berdasar interview yang dilakukan peneliti dengan subjek, peneliti
menemukan fakta bahwa pada awalnya ketika subjek merasakan ada kepribadian
lain yang subyek alami, seperti perubahan mood, perubahan sikap, perubahan
emosional dan pencarian jati diri. Subjek merasa orang lain tidak akan bisa
memahami atau tidak sependapat dengan subyek. Awalnya subyek merasa
terpuruk dan keterpurukannya tak menemukan titik terang. Terkadang pula
subyek bertanya pada diri sendiri, subyek merasa ia tidak normal seperti anak lain
pada umunya. Namun, subyek ini mengaku terkadang sulit menerima
kenyataan kondisi jalan hidupnya. Pada awalnya mereka belum bisa
mengikhlaskan atas kejadian buruk yang pernah dialaminya dan
mengikhlaskannya sangat sulit sekali namun setelah berjalannya waktu disertai
terapi ringan ini mereka mampu menerima kondisi dan keadaan
perkembangan diri mereka.
Individu perlu memahami posisinya dalam keluarga dan lingkungan sosial
sekitarnya. Posisi subyek harus siap menerima kenyataan hidup apapun.
Sedangkan lingkungan dimanapun subyek tinggal mempunyai peranan yang
sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan dan perubahan kepribadian subyek.
Kedudukan dan fungsi coping stress bersifat fundamental, karena pribadi yaitu
motivator utama dan dukungan keluarga juga merupakan wadah pembentukan
akhlak yang pertama bagi subyek.
Sebagaimana diungkapkan oleh Watkins, ego state dalam penelitian ini
merupakan suatu perubahan positif individu dalam sebuah kejadian dalam hidup
yang berdampak negatif sehingga membawa kepada tekanan fisik dan psikis.
Dalam artikel Adi W. Gunawan “ego state dan alter” yang menyatakan bahwa
ada dua jalur jenis ego state yaitu normal ego state dan ego state. Normal ego
state mampu berkomunikasi dengan baik dengan ego state lainnya. Sedangkan
alter yaitu ego state yang jalinan komunikasinya sangat buruk atau (hampir)
terputus dengan ego state lainnya.1
Subjek yang ditemukan dalam penelitian ini mengacu Watkins yakni, (a)
Ego state umumnya tercipta saat seseorang masih kecil atau di usia muda. Namun
dalam diri klien juga bisa ditemukan ego state janin, bayi, anak kecil, remaja,
dewasa, atau orang tua. Ego state juga mempunyai jenis kelamin pria dan wanita.
(b) Ego state ini bisa ada dalam diri baik klien pria maupun wanita. Dengan kata
lain, dalam diri seorang wanita bisa ada ego state berjenis kelamin baik pria
maupun wanita, mulai yang usia muda hingga yang tua. Demikian juga dalam diri
seorang pria.2 (c) Kemampuan sosial atau interpersonal di dalam penelitian ini
karena labelling negative dari diri sendiri membuat kemampuan bersosialisasi
menjadi terhambat.
Kenyataan yang terjadi pada sekarang yaitu kurangnya perhatian pada
pada diri sendiri, belum berani menampilkan dirinya atau terjun di masyarakat
pada masa mendatang. Kurangnya percaya diri ini menyebabkan individu akan
lebih mencari perhatian pada dunia lain seperti asyik sendiri bahkan
menghadirkan teman khayalannya. Pada kenyataannya juga sekarang ini ada
beberapa orang yang memiliki teman imajinasinya yang ia ciptakan sendiri
melalui fikirannya, misalnya bisa berupa suara dan mereka seperti berbicara
sendiri.
Hal ini menunjukkan pada kita betapa pentingnya perubahan dan
perubahan kepribadiannya. Hal ini pada dasarnya bersifat fundamental
karena pada hakikatnya subyek harus membangun perubahan ego state pada diri
subyek agar tidak dipandang sebelah mata bahkan tertekan pada diri sendiri.
Orang tua atau keluarga merupakan tempat dan lingkungan pertama bagi
subjek yang sangat berperan penting dalam setiap perkembangan pribadi subjek.
