan hanya di bandar, tetapi juga masuk ke pusat kerajaan
Majapahit pada saat kerajaan Majapahit tengan mencapai puncak
kejayaannya pada abad ke-14, dengan toleransi kebijakannya, Majapahit
menerima para pedagang muslim memasuki ibukotanya dan membolehkan
mereka membentuk komunitasnya sendiri. Selain itu, ciri khas hiasan dan
penulisannya yang bertahun Saka Hijriah (aksara Arab), mengisyaratkan
pertemuan antara tradisi seni Jawa-Hindu masa Majapahit dan Islam. Dengan
bukti ini, sangat mungkin sebagian besar orang muslim dalam komunitas di
Troloyo dan Trowulan adalah orang Jawa yang telah diIslamkan.
Adanya latar belakang sejarah dari makam Troloyo telah
membuktikan bahwa pentingnya peninggalan Islam di zaman Majapahit
untuk dikembangkan menjadi sebuah wisata religi. Hal ini dimaksudkan agar
warga dapat mengetahui dan memahami keberadaan makam Troloyo di
Trowulan yang merupakan salah satu peninggalan dari kerajaan Majapahit.
Makam Troloyo telah menjadi bukti perkembangan Islam pada masa kerajaan
Majapahit. Dibandingkan dengan objek-objek lain yang ada di Trowulan,
seperti Museum Trowulan, Makam Putri Cempa, Mahaviara Majapahit,
Kolam Segaran, Lantai Segi Enam dan lain-lainnya. Situs makam Troloyo
mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu banyak situs makam Islam yang
ada di situ, merupakan peningalan Islam di zaman kerajaan Majapahit
dan selalu ramai dikunjungi oleh warga dan para peziarah, khususnya
para peziarah dari daerah Trowulan dan pada umumnya peziarah dari daerah
kabupaten Mojokerto dan daerah-daerah yang ada di Jawa Timur.
Dijadikannya makam Troloyo sebagai wisata budaya (wisata religi),
diharapkan mampu untuk mengembangkannya secara berkelanjutan dan
berusaha menggali potensi pariwisata yang ada di Kabupaten Mojokerto secara
menyeluruh. Dengan adanya objek wisata ini mampu untuk bersaing
dengan daerah-daerah sekitar bahkan tingkat nasional dalam pencapaian
pengembangan wisata budaya (wisata religi). Objek wisata ini diharapkan dapat
memberi manfaat bagi warga setempat terutama pada peningkatan
ekonominya. Manfaat dari kegiatan ini dapat dinikmati oleh pihak pengelola
wisata, Pemerintah setempat serta warga yang berdagang dan menawarkan
jasanya di sekitar objek wisata religi makam Troloyo.
Keanekaragaman tujuan dan perilaku para peziarah yang datang ke makam
Troloyo telah membuat perpaduan karakter kebudayaan yang membantu
eksistensi dan pengembangan makam Troloyo.
Gambaran Umum Kompleks Makam Troloyo
Makam Troloyo terletak di dukuh Sidodadi, Desa Sentonorejo,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Orang pertama yang menyebut
tentang Troloyo dengan makam-makam lainnya adalah P.J. Veth dalam
bukunya Java Jilid II tahun 1878. Ahli lainnya yang menaruh perhatian pada
makam Troloyo adalah Verbuk, Knebel, N.J Kromndan lain-lain, sedangkan
penelitian terakhir tentang Troloyo dilakukan oleh L.C.H. Damais yang
menginterpretasikan serta mencoba mencari hubungan dengan kerajaan
Majapahit ,
Penjabaran makam-makam yang ada di kompleks makam
Troloyo, baik yang ada di dalam maupun di luar kompleks makam Troloyo Pada kompleks makam Troloyo ada beberapa
kelompok makam diantaranya:
1. Makam Sayyid Syeikh Jumadil Kubro
Di tempat ini dimakamkan seorang tokoh penyebar agama Islam
dari Samarkhand-Azarbaijan. Syeikh Jumadil Kubro yang dilahirkan
sekitar tahun 1256 dalam tradisi tharekat Kubrawiyah di Asia Tengah,
menjadikannya sebagai seorang sufi pengembara yang melakukan tradisi
dakwahnya hingga ke Campa pada abad ke-13. Salah seorang putranya,
Ibrahim Asmorakandhi, dinikahkan dengan putrid raja Campa, Dewi
Candrawulan, yang kelak menurunkan sunan Ampel. Sejarah masuk dan
berkembangnya Islam di Jawa tidak terlepas dari nama Syeikh Jumadil
Kubro dan Syeikh Syubakir waliullah, penyebar agama Islam asal Persia,
nenek moyang Raden Rachmad aatau lebih dikenal dengan Sunan Ampel
Dento ,
Ketokohan beliau sangat spektakuler sebab beliau adalah pioner
penyebar agama Islam di wilayah kerajaan Majapahit dimana pada saat itu
pengaruh agama Hindu sangat kuat disamping keyakinan warga pada
arwah leluhur dan benda-benda suci. Beliau pulalah yang mengusulkan
kepada penguasa Islam di Turki (sultan Muhammad I) susaha sultan
mengundang ulama-ulama terkenal yang mempunyai berbagai ahli guna
membahas metode dakwah menyebarkan agama Islam di kerajaan
Majapahit. Bermula dari usul beliau ini akhirnya terbentuk kelompok
ulama yang berjumlah sembilan untuk menyebarkan agama Islam di
kerajaan Majapahit. Kesembilan ulama ini yang disebut Wali Songo.
