pengabdiannya untuk Dharma. Dan julukan Pita Segara, yang artinya ”Bapak
dari Lautan” karena beliau yang mengarungi lautan luas demi untuk Dharma.
Sebelum pengaruh Hindu masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia,
berdasarkan hasil penelitian yang diadakan oleh J. Brandes menyatakan
bahwa bangsa Indonesia telah mengenal sepuluh (10) macam unsur
kebudayaan asli. Kesepuluh jenis kebudayaan asli itu meliputi; sistem berlayar,
sistem perbintangan, sistem mata uang, sistem gerabah, seni membatik, seni
wayang, sistem berburu, pola menetap, sistem bertani, dan sistem relegi. Dari
sistem yang dikenal itu mereka meninggalkan berbagai macam peninggalan
kebudayaan seperti; yang berasal dari zaman megalith dan prunggu terdapat
peninggalan berupa; menhir, dolmen, sarkopagus, kuburan batu ”pandhusa”,
funden berundak-undak, arca perwujudan nenek moyang, dan berbagai jenis
nekara. Bangsa Indonesia telah mengenal dan menganut sistem kepercayaan
terhadap roh nenek moyang-nya. Pemujaan kepada roh nenek moyang
mempergunakan arca perwujudan. Arca perwujudan itu diletakkan pada
tempat ”tanah” yang lebih tinggi dalam bentuk punden berundak-undak.
Dengan teknis seperti itulah pemujaan kepada arwah leluhurnya.
Bersamaan dengan berkembangnya pengaruh Hindu keseluruh dunia termasuk
Indonesia, maka terjadilah akulturasi antara kebudayaan asli Indonesia
dengan kebudayaan India yang dijiwai oleh agama Hindu. Selanjutnya secara
berangsur-angsur peradaban Hindu mempengaruhi dan menjiwai peradaban
asli Indonesia sesuai dengan sifat-sifatnya. Untuk semuanya itu terkait tentang
bukti-bukti peninggalan sejarah Hindu, dapat diuraikan sebagai berikut;
1. Kutai.
Kutai terletak di Pulau Kalimantan bagian Timur.
Pada abad ke empat (4) Masehi berkembanglah
disana sebuah kerajaan yang bernama Kutai,
dipimpin oleh Aswawarman yang disebut-
sebut sebagai putra dari Kundungga. Di Kutai
diketemukan 7 buah Prasasti yang berbentuk
Yupa. Yupa adalah tiang batu/tugu peringatan
untuk melaksanakan upacara kurban. Yupa sebagai
prasasti bertuliskan huruf Pallawa, berbahasa
sanskerta dan tersusun dalam bentuk syair. Salah
satu diantara batu bertulis tersebut ada yang
menuliskan ”Sang Maha Raja Kundungga yang
amat mulia, mempunyai putra yang masyur, Sang
Açwawarman namanya, seperti Ançuman (Dewa Matahari), menumbuhkan
keluarga yang sangat mulia. Sang Açwawarman mempunyai tiga putra,
seperti api yang suci ketiganya. Yang terkemuka dari ketiganya itu
ialah Sang Mulawarman raja yang bijaksana, kuat, dan berkuasa. Sang
Mulawarman telah mengadakan yajna dengan mempersembahkan emas
yang banyak”. Pada bagian lain disebutkan pula bahwa ”Sang Mulawarman
raja mulia dan terkemuka, telah mempersembahkan yajna berupa dua puluh
ribu (20.000) ekor sapi kepada para brahmana bertempat di lapangan suci
waprakeswara. Waprakeswara adalah lapangan suci sebagai tempat untuk
memuja Çiwa.
R. Soekmono menyatakan bahwa, Kundungga adalah bukan kata sanskerta.
Kundungga adalah seorang kepala suku penduduk asli Indonesia yang
belum banyak kena pengaruh kebudayaan India. Purbatjaraka mengatakan,
bahwa Kundungga bukan sosok yang terkenal di India. Mungkin beliau
adalah orang Indonesia asli yang sudah menerima pengaruh kebudayaan
India. Sehingga nama-nama keturunannya disesuaikan dengan budaya India
selatan. Sebagaimana kita ketahui melalui penuturan sejarah bahwa budaya
orang-orang India selatan sering mempergunakan akhiran ”warman”
(pelindung) dalam memberikan nama-nama keturunannya. Sedangkan,
Krom menyatakan bahwa, Kundungga adalah tipe India Selatan, karena
disana diketemukan istilah tempat yang disebut Kundukura. Dari berbagai
pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di atas tentang asal
sebutan Kundungga, yang utama patut kita ketahui dan diingat adalah apa
saja peninggalan agama Hindu yang terdapat di Kutai pada masa lalu sampai
sekarang. Berdasarkan penemuan peninggalan sejarah berupa batu bertulis
(Yupa) dapat diketahui bahwa agama Hindu telah berkembang dengan
subur di Kutai. Hindu sebagai agama telah diterima oleh masyarakat Kutai
dan pada abad ke empat (4) Masei sudah berkembang dengan suburnya
di Kutai. Adapun pengaruh agama Hindu yang diterima oleh masyarakat
Kutai adalah Hindu ajaran çiwa.
2. Jawa Barat.
Jawa Barat merupakan bagian dari pulau Jawa. Pada zaman raja-raja di
nusantara ini, Jawa Barat merupakan salah satu daerah pusat berkembangnya
agama Hindu. Disekitar tahun 400-500 Masehi Jawa Barat diperintah oleh
seorang raja yang bernama ”Purnawarman” dengan kerajaannya bernama
Taruma Negara. Kerajaan Taruma Negara meninggalkan banyak prasasti,
diantaranya adalah prasasti; Ciaruteun, Kebon Kopi, Tugu, dan prasasti
Canggal. Prasasti-prasasti itu kebanyakan ditulis dengan mempergunakan
hurup Pallawa dan berbahasa sanskerta yang digubah dalam bentuk syair
(Soekmono, ”Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II” Kanisius,
1973).
Penemuan sebuah prasasti yang mengungkapkan tentang kehidupan
manusia memiliki nilai tersendiri dalam membicarakan perkembangan
agama Hindu di nusantara ini. Dalam prasasti Ciaruteun terdapat
lukisan dua telapak kaki Sang Purnawarman yang disamakan dengan
tapak kaki Dewa Wisnu. Ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa
raja Purnawarman penganut ajaran Hindu. Dewa Wisnu dalam konsep
Ketuhanan ajaran Hindu merupakan manifestasi dari Sang Hyang Widhi
sebagai Dewa kemakmuran. Gambar telapak kaki gajah dari Sang Raja
kita dapat temukan didalam prasasti Kebon Kopi, ini dapat dihubungkan
dengan telapak kaki gajah Airawata (gajah Indra). Prasasti Tugu yang
terdapat di Jakarta menuliskan bahwa, raja Purnawarman dalam tahun
pemerintahannya yang ke 22 telah berhasil menggali sebuah sungai yang
disebut sungai gomati. Sungai ini memiliki panjang 6122 busur ± 12 Km
dalam waktu 21 hari. Setelah selesai diakan upacara korban serta sedekah
berupa 1000 ekor lembu kepada para brahmana. Dalam prasasti Canggal
yang mempergunakan angka tahun candra sengkala ”Sruti Indra rasa”
berarti tahun 654 çaka (tahun 732 masehi) menyebutkan bahwa, Raja
Sanjaya mendirikan sebuah Lingga sebagai simbul memuja Sang Hyang
Widhi dalam manifestasinya sebagai Çiwa. Dalam prasasti ini juga memuat
kata-kata pujian kepada Dewa Brahma, Wisnu, dan Çiwa. Hal ini dapat
dihubungkan dengan konsepsi Tri Murti.
Seluruh penemuan tersebut dapat dipergunakan sebagai referensi bahwa
pada masa pemerintahan raja Purnawarman di Jawa barat agama Hindu
dapat berkembang dengan sangat baik dan beliau adalah penganut Hindu
idialis. Berikut ini adalah catatan peninggalan sejarah berupa Prasasti di
Indonesia, antara lain:
Prasasti adalah benda peninggalan sejarah yang berisi tulisan dari masa
lampau. Tulisan itu dicatat di atas batu, logam, tanah liat, dan tanduk
binatang. Prasasti peninggalan Hindu ditulis dengan huruf Pallawa dan
berbahasa Sanskerta. Prasasti tertua adalah Prasasti Yupa, dibuat sekitar
tahun 350-400 M. Prasasti Yupa berasal dari Kerajaan Kutai. Yupa adalah
tiang batu yang digunakan pada saat upacara korban. Hewan kurban
ditambatkan pada tiang ini. Prasasti Yupa terdiri dari tujuh batu bertulis. Isi
Prasasti Yupa adalah syair yang mengisahkan Raja Mulawarman.
3. Jawa Tengah.
Suburnya peradaban agama Hindu di Jawa Tengah dapat kita ketahui
dari diketemukannya prasasti Tukmas. Prasasti ini ditulis dengan huruf
Pallawa, berbahasa sanskerta dengan tipe tulisan berasal dari tahun 650
Masehi. Prasasti Tukmas memuat gambar-gambar atribut; Dewa Tri Murti,
seperti; Triçula lambang Dewa Çiwa, Kendi lambang Dewa Brahma, dan
Cakra lambang Dewa Wisnu. Prasasti ini juga menjelaskan tentang adanya
sumber mata air yang jernih dan bersih yang dapat disamakan dengan
sungai Gangga.
No. Nama Prasasti Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan
1 Yupa Kutai, Kaltim Abad ke-4 M Kutai
2 Ciaruteun Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
3 Tugu Cilincing, Jakut Abad ke-5 M Tarumanegara
4 Jambu Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
5 Kebon Kopi Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
6 Cidanghiang Pandeglang Abad ke-5 M Tarumanegara
7 Pasir Awi Leuwiliang, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
8 Muara Cianten Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
9 Canggal Magelang, Jateng Abad ke-7 M Mataram Lama
10 Kalasan Yogyakarta Tahun 732 M Mataram Lama
11 Dinoyo Malang, Jatim Tahun 760 M Mataram Lama
12 Kedu Temanggung, Jateng Tahun 778 M Mataram Lama
13 Sanur Bali Abad ke-9 M Bali
Sumber berita Tionghoa berasal dari masa pemerintahan raja-raja Tang
tahun 618-696 Masehi. Di Jawa Tengah dinyatakan berdiri Kerajaan Kaling
yang pada tahun 674 Masehi diperintah oleh raja perempuan bernama
”Raja Sima” yang memiliki sistem pemerintahan sangat jujur. Dikatakan
Raja Sima secara sengaja menaruh kantong berisi emas di tengah jalan,
dan tidak seorangpun berani menyentuhnya. Dalam kurun waktu ± 3 tahun
secara kebetulan kantong tersebut disentuh oleh kaki putranya. Hukuman
mati dijatuhkan kepada putranya itu, namun setelah abdinya mengajukan
permohonan hukuman potong kaki mengingat yang salah adalah kaki
putranya, hukuman potong kaki untuk putranya pun dilaksanakan.
Selanjutnya menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi
menyebutkan bahwa Raja Sanjaya mendirikan Lingga sebagai tempat
pemujaan Çiwa bertempat disebuah bukit Kunjarakunja. Di Gunung wukir
terdapat candi induk dengan 3 buah candi perwara, di dalam candi induk
terdapat Yoni sebagai alas Lingga. Raja Sanjaya adalah putra raja Sanaha
sebagai saudara perempuan dari Raja Sima. Sanjaya adalah penerus dari
kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Berdasarkan penuturan sejarah Jawa Tengah tersebut dapat ditarik suatu
pernyataan bahwa pada masa pemerintaha raja-raja disana telah tumbuh
peradaban agama Hindu dengan sangat baik. Para raja dan masyarakatnya
telah mendapat tuntunan ajaran agama dengan sangat baik sehingga
kehidupan pada umumnya mejadi damai dan masyarakatnyapun dapat
mencapai kemakmuran dan keadilan. Semuanya itu terjadi karena ajaran
Hindu dipahami, dipelajari, dan dipraktikan dengan sungguh-sungguh,
yang dapat dibuktikan dengan adanya beberapa peninggalan candi sebagai
sarana pemujaan Tuhan oleh umat sedharma. Berikut ini adalah daftar
peninggal candi Hindu di Indonesia.
No. Nama Candi Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan
1 Prambanan Yogyakarta Abad ke-7 M Mataram Lama
2 Dieng Dieng, Jawa Tengah Abad ke-7 M Mataram Lama
3 Badut Malang, Jawa Timur Tahun 760 M Kanjuruhan
4 Canggal Jawa Tengah Abad ke-8 M Mataram Lama
5 Gedong Sanga Jawa Tengah Abad ke-8 M Mataram Lama
6 Penataran Blitar, Jawa Timur Abad ke-11 M Kediri
7 Sawentar Blitar Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari
8 Candi Kidal Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari
9 Singasari Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari
10 Sukuh
Karang Anyar,
Jateng
Abad ke-13 M Majapahit
112 Kelas XII SMA/SMK
Candi Prambanan dibangun pada sekitar tahun
850 Masehi oleh salah seorang dari kedua orang
ini, yakni: Rakai Pikatan, raja kedua wangsa
Mataram I atau Balitung Maha Sambu, semasa
wangsa Sanjaya. Tidak lama setelah dibangun,
candi ini ditinggalkan dan mulai rusak. Candi
Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia
Tenggara, tinggi bangunan utamanya adalah
setinggi 47 m. Kompleks candi ini terdiri dari 8 kuil
atau candi utama yang kokoh dan lebih daripada
250 candi kecil. Tiga candi utama disebut Trisakti
dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti:
Batara Siwa sang Penghancur, Batara Wisnu sang
Pemelihara dan Batara Brahma sang Pencipta.
Candi Arjuna adalah sebuah kompleks candi
Hindu peninggalan dari abad ke-7 hingga abad ke-8
yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Dibangun
pada tahun 809M, Candi Arjuna merupakan
salah satu dari delapan kompleks candi yang ada
di Dieng. Ketujuh candi lainnya adalah Semar,
Gatotkaca, PuntaDeva, Srikandi, Sembadra, Bima
dan Dwarawati. Di kompleks candi ini terdapat 19
candi namun hanya 8 yang masih berdiri. Bangunan-
bangunan candi ini saat ini dalam kondisi yang
memprihatinkan. Batu-batu candi ada yang telah
rontok, sementara di beberapa bagian bangunan ini
terlihat retakan yang memanjang selebar 5 cm.
Candi Srikandi terletak di utara Candi Arjuna.
Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah
dasar berbentuk kubus. Di sisi timur terdapat
tangga dengan bilik penampil.
Candi Badut terletak di kawasan Tidar, kota
Malang. Dapat ditempuh dengan kendaraan
umum jurusan Tidar. Candi ini diperkirakan
berusia lebih dari 1400 tahun dan diyakini adalah
peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan
Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam
prasasti Dinoyo pada tahun 760 Masehi silam.
Kata Badut di sini berasal dari bahasa sanskerta
”Bha-dyut” yang berarti sorot Bintang Canopus
atau Sorot Agastya.
Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya pada saat itu hanya
berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang
memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang
kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun
kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari
Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan
pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali,
kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.
4. Jawa Timur.
Keberadaan kerajaan Kanjuruan dapat kita pergunakan sebagai salah
satu landasan untuk mengetahui peradaban agama Hindu di Jawa Timur.
Prasasti Dinoyo merupakan bukti peninggalan sejarah kerajaan Kanjuruan.
Prasasti ini banyak membicarakan tentang perkembangan agama Hindu di
Jawa Timur. Prasasti Dinoyo ditulis mempergunakan hurup kawi (Jawa
Kuno) dengan bahasa sanskerta menuliskan angka tahun 760 Masehi.
Dikisahkan bahwa dalam abad ke 8 kerajaan yang berpusat di Kanjuruan
bernama Dewa Simha. Beliau memiliki putra yang bernama Limwa,
setelah menggantikan ayahnya sebagai raja bernama Gajayana. Raja
Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk memuliakan Maha
Rsi Agastya. Arca Maha Rsi Agastya pada mulanya terbuat dari kayu
cendana, kemudian diganti dengan arca batu hitam.
Peresmian arca Maha Rsi Agastya dilaksanakan dalam tahun 760 Masehi.
Pelaksanaan upacaranya dipimpin oleh para pendeta ahli Weda. Pada
saat itu pula Raja Gajayana dikisahkan mengadiahkan tanah, lembu, dan
bangunan untuk para brahmana dan para tamu. Dinyatakan bahwa salah satu
bentuk bangunan itu yang berasal dari zaman kerajaan Kanjuruan adalah
”Candi Badut”. Di dalam candi inilah diketemukan sebuah lingga sebagai
perwujudan dari Dewa Çiwa. Di dalam prasasti Dinoyo juga dituliskan
tentang perjalanan Maha Rsi Agastya dari India menuju Indonesia untuk
menyebarkan dan mengajarkan agama Hindu.
Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Timur dapat kita ketahui
dari berdirinya Dinasti Isyanawangça yang berkuasa tahun 929-947
Masehi. Dinasti ini diperintah oleh Empu Sendok, yang mempergunakan
gelar ”Isyana Tunggawijaya”. Isyana Tunggawijaya berarti raja yang
memuliakan pemujaan kehadapan Dewa Çiwa. Setelah kekuasaan Isyana
Tunggawijaya berakhir, berkuasalah raja Airlangga yang memerintah
sampai tahun 1049 Masehi. Raja Airlangga dinobatkan sebagai pengganti
raja Dharmawangça yang memerintah sampai tahun 1019 Masehi. Beliau
bergelar ”Çri Maharaja Rake Halu Çri Lokeçwara Dharmawangça
Airlangga Anantawikramottungga Dewa” yang dinobatkan oleh Pendeta
Çiwa dan Budha. Raja Airlangga setelah mengundurkan diri dari tahtanya,
beliau wafat tahun 1049 Masehi dan dimakamkan di Candi Belahan.
Airlangga diwujudkan sebagai Dewa Wisnu dengan arca wisnu duduk di
atas garuda.
Banyak karya sastra bernafaskan ajaran agama Hindu diterbitkan pada
zaman Dharmawangça, diantaranya kitab Purwadigama yang bersumber
pada kitab Menawa Dharmasastra. Sedangkan kitab Negara Kertagama,
Arjuna Wiwaha, Sutasoma dan yang lainnya muncul pada zaman
Majapahit. Pada zaman ini juga dibangun berbagai macam candi seperti
candi Penataran di Blitar. Berdasarkan petunjuk peninggalan sejarah seperti
tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa peradaban agama Hindu di Jawa
Timur sangat pesat.
Wujud patung Hindu antara lain hewan dan manusia. Patung berupa hewan
dibuat karena hewan tersebut dianggap memiliki kesaktian. Patung berupa
manusia dibuat untuk mengabadikan tokoh tertentu dan untuk
menggambarkan Dewa Dewi. Contoh patung peninggalan kerajaan Hindu
yang terkenal adalah Patung Airlangga sedang menunggang garuda. Dalam
patung itu, Airlangga digambarkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Jenis
Patung peninggalan Hindu Indonesia adalah;
No. Nama Patung Lokasi Penemuan Pembuatan Peninggalan
1 Trimurti - - -
2 Dwarapala Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
3 Wisnu Cibuaya I Cibuaya, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
5. Bali.
Keberadaan agama Hindu di Bali
merupakan kelanjutan dari agama Hindu
yang berkembang di Jawa. Pertama
kalinya disebut-sebut dikembangkan
oleh Maha Rsi Markandheya bertempat
di Besakih yang sekarang dikenal dengan
nama ‘Pura Besakih’. Agama Hindu
yang datang ke Bali disertai oleh agama
Budha. Setelah di Bali kedua agama
tersebut berakulturasi dengan harmonis
dan damai. Kejadian ini sering disebut
dengan sinkritisme Çiwa – Budha. Disekitar zaman prasejarah sebelum
pengaruh Hindu berkembang di Bali masyarakatnya telah mengenal sistem
kepercayaan dan pemujaan.
a. Kepercayaan kepada gunung sebagai tempat suci. Gunung oleh
masyarakat Bali dipandang sebagai tempat bersemayamnya para roh
nenek-moyang yang telah disucikan.
b. Sistem penguburan yang mempergunakan sarkopagus (peti mayat).
Setiap orang yang meninggal dikubur dengan kepala menuju arah
gunung dan kakinya menuju arah laut. Hal ini memberikan inspirasi
kepada kita bahwa gunung dan laut melambangkan sebagai ulu dan
teben, kepala dan kaki, purusa dan peredana, serta utama mandala dan
nista mandala.
c. Kepercayaan adanya alam sekala dan niskala. Alam sekala merupakan
tempat hidup dan kehidupan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Sedangkan alam niskala diyakini sebagai tempat bersemayamnya Ida
Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh suci manusia setelah
meninggalkan jasadnya.
4
Wisnu Cibuaya
II
Cibuaya, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
5 Rajasari Jakarta Abad ke-5 M Tarumanegara
6 Airlangga Medang Kemulan Abad ke-10 M
Medang
Kemulan
7 Ken Dedes Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kediri
8 Kertanegara Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari
9 Kertarajasa Mojekerto, Jatim Abad ke-13 M Majapahit
d. Kepercayaan adanya penjelmaan (Punarbhawa). Masyarakat Bali
”Hindu” percaya bahwa roh seseorang yang meninggalkan badan
kasarnya setelah kurun waktu tertentu menjelma kembali ke dunia nyata
ini.
e. Kepercayaan bahwa roh nenek-moyang orang bersangkutan dapat setiap
saat memberikan perlindungan, petunjuk, sinar dan tuntunan rohani
kepada generasinya.
Demikianlah sistem kepercayaan masyarakat Bali sebelum pengaruh
ajaran Hindu datang ke Bali. Sistem kepercayaan masyarakat Bali nampak
memiliki pola sangat sederhana. Setelah datangnya Maha Rsi Markhandeya
di Bali pola kepercayaan yang sederhana itu kembali disempurnakan.
Keterangan tentang Maha Rsi Markhandeya menyebarkan pengaruh
Hindu di Bali dapat diketahui melalui kitab Markhandeya Purana. Kitab
tersebut menyatakan bahwa untuk pertama kalinya pengaruh Hindu di Bali
disebarkan oleh Maha Rsi Markhandeya. Beliau datang ke Bali diperkirakan
disekitar abad ke 4-5 Masehi melalui gunung Semeru (Jawa Timur) menuju
daerah gunung Agung (Tolangkir) dengan tujuan hendak membangun
asrama atau penataran. Kedatangan beliau untuk pertama kalinya diikuti
oleh 400 orang pengiring, namun dikisahkan kurang berhasil. Setelah
pulang ke Jawa, beliau kembali datang ke Bali dengan pengiring sebanyak
2000 orang. Kedatangan beliau yang ke dua ini berhasil menanam panca
datu di kaki gunung Agung (Besakih) sekarang.
Selanjutnya dikisahkan bahwa Maha Rsi Markhandeya berkehendak untuk
merabas hutan untuk dijadikan sawah guna meningkatkan kesejahteraan
para pengiringnya. Hutan yang dirabas itu bernama Desa Sarwada (Desa
Taro) sekarang. Di Desa Sarwada inilah beliau mendirikan tempat suci
yang sekarang bernama Pura Desa Taro. Pada tempat suci ini beliau
meninggalkan sebuah prasasti yang isinya mengisahkan kebesaran jiwa
Maha Rsi Markhandeya.
Selama menetap di Bali Maha Rsi Markhandeya secara berangsur-angsur
mulai meningkatkan kepercayaan masyarakat Bali.
f. Masyarakat Bali mulai diajarkan melakukan pemujaan kehadapan Sang
Hyang Widhi. Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Prama Kawi, Sang
Hyang Prama Wisesa dan yang lainnya adalah sebutan untuk Tuhan Yang
Maha Esa. Dengan mempersembahkan upakara api, air, bunga dan buah
beliau menyembah kehadapan Surya ”nyuryasewana” tiga kali sehari
memuja kebesaran Tuhan. Unsur-unsur upakara yang dipersembahkan
itu disebut alat-alat bebali. Selanjutnya beliau mengajarkan bahwa
segala sesuatu yang dikerjakan adalah untuk mewujudkan keselamatan,
hendaknya didahului dengan mempersembahkan bebali kehadapan
Sang Hyang Widhi. Ajaran yang demikian disebut agama bebali.
g. Pada saat itu pula mulai dikenal tentang daerah Bali. Bali diartikan
daerah yang segala sesuatunya mempergunakan sesajen atau sarana
bebali. Masyarakat Bali yang menjadi pengiringnya dan mendiami
daerah pegunungan disebut orang-orang Bali Aga.
h. Pura Besakih mulai dibangun dan difungsikan sebagai tempat memuja
Sang Hyang Widhi Waça guna memohonkan keselamatan umatnya.
Tempat suci lainnya yang dibangun oleh beliau adalah Pura Andakasa,
Lempuyang, Watukaru, Sukawana dan yang lainnya.
i. Warna merah dan putih mulai dipergunakan sebagai ider-ider atau
umbul-umbul di tempat-tempat suci. Kedua warna itu melambangkan
kesucian yang bersumber dari warna surya dan bulan.
j. Upacara bebali untuk keselamatan binatang dan peternakan ditetapkan
pada tumpek kandang atau hari sabtu-kliwon wuku uye. Sedangkan
untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan ditetapkan pada tumpek pengatag
atau hari sabtu-kliwon wuku wariga. Personifikasi Tuhan Yang Maha
Esa yang menganugrahkan keselamatan kepada binatang dan tumbuh-
tumbuhan disebut Sang Hyang Rareangon dan Sang Hyang Tumuwuh.
Upaya dan usaha pelestarian agama Hindu di Bali setelah Maha Rsi
Markhandeya dilanjutkan oleh Empu Sang Kulputih. Beliau disebut-sebut
sebagai pemongmong Pura Besakih. Banyak peran yang dilaksanakan dan
diambil oleh beliau dalam meningkatkan peran dan kwalitas agama Hindu.
k. Mengajarkan tentang bebali dalam bentuk seni yang mengandung
makna simbolis dan suci.
l. Mengajarkan orang-orang Bali Aga menjadi orang-orang suci untuk
Pura Kahyangan, seperti; Pemangku, Jro Gede, Jro Prawayah dan Jro
Kebayan. Untuk menjadikan diri orang bersangkutan suci diajarkan
pula tentang tata cara melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi.
m. Empu Sang Kulputih juga mengajarkan masyarakat untuk melaksanakan
hari-hari suci, seperti; Galungan, Kuningan, Sugian, Pagerwesi,
Tumpek, dan yang lainnya. Disamping itu juga mengajarkan tentang tata
cara membuat arca lingga dari kayu, logam atau uang kepeng sebagai
perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi Waça beserta manifestasinya.
118 Kelas XII SMA/SMK
Bertempat di Pura Puseh (Desa Bedulu Gianyar) ditemukan peninggalan
arca Çiwa. Menurut tipenya arca itu dinyatakan serupa dengan arca Çiwa
yang terdapat di Candi Dieng. AJ Bernet Kemper mengatakan arca
tersebut berasal dari abad ke 8 Masehi.
Prasasti Blanjong yang berangka tahun 913 Masehi menyebutkan bahwa
Raja Putri Mahendradatta yang bergelar Gunapriya Dharmapatni mangkat
di Buruan Kutri Gianyar. Beliau diwujudkan dalam bentuk Dhurga Mahisa
Asura Mardhani yaitu Bhatari Dhurga yang sedang membunuh para setan
yang ada di badan seekor kerbau. Prasasti tersebut kini tersimpan di Pura
Blanjong Sanur.
Pada masa pemerintahan Raja Marakatta Pangkaja Sthanottungga Dewa
tahun 944-948 çaka (1022-1026 Masehi) datanglah Empu Kuturan ke Bali.
Beliau berasal dari Jawa Timur, setibanya di Bali membangun asrama di
Padangbai (Pura Silayukti) sekarang. Oleh beliau masyarakat Bali diajarkan
tentang silakrama, filsafat tentang makrokosmos dan mikrokosmos, Sang
Hyang Widhi, Jiwatman, Karmaphala, Wali dan Wewalen. Beliau juga
mengajarkan tentang Kusuma Dewa, Widhi Sastra, Sangkara Yoga dan tata
cara membangun Kahyangan atau bangunan suci lainnya. Bangunan suci
yang ada sampai sekarang dibangun menurut ajaran beliau adalah;
a. Sanggah Kemulan, Taksu dan Tugu untuk setiap rumah tangga dalam
satu pekarangan.
b. Sanggah Pamrajan yang terdiri dari; Surya, Meru, Gedong, Kemulan,
Taksu, Pelinggih Pengayatan Sad Kahyangan, dan Paibon serta
yang lainnya, untuk penyungsungan lebih dari satu kepala keluarga/
pekarangan.
c. Pura Dadiya, Pemaksan, Panti dan yang lainnya, yang penyungsungnya
lebih dari satu paibon/pemerajan.
d. Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Baleagung, dan Dalem) sebagai tempat
memuja Tri Murti dibangun pada setiap Desa Pekraman/adat.
Selain pembangunan tempat-tempat suci tersebut di atas, beliau juga
mengajarkan tentang pembangunan Kahyangan Jagat, seperti; Pura
Besakih, Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Andakasa,
Pura Goalawah, Pura Pusering Tasik dan yang lainnya.
Pada masa Pemerintahan Raja Marakatta dilaksanakanlah penghormatan
kepada Maha Rsi Agastya, sebagaimana disebutkan dalam prasasti tersebut
yang berangka tahun 944 Çaka. Adapun kalimatnya berbunyi ”Rasa nikang
sapatha Bhatara Puntahyang Hyang Anggasti Maha Rsi purwa satya
daksina ….”. Lontar Dwijendra Tattwa menjelaskan bahwa ”kedatangan
Maha Rsi Agastya di Bali mengajarkan agama Úiwa”. Selanjutnya
dinyatakan bahwa beliau mengajarkan tentang ilmu gaib (Tantrisme atau
Tantra) kepada para raja dan kaum bangsawan. Ajaran inilah yang sering
disebut Aywawera.
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang berkedudukan di
Gelgel tahun 1470-1550 Masehi datanglah Dang Hyang Dwijendra di Bali.
Beliau juga disebut Dang Hyang Nirartha. Kedatangan beliau di Bali melalui
Blambangan-Banyuwangi, mengarungi segara rupek (selat Bali) dan
sampailah di Desa Pulaki. Dari sini beliau melanjutkan perjalanan menuju
Desa Gadingwangi, Desa Mundeh, Mengwi, Kapal, Tuban, Buangan dan
sampailah di Desa Mas. Dalem Waturenggong memerintahkan Ki Gusti
Penyarikan Dauh Baleagung untuk mendak Dhang Hyang Nirartha datang
ke Puri Gelgel menjadi Purohita Kerajaan.
Dang Hyang Nirartha banyak mengajarkan pengetahuan agama kepada
para raja dan masyarakat Bali.
a. Ilmu tentang pemerintahan.
b. Ilmu tentang peperangan (Dharmayuddha).
c. Pengetahuan tentang smaragama (cumbwana karma) ajaran tentang
pertemuan smara laki dan perempuan.
d. Ajaran tentang pelaksanakaan mamukur, maligia, dan mahasraddha.
Sejak kedatangan beliau (Dhang Hyang Nirartha) dari Jawa ke Bali
dan setelah lama menjadi Purohita di Puri Gelgel, seizin Raja Dalem
Waturenggong akhirnya Dang Hyang Nirartha berasrat untuk melanjutkan
mengadakan perjalanan suci mengelilingi Bali. Dari Puri Gelgel beliau
berjalan menuju Pura Rambut Siwi dan selanjutnya menuju Pura Uluwatu
– Bukit Gong – Bukit Payung – Sakenan – Air Jeruk – Tugu – Genta
Samprangan – Tengkulak – Goa Lawah – Pojok Batu – Pengajengan –
Masceti – Peti Tenget dan tempat suci lainnya serta akhirnya beliau
dinyatakan moksah di Pura Luhur Uluwatu (Dwijendra Tattwa, 1993: 35).
Berdasarkan data tersebut di atas sangatlah besar jasa Dhang Hyang
Nirartha di Bali. Beliau telah mengajarkan tata cara pemerintahan,
keagamaan, arsitektur, kesusastraan, pembimbing masyarakat, tata cara
pembangunan pelinggih Padmasana untuk pemujaan Sang Hyang Widhi
dan yang lainnya dalam rangka mempermulia keimanan umat manusia.
Prasasti Bendosari yang berangka tahun 1272 Çaka ada memuat kata-kata
”Bhairawa, Sora, dan Budha”. Prasasti ini diprediksi sudah ada pada masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Jawa. Hal ini memberikan indikasi
bahwa Raja Hayam Wuruk juga sebagai pemuja sakti, surya dan budha.
Sedangkan R. Goris dalam bukunya sekta-sekta di Bali, menyebutkan
bahwa agama Hindu berkembang di Bali dengan berbagai sekta. Disebutkan
ada sembilan sekte yang mendominasi, diantaranya; úekta Úiwa Úiddhanta-
Paúupata-Bhairawa-Wesnawa-Bodha/Sogata, Brahma-Rsi-Sora dan Ga-
nesa. Keberadaan berbagai úekta tersebut sampai sekarang masih hidup
dan berkembang serta luluh menyatu menjadi Úiwa-Úiddhanta.
Perkembangan agama Hindu boleh dikatakan tumbuh dan berkembang
dengan subur di Indonesia sejak abad permulaan sampai akhir abad ke 15.
Pada abad ke 14 masehi mengalami puncak keemasan pada masa kejayaan
pemerintahan Majapahit di Jawa. Sedangkan abad ke 15 masehi pada
masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali. Tiga setengah abad
berikutnya yakni pada masa pemerintahan penjajah abad ke 19 Masehi
keberadaannya mengalami kekurang beruntungan. Disekitar tahun 1927
Masehi oleh penjajah, pustaka Hukum Catur Agama dirubah menjadi
pasuara Residen Bali-Lombok. Kitab Hukum Dharma Sastra dijadikan
hukum Adat, Pengadilan Agama dijadikan Raad Van Kerta, dan Desa
Adat ”Pekraman” yang berfungsi sebagai lembaga agama masyarakat
disandingkan dengan Desa Dinas.
Tahun 1938 Masehi pemerintah Belanda merubah sistem pemerintahan di
Indonesia ”Bali” menjadi dua kelompok:
a. Kaula Swapraja yaitu pemerintahan kerajaan dengan menerapkan sistem
keadilan Raad Van Kerta.
b. Kaula Guperman yaitu pemerintahan penjajah dengan menerapkan
sistem keadilan lembaga landra sebagai lembaga keadilan masyarakat.
Kedua sistem ini sangat kurang menguntungkan terhadap tumbuh
kembangnya kehidupan beragama ”Hindu” di Indonesia. Sejak awal
abad ke 20 (17 Agustus 1945) Negara Kesatuan Republik Indonesia
diproklamasikan maka mulai kehidupan agama ditata berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Ini berarti bahwa kehidupan
beragama Hindu” di Indonesia telah memiliki kekuatan hukum yang pasti.
Seiring dengan itu maka;
a. Pada tanggal 3 Januari 1946 terbentuklah Departemen Agama, yang
bertugas menata kembali kehidupan beragama di Indonesia.
b. Tahun 1950 diberlakukan Undang-Undang Nomor 44 tahuin 1950
tentang Pemerintahan Otonom. Pemerintah Bali mulai mengadakan
pembinaan kepada umat Hindu, seperti tentang perayaan hari Nyepi,
pemeliharaan Pura Besakih dan yang lainnya.
c. Tanggal 21-23 Februari 1959 diselenggarakanlah Pesamuhan Agung
Bali bertempat di Gedung Fakultas Sastra Universitas Udayana yang
dihadiri oleh pejabat pemerintah yang terkait, pemuka agama dan
lembaga agama yang ada pada waktu itu. Yang akhirnya memutuskan
untuk membentuk lembaga tertinggi umat Hindu yang disebut Parisada
Hindu Dharma Bali.
d. Tanggal 4 Juli Yayasan Dwijendra Denpasar mendirikan Sekolah
Pendidikan Guru Agama Hindu Bali. Pada tahun 1968 sekolah ini
dijadikan Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu Negeri. Sejak itu
berdirilah sekolah yang sejenis sampai ke Mataram (Lombok) dan
Blitar (Jawa).
e. Tanggal 6 Juli 1960 Pemerintah Bali menetapkan hari raya; Nyepi,
Galungan, Kuningan, Saraswati dan Pagerwesi sebagai hari libur daerah
Bali.
f. Tanggal 17-23 November 1961 dilaksanakanlah Pesamuhan di
Campuhan Ubud, menghasilkan Keputusan yang dikenal dengan
sebutan Piagam Campuhan Ubud.
g. Tanggal 3 Oktober 1963 berdirilah Lembaga Tinggi Pendidikan Agama
Hindu yang disebut Maha Widya Bhuwana Institut Hindu Dharma,
sekarang UNHI.
h. Tanggal 7-10 Oktober 1964 dilaksanakanlah Mahasabha I dengan hasil;
memutuskan PHDI bersidang setiap 4 tahun sekali. PHD Bali menjadi
PHD Indonesia.
i. Tanggal 3-5 September 1992 di Denpasar telah dilaksanakan pertemuan
PHD se dunia yang disebut ”World Hindu Federation Meeting for Peace
Humanity.
Karya sastra peninggalan kerajaan Hindu berbentuk kakawin atau kitab.
Kitab-kitab peninggalan itu berisi catatan sejarah. Umumnya karya sastra
peninggalan sejarah Hindu ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa
Sanskerta pada daun lontar. Karya sastra yang terkenal antara lain Kitab
Baratayuda dan Kitab Arjunawiwaha. Kitab Baratayuda dikarang Empu
122 Kelas XII SMA/SMK
Sedah dan Empu Panuluh. Kitab Baratayuda berisi cerita keberhasilan
Raja Jayabaya dalam mempersatukan Kerajaan Kediri dan Kerajaan
Jenggala. Kitab Arjunawiwaha berisi pengalaman hidup dan keberhasilan
Raja Airlangga. Berikut ini daftar kitab-kitab peninggalan sejarah Hindu
di Indonesia.
Tradisi;
Tradisi adalah kebiasaan nenek moyang yang masih dijalankan oleh
masyarakat saat ini. Tradisi agama Hindu banyak ditemukan di daerah
Bali karena penduduk Bali sebagian besar beragama Hindu. Tradisi agama
Hindu yang berkembang di Bali, antara lain:
a. Upacara nelubulanin ketika bayi berumur 3 bulan.
b. Upacara potong gigi (mapandes).
c. Upacara pembakaran mayat yang disebut Ngaben. Dalam tradisi
Ngaben, jenazah dibakar beserta sejumlah benda berharga yang dimiliki
orang yang dibakar.
Ziarah, yaitu mengunjungi makam orang suci dan tempat suci leluhur
seperti candi.
6. Nusa Tenggara Barat.
Perkembangan agama Hindu di NTB (Lombok) dapat kita ketahui dari
perjalanan suci ”dharmayatra” Dhang Hyang Nirartha. Beliau dikenal
dengan sebutan Pangeran Sangupati. Banyak peninggalan tempat suci
dan sastra Hindu yang dapat kita pergunakan sebagai referensi bahwa
Hindu pada zaman itu telah berkembang sampai di Nusa Tenggara Barat.
Keberadaan agama Hindu di NTB juga tidak terlepas dari peran serta
kekuasaan raja-raja Karangasem pada masa itu.
7. Nusa Tenggara Timur.
Masyarakat Nusa Tenggara Timur ”Sumbawa” sampai saat ini masih
mengenal sebutan Tuan Semeru. Nama Tuan Semeru adalah sebutan dari
No. Nama Kitab LokasiPenemuan Pembuatan Peninggalan
1
Carita
Parahayangan
Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
2 Kresnayana Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
3 Arjunawiwaha Kahuripan, Jatim Abad ke-10 M
Medang
Kemulan
4 Lubdaka Kediri, Jatim Abad ke-11 M Kediri
5 Baratayuda Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kediri
Dhang Hyang Nirartha. Hal ini memberikan indikasi bahwa beliau pernah
menyebarkan ajaran Hindu ke daerah ini. Sekarang keberadaan agama
Hindu di daerah ini dikembangkan kembali oleh para transmigran asal Bali.
8. Sulawesi.
Perkembangan agama Hindu di Sulawesi diprediksi sudah ada sejak
abad ke 3 Masehi. Hal ini ditandai dengan penemuan patung Budha yang
terdapat di daerah Goa yang diperkirakan pembuatan sejaman dengan
patung-patung budha yang ada di India (R.Soekmono, 1973:82). Tidak
banyak yang bisa kita kemukakan dengan penemuan ini. Selanjutnya dapat
dinyatakan bahwa perkembangan agama Hindu tumbuh subur di wilayah
ini sebagai akibat dari adanya masyarakat transmigrasi yang berasal dari
Bali dan sekitarnya.
9. Irian Barat.
Tidak jauh berbeda dengan daerah Sulawesi, bahwa perkembangan
ke-Hindu-an yang ada di Irian Barat disebabkan oleh karena adanya
masyarakat transmigrasi. Disamping itu, juga karena adanya penduduk
yang mendapatkan tugas-tugas tertentu di daerah ini.
Demikian peradaban Hindu di Indonesia, yang menurut penuturan sejarah
Indonesia, di mulai dari Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatra, dan daerah yang
lainnya. Runtuhnya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, peradaban
agama Hindu di mulai kembali dari Bali yang telah menganut paham Hindu
sejak Maha Rsi Markhandeya datang di Bali sampai sekarang.
Uji Kompetensi:
1. Setelah anda membaca teks bukti-bukti monumental peninggalan
Prasejarah dan sejarah perkembangan Agama Hindu di Indonesia,
apakah yang anda ketahui tentang sejarah agama Hindu? Jelaskan
dan tuliskanlah!
2. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan bukti-bukti
monumental peninggalan Prasejarah dan sejarah perkembangan
Agama Hindu di Indonesia, dari berbagai sumber media pendidikan
dan sosial yang anda ketahui! Tuliskan dan laksanakanlah sesuai
dengan petunjuk dari bapak/ibu guru yang mengajar di kelasmu!
124 Kelas XII SMA/SMK
D. Pelestarian Peninggalan Budaya Agama Hindu di
Indonesia
Perenungan.
”Ya àtmadàbaladà yasya visva
upàsate praúiûaý yasya devàh,
yasyacchàyà’måtaý yasya måtyuh
kasmai devàya haviûà vidhema.
Terjemahan:
Ia yang menganugerahkan kekuatan jasmani dan kemuliaan rohani, yang
hukum-Nya dipatuhi oleh semua obyek yang bercahaya dan yang memberikan
penerangan kepada umat manusia, yang rahmat-Nya bersifat abadi, yang
mengatasi kematian, kepadanya, sumber kebahagiaan yang suci, kami
persembahkan doa kebaktian kami dengan ketulusan hati’ (Ågveda X. 121.2).
3. Apakah yang anda ketahui tentang bukti-bukti monumental
peninggalan Prasejarah dan sejarah perkembangan Agama Hindu
di Indonesia? Jelaskanlah!
4. Bagaimana cara kita untuk memanfaatkan keberadaan bukti-bukti
monumental peninggalan Prasejarah dan sejarah perkembangan
Agama Hindu di Indonesia? Jelaskan dan tuliskanlah pengalaman
anda!
5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari
memiliki pengetahuan tentang bukti-bukti monumental
peninggalan Prasejarah dan sejarah perkembangan Agama Hindu
di Indonesia? Tuliskanlah pengalaman anda!
6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan keberadaan
bukti-bukti monumental peninggalan Prasejarah dan sejarah
perkembangan Agama Hindu di Indonesia, buatlah catatan
seperlunya dan diskusikanlah dengan orang tuanya! Apakah yang
terjadi? Buatlah narasinya 1–3 halaman diketik dengan huruf
Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kwarto; 4-3-
3-4!
Kata ‘pelestarian’ berasal dari kata
‘lestari’ berarti tetap seperti keadaan
semula; tidak berubah; bertahan; kekal
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim :
2001). Melestarikan adalah menjadikan
(membiarkan) tetap tidak berubah;
membiarkan tetap seperti keadaan semula;
mempertahankan kelangsungannya.
Pelestari adalah orang yang menjaga
sesuatu (hewan, hutan, lingkungan,
warisan, budaya) dan sebagainya agar tetap
lestari. Pelestarian adalah proses, cara,
perbuatan melestarikan; perlindungan dari
kemusnahan atau kerusakan; pengawetan;
konservasi; sumber-sumber alam;
pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pembuatannya secara bijaksana
dan menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Pelestarian peninggalan budaya agama Hindu berarti proses, cara, perbuatan
melestarikan; perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan; pengawetan;
konservasi; peninggalan budaya agama Hindu; pengelolaan peninggalan
budaya agama Hindu yang menjamin pembuatannya secara bijaksana dan
menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Menjadi kewajiban
umat sedharma pada kususnya (Indonesia) dan umat sejagat raya ini pada
umumnya, untuk mewujudkan pelestarian peninggalan budaya agama Hindu
yang diwariskan oleh putra-putri anak bangsa ini dari masa lampau. Pemikiran,
pernyataan, sifat dan sikap anak-anak bangsa yang demikian adalah wujud
dari putra-putri yang berhati mulia. Kita semua patut bersyukhur kehadapan-
Nya, karena berkesempatan dianugerahkannya lahir sebagai anak-anak bangsa
menjadi pelestari dari budaya agama Hindu.
Kekuatan jasmani dan kemuliaan rohani sesungguhnya adalah anugrah
dari Tuhan Yang Maha Esa, persembahan doa kebaktian dengan
ketulusan hati merupakan wujud dari upaya pelestarian semua yang ada
ini. Bagaimana kita dapat melestarikan peninggalan budaya agama Hindu
di Indonesia? Diskusikanlah dengan kelompok-mu!
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kita ini memiliki banyak dan
beraneka corak, ragam dan sifat benda-benda peninggalan sejarah. Benda-
benda itu merupakan warisan masa lampau yang sangat berharga dari leluhur
anak bangsa ini. Benda-benda itu menjadi milik Negara, menjadi milik seluruh
rakyat Indonesia. Benda-benda peninggalan sejarah yang patut menjadi
kebanggaan bangsa Indonesia, seperti; Yupa, Prasasti, Karya sastra dan seni,
Candi (Prambanan, Borobudur, Penataran), Pura (Besakih), dan yang lainnya.
Sepertinya tak terbayangkan oleh kita, sejak abad ke 4 sampai dengan abad
ke 9 bangsa kita sudah mampu membuat bangunan semegah, indah dan
suci seperti itu. Tiada kata yang dapat kita ucapkan untuk menggantikan
kemegahan, keindahan, dan kesuciannya. Sudah sepatutnya kita bersikap
hormat dan menghargai benda-benda peninggalan sejarah dan budaya agama
kita. Apa saja bentuk upaya dan pelestarian sejarah budaya agama Hindu yang
sudah dan akan kita lakukan?
Permasalahan di atas menunjukkan bahwa masih terlalu banyak peninggalan
sejarah dan budaya Hindu yang belum kita upayakan pelestariannya. Benda-
benda purbakala tersebut tidak semestinya kita abaikan apalagi hanya untuk
diperjual-belikan guna mencari keuntungan pribadi. Sebagai anak bangsa
yang berbudaya sudah seharusnya kita melestarikan, merawat, menjaga,
mengunjungi, menghormati dan menyucikan peninggalan leluhur kita itu.
Benda-benda peninggalan sejarah patut dihargai. Bagaimana caranya?
1. Merawat dan menjaga pelestarian peninggalan agama Hindu di Indonesia.
Banyak benda peninggalan dan warisan sejarah budaya agama Hindu
di Indonesia yang sudah berusia ratusan atau bahkan ribuan tahun. Tak
heran benda-benda tersebut banyak pula yang sudah rapuh dan rusak. Bila
tidak dirawat dengan baik bisa rusak hancur dan menghilang. Merawat
benda-benda peninggalan dan warisan budaya agama Hindu di Indonesia
merupakan tugas kita semua. Tapi penanggung-jawab utamanya adalah
Negara (pemerintah yang sedang berkuasa). Cara menjaga dan merawat
antara lain sebagai berikut
a. Membangun museum-museum untuk penyimpanan benda-benda dan
warisan sejarah budaya agama Hindu di Indonesia.
b. Menjadikannya cagar budaya sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan,
benda-benda budaya bernafaskan ajaran agama Hindu.
c. Menjaga dan merawat wilayah atau daerah-daerah cagar budaya benda-
benda yang bernapaskan agama Hindu dengan sebaik mungkin. Di
daerah cagar budaya biasanya terdapat banyak benda-benda peninggalan
berbudaya agama Hindu.
d. Turut menjaga agar benda-benda peninggalan budaya agama Hindu
tidak dirusak atau dirusak oleh barisan orang yang tidak bertanggung-
jawab. Benda-benda peninggalan sejarah harus diamankan dari tangan-
tangan jahil.
2. Mengunjungi tempat-tempat pelestarian peninggalan warisan benda-benda
sejarah budaya agama Hindu di Indonesia.
Sudah atau belum pernahkah diantara kita mengunjungi tempat-tempat
pelestarian peninggalan warisan benda-benda sejarah dan budaya agama
Hindu di Indonesia? Kalau memang sudah, lanjutkanlah upaya dan usaha
mulia yang sudah dilaksanakan itu untuk diri pribadinya dan juga untuk
generasi selanjutnya. Bila sekiranya belum, cobalah melakukannya, tidak
ada cacatan sejarah yang menyalahkan-mu untuk mencoba berusaha dan
berupaya berbuat mulia dalam kesempatan hidup ini dimanapun kita sedang
mengabdi. Amatilah dengan baik, benda-benda apa saja yang terdapat di
sana. Sebab mengunjungi tempat-tempat pelestarian peninggalan warisan
benda-benda sejarah dan budaya agama Hindu termasuk salah satu cara
mewujudkan rasa bhakti, hormat, rasa memiliki, dan menghargai-nya.
Diatara kita bisa mengunjungi tempat pelestarian peninggalan warisan
benda-benda sejarah dan budaya agama Hindu setempat lainnya, seperti;
a. Candi;
b. Makam pahlawan/kuburan nenek-moyang;
c. Monumen, dan yang lainnya.
3. Bersembahyang di tempat-tempat suci ”Pura” sebagai tempat suci
peninggalan sejarah dan budaya agama Hindu dari nenek-moyang bangsa
Indonesia.
Tempat suci umat sedharma ‘Hindu’ disebut dengan nama ”Pura”. Kata
Pura dalam Kamus besar bahasa Indonesia berarti; kota; istana; negeri
(spt.Indrapura); tempat beribadat (bersembahyang) umat Hindu Dharma.
Sudahkah diantara kita umat sedharma memfungsikan ‘Pura’ sebagai
tempat bersembahyang setiap saat atau 3 (tiga) kali dalam sehari. Umat
Hindu memiliki banyak ”ribuan” tempat suci yang dapat dipergunakan
sebagai sarana untuk menghubungkan diri (jasmani dan rohani) kehadapat
Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, kapan dan dimana saja
sedang berada sesuai dengan tata-tertib bersembahyang. Terbiasa atau
belum biasakah diantara kita bersembahyang di tempat-tempat suci (Pura)
sebagai peninggalan warisan sejarah dan budaya agama Hindu Indonesia
untuk mengadakan kontak dengan-Nya? Bilamana memang sudah,
lanjutkanlah upaya dan usaha mulia nan suci itu yang sudah terlaksana
untuk pribadi pribadi, teman sejawat dan juga untuk generasi selanjutnya.
Bila sekiranya belum, mulailah untuk melakukannya! Tidak ada cacatan
prasasti yang melarang-mu untuk selalu memulai, berusaha dan berupaya
berhubungan dengan Sang Pecipta beserta dengan prabhawanya yang patut
kita muliakan dan sucikan dalam kesempatan hidup ini dimanapun kita
sedang berada. Amatilah dengan baik! tempat-tempat suci untuk memuja
siapa saja yang terdapat di sekitarnya. Sebab datang mengadap (tangkil) ke
tempat-tempat suci yang ada di lingkungan sekitar kita, yang tetap terjaga
sampai saat ini kelestarian dan kesuciannya, sebagai peninggalan warisan
sarana bersejarah dan berbudaya dalam agama Hindu adalah termasuk
salah satu cara untuk mewujudkan rasa bakti, hormat, rasa memiliki, dan
menyucikan-nya. Diataranya, kita wajib bersembahyang di tempat-tempat
suci, seperti;
a. Merajan/sanggah;
b. Pura Kawitan;
c. Pura Paibon;
d. Pura Dadiya/Panti;
e. Pura Kahyangan Tiga;
f. Pura Padarman;
g. Pura Dhang Kahyangan;
h. Pura Kahyangan Jagat; dan yang lain-lainnya.
4. Melarang atau tidak memberikan izin kepada orang-orang/individu/
kelompok yang hanya memiliki kepentingan sesaat atau tidak bertanggung-
jawab untuk mengelola tempat-tempat pelestarian sejarah dan budaya
peninggalan agama Hindu di Indonesia. Karena tidak tertutup kemungkinan
diantara mereka dapat menyalahgunakan pemanfaatannya, seperti
menghalalkan segala cara, menapikan sejarah dan budaya bangsanya.
Bila kondisi seperti ini dibiarkan terjadi secara berkesinambungan maka
degradasi moral tentu dapat terjadi, dan akhirnya bangsa ini tinggal
menunggu kehancuran.
Uji Kompetensi:
1. Setelah anda membaca teks tentang Pelestarian peninggalan
budaya agama Hindu di Indonesia, apakah yang sudah anda
ketahui? Jelaskan dan tuliskanlah!
E. Kontribusi Kebudayaan Hindu dalam Pem-
bangunan Nasional dan Pariwisata Indonesia
Menuju Era Globalisasi.
Perenungan.
”Agne nakûatram ajaram
à sùrya rohayo divi,
dadhaj jyotir janebhyaá
agne ketur viúam asi
preûþah srestah upasthasat
bhodhà stotre bayo dadhat.
2. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan upaya yang
berhubungan dengan Pelestarian peninggalan budaya agama
Hindu di Indonesia, dari berbagai sumber media pendidikan dan
sosial yang anda ketahui! Tuliskan dan laksanakanlah sesuai
dengan petunjuk dari bapak/ibu guru yang mengajar di kelas-mu!
3. Apakah yang anda ketahui tentang Pelestarian peninggalan budaya
agama Hindu di Indonesia? Jelaskanlah!
4. Bagaimana cara-mu untuk dapat mewujudkan usaha dan
upaya tentang Pelestarian peninggalan budaya agama Hindu di
Indonesia? Jelaskan dan tuliskanlah pengalamannya!
5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha
dan upaya-mu untuk melestarikan peninggalan budaya agama
Hindu di Indonesia? Tuliskanlah pengalaman anda!
6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan adanya usaha
Pelestarian peninggalan budaya agama Hindu di Indonesia,
buatlah catatan seperlunya dan diskusikanlah dengan orang
tuanya! Apakah yang terjadi? Buatlah narasinya 1–3 halaman
diketik dengan huruf Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm,
ukuran kertas kwarto; 4-3-3-4!
Terjemahan:
‘Ya Engkau yang bersinar, Engkau telah menciptakan matahari, bintang-
bintang, bergerak di langit, menyinari manusia; Engkau yang bercahaya,
menjadi pelita bagi manusia; sangat mulia dan tercintalah Engkau yang
mendampingi kami; berkatilah penyanyi, berilah dia kehidupan yang baik’
(Ågveda X. 156.45).
Bahasa (budaya) menunjukkan bangsa, demikian para budayawan
menyatakan. Brandes (Belanda) tahun 1884 M. menerangkan bahwa bangsa-
bangsa di seluruh kepulauan Indonesia mulai dari pulau Formosa di sebelah
utara, dan Madagaskar di sebelah barat, tanah Jawa, Bali dan seterusnya
disebelah selatan, sampai ke tepi Amerika pada zaman dahulu berbahasa
satu. H. Kern (Belanda) tahun 1889 M. mengadakan penyelidikan bahasa di
kepulauan Indonesia, menyatakan penduduk kepulauan Indonesia berbahasa
Tjempa (tanah Annam; sekarang). Sampai tahun 1500 SM bangsa Indonesia
masih berkumpul di Tjempa, karena desakan bangsa lain (orang Asia tengah),
lalu mereka berpindah ke Kamboja, ke Thai dan ke Malaka. Dari Malaka
berpindah ke Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa dan sebagainya. Sampai
pada permulaan Masehi bangsa-bangsa ‘Hindu’ tersebut sudah ada di Borneo
(Kutai) yang dari padanya baru diketahui ada ke’Hindu’an tahun 400 Masehi
(abad ke 4 M) di Borneo Timur (Kutai) dan Jakarta. Tulisan yang terdapat di
Kutai berbunyi berbunyi sebagai berikut;
”Çrimatah çri-narendrasya, Kundungasya mahàtmanah, putro’çvavarmo
vikhyàtah, vançakarttà yathànçumàn, tasya putra mahàtmànah, trayas traya
ivàgnayah, tesan trayànàm pravarah, tapo-bala-damànvitah, çri-Mùlavarman
ràjendro, yastvà buhusuvarnnakam, tasya yajnasya yùpo’yam, dvijendrais
samprakalpitah.
Terjemahan:
”Sang Maharaja Kundunga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur,
Sang Acwawarman namanya, yang seperti sang ancuman (Dewa matahari)
menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Acwawarman mempunyai
Semua yang ada di dunia ini diciptakan dan dijiwai oleh Tuhan Yang
Maha Esa, Hindu mengajarkan umatnya untuk selalu percaya dengan
keberadaan-Nya. Bagaimana Kontribusi kebudayaan Hindu dalam
pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia menuju era Globalisasi.
Cari dan atau buatlah artikel yang berhubungan dengan kebudayaan
Hindu. Diskusikanlah!
putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ke tiga putra
itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa.
Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan)
emas amat banyak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini
didirikan oleh para Brahmana” (Purbatjaraka, R.M.Ng. 1968).
Sebagai anak bangsa Indonesia sudah sepantasnya kita bersyukhur kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, karena telah dilahirkan,
dipelihara/dibesarkan menjadi insan-insan yang beragama dan berbudaya.
Berangkat dari pemikiran Dr. H. Kern, dapat disimak bahwa bangsa Indonesia
di lahirkan oleh nenek moyangnya yang religius, berbudaya sesuai dengan
zamannya. Hindu yang disebut-sebut sebagai agama tertua di dunia menurut
penuturan sejarah, memiliki benang merah dengan keberadaan nenek moyang
kita. Oleh karena panjangnya perjalanan yang dilalui maka sangat wajar
memiliki beraneka macam bentuk, sifat dan ciri khas peninggalan kebudayaan
yang dimilikinya termasuk karya sastra. Apa kontribusi budaya Hindu
Indonesia?
Berdasarkan fakta-fakta sejarah Indonesia dengan peninggalan benda-benda
budaya yang bernafaskan ke’Hindu’an dengan yang ada, dapat dinyatakan
agama Hindu memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan
pariwisata Indonesia menuju era global. Kontribusi yang dimaksud antara
lain;
1. Pariwisata alam; Indonesia dikenal
oleh dunia memiliki sumber daya alam
yang kaya dan indah bernafaskan ke-
Hinduan. Keindahan alam Indonesia
mejadi daya tarik tersendiri bagi
wisatawan dunia untuk berkunjung
ke Indonesia. Atas kunjungan itu
sudah menjadi kewajiban bangsa dan
negara kita menyiapkan pasilitas yang
memadai, seperti ; transportasi (jalan
dan angkutan) umum dan khusus,
gedung atau rumah-rumah penginapan
beserta fasilitasnya, makanan dan
minuman sesuai kebiasaannya, jasa
pelayanan (harus mengetahui dan pasih berbahasa asing), keamanan
dan kenyamanan para wisatawan dalam berwisata, administrasi yang
akurat/jelas (tidak berbelit-belit atau membingungkan) dan yang lainnya.
Bangsa Indonesia lebih dari wajar harus memelihara kelestarian alamnya
sebagaimana mestinya. Realisasi dari wisata alam ini dapat memberikan
pendapatan negara yang juga dapat meningkatkan kesejahtraan bangsa ini.
Ajaran Hindu yang bersifat kreatif mengantarkan bangsa ini bebas dari
kemiskinan material dan rohani.
2. Wisata budaya; Budaya anak bangsa
Indonesia melahirkan kebudayaan. Dari
berbagai macam suku bangsa yang ada
di Indonesia berbuah beraneka-macam
kebudayaanya yang dapat dinikmati
oleh para wisatawan yang berkunjung
ke Indonesia. Hindu sebagai agama
tertua di dunia termasuk Indonesia,
menjiwai kebudayaan anak bangsa
ini sehingga semuanya itu menjadi
hidup ”metaksu”. Kebudayaan yang
‘metaksu’ menjadi daya tarik tersendiri
bagi wisatawan (lokal dan asing) untuk
menikmatinya. Semuanya itu lagi-lagi
dapat menambah pendapatan negara dan daerah yang dikunjunginya.
Selanjutnya beberapa bentuk kebudayaan sumbangan agama Hindu yang
dapat disajikan dalam tulisan ini, seperti;
3. Candi:
Candi Jabung: Candi Hindu ini
terletak di Desa Jabung, Kecamatan
Paiton, Kabupaten Probolinggo,
Jawa Timur. Struktur bangunan
candi yang terbuat dari bata merah
ini mampu bertahan ratusan tahun.
Menurut kitab Nagarakertagama Candi
Jabung di sebutkan dengan istilah
Bajrajinaparamitapura.
Kitab Nagarakertagama juga
menyebutkan bahwa candi Jabung
pernah dikunjungi oleh Raja Hayam
Wuruk dalam lawatannya keliling Jawa
Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada
kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal
salah seorang keluarga raja. Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa
dengan candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara. Bagaimana
hubungan raja-raja Sumatra dengan raja-raja Jawa, lakukanlah penelusuran
selanjutnya!
Candi Tikus
Candi ini terletak di kompleks
Trowulan, sekitar 13 km di sebelah
Tenggara kota Mojokerto. Candi Tikus
yang semula telah terkubur dalam
tanah ditemukan kembali pada tahun
1914. Penggalian situs dilakukan
berdasarkan laporan bupati Mojokerto,
R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang
ditemukannya miniatur candi di sebuah
pekuburan rakyat.
Pemugaran secara menyeluruh
dilakukan pada tahun 1984 sampai
dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya
merupakan sebutan yang digunakan
masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut
berada merupakan sarang tikus.
Candi Dieng
Secara administratif dataran tinggi
Dieng (Dieng Plateau) berada di lokasi
wilayah Kabupaten Banjarnegara dan
Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa
Tengah. Dataran tinggi Dieng (Dieng
Plateau) berada pada ketinggian kurang
lebih 2088 m dari permukaan laut
dengan suhu rata-rata 13-17 C, Dataran
tinggi Dieng merupakan dataran yang
terbentuk oleh kawah gunung berapi
yang telah mati. Bentuk kawah jelas
terlihat dari dataran yang terletak di
tengah dengan dikelilingi oleh bukit-
bukit. Sebelum menjadi dataran, area
ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas-bekasnya berupa telaga.
Bekas-bekas kawah pada saat ini, kadang-kadang masih menampakan
aktivitas vulkanik, misalnya pada kawah Sikidang. Disamping itu juga
aktivitas vulkanik, yang berupa gas/uap panas bumi dan dialirkan melalui
pipa dengan diameter yang cukup besar, dan dipasang di permukaan
tanah untuk menuju ke lokasi tertentu yang berada cukup jauh dari lokasi
pemukiman penduduk dan dimanfaatkan untuk Pembangkit Tenaga Listrik
Panas Bumi. Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah
dan situs-situs peninggalan purbakala yang berupa candi, sehingga dataran
tinggi Dieng mempunyai potensi sebagai tempat rekreasi dan sekaligus
obyek peninggalan sejarah Hindu yang indah.
Dataran tinggi Dieng dipandang sebagai suatu tempat yang memiliki
kekuatan misterius, tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga
tempat ini dianggap suci. Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya
tempat arwah para leluhur. Terdapat beberapa komplek candi di daerah
ini, komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, dengan
peninggalan Arca Dewa Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya
bercirikan Agama Hindu. Candi-candi yang berada di dataran tinggi Dieng
diberi nama yang berhubungan dengan cerita atau tokoh-tokoh wayang
Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya candi Arjuna, candi Gatotkaca,
candi Dwarawati, candi Bima, candi Semar, candi Sembadra, candi
Srikandi dan candi Punta Dewa. Nama candi tersebut tidak ada kaitannya
dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi tersebut diberikan
setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi.
Tokoh siapa yang membangun candi tersebut belum bisa dipastikan,
dikarenakan informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak ada satupun
yang menyebutkan siapa tokoh yang membangun candi religius ini.
Tugas para ilmuwan muda untuk membuka tabir misteri yang ada pada
peninggalan budaya candi Dieng menuntaskannya. Sudah menjadi pakem
kita bahwa segala sesuatu yang ada pasti ada yang menciptakannya. Hal ini
patut ditelusuri kebenarannya, walaupun bagaimana ini adalah salah satu
aset pariwisata budaya yang patut digali eksistensinya untuk kesejahtraan
dan kebahagiaan anak bangsa ini. Lakukanlah ... !
Candi Cetho
Candi Cetho adalah sebuah candi bercorak agama Hindu, merupakan
peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan
ilmiah pertama tentang keberadaan candi Cetho dibuat oleh Van de Vlies
pada tahun 1842. Masehi A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian
yang berhubungan dengan keberadaan candi ini. Ekskavasi atau penggalian
untuk kepentingan rekonstruksi candi ini dilakukan pertama kali pada
tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda.
Berdasarkan keadaannya ketika
itu, pada reruntuhan candi Cetho
mulai diadakan penelitian, candi
ini memiliki usia yang tidak jauh
dengan Candi Sukuh. Lokasi
candi berada di Dusun Ceto, Desa
Gumeng, Kecamatan Jenawi,
Kabupaten Karanganyar. Candi
Cetho berada pada ketinggian
1400 m di atas permukaan laut.
Candi ini patut dikunjungi oleh
umat sedharma untuk mengetahui
keberadaannya.
Candi Sukuh
Merupakan sebuah kompleks
candi agama Hindu yang
terletak di wilayah Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah.
Candi ini dikategorikan
sebagai candi Hindu karena
ditemukannya obyek pujaan
lingga dan yoni. Candi Sukuh
ini tergolong kontroversial
karena bentuknya yang kurang
lazim dan karena banyaknya
obyek-obyek lingga dan yoni
yang melambangkan seksualitas.
Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs
Warisan Dunia sejak tahun 1995.
Candi Surawana
Merupakan candi Hindu yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare,
Kabupaten Kediri, sekitar 25 kilometer arah timur laut dari Kota Kediri.
Candi Surawana juga dikenal dengan nama candi Wishnubhawanapura.
0
Candi ini diperkirakan dibangun pada abad 14 Masehi, untuk memuliakan
Bhre Wengker, yang dikenal sebagai seorang raja dari Kerajaan Wengker
yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Raja Wengker ini mangkat
pada tahun 1388 M. Dalam
Negarakertagama diceritakan
bahwa pada tahun 1361 Raja
Hayam Wuruk dari Majapahit
pernah berkunjung bahkan
menginap di candi Surawana.
Candi Surawana saat ini
keadaannya sudah tidak utuh.
Hanya bagian dasar yang
telah direkonstruksi. Untuk
menghormati jasa para pendahulu
negara kita, candi ini sebaiknya
dilanjutkan rekonstruksinya
sehingga menjadi utuh dan tetap lestari keberadaannya dalam rangka
mewujudkan pariwisata berwawasan budaya.
Candi Gerbang Lawang
Dalam bahasa Jawa, Wringin
Lawang berarti ‘Pintu Beringin’.
Gapura agung ini terbuat dari
bahan bata merah dengan
luas dasar 13 x 11 meter dan
tinggi 15,5 meter. Diperkirakan
dibangun pada abad ke-14
Masehi.
Candi Gerbang ini lazim disebut
bergaya candi bentar atau tipe
gerbang terbelah. Gaya arsitektur
seperti ini diduga muncul pada
era Majapahit dan kini banyak
ditemukan dalam arsitektur Bali.
4. Karyasastra
Indonesia memiliki banyak Pujangga besar pada masa pemerintahan
raja-raja di nusantara ini. Para pujangga pada masa itu tergolong varna
Brahmana yang memiliki kedudukan sebagai purohita kerajaan. Banyak
karya sastra yang ditulis oleh pujangga kerajaan. Kekawin Ramayan ditulis
oleh Empu Yogiçwara. Dalam salah satu bait karya beliau menjelaskan
sebagai berikut;
”Bràhmana ksatryàn padulur,
jàtinya paras paropasarpana ya,
wiku tan panatha ya hilang,
tan pawiku ratu wiçîrna.
Terjemahan:
”Sang Brahmana dan sang Ksatria mestinya rukun, jelasnya mesti senasib
sepenanggungan tolong menolong, pendeta tanpa raja jelas akan kerusakan,
raja tanpa raja tentu akan sirna, (Ramayana Kekawin, I.49).
Dalam karya ini Empu Yogiswara ingin mengajarkan bagaimana
pentingnya hubungan harmonis dan timbal-balik antara para raja dengan
para brahmana. Karya sastra yang lainnya yang penuh dengan makna
tersebar di masyarakat dapat dijadikan penuntun hidup menghadapi dunia
pariwisata di era globalisasi ini, antara lain;
a. Carita Parahiyangan Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda kuna yang
dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda,
utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu
Keraton Galuh dan Keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari
naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta.
Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang
dalam tiap lembarnya diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan
dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda (Soeroto. 1970:1650.
Naskah Carita Parahiyangan menceritakan sejarah Sunda, dari awal
kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan
Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda akibat serangan Kesultanan Banten,
Cirebon dan Demak).
0
b. Kresnayana Bogor, Jabar Abad ke-5 M Tarumanegara
Kakawin Kresnâyana adalah sebuah karya sastra Jawa kuno karya Empu
Triguna, yang menceritakan pernikahan prabu Kresna dan penculikan
calonnya yaitu Rukmini. Singkat, ceritanya adalah sebagai berikut. Dewi
Rukmini, putri prabu Bismaka di negeri Kundina, sudah dijodohkan
dengan Suniti, raja negeri Cedi. Tetapi ibu Rukmini, Dewi Pretukirti
lebih suka jika putrinya menikah dengan Kresna. Maka karena hari
besar sudah hampir tiba, lalu Suniti dan Jarasanda, pamannya, sama-
sama datang di Kundina. Pretukirti dan Rukmini diam-diam memberi
tahu Kresna supaya datang secepatnya. Kemudian Rukmini dan Kresna
diam-diam melarikan diri.
Mereka dikejar oleh Suniti, Jarasanda dan Rukma, adik Rukmini, beserta
para bala tentara mereka. Kresna berhasil membunuh semuanya dan
hampir membunuh Rukma namun dicegah oleh Rukmini. Kemudian
mereka pergi ke Dwarawati dan melangsungkan pesta pernikahan.
Kakawin Kresnâyana ditulis oleh Empu Triguna pada saat prabu
Warsajaya memerintah di Kediri pada kurang lebih tahun 1104 Masehi
(Yamin, Muhammad. 1975 : 29).
c. Arjunawiwaha Kahuripan, Jatim Abad ke-10 M Medang Kamulan
Kakawin Arjunawiwha adalah kakawin pertama yang berasal dari
Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Empu Kanwa pada masa
pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari
tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini
diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung
Mahameru. Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari.
Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang
terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak
berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar
menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan
Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor
babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada
saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga
memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu
Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa
yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan
diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini (Poerbacaraka,
RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 15).
d. Lubdhaka Kediri, Jatim Abad ke-11 M Kediri
Kakawin ini ditulis dalam bahasa Jawa kuno oleh mpu Tanakung pada
paruh kedua Abad ke 15. Dalam kakawin ini diceritakan bagaimana
seseorang yang berdosa besar sekalipun dapat mencapai surga.
Dikisahkan bagaimana Lubdhaka seorang pemburu sedang berburu di
tengah hutan. Tetapi sudah lama ia mencari-cari buruan, tidak dapat.
Padahal hari mulai malam. Supaya tidak diterkam dan menjadi mangsa
binatang buas, ia lalu memanjat pohon dan berusaha supaya tidak jatuh
tertidur. Untuk itu ia lalu memetik daun-daun pohon dan dibuangnya
ke bawah. Di bawah ada sebuah kolam. Kebetulan di tengah kolam ada
sebuah lingga dan daun-daun berjatuhan di atas sekitar lingga tersebut.
Lalu malam menjadi hari lagi dan iapun turun dari pohon lagi.
Selang beberapa lama iapun melupakan peristiwa ini dan kemudian
meninggal dunia. Arwahnya lalu gentayangan di alam baka tidak tahu
mau ke mana. Maka Dewa Maut; Batara Yama melihatnya dan ingin
mengambilnya ke neraka. Tetapi pada saat yang sama Batara Siwa
melihatnya dan ingat bahwa pada suatu malam yang disebut ”Malam
Siwa” (Siwaratri) ia pernah dipuja dengan meletakkan dedaunan di
atas lingga, simbolnya di bumi. Lalu pasukan Yama berperang dengan
pasukan Siwa yang ingin mengambilnya ke surga. Siwapun menang dan
Lubdhaka dibawanya ke sorga (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan
Jawa: 32).
e. Baratayuda Kediri, Jatim Abad ke-12 M Kadiri.
Baratayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut
perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa
(Mahabharata). Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata,
yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.
Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha (Perang Bharata),
yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis
pada tahun 1157 Masehi oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh atas
perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Karya ini merupakan
gubahan dari Mahabarata. Isi dari kitab ini menjelaskan peperangan
dari darah bharata yaitu Pandawa dan Kurawa, yang berlangsung 18
hari. Boleh jadi kekawin baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu
sebagai simbolis keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dengan
Jenggala yang sama-sama keturunan Raja Erlangga. Keadaan perang
0
saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab
Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang
sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis (Poerbacaraka, RM. Ng.
Kepustakaan Jawa: 22).
f. Negarakertagama, Majapahit abad ke 14 Masehi.
Merupakan karya kesusasteraan kuno seiring perkembangan waktu
sebagai buwah karya pujangga zaman Majapahit . Sedangkan dari
isinya merupakan uraian sejarah. Isi dari Kekawin Negarakertagama
merupakan uraian sejarah dari Kerajaan Singasari dan Majapahit dan
ternyata sesuai dengan prasasti-prasasti yang ditemukan. Di dalamnya
terdapat pula uraian tentang kota Majapahit, jajahan-jajahan Majapahit,
perjalanan Raja Hayam Wuruk di sebagian Jawa Timur yang dijalin
dengan daftar candi-candi yang ada, upacara craddha yang dilakukan
untuk roh Gayatri dan tentang pemerintahan serta keagamaan dalam
zaman Hayam Wuruk. Negarakertagama merupakan karya Empu
Prapanca tahun 1365 Masehi (Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan
Jawa: 37)
g. Sutasoma
Kakawin Sutasoma menggunakan bahasa Jawa kuno sehingga
dimasukkan dalam kesusasteraan zaman Majapahit I. Kitab Sutasoma
menceritakan tentang seorang anak raja bernama Sutasoma. Sutasoma,
seorang anak raja yang menjadi pendeta Budha. Sutasoma rela
meninggalkan kehidupan duniawi karena taat kepada agama Buddha.
Ia bersedia berkorban untuk kebahagiaan makhluk hidup. Bahkan
diceritakan ia rela dimakan raksasa agar raksasa tersebut kenyang.
Dalam kitab ini tergambar adanya kerukunan umat beragama
di Majapahit antara umat Hindu dengan umat Budhha. Kalimat
Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa tertulis didalamnya
(Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 38).
h. Pararaton
Pararaton termasuk kesusasteraan zaman Majapahit II. Kitab ini
menggunakan bahasa Jawa Tengah dan berbentuk tembang atau kidung
namun ada pula yang berupa gancaran. Kitab Pararaton merupakan
uraian sejarah, namun kurang dapat dipercaya karena isinya sebagian
besar lebih bersifat mitos atau dongeng. Selain itu, angka-angka tahun
yang ada tidak cocok dengan sumber sejarah yang lain. Dari kitab ini
mula-mula diuraikan tentang riwayat Ken Arok, yang penuh dengan
kegaiban. Raja-raja Singasari berikutnya juga demikian.
Bagian kedua menguraikan Raden
Wijaya dari ikut Kertanegara sampai
menjadi raja Majapahit. Kemudian
diceritakan tentang Jayanegara dan
pemberontakan-pemberontakan
Rangga Lawe dan Lembu Sora,
serta peristiwa Putri Sunda di Bubat.
Pada bagian penutup memuat daftar
raja-raja sesudah Hayam Wuruk
(Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 65).
i. Calon Arang
Calon Arang termasuk kesusastraan kuno yang menggunakan bahasa
Jawa tengahan, sehingga dapat dimasukkan ke dalam zaman Majapahit
II. Kitab Calon Arang ini berisi tentang cerita Calon Arang kemudian
dibunuh oleh Empu Bharadah atas suruhan Raja Airlangga. Kitab Calon
Arang ini juga mengisahkan tentang pembelahan Kerajaan Kediri oleh
Empu Bharada atas suruhan Raja Airlangga (Poerbacaraka, RM. Ng.
Kepustakaan Jawa: 55).
Pada awalnya karya sastra ini ditulis di atas daun lontar yang bila rusak
selalu diperbaiki. Sejalan dengan kemajuan teknologi kemudian diubah
menggunakan kertas. Karya sastra ini bisa berbentuk puisi, kakawin,
maupun prosa. Berikut karya sastra yang bercorak Hindua seperti;
Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya, karya Empu Panuluh;
Kitab Smaradhana, karya Empu Dharmaja; Kitab Lubdaka dan
Kitab Wrtasancaya karya Empu Tanakung; Kitab Sundayana yang
mengisahkan terjadinya peristiwa Bubat, yakni perkawinan yang
berubah menjadi pertempuran; Kitab Ranggalawe yang menceritakan
pemberontakan Ranggalawe; Kitab Sorandaka yang menceritakan
pemberontakan tentang Lembu Sora; Kitab Usana Jawa yang
menceritakan penaklukan Bali oleh Gajah Mada bersama Arya Damar
(Poerbacaraka, RM. Ng. Kepustakaan Jawa: 23).
Cerita Panji; Mengisahkan perkawinan Panji Inu Kertapati, putra
raja Kahuripan dengan Galuh Candra Kirana, putri raja Daha.
Perkawinan berlangsung setelah berhasil mengatasi berbagai kesulitan.
Tradisi tulisan peninggalan kerajaan-kerajaan Islam yang berupa karya
sastra mendapat pengaruh dari Persia. Namun pengaruh sastra Indonesia
dan Hindu juga masih ada. Pada masa itu muncullah hikayat, yakni
0
karya sastra yang kebanyakan berisi dongeng belaka. Ada pula hikayat
berisi cerita sejarah; di pulau Jawa ‘babad’ biasa di Jawa berupa puisi
(tembang) di luar Jawa bisa berbentuk syair atau prosa. Pertunjukan
seni drama biasanya banyak bersumberkan karya sastra tersebut.
Kesusasteraan merupakan hasil kebudayaan yang mengandung makna
penting menurut sejarah. Dinyatakan demikian karena dari karya sastra
tersebut kita banyak bisa mengetahui gambaran sejarah dimasa lampau.
Menurut waktu perkembangannya kesusasteraan kuno dapat dibagi menjadi
beberapa zaman, diantaranya; kesusastraan zaman Mataram (sekitar abad;
9 dan 10 Masehi), zaman Kediri (sekitar abad; 11 dan 12 Masehi), zaman
Majapahit I (sekitar abad; 14 Masehi), dan zaman Majapahit II (sekitar
abad; 15 dan 16 Masehi). Ada dua zaman Majapahit disebutkan, hal ini
dikarenakan adanya perbedaan bahasa yang digunakan pada kesusastraan
tersebut. Zaman Majapahit I menggunakan bahasa Jawa kuno, sedangkan
zaman Majapahit II menggunakan bahasa Jawa Tengah. Sudah tentu masih
banyak karya sastra yang belum terungkap sampai saat ini, oleh karena itu
adalah tugas kita bersama.
Uji Kompetensi:
1. Apakah menurut-mu Hindu agama budaya? Jelaskanlah!
2. Setelah anda membaca teks Kontribusi kebudayaan Hindu dalam
pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia menuju era
Globalisasi, apakah yang anda ketahui tentang agama Hindu?
Jelaskan dan tuliskanlah!
3. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan kontribusi
kebudayaan Hindu dalam pembangunan Nasional dan Parawisata
Indonesia menuju era Globalisasi, dari berbagai sumber
media pendidikan dan sosial yang anda ketahui! Tuliskan dan
laksanakanlah sesuai dengan petunjuk dari bapak/ibu guru yang
mengajar di kelasmu!
4. Apakah yang anda ketahui tentang kontribusi kebudayaan Hindu
dalam pembangunan Nasional dan Pariwisata Indonesia menuju
era Globalisasi? Jelaskanlah!
5. Bagaimana cara-mu untuk mengetahui kontribusi kebudayaan
Hindu dalam pembangunan Nasional dan Parawisata Indonesia
menuju era Globalisasi? Jelaskan dan tuliskanlah pengalaman
anda!
Selamat Belajar
6. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha
dan upaya untuk mengetahui kontribusi kebudayaan Hindu dalam
pembangunan Nasional dan Pariwisata Indonesia menuju era
Globalisasi? Tuliskanlah pengalaman anda!
7. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan adanya kontribusi
kebudayaan Hindu dalam pembangunan Nasional dan Pariwisata
Indonesia menuju era Globalisasi guna mewujudkan tujuan hidup
manusia dan tujuan agama Hindu, buatlah catatan seperlunya dan
diskusikanlah dengan orang tuamu! Apakah yang terjadi? Buatlah
narasinya 1–3 halaman diketik dengan huruf Times New Roman
– 12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kwarto; 4-3-3-4!
Purusa evadam sarvam
yadbhutam yacca bhavyam,
utamrtatvasesa no,
jadannenati rohati.
Terjemahannya
Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah
ada dan yang akan ada, Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini
yang hidup dan berkembang dengan makanan (Ågveda, X.90.2).
Berbagai macam upaya telah dilaksanakan
manusia untuk dapat meningkatkan
kesadaran pribadinya, namun apa yang
ingin diwujudkan belum juga bisa tercapai
dengan sempurna! Renungkanlah bait
sloka tersebut di atas!
0
TANTRA, YANTRA, DAN
MANTRA
Bab III
A. Ajaran Tantra, Yantra, dan Mantra.
Perenungan.
‘Niyataý kuru karma tvaý
karma jyàyo hyakarmaóaá,
sarira-yàtràpi ca te na
prasiddhayed akarmaóaá.
Terjemahan:
‘Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik daripada
tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tak akan berhasil terpelihara tanpa
berkarya (Bhagawadgita, III.8).
Dalam melaksanakan puja bakti kepada Brahman, umat Hindu diberikan
kebebasan untuk dapat mewujudkan bentuk Śraddhā tersebut. Secara umum
bentuk Bakti umat Hindu dapat dilakukan den