Hal ini akan terkait dengan adaptasi subjek ketika ada permasalahan hidup yang
datang pada diri subyek. Peneliti menemukan data bahwa coping stress yang baik
untuk subjek kepribadian ganda yaitu menerapkan smith therapy untuk
pengendalian diri yang tak lain yaitu untuk berserah diri pada Tuhan dan selalu
bersyukur hingga sekarang diberi umur panjang. Sehingga nantinya diharapkan
akan terbentuk ego state yang positif.
Sebenarnya subyek dapat merubah kepribadiannya tetapi menurut
penuturan salah satu subyek cara menemukan jati diri sangatlah sederhana tetapi
belum menemukan yang haq. Adapun proses dan tahapan ego state dengan
melalui beberapa tahap terapi ringan menurut Watkins dan Watkins menyebutkan
ego state dan introject walaupun sama-sama disebut sebagai Part atau Bagian Diri
namun berbeda menurut sumber terciptanya. Ego state berasal dari dalam diri
subyek sedangkan introject berasal dari luar. Introject yaitu persepsi tentang
seseorang yang terinternalisasi ke dalam pikiran bawah sadar. Dengan demikian
bisa terdapat sangat banyak introject dalam diri seseorang. Dalam proses terapi,
khususnya saat memakai teknik ego state therapy, untuk bisa memproses
trauma, maka ego state yang mengalami trauma perlu diaktifkan agar emosi yang
tersimpan dalam ego state ini bisa diproses,
Tiga tahapan modifikasi perilaku yang terjadi ketika seseorang mengalami
perunahan ego state antara lain yaitu, anteseden, perilaku dan konsekuaensi.
Adapun subjek Si A dan Si Z saat mereka mengalami perubahan ego state dan
individu berkepribadian ganda yang sangat tidak menyenangkan dalam hidup
tetapi mereka dapat tercapai tahap antecedent (antisipasi). Sedangkan subjek Si Z
yang masih mencapai tahap behaviour (perilaku) dan subjek Si A mampu
mancapai tahap consequence (konsekuen). Dengan melalui beberapa proses
tahapan sehingga dapat individu membentukan perubahan ego state.
Beberapa point ini sesuai dengan pada kenyataan dilapangan
beberapa cara merubah kepribadian ganda subyek yang dilakukan subjek
penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Diantaranya yang pertama menanamkan
antecedent (anteseden) pada individu berkepribadian ganda, dimana subjek juga
mengantisipasi jika terbawa emosi maka dapat merubah kepribadian. Kedua
mengenai behaviour (perilaku)subyek ketika mulai terjadi perubahan kepribadian
dan bagaiman caranya agar sikapnya tidak berubah dan tetap dalam emosi stabil,
dalam teori diatas diungkapakan membiasakan diri untuk selalu berdoa pada
Tuhan, kenyataannya dengan kehidupan subjek dilapangan yaitu subjek selalu
berusaha memperbaiki diri dengan membimbing diri sendiri agar tetap di jalan
Tuhan. Ketiga menerima consequence (konsekuen) ketika subyek berhasil
merubah ego state positif maka akan ada hasilnya, ketika subjek sudah merubah
sifat subjek menjadi lebih baik maka subjek mendapat konsekuensi ini .
Hal-hal ini menurut pengakuan subjek tentunya memanglah tidak
mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama dan terus melalui beberapa
tahapan. Individu berkepribadian ganda yaitu salah satu individu yang sering
memiliki mood yang berubah-ubah terkadang kacau bahkan sering menghadirkan
sosok dalam imajinasinya. Maka dari itu peneliti ingin mengarahkan individu
yang memiliki kepribadian ganda itu agar individu bisa mengolah tingkat
emosionalnya dan mulai mengenali jati diri mereka yang haq.
Jati diri yang dimaksud disini yaitu menemukan jati diri dalam diri setiap
individu dalam arti mereka benar-benar mengenali diri mereka sendiri.
Menemukan yaitu pengalaman yang mencerahkan. Subjek dapat beradaptasi
dimanapun tempatnya dan melakukan hal-hal untuk diri sendiri, untuk pertama
kalinya. Perasaan ini sulit dijelaskan dengan kata-kata, tetapi jika subyek belum
mengetahui siapa diri subyek sebenarnya, hal ini sulit untuk diabaikan.