Perjuangan Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan agama Islam
melawan penguasa Majapahit sangat besar dan hayat beliau berakhir di
medan pertempuran membela agama Islam. Keturunan beliau (cucu dan
cicit) menjadi tokoh penyebar agama Islam di pulau Jawa sepeninggal
beliau
Di dalam kompleks makam Mbah Sayyid Jumadil Kubro ada
pohon pule, yang kulitnya banyak dipakai sebagai obat penyakit gatal
Keberagaman para peziarah yang datang ke makam Syeikh
Jumadil Kubro, memicu perbedaan dalam tata cara berdoa. Hal itu
biasa terjadi di dalam makam Syeikh Jumadil Kubro. Berikut ini petikan
catatan lapangan yang menggambarkan kondisi para peziarah ini
ketika berada di dalam makam.
“Banyak para peziarah yang datang ke makam Syeikh Jumadil Kubro,
dengan berbagai karakter cara menyampaikan caranya untuk bertawasul
atau mencari keberkahan. Pelarangan untuk memakai pengeras suara
merupakan salah satu usaha untuk menjaga ketenangan di dalam makam.
Perilaku peziarah tertib dan serius ketika membacakan do’a di dalam
makam”.
Dengan demikian ada sifat saling menghormati antara
peziarah yang datang ke makam Syeikh Jumadil Kubro meskipun mereka
berbeda dalam tata cara berdo’a.
Dari ini dapat dijelaskan bahwa pohon pule
yang tampak kering itu merupakan keunikan tersendiri dari pohon ini.
Seolah-olah pohon ini mati tetapi di bagian atas atap makam Syeikh
Jumadil Kubro ada rerimbunan dedaunan dan cabang batang pohon
pule yang masih hidupDari (gambar 1.3) ini dapat dijelaskan bahwa kondisi makam
Syeikh Jumadil Kubro ramai dikunjungi oleh peziarah sebab banyak para
peziarah dan warga setempat mempercayai bahwa makam Syeikh
Jumadil Kubro mempunyai karomah tertinggi dibandingkan dengan makammakam lainnya yang berada di kompleks makam Troloyo.
2. Makam Tiga (Kubur Telu)
Ketiga makam ini berada di dalam cungkup makam Sayyid
Jumadil Kubro. Ketiga makam ini adalah makam Syeikh Abdul Qodir
Jaelani Assyni (Tan Kim Han), Syeikh Maulana Sekah dan Syeikh
Maulana Ibrahim. Beliau adalah pengikut Sayyid Jumadil Kubro dari
negeri Champa-Muangthai (Wahab, 2008:294), (lihat gambar 1.4).
Peziarah yang datang di makam tiga atau kubur telu merupakan
salah satu usaha dilakukan menyambung tawasul dan mencari
keberkahan di dalam makam ini . Berikut ini petikan catatan
lapangan yang menggambarkan kondisi para peziarah ini ketika
berada di dalam makam.
“Kedatangan peziarah di makam tiga ini sesudah para peziarah datang ke
makam Syeikh Jumadil Kubro, sebab makam ini satu atap dan tempat
yang sama, tetapi banyak juga yang langsung keluar sesudah dari makam
Syeikh Jumadil Kubro”.
Dengan adanya ini dapat disimpulkan bahwa makam kubur
telu atau makam kubur telu, kedudukan atau karomahnya lebih rendah
dari pada makam Syeikh Jumadil Kubro”.
3. Makam Patas Angin
Tokoh yang dimakamkan di makam ini adalah seorang kusir raja
Majapahit. Beliau dikenal sakti. Banyak peziarah yang mengunjungi
makam ini
4. Makam Endang Roro Kepyur
Endang Roro Kepyur adalah seniman tari pada zaman Majapahit.
Konon, beliau pada waktu itu berparas cantik. Dan pada zaman kerajaan
Majapahit, wilayah Troloyo adalah sebuah alun-alun kerajaan yang sering
dipakai sebagai tempat hiburan rakyat. Saat ini banyak peziarah dari
kalangan seniman yang mengunjungi makam ini
5. Makam Tumenggung Satim Singgomoyo
Beliau adalah pejabat kerajaan Majapahit yang sudah memeluk
agama Islam pada saat itu. Peranan beliau dalam membantu Sayyid
Jumadil Kubro sangat besar. Beliau sering diajak berdiskusi oleh Sayyid
Jumadil Kubro untuk memecahkan kesulitan-kesulitan dalam berdakwah.
Beliau juga menyarankan raja Majapahit saat itu (Prabu Kertabumi)
untuk bergabung Wali Songo pada saat kerajaan Majapahit mendapatkan
serangan dari kerajaan Kediri. Makam ini dikeramatkan dan banyak
warga sekitar mengadakan selamatan apabila mereka akan
mengadakan hajatan. Dan makanan yang dipakai untuk selamatan
adalah ikan bandeng bukan ikan ayam.
Di dalam kompleks makam ini juga ada dua makam lainnya
yaitu makam Tumenggung Safari dan Raden Husen (Sayyid Chusen).
Tumenggung Sofari adalah tokoh yang bertugas merawat jenazah pada
jaman kerajaan Majapahit, sementara Raden Husen adalah adik Raden
Patah yang memimpin pasukan Majapahit melawan pasukan Islam
Demak. sesudah sunan Kalijogo menemui Raden Husen dan menjelaskan
bahwa pasukan muslim Majapahit sebenarnya diadu domba dengan
pasukan Demak oleh Girindra Wardana sebab Girindra tidak ingin
muncul kerajaan Islam berkembang besar, Raden Chusen berbalik
menyerang pasukan Majapahit beliau terkenal sebagai panglima yang
sangat berani di medan laga. Akhir hayat beliau berakhir di medan perang
antara kerajaan Islam Demak dan kerajaan Majapahit. Konon beliau
meninggal sebab terkena “tombak 1000” menancak pada badan beliau
dan beliau tidak ingin tombak-tombak ini dicabut, beliau ingin
tombak-tombak ini tetap menancap pada jasad beliau pada saat
beliau dimakamkan
Dari gambar dapat dijelaskan bahwa ada pohon
mati yang ada di makam ini, berdasar keterangan dari warga
bahwa pohon ini telah ada dari dulu (berpuluh-puluh tahun) kondisinya
tetap seperti ini. Pohon mati inilah yang menjadi keunikan tersendiri di
makam Troloyo.
6. Petilasan Wali Songo
Tempat ini bukanlah suatu makam melainkan sebuah petilasan
yang dipakai Wali Songo sebagai tempat musyawarah untuk
melakukan dakwah menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Dan tempat
ini konon pernah dipakai oleh Tumenggung Satim mengislamkan para
muallaf Majapahit
7. Makam Sunan Ngudung
Makam ini merupakan makam terpanjang di kompleks makam
Troloyo. Menurut cerita, pada malam Jum’at legi tepatnya pukul 12 malam,
banyak darah tercecer di makam Sunan Ngudung dan darah ini akan
hilang dengan sendirinya seiring lewatnya waktu malam. Sunan Ngudung
adalah ayah dari Sunan Kudus, dan merupakan senopati Demak yang
ditugaskan untuk memimpin perang melawan Majapahit, Banyak peziarah
yang datang ke makam ini guna mencari keberkahan
Makam sunan Ngudung juga ramai dikunjungi para peziarah, kerena
makan ini dekat dengan masjid dan mempunyai kelebihan tersendiri dari
pada makam-makam lainnya. Hal ini diceritakan oleh Mas Haimin, seorang
penjaga kebersihan di makam sunan Ngudung, sebagai berikut.
“Banyak peziarah yang datang ke makam sunan Ngudung sebab makam ini
merupakan makam terpanjang di kompleks makam Troloyo, dan sebagian
besar para peziarah yang datang kesini adalah untuk menyelesaikan
permasalahannya dan dimudahkan dalam mencari jodoh”.
Berikut ini beberapa makam yang terletak di belakang tembok
pembatas kompleks makam yaitu:
1. Makam Syeikh Rokhim
Syeikh Rokhim adalah seseorang tokoh pengikut Sayyid Jumadil
Kubro. Awalnya beliau adalah pencuri yang sakti dengan mendapat
julukan Maling Aguno. Pada zamannya beliau bertemu Sayyid Jumadil
Kubro dank arena kagum atas kelebihan Mbah Sayyid Jumadil Kubro,
Syeikh Rokhim menjadi pengikutnya
2. Makam Syeikh Zaelani
Makam ini terletak suatu lokasi dengan makam Syeikh Rokhim.
Tokoh ini mempunyai kesamaan cerita dengan Syeikh Rokhim. Awalnya
adalah seorang pencuri dengan sebutan Maling Langkir dan bisa masuk
rumah melalui kunci. Namun akhirnya sadar dan menjadi pengikut Mbah
Sayyid Jumadil Kubro
3. Makam Syeikh Qohar
Lokasinya berdekatan dengan dua makam terdahulu. Tokoh ini
mendapat julukan Maling Cluring dan bisa masuk rumah lewat cahaya
lampu. Namun akhirnya menjadi pengikut Mbah Sayyid Jumadil Kubro
Makam Syeikh Qohar ini merupakan makam yang berada di luar
area kompleks makam Troloyo. Banyak peziarah yang datang kesini
ketika malam jum’at legi. Hal ini diceritakan oleh bapak Syaiful Hadi,
seorang tokoh agama di desa Sentonorejo, sebagai berikut.
“Makam Syeikh Qohar ramai dikunjungi oleh peziarah sesudah kedatangan
Gus Dur, kerena ketika beliau datang ke makam Troloyo makam yang di
dahulukan ialah makam Syeikh Qohar, sehingga sampai saat ini banyak
peziarah dan warga desa Sentonorejo menyakini bahwa makam
Syeikh Qohar mempunyai karomah yang tinggi”.
Kondisi Makam Syeikh Kohar pada tahun 2019 sudah mengalami
perubahan yang menojol dan didepannya sekarang dibangun Pondok
Pesantren Segoro Agung yang dipimpin oleh Gus Bimo Agus Setiawan.
4. Makam Mbah Rembyong
Konon di lokasi ini ditanam tumbal oleh Syeikh Subakir sebelum
Wali Songo periode pertama melakukan tugas menyebarkan agama Islam
di tanah Jawa. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum kedatangan Wali
Songo periode pertama, wilayah pulau Jawa terkenal angker disebabkan
oleh pengaruh Animisme dan Dinamisme. Mbah Rembyong (Muniron)
adalah seorang janda dari daerah Lamongan
5. Makam kencono wungu dan anjasmoro
Makam Kencono Wungu adalah Ratu Majapahit yang arif dan
bijaksana. Di makam ini juga dimakamkan Anjasmoro, putri Patih
Logender. Beliau adalah istri lain Damarwulan
6. Makam Tujuh (Kubur Pitu)
Disebut makam Tujuh sebab disini dimakamkan tujuh orang yaitu:
(1) Noto Suryo; (2) Noto Kusumo; (3) Gajah Permodo; (4) Noyo
Genggong; (5) Sabdo Palon; (6) Emban Kinasih; (7) Polo Putro. Ketujuh
orang ini merupakan yang berada dilingkungan istana kerajaan Majapahit,
ada yang menjabat sebagai Patih, Senopati, dan Abdi Dalem
Pada bagian selatan di dalam kompleks makam Troloyo ada
tempat peristirahatan sementara untuk para peziarah, biasanya tempat ini
dipakai untuk berteduh, aktivitas makan dan minum serta tempat untuk
tukar pikiran atau mengobrol
Keberadaan Masjid di kompleks makam Troloyo telah menjadi
tempat untuk melaksanakan ibadah shalat. Masjid ini juga menjadi masjid
desa Sentonorejo yangn biasa dipakai untuk shalat Jum’at dan shalat
hari raya. berdasar wawancara dengan bapak Mundir selaku petugas
kebersihan dan penjaga kotak makam (pada tanggal 20 Maret 2011),
menjelaskan bahwa:
“Masjid Troloyo ini seharusnya dilakukan usaha pembenahan secara
menojol terutama pada atap masjid, sebab pada saat hujan maka sering
terjadi kebocoran. Pembenahan sudah mulai dilakukan secara bertahap
mulai dari tempat wudhu”.
keberadaan tempat pelataran tempat MCK perlu diperbaiki lagi sebab
pada saat hujan, genangan air masih ada dan memicu para peziarah
menjuju ke tempat wudhu dan tempat MCK. Hal ini berdasar
wawancara dengan bapak Mundir selaku petugas kebersihan dan penjaga
kotak makam (pada tanggal 20 Maret 2011), menjelaskan bahwa:
“Perlu adanya jalan alternatif untuk memudahkan para peziarah ketika
hendak menuju ke tempat wudhu dan tempat MCK”.
Ketinggian masjid dan makam juga perlu diperhatikan juga, sebab
tempat ibadah yaitu masjid lebih tinggi dibandingkan makam. Hal ini
berdasar wawancara dengan bapak Syaiful Hadi selaku tokoh agama di
Desa Sentonorejo menjelaskan bahwa:
“Seharusnya ketinggian masjid dan makam lebih diperhatikan lagi, sebab
berdasar kenyataan yang ada, ketinggian masjid di makam Troloyo lebih
rendah dibandingkan dengan cungkup makam Syeikh Jumadil Kubro. Hal
itu seharusnya yang terbalik, berdasar konsep Islam adalah bangunan
Masjid seharusnya lebih tinggi dari pada cungkup makam. Takutnya nanti
ada salah paham ketika seseorang memintanya kepada makam atau
leluhurnya bukan kepada Allah SWT”.
Aktivitas peziarah di kompleks makam Troloyo merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk mengharap barokah dari makam yang ada
disitu. Kedatangan pertama para peziarah biasanya langsung menuju ke
makam Syeikh Jumadil Kubro, sebab makam ini banyak diyakini
oleh warga dan para peziarah mempunyai karomah tertinggi dan
merupakan punjer walisongo. sesudah dari makam Syeikh Jumadil Kubro,kebanyakan para peziarah datang ke makam Kubur Telu, Tumenggung
Satim, Patas Angin, Endang Roro Kepyur dan Sunan Ngudung. Terkait
makam yang berada di luar kompleks makam Troloyo, seperti makam
Kencono Wungu, Syeikh Kohar, Kubur Pitu, Eyang Surgi, Dipo
Rembyong dll. Biasanya dikujungi oleh peziarah yang mempunyai
maksud dan tujuan tertentu. Peziarah ini bermalam di makam atau
penginapan beberapa hari sampai tujuannya selesai. Pada hakekatnya,
kedatangan para peziarah ialah mencari barokah dari makam yang dituju,
misalnya untuk mendapat pekerjaan, jodoh, penyelesaian masalah,
peningkatan keimanan dan ketakwaan kita (mengingat mati) dan lainlainnya. Disitulah para peziarah melakukan tawasul atau berdoa dengan
keyakinannya masing-masing. Dengan cara bertawasul di makam di
harapkan dapat dijadikan sebagai lantaran doa untuk meminta harapan
dan mengabulkan doa kita kepada Allah SWT.
Perkembangan Makam Troloyo sebagai Objek Wisata Religi di Desa
Sentonorejo, Kecamatan Trowulan.
Perkembangan makam Troloyo yang terjadi sebagai wujud perubahan
terhadap keyakinan bahwa makam Troloyo merupakan makam Islam pada
masa kerajaan Majapahit. Denggan adanya persamaan keyakinan dan
persepsi tentang makam Troloyo maka dilaksanakan pengembangan awal
untuk melestarikan dan mengenalkan makam Troloyo sebagai objek wisata
religi dan mempunyai tokoh yang dipercayai sebagai punjer walisongo adalah
makam Syeikh Jumadil Kubro. Soekmono (1973:85) menjelaskan bahwa
penghormatan ini lebih-lebih lagi ditujukan kepada seseorang yang
mempunyai kedudukan lebih daripada manusia.
berdasar informasi dari warga dijelaskan bahwa kondisi awal
makam Troloyo kurang menarik dan banyak alang-alang, cungkupnya sederhana,
hutan, batu nisannya besar-besar, batu merah tumpuk ditata memakai lemah
lempung kumuh, tempat pengembala hewan, lapangan olahraga serta ada
fasilitas untuk ibadah. warga sedikit yang mengetahuinya, kurang lebih
hanya 200 orang yang mengetahuinya. Pada tahun 1958 tuan Calik, seorang
konglomerat yang datang ke makam Troloyo dengan memakai kuda, beliau
sering ke makam Troloyo dan berusaha melestarikan keberadaan makam
Troloyo. KH. Ismail Ibrohim sering juga datang ke makam Troloyo, terutama di
makam Syeikh Kumadil Kubro dengan santri-santrinya, hal itu dilakukan dengan
sederhana. Nisan di makam Troloyo bagian depan bertuliskan arab yang berbunyi “kullun nafsin dha ikotul maut”
yang artinya bahwa siapa yang bernyawa pasti akan mati serta bagian
belakang nisan ini bertuliskan gambar surya Majapahit.
Pernyataan di atas sesuai dengan makna dari perkembangan
merupakan perubahan yang melihat dari teori garis lurus, baik yang mengarah
pada kemajuan maupun sebaliknya ke arah kemunduran. bahwa tidak ada perkembangan yang
menganut garis lurus dalam sejarah sebab pola perkembangan kebudayaan
ditandai dengan pola perkembangan yang melingkar.
Perkembangan makam Troloyo merupakan bentuk dari perkembangan
pariwisata, hal ini dipengaruhi adanya dorongan dan kemauan warga
untuk menjadikan makam Troloyo sebagai objek wisata religi. Wisata religi
merupakan suatu aktivitas untuk meningkatkan kebutuhan spiritual dengan
melakukan kunjungan kemakam wali atau tempat-tempat keagamaan yang
mempunyai peninggalan sejarah (budaya) yang memiliki nuansa historis dan
religius ,
Banyak para peziarah yang datang ke kompleks makam Troloyo
dengan berbagai latar belakang dan tujuan yang berbeda, hal inilah yang
menjadikan keunikan tersendiri dalam tata cara berdo’a. Hal ini didasarkan
atas pernyataan Subhani (dalam Sholihuddin, 2006:136) menjelaskan bahwa
“tujuan orang-orang muslim yang berdoa disisi makam para wali adalah
tabarrukan (mencari berkah) dari tempat yang dijadikan makam para kekasih
Allah. Sehingga apa yang menjadi permohonan seseorang peziarah akan lebih
mudah untuk dikabulkan”.
Keberadaan makam-makam yang ada di makam Troloyo menjadikan
daya tarik tersendiri oleh para peziarah yang data di kompleks makam Troloyo.
Hal ini terlihat dari kedatangan para peziarah yang datang ke makammakam yang ada di kompleks makam Troloyo, kunjungan pertama dari para
peziarah biasanya ke makam Syeikh Jumadil Kubro. Sebagian kecil para
peziarah datang ke salah satu makam, itupun disesuaikan dengan kebutuhan dan
pengharapan doa dari para peziarah agar cepat diijabahi atau dikabulkan.
Makam-makam yang ada di kompleks makam Troloyo, terdiri dari
dua bagian baik yang ada di dalam maupun di luar kompleks makam Troloyo.
Berikut ini merupakan makam yang berada di dalam kompleks makam Troloyo
adalah sebagai berikut: Pertama, makam Sayyid Syeikh Jumadil Kubro; Kedua,
makam Tiga (Kubur Telu) yang ada di dalamnya ada makam Syeikh Abdul
Qodir Jaelani Assyni (Tan Kim Han), Syeikh Maulana Sekah
dan Syeikh Maulana Ibrahim; Ketiga, makam Patas Angin; Keempat, makam
Endang Roro Kepyur; Kelima, makam Tumenggung Satim Singgomoyo;
Keenam, Petilasan Wali Songo; Ketujuh, makam Sunan Ngudung.
Berikut ini beberapa makam yang terletak di belakang tembok
pembatas kompleks makam yaitu: Pertama, makam Syeikh Rokhim; Kedua,
makam Syeikh Zaelani; Ketiga, makam Syeikh Qohar; Keempat, makam
Mbah Rembyong; Kelima, makam Kencono Wungu dan Anjasmoro;
Keenam, makam Tujuh (Kubur Pitu) yang ada di dalamnya ada makam
makam Noto Suryo, Noto Kusumo, Gajah Permodo, Noyo Genggong, Sabdo
Palon, Emban Kinasih dan Makam Polo Putro.
Makam Troloyo didanai oleh asset desa dan yayasan, pada awalnya
terjadi perang mulut, antara warga pro dan kontra terhadap
perkembangan makam Troloyo ke depannya, khususnya kepercayaan dan
keyakinan keberedaan makam Syeikh Jumadil Kubro, hal itu terjadi pada
tahun 1995-1996. Pada tahun 1996 makam Troloyo mulai berkembang
sesudah ditaskihkan oleh Gus Dur dan Kyai Jamal, selanjutnya makam
Troloyo milik purbakala (BP3 Jatim) dan para pejabat.
Dalam rangka perkembangan objek wisata religi makam Troloyo dari
tahun 1995-2003, pengelolaannya di kelola oleh pemerintah desa, untuk
pemeliharaan dan pembangunannya dari swadaya warga dan simpatisan.
Pada tahun 2002 mulai dibangun dan pada tahun 2003 selesai, pembangunan
ini dilakukan oleh pemerintah Desa dan warga desa Sentonorejo.
Mulai tahun 2004 pemerintah desa ada kepercayaan di pemerintah
kabupaten untuk mengembangkan objek wisata religi makam Troloyo dengan
wujud MOU (Memorandum of Understanding) antara pemerintah daerah
dengan pemerintah desa, pada bulan Maret 2004-2007 dilakukan MOU
pertama, sementara dari tahun 2007-2009 dilakukan MOU kedua, sampai
sekarang, pada tahun 2006 pemerintah daerah mulai membangun makam
Troloyo dan pada tahun 1998 dikelola oleh Desa,
Inti dari MOU (Memorandum of Understanding) ini antara lain:
bekerjasama tentang pembangunan objek wisata religi, sumber dana dari
pemerintah kabupaten. Tata ruang perencanaan objek wisata bekerjasama antara
pemerintah desa dan pemerintah kabupaten. Pengelolaan merupakan tanggung
jawab pemerintah kabupaten dibantu oleh pemerintah desa. Sumber pendapatan
sebagai penyokong Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) daerah kabupaten dan
sumber PAD pemerintah desa. Dalam MOU untuk mendukung ketertiban dan
sarana prasarana objek menunjuk dinas instansi terkait.
Pengelolaan internal objek: Dinas Pariwisata, untuk ketertiban dan keamanan
ialah satpol PP sementara untuk kelancaran parkir ialah Dinas Perhubungan.
Dalam pelaksanaan dibantu oleh pemerintah Desa. fisik sarana dan prasarana
mengalami peningkatan 100% dari kondisi sebelumnya. Pemugaran dan
pembangunan cungkup, pagar, kios depan, kantor seketariatan dan warung
belakang. Adapun MOU yang telah dibuat dan disepakati oleh pemerintah
desa Sentonorejo dengan pemerintah daerah kabupaten Mojokerto terlampir
dalam lampiran 6.
Kesepakatan antara kedua pihak (pemerintah desa dan pemerintah
daerah) telah membawa perubahan yang menojol , terutama peningkatan
sarana dan prasarana kompleks makam Troloyo. Dengan adanya
perkembangan makam Troloyo telah memicu banyak peziarah yang
datang ke makam Troloyo. Terutama peningkatan semakin meningkat sesudah
adanya perkembangan makam Gus Dur pada tahun 2010. Banyak para
peziarah yang datang ke makam Gus Dur lalu melanjutkan ke makam
Troloyo atau sebaliknya serta kerjasama dilakukan oleh Dinas Kepariwisatan
Mojokerto dengan Dinas Kepariwisataan Jombang dalam usaha mengenalkan
atau mempromosikan makam Gus Dur dan makam Troloyo sebagai objek
wisata religi yang ada di Jawa Timur. Perlu diketahui juga bahwa yang
datang ke makam Troloyo itu terdiri dari berbagai macam suku dan agama.
Pada hakekatnya makam Troloyo merupakan tempat wisata yang ramai
dikunjungi oleh orang serta objek wisata religi makam Troloyo mempunyai
karomah makam auliya’.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Perkembangan Makam Troloyo
terhadap Kehidupan warga di Desa Sentonorejo, Kecamatan
Trowulan.
Pengaruh kehidupan sosial dan ekonomi warga yang terjadi
sesudah adanya perkembangan makam Troloyo ialah sangat besar dan
menojol terutama berdirinya warung atau toko, penitipan sepeda dll. Dari
segi positifnya perekonomian warga meningkat, banyak warga
yang berjualan di sekitar makam Troloyo.
Hal ini diceritakan oleh bapak Abdul Ghofar, seorang penggagas yang
mengembangkan makam Troloyo menjelaskan bahwa dampak yang
ditimbulkan dengan adanya perkembangan makam Troloyo sangat begitu
pesat, terutama peningkatan prekonomian warga dan kehidupan sosial
warga desa Sentonorejo. Banyak terciptanya lapangan pekerjaan baru,sebab sebagian besar warga desa Sentonorejo yang bermata
pencaharian bertani, pindah menjadi pedagang, ojek dan lain-lainnya”.
Peranan penjual jasa juga sangat penting bagi interaksi dengan peziarah
secara langsung, seperti halnya para pemandu wisata (guide) yang ada di
kompleks makam Troloyo telah membantu para peziarah yang datang dari luar
daerah agar mampu mendapatkan informasi yang ada di kompleks makam
Troloyo. Terutama adanya makam yang dianggap mempunyai karomah tertinggi.
Pemandu wisata yang ada di makam Troloyo merupakan perangkat desa pada
masa pemerintahan kepala desa bapak Abdul Ghofar. Tugas dari pemandu wisata
ini ialah memberikan informasi dan mengarahkan atau menunjukkan
makam-makam yang ada di kompleks makam Troloyo.
bahwa hal terpenting dalam peningkatan
ekonomi adalah talent atau bakat dan niat, seseorang dapat berhasil dalam
segi ekonomi sebab diawali niat yang kuat dan bakat yang memadai, selain
itu manusia juga membutuhkan modal dalam berwirausaha sebab tanpa
modal teknologi tidak dapat tercapai dan yang terakhir adalah ketrampilan,
sebab tanpa ketrampilan kita tidak bisa mengolah dari teknologi ini .
bahwa dampak
kegiatan pariwisata di bidang sosial meliputi perubahan sistem nilai, tingkah
laku perorangan, hubungan keluarga, gaya hidup, moral, upacara tradisional
dan organisasi warga . Timbulnya dampak ini sebagai akibat
adanya kontak antara warga tuan rumah dengan wisatawan.
Perkembangannya otomatis ekonomi meningkat, tetapi sosial keagamaan
berkurang. Hal itu terjadi sebab warga terkadang sulit untuk
meninggalkan kegiatan berdagang yang dilakukakannya. Perekonomian
terangkat dan banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh warga .
Dengan meningkatnya dan membaiknya kualitas hidup tentu dapat
membangun karakter bangsa bermodalkan kreativitas budaya untuk
meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Perlu diperhatikan juga bahwa
adanya pengaruh yang dibawa oleh para peziarah, misalnya cara berpakain para
peziarah yang kurang sopan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam terkadang
masih sering diadopsi dan ditiru oleh warga desa Sentonorejo, terutama
kalangan pemuda dan pemudi serta wanita yang selalu menginginkan modis dan
mengikuti perkembangan zaman dalam berpakaian.
menyebutkan bahwa dampak kegiatan pariwisata di bidang sosial
meliputi perubahan sistem nilai, tingkah laku perorangan, hubungan
keluarga, gaya hidup, moral, upacara tradisional dan organisasi warga .
Dalam kehidupan sosial warga telah banyak mengalami
peningkatan yang terutama pada kegiatan keagamaan, sebab dengan hal
ini akan memicu interaksi dalam warga , jika kebiasaan
ini dilakukan secara konsisten dan bersifat saling memberikan manfaat
dalam kehidupan sehari. Tingkat pendidikan warga semakin meningkat,
sebab ditunjang dengan pendidikan formal dan non formal yang ada di desa
interaksi sosial adalah pengaruh timbal balik antara segi kehidupan bersama.
Pengertian ini menunjukkan pada hubungan-hubungan sosial yang
dinamis. Proses sosial merupakan bentuk khusus dari interaksi sosial. Terjadi
proses secara umum disebabkan oleh adanya kontak sosial dan juga
komunikasi.
Kontribusi dari Berbagai Macam Kegiatan atau Ritual Keagamaan di
Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan terhadap Pendidikan Karakter
bagi warga Desa Sentonorejo.
bahwa dalam
pendidikan karakter ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilainilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran atau
amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka
tolong-menolong dan gotong royong atau kerjasama; keenam, percaya diri
dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan
rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Dari pernyataan di atas, ada tiga pilar utama yang dapat diaplikasikan
dalam penelitian ini, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; kedua, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong
atau kerjasama, dan; ketiga, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Dari
ketiga pilar ini dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam
pengaplikasian pendidikan karakter bagi warga desa Sentonorejo.
bahwa
situasi kewarga an dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi
sikap dan cara pandang warga secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan
pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka usaha ambisinya
terbatas pada kini dan di sini pula. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul
gagasan dan ajaran tentang amar ma’ruf nahy munkar, dan tentang fardhu
kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik
dan mencegah nilai-nilai yang buruk.
Dalam kontribusi pendidikan, pemerintah desa memberikan bantuan
perbulan kepada sekolah, pondok pesantren dan tempat ibadah (masjid dan
mushola). Adanya tahlil akbar setiap 36 hari sekali, sesudah jum’at legi dan sabtu
pahing. Kajian rutin ini dilakukan secara bergilir di 13 tempat ibadah.
Pengaruhnya sangat pesat, adanya diniyah dan madrosah, serta diniyah atau
TPQ, pondok pesantren Al Ridho dan SDN Sentonorejo. Semuanya merupakan
barokah dari keberadaan makam Syeikh Jumadil Kubro, yang jelas secara tidak
langsung ada peningkatan kesadaran warga terbentuk ukhuwah islamiyah
melalui lingkungan RT masing-masing. Dengan adanya sumber dana dari desa di
tasarubkan untuk kegiatan selapan dino atau 35 hari se-Desa Sentonorejo dalam
bentuk pengajian umum. Dengan adanya hal di atas maka pendidikan karakter
mulai diterapkan melalui kegiatan atau kebiasaan yang telah mereka laksanakan,
hal ini dimaksudkan agar pengaplikasian dan pelaksanaan pendidikan karakter
dapat terwujud dengan baik. George Homan
menjelaskan bahwa teori perilaku sosial ialah tingkah laku sosial dasar tingkah
laku yang muncul dan muncul kembali entah seseorang merencanakan untuk
melakukan hal ini atau tidak. Homan yakin bahwa tingkah laku sosial dasar
dapat dijelaskan dengan masalah-masalah dasar perubahan sosial
Kegiatan grebeg dan haul Syeikh Jumadil Kubro telah menjadi ritual
keagamaan yang khusus dan dilakukan setiap setahun sekali. Banyak
warga yang menunggu moment ini, sebab ritual ini banyak
mengandung makna tersendiri di kalangan warga setempat. Banyak
makna yang terkandung pada ritual ini terutama penanaman nilai-nilai moral,
kebersamaan, kesopanan, dan menjadikan warga untuk selalu
menghargai jasa seseorang (tokoh yang diagungkan), serta melaksanakan
ritual keagamaan berdasar keyakinan masyaraka. Hal inilah yang perlu
diambil hikmahnya dan nantinya diharapkan dapat menjadikan manusia yang
religius dan berbudaya serta bisa menerapkan pendidikan karakter khususnya
bagi warga desa Sentonorejo. Dari pernyataan di atas perlu dianalisis
dengan teori reinforcement dan tingkah laku yang menjelaskan bahwa
peranan ganjaran sebagai penguat (reinforcement) perilaku. Suatu perilaku
yang membawa pengaruh positif (menyenangkan) pada diri individu akan
cenderung diulang pada waktu yang lain, akan tetapi akibat yang tidak
memuaskan (tidak memicu ) apa-apa pada hubungan stimulus respon.
Menurut Thorndika (dalam Basrowi, 2005:198) menjelaskan bahwa semua
proses belajar adalah pembentukan ikatan, atau hubungan, atau koneksi
antara stimulus dan respon kuat, atau dengan kata lain telah terbentuk
perilaku tertentu maka perilaku ini telah menjadi kebiasaan. Sebaliknya,
bila hubungan lemah maka kebiasaan hilang.
Dengan adanya berbagai macam kegiatan atau ritual keagamaan yang
dilakukan oleh warga desa Sentonorejo telah memberikan pengaruh yang
menojol terhadap pendidikan karakter bagi warga desa Sentonorejo. Hal
ini telah menumbuhkan nilai-nilai dalam berprilaku dengan berlandaskan
syari’at Islam. Penerapan nilai-nilai ini merupakan cerminan dari moral dan
perilaku warga yang berlandaskan atas pendidikan karakter.
Pengaplikasiannya dapat diterapkan melalui keluarga, warga dan negara.
berdasar pemaparan data dan pembahasan diatas maka dapat
diambil sebagai berikut:
1. Perkembangan makam Troloyo mengalami perubahan yang sangat pesat.
Kerjasama dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Mojokerto dengan
pemerintah desa Sentonorejo dalam usaha meningkatkan dan menjadikan
makam Troloyo sebagai objek wisata religi di kawasan Jawa Timur.
a. Pada tahun 2002 mulai diadakannya pembangunan makam Troloyo di
danai oleh pemerintah desa dan donatur dari warga desa
Sentonorejo yang timbul kesadaran pribadi dan kelompok atau
golongan.
b. Pada tahun 2004 sarana dan prasarana makam Troloyo lebih
ditingkatkan lagi sesudah adanya MOU (Memorandum of
Understanding) pada tahun 2004 dan 2007. Hal ini dilakukan untuk
menjadikan makam Troloyo sebagai objek wisata religi di Kabupaten
Mojokerto.
c. Pada tahun 2010 jumlah peziarah semakin meningkat, sebab
keberadaan makam Gus Dur dan kerjasama antara Dinas
Kepariwisatan Mojokerto dengan Dinas Kepariwisataan Jombang
dalam usaha mengenalkan atau mempromosikan makam Gus Dur dan
makam Troloyo sebagai objek wisata religi yang ada di Jawa Timur.
d. Diadakannya Grebeg dan Haul Syeikh Jumadil Kubro yang
diperingati tiap tahunnya oleh Disporabudpar Kabupaten Mojokerto.
e. Berdirinya Pondok Pesantren Yatim Piatu Segoro Agung sejak tahun
2015 menambah ramai kompleks Makam Troloyo di bagian belakang
atau sebelah Barat. sebab pondok ini juga sering mengundang Cak
Nun dan Kiai Kanjeng untuk memperingati milad pondok ini .
2. Kehidupan sosial dan ekonomi warga mengalami peningkatan dan
perubahan yang menojol . Hal itu terjadi sebab warga mampu
untuk memanfaatkan dan memahami terhadap keberadaan makam
Troloyo sebagai objek wisata religi.
a. Tingkat pendidikan formal maupun non formal mengalami kemajuan
terutama adanya peningkatan sarana dan prasarana seiring
perkembangan makam Troloyo.
b. Berbagai kegiatan keagamaan dilakukan dalam usaha untuk menjaga
silaturahmi antar warga desa Sentonorejo dan berusaha untuk
menciptakan dan mempertahankan kebudayaan Islam.
c. Peningkatan perekonomian memicu banyak warga yang
memperoleh lapangan pekerjaan baru atau berpindah profesi dari
buruh tani menjadi pedagang, tukang ojek, penjaga parkir, jasa
penginapan, pengemis dan lain-lainnya.
3. Adanya kegiatan atau ritual keagamaan yang dilakukan oleh warga
desa Sentonorejo telah mencerminkan penerapan pendidikan karakter
bagi warga , sehingga adanya usaha untuk menanamkan nilai-nilai
keIslaman telah mengarahkan moral warga desa Sentonorejo ke arah
kebaikan dan kebersamaan dalam kehidupan warga .
a. Untuk kebiasaan-kebiasaan penduduk dalam upacara ritual yang rutin
mereka lakukan seiring dengan adanya perkembangan objek wisata
religi makam Troloyo tidak mengalami perubahan.
b. Pengaplikasian pendidikan karakter ini dilaksanakan ketika
warga melakukan kegiatan Haul dan Grebeg Jumadil Kubro,
pengajian umum, tahlil akbar dan kajian rutin.
c. Pendidikan karakter juga bisa diterapkan di lingkungan keluarga dan
pendidikan formal atau non formal yang ada di desa Sentonorejo.