Rabu, 13 September 2023

jenderal sudirman

Serangkaian perjuangan yang dilakukan Jenderal Sudirman
untuk mempertahankan Indonesia, mengantarkannya menjadi 
seorang panglima besar dan menempati rumah dinas panglima 
di Bintaran. Kala itu ia sedang sakit dan masih dalam tahap 
penyembuhan. Proses penyembuhan itu berbarengan dengan 
situasi politik nasional yang tidak menentu. Situasi ini membuat 
Jenderal Sudirman harus berjuang mempertahankan negara 
Indonesia.
Dimulainya Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman 
Dari Kabupaten Bantul Ke Daerah Lainnya
Jenderal Soedirman meninggalkan Yogyakarta menuju Bantul 
yaitu sebuah langkah yang tepat. Kala itu, perjalanan 
Jenderal Soedirman menuju Bantul penuh dengan ketegangan. 
Ia berada terus diintai Belanda, baik dari udara maupun darat. Dalam perjalanan ini  ia seringkali berlika-liku atau 
berpindah-pindah lokasi untuk mengelabuhi Belanda. Menurut 
Mayor Tugiyo, beberapa kali Jenderal Soedirman harus 
menghadapi penghadangan dari Belanda. Pemantauan yang 
begitu ketat ini mengisyaratkan bahwa perjalanan yang 
dilakukan tidak selalu mulus.
Pukul 11.30, ia meninggalkan rumah dinas dan bergerak ke jalan 
Bintaran Wetan, bergerak ke timur ke jalan Taman Siswa, 
lalu  ke selatan menuju jalan Sugiyono, lalu ke barat 
sampai ke Plengkung Gading memasuki benteng. Perjalanan 
ini  dilakukan oleh Jenderal Soedirman untuk 
menyelamatkan keluarganya di nDalem Mangkubumen, rumah 
yang sudah disediakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. 
ini  memang sudah direncanakan oleh Sri Sultan 
Hamengkubuwono IX untuk menitipkan keluarga Jenderal 
Soedirman di lingkungan Keraton Yogyakarta demi keamanan 
keluarganya. 
Setelah itu Jenderal Soedirman melanjutkan untuk berjuang 
melawan Belanda padahal Jenderal Soedirman sedang ia hanya 
memiliki 1 (satu) paru-paru yang berfungsi dengan normal. Sebenarnya ia ingin beristirahat di nDalem Mangkubumen, akan 
tetapi Letkol Abdul Hakim datang dan melaporkan bahwa 
“bapak panglima harus segera meninggalkan kota Yogyakarta kalau 
tidak ingin ditangkap Belanda”. Tidak lama lalu  Belanda 
sudah menjebol istana dan menangkap para pemimpin Republik 
Indonesia. Beberapa pejabat istana seperti presiden dan wakil 
presiden dan juga sebagian menteri ditangkap dan diasingkan 
di pulau Bangka. 
Akhirnya Jenderal Soedirman tidak jadi beristirahat di nDalem
Mangkubumen dan memerintahkan pengawalnya untuk 
menyiapkan kendaraan agar segera bergerak ke arah Bantul 
meninggalkan nDalem Mangkubumen pada pukul 14.00, dengan 
melewati pojok benteng barat. Ia lalu  menuju arah selatan 
yaitu mengarah ke Goa Selarong. lalu  rute diubah ke arah 
Perempatan Palbapang, lalu  ke timur arah ke Perempatan 
Bakulan, lalu  belok ke selatan ke arah Kretek. ini 
dipilih oleh Jenderal Soedirman karena di sana ada rute strategis 
untuk menyelamatkan diri dari kejaran Belanda. Taktik lika-liku 
ini  membuat Belanda merasa kebingungan. Jenderal 
Soedirman pada waktu itu memang mencari tempat yang amankarena Belanda memantau Jenderal Soedirman melalui udara 
maupun darat.
Kamrihadi menerangkan, pada waktu itulah, Jenderal 
Soedirman meninggalkan Yogyakarta dengan jalur perjalanan 
menuju Kretek. Perjalanan Jenderal Soedirman ini  sampai 
di kecamatan Kretek pada pukul 17.00, saat ia melihat para 
pengawalnya, ia lalu  memikirkan nasib pasukannya yang 
tidak membawa bekal apapun. Lalu ia menginstruksikan kepada 
Hanung Paeni dan Kopral Aceng untuk kembali ke nDalem
Mangkubumen, meminta semua perhiasan istrinya, dan 
nantinya digunakan Jenderal Soedirman dalam peperangan 
melawan penjajah. Mayor Heru Santoso lebih sepakat dengan 
versi ini dan diperkuat juga dengan buku karya Tjokropranolo 
berjudul Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin 
Pendobrak Penjajahan Terakhir di Indonesia.
1
saat Aceng dan adik iparnya kembali ke nDalem
Mangkubumen, dan sebelum mereka kembali lagi, Jenderal 
Soedirman sudah dijemput oleh lurah Grogol yang bernama 
Mulyono Djiworedjo. Di wilayah ini , lurah Mulyono Djiworedjo sudah mengetahui akan kedatangan Jenderal 
Soedirman dan sudah menyiapkan penyambutanya. Mayor 
Heru Santoso juga menceritakan Mulyono Djiworedjo yang 
sempat memberi kabar kepada warga  bahwa ia akan 
menjemput Jenderal Soedirman. “Saya akan menjemput pejuang 
kita”, begitu katanya. Dalam versi Pak Kamrihadi, kedatangan 
Jenderal Soedirman kala itu sudah diketahui oleh lurah Grogol 
melalui badan telik sandi. “Ya sudah tahu kalau mau kesini, ada 
telik sandinya” ujarnya. Ini menandakan bahwasanya badan 
telik sandi selalu menjalin komunikasi tanpa henti dengan 
Jenderal Soedirman untuk melaporkan berbagai situasi yang 
sedang terjadi. 
Pilihan Jenderal Soedirman untuk menuju Bantul didasarkan 
pada pertimbangan bahwasanya terdapat rute untuk menuju 
Kediri, dan juga kondisi geografis yang mendukung untuk 
perang gerilya. Selain itu, faktor keamanan menjadi 
pertimbangan mengingat lurah di desa Parangtritis yaitu 
seorang perwira dari tentara PETA yang bernama Mulyono 
Djiworedjo.
Saat itu juga, warga  menyiapkan sebuah perjamuan 
sebagai bentuk antusias dan kegembiraan yang mereka rasakan. 
Selain itu, kondisi geografis dapat melindungi wilayah ini  
dari serangan Belanda, yaitu adanya pemisah wilayah ini  
berupa Sungai Opak, lalu  perbukitan yang membuat 
wilayah ini  jauh akan deteksi Belanda. 
Pada saat itu Sungai Opak sedang terjadi banjir dan belum ada 
jembatan seperti yang kini menjadi jalan Parangtritis. 
Penyeberangan baru dapat dilakukan saat sungai sudah surut. Setelah menunggu Sungai Opak surut, malam itu ia baru bisa 
menyeberangi Sungai Opak dengan menaiki rakit seadanya. 
Setibanya di tepi sungai, lalu  ia menaiki dokar yang 
ditarik oleh warga  sekitar. ini dilakukan sebab 
Mulyodiharo khawatir, jika dokar ditarik menggunakan kuda 
maka disita oleh Belanda. Sesampainya di kediaman lurah 
Grogol, malam itu juga ia langsung disambut oleh warga  
sekitar. 
Setelah merasa aman, di wilayah ini  Jenderal Soedirman 
akhirnya beristirahat untuk menenangkan pikiran dan 
membangun strategi, karena perjalanan gerilya akan dimulai 
dari daerah ini . Beberapa isi dari strategi ini 
mencantumkan informasi mengenai jalur-jalur yang aman 
untuk dilewati dan yang akan mengawal Jenderal Soedirman. 
Beberapa prajurit pengawal diposisikan untuk melewati jalur￾jalur yang berbeda. Setelah memastikan bahwa kondisi benar￾benar aman, Jenderal Soedirman akan melewati jalan ini .
Pagi harinya, Jenderal Soedirman kembali melanjutkan 
perjalanan gerilya. Karena kondisi fisiknya yang sudah mulai 
menurun, akhirnya ia dibuatkan tandu oleh warga  setempat dengan menggunakan kursi dari lurah Mulyono
Djiworedjo, sedang pembawa tandu juga dari warga Grogol 
yaitu Weryowiyono (Rawun), Setrodikromo (Panggung), 
Suwitowarno (Kalijan), dan Adiwiyono (Cecek). Selain diiringi 
warga  Grogol, Kapten Soeparjo. Sedangkan, Sersan Mayor 
Oetoyo Kolopaking pergi ke Wonosari terlebih dahulu untuk 
menyiapkan tempat di sana dan menjalin hubungan dengan staf 
Kolonel Gatot Soebroto. 
Setelah itu Jenderal Soedirman berangkat untuk menjalankan 
perang gerilyanya menuju Kediri. Perjalanan pertama dilakukan 
Jenderal Soedirman dengan ditandu warga setempat secara 
estafet dari Grogol menuju Panggang, Gunungkidul2 dan terus 
menuju desa Paliyan. Kapten Tjokropranolo memerintahkan 
Pleton Djoemadi yang terdiri dari 80 prajurit untuk menyusul.
Belum sampai di Kecamatan Paliyan, Jenderal Soedirman 
bermalam di Desa Karangduwet dan pagi harinya ia 
melanjutkan perjalanannya kembali dengan ditandu, kurang lebih selama dua jam, dari Paliyan sampai ke Playen. Setibanya 
di Playen, perjalanan dilanjutkan mengguanakan kendaraan 
yang lebih cepat, yaitu dokar, akan tetapi dokar itu ditarik oleh 
dua ajudanya yaitu Soepardjo Roestam dan Tjokropranolo. 
Mayor Heru Santoso menambahkan keterangan bahwa selain 
dua orang ini , dokar juga di dorong oleh Mayor Sulondo, 
dokter pribadi Jenderal Soedirman.3
Ada satu cerita menarik yang dikisahkan oleh Mayor Heru 
Santoso. Setibanya di Lapangan Wonosari, mereka berempat 
berhenti untuk beristirahat sejenak. Jenderal Soedirman tiba-tiba 
mendapatkan firasat, untuk segera meninggalkan tempat 
peristirahatan itu dan melanjutkan perjalanannya kembali. 
Mendengar hal itu, mereka langsung hengkang dari tempat 
ini . Benar saja, setelah 200 meter melangkah, beberapa 
serdadu elite Belanda turun di lokasi yang tepat saat mereka 
beristirahat. Akhirnya mereka dapat lolos dari serbuan Belanda.4
Prajurit ini  mengambil jalan melewati Imogiri lalu  
bergabung dengan rombongan Jenderal Soedirman di dekatWonogiri. Pada hari itu juga, Utoyo Kolopaking datang dari 
Wonosari untuk melaporkan hasil persiapannya.5 Perjalanan 
dari Grogol ini  yaitu titik awal perjalanan gerilya 
Jenderal Soedirman menuju ke wilayah Gunungkidul, Wonogiri, 
sampai ke wilayah Kediri.
Riwayat Kedatangan Jenderal Sudirman Ke 
Kabupaten Bantul
Setelah Yogyakarta dinyatakan aman, Jenderal Soedirman 
dipanggil Presiden Soekarno untuk kembali ke Yogyakarta. 
Tepat pada tanggal 7 Juli 1949, ia meninggalkan markas Sobo, 
Pacitan, Jawa Timur yaitu rumah pak Kabayan Karsosumito. Ia 
ditandu melewati beberapa kota selama tiga hari. Pada tanggal 
10 Juli 1949, ia sampai di perbatasan Prambanan, Sungai Opak 
dengan melewati Piyungan dan di Piyungan ia dijemput oleh Sri 
Sultan Hamengkubuwono IX. Daerah Piyungan yaitu 
termasuk daerah Prambanan, tapi secara kabupaten, ia masuk 
wilayah Bantul.6 Perjalanan Singgah Jenderal Soedirman ini juga tidak begitu mulus, ada intrik yang terjadi di sana. Dimana 
masih banyak tentara Belanda yang berkeliaran untuk 
mengejarnya, maka dari itu banyak tantara bahkan warga  
Piyungan saling bahu membahu untuk mengamankan Jenderal 
Soedirman. 
ini dimulai Jenderal Soedirman keluar dari hutan, yaitu ada 
4 orang tantara yang keluar dari hutan (sekarang masuk dukuh 
plesetan) menuju dukuh Mojosari, sementara Jenderal 
Soedirman bersama pengikutnya turun melalui Hargodumilah. 
Dengan kamuflase itu membuat Jenderal Soedirman selamat 
dan sampai dirumah dukuh Piyungan Bapak Joyokartono. Akan 
tetapi 4 orang tantara yang mengkamuflase Jenderal Soedirman 
ini  akhirnya harus gugur karena ditembaki tentara 
Belanda. Saat ini, terdapat tugu di wilayah Tambalan, Srimartani 
yang menjadi tetenger peristiwa perlawanan TNI bersama 
warga melawan Belanda.
Sesampainya di rumah singgah pada pukul 08.00, dan di sana 
sudah banyak tantara sekitar 1 batalion yang akan 
mengamankan Jenderal Soedirman. Sesampainya di sana tidak 
ada yang mengenali Jenderal Soedirman, karena memang disengaja demi keamanan dari perburuan mata-mata dan 
tentara Belanda. Banyak tentara yang keluar-masuk di rumah 
singgah ini , guna mengelabui musuh tentang keberadaan
Jenderal Soedirman. warga  Piyungan juga sampai tidak 
mengetahui Jenderal Soedirman itu yang mana.
Setelah sampai di sana, warga  sudah menyediakan 
suguhan berupa hasil bumi seperti ketela, jagung, dan lain 
sebagainya untuk disuguhkan kepada Jenderal Soedirman dan tentaranya. Bahkan para pemuda Piyungan yang tidak 
terorganisir pun, bersiap siaga mengamankan Jenderal 
Soedirman saat berada di Piyungan. Dikarenakan situasi pada 
saat itu belum aman, dan para tentara Belanda yang bermarkas 
di Bedog (Maguwo) belum kembali ke markas besarnya di Kota 
Baru. Maka dari itu pengamanan Jenderal Soedirman dimualai 
dari ring pertama yang dijaga oleh tentara loyalisnya. Dan yang 
terakhir yaitu warga  Piyungan sendiri yang juga 
berinisiatif untuk bersiaga menjaga Jenderal Soedirman.7
saat ia dirumah singgah ini , ia juga disambut oleh Sri 
Sultan Hamengkubuwono IX dan menemaninya untuk singgah 
di sana. Setelah dirasa cukup aman, sekitar pukul 11.00, Jenderal 
Soedirman diantarkan ke titik penjemputanya yaitu di 
Prambanan dengan penjagaan ketat, dimana dari wilayah timur 
sudah dijaga oleh batalyon dari Surakarta dan wilayah barat 
dijaga dari Batalyon Yogyakarta. 
Setelah itu Jenderal Soedirman melanjutkan perjalanan menuju 
Istana Gedung Agung untuk melaporkan dari hasil 
kepemimpinanya dalam menjalankan perang gerilya. Setelahmelaporkan hasil perang gerilya, ia mendapatkan jajar 
kehormatan di Alun Alun Utara karena lokasi Istana Gedung 
Agung dengan Alun Alun Utara tidak jauh. Pada saat itu banyak pasukan TKR yang meneteskan air mata, 
membayangkan sosok panglima tertinggi, ataupun panglima 
TKR-nya memberi  komando pada memimpin perang gerilya dalam keadaan sakit. Walaupun dalam keadaan sakit, suaranya 
masih sangat keras, semangat, dan pantang menyerah. Banyak 
dari mereka membayangkan bahwa sosok Jenderal Soedirman 
mempunyai fisik yang tinggi besar. Begitu melihat sosok 
Jenderal Soedirman yang kurus dan pucat pasi, banyak pasukan 
TKR yang meneteskan air mata.
Setelah itu Jenderal Soedirman memeriksakan kondisi fisiknya 
ke Rumah Sakit Panti Rapih. Ternyata, satu paru-paru yang 
semula berfungsi dengan normal kini terserang penyakit juga. Ia 
kembali dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Ia tidak kembali ke rumah dinas dan tinggal di tempat dinas 
Letnan Jenderal Urip Sumardjo di Kotabaru dengan 
pertimbangan lebih dekat ke Rumah Sakit Panti Rapih. Di sana, ia dirawat kurang lebih empat bulan lamanya. Setelah mendapat 
saran dari dokter pribadinya, ia dipindahkan ke Pesanggrahan 
Wilujang, Magelang. Di sana ia dirawat kurang lebih tiga bulan 
lamanya. Tepat pada tanggal 29 Januari 1950 ia dipanggil Yang 
Maha Kuasa. Atas jasa jasanya yang sangat luar biasa terhadap 
bangsa dan negara ini, ia dimakamkan di Taman Makam 
Pahlawan Kusumanegara.
Peran Serta warga  Bantul Dalam Mendukung 
Perjuangan Jenderal Soedirman
warga  yang riang gembira bahkan memberi  sambutan 
meriah seolah-olah yang datang yaitu seorang bangsawan, 
hingga warga  menyebut Jenderal Soedirman dengan nama 
“Gusti Tentara”. Di rumah lurah Grogol, ia disiapkan untuk 
mandi, akan tetapi karena kondisi sakit akhirnya ia hanya disibin
atau dilap-lap dengan air hangat. Setelah itu dipersilahkan 
untuk makan bersama dengan para pejuang. Jenderal Soedirman 
yaitu orang yang sangat-sangat merakyat. 
Ia tidak langsung memakan hidangan yang ada dihadapannya 
sebelum memastikan bahwa yang lain akan mendapat bagian 
dari hidangan ini , atau nanti ia akan berkata “kita akan makan sama-sama”. Kalau hanya ia sendiri yang makan, ia tidak 
akan pernah mau memakan hidangan ini . Setelah makan 
bersama, lalu  mengistirahatkan tubuhnya sebentar di 
sana8 karena pagi harinya ia harus melanjutkan perjuangannya 
memimpin perang gerilya. 
Kondisi kesehatan yang semakin menurun membuatnya tidak 
dapat melanjutkan gerilya dengan jalan kaki dan diputuskan 
untuk melanjutkan perjalanan menggunakan tandu. Tandu 
pertama dibuat di wilayah Grogol. Tandu ini  terbuat dari
kursi tamu lurah Mulyono Djiworedjo. Empat orang warga 
Grogol pun membantu untuk membawa tandu.
Antusiasme warga  Bantul dalam mendukung Jenderal 
Soedirman terlihat saat warga  Grogol menyambutnya 
dengan sukacita atas kedatangan seorang panglima besar ke 
wilayah ini . Meskipun demikian, penyambutan ini  
tetap dilaksanakan dengan kewaspadaan penuh, seperti yang dijelaskan oleh Kamrihadi dan Mayor Heru Santoso. warga  
disini juga memberi  sambutan dengan menyuguhkan hasil 
bumi mereka untuk disuguhkan kepada Jenderal Soedirman dan 
juga para tentara. Ini menandakan bahwasannya warga  
Bantul mendukung penuh perang gerilya yang dilakukan oleh 
Jenderal Soedirman dan juga tentaranya. Karena warga  
Bantul pada waktu itu menginginkan kemerdekaan secara 
penuh.9
Saat ini, terdapat monumen yang menjadi penanda perjuangan 
gerilya Jenderal Soedirman. Monumen Gerilya Panglima Besar 
Jenderal Soedirman berbentuk golong gilig, menandakan tekad 
dan bersatunya warga  dalam perjuangan gerilya bersama 
Jenderal Soedirman. Sikap rela berkorban, kerja sama, setia 
terhadap NKRI, disertai rasa saling menghormati dimiliki 
warga  setempat untuk mengusir penjajah dari wilayah 
Kretek.
Penyambutan Jenderal Soedirman tidak hanya dilakukan oleh 
warga  Bantul saat ia sedang berangkat gerilya saja. 
Penyambutan juga dilakukan oleh warga  Bantul di wilayah 
Piyungan tatkala ia kembali dari gerilya. Di sana, ia juga 
disambut oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, staff, dan 
seluruh lapisan warga  bahkan para pemuda yang tidak 
terorganisir oleh negara dengan siap siaga untuk mengamankan 
Jenderal Soedirman dari kejaran mata-mata maupun pasukan Belanda. warga  mempersiapkan hasil bumi mereka untuk 
disuguhkan kepada Jenderal Soedirman dan juga para tentara. 
ini yaitu bentuk kebanggaan warga  Bantul 
dengan perjuangan Jenderal Soedirman yang berperang demi 
kemerdekaan negara Indonesia.






Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa 
Bodas Karangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten 
Purbalingga, Jawa Tengah.1 Soedirman terlahir dari keluarga 
yang sederhana bahkan bukan dari kalangan militer. Ayahnya 
bernama Karsid Kartawiradji dan ibunya bernama Siyem.2 
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, orang tua Karsid Kartowiraji, dari keluarga petani yang tinggal di Desa 
Tinggarwangi atau yang lebih dikenal dengan Desa Gentawangi, Kecamatan 
Jatilawang. Sedangkan ibunya, Siyem, berasal dari Desa Parakan Onje yang 
terletak di sebelah Selatan Desa Ajibarang. Karsid bekerja di pabrik gula 
Kalibogor, lalu  pindah ke Dukuh Rembang karena tidak cocok berkerja 
dengan Belanda. Lihat, Sulistyo Admodjo, Mengenang Almarhum Panglima 
Besar Jenderal Soedirman-Pahlawan Besar, (Jakarta: Yayasan Panglima Besar 
Jenderal Soedirman,
Soedirman pernah bekerja di sebuah pabrik, bertani dan menjadi 
pedagang antar kampung.
Sebelum Soedirman lahir, orang tua Soedirman mendatangi 
seorang asisten wedana3 Rembang yakni Raden Tjokrosunaryo. 
Kedatangan mereka bermaksud untuk mencari pekerjaan, 
karena sebagai seorang pedagang waktu itu tidak banyak 
menguntungkan. Dengan kemurahan hati Raden 
Tjokrosunaryo, orang tua Soedirman pun diterima secara baik. 
Mereka mendapat pekerjaan untuk membantu kehidupan 
sehari-hari Raden Tjokrosunaryo. 
Keberanian orang tua Soedirman meminta pekerjaan pada 
asisten wedana Rembang ini  bukan semata Raden 
Tjokrosunaryo sebagai asisten wedana, namun ia juga 
yaitu kakak ipar Siyem. Raden Tjokrosunaryo memiliki 
tiga istri, yang salah satunya yaitu kakak kandung Siyem. Dengan kata lain, keluarga Raden Tjokrosunaryo masih 
memiliki hubungan kekeluargaan dari pihak ibu. 
Pada sekitar pertengahan tahun 1916, Raden Tjokrosunaryo 
yang menjabat sebagai asisten wedana Rembang memasuki 
masa pensiun. lalu  ia memutuskan untuk tinggal dan 
menetap di Cilacap.4 yang diikuti oleh kedua orang tua 
Soedirman. Setelah dua tahun tinggal di Cilacap, sekitar tahun 
1918 ibunya melahirkan seorang anak laki-laki yang lalu  
diberi nama Muhammad Samingan.
Tidak berselang lama, ayah Soedirman meninggal dunia. 
lalu  Siyem pulang ke kampung halamannya dan menikah 
lagi. Ia mengijinkan dua anaknya (Soedirman dan Muhammad 
Samingan) diadopsi oleh Raden Tjokrosunaryo. ini  
dilakukan oleh Siyem, karena pertimbangan ekonomi, khawatir 
kelak tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan 
anak-anaknya. Sehingga ia memasrahkan anaknya untuk hidup 
bersama keluarga Raden Tjokrosunaryo.Perjalanan hidup Soedirman bisa dikatakan beruntung, 
meskipun ia harus berpisah dengan orang tuanya kandungnya, 
namun Soedirman hidup dalam lingkungan orang tua 
angkatnya yang ekonominya berkecukupan. Alasan Raden 
Tjokrosunaryo mengadopsi Soedirman karena ia tidak 
dianugerahi keturunan meskipun memiliki tiga istri. Bahkan, 
nama Soedirman bukan pemberian dari orang tua kandungnya 
sendiri, akan tetapi nama ini  diberikan oleh Raden 
Tjokrosunaryo.5 Sebab itulah, sebagian ada yang menyebut 
bahwa Soedirman bergelar “Raden Soedirman”6
Kehidupan pendidikan Soedirman sangat sederhana layaknya 
penduduk pribumi lainnya zaman penjajahan. Proses 
pendidikannya lebih banyak ditempuh di surau dengan cara 
mengaji atau belajar ilmu agama. Soedirman mengenyam 
pendidikan dasar melalui didikan ayah angkatnya. 
Kesederhanaan hidup Soedirman tumbuh dari latar belakang dirinya yang lahir dari keluarga kurang mampu. Namun karena 
kebaikan hati pamannya, ia bisa tumbuh menjadi pribadi 
dengan nilai-nilai moral dan pendidikan yang baik. Sehingga 
dapat membuat jiwanya ramah penuh kebijaksanaan.
Pada masa kolonial, penduduk pribumi tidak bebas melakukan 
aktivitas sehari-hari. Keterbatasan ini tentu menjadi kendala 
bagi warga , kecuali mereka yang diberi jabatan oleh 
pemerintah kolonial, seperti Raden Tjokrosunaryo yang menjadi 
asisten wedana. Karena itulah, Soedirman di bawah asuhan 
Raden Tjokrosunaryo memiliki kesempatan lebih banyak dalam 
mengenyam pendidikan. Selain pendidikan non formal seperti 
di surau, Soedirman juga mendapat kesempatan mengenyam 
pendidikan umum atau formal. Pada usia tujuh tahun, 
Soedirman masuk HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Cilacap.
Setelah lulus dari HIS tahun 1930, selama dua tahun Soedirman 
tidak sekolah, dan sebagai gantinya ia bekerja, bertani, dan 
mengaji. Pada tahun 1932 Soedirman memasuki MULO (Meer 
Uitgebreid Lager Onderwijs) Wiworotomo dan tamat pada tahun 
1935. Perguruan Wiworotomo yaitu perguruan yang 
bertujuan menampung anak-anak pribumi yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan pelajarannya di sekolah (negeri).7 Di 
MULO Wiworotomo, Soedirman mendapatkan didikan dari 
guru-guru yang yaitu tokoh pergerakan anti Belanda, 
seperti R. Sumoyo (tokoh Budi Utomo), dan R. Suwarjo 
Tirtosupono (lulusan Akademi Militer Breda di Belanda).8 
Pada masa mudanya Soedirman dikenal sebagai seorang 
pemuda yang tumbuh bertanggung jawab dan senang 
mengikuti berbagai kegiatan perkumpulan/organisasi.9
Soedirman selain aktif dalam organisasi kepanduan, ia juga aktif 
di Hizbul Wathan, yaitu sebuah organisasi yang berada di bawah 
naungan Muhammadiyah.10 Setelah lulus mengenyam pendidikan, Soedirman berkarir menjadi seorang guru di 
sekolah Hollandsche Indische School (HIS), sebuah sekolah rakyat 
milik Muhammadiyah pada tahun 1936.11 Tidak lama 
lalu , ia diangkat menjadi kepala sekolah di instansi 
ini  karena kemampuan yang dimilikinya. 
Pada tahun 1936, Soedirman menikah dengan Siti Alfiah, anak 
perempuan dari Sastroatmodjo asal Plasen, Cilacap. Siti Alfiah 
ini dikenal saat Jenderal Soedirman sedang menempuh 
pendidikan di Parama Wiworo Tomo. Pernikahan Soedirman 
dengan Siti Alfiah dikaruniai tujuh (7) orang anak, yaitu: Ahmad 
Tidarwono, Didi Praptiastuti, Didi Suciati, Taufik Efendi, Didi 
Pudjiati, Titi Wahjuti Satyaningrum, dan Muhammad Teguh 
Bambang Cahyadi,
Dedikasi Soedirman dalam pendidikan dan berorganisasi terus 
ditekuninya. Pada tahun 1937, Soedirman lalu  menjadi 
salah satu pemimpin organisasi Pemuda Muhammadiyah. 
Bahkan saat Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, 
Soedirman masih setia menjadi guru. Kedatangan Jepang ke 
Indonesia pada 8 Maret 1942. Pada awal pemerintahannya, 
Jepang mengeluarkan kebijakan untuk menutup sekolah HIS 
Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar. 
Pada saat itulah, muncul rasa kecewa atas kebijakan Jepang. 
Sebagai bentuk dari kekecewaan ini , lalu  Soedirman 
bersama teman-temannya mendirikan perkumpulan yang 
dibawahi oleh sebuah koperasi dagang bernama Perbi. Inisiatif 
ini  muncul dari usaha yang dilakukan oleh ayah 
mertuanya sebagai pedagang batik. Sementara tujuan koperasi 
dagang Perbi ini sebagai lembaga yang mengakomodir berbagai 
bahan makanan dan beberapa keperluan hidup sehari-hari yang 
lalu  dijual dengan harga murah kepada warga . Perkenalan Soedirman dalam dunia militer tidak bisa 
dipisahkan dengan perjuangannya saat mendirikan koperasi 
dagang. Melalui gerakan koperasi dagang ini , sikap 
kejujuran dan jiwa militan Soedirman mulai terlihat, hingga 
akhirnya ia ditunjuk untuk menjadi salah satu kader dalam 
pelatihan Pembela Tanah Air (PETA). PETA (Giguyun) 
yaitu organisasi bentukan Jepang yang didirikan pada 
bulan Oktober 1943. Proses pelatihan dalam PETA, secara tidak 
langsung memberi  pendidikan kemiliteran bagi rakyat 
Indonesia. PETA yaitu suatu lembaga yang memiliki 
gerakan semi-militer bentukan Jepang yang sifatnya sukarela 
dengan perekrutannya dari kalangan rakyat Indonesia. 
Karir kemiliteran Soedirman dimulai saat resmi menjadi 
anggota PETA yang dibentuk dan dilatih oleh Jepang. Pada 
tahun 1943, , Soedirman diangkat oleh pemerintahan Jepang 
menjadi anggota Syu Sangikai,13 Banyumas. Setelah selesai
mengikuti pelatihan PETA, Soedirman diangkat sebagai Daidanco (Komandan Batalyon) yang ditempatkan di Kroya, 
Banyumas. Sejak Soedirman diangkat sebagai Daidanco oleh 
pemerintahan Jepang, secara tidak langsung ia telah memulai 
karir hidupnya dalam dunia militer. Seiring berjalannya waktu, 
Soedirman dan beberapa perwira PETA lainnya dianggap
berbahaya bagi pemerintahan Jepang, mereka dipanggil untuk 
berangkat ke Bogor dengan dalih akan mendapat pelatihan 
PETA tingkat berikutnya. Padahal Soedirman dan beberapa 
perwira yang lain dipanggil dengan maksud untuk dibunuh 
oleh pemerintahan Jepang. Akan tetapi inisiatif ini  tidak
terwujud, karena pada 14 Agustus 1945 pemerintahan Jepang 
menyerah pada sekutu.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 18 Agustus 
1945 pihak Jepang membubarkan PETA. Soedirman lalu  
mengumpulkan para perwira didikan PETA, lalu membentuk 
Badan Keamanan Rakyat (BKR). Peristiwa ini  membuat 
kondisi negara mulai mengkhawatirkan, karena tentara sekutu 
masuk ke Indonesia yang diikuti oleh Netherlands Indies Civil 
Administration (NICA). Maka tidak mengherankan jika 
Soedirman membentuk BKR sebagai salah satu bentuk 
pertahanan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Seiring perkembangannya, istilah BKR yang dibentuk oleh 
Soedirman itu terus mengalami perubahan hingga empat kali. 
Pertama, dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) menjadi TKR 
(Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945. Kedua, dari 
TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menjadi TKR (Tentara 
Keselamatan Rakyat) pada 7 Januari 1946. Ketiga, dari TKR 
(Tentara Keselamatan Rakyat) menjadi TRI (Tentara Republik 
Indonesia) pada 26 Januari 1946. Keempat, dari TRI (Tentara 
Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) 
pada 3 Juni 1947. 
Peristiwa yang cukup menggemparkan terjadi pada 20 Oktober 
1945. Pada saat itu, pasukan tentara Inggris mendarat di 
Semarang untuk melucuti senjata dan menaklukkan Jepang. 
Setelah berhasil melakukan hal itu, tentara Inggris menuju ke 
Magelang dengan maksud untuk membebaskan warga Belanda 
yang menjadi tahanan Jepang. Ternyata setelah tentara Inggris 
berhasil menuju Magelang, mereka tidak mau untuk 
melangkahkan kaki keluar dari Magelang dan berusaha 
bertahan di Magelang untuk menguasai daerah ini .Pertempuran tidak bisa dielakkan, saat secara diam-diam 
pasukan tentara Inggris keluar dari Magelang dengan tujuan 
Ambarawa.14 Di wilayah inilah TKR berusaha mengejar mereka 
dan terjadilah pertempuran. Pertempuran dengan pasukan TKR 
dipimpin oleh Letnan Kolonel Isdiman Suryokusumo 
(komandan resimen TKR Banyumas). Ia menjadi tangan kanan 
Soedirman sekaligus perwira terbaik dalam TKR. Sayangnya, 
dalam pertempuran itu, Isdiman, salah satu pasukan TKR harus 
gugur.
Selanjutnya pada 11 Desember 1945, Soedirman menggelar rapat 
dengan komandan sektor TKR. Rapat digelar dalam rangka 
mengusir tentara Inggris yang posisinya di Ambarawa. Pada 12 
Desember 1945, saat dini hari, serangan dimulai yang dipimpin 
oleh Soedirman. Pertempuran pun meletus di Ambarawa dan 
sekitarnya. Taktik yang digunakan oleh Soedirman yaitu 
“Supit Urang”,
15(strategi pengepungan rangkap) sehingga 
tentara Inggris benar-benar terkepung dan mundur menuju arah ,
Semarang. Pertempuran terjadi selama empat hari empat 
malam, pertempuran Ambarawa berakhir pada 15 Desember 
1945 dengan kemenangan pasukan Soedirman di bawah panji 
TKR.
Atas jasa perjuangan Soedirman dan beberapa tokoh hingga
memperoleh kemenangan pada pertempuran Ambarawa, 
lalu  diabadikan dalam bentuk Monumen Palagan 
Ambarawa dan peringatan Hari Infanteri (Juang Kartika) setiap 
tanggal 15 Desember tiap tahunnya. 
Negara sempat mengalami kekosongan kursi panglima besar, 
sehingga negara berusaha mencari panglima yang sesuai dalam 
memimpin komando bagi tentara Indonesia. Situasi ditambah 
dengan ketidakstabilan negara dengan adanya Agresi Militer 
Belanda I. Pemerintah memutuskan untuk mengadakan 
pemilihan calon panglima TKR.16
saat pemilihan itu diadakan, seluruh komandan resimen dan
komandan divisi untuk mengikuti jalannya pemilihan panglima 
besar yang akan mengomando mereka. Empat kandidat ini  yaitu Sri Sultan Hamengkubowono IX, Letnan Jenderal Urip 
Sumaharjo, Jenderal Mayor Gusti Purbonegoro (mantan kasat 
pertama dari Keraton Solo), dan yang terakhir yaitu Kolonel 
Soedirman. Saat itu, Soedirman masih berpangkat rendah di 
antara kandidat lain. Ia masih seorang perwira yang bertugas di 
Komandan Divisi V Banyumas. Namun, secara mengejutkan ia 
mampu mengalahkan 3 kandidat lainnya. Bahkan saingan 
terdekatnya yaitu Jenderal Urip Sumoharjo dengan selisih satu 
suara. 
Keberhasilan Soedirman dalam memimpin perjuangan ini  
membuat pemerintah semakin yakin dan percaya akan 
kecakapan Soedirman dalam memimpin tentara. Keberhasilan 
Soedirman dalam memimpin berbagai perjuangan, maka 
akhirnya Soedirman dilantik menjadi panglima TKR pada 
tanggal 18 Desember 1945, dari yang semula berpangkat kolonel 
naik menjadi Jenderal.
lalu  pemerintah mengangkat seorang Jendral sebagai 
wakil Soedirman yaitu Letnan Jenderal Urip Sumaharjo. 
Keputusan yang diambil oleh pemerintah sudah sangat tepat 
dengan melantik Jenderal Soedirman menjadi Panglima TKR. ini berkaca dari kemampuanya dalam menjalankan 
peperangan mengusir sekutu dari negara ini. Setelah dilantik 
lalu  ia menempati rumah dinas di Bintaran Yogyakarta 
beserta keluarga selama kurang lebih 3 tahun lamanyaMeskipun Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, 
Belanda kembali menyerang. Pasukan tentara Belanda 
melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Mereka 
melakukan penyerangan terhadap Yogyakarta sebagai ibukota 
Republik Indonesia saat itu. Lalu bergerak ke seluruh wilayah 
Republik Indonesia. Penyerangan yang dilakukan oleh Belanda 
dalam Agresi Militer II bukan hanya fokus ke Yogyakarta, tetapi 
dilakukan di beberapa titik lain, seperti daerah Pujon, Batu, 
Malang, Jawa Timur. Mahardika menyebutkan bahwa 
penyerangan Belanda saat itu dilaksanakan dengan strategi 
yang sangat rapi, tetapi sulit meraih keberhasilan.1 ini 
karena pertahanan TKR dalam menghadapi Belanda juga mempunyai taktik lebih cerdik dengan menguasai medan 
pertempuran yang dijalani. 
ini tetap dilakukan oleh Belanda dengan melanggar 
perjanjian seruan gencatan senjata dalam perjanjian Renville. 
Dengan melihat pada dua peristiwa sejarah, perjanjian Renville 
dan Agresi Militer Belanda II, pemerintah Belanda selalu 
menggunakan tipu daya dan kelicikan demi menguasai 
Republik Indonesia. Dari berbagai perjuangan yang dilakukan 
oleh sejumlah kalangan warga  Indonesia, perlawanan 
Jenderal Soedirman pada akhirnya menjadi sebuah bom waktu 
yang terus membakar jiwa pejuang yang ada di seluruh wilayah 
Indonesia.
Perjuangan di Luar Yogyakarta
Suatu hari dengan adanya tekad dan keyakinan yang mendalam, 
Jenderal Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk 
memimpin perang gerilya yang berlangsung selama tujuh bulan. 
Dalam menjalankan peperangan ini  kondisi fisik 
Soedirman dalam keadaan sakit. Sehingga, dalam perjalanan 
perangnya ia harus ditandu untuk memimpin pasukannya.
Ada beberapa alasan perang gerilya itu dilakukan, diantaranya 
ialah strategi gerilya memiliki karakteristik perang dengan 
persenjataan atau kekuatan militer yang minim. Strategi yang 
digunakan Jenderal Soedirman dalam melawan Belanda dengan 
gerilyanya bersifat non-kooperatif. Ia tidak mau menjalin 
perundingan ataupun kerja sama dengan pemerintah kolonial. 
Strategi gerilya ini memiliki sifat melemahkan, bukan 
menghancurkan. Selain itu dalam strategi perang gerilya 
berusaha agar serangan mencakup di berbagai daerah seluas￾luasnya. Sementara tujuan memperluas serangan agar lawan 
dapat menyebar pasukannya, sehingga kekuatan mereka 
menjadi terpecah dan mudah untuk ditaklukkan.2
Berdasarkan rute perjalanan gerilya Jenderal Soedirman 
berangkat dari Yogyakarta lewat jalur selatan menuju arah timur 
melewati Bantul, Palbapang, Bakulan, Kretek, Grogol, 
Parangtritis, Karangtengah, Panggang, Paliyan (Karangduwet), 
Playen, Siyono, Wonosari, Semanu, Bedoyo, Pracimantoro, Pulo, 
Karangbendo, Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Jatisrono, Slogohimo, Purwantoro, Sumoroto, Ponorogo, Jetis, Sambit, 
Sawo, Tumpakpelem, Nglongsor, Tugu, Trenggalek, Bendorejo, 
Kalangbret, Kediri, Sukorame, Karangnongko, Pekso, 
Krampyang, Bajulan, Salamjudeg, Makuto, Sawahan, Ngliman, 
Gimbal, Gedangklutuk, Selayang, Serang, Jambu, Wayang, 
sampai ke Banyutowo,Di Banyutowo, Jenderal Soedirman bermalam selama lima hari. 
Setelah itu ia melanjutkan perjalanan kembali menuju 
Warungbung, Gunungtukul, Ngindang, ke arah Sawo, 
Nglongsor, Tugu, Trenggalek, Karangan, Suruwetan, Dongko, 
Panggul, Sudimoro, Bodang, Nogosari, Gebyur, Pringapus, 
Gebyur, Wonosidi, Kerto, Wonokerto, Gebyur, Tegalombo, Mujing, Ngambarsari, Sompok, Nawangan, Sobo. Rute ini  
juga disertai pasukan pengawalan yang melewati jalur yang 
berbeda. lalu  pada saat berada di Sobo, Jenderal 
Soedirman diminta agar kembali lagi ke Yogyakarta. Hal 
ini  lalu  dilakukan dengan rute pulang ke Yogyakarta 
melewati Tokawi, Tirtomoyo, Baturetno, Pulo, Karangnongko, 
Ponjong, Karangmojo, Grogol Gati, Gading, Patuk, Piyungan, 
Prambanan, Maguwo, hingga ke Yogyakarta.
Rute perjalanan perang gerilya Jenderal Soedirman dari 
Yogyakarta hingga Pacitan yaitu sebuah usaha  untuk 
mengelabuhi tentara kolonial. Pada 1 April 1949, Jenderal 
Soedirman menetap di daerah Dukuh Sobo, Desa Pakis, 
Kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Pada saat itu 
keadaan Jenderal Soedirman sedikit mulai membaik. Ia bisa 
melakukan komunikasi dengan pejabat pemerintah yang ada di 
Yogyakarta dengan perantara kurir. Jenderal Soedirman berada 
di Pacitan selama kurang lebih tiga bulan. Selain kronologi 
ini , bukti lain bahwa Jenderal Soedirman bergerilya dari 
Yogyakarta hingga Pacitan yaitu sebuah monumen Panglima 
Besar Jenderal Soedirman yang berada di Pakis Baru, 
Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Pada saat Jenderal Soedirman dalam masa perang gerilya, terjadi 
Perjanjian Roem-Roijen tanggal 7 Mei 1949. Perjanjian ini 
ditandatangani oleh perwakilan dari kedua negara yakni 
Mohammad Roem (delegasi dari Indonesia) dan Herman van 
Roijen (delegasi dari Belanda). Berdasarkan pada perjanjian ini, 
pada Juni 1949 Presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad 
Hatta serta pejabat pemerintah RI yang ditahan pihak Belanda 
di Pulau Bangka dikembalikan lagi ke Yogyakarta. Perjanjian 
Roem-Royen yaitu salah satu dari cara perjuangan guna 
mempertahankan kemerdekaannya melalui strategi diplomasi, 
sehingga kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia kembali 
lagi ke Yogyakarta.
Setelah presiden kembali lagi ke Yogyakarta, Jenderal 
Soedirman pun diminta untuk kembali juga ke Yogyakarta, 
namun ia menolak. Atas penolakan ini , pihak pemerintah 
meminta bantuan Kolonel Gatot Subroto, yang pada waktu itu 
menjabat sebagai Panglima Divisi XI yang memiliki hubungan 
baik dengan Jenderal Soedirman. Gatot mengirim surat yang 
bertujuan untuk membujuk Jenderal Soedirman agar mau 
kembali lagi ke Yogyakarta. Pada 10 Juli 1949, dengan berbagai 
pertimbangan dan maksud untuk menghargai Gatot, Jenderal ,Soedirman bersama pasukannya bersedia kembali lagi ke 
Yogyakarta. Mulai sejak itu, Jenderal Soedirman kembali 
bersama pasukannya dan menetap di Yogyakarta dan 
penyakitnya kambuh kembali. 
Perjuangan di Yogyakarta
Peran dan perjuangan yang dilakukan Jenderal Soedirman di 
Yogyakarta tidak berlangsung begitu lama dibandingkan di 
daerah lain. Yogyakarta hanya menjadi tempat persinggahan 
Soedirman, karena pada waktu itu Yogyakarta yaitu 
ibukota Indonesia yang menjadi incaran tantara Belanda untuk 
dihancurkan. 
saat Jenderal Soedirman keluar dari Yogyakarta untuk 
melakukan perlawanan dengan siasat perang gerilya, 
Yogyakarta berhasil dikuasai oleh pasukan Belanda pada 19 
Desember 1948. Mereka menahan Presiden dan Wakil Republik 
Indonesia Pihak Belanda mengira bahwa Indonesia telah 
berhasil dihancurkan jika menahan presiden dan wakilnya, tapi 
faktanya tidak seperti yang mereka duga. Presiden Soekarno 
telah menyerahkan mandat pemerintahan kepada Sjafruddin 
Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuranyang bertempat di Sumatera Barat. Selain itu juga, pasukan 
tentara Indonesia masih utuh bersama panglima besarnya yakni 
Jenderal Soedirman yang pada saat itu sedang melakukan 
perjalanan perang gerilya. Dengan mengetahui ini , 
pihak Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejar 
pasukan Jendeal Soedirman untuk ditangkap. 
Di tengah gentingnya keadaan saat itu, Jenderal Soedirman 
bersama staf dan anggotanya melakukan rapat untuk kebaikan 
TNI. Lalu, T.B. Simatupang dan A.H. Nasution menemukan 
strategi perongrongan (attrition strategy). Strategi ini yaitu 
strategi perang yang bersifat jangka panjang yang lalu  
dijabarkan dalam organisasi dan sistem wehrkreise (lingkungan 
pertahanan atau pertahanan daerah). lalu  pada 
November 1948, sistem wehrkreise ini disahkan penggunaannya 
melalui SURAT PERINTAH SIASAT No.1 yang ditandatangani 
oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II, Jenderal 
Soedirman mengeluarkan SURAT PERINTAH KILAT 
No.1/PB/D/48. Isi surat Perintah Kilat ini  yaitu bahwa 
pada 19 Desember 1948 angkatan perang Belanda telahmenyerang Kota Yogyakarta dan Lapangan Terbang Udara 
Maguwo. Pemerintah Belanda telah membatalkan gencatan 
senjata (sebagaimana tercantum dalam Pernjanjian Renville 
yang ditandatangani pada 17 Januari 1948). Semua angkatan 
perang telah menjalankan rencana untuk menghadapi serangan 
Belanda. 
Serangan 1 Maret 1949 disebabkan oleh pemberitaan Belanda 
kepada dunia bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui 
akses jaringannya di luar negeri, Sri Sultan Hamengkubuwono 
IX langsung menyampaikan kabar itu kepada Soeharto agar 
segera merencanakan serangan balik kepada Belanda untuk 
memberi sinyal kepada dunia bahwa Indonesia masih berdiri. 
Berita penyerangan ini disiarkan melalui RRI, lalu  
ditangkap oleh BBC London, dan disampaikan kepada Dewan 
Keamanan PBB. saat berita ini menyebar luas, seluruh 
wartawan internasional berkumpul di Hotel Merdeka untuk 
mewawancarai para pejuang. Propaganda Belanda diringkus 
habis dengan pernyataan bahwa kabar burung dari Belanda itu 
keluar dari para pengacau keamanan. Dengan demikian, 
Indonesia mendapatkan kedaulatannya kembali pada tanggal 27 
Desember 1949. Puncak dari perang gerilya ini yaitu serangan 1 Maret 1949 
yang direncanakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, 
lalu  dikomando oleh Jenderal Soedirman, dan 
dilaksanakan oleh Letkol Suharto. Ini menjadi bukti bahwasanya 
segala komando perjuangan masih berada di pundak panglima 
besar Jenderal Soedirman seperti yang telah dijelaskan di awal. 
Perlawanan ini  membuat Belanda semakin tercengang, 
karena serangan ini  memang sengaja dilakukan oleh 
Indonesia, dan memberi tahu bahwa bangsa Indonesia tidak 
takut dan masih akan terus berdaulat. Serangan ini  yaitu 
tanda bahwa bangsa Indonesia masih ada dan tidak takut 
dengan segala bentuk penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia 
siap untuk melawan dan mengusir segala bentuk penjajahan di 
negara Indonesia dan perjuangan ini  tidaklah sia-sia, 
karena serangan ini  mampu membungkam propaganda 
yang dibuat oleh Belanda. Belanda pada waktu itu mengatakan 
bahwa Indonesia sudah dikuasai, dan intrik-intrik itu 
yaitu gerakan yang dilakukan oleh pengacau keamanan, 
bukan dari para pejuang. Akhirnya serangan ini  mampu 
membungkam propaganda yang dilakukan oleh Belanda. 
Perjuangan ini  juga menjadi tonggak perjuangan para 
pahlawan di medan perang karena perjuangan di ranah diplomasi juga memberi  hasil yang baik, di mana Belanda 
dapat diusir kembali ke negeri asalnya,

Nilai-nilai kehidupan yang dapat kita teladani salah satunya 
yaitu religiusnya, di mana ia yaitu seorang jenderal yang 
sangat taat terhadap agamanya. Soedirman yaitu seorang 
muslim yang sangat taat, ia juga aktif sebagai juru dakwah di 
bidang keagamaan. saat ia telah menjadi Panglima 
Soedirman, ia tetap aktif melakukan kegiatan pengajian di 
Gedung Pesantren Kauman Yogyakarta setiap selasa malam.1
Dengan ini  membuat Jenderal Soedirman sangat 
memegang kuat prisnsip kehidupanya berlandaskan agama. 
Mayor Heru Santoso dan Kamrihadi memberi  banyak 
informasi atas sisi religius Jenderal Soedirman, termasuk 
mengenai kekuatannya untuk bangkit dari tempat tidur setelah memanjatkan doa yang begitu khusyuk untuk keamanan negara 
Indonesia. Ini menandakan bahwasanya dengan keadaan 
apapun ia terus pasrahkan segala urusan kepada Tuhannya. 
Terbukti dengan penjelasan di atas, saat Belanda sudah mulai 
menyerang dan menguasai lapangan Maguwo, ia tetap 
memanjatkan doa untuk keselamatan bangsanya.2 Nilai ini  
tentunya harus dicontoh oleh generasi-generasi penerus, yaitu 
segala bentuk kehidupan ini  harus dilandaskan dengan 
agama. Karena dengan pasrah ini  Tuhan akan memberi  
pertolongan kepada kita dengan cara yang tidak di duga-duga. 
Tawakal menjadi bentuk kepasrahan seorang Jenderal 
Soedirman, pasrah yang bukan tanpa usaha, tetapi ia 
mengerahkan segala kemampuannya, lalu memasrahkan segala 
urusanya kepada Allah. Sebagai seorang muslim yang taat ia 
bertawakal dalam setiap usahanya saat bergerilya. Karena, 
dengan ia bertawakal, Allah akan memberi  anugerah berupa 
keselamatan bagi dirinya ,Mayor Heru Santoso menyebut Jenderal Soedirman sebagai 
tokoh nasionalis yang religius. Ia juga membeberkan lima ajaran 
dari Jenderal Soedirman. Pertama yaitu setia akidah, yaitu 
pemahaman bahwa pada dasarnya manusia yaitu ciptaan 
Tuhan dan untuk itu harus setia kepada Tuhan. Kedua yaitu 
setia ibadah, yaitu setiap manusia harus setia menjalankan 
bentuk ibadah, apapun agamanya, sebagai bentuk kesetiaan kepada Tuhan yang telah menciptakannya. Ketiga yaitu setia 
ilmu, bahwa anugerah tertinggi yang diberikan kepada manusia 
yaitu akal budi. Akal budi ini yang memberi pembeda antara 
manusia dengan hewan. Keempat ialah setia berkorban, yaitu 
bagaimana usaha  manusia agar ia dapat memberi manfaat 
untuk manusia lain, sesuai dengan ajaran agama. Kelima yaitu 
setia perjuangan, bahwa hakikat dari kehidupan yaitu sebuah 
perjuangan. Kelima ajaran ini disebut sebagai “Lima Setia”. 
Selain itu Jenderal Soedirman juga selalu menjaga kesucian
dirinya dengan menjaga wudhunya dimanapun tempatnya. 
Bahkan saat ia sampai dirumah singgah Piyungan, ia tidak 
melupakan wudhu dan menjalankan sholat sunah sebagai rasa 
syukurnya karena telah diberikan keselamatan dalam perjalanan 
gerilyanya. ini  memberi  pelajaran penting bagi 
generasi sekarang walaupun sudah diberikan kemudahan 
dalam menjalankan segala keinginan, hal yang harus dilakukan 
yaitu bersyukur dan selalu ingat dengan Tuhan. Ini menjadi 
penting susaha  terhindar dari sifat sombong atau takaburPatriotisme yaitu sikap seseorang yang bersedia 
mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan 
kemakmuran tanah airnya.Melihat generasi muda sekarang 
yang sudah tidak begitu memahami sikap patriotisme, maka 
buku ini hadir untuk memberi  pemahaman terkait sikap 
patriotisme seorang Jenderal Soedirman yang berjuang untuk 
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan Jenderal 
Soedirman begitu hebat, rela berkorban untuk mempertahankan 
kemerdekaan bangsa ini dari segala ancaman bangsa asing. 
Perjuangan ini  ia lakukan demi negara ini dapat merdeka 
seutuhnya.
Mayor teguh memberi informasi atas pengabdian Jenderal 
Soedirman kepada bangsa ini, begitu pula Kamihardi. Mereka 
sepakat bahwa Jenderal Soedirman tetap setia pada jalur tentara 
dan ia tidak pernah memasuki ranah politik sama sekali hingga 
akhir hayatnya.Sikap patriotisme Jenderal Soedirman membuatnya dicintai oleh 
warga , selain itu mengajarkan para pengikutnya untuk 
loyal. ini  menjadi panutan utama para perwira sampai 
sekarang. Jiwa patriotisme Jenderal Soedirman selalu diajarkan 
dilingkungan TNI sebagai bentuk rasa hormat dan cinta kepada 
Panglima Besar. 
Pernyataan ini  menjelaskan bahwa seorang prajurit 
memiliki pendirian yang tegas serta tanggungjawab dalam 
mempertahankan negara dari segala bentuk ancaman. Sebagai 
ujung tombak keamanan negara, prajurit harus siap sedia 
berkorban untuk bangsa dan negara, dan tidak boleh mudah 
berbelok tujuan dari visi mulia dalam mempertahankan negara. 
Ini yaitu nilai patriotik yang sangat luar biasa dari seorang 
Jenderal Soedirman.
Pengorbanan yang ia lakukan tidak hanya berupa tenaga dan 
pikiran, akan tetapi sesuatu yang sifatnya materil juga ia 
korbankan. Seperti halnya saat ia sedang diburu oleh Belanda, 
lalu  melarikan diri dari Yogyakarta menuju Bantul ia 
memerintahkan adik ipar dan ajudannya untuk mengambil seluruh perhiasan istri sang jenderal untuk perbekalan bagi 
segenap pasukannya. 
ini  mengambarkan ketulusan pengorbanan Jenderal 
Soedirman terhadap bangsa Indonesia. Hal-hal semacam ini 
sepatutnya diwariskan kepada generasi penerus susaha  
generasi penerus dapat meneladani sikap patriotisme Jenderal 
Soedirman. Ini menjadi penting susaha  generasi muda mampu 
memiliki karakter yang kuat dan sesuai dengan nilai-nilai 
Pancasila, dan jauh dari pengaruh globalisasi yang akan 
mengikis karakter bangsa Indonesia. 
Aksinya dalam mempertahankan negara yaitu sebuah 
perwujudan sikap patriotisme. Sikap hidup dan perilaku hidup 
yang ikhlas berkorban, tidak mengenal putus asa, serta 
senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, 
tabah dan tahan menanggung setiap ancaman sebagai akibat 
kesetiaannya kepada tugas dalam usaha  mempertahankan 
kemerdekaan. “Makin dekat cita-cita kita capai, makin besar 
penderitaan yang harus kita alami.” ucap Jenderal Soedirman.Sebagai seorang panglima besar, Jenderal Soedirman tentunya 
memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat luar biasa. ini 
dapat dilihat dari kepemimpinannya dalam memenangkan 
peperangan dalam rangka mengusir penjajah dari Indonesia. 
ini dapat dilihat saat ia masih menjadi seorang kolonel, 
kecakapannya mampu memukul mundur musuh saat 
peperangan di Ambarawa pada tahun 1945. 
Soedirman mampu mengintegrasikan seluruh kekuatan 
bersenjata yang ada di seluruh wilayah Indonesia, baik dari 
tentara reguler seperti TRI maupun dari badan-badan 
perjuangan/laskar yang ada di kalangan warga . 
Soedirman juga dikenal sebagai sosok pimpinan angkatan 
perang yang cerdas, cakap, tegas dan bijak.Bentuk pengabdian 
dan pengorbananya ia wujudkan untuk membangun kekuatan 
guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari segala 
bentuk penjajahan, maka Jenderal Soedirman telah membuktikan kepemimpinannya sebagai Panglima TNI yang 
dapat digunakan sebagai teladan bagi generasi sekarang dan 
yang akan datang.Walaupun dalam keadaan sakit, ia mampu memimpin seluruh 
pasukanya untuk menjalankan strategi. Betapa hebatnya 
Jenderal Soedirman dalam memimpin bahkan saat anak 
buahnya sedih melihat keadaannya yang sedang sakit, akan tetapi ia tetap menjaga semangat pengikutnya untuk terus kuat 
dalam menjalankan misi perjuangan. Di tengah anak buahnya 
yang sedang merasa khawatir, Jenderal Soedirman 
menyampaikan ‘Yang sakit yaitu Soedirman, panglima besar tidak 
pernah sakit.”
Inilah bentuk tanggung jawab dari seorang pemimpin yang 
terus memberi  semangat pantang menyerah kepada prajurit￾prajuritnya untuk senantiasa bersemangat demi tercapainya 
cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka seutuhnya. Hal 
ini  selaras dengan pernyataan Hadari Nawawi, yang 
menjelaskan bahwasannya “Kepemimpinan yaitu proses 
mengarahkan, membimbing, mempengaruhi, menguasai pikiran, 
perasaan atau tindakan dan tingkah laku seseorang”. 
Kepemimpinan lebih cenderung pada proses dari kemampuan 
seseorang untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat 
orang lain bersedia mengikuti perintah dalam mencapai sebuah 
tujuan dari lembaga atau lembaga tertentu.” ini 
dikarenakan Jenderal Soedirman sebagai seorang panglima besar akan memikul segala tanggung jawabnya sebagai seorang 
pemimpin kepada prajuritnya, lalu  dalam keadaan negara 
sudah diserang ia harus hadir ditengah-tengah prajuritnya 
untuk memotivasi dan mengarahkan susaha  terkomando 
dengan baik. Tidak heran, kala Soekarno memintanya untuk 
tinggal sejenak di Yogyakarta, ia berkata “Maaf saja saya tidak bisa, 
tempat saya yang terbaik yaitu ditengah-tengah anak buah, saya akan 
meneruskan perjuangan Met of zonder pemerintah APRI berjuang 
terus.
Pernyataannya ini  menandakan ia sangat bertanggung 
jawab sebagai seorang pemimpin yang lebih memikirkan 
prajuritnya daripada dirinya sendiri. Ini menandakan bahwa 
Jenderal Soedirman yaitu seorang pimpinan yang sangat 
bertanggung jawab kepada semua prajuritnya. Tidak heran jika 
di usia yang begitu muda ia sudah dipercaya untuk menjadi 
seorang panglima besar, dan mengemban tugas dan tanggung 
jawab yang besar.Tugas dan tanggung jawab yang diembannya ini  ia pegang kuat dan sangat amanah. Nilai￾nilai ini harus diajarkan kepada generasi penerus agar nilai-nilai 
perjuangan itu terwariskan sebagai bekal para putra bangsa 
membangun negara Indonesia untuk menjadi yang lebih baik.

sejarah majapahit 3

kerajaan Tartar. Maka 
tentara Tartarpun sepakat dengan permintaan R Wijaya, akhirnya peperangan 
terjadi tentara R Wijaya dibantu oleh pasukan Tartar melakukan penyerangan 
dan berhasil membunuh Jayakatwang.sesudah  Jayakatwang terbunuh, Raden 
Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar 
Kubilai Khan, sebagai wujud penyerahan dirinya. Panglima Tartar 
mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, bukannya 
mempersiapkan upeti, R Wijaya dan pasukannya malah menghabisi para 
pengawal dari Tartar yang menyertainya. sesudah  itu, dengan membawa 
pasukan yang lebih besar, R Wijaya memimpin pasukan menyerbu pasukan 
Tartar yang sedang dijamu dan merayakan pesta kemenangannya.
Pasukan Tartar yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa R 
Wijaya akan bertindak demikian, akhirnya pasukan Tartar dibuat kalang 
kabut menghadapi serangan mendadak yang dilancarkan oleh pasukan 
Majapahit, seranga itu mampu membuat pasukan Tartar kocar kacir, pasukan 
Tartar ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, dan memaksa mereka 
keluar dari Pulau Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Bahkan 
Panglima perang yang memimpin penyerangan ke pulau Jawa, harus 
melarikan diri, sebelum akhirnya dapat bergabung kembali dengan sisa 
pasukan yang menunggunya di pesisir utara (Ujunggaluh). Dari sini mereka 
berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou.
Adalah Lembu Sora dan Ranggalawe, dua panglima perang Majapahit 
yang bekerja sama dengan orang-orang Tartar menjatuhkan Jayakatwang, yang 
melakukan penumpasan itu. Kekalahan balatentara Tartar oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya, mereka 
nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di 
dunia. Ada sebuah catatan yang mengatakan pada pertempuran di Ujung 
Galuh, saat tentara tartar berhasil dikalahkan Majapahit, maka saat Itulah 
bendera Getah Getih (Merah Putih) dikibarkan, kekalahan pasukan Tartar 
sebagai tanda terbebasnya Nusantara dari interfensi kerajaan asing dan 
Majapahit menjadi kerajaan yang merdeka.
sesudah  berhasil mengusir pasukan Tartar dari pulau Jawa, maka Raden 
Wijaya lalu menobatkan dirinya menjadi raja pertama Majapahit dengan 
gelar Kertarajasa Jayawardana.. Penobatan R Wijaya sebagai Raja Majapahit 
diperkirakan terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1216 Saka, atau 10 
November 1293 M, lalu disaat yang sama dia menyatakan berdirinya 
sebuah kerajaan baru yang dinamakan Wilwatikta atau Majapahit.
Dalam memimpin Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya dikenal 
memerintah dengan tegas dan bijak. Kepemimpinan Kertarajasa dianggap 
cukup bijaksana, dengan mengangkat para pengikutnya yang setia dalam 
perjuangan dengan memberikan kedudukan dan hadiah yang pantas kepada 
para pendukungnya. Arya Wiraraja yang banyak berjasa ikut mendirikan 
Majapahit, diberi daerah khusus (Madura) dan diberi diberi kekuasaan atas 
daerah Lumajang hingga Blambangan. Disamping itu Arya Wiraraja dan 
Ranggalawe diangkat sebagai Pasangguhan Pranajaya (pejabat tinggi 
kerajaan semacam hulubalang istana yang bertugas merencanakan dan 
mengambil keputusan tentang seluk beluk pemerintahan yang harus 
dilaksanakan para pejabat di bawahnya). Nambi diangkat menjadi patih, 
Ranggalawe juga diangkat sebagai Adipati Tuban, dan Lembu Sora sebagai 
patih Dhaha (Kadiri). Demikianlah sebuah catatan berdirinya kerajaan besar 
di Nusantara yang pada akhirnya mampu menyatukan Nusantara dalam satu 
payung besar Majapahit.
Majapahit mengalami kegaduhan dan guncangan kekusaan saat Raja 
Jayanagara yang tewas ditikam tabibnya sendiri ( baca; Ra Tanca ) pada 1328 
M. Putra R. Wijaya1
, pendiri kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, itu 
belum sempat dikaruniai anak. Tak ayal, kematian Jayanagara menimbulkan 
polemik terkait siapa penggantinya. Situasi inilah yang nantinya menaikkan 
Tribhuwana Tunggadewi ke tampuk kekuasaan. Lantaran Jayanegara tidak 
punya putra mahkota, yang berhak naik takhta adalah Gayatri, salah satu istri 
R. Wijaya yang juga ibu tiri Jayanegara. Namun, Gayatri enggan menjadi 
penguasa, ia sudah melepaskan ambisi duniawinya dengan menjadi bhiksuni
(Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Volume 1, 2006: 30). Di lingkaran 
utama kekuasaan Majapahit saat itu sudah tidak ada laki-laki lagi. Dari 
kelima istrinya, R. Wijaya hanya dikaruniai satu orang putra, yakni 
Jayanegara, serta dua orang putri, yaitu Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah 
Wiyat. Gayatri lalu memberi titah kepada putri pertamanya, 
Tribhuwana Tunggadewi, untuk naik takhta, menjadi ratu penguasa 
Majapahit. Demi baktinya kepada sang ibunda, Tribhuwana bersedia dan 
kelak mengantarkan Majapahit ke gerbang kejayaan.
Nama asli Tribhuwana Tunggadewi adalah Dyah Gitarja. Beberapa bulan 
sesudah  Jayanegara tewas, ia dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Majapahit 
pada 1329, dengan gelar Tribhuwana Tunggadewi Maharajasa 
Jayawisnuwardhani (Slamet Muljana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 
1979:135). lalu Tribhuwana Tunggadewi dipanggil sebagai “rajaputri”, 
untuk membedakan dengan istilah “ratu” . Rajaputri Tribhuwana Tunggadewi 
sebenarnya tidak pernah terpikir naik takhta sebagai pemimpin Kerajaan 
Majapahit. Ia hanya mematuhi titah sang ibunda, Gayatri, dan memang sebab  
tidak ada keturunan laki-laki lain sepeninggal Jayanegara.
Semasa Jayanegara masih hidup, Tribhuwana Tunggadewi dan adiknya, Dyah 
Wiyat, dilarang menikah. Jayanegara takut takhtanya terancam oleh suami-suami 
kedua adik tirinya itu. sesudah  raja ke-2 Majapahit itu tewas, banyak pangeran 
dari berbagai negeri yang datang untuk melamar Tribhuwana Tunggadewi dan 
Dyah Wiyat. sesudah  diadakan sayembara, Tribhuwana Tunggadewi disunting 
oleh Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana, bangsawan muda keturunan raja￾raja Singhasari, sedangkan Dyah Wiyat menikah dengan pangeran lainnya 
bernama Kudamerta. Nantinya perkawinan Tribhuwana dengan Cakradhara 
dikaruniai anak laki-laki bernama Hayam Wuruk. Orang inilah yang kelak 
membawa Majapahit mencapai puncak keemasannya, berkat rintisan serta 
bimbingan sang Rajaputri.
Selama era Jayanegara (1309-1328), Majapahit belum sempat menikmati 
masa-masa indah. Ia dianggap lemah, jahat, dan tidak bermoral. Banyak intrik 
yang muncul sebab  kepemimpinannya yang dinilai kurang baik. Setidaknya 
sudah terjadi lebih dari 8 kali pemberontakan terhadap Jayanegara yang akhirnya 
tewas dibunuh tabibnya sendiri. Naik takhtanya Tribhuwana Tunggadewi 
sebagai pengganti Jayanegara pun sempat memantik keraguan sebab  belum ada 
sejarahnya Majapahit dipimpin seorang perempuan. Namun, sang rajaputri 
berhasil menepis skeptisme itu dan justru menjadi pembuka gerbang Majapahit 
menuju masa emas. Purwadi (2007) dalam buku Sejarah Raja-raja Jawa: 
Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa menyebut bahwa jasa 
besar Tribhuwana Tunggadewi adalah meletakkan dasar-dasar politik 
kenegaraan Majapahit (hlm. 107).
Gajah Mada berperan besar dalam kesuksesan era Tribhuwana. Saat 
dilantik menjadi mahapatih pada 1334, Gajah Mada mengucapkan Sumpah 
Palapa (Pitono Hardjowardojo, Sedjarah Indonesia Lama, 1961:191). Ia berikrar 
tidak akan merasakan kenikmatan duniawi sebelum berhasil mempersatukan 
Nusantara di bawah naungan Majapahit. Pada era Tribhuwana Tunggadewi 
inilah ekspansi besar-besaran dimulai. Tahun 1343, Majapahit menaklukkan 
Bali. Tiga tahun berselang, giliran kerajaan-kerajaan di kawasan lain di 
Nusantara, terutama di Sumatera, yang ditundukkan. Majapahit sebenarnya 
sedang menuju kegemilangan ketika Tribhuwana Tunggadewi memutuskan 
turun takhta pada 1350. Keputusan ini  diambil seiring wafatnya Gayatri. 
Bagi Tribhuwana, singgasana Majapahit sebenarnya adalah hak sang ibunda 
yang memberinya kuasa untuk menjadi pemimpin. sesudah  Gayatri tiada, 
Tribhuwana Tunggadewi menganggap bahwa amanat sang ibunda telah 
ditunaikannya, dan ia merasa tidak berhak lagi menjadi penguasameskipun saat itu Majapahit tengah merintis pamor sebagai kerajaan yang 
digdaya. Takhta Majapahit selanjutnya diserahkan kepada putra mahkota, 
Hayam Wuruk. Tribhuwana Tunggadewi sendiri lalu menempati posisi 
sebagai salah satu anggota Saptaprabhu, semacam dewan pertimbangan 
agung yang beranggotakan keluarga kerajaan.
Pada masa pemerintahan Hanyam Wuruk dan atas saran Tribhuwana 
Tunggadewi maka digelar sebuah upacara besar sebagai penghormatan untuk 
Gayatri, Raja Hayam Wuruk menggelar upacara besar-besaran yakni Upacara 
Srada. Seluruh pegawai istana, pemuka kerajaan, rakyat, juga para raja dari 
berbagai negeri datang berbondong-bondong ke Majapahit untuk menghadiri 
upacara ini . (Negarakertagama, pupuh 61-67). Tribhuwana Tunggadewi, 
juga Gajah Mada, mendampingi Hayam Wuruk mengelola pemerintahan, 
termasuk meneruskan obsesi penaklukan wilayah-wilayah lain di Nusantara. 
Pada masa inilah Majapahit mencapai puncak kejayaannya yang dirintis sejak 
era kepemimpinan sang rajaputri Tribhuwana Tunggadewi. Pada saat inilah 
dalam usaha  mempersatukan nusantara lalu Maha Patih Gajah Mada 
mulai melaksanakan politik pemerintahan Majapahit yang lalu dikenal 
dengan semboyan Mitreka Satata, sebuah semboyan politik dimana kerajaan -
kerajaan tetangga dianggap sebagai mitra dan berdiri sejajar dengan 
Majapahit. Saking hebatnya pengaruh semboyan mitreka satata, dalam 
sebuah percakapan dengan salah satu pemerhati Majapahit yaitu Nanang 
Muni, mengatakan bahwasannya Mitreka Satata lah yang melatari sikap 
politik Soekarno saat mendirikan organisasi Negara – Negara Non Blok.
Hayam Wuruk yang lalu bergelar Maharaja Sri Rajasanagara 
yang memerintah Majapahit pada 1350-1389, mampu mencapai puncak 
kejayaan dibantu oleh mahapatihnya yakni Gajah Mada (1313-1364), 
tentunya, bimbingan, ajaran serta apa yang telah diberikan oleh Tribhuwana 
Tunggadewi juga memiliki peran yang sangat besar. Pada masa Hayam 
Wuruk Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Wilayah yang dikuasai 
mencakup seluruh nusantara yakni sampai seluruh nusantara, Semenanjung 
Malaya, Kalimantan, dan Sulawesi. Adapun di Kepulauan Nusa Tenggara, 
Maluku, dan Papua, sekitar 98 kerajaan pada saat itu ada pada genggaman 
Majapahit. Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh 13-15, daerah 
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, 
Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) 
dan sebagian kepulauan FilipinaPupuh 13
1. Terperinci pulau Negara bawahan, paling dulu M’layu, Jambi, 
Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut Daerah Kandis, 
Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane.
2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga 
Barus. Itulah terutama Negara‐negara melayu yang telah tunduk. Negara‐
negara di Pulau Tanjungnegara; Kapuas‐ Katingan, Sampit, Kota Lingga, 
Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut ini 
Pupuh 14
1. Kandandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan.
Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solor dan juga Pasir. Barito, Sawaku, 
Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau 
Tanjungpura.
2. Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut 
Langkasuka, Saimwang, Kelantan, serta Trengganu Johor, Paka, Muar, 
Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah. Jerai, Kanjapiniran, semua sudah 
lama terhimpun.
3. Disebelah timur Jawa, seperti yang berikut: Bali dengan Negara yang 
penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, Pulau Sapi, 
dan Dompo. Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
4. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan 
daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah 
Bantayan beserta Kota Luwuk. Sampai Udamaktraya dan pulau lain‐lainnya 
tunduk
5. ini  pula pulau‐pulau Makasar, Buton, Bangawi Kunir, Galian, 
serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula, Wanda (n), Ambon atau pulau 
Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau‐pulau lain.
Pupuh 15
1. Inilah nama Negara asing yang mempunyai hubungan. Siam dengan 
Ayudyapura, begitu pun Darmanagari Marutma, Rajapura, begitu juga 
Singanagari. Campa, Kamboja, dan Yawana ialah Negara sahabat.
2. Tentang pulau Madura, tidak dipandang Negara asing. sebab  sejak 
dahulu dengan Jawa menjadi satu. Konon tahun Saka lautan menantang 
bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
3. Semenjak Nusantara menadah perintah Sri Baginda. Tiap musim
tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan
menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti
warga  Majapahit umumnya merupakan warga  yang 
majemuk. Wilayah Kerajaan Majapahit yang sangat luas, dengan segala 
karakteristik wilayahnya, menjadikan Majapahit memiliki keragaman yang 
ditentukan oleh banyak hal, wilayah di pedalaman yang bersendikan agraris, 
akan memiliki pola kebudayaan yang berbeda dengan daerah pantai yang 
bersendikan perdagangan. warga  pedalaman lebih bersifat tertutup 
dengan kebudayaan siklus (berputar tetap). Sementara warga  pantai 
yang secara geografis sering berhubungan dengan bangsa asing, lebih bersifat 
terbuka terhadap hal-hal baru. Kehidupan keagamaan Majapahit 
menunjukkan pula hubungan dengan sendi-sendi toleransi yang kuat. 
Majapahit mengakui dan menghormati dua agama besar saat itu, yakni Hindu 
dan Buddha, dalam bentuk pengangkatan pejabat keagamaan dalam struktur 
pemerintahannya (Pinuluh, Esa Damar, 2010).
Semasa menjabat menjadi raja, Hayam Wuruk tidak hanya menerapkan 
kebijakan untuk meningkatkan bidang pertahanan dan keamanan di dalam 
negeri. Meningkatkan bidang pertahanan dan keamanan, Majapahit di masa 
pemerintahan Hayam Wuruk terbebas dari ancaman baik dalam maupun luar 
negeri. Tidak ada pemberontakan yang digencarkan dari dalam negeri, maupun 
dari luar negeri Majapahit. Hubungan kerja sama di bidang ekonomi dengan 
negara-negara tetangga sangatlah penting bagi Majapahit. Hal ini sebab  
Majapahit merupakan sumber barang dagangan yang sangat laku di pasaran. 
Barang dagangan seperti beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkih, 
pala, kapas, dan kayu cendana. Bidang perdagangan, Majapahit memiliki 
peranan ganda yang sangat penting, yakni sebagai produsen dan perantara.
Dengan luasnya kerajaan Majapahit yang mampu mempersatukan 
banyak pulau-pulau di Nusantara, hal itu membuat majapahit menjadi kerajaan 
maritim yang amat kuat. Bahkan kerajaan-kerajaan tetangga segan dan takut 
dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh Majapahit pada masa mahapatih 
Gajah Mada masih menjabat. Kekuatan armada laut Majapahit bahkan dipuji 
para penjelajah laut. Kekuasaan Majapahit yang sangat luas ini tentu bukan
sebuah pekerjaan mudah dan begitu saja diperolehnya, namun untuk 
mencapai puncak kejayaannya, Majapahit memiliki kekuatan militer yang 
sangat kuat yang kita kenal dengan pasukan Bhayangkara. Bhayangkara 
adalah nama pasukan elit Kerajaan Majapahit. Mereka lah yang dikerahkan di 
garda depan saat terjadi peperangan. Mereka pula yang membuat rakyat 
Majapahit selalu merasa terayomi dan aman. Seleksi untuk menjadi Pasukan 
Bhayangkara tidaklah mudah. Seorang calon anggota Bhayangkara harus 
menguasai berbagai ilmu dan tangkas dalam bela diri. Seleksi yang ketat ini 
menjadikan jumlah pasukan hanya sedikit. Namun ini tidak menjadi masalah 
sebab  kekuatan satu orang Bhayangkara sama dengan kekuatan empat puluh 
orang prajurit biasa.
Namun sebesar apapun armada yang dipakai , sebanyak apapun 
pasukan yang dimiliki, jika tidak ada pimpinan yang dapat mengatur strategi, 
maka semuanya akan sia-sia. Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam 
Wuruk memiliki dua pemimpin militer yang jenius, yaitu Gajah Mada dan 
Mpu Nala. Mpu Nala bertanggung jawab atas pertahanan laut kala itu. 
Sementara Gajah Mada sangat pandai dalam mengatur strategi baik operasi 
intelejen, penyerangan, maupun pertahanan. Ia memimpin hampir di setiap 
peperangan. Ia pula yang merakit senjata-senjata yang dipakai  oleh 
prajurit Majapahit. Salah satu rakitannya adalah cetbang.
Pada masa keemasannya bukan hanya kekuatan maritimnya saja yang 
berkembang pesat bahkan siklus perekonomian yang ada di kerajaan 
Majapahit berjalan amat baik, perdagangan antar kerajaan juga berlangsung 
dengan baik bahkan sebagai alat transaksi pasar pada masa Majapahit telah 
memakai  mata uang logam sebagai alat transaksi ekonomi mereka. Pada 
masa kejayaannya itu, Majapahit memang dikenal sebagai negara yang kuat 
oleh berbagai kerajaan tetangga. Beberapa kerajaan disekitar Asia Tenggara 
yang memiliki hubungan dagang yang baik dengan Majapahit adalah 
Thailand, Singapura dan Malaysia. Selain dari sisi perdagangan, pertaninan 
milik rakyat Majapahit juga berjalan baik dengan hasil panen yang cukup 
baik tiap tahunnya, hal ini  disebabkan sebab  pusat pemerintahan 
Majapahit terletak di daerah yang subur.
Kebesaran Majapait tidak hanya terbangun sebab  kekuasan yang 
sedemikian luasnya dan kehidupan perekonomian berkembang dengan pesat, 
namun kerukunan hidup yang terjali pada saat itu merupakan faktor lain yang 
mampu membawa Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar, pada saat itu setiap 
warga Negara ( Rakyat ), hidup damai dan berdampingan, hal itu mampu
terbangun karna mereka meyakini falsafah kehidupan Bhinneka Tunggal Ika Tan 
Hana Dharma Mangrwa yang tertuang dalam naskah Sutasoma karya agung 
Rakawi Tantular dan lalu falsafah inilah yang melatarbelakangi atau 
menjadi cikal bakal terbentuknya Pancasila yang masih relevan dan begitu 
penting untuk dimaknai bagi bangsa Indonesia saat ini. Lebih enam ratus tahun 
lalu, Gajah Mada, seorang negarawan sejati telah membuktikan keampuhan 
falsafah ini menjadi kekuatan spiritual untuk membangun persatuan yang 
terbukti mampu membawa bangsa yang sangat heterogen ini mencapai kejayaan 
yang sangat disegani dan berwibawa di mata mancanegara





Sejenak kita akan kembali pada sebuah masa, dimana pada saat itu 
berdiri sebuah kerajaan besar yang awalnya hanya berupa pedukuhan kecil di 
alas Terik, ya nama pedukuhan itu adalah Majapahit sebuah nama yang 
diambil dari buah maja yang rasanya pahit. Seiring perjalanan waktu tepat 
saat pasukan tartar mau menyerang pulau jawa, saat itulah awal dari 
bangkitnya Majapahit, hingga akhirnya mampu menjadi penguasa Nusantara 
yang mampu menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan 
Majapahit. Hingga pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk dengan gelar 
Rajasanagara yang didampingi Mahapatih Gajah Mada, Majapahit telah 
berhasil dalam menghimpun kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain di 
Nusantara. Meski sang mahapatih hanya mendampingi selama 14 tahun, 
keberhasilan ini tidak hanya dalam hal politik atau keamanan regional, tetapi 
juga dalam perdagangan.
Majapahit berkepentingan mengamankan wilayah kerajaan-kerajaan 
lain sebab  kerajaan adikuasa itu membutuhkan pasar untuk menjual hasil 
buminya, sekaligus membutuhkan sumber daya dari kerajaan lain yang 
berpotensi untuk perdagangan. Pada masa itu arus perdagan berjalan dari 
Majapahit ke Negara – Negara kecil ( Pramudya Ananta Toer, Arus Balik ) 
hal inilah yang pada akhirnya mebentuk hubungan dagang sehingga 
warga  Majapahit menjadi multikultur.” Majapahit berkembang menjadi 
sebuah metropolitan, tempat beragam budaya dan agama bertemu dan 
membentuk kehidupan kota. Gambaran ragam budaya yang hidup bersama di 
Majapahit dituliskan oleh Prapanca dalam Kakawin Nagarakertagama pada 
1365, “Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung dari 
Jumbudwipa (India), Kamboja, Cina, Yamana, Campa, dan Goda, serta 
Saim. Mereka mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta, 
semua merasa puas, menatap dengan senang.”
Masuknya berbagai suku bangsa dalam pusaran perdagangan 
Majapahit juga memunculkan keberagan kepercayaan (agama), pada masa itu 
agama yang berkembang adalah Hindu dan Budha. Rajasanagara telah 
menempatkan rumah ibadah yang akhirnya membentuk tata kota Majapahit: 
Sebelah timur untuk Siwa, sedangkan sebelah Barat untuk Buddha. Setiap 
tahun sang raja juga berkeliling ke tempat-tempat yang berbeda, dari kota 
pelabuhan hingga tempat pertapaan pendeta Siwa di gunung-gunung. Raja￾raja di Majapahit, khususnya Rajasanagara, mempunyai kebijakan untuk 
mengatur kehidupan multiagama. Dalam sebuah peraturan dipaparkan tujuan 
kebijakan ini  adalah saling menghargai antaragama, mencegah konflik 
sosial-agama atau manajemen konflik, dan menunjukkan sifat toleransi yang 
menghargai perbedaan. Bahkan nilai – nilai luhur pancasila dilandasi oleh 
kitab sutasoma, sebuah kitab yang lahir dan ditulis oleh Empu Tantular pada 
masa Majapahit, “bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” sebuah 
penggalan falsafah hidup yang dipegang teguh pada masa itu. sebab  hal 
itulah pada saat itu warga  Majapahit yang beragam mampu hidup 
berdampingan.
Lantas bagaimana dengan keberagaman dan pengamalan pancasila 
pada manusia Indonesia modern saat ini? Ketika bicara mamusia modern tiba
– tiba ada seulas senyum pada bibir penulis, baiklah kita bahas fenomena 
keberagaman dewasa ini, pertama. Kita bahas tentang kejadian yang sempat 
viral yaitu : Fenomena kesalahan melafalkan sila Pancasila yang terjadi pada 
finalis ajang pemilihan Puteri Indonesia 2020 utusan provinsi Sumatera Barat 
beberapa waktu lalu patut dicatat sebagai bukti nyata posisi Pancasila dewasa 
ini yang tengah berada pada titik nadir. Menurut Romo Benny Susetyo, Staf 
Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), 
ketidakhafalan sila-sila Pancasila menjadi fenomena lazim sejak tumbangnya
Orde Baru. “Masalahnya, hampir sesudah  Reformasi mata pelajaran Pancasila 
ditiadakan. Akibatnya, generasi pasca Reformasi tidak hafal lagi Pancasila,” 
tuturnya (Detiknews, 07 Maret 2020).
Akan tetapi, apabila lalu kita ikut-ikutan merundung pribadi finalis 
Puteri Indonesia 2020 utusan provinsi Sumatera Barat ini , saya pikir hal itu 
sangat tidaklah bijak. Justru, fenomena ini menjadi pelajaran bagi kita semua, 
terutama insan-insan di lingkungan lembaga pendidikan. Apakah kita sendiri 
juga hafal sila-sila dalam Pancasila? Apakah kita sendiri telah memahami dan 
melaksanakan butir-butir nilai ajaran yang terkandung dalam Pancasila, serta 
mengajarkannya pada peserta didik di lingkungan pendidikantempat kita mengabdikan diri? Apakah kita memahami perjalanan sejarah 
kelahiran Pancasila sebagai konsepsi kebangsaan Indonesia?
Akan menyita waktu yang panjang bagi masing-masing dari kita 
untuk menengok kembali diri kita lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan 
ini . Tetapi, waktu yang panjang juga bukan alasan untuk tidak 
melakukan refleksi dan berinstrokspeksi. Apalagi, jika kita sudi untuk 
menengok ke belakang; melihat kembali kebermaknaan nilai-nilai yang kita 
sebut sebagai Pancasila ini  di masa lalu.
Pancasila lahir dan hadir melalui sejarah yang panjang dan berliku 
untuk bangsa Indonesia sebagai falsafah kebangsaan. Pada batang tubuh 
Pancasila terkandung nilai-nilai yang menunjukkan kejatidirian kita sebagai 
bangsa yang memiliki keberagaman. Bangsa Indonesia tidak hanya memiliki 
keberagaman ras, warna kulit, jenis rambut, dan seterusnya, namun juga 
memiliki keberagaman agama, etnik –berikut sub etnik-, bahasa daerah, dan 
sebagainya yang melahirkan keberagama adat istiadat serta pola pikir dan 
perilaku masing-masing warga bangsa. Keberagaman ini  jelas menuntut 
sistem pengelolaan ekstra dalam mengurus eksistensi dan keberlanjutan 
negara-bangsa Indonesia. Apalagi tanpa adanya staminaspiritual yang luar 
biasa dan saling pengertian yang mendalam antar-warga  Indonesia 
(Ma’arif, 2015:20).
Saling pengertian inilah yang menjadi modal dasar lahir, berkembang, 
dan berjayanya sebuah bangsa. Sejarah dunia telah mencatat bahwa ada 
bangsa dan negara yang lahir namun lalu pecah menjadi rumpun 
bangsa dan negara yang lebih kecil sebab  punahnya rasa saling pengertian di 
antara warganya. Sejarah lahir dan terpecahnya beberapa negara di Eropa 
Timur di tahun 1990-an hingga 2000-an, seperti Cekoslowakia yang terpecah 
menjadi Ceko dan Slowakia, Yugoslavia yang terpecah menjadi Serbia, 
Montenegro, Chechnia, dan Moldovia, dan tentu saja pecahnya Uni Soviet 
menjadi Rusia, Armenia, Azerbaizan, Turkmenistan, dan beberapa lagi 
lainnya. Kesadaran untuk membangun konstruksi saling pengertian ini 
lalu  bermutasi menjadi persatuan dan kesatuan.
Persatuan dan kesatuan bangsa bukan sesuatu yang terberi sebagaimana 
karunia pemberian Tuhan. Persatuan dan kesatuan bangsa menuntutperjuangan 
dalam proses kelahiran maupun perkembangannya. Proses ini  di Indonesia 
diawali denganterbentuknya Kerajaan Sriwijaya pada abad VII dan Kerajaan 
Majapahit pada abad XIV. Pada era Majapahit ini pulalah untuk pertama kalinya 
dikenalkan konsepsi bernegara bernama “Pancasila”.
Meski Pada saat itu belum timbul rasa kebangsaan,yang ada adalah 
semangat bernegara, padakenyataannya terdiri dari beberapa kerajaan kecil. 
Rumusan falsafah negara belum jelas, konsepsi cara pandang belum ada, 
yang ada berupa slogan-slogan seperti yang ditulis oleh Mpu Tantular; 
Bhineka Tunggal Ika (Sekretariat Jendral MPR RI, 2012 : 151). Hal inilah 
yang lalu mengilhami para founding fathers Indonesia untuk menggali 
kembali, memakai  dan memelihara visi Nusantara,bersatu dalam 
Wawasan Nusantara dengan Pancasila sebagai ideologi negara dengan 
membangun penafsiran baru sebab  dinilai relevan dengankeperluan strategis 
bangunan Indonesia merdekayang terdiri dari beragam agama, kepercayaan, 
ideologi politik, etnis, bahasa, dan budaya.
Perkembangan Kerajaan Majapahit memwarisi cara pandang kesatuan 
teritorial nusantara (Wawasan Nusantara) dari masa Kerajaan Sriwijaya, dan 
Kerajaan Singasari. Terlebih ketika Singasari di bawah pemerintahan 
Kertanegara (mertua R. Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit). Kertanegara 
menganggap penting adanya nusantara yang bersatu guna membendung 
ekspansi Tiongkok (Kerajaan Tartar/Mongolia) ke wilayah Asia Tenggara 
(Mulyono, 2006:32).
Di masa pemerintahan Raja Prabhu Hayam Wuruk dan Patih 
Mangkubumi Gajah Mada telah berhasil mewujudkan mimpi leluhur raja-raja 
Majapahit. Beberapa hal yang dibangun Hayam Wuruk dan Gajah Mada 
untuk menciptakan Wawasan Nusantara (sebagai landasan Pancasila) kala itu 
masih bernuansa oligarkhi yaitu menempatkan kekuatan religio magis yang 
berpusat pada Sang Prabhu, ikatan sosial kekeluargaan terutama antara 
kerajaan-kerajaan daerah di Jawa dengan Sang Prabhu dalam lembaga Pahom 
Narandra.Jadi dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai religius sosial dan politik 
yang merupakan materi Pancasila sudah muncul sejak memasuki jaman 
sejarah (Suwarno, 1993: 23-24).
Negarakertagama dan Sutasoma merupakan dua buah karya monumental 
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Dalam kitab Negarakertagama karya 
Mpu Prapanca istilah ‘Pancasila’ disebutkan sebagai “berbatu sendi yang lima” 
(dalam bahasa Sansekerta), juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang 
lima” (Pancasila Krama), yaitu: (1)tidak boleh melakukan kekerasan; (2) tidak 
boleh mencuri; (3) tidak boleh berjiwa dengki;
(4) tidak boleh berbohong; dan (5) tidak boleh mabuk minuman 
keras(Darmodihardjo, 1978:6). Sedangkan dalam nukilan “Bhineka Tunggal
Ika” termaktub dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang meski konteks
penulisannya diperuntukkan bagi toleransi antar penganutSiwa dan Budha 
namun dapat diperluas maknanya menjadi keberterimaan pada keberagaman 
dan tidak menjadikannya sebagai pemicu perpecahan (Sekretariat Jendral
MPR RI, 2012:181).
Salah satu kebijakan Hayam Wuruk dalam pengelolaan warga  
yang multi-agama di Majapahit adalah mereka mengangkat pejabat-pejabat 
tinggi baik dari agama Siwa maupun dari agama Buddha bersama-sama. 
Pejabat tinggi yang menangani hukum dan kehidupan beragama ada 2 yaitu 
Dharmādhyaksa ring Kaśaiwan (agama Siwa) dan Dharmādhyaksa ring 
Kasogatan (agama Buddha). Di samping kedua pejabat tinggi ini , masih
ada 5-7 pejabat pelaksana di bidang hukum dan agama yang disebut Sang
Upapatti yang lalu berubah menjadi Sang Upapatti 
Saptadulur(Budianta, 2002:63). Lembaga ini beranggotakan pejabat lintas
agama dan mengatur mekanisme ritual ibadah masing-masing agama.
Di masa itu juga diatur tentang peta penyebaran agama. Daerah 
sebelah timur Majapahit untuk para bhiksu menyebarkan agamanya, 
sedangkan para bhiksu tidak boleh menyebarkan agama di sebelah barat, 
sebab  daerah itu diperuntukkan pendeta Siwa. Pengaturan ruang gerak itu 
disertai himbauan agar para pendeta baik Saiwa maupun Buddha tidak lupa 
mengutamakan kepentingan negara dan tidak asyik dengan kepentingan 
sendiri (Pigeaud I, 1960:12-13).
Pelembagaan sistem pengelolaan kegiatan keagamaan ini di masa 
Majalahit di atas tidak hanya bertumpu pada keamanan dan kenyamanan untuk 
melakukan ibadah sesuai dengan nilai Sila Pertama Pancasila; “Ketuhanan Yang 
Maha Esa”. Namun juga mempertimbangkan aspek keadilan sebagai manusia 
dengan sistem adab yang disepakati bersama sebagaimana nilai yang terkandung 
dalam Sila Kedua Pancasila; “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” serta Sila 
Kelima Pancasila; “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. 
Pelembagaan dengan anggota yang memiliki perbedaan latar belakang agama 
serta dalam mekanisme pengambilan keputusannya mengedepankan musyawarah 
untuk mufakat merupakan bentuk konkret perwujudan nilai pada Sila Keempat 
Pancasila; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam 
permusyawaratan/perwakilan”.Hebatnya, kesemuanya didasarkan pada 
ekspektasi untuk menjaga stabilitas kesatuan Majapahit agar tidak mengarah 
pada perpecahan berdasar sentimen agama. Sesuatu yang menjadi spirit 
mendasar dalam Sila Ketiga Pancasila; “Persatuan Indonesia”.
Perjalanan suatu bangsa tidak bisa lepas dari akar-akar 
kebudayaannya dari masa lalu, agar selamat dan sentosa dalam 
mengembangkan dinamika hidup pada masa sekarang dan masa mendatang. 
Sekilas perwujudan nilai-nilai Pancasila dalam perikehidupan warga , 
bangsa, dan negara di masa Majapahit menandaskan bahwa dari dahulukala 
bangsa kita adalah bangsa yang religius,mengedepan persatuan dan kesatuan, 
menjunjung tinggi toleransi, gemar bergotong-royong dan bermusyawarah 
demi kebaikan bersama.
Menjadi indah bukan jika Pancasila tidak semata berhenti pada hafalan, 
namun telah meresap dalam setiap tarikan nafas, detak jantung, pandangan mata, 
serta jejak langkah kehidupan –baik di lingkungan kita yang terkecil yaitu 
keluarga hingga lingkungan berwarga , berbangsa, dan bernegara-.



Pagi ini, udara sangat sejuk, kicau burung bersahutan, matahari 
bersinar agak redup, dan angin sepoi-sepoi semilir, membuat orang enggan 
bekerja dan berangkat sekolah. Yah, untung saja pagi ini adalah Hari 
Minggu. Sungguhpun demikian, orang-orang di lereng Pawitra tetap harus 
bekerja, sebab  mereka harus pergi kesawah dan ladang untuk segera 
memanen padi dan sayuran yang mereka tanam. Buah-buahan belum bisa 
dipanen, sebab  baru berbunga. Selain itu warga  disekitar Pawitra juga 
banyak yang menanam tanaman hias.
Jika liburan sekolah menjelang, gunung dan lereng Pawitra ini ramai 
sekali dikunjungi oleh pengunjung yang hendak menikmati keindahan 
panorama serta pemandangannya. Sungai yang berliku, gemericik air, sawah 
luas terbentang bagai permadani, hamparan bunga yang berwarna-warni, 
sangat elok untuk dinikmati oleh mata kita. Dari kejauhan, lembah tampak 
hijau bagai hamparan permadani. Begitu pula dengan udaranya yang segar, 
menambah nyamannya suasana. Ditambah lagi dengan aroma pohon pinus 
yang ada di kiri kanan jalan saat menuju daerah yang lebih atas lagi.
Bagi pecinta alam dan pendaki gunung, Gunung Pawitra adalah medan 
alam yang lengkap dan sempurna untuk pendaki pemula. Siapapun bisa 
mencapai puncaknya asalkan bernyali besar untuk tidak putus asa sampai ke
puncak, Meskipun tidak begitu tinggi, namun untuk mencapai puncaknya 
diperlukan waktu 5-6 jam untuk bisa menikmati betapa indah dan agungnya 
ciptaan Yang Kuasa. Dari atas gunung, pendaki bisa melihat hamparan laut 
jawa, sungai berantas yang memanjang seperti ular dari hulu ke hilir, hangat 
dan indahnya sinar matahari terbit dari timur, pada malam hari cahaya lampu 
kota-kota di bawah gunung, serta cahaya bulan dan bintang, dan yang pasti 
udara dingin yang menusuk tulang, jika perjalanan mendaki ditempuh pada 
malam hari. Semua lelah akan terbayarkan jika sudah sampai puncaknya. 
Dahsyat rasanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata hanya bisa dirasakan 
dan diresapi dalam jiwa atas karunia dan keagungan Tuhan. Satu-satunya 
kata yang bisa terucap adalah rasa syukur kepada Tuhan Maha Besar, sekali 
lagi terima kasih atas karuniaMu.
Gunung Pawitra adalah sebuah gunung yang tidak begitu tinggi hanya 
memiliki ketinggian 1.659 m. Gunung Pawitra ini gunung yang berkabut. 
Makanya dinamakan Pawitra, yang artinya kabut, sebab  puncaknya yang 
runcing selalu tertutup kabut. Gunung Pawitra ini dikelilingi oleh empat 
gunung di sekitarnya yang tidak lebih tinggi, yaitu Gunung Gajah Mungkur 
(1.084 m), Gunung Bekel (1.240 m), Gunung Sarahklopo (1.235 m), dan 
Gunung Kemuncup (1.238 m). Keadaan medan Gunung Pawitra tidak 
berbeda dengan gunung - gunung lain , datar, landai, miring, berbukit dan 
berjurang. Di kaki gunung, keadaan medannya landai sampai sejauh 2 km. 
Naik ke atas kemiringannya berkisar 30 - 40 derajat. Di bagian perut gunung 
agak curam, berkisar 40 -50 derajat sepanjang 1 km. Sampai di dada gunung, 
banyak jurang-jurang dengan kemiringan berkisar 50-60 derajat, tanahnya 
berbatu sepanjang 2 km dari dada, leher sampai puncak gunung. Medannya 
amat curam, berbatu, licin dan kemiringannya berkisar 60 -80 derajat 
sepanjang 1,5 km. sampai di puncak, batu - batu padas nampak di sana - sini. 
Di puncak ada  lembah, barangkali semacam kawah yang sudah tidak 
aktif lagi. Luasnya sekitar 4 ha.
Gunung Pawitra merupakan gunung api yang tidur atau jenis gunung 
bukan berapi. Letak gunung berapi tidur ini membelah Kabupaten Pasuruan 
dan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, berjarak kurang lebih 60 km dari 
Surabaya. Di dekatnya Gunung Pawitra ada juga Gunung Arjuno dan 
Gunung Welirang. Diantara gunung lainnya Gunung Pawitra tak setinggi 
gunung-gunung tetangganya. Setiap gunung ini juga mempunyai cerita dan 
misteri alamnya yang tersembunyi.
Tuhan begitu sayangnya dengan melimpahkan semua karunia ini pada 
manusia. Karunia ini harus disyukuri dan dijaga kelestariannya. Begitu pula 
dengan warga  di lereng Gunung Pawitra ini sangat mensyukuri nikmat 
Tuhan yang diciptakanNya bagi segenap warga lereng gunung. Segala 
kebaikan alam sudah Tuhan ciptakan pada Gunung Pawitra.
Gunung Pawitra adalah gunung yang sangat terkenal, baik pada masa 
lalu maupun pada masa sekarang. Gunung Pawitra mempunyai nama lain 
yaitu Gunung Penanggungan. Dalam mitologi Jawa, Penanggungan adalah 
gunung yang dianggap paling suci. Gunung ini dikenal memiliki nilai sejarah 
tinggi sebab  di sekujur lerengnya ditemui berbagai peninggalan purbakala, 
baik candi, pertapaan, maupun petirtaan dari periode Jawa Kuno di Jawa 
Timur. Di masa itu gunung ini dikenal sebagai Gunung Pawitra. Setidaknya 
ada  81 bangunan candi yang pernah berdiri di kawasan lereng Pawitra. 
Dari angka tahun yang ditemukan di beberapa bangunan candinya, diketahui 
bahwa bangunan-bangunan ini  didirikan antara abad X Masehi 
(Pemandian Jalatundo, 977 M) sampai dengan abad XVI Masehi.
Semua peninggalan bersejarah yang ada  di kawasan Pawitra 
ditemukan pada tahun 1920 an, saat terjadi kebakaran hutan yang hebat di lereng 
gunung ini . Dari kejadian itu pula, benda-benda dari masa kejayaan 
Majapahit ikut banyak ditemukan beserta situs arkeologi dan ribuan artefak 
lainnya yang tersebar di lembah dan lereng sisi barat dan utara Penanggungan 
bisa terungkap. Dari situs peninggalan dan berbagai buku kuno akhirnya bisa 
diceritakan tentang asal usul Gunung Pawitra sebagi berikut.
Dikisahkan pada zaman dahulu Pulau Jawa atau Jawa Dwipa (sebutan 
Pulau Jawa pada jaman dulu) masih selalu bergoyang-goyang, selalu 
berpindahpindah terombang-ambing terbawa arus ombak Samudra Hindia 
dan Laut Jawa. Pulau Jawa Dwipa tidak bisa tetap pada suatu tempat. Selalu 
berpindah kemana arus samudra membawanya.
Para Dewa di Kahyangan sangat resah akan hal ini. Bumi belum 
seimbang. Untuk membuat pulau Jawa tetap tinggal di tempatnya, Para dewa di 
kahyangan telah memutuskan bahwa Tanah Jawa itu cukup baik untuk 
perkembangan peradaban manusia selanjutnya, untuk itu harus dihentikan 
goncangannya. Keadaan Pulau Jawa saat itu membuat Batara Guru prihatin. 
Batara Guru adalah raja para dewa. Dia dengan dibantu para dewa bertugas 
menjaga seluruh dunia ciptaan Tuhan. Batara Guru mencari akal untuk membuat 
Pulau Jawa menjadi berat agar tidak selalu berpindah-pindah tempat. 
Kegundahan hati Batara Guru diketahui oleh Batara Narada. Batara Naradaadalah dewa tertua yang menjadi penasihat Batara Guru. Batara Narada 
segera menemui Batara Guru. Batara Guru berterus terang kepada Batara 
Narada. Batara Narada menganggukangguk sesudah  mengetahui persoalan 
yang membuat hati Batara Guru gundah.
Dewa Batara Guru sebagai raja para dewa memerintahkan kepada 
para dewa yang lain untuk memotong puncak gunung Mahameru di 
Jambhudwipa (India) dan memindahkannya ke Pulau Jawa sebagai bahan 
pemberat, agar Pulau Jawa tidak bergoyang-goyang di Lautan.
Para dewa di kahyangan memutuskan untuk memindahkan Gunung 
Mahameru yang menjadi pusat alam semesta dari Jambhudwipa (India) ke 
Pulau Jawadwipa. Mahameru lalu dipotong dan digotong bersama-sama oleh 
Dewa sambil terbang di angkasa.
Selama perjalanan, bagian-bagian lereng Gunung Mahameru 
berguguran dan berceceran, maka terciptalah rangkaian gunung-gunung dari 
Jawa bagian barat hingga Jawa Timur. Tubuh Mahameru yang berat jatuh 
berdebum menjadi Gunung Sumeru atau Semeru sekarang, gunung tertinggi 
di tanah Jawa.
Walaupun sudah diletakkannya puncak Mahameru menjadi Gunung 
Semeru, tapi Pulau Jawa masih tetap miring, akhirnya Para Dewa memotong 
lagi Puncak Semeru dan meletakkan potongan puncaknya pada suatu tempat. 
Potongan puncaknya itu menjadi Gunung Pawitra atau Penanggungan 
sekarang ini. Jadi Gunung Penanggungan adalah gunung yang menanggung
keseimbangan Pulau Jawa. Makanya diberi nama Gunung Penanggungan. 
Gunung ini juga selalu diselimuti kabut putih, makanya disebut juga 
Gunung Pawitra.
Para Dewa merasa lega, sebab  tugas berat untuk menyeimbangkan 
Pulau Jawa sudah terlaksana dengan baik. Sejak saat itu Pulau Jawa menjadi 
pulau yang banyak gunungnya. Dan tidak lagi terombang ambing di ombak 
laut dan samudra.
sesudah  semua selesai, Dewa Batara Guru ingin mengunjungi Pulau 
Jawa, segera lalu menuju ke Gunung Pawitra atau Penanggungan untuk 
bertapa dan bersemedi. Selama bertapa setiap hari Dewa Batara Guru mandi 
sebanyak enam kali dalam sehari semalam. Memang sumber air disini sangat 
segar dan jernih serta bersih. Akibatnya seluruh mata air atau tandon air yang 
ada  di Gunung Pawitra menjadi habis. sebab  kehabisan air, maka Dewa 
Betara Guru terpaksa pindah mandi ke gunung di dekatnya, yaitu yang 
bernama Gunung Kemukus.
Di Gunung Kemukus ini persediaan air masih banyak dan melimpah. 
Sewaktu akan mandi, airnya berbau belerang sehingga akhirnya gunung ini 
dikenal dengan nama Gunung Welirang. Gunung ini letaknya berdekatan 
dengan Gunung Pawitra.
Maka dari itu sangat dianjurkan kepada para pecinta alam dan 
pendaki gunung untuk membawa bekal air sewaktu mendaki Gunung Pawitra 
sebab  dikawasan ini sulit mencari air, sebab  persediaan air telah dihabiskan 
Batara Guru.
Gunung Pawitra yang dulu, oleh warga  sekarang lebih dikenal 
dengan nama Penanggungan. Pawitra yang berarti kabut sebab  tubuhnya 
selalu diselimuti kabut. Walau setinggi 1659 m di atas permukaan laut, 
gunung ini tak mudah dilalui. Cuacanya selalu berubah-ubah, berkabut dan 
gerimis, tak peduli musim.
Konon segala kebaikan dan cerita tentang Gunung Pawitra menjadi 
perhatian banyak orang tanpa terkecuali termasuk raja, resi, dan rakyat biasa. 
Mereka meyakini bahwa Gunung Pawitra adalah tanah suci, swargaloka dan 
tanah tempat bersemayam para dewa. Banyak orang yang menggantungkan 
hidup pada kesuburan dan keindahannya, juga flora dan fauna yang hidup 
didalam hutan Gunung Pawitra.
sebab  itu, raja-raja yang berkuasa di Tanah Jawa pada saat itu lebih 
memilih membangun tempat pemujaan kepada Tuhan di daerah Gunung 
Pawitra, agar negara dan bangsanya damai dan makmur. Bahkan raja-raja 
yang kalah perang juga mencari perlindungan ataupun melarikan diri ke 
Gunung Pawitra. sebab  tempat ini dianggap suci, maka tidak ada yang 
berani melakukan peperangan di tempat ini ataupun berbuat yang tercela di 
sini. Seperti tempattempat suci lainnya, di gunung ini semua terjaga dengan 
baik dan selaras dengan alam.
Gunung Pawitra merupakan pusat kegiatan kaum resi atau karsyan. 
Para resi adalah mereka yang mengundurkan diri dari dunia ramai, memilih 
hidup menyepi di keheningan alam pegunungan dan kehijauan hutan yang 
masih asri. Gunung Pawitra dijadikan pusat aktivitas keagamaan kaum resi, 
tentu berdasar pemikiran bahwa Pawitra tidak lain dari puncak Mahameru 
itu sendiri. Apabila para resi dan kaum pertapa itu bermukim di lerengnya, 
berarti lebih mendekati Rahmat Tuhan, lebih mudah berkomunikasi dengan 
dunia Swarloka.
Selain itu Gunung Pawitra juga dijadikan sebagi tempat untuk belajar 
banyak hal, seperti ilmu pengetahuan, ilmu kanuragan, ataupun kesenian. 
Gunung Pawitra memang berkah Tuhan untuk semua makhluk di bumi.
Mayarakat pada masa itu sebagaimana juga dengan warga  
lainnya memanfaatkan sumberdaya lingkungan sesuai dengan perkembangan 
peradaban, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya mereka 
sudah cukup tinggi terbukti mampu membangun candi-candi yang megah 
dengan peralatan yang masih sederhana. Hasil pengamatan terhadap segala 
bentuk, posisi, atribut, dan keadaan relief flora dan fauna di Relief fauna 
yang teridentifikasi menunjukkan hewan peliharaan seperti anjing yang 
berkalung, burung dan juga hewan ternak seperti angsa dan ayam.
Selain itu ada juga hewan yang dipakai  untuk transportasi atau 
dimanfaatkan tenaganya seperti kuda, gajah, keledai, sapi dan kerbau. 
lalu ada juga relief rusa yang kemungkinan sebagai hewan buruan dari 
hutan yang ada di sekitar lereng Pawitra. Selain itu ditemukan juga gambar 
singa yang tidak ditemui di Indonesia. sebab  tidak pernah melihat langsung, 
bentuk singa ini  jadi aneh dalam penggambarannya.
Resi sebagai orang yang pintar selalu memberi saran kepada raja. 
Salah satu pesannya kepada raja bahwa, candi, prasasti, tempat ibadah, 
pertapaan dan tempat peristirahatan di Pawitra tidak bisa dibangun 
disembarang tempat, harus didirikan di atas tanah yang subur.
Raja belum mengerti maksud perkataan Resi. Akhirnya Raja 
memanggil Resi ini .
“Resi, ceritakan padaku apa maksud wejangan singkatmu tadi,”
kata Raja.
“Tuanku Raja, kalau boleh hamba memberi saran, dalam membangun candi 
perhatikan unsur lingkungan, maksudnya candi selalu didirikan di atas tanah 
yang subur, dekat dengan sumber air atau sungai,” kata Resi.
“Mengapa?” kata Raja
“sebab  air mempunyai peranan yang sangat besar untuk upacaraupacara 
keagamaan, seperti membersihkan anggota tubuh sebelum berdoa dan 
membersihkan tempat ibadah” kata Resi.
“Untuk itu warga  harus selalu menjaga kelestarian air dengan tidak 
menebangi pohon-pohon yang besar dan berusaha  menanami lingkungan 
sekitar candi dengan pohon-pohon yang mampu mengikat air seperti pohon 
beringin, pohon bambu, dan tumbuhan besar lainnya” begitu pesan Resi 
selanjutnya.
Selain itu Resi juga punya permintaan berkaitan dengan itu, yaitu 
bahwa Raja harus mau membebaskan rakyat dari pungutan pajak atau sima 
bagi warga yang hidup di daerah sekitar tempat suci di Pawitra. Sebagai 
gantinya rakyat harus mau merawat lingkungan serta bangunan suci dan 
tempat pertapaan yang ada di Pawitra.
Oleh Raja semua permintaan Resi dikabulkan, dan pesan singkat itu 
diabadikan pada sebuah prasasti (batu bertulis). Tujuannya agar keturunan dan 
warga  yang mendiami Gunung Pawitra selalu menjaga tanah suci ini, agar 
tetap lestari dan bermanfaat. Hidup selaras berdampingan dengan alam.
Dengan dikabulkannya permintaan sang Resi, maka warga  yang 
hidup di dekat bangunan suci dan candi-candi di Gunung Pawitra dianjurkan 
untuk merawat candi sebagai syarat untuk dibebaskan dari pajak. Raja 
memungut pajak dari warga  desa yang lain dan pajak itu akan 
dipakai  untuk merawat bangunan suci. Namun warga  tetap 
diperbolehkan untuk bekerja sesuai dengan keahliannya. Selain merawat 
bangunan suci, sebagian besar warga  hidup dari bertani dan pertanian 
pada masa itu juga cukup berkembang.
Untuk melestarikan mata air di Gunung Pawitra, Resi dan Raja juga 
sudah memikirkannya. Air adalah hal yang penting dalam kehidupan maupun 
peribadatan. Untuk itu dibangunlah sebuah petirtaan. Adalah pemandian kuna 
(patirthan) Jalatunda yang ada  di lerengnya. Pemandian itu dibangun 
pada tahun 899 - 977 M dan masih mengalirkan air hingga sekarang. Airnya 
dianggap amerta (air keabadian) sebab  ke luar langsung dari tubuh 
Mahameru, gunung pusat alam yang di puncaknya ada  swarloka, 
persemayaman dewa - dewa. Sampai sekarang air petirtaan ini dianggap 
bermanfaat bagi kesehatan warga  setempat. Petirtaan lain yang tak kalah 
bermanfaatnya yaitu petirtaan Candi Belahan. Konon dikisahkan bahwa 
pembangunannya selain untuk bersucinya badan juga dimaksudkan sebagai 
bukti cinta raja pada permaisurinya. Selain petirtaan sebagai bukti cinta para 
raja kepada permaisurinya banyak sekali candicandi yang dibuat sebagia 
bukti cintanya, banyak relief candi juga ditemukan yang berkisahkan 
percintaan seperti kisah Ramayana.
Tahun berganti tahun, Gunung Pawitra sebagai tempat suci atau 
swargaloka tak lagi terdengar suaranya. Gunung Pawitra lebih banyak 
dimanfaatkan untuk kepentingan uang daripada fungsi awalnya sebagai 
penanggung, penyeimbang, pusat kebaikan. Zaman modern membuat 
warga  setempat melupakan pesan singkatnya Sang Resi.
Manusia mulai serakah dan tak peduli lagi akan lingkungan, hutan di 
Pawitra kini telah gundul oleh penebangan liar pencurian hasil hutan. Selain 
itu juga terjadi pengrusakan tanah oleh pabrik serta pengambilan tanah secara
besarbesaran untuk tanah urug (tanah penimbun), pembukaan lahan 
pertanian. Bahkan bangunan candipun tak luput dari pencurian dan 
penjarahan. Belum lagi ulah sebagian para pendaki gunung yang tidak 
bertanggung jawab yang membuang sampah sembarangan, membuat coretan 
pada candi ataupun secara tak sengaja merusak artefak, pepunden, candi dan 
bebatuan lain yang bernilai sejarah tinggi.
Banyak hutan yang sudah gundul sudah mulai dirasakan akibatnya 
oleh warga sekitar, beberapa sumber air sudah mulai kering dan kalau hujan 
menimbulkan kekhawatiran tanah longsor, udara Pawitra sekarang tidak lagi 
sesejuk dahulu. Bahkan beberapa flora dan fauna asli Pawitra sudah mulai 
musnah. Sehingga akibat keserakahan dan kesalahan ini beberapa tahun yang 
lalu, banjir bandang pernah menimpa daerah ini dan menewaskan banyak 
orang. Demikianlah keadaan Pawitra atau Penanggungan yang sekarang 
sangat memprihatinkan.
Hingga pada suatu hari ada seorang ketua adat setempat yang 
bermimpi, bahwa bencana tanah longsor dan banjir yang mengerikan 
melanda daerah sekitar lereng dan gunung akan terjadi lagi. Selain itu ketua 
adat juga bermimpi mendapatkan wejangan singkat dari Resi yang bernama 
Mpu Sindok, yang isinya mengingatkan kembali akan pentingnya menjaga 
kelestarian alam yang sudah dilakukan oleh warga  Pawitra sejak zaman 
dulu, seperti menanam pohonpohon yang mampu mengikat air, menjaga 
kelestarian candi dan memanfaatkan alam secara arif dan bijaksana. Tidak 
menebang pohon, menjaga sumber air dan bercocok tanam dengan benar.
Ketika terbangun Pak Ketua Adat merasa bersalah, sebagai pemimpin 
dia harus lebih peduli dan akan menggalakkan budaya kearifan dalam 
menjaga alam, agar alam tetap bersahabat dengan manusia, dan tidak 
menyian-yiakan anugerah Tuhan begitu saja.
Sejak dulu nenek moyang kita sudah mengajarkan secara benar 
mengenai alam, dan arti pentingnya bagi manusia. Kalau kita merwat alam 
dengan baik, maka alam akan bersahabat, sebaliknya kalau kita merusaknya 
bencana akan melanda dan menimpa kita.
Sejak kejadian itu, sang ketua adat mulai berkampanye tentang 
kelestarian alam Pawitra. Semua warga diajak untuk melestarikan Gunung 
Pawitra seperti yang sudah dilakukan oleh nenek moyang mereka sejak zaman
dulu. Selain reboisasi, warga juga berusaha untuk melindungi aset bangsa 
yang lain yaitu berupa candi-candi, arca-arca, yang banyak bertebaran di 
sekitar gunung. Semua wajib bertanggung jawab, tanpa kecuali. Sebutan 
tempat suci untuk Pawitra harus dilestarikan jika kita ingin melindungi 
generasi selanjutnya. Diciptakan Tuhan berkabut, mungkin agar manusia 
enggan dan tidak berani menjamahnya, agar tetap lestari sebagai tanah yang 
menanggung kehidupan

Dalam rangka pembangunan nasional, Pemerintah berusaha menggali 
dan mengembangkan berbagai potensi sumber daya yang ada di setiap daerah. 
Salah satunya dengan mengembangkan potensi pada sektor pariwisata. Untuk 
mencapai pembangunan ini  Pemerintah telah mengeluarkan berbagai 
kebijakan dalam bidang kepariwisataan. Pembangunan pariwisata perlu 
ditingkatkan untuk memperluas kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan 
devisa serta memperkenalkan alam kebudayaannya 
Pembangunan sektor pariwisata ini merupakan salah satu program 
andalan Pemerintah Indonesia yang memiliki prospek dan peranan penting 
dalam pembangunan. Hal ini sebab  Indonesia memiliki potensi keindahan 
alam, keanekaragaman seni budaya, adat istiadat serta peninggalan sejarah. 
Semua itu merupakan aset pariwisata yang potensial untuk dikembangkan. 
Suksesnya pengembangan kepariwisataan sangat ditentukan oleh adanya 
dukungan serta partisipasi aktif seluruh lapisan warga  terutama 
penduduk sekitar objek wisata. Kegiatan pariwisata tentunya tidak lepas dari 
potensi pariwisata yang ada di setiap daerah. Di Indonesia banyak sekali 
objek yang menarik yang biasa dijadikan sebagai objek wisata, objek-objek 
ini  antara lain objek wisata alam, wisata budaya (wisata religi), dan 
wisata bahari. Oleh sebab itu, setiap daerah berusaha mengembangkan dan 
saling bersaing dalam sektor pariwisata.
Perkembangan makam Troloyo sebagai objek wisata religi, tidak terlepas 
dari pengaruh perkembangan Islam di Jawa yang terjadi dengan pesat pada abad 
XV-XVI, namun sebelumnya telah didahului oleh pertumbuhan komunitas 
muslim secara sporadis di kota-kota pelabuhan Majapahit, khususnya bandar￾bandar sepanjang pantai utara Jawa Timur, Sungai Brantas, serta di sekitar 
Trowulan, dan Troloyo dijadikan sebagai pusat perkembangan Islam oleh 
Pemerintahan kerajaan Majapahit. Saat inilah terjadi perpindahan
agama dari Hindu-Budha ke Islam oleh sebagian besar penduduk di pusat￾pusat perdagangan ini  (Mustopo, 2001:2).
Tjandrasasmita (dalam Wahab, 2008:82-82) menjelaskan bahwa 
keberadaan nisan–nisan Islam di Troloyo menandakan bahwa Islam 
berkembang bukan hanya di bandar, tetapi juga masuk ke pusat kerajaan 
Majapahit pada saat kerajaan Majapahit tengan mencapai puncak 
kejayaannya pada abad ke-14, dengan toleransi kebijakannya, Majapahit 
menerima para pedagang muslim memasuki ibukotanya dan membolehkan 
mereka membentuk komunitasnya sendiri. Selain itu, ciri khas hiasan dan 
penulisannya yang bertahun Saka Hijriah (aksara Arab), mengisyaratkan 
pertemuan antara tradisi seni Jawa-Hindu masa Majapahit dan Islam. Dengan 
bukti ini, sangat mungkin sebagian besar orang muslim dalam komunitas di 
Troloyo dan Trowulan adalah orang Jawa yang telah diIslamkan.
Adanya latar belakang sejarah dari makam Troloyo telah 
membuktikan bahwa pentingnya peninggalan Islam di zaman Majapahit 
untuk dikembangkan menjadi sebuah wisata religi. Hal ini dimaksudkan agar 
warga  dapat mengetahui dan memahami keberadaan makam Troloyo di 
Trowulan yang merupakan salah satu peninggalan dari kerajaan Majapahit. 
Makam Troloyo telah menjadi bukti perkembangan Islam pada masa kerajaan 
Majapahit. Dibandingkan dengan objek-objek lain yang ada di Trowulan, 
seperti Museum Trowulan, Makam Putri Cempa, Mahaviara Majapahit, 
Kolam Segaran, Lantai Segi Enam dan lain-lainnya. Situs makam Troloyo 
mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu banyak situs makam Islam yang 
ada  di situ, merupakan peningalan Islam di zaman kerajaan Majapahit 
dan selalu ramai dikunjungi oleh warga  dan para peziarah, khususnya 
para peziarah dari daerah Trowulan dan pada umumnya peziarah dari daerah 
kabupaten Mojokerto dan daerah-daerah yang ada di Jawa Timur.
Dijadikannya makam Troloyo sebagai wisata budaya (wisata religi), 
diharapkan mampu untuk mengembangkannya secara berkelanjutan dan 
berusaha menggali potensi pariwisata yang ada di Kabupaten Mojokerto secara 
menyeluruh. Dengan adanya objek wisata ini  mampu untuk bersaing 
dengan daerah-daerah sekitar bahkan tingkat nasional dalam pencapaian 
pengembangan wisata budaya (wisata religi). Objek wisata ini diharapkan dapat 
memberi manfaat bagi warga  setempat terutama pada peningkatan 
ekonominya. Manfaat dari kegiatan ini dapat dinikmati oleh pihak pengelola 
wisata, Pemerintah setempat serta warga  yang berdagang dan menawarkan 
jasanya di sekitar objek wisata religi makam Troloyo.
Keanekaragaman tujuan dan perilaku para peziarah yang datang ke makam 
Troloyo telah membuat perpaduan karakter kebudayaan yang membantu 
eksistensi dan pengembangan makam Troloyo.
Gambaran Umum Kompleks Makam Troloyo
Makam Troloyo terletak di dukuh Sidodadi, Desa Sentonorejo, 
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Orang pertama yang menyebut 
tentang Troloyo dengan makam-makam lainnya adalah P.J. Veth dalam 
bukunya Java Jilid II tahun 1878. Ahli lainnya yang menaruh perhatian pada 
makam Troloyo adalah Verbuk, Knebel, N.J Kromndan lain-lain, sedangkan 
penelitian terakhir tentang Troloyo dilakukan oleh L.C.H. Damais yang 
menginterpretasikan serta mencoba mencari hubungan dengan kerajaan 
Majapahit ,
Penjabaran makam-makam yang ada  di kompleks makam 
Troloyo, baik yang ada di dalam maupun di luar kompleks makam Troloyo Pada kompleks makam Troloyo ada  beberapa 
kelompok makam diantaranya:
1. Makam Sayyid Syeikh Jumadil Kubro
Di tempat ini dimakamkan seorang tokoh penyebar agama Islam 
dari Samarkhand-Azarbaijan. Syeikh Jumadil Kubro yang dilahirkan 
sekitar tahun 1256 dalam tradisi tharekat Kubrawiyah di Asia Tengah, 
menjadikannya sebagai seorang sufi pengembara yang melakukan tradisi 
dakwahnya hingga ke Campa pada abad ke-13. Salah seorang putranya, 
Ibrahim Asmorakandhi, dinikahkan dengan putrid raja Campa, Dewi 
Candrawulan, yang kelak menurunkan sunan Ampel. Sejarah masuk dan 
berkembangnya Islam di Jawa tidak terlepas dari nama Syeikh Jumadil 
Kubro dan Syeikh Syubakir waliullah, penyebar agama Islam asal Persia, 
nenek moyang Raden Rachmad aatau lebih dikenal dengan Sunan Ampel 
Dento ,
Ketokohan beliau sangat spektakuler sebab  beliau adalah pioner 
penyebar agama Islam di wilayah kerajaan Majapahit dimana pada saat itu 
pengaruh agama Hindu sangat kuat disamping keyakinan warga  pada 
arwah leluhur dan benda-benda suci. Beliau pulalah yang mengusulkan 
kepada penguasa Islam di Turki (sultan Muhammad I) susaha  sultan 
mengundang ulama-ulama terkenal yang mempunyai berbagai ahli guna 
membahas metode dakwah menyebarkan agama Islam di kerajaan 
Majapahit. Bermula dari usul beliau ini akhirnya terbentuk kelompok
ulama yang berjumlah sembilan untuk menyebarkan agama Islam di 
kerajaan Majapahit. Kesembilan ulama ini yang disebut Wali Songo. 
Perjuangan Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan agama Islam 
melawan penguasa Majapahit sangat besar dan hayat beliau berakhir di 
medan pertempuran membela agama Islam. Keturunan beliau (cucu dan 
cicit) menjadi tokoh penyebar agama Islam di pulau Jawa sepeninggal 
beliau 
Di dalam kompleks makam Mbah Sayyid Jumadil Kubro ada  
pohon pule, yang kulitnya banyak dipakai  sebagai obat penyakit gatal 
Keberagaman para peziarah yang datang ke makam Syeikh 
Jumadil Kubro, memicu perbedaan dalam tata cara berdoa. Hal itu 
biasa terjadi di dalam makam Syeikh Jumadil Kubro. Berikut ini petikan 
catatan lapangan yang menggambarkan kondisi para peziarah ini  
ketika berada di dalam makam.
“Banyak para peziarah yang datang ke makam Syeikh Jumadil Kubro, 
dengan berbagai karakter cara menyampaikan caranya untuk bertawasul 
atau mencari keberkahan. Pelarangan untuk memakai pengeras suara 
merupakan salah satu usaha  untuk menjaga ketenangan di dalam makam. 
Perilaku peziarah tertib dan serius ketika membacakan do’a di dalam 
makam”.
Dengan demikian ada  sifat saling menghormati antara 
peziarah yang datang ke makam Syeikh Jumadil Kubro meskipun mereka 
berbeda dalam tata cara berdo’a.
Dari  ini  dapat dijelaskan bahwa pohon pule 
yang tampak kering itu merupakan keunikan tersendiri dari pohon ini. 
Seolah-olah pohon ini mati tetapi di bagian atas atap makam Syeikh 
Jumadil Kubro ada  rerimbunan dedaunan dan cabang batang pohon 
pule yang masih hidupDari (gambar 1.3) ini  dapat dijelaskan bahwa kondisi makam 
Syeikh Jumadil Kubro ramai dikunjungi oleh peziarah sebab  banyak para 
peziarah dan warga  setempat mempercayai bahwa makam Syeikh 
Jumadil Kubro mempunyai karomah tertinggi dibandingkan dengan makam￾makam lainnya yang berada di kompleks makam Troloyo.
2. Makam Tiga (Kubur Telu)
Ketiga makam ini berada di dalam cungkup makam Sayyid 
Jumadil Kubro. Ketiga makam ini adalah makam Syeikh Abdul Qodir 
Jaelani Assyni (Tan Kim Han), Syeikh Maulana Sekah dan Syeikh 
Maulana Ibrahim. Beliau adalah pengikut Sayyid Jumadil Kubro dari 
negeri Champa-Muangthai (Wahab, 2008:294), (lihat gambar 1.4).
Peziarah yang datang di makam tiga atau kubur telu merupakan 
salah satu usaha  dilakukan menyambung tawasul dan mencari 
keberkahan di dalam makam ini . Berikut ini petikan catatan 
lapangan yang menggambarkan kondisi para peziarah ini  ketika 
berada di dalam makam.
“Kedatangan peziarah di makam tiga ini sesudah  para peziarah datang ke 
makam Syeikh Jumadil Kubro, sebab  makam ini satu atap dan tempat 
yang sama, tetapi banyak juga yang langsung keluar sesudah  dari makam 
Syeikh Jumadil Kubro”.
Dengan adanya ini  dapat disimpulkan bahwa makam kubur 
telu atau makam kubur telu, kedudukan atau karomahnya lebih rendah 
dari pada makam Syeikh Jumadil Kubro”.
3. Makam Patas Angin
Tokoh yang dimakamkan di makam ini adalah seorang kusir raja 
Majapahit. Beliau dikenal sakti. Banyak peziarah yang mengunjungi 
makam ini 

4. Makam Endang Roro Kepyur
Endang Roro Kepyur adalah seniman tari pada zaman Majapahit. 
Konon, beliau pada waktu itu berparas cantik. Dan pada zaman kerajaan 
Majapahit, wilayah Troloyo adalah sebuah alun-alun kerajaan yang sering 
dipakai  sebagai tempat hiburan rakyat. Saat ini banyak peziarah dari 
kalangan seniman yang mengunjungi makam ini 
5. Makam Tumenggung Satim Singgomoyo
Beliau adalah pejabat kerajaan Majapahit yang sudah memeluk 


agama Islam pada saat itu. Peranan beliau dalam membantu Sayyid 
Jumadil Kubro sangat besar. Beliau sering diajak berdiskusi oleh Sayyid 
Jumadil Kubro untuk memecahkan kesulitan-kesulitan dalam berdakwah. 
Beliau juga menyarankan raja Majapahit saat itu (Prabu Kertabumi) 
untuk bergabung Wali Songo pada saat kerajaan Majapahit mendapatkan 
serangan dari kerajaan Kediri. Makam ini dikeramatkan dan banyak 
warga  sekitar mengadakan selamatan apabila mereka akan 
mengadakan hajatan. Dan makanan yang dipakai  untuk selamatan 
adalah ikan bandeng bukan ikan ayam.
Di dalam kompleks makam ini juga ada  dua makam lainnya 
yaitu makam Tumenggung Safari dan Raden Husen (Sayyid Chusen). 
Tumenggung Sofari adalah tokoh yang bertugas merawat jenazah pada 
jaman kerajaan Majapahit, sementara Raden Husen adalah adik Raden 
Patah yang memimpin pasukan Majapahit melawan pasukan Islam 
Demak. sesudah  sunan Kalijogo menemui Raden Husen dan menjelaskan 
bahwa pasukan muslim Majapahit sebenarnya diadu domba dengan 
pasukan Demak oleh Girindra Wardana sebab  Girindra tidak ingin 
muncul kerajaan Islam berkembang besar, Raden Chusen berbalik 
menyerang pasukan Majapahit beliau terkenal sebagai panglima yang 
sangat berani di medan laga. Akhir hayat beliau berakhir di medan perang 
antara kerajaan Islam Demak dan kerajaan Majapahit. Konon beliau 
meninggal sebab  terkena “tombak 1000” menancak pada badan beliau 
dan beliau tidak ingin tombak-tombak ini  dicabut, beliau ingin 
tombak-tombak ini  tetap menancap pada jasad beliau pada saat 
beliau dimakamkan 
Dari gambar   dapat dijelaskan bahwa ada  pohon 
mati yang ada  di makam ini, berdasar keterangan dari warga  
bahwa pohon ini telah ada dari dulu (berpuluh-puluh tahun) kondisinya 
tetap seperti ini. Pohon mati inilah yang menjadi keunikan tersendiri di 
makam Troloyo.
6. Petilasan Wali Songo
Tempat ini bukanlah suatu makam melainkan sebuah petilasan 
yang dipakai  Wali Songo sebagai tempat musyawarah untuk 
melakukan dakwah menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Dan tempat 
ini konon pernah dipakai  oleh Tumenggung Satim mengislamkan para 
muallaf Majapahit 
7. Makam Sunan Ngudung
Makam ini merupakan makam terpanjang di kompleks makam 
Troloyo. Menurut cerita, pada malam Jum’at legi tepatnya pukul 12 malam, 
banyak darah tercecer di makam Sunan Ngudung dan darah ini  akan 
hilang dengan sendirinya seiring lewatnya waktu malam. Sunan Ngudung 
adalah ayah dari Sunan Kudus, dan merupakan senopati Demak yang 
ditugaskan untuk memimpin perang melawan Majapahit, Banyak peziarah 
yang datang ke makam ini guna mencari keberkahan 
Makam sunan Ngudung juga ramai dikunjungi para peziarah, kerena 
makan ini dekat dengan masjid dan mempunyai kelebihan tersendiri dari 
pada makam-makam lainnya. Hal ini diceritakan oleh Mas Haimin, seorang 
penjaga kebersihan di makam sunan Ngudung, sebagai berikut.
“Banyak peziarah yang datang ke makam sunan Ngudung sebab  makam ini 
merupakan makam terpanjang di kompleks makam Troloyo, dan sebagian 
besar para peziarah yang datang kesini adalah untuk menyelesaikan 
permasalahannya dan dimudahkan dalam mencari jodoh”.
Berikut ini beberapa makam yang terletak di belakang tembok 
pembatas kompleks makam yaitu:
1. Makam Syeikh Rokhim
Syeikh Rokhim adalah seseorang tokoh pengikut Sayyid Jumadil 
Kubro. Awalnya beliau adalah pencuri yang sakti dengan mendapat 
julukan Maling Aguno. Pada zamannya beliau bertemu Sayyid Jumadil 
Kubro dank arena kagum atas kelebihan Mbah Sayyid Jumadil Kubro,
Syeikh Rokhim menjadi pengikutnya 
2. Makam Syeikh Zaelani
Makam ini terletak suatu lokasi dengan makam Syeikh Rokhim. 
Tokoh ini mempunyai kesamaan cerita dengan Syeikh Rokhim. Awalnya 
adalah seorang pencuri dengan sebutan Maling Langkir dan bisa masuk 
rumah melalui kunci. Namun akhirnya sadar dan menjadi pengikut Mbah 
Sayyid Jumadil Kubro 
3. Makam Syeikh Qohar
Lokasinya berdekatan dengan dua makam terdahulu. Tokoh ini 
mendapat julukan Maling Cluring dan bisa masuk rumah lewat cahaya 
lampu. Namun akhirnya menjadi pengikut Mbah Sayyid Jumadil Kubro 

Makam Syeikh Qohar ini merupakan makam yang berada di luar 
area kompleks makam Troloyo. Banyak peziarah yang datang kesini 
ketika malam jum’at legi. Hal ini diceritakan oleh bapak Syaiful Hadi, 
seorang tokoh agama di desa Sentonorejo, sebagai berikut.
“Makam Syeikh Qohar ramai dikunjungi oleh peziarah sesudah  kedatangan 
Gus Dur, kerena ketika beliau datang ke makam Troloyo makam yang di 
dahulukan ialah makam Syeikh Qohar, sehingga sampai saat ini banyak 
peziarah dan warga  desa Sentonorejo menyakini bahwa makam 
Syeikh Qohar mempunyai karomah yang tinggi”.
Kondisi Makam Syeikh Kohar pada tahun 2019 sudah mengalami 
perubahan yang menojol  dan didepannya sekarang dibangun Pondok 
Pesantren Segoro Agung yang dipimpin oleh Gus Bimo Agus Setiawan.
4. Makam Mbah Rembyong
Konon di lokasi ini ditanam tumbal oleh Syeikh Subakir sebelum 
Wali Songo periode pertama melakukan tugas menyebarkan agama Islam 
di tanah Jawa. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum kedatangan Wali 
Songo periode pertama, wilayah pulau Jawa terkenal angker disebabkan 
oleh pengaruh Animisme dan Dinamisme. Mbah Rembyong (Muniron) 
adalah seorang janda dari daerah Lamongan 
5. Makam kencono wungu dan anjasmoro
Makam Kencono Wungu adalah Ratu Majapahit yang arif dan 
bijaksana. Di makam ini juga dimakamkan Anjasmoro, putri Patih 
Logender. Beliau adalah istri lain Damarwulan 
6. Makam Tujuh (Kubur Pitu)
Disebut makam Tujuh sebab  disini dimakamkan tujuh orang yaitu:
(1) Noto Suryo; (2) Noto Kusumo; (3) Gajah Permodo; (4) Noyo 
Genggong; (5) Sabdo Palon; (6) Emban Kinasih; (7) Polo Putro. Ketujuh 
orang ini merupakan yang berada dilingkungan istana kerajaan Majapahit, 
ada yang menjabat sebagai Patih, Senopati, dan Abdi Dalem 
Pada bagian selatan di dalam kompleks makam Troloyo ada  
tempat peristirahatan sementara untuk para peziarah, biasanya tempat ini 
dipakai  untuk berteduh, aktivitas makan dan minum serta tempat untuk 
tukar pikiran atau mengobrol 

Keberadaan Masjid di kompleks makam Troloyo telah menjadi 
tempat untuk melaksanakan ibadah shalat. Masjid ini juga menjadi masjid 
desa Sentonorejo yangn biasa dipakai  untuk shalat Jum’at dan shalat 
hari raya. berdasar wawancara dengan bapak Mundir selaku petugas 
kebersihan dan penjaga kotak makam (pada tanggal 20 Maret 2011), 
menjelaskan bahwa:
“Masjid Troloyo ini seharusnya dilakukan usaha  pembenahan secara 
menojol  terutama pada atap masjid, sebab  pada saat hujan maka sering 
terjadi kebocoran. Pembenahan sudah mulai dilakukan secara bertahap 
mulai dari tempat wudhu”.

keberadaan tempat pelataran tempat MCK perlu diperbaiki lagi sebab  
pada saat hujan, genangan air masih ada dan memicu para peziarah 
menjuju ke tempat wudhu dan tempat MCK. Hal ini berdasar 
wawancara dengan bapak Mundir selaku petugas kebersihan dan penjaga 
kotak makam (pada tanggal 20 Maret 2011), menjelaskan bahwa:
“Perlu adanya jalan alternatif untuk memudahkan para peziarah ketika 
hendak menuju ke tempat wudhu dan tempat MCK”.
Ketinggian masjid dan makam juga perlu diperhatikan juga, sebab  
tempat ibadah yaitu masjid lebih tinggi dibandingkan makam. Hal ini 
berdasar wawancara dengan bapak Syaiful Hadi selaku tokoh agama di 
Desa Sentonorejo menjelaskan bahwa:
“Seharusnya ketinggian masjid dan makam lebih diperhatikan lagi, sebab  
berdasar kenyataan yang ada, ketinggian masjid di makam Troloyo lebih 
rendah dibandingkan dengan cungkup makam Syeikh Jumadil Kubro. Hal 
itu seharusnya yang terbalik, berdasar konsep Islam adalah bangunan 
Masjid seharusnya lebih tinggi dari pada cungkup makam. Takutnya nanti 
ada salah paham ketika seseorang memintanya kepada makam atau 
leluhurnya bukan kepada Allah SWT”.
Aktivitas peziarah di kompleks makam Troloyo merupakan 
kegiatan yang dilakukan untuk mengharap barokah dari makam yang ada 
disitu. Kedatangan pertama para peziarah biasanya langsung menuju ke 
makam Syeikh Jumadil Kubro, sebab  makam ini  banyak diyakini 
oleh warga  dan para peziarah mempunyai karomah tertinggi dan 
merupakan punjer walisongo. sesudah  dari makam Syeikh Jumadil Kubro,kebanyakan para peziarah datang ke makam Kubur Telu, Tumenggung 
Satim, Patas Angin, Endang Roro Kepyur dan Sunan Ngudung. Terkait 
makam yang berada di luar kompleks makam Troloyo, seperti makam 
Kencono Wungu, Syeikh Kohar, Kubur Pitu, Eyang Surgi, Dipo 
Rembyong dll. Biasanya dikujungi oleh peziarah yang mempunyai 
maksud dan tujuan tertentu. Peziarah ini  bermalam di makam atau 
penginapan beberapa hari sampai tujuannya selesai. Pada hakekatnya, 
kedatangan para peziarah ialah mencari barokah dari makam yang dituju, 
misalnya untuk mendapat pekerjaan, jodoh, penyelesaian masalah, 
peningkatan keimanan dan ketakwaan kita (mengingat mati) dan lain￾lainnya. Disitulah para peziarah melakukan tawasul atau berdoa dengan 
keyakinannya masing-masing. Dengan cara bertawasul di makam di 
harapkan dapat dijadikan sebagai lantaran doa untuk meminta harapan 
dan mengabulkan doa kita kepada Allah SWT.
Perkembangan Makam Troloyo sebagai Objek Wisata Religi di Desa 
Sentonorejo, Kecamatan Trowulan.
Perkembangan makam Troloyo yang terjadi sebagai wujud perubahan 
terhadap keyakinan bahwa makam Troloyo merupakan makam Islam pada 
masa kerajaan Majapahit. Denggan adanya persamaan keyakinan dan 
persepsi tentang makam Troloyo maka dilaksanakan pengembangan awal 
untuk melestarikan dan mengenalkan makam Troloyo sebagai objek wisata 
religi dan mempunyai tokoh yang dipercayai sebagai punjer walisongo adalah 
makam Syeikh Jumadil Kubro. Soekmono (1973:85) menjelaskan bahwa 
penghormatan ini lebih-lebih lagi ditujukan kepada seseorang yang
mempunyai kedudukan lebih daripada manusia.
berdasar informasi dari warga  dijelaskan bahwa kondisi awal 
makam Troloyo kurang menarik dan banyak alang-alang, cungkupnya sederhana, 
hutan, batu nisannya besar-besar, batu merah tumpuk ditata memakai lemah 
lempung kumuh, tempat pengembala hewan, lapangan olahraga serta ada 
fasilitas untuk ibadah. warga  sedikit yang mengetahuinya, kurang lebih 
hanya 200 orang yang mengetahuinya. Pada tahun 1958 tuan Calik, seorang 
konglomerat yang datang ke makam Troloyo dengan memakai kuda, beliau 
sering ke makam Troloyo dan berusaha melestarikan keberadaan makam 
Troloyo. KH. Ismail Ibrohim sering juga datang ke makam Troloyo, terutama di 
makam Syeikh Kumadil Kubro dengan santri-santrinya, hal itu dilakukan dengan 
sederhana. Nisan di makam Troloyo bagian depan bertuliskan arab yang berbunyi “kullun nafsin dha ikotul maut”
yang artinya bahwa siapa yang bernyawa pasti akan mati serta bagian 
belakang nisan ini  bertuliskan gambar surya Majapahit.
Pernyataan di atas sesuai dengan makna dari perkembangan 
merupakan perubahan yang melihat dari teori garis lurus, baik yang mengarah 
pada kemajuan maupun sebaliknya ke arah kemunduran. bahwa tidak ada perkembangan yang 
menganut garis lurus dalam sejarah sebab  pola perkembangan kebudayaan 
ditandai dengan pola perkembangan yang melingkar.
Perkembangan makam Troloyo merupakan bentuk dari perkembangan 
pariwisata, hal ini dipengaruhi adanya dorongan dan kemauan warga 
untuk menjadikan makam Troloyo sebagai objek wisata religi. Wisata religi 
merupakan suatu aktivitas untuk meningkatkan kebutuhan spiritual dengan 
melakukan kunjungan kemakam wali atau tempat-tempat keagamaan yang 
mempunyai peninggalan sejarah (budaya) yang memiliki nuansa historis dan 
religius ,
Banyak para peziarah yang datang ke kompleks makam Troloyo 
dengan berbagai latar belakang dan tujuan yang berbeda, hal inilah yang 
menjadikan keunikan tersendiri dalam tata cara berdo’a. Hal ini didasarkan 
atas pernyataan Subhani (dalam Sholihuddin, 2006:136) menjelaskan bahwa 
“tujuan orang-orang muslim yang berdoa disisi makam para wali adalah 
tabarrukan (mencari berkah) dari tempat yang dijadikan makam para kekasih
Allah. Sehingga apa yang menjadi permohonan seseorang peziarah akan lebih 
mudah untuk dikabulkan”.
Keberadaan makam-makam yang ada di makam Troloyo menjadikan 
daya tarik tersendiri oleh para peziarah yang data di kompleks makam Troloyo. 
Hal ini  terlihat dari kedatangan para peziarah yang datang ke makam￾makam yang ada  di kompleks makam Troloyo, kunjungan pertama dari para 
peziarah biasanya ke makam Syeikh Jumadil Kubro. Sebagian kecil para 
peziarah datang ke salah satu makam, itupun disesuaikan dengan kebutuhan dan 
pengharapan doa dari para peziarah agar cepat diijabahi atau dikabulkan.
Makam-makam yang ada  di kompleks makam Troloyo, terdiri dari 
dua bagian baik yang ada di dalam maupun di luar kompleks makam Troloyo. 
Berikut ini merupakan makam yang berada di dalam kompleks makam Troloyo 
adalah sebagai berikut: Pertama, makam Sayyid Syeikh Jumadil Kubro; Kedua, 
makam Tiga (Kubur Telu) yang ada di dalamnya ada  makam Syeikh Abdul 
Qodir Jaelani Assyni (Tan Kim Han), Syeikh Maulana Sekah
dan Syeikh Maulana Ibrahim; Ketiga, makam Patas Angin; Keempat, makam 
Endang Roro Kepyur; Kelima, makam Tumenggung Satim Singgomoyo; 
Keenam, Petilasan Wali Songo; Ketujuh, makam Sunan Ngudung.
Berikut ini beberapa makam yang terletak di belakang tembok 
pembatas kompleks makam yaitu: Pertama, makam Syeikh Rokhim; Kedua, 
makam Syeikh Zaelani; Ketiga, makam Syeikh Qohar; Keempat, makam 
Mbah Rembyong; Kelima, makam Kencono Wungu dan Anjasmoro; 
Keenam, makam Tujuh (Kubur Pitu) yang ada di dalamnya ada  makam 
makam Noto Suryo, Noto Kusumo, Gajah Permodo, Noyo Genggong, Sabdo 
Palon, Emban Kinasih dan Makam Polo Putro.
Makam Troloyo didanai oleh asset desa dan yayasan, pada awalnya 
terjadi perang mulut, antara warga  pro dan kontra terhadap 
perkembangan makam Troloyo ke depannya, khususnya kepercayaan dan 
keyakinan keberedaan makam Syeikh Jumadil Kubro, hal itu terjadi pada 
tahun 1995-1996. Pada tahun 1996 makam Troloyo mulai berkembang 
sesudah  ditaskihkan oleh Gus Dur dan Kyai Jamal, selanjutnya makam 
Troloyo milik purbakala (BP3 Jatim) dan para pejabat.
Dalam rangka perkembangan objek wisata religi makam Troloyo dari 
tahun 1995-2003, pengelolaannya di kelola oleh pemerintah desa, untuk 
pemeliharaan dan pembangunannya dari swadaya warga  dan simpatisan. 
Pada tahun 2002 mulai dibangun dan pada tahun 2003 selesai, pembangunan 
ini  dilakukan oleh pemerintah Desa dan warga  desa Sentonorejo.
Mulai tahun 2004 pemerintah desa ada kepercayaan di pemerintah 
kabupaten untuk mengembangkan objek wisata religi makam Troloyo dengan 
wujud MOU (Memorandum of Understanding) antara pemerintah daerah 
dengan pemerintah desa, pada bulan Maret 2004-2007 dilakukan MOU 
pertama, sementara dari tahun 2007-2009 dilakukan MOU kedua, sampai 
sekarang, pada tahun 2006 pemerintah daerah mulai membangun makam 
Troloyo dan pada tahun 1998 dikelola oleh Desa,
Inti dari MOU (Memorandum of Understanding) ini  antara lain: 
bekerjasama tentang pembangunan objek wisata religi, sumber dana dari 
pemerintah kabupaten. Tata ruang perencanaan objek wisata bekerjasama antara 
pemerintah desa dan pemerintah kabupaten. Pengelolaan merupakan tanggung 
jawab pemerintah kabupaten dibantu oleh pemerintah desa. Sumber pendapatan 
sebagai penyokong Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) daerah kabupaten dan 
sumber PAD pemerintah desa. Dalam MOU untuk mendukung ketertiban dan 
sarana prasarana objek menunjuk dinas instansi terkait.
Pengelolaan internal objek: Dinas Pariwisata, untuk ketertiban dan keamanan 
ialah satpol PP sementara untuk kelancaran parkir ialah Dinas Perhubungan. 
Dalam pelaksanaan dibantu oleh pemerintah Desa. fisik sarana dan prasarana 
mengalami peningkatan 100% dari kondisi sebelumnya. Pemugaran dan 
pembangunan cungkup, pagar, kios depan, kantor seketariatan dan warung 
belakang. Adapun MOU yang telah dibuat dan disepakati oleh pemerintah 
desa Sentonorejo dengan pemerintah daerah kabupaten Mojokerto terlampir 
dalam lampiran 6.
Kesepakatan antara kedua pihak (pemerintah desa dan pemerintah 
daerah) telah membawa perubahan yang menojol , terutama peningkatan 
sarana dan prasarana kompleks makam Troloyo. Dengan adanya 
perkembangan makam Troloyo telah memicu banyak peziarah yang 
datang ke makam Troloyo. Terutama peningkatan semakin meningkat sesudah  
adanya perkembangan makam Gus Dur pada tahun 2010. Banyak para 
peziarah yang datang ke makam Gus Dur lalu melanjutkan ke makam 
Troloyo atau sebaliknya serta kerjasama dilakukan oleh Dinas Kepariwisatan 
Mojokerto dengan Dinas Kepariwisataan Jombang dalam usaha  mengenalkan 
atau mempromosikan makam Gus Dur dan makam Troloyo sebagai objek 
wisata religi yang ada di Jawa Timur. Perlu diketahui juga bahwa yang 
datang ke makam Troloyo itu terdiri dari berbagai macam suku dan agama. 
Pada hakekatnya makam Troloyo merupakan tempat wisata yang ramai 
dikunjungi oleh orang serta objek wisata religi makam Troloyo mempunyai 
karomah makam auliya’.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Perkembangan Makam Troloyo 
terhadap Kehidupan warga  di Desa Sentonorejo, Kecamatan 
Trowulan.
Pengaruh kehidupan sosial dan ekonomi warga  yang terjadi 
sesudah  adanya perkembangan makam Troloyo ialah sangat besar dan 
menojol  terutama berdirinya warung atau toko, penitipan sepeda dll. Dari 
segi positifnya perekonomian warga  meningkat, banyak warga  
yang berjualan di sekitar makam Troloyo.
Hal ini diceritakan oleh bapak Abdul Ghofar, seorang penggagas yang 
mengembangkan makam Troloyo menjelaskan bahwa dampak yang 
ditimbulkan dengan adanya perkembangan makam Troloyo sangat begitu 
pesat, terutama peningkatan prekonomian warga  dan kehidupan sosial 
warga  desa Sentonorejo. Banyak terciptanya lapangan pekerjaan baru,sebab  sebagian besar warga  desa Sentonorejo yang bermata 
pencaharian bertani, pindah menjadi pedagang, ojek dan lain-lainnya”.
Peranan penjual jasa juga sangat penting bagi interaksi dengan peziarah 
secara langsung, seperti halnya para pemandu wisata (guide) yang ada di 
kompleks makam Troloyo telah membantu para peziarah yang datang dari luar 
daerah agar mampu mendapatkan informasi yang ada di kompleks makam 
Troloyo. Terutama adanya makam yang dianggap mempunyai karomah tertinggi. 
Pemandu wisata yang ada di makam Troloyo merupakan perangkat desa pada 
masa pemerintahan kepala desa bapak Abdul Ghofar. Tugas dari pemandu wisata 
ini  ialah memberikan informasi dan mengarahkan atau menunjukkan 
makam-makam yang ada di kompleks makam Troloyo.
bahwa hal terpenting dalam peningkatan 
ekonomi adalah talent atau bakat dan niat, seseorang dapat berhasil dalam 
segi ekonomi sebab  diawali niat yang kuat dan bakat yang memadai, selain 
itu manusia juga membutuhkan modal dalam berwirausaha sebab  tanpa 
modal teknologi tidak dapat tercapai dan yang terakhir adalah ketrampilan,
sebab  tanpa ketrampilan kita tidak bisa mengolah dari teknologi ini . 
bahwa dampak 
kegiatan pariwisata di bidang sosial meliputi perubahan sistem nilai, tingkah 
laku perorangan, hubungan keluarga, gaya hidup, moral, upacara tradisional 
dan organisasi warga . Timbulnya dampak ini  sebagai akibat 
adanya kontak antara warga  tuan rumah dengan wisatawan. 
Perkembangannya otomatis ekonomi meningkat, tetapi sosial keagamaan 
berkurang. Hal itu terjadi sebab  warga  terkadang sulit untuk 
meninggalkan kegiatan berdagang yang dilakukakannya. Perekonomian 
terangkat dan banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh warga .
Dengan meningkatnya dan membaiknya kualitas hidup tentu dapat 
membangun karakter bangsa bermodalkan kreativitas budaya untuk 
meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Perlu diperhatikan juga bahwa 
adanya pengaruh yang dibawa oleh para peziarah, misalnya cara berpakain para 
peziarah yang kurang sopan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam terkadang 
masih sering diadopsi dan ditiru oleh warga  desa Sentonorejo, terutama 
kalangan pemuda dan pemudi serta wanita yang selalu menginginkan modis dan 
mengikuti perkembangan zaman dalam berpakaian. 
menyebutkan bahwa dampak kegiatan pariwisata di bidang sosial
meliputi perubahan sistem nilai, tingkah laku perorangan, hubungan 
keluarga, gaya hidup, moral, upacara tradisional dan organisasi warga .
Dalam kehidupan sosial warga  telah banyak mengalami 
peningkatan yang terutama pada kegiatan keagamaan, sebab  dengan hal 
ini  akan memicu interaksi dalam warga , jika kebiasaan 
ini  dilakukan secara konsisten dan bersifat saling memberikan manfaat 
dalam kehidupan sehari. Tingkat pendidikan warga  semakin meningkat, 
sebab  ditunjang dengan pendidikan formal dan non formal yang ada di desa 
interaksi sosial adalah pengaruh timbal balik antara segi kehidupan bersama. 
Pengertian ini  menunjukkan pada hubungan-hubungan sosial yang 
dinamis. Proses sosial merupakan bentuk khusus dari interaksi sosial. Terjadi 
proses secara umum disebabkan oleh adanya kontak sosial dan juga 
komunikasi.
Kontribusi dari Berbagai Macam Kegiatan atau Ritual Keagamaan di 
Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan terhadap Pendidikan Karakter 
bagi warga  Desa Sentonorejo.
bahwa dalam 
pendidikan karakter ada  sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai￾nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap 
ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran atau 
amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka 
tolong-menolong dan gotong royong atau kerjasama; keenam, percaya diri 
dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan 
rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Dari pernyataan di atas, ada tiga pilar utama yang dapat diaplikasikan 
dalam penelitian ini, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap 
ciptaan-Nya; kedua, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong 
atau kerjasama, dan; ketiga, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Dari 
ketiga pilar ini  dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam 
pengaplikasian pendidikan karakter bagi warga  desa Sentonorejo.
bahwa 
situasi kewarga an dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi 
sikap dan cara pandang warga  secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan 
pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka usaha  ambisinya 
terbatas pada kini dan di sini pula. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul
gagasan dan ajaran tentang amar ma’ruf nahy munkar, dan tentang fardhu 
kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik 
dan mencegah nilai-nilai yang buruk.
Dalam kontribusi pendidikan, pemerintah desa memberikan bantuan 
perbulan kepada sekolah, pondok pesantren dan tempat ibadah (masjid dan 
mushola). Adanya tahlil akbar setiap 36 hari sekali, sesudah  jum’at legi dan sabtu 
pahing. Kajian rutin ini  dilakukan secara bergilir di 13 tempat ibadah. 
Pengaruhnya sangat pesat, adanya diniyah dan madrosah, serta diniyah atau 
TPQ, pondok pesantren Al Ridho dan SDN Sentonorejo. Semuanya merupakan 
barokah dari keberadaan makam Syeikh Jumadil Kubro, yang jelas secara tidak 
langsung ada peningkatan kesadaran warga  terbentuk ukhuwah islamiyah 
melalui lingkungan RT masing-masing. Dengan adanya sumber dana dari desa di 
tasarubkan untuk kegiatan selapan dino atau 35 hari se-Desa Sentonorejo dalam 
bentuk pengajian umum. Dengan adanya hal di atas maka pendidikan karakter 
mulai diterapkan melalui kegiatan atau kebiasaan yang telah mereka laksanakan, 
hal ini dimaksudkan agar pengaplikasian dan pelaksanaan pendidikan karakter 
dapat terwujud dengan baik. George Homan 
menjelaskan bahwa teori perilaku sosial ialah tingkah laku sosial dasar tingkah 
laku yang muncul dan muncul kembali entah seseorang merencanakan untuk 
melakukan hal ini  atau tidak. Homan yakin bahwa tingkah laku sosial dasar 
dapat dijelaskan dengan masalah-masalah dasar perubahan sosial
Kegiatan grebeg dan haul Syeikh Jumadil Kubro telah menjadi ritual 
keagamaan yang khusus dan dilakukan setiap setahun sekali. Banyak 
warga  yang menunggu moment ini, sebab  ritual ini banyak 
mengandung makna tersendiri di kalangan warga  setempat. Banyak 
makna yang terkandung pada ritual ini terutama penanaman nilai-nilai moral, 
kebersamaan, kesopanan, dan menjadikan warga  untuk selalu 
menghargai jasa seseorang (tokoh yang diagungkan), serta melaksanakan 
ritual keagamaan berdasar keyakinan masyaraka. Hal inilah yang perlu 
diambil hikmahnya dan nantinya diharapkan dapat menjadikan manusia yang 
religius dan berbudaya serta bisa menerapkan pendidikan karakter khususnya 
bagi warga  desa Sentonorejo. Dari pernyataan di atas perlu dianalisis 
dengan teori reinforcement dan tingkah laku yang menjelaskan bahwa 
peranan ganjaran sebagai penguat (reinforcement) perilaku. Suatu perilaku 
yang membawa pengaruh positif (menyenangkan) pada diri individu akan 
cenderung diulang pada waktu yang lain, akan tetapi akibat yang tidak
memuaskan (tidak memicu ) apa-apa pada hubungan stimulus respon. 
Menurut Thorndika (dalam Basrowi, 2005:198) menjelaskan bahwa semua 
proses belajar adalah pembentukan ikatan, atau hubungan, atau koneksi 
antara stimulus dan respon kuat, atau dengan kata lain telah terbentuk
perilaku tertentu maka perilaku ini  telah menjadi kebiasaan. Sebaliknya, 
bila hubungan lemah maka kebiasaan hilang.
Dengan adanya berbagai macam kegiatan atau ritual keagamaan yang 
dilakukan oleh warga  desa Sentonorejo telah memberikan pengaruh yang 
menojol  terhadap pendidikan karakter bagi warga  desa Sentonorejo. Hal 
ini  telah menumbuhkan nilai-nilai dalam berprilaku dengan berlandaskan 
syari’at Islam. Penerapan nilai-nilai ini merupakan cerminan dari moral dan 
perilaku warga  yang berlandaskan atas pendidikan karakter. 
Pengaplikasiannya dapat diterapkan melalui keluarga, warga  dan negara.
 
berdasar pemaparan data dan pembahasan diatas maka dapat 
diambil  sebagai berikut:
1. Perkembangan makam Troloyo mengalami perubahan yang sangat pesat. 
Kerjasama dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Mojokerto dengan 
pemerintah desa Sentonorejo dalam usaha  meningkatkan dan menjadikan 
makam Troloyo sebagai objek wisata religi di kawasan Jawa Timur.
a. Pada tahun 2002 mulai diadakannya pembangunan makam Troloyo di 
danai oleh pemerintah desa dan donatur dari warga  desa 
Sentonorejo yang timbul kesadaran pribadi dan kelompok atau 
golongan.
b. Pada tahun 2004 sarana dan prasarana makam Troloyo lebih 
ditingkatkan lagi sesudah  adanya MOU (Memorandum of
Understanding) pada tahun 2004 dan 2007. Hal ini dilakukan untuk
menjadikan makam Troloyo sebagai objek wisata religi di Kabupaten 
Mojokerto.
c. Pada tahun 2010 jumlah peziarah semakin meningkat, sebab  
keberadaan makam Gus Dur dan kerjasama antara Dinas 
Kepariwisatan Mojokerto dengan Dinas Kepariwisataan Jombang 
dalam usaha  mengenalkan atau mempromosikan makam Gus Dur dan 
makam Troloyo sebagai objek wisata religi yang ada di Jawa Timur.
d. Diadakannya Grebeg dan Haul Syeikh Jumadil Kubro yang 
diperingati tiap tahunnya oleh Disporabudpar Kabupaten Mojokerto.
e. Berdirinya Pondok Pesantren Yatim Piatu Segoro Agung sejak tahun 
2015 menambah ramai kompleks Makam Troloyo di bagian belakang 
atau sebelah Barat. sebab  pondok ini juga sering mengundang Cak 
Nun dan Kiai Kanjeng untuk memperingati milad pondok ini .
2. Kehidupan sosial dan ekonomi warga  mengalami peningkatan dan 
perubahan yang menojol . Hal itu terjadi sebab  warga  mampu 
untuk memanfaatkan dan memahami terhadap keberadaan makam 
Troloyo sebagai objek wisata religi.
a. Tingkat pendidikan formal maupun non formal mengalami kemajuan 
terutama adanya peningkatan sarana dan prasarana seiring 
perkembangan makam Troloyo.
b. Berbagai kegiatan keagamaan dilakukan dalam usaha  untuk menjaga 
silaturahmi antar warga  desa Sentonorejo dan berusaha untuk 
menciptakan dan mempertahankan kebudayaan Islam.
c. Peningkatan perekonomian memicu banyak warga  yang 
memperoleh lapangan pekerjaan baru atau berpindah profesi dari 
buruh tani menjadi pedagang, tukang ojek, penjaga parkir, jasa 
penginapan, pengemis dan lain-lainnya.
3. Adanya kegiatan atau ritual keagamaan yang dilakukan oleh warga  
desa Sentonorejo telah mencerminkan penerapan pendidikan karakter 
bagi warga , sehingga adanya usaha untuk menanamkan nilai-nilai 
keIslaman telah mengarahkan moral warga  desa Sentonorejo ke arah 
kebaikan dan kebersamaan dalam kehidupan warga .
a. Untuk kebiasaan-kebiasaan penduduk dalam upacara ritual yang rutin 
mereka lakukan seiring dengan adanya perkembangan objek wisata 
religi makam Troloyo tidak mengalami perubahan.
b. Pengaplikasian pendidikan karakter ini  dilaksanakan ketika 
warga  melakukan kegiatan Haul dan Grebeg Jumadil Kubro, 
pengajian umum, tahlil akbar dan kajian rutin.
c. Pendidikan karakter juga bisa diterapkan di lingkungan keluarga dan 
pendidikan formal atau non formal yang ada di desa Sentonorejo.