Menemukan jati diri tidaklah mudah, tetapi seperti kata pepatah, hasilnya akan
setimpal. Individu manapun pasti ingin segera mengetahui seperti apa jati diri itu,
begitu juga harapan yang dimiliki subyek berkepribadian ganda yang memiliki
bermacam karakter hingga terkadang lupa apa yang telah terjadi begitu saja.
Mereka juga mendapat dukungan terhadap keluarga, atau orang terdekat seperti
teman yang mereka percaya. Subyek meyakini bahwa semua yang terjadi dengan
kehidupan mereka yaitu sudah takdir dari Sang Maha Kuasa, mereka yakin
dengan menerima kedaan perubahan ego state yang mereka alami. Mereka juga
tak lupa untuk selalu bersyukur dan ibadah kepada Tuhan.
B. Dampak Positif Perubahan Ego State Study Individu Berkepribadian
Ganda
Ego yaitu perasaan yang kuat akan jati diri subyek yang sangat penting.
Hilangnya identitas yaitu sebuah penyakit. Perasaan akan identitas yang terpisah
merupakan tabir antara manusia dengan Tuhan. Perasaan inilah yang
mengacaukan kenyataan dan menghalang imanusia untuk mengetahui sifat
ketuhanan. Tujuan transformasikan ego yaitu mengilangkan perasaan identitas
terpisah ini . Ketika akhirnya kita menyadari kefanaan diri, pribadi dapat
menyempurnakan persatuan manusia dengan Tuhan.
Perbedaan antara ego positif yang sehat dan ego negatif yang
mementingkan diri sendiri dalam psikologi sufi. Carl Jung, menuliskan bahwa ego
haruslah kuat agar mampu mengatasi perubahan radikal dan tuntunan yang intens
dari jalan spiritual. Hal ini berarti penghormatan terhadap diri sendiri dan
kesadaran akan kemampuan dan sifat manusia yang positif.
Ego positif membantu kita untuk mencapai tujuan kita. Ego negative
memamerkan kesadaran akan nilai diri berlebihan, serta pendekatan yang egois
atau pemusatan pada diri sendiri terhadap kehidupan. Ego negative secara
continue berusaha agar kita melayaninya; bagaikan member tunggangan pada
seekor keledai dan bukannya menunggangi keledai ini .
Dilihat dari seberapa sering suatu ego state muncul atau aktif maka kita
mengenal ada dua jenis ego state yaitu surface dan underlying ego state. Surface
ego state yaitu ego state yang sering muncul atau digunakan dalam menjalani
hidup dan berinteraksi dengan lingkungan. Sedangkan underlying ego state yaitu
ego state yang jarang muncul atau digunakan. Saat seseorang mengalami suatu
pengalaman hidup dengan memakai ego state tertentu maka ego state ini
disebut sebagai ego state yang executive atau yang memegang kendali. Secara
umum dalam keseharian surface ego state yang aktif berkisar antara empat hingga
lima.
Ego state saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Umumnya yang
paling mudah diajak berkomunikasi yaitu surface ego state karena mereka
mudah untuk berbagi informasi. Bisa juga terjadi ada underlying ego state yang
tidak berkomunikasi dengan surface ego state. Bila demikian kondisinya kita
tidak bisa mengakses informasi yang ada pada underlying ego state ini dengan
memakai cara biasa,
Ketika dada kita telah dibersihkan dan hati kita telah terbuka, kita mulai
mampu melampaui permukaan luar dan merasakan apa yang tersembunyi di
dalam. Perilaku yang melukai orang lain atau melanggar prinsip-prinsip spiritual
umum (kejujuran, ketulusan dan belas kasih) cenderung akan menutup dan
mengeraskan hati. Menjadi seorang darwis yang miliki hati lembut, peka dan
penuh pemahaman.
Jika subyek menyadari bahwa hati manusia yaitu kuil Tuhan, maka
kepekaan kita terhadap nafs, dan keseluruhan psikologis kita akan
tertransformasikan. Dari sudut pandang ini, kita bukanlah makhluk duniawi yang
mencari spiritualitas; kita yaitu makhluk spiritual yang berusaha menemukan
diri kita yang sejati.
Untuk kebaikan dan kemajuan diri subyek, pahamilah bahwa ada bagian-
bagian diri kita yang hidup dan terbentuk selama aktivitas dan interaksi dengan
lingkungan. Bagian diri ini hidup dan berkembang bersama kita. Bagian diri ini
punya emosi lapisan lapisan emosi dan kesadaran sendiri.
Fahamilah bagian diri ini atau ego personality dalam diri subyek bisa lebih
dari satu dan konon paling sedikit ada lima. Pahami juga ketika subyek
mengalami konflik diri, sebenarnya yang terjadi yaitu konflik antara ego
personality yang ada di dalam diri subyek. Ego personality dalam diri subyek pun
bisa terbentuk dari interaksi dengan orang lain – dalam istilah kami disebut
introjects. Beberapa manfaat lainnya memahami konsep ego personality yaitu
antara lain:
1. Subyek akan sadar dan tahu cara mengatasi konflik antara bagian-bagian diri
ini.
2. Subyek akan mampu “switch” dari satu bagian diri ke bagian diri yang lain
(secara sengaja dan dengan kesadaran penuh).9
Perubahan berperilaku baik atau tata karma yang baik. Bertindak dengan
penuh perhatian, kesantunan, kehalusan budi bahasa, keagungan dan
penghormatan terhadap orang lain.10 Kualitas perilaku kerap menja disangat luar
biasa ketika melihat orang-orang melayani. Hubungan kasih sayang dan kepekaan
mulai terlihat dari sifat seseorang.11 Rasa syukur pada Tuhan di setiap insan
yaitu sifat terbaik. Rasa syukur itu pasti didasari oleh perubahan ego state pada
subyek yang telah merasakan nikmatnya menemukan jati diri setelah melalui
berbagai rintangan duniawi. Makadari itu manusia seharusnya tak boleh lepas dari
perasaan bersyukur pada sang Ilahi atas segalanya yang telah anugrahi kehidupan
ini.
Sindroma budaya meso yaitu sebuah bentuk berperilaku meluapkan kekesalan hati
dengan wujud memaki, menghujat, dan berkata buruk yang dilakukan berulang oleh
penderita Mesu disaat sedang sendiri. Sindroma budaya gangguan kepribadian yang
dialami oleh lelaki Jawa di Desa Meranti Kabupaten Asahan yang disebut dengan
Mesu/Meso/Kesu. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan pendekatan
Antropologi Psikologi yang didukung dengan teknik wawancara riwayat hidup (Life
history) dan pengamatan (participant observer) yang dilakukan secara mendalam terkait
dengan karakteristik sindroma budaya Mesu dan aktivitas sosial budaya warga
setempat untuk menemukan faktor penyebab terjadinya gangguan kepribadian Mesu
Budaya Etika hidup yang begitu kuat dalam menjaga keharmonisan keluarga dan sosial
menjadi salah satu penyebab gangguan kepribadian ini terjadi.
Permasalahan gangguan kepribadian merupakan kajian yang selalu mendapatkan
sorotan di dalam pembahasan kesehatan mental. Gangguan kepribadian menjadi masalah
laten yang sejatinya terus tumbuh di lingkungan hidup berwarga . Data dari Riskesdas
pada tahun 2018 yang tercantum dalam informasi website resmi Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia pada tanggal 15 oktober 2019 menjelaskan bahwa 7 dari 1000 rumah
tangga terdapat anggota keluarga dengan gangguan kepribadian. Kemudian lebih dari 19
juta penduduk diatas usia 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, lebih dari 12
juta orang di Indonesia yang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah mengalami
depresi. Hal ini menunjukkan prevalensi yang sangat meningkat dari data terakhir dari
WHO yang menyebutkan pada tahun 2010 warga Indonesia yang mengalami
gangguan kepribadian dan berujung pada tragedi bunuh diri mencapai 1,6 juta hingga
1,8% per 100.000 jiwa.
Peningkatan yang siginifikan ini kemudian menyoroti peran dari aspek kesehatan
mental diri, aspek kesehatan mental di keluarga dan aspek kesehatan mental di lingkungan
sosial, yang dianggap sebagai beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya
permasalahan gangguan kepribadian. Ironisnya, fokus perhatian penanggulangan
permasalahan sampai saat ini masih terkesan menitikberatkan pada upaya yang bersifat
kuratif (proses penyembuhan). Proses penanggulangan dalam bentuk penyembuhan tentu
sangat diperlukan, namun perlu juga dipahami bahwa perlunya dilakukan proses
penanggulangan permasalahan dalam bentuk yang preventif agar karakteristik dan
penyebab gangguan kepribadian dapat dikenali dan kemudian dapat ditanggulangi
sebelum keadaan semakin buruk.
Gangguan kepribadian menurut pandangan psikologi
dianggap sebagai sebuah keadaan kepribadian yang kaku dan mengalahkan pengontrolan
terhadap diri sendiri. Sehingga mempengaruhi fungsi kepribadian itu sendiri dan bahkan
memicu gejala psikiatrik yang memunculkan penderitaan bagi diri individu dan
lingkungan sosial. Beberapa hal yang dianggap menjadi faktor penyebab munculnya
gangguan kepribadian ialah faktor genetik, faktor temperamental, faktor biologis, dan
faktor psikoanalitik. Hanya saja, diagnosis terkait dengan karakteristik gangguan
kepribadian dan juga faktor penyebabnya harus mengikuti alur diagnosis psikiatrik oleh
seorang psikiater ataupun psikolog, dan tidak bisa hanya sekedar diterka-terka seperti yang
selama ini terjadi ditengah warga
Gangguan kepribadian juga sering dianggap sebagai gangguan jiwa ataupun gangguan
mental. Hal ini disebab kan gangguan kepribadian merupakan bagian dalam gangguan
mental organik yang meliputi atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya
penyakit, cedera, pengalaman traumatik yang berakibat tidak berfungsinya jaringan-
jaringan di dalam otak. Gangguan kepribadian memiliki ciri bersifat tidak fleksibel dan
maladaptif yang memicu disfungsi respon individu terhadap situasi pribadi, terhadap
hubungan dengan orang lain ataupun dengan lingkungan sekitar
Hal yang sering dikesampingkan dan sebenarnya perlu dipahami secara koheren
yaitu permasalahan gangguan kepribadian sesungguhnya sangat berkaitan erat dengan
pola budaya setempat yang teraktualisasi dalam proses interaksi suatu kelompok
warga . Budaya berperan menciptakan pedoman cara hidup, pandangan, norma dan
aturan dalam hubungan sosial yang bersifat khas dan lokalitas. Pedoman dan cara hidup
ini kemudian mengatur pola interaksi dalam satu kehidupan komunal. Akan tetapi acuan
bertindak tidak selalu dapat terinternalisasi pada diri setiap anggota warga , bahkan
terkadang memberikan tekanan pada psikis individu yang berdampak pada munculnya
gangguan kepribadian yang khas dan bersifat lokalitas. Gangguan kepribadian yang
bersifat lokalitas ini biasa disebut dengan sindroma budaya.
Istilah sindroma budaya menunjukkan pola perilaku gangguan kepribadian yang
mengarah pada perilaku abnormal. Banyak dari pola ini yang secara lokal dianggap
sebagai “penyakit” atau setidaknya penderitaan, dan sebagian besar diantaranya memiliki
nama lokal. Meskipun presentasi gangguan kepribadian ini dikategorikan sebagai
gangguan mental yang dapat ditemukan di seluruh dunia gejala-gejalanya, namun terdapat
respon-respon sosial tertentu yang dipengaruhi oleh faktor budaya lokal. Kiev dalam
menjelaskan bahwa fenomena Sindroma budaya merupakan
gangguan-gangguan yang sebagian besar yaitu varian- varian psikosi yang mirip dengan
label gangguan jiwa di Barat, namun lokasi dijumpainya varian psikosis ini terhubung
dengan peta kebudayaan warga setempat. Jika peta kebudayaan berubah, maka
sindroma budaya juga akan berubah. Bahkan karakteristik gangguan kepribadian seperti
ini selalu dikaitkan dengan mitos-mitos warga setempat. Karakteristik seperti ini di
daratan Eropa sama sekali tidak ditemukan.
Sedangkan Dina (Yuniarti.2020:8) mendefenisikan sindroma budaya sebagai pola
perilaku abnormal yang berulang dan spesifik lokalitas berdasarkan pengalaman
bermasalah yang mungkin terkait atau tidak terkait dengan kategori diagnosis gangguan
kepribadian tertentu. Sindrom biasanya terikat dengan budaya umumnya terbatas pada
warga atau wilayah tertentu dan terlokalisasi, dan diagnosisnya membingkai makna
koheren untuk merangkai pengalaman dan pengamatan tertentu yang berulang, berpola,
dan mengganggu dalam budaya yang dilakukan dikehidupan nyata. Terdapat berbagai
bentuk sindroma budaya di berbagai wilayah dan hal memiliki karakteristik ataupun
tipenya masing-masing tergantung dengan tipe kebudayaan setempat. Seperti sindroma
budaya Piblokto yang terjadi pada orang Eskimo (Jusson. 1960), Sindroma budaya
Windigo yang terjadi pada suku Indian (Teicher. 1961). Pengkajian sindroma budaya tidak
hanya dilakukan di berbagai wilayah di Eropa dan Amerika, namun juga terdapat beberapa
penelitian tentang sindroma budaya yang terfokus pada etnik di Indonesia. Salah satu
penelitian sindrma budaya yang paling popular yaitu penelitian Hildreed Geertz (1982)
tentang Latah pada wanita Jawa di Pare Jawa Timur. Namun selain itu juga terdapat
beberapa penelitian lainnya seperti Baasir (1974) yang menjabarkan hasil penelitiannya
tentang Koro sebagai sebuah bentuk sindroma yang terjadi pada keturunan Cina di
Indonesia. Koro yaitu sindroma anxietas yang mendadak sampai dengan panik
disebabkan oleh adanya paham bahwa alat kelaminnya akan mengkerut masuk dan
menghilang ke dalam tubuhnya sehingga dirinya akan mati, pada umumnya terjadi pada
laki-laki. Orang itu akan berusaha mencegah dengan cara memegang erat-erat alat
kelaminnya atau mengikat dengan tali, kalau perlu meminta bantuan orang lain memegang
alat kelaminnya secara terus-menerus. Tidak hanya terjadi pada lelaki keturunan Cina saja,
namun Tanumiharja (1984) juga menelusuri bahwa Koro juga terjadi di Sulawesi Selatan.
Hal ini disebab kan Koro pada budaya Bugis dianggap menyalahi keadaan vitalitas yang
harus dimiliki.
Penelitian lainnya terkait dengan sindroma budaya yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Aris Fauzan (2017) yang berjudul Sindrom Barat dan Pemberontakan Tak Sadar
(Analisis Kritis Pergeseran Makna Amuk dalam Lintasan Sejarah). Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa dalam perkembangannya amuk dijadikan sebagai bahasa
psikopatologi bagi kalangan yang melakukan tindakan brutal sebab sebab kesehatan
mental. Selain Sindroma budaya Amuk, juga terdapat penelitian tentang sindroma budaya
Latah Latah yang dilakukan oleh Sri Pamungkas (2018) di dalam tulisannya yang berjudul
Menafsir Perilaku Latah Coprolalia pada Perempuan Latah dalam Lingkup Budaya
Mataraman: Sebuah Kajian Sosiopsikolinguistik. Penelitian ini menjabarkan diksi yang
terungkapkan antara penyandang latah pribumi dan pendatang mengalami sedikit
perbedaan, utamanya dalam mengungkapkan alat kelamin lakil-laki dan perempuan.
Penelitian sindroma budaya Latah kemudian mendapatkan perhatian minat dari
peneliti lainnya seperti yang dilakukan oleh Andi Saputra Tanjung (2019) yang berjudul
Kajian Psikolinguistik Terhadap Perilaku Berbahasa Orang Latah: Studi Kasus Pada
Beberapa Warga Jalan Garu Iii Medan Amplas, Kota Medan. Hasil penelitiannya
mengungkapkan bahwa Faktor lingkungan dan mimpi yang memicu beberapa warga
Jalan Garu III Medan Amplas Kota Medan berperilaku berbahasa latah. Selanjutnya
pengkajian yang dilakukan Habib Rois (2020) tentang Digitalisasi Tuturan Psikogenik
Latah (Kajian Fonetik Akustik). Tulisannya ini menjabarkan bahwa Faktor psikologis
yaitu faktor dominan yang memicu gangguan psikogenik latah, selain itu juga
Perbedaan pola pada tuturan lain hanya berkaitan dengan jumlah kata yang diulang-
ulang, secara garis besar bunyi vokoid netral berperan sebagai puncak intensitas tuturan
latah Echolalia
Para peneliti budaya telah melihat ada keterkaitan antara karakteristik budaya pada
warga lokal dengan terjadinya sindroma budaya. Beberapa kasus sindroma budaya
kemudian ditelusuri melalui fokus kajian Antropologi Psikologi dan Psikiatri. Diantaranya
ialah sindroma budaya Koro pada lelaki di wilayah Cina, Amok pada warga Melayu
di Asia Tenggara, Senu yang dialami oleh etnik Karo di Sumatera Utara dan Latah yang
terjadi pada wanita Jawa. Penelitian antropologi psikologi dan psikiatri tentang Latah pada
wanita Jawa yaitu pengkajian yang dilakukan Hildred Geertz yang cukup mendapatkan
perhatian dari pengkaji budaya lainnya. Hildreed Geertz (1982) salah seorang Antropolog
yang menelusuri sindroma budaya gangguan kepribadian Latah pada wanita Jawa di Pare
dari hasil penelitiannya menjabarkan keterkaitan perubahan keadaan pada warga
Jawa di Pare pola budaya kehidupan memicu problematika Maladaptasi wanita Jawa
di dalam kehidupan berwarga nya. Keadaan Maladaptasi ini kemudian memunculkan
sebuah perilaku abnormal pengulangan kata-kata (Latah) yang dibarengi dengan perilaku
terkejut dan terkadang mengarah pada kata yang bermakna “jorok”
Bentuk Sindroma budaya juga ditemukan terjadi pada warga Jawa di Kabupaten
Asahan. Sindroma budaya ini memiliki karakteristik hanya terjadi pada lelaki Jawa yang
tinggal di wilayah ini saja dan kasus yang paling terbanyak yaitu di wilayah desa
Meranti Kecamatan Meranti. Sedangkan para wanitanya sama sekali tidak menunjukkan
gejala perilaku yang serupa. Tentu saja hal ini tidak terlepas dengan pola hidup, sistem
sosial budaya setempat dan terkhusus pada pola budaya yang dijalankan dipahami dan
dijalankan oleh para lelaki Jawa setempat
Jenis penelitian ini yaitu penelitian kualitatif dengan pendekatan Antropologi
Psikologi. Pendekatan Antropologi Psikologi selalu digunakan dalam mengungkap
fenomena kejiwaan suatu warga dengan menitikberatkan pada khasanah pola budaya
setempat, hal ini disebab kan fenomena kejiwaan merupakan wujud dari pola-pola budaya
lokal yang hidup dan diwariskan turun temurun, dan akan lebih tepat jika ditelaah dalam
ranah berfikir, konsep dan teori keilmuan Antropologi
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan metode etnografi.
Metode ini digunakan peneliti untuk melihat fenomena sosial dan kultur lokal secara detail
dengan menjadi bagian (life in) dari warga lokal sehingga dapat menemukan suatu
pola budaya yang mempengaruhi munculnya wujud perilaku abnormal Mesu/ Kesu/Meso
pada lelaki Jawa di lokasi penelitian. Informan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
jenis yaitu informan kunci dan informan pendukung. Adapun yang menjadi informan
kunci dalam penelitian ini yaitu penderita Mesu itu sendiri yaitu Pak Abdullah (75), Wak
Beruh (69), Wak Rebu (60) (identitas disamarkan). Kemudian informan pendukung yaitu
para keluarga penderita Mesu. Dalam proses pengumpulan data menggunakan Teknik
pengamatan secara langsung (observasi partisipasi) pada pola hidup dan kondisi sosial
budaya warga setempat, dan wawancara mendalam (deep interview) secara tidak
terstruktur kepada penderita Mesu dan keluarganya, dengan cara tinggal bersama
warga yang diteliti (life in) agar dapat melakukan penelusuran informasi secara life
history penderita Mesu yang diteliti
Data yang dikumpulkan kemudian di analisis data mengikuti tahapan analisis data
etnografi Spradley (2017) yaitu : (1)Analisis domain dilakukan untuk memperoleh
gambaran umum dan holistik mengenai pola budaya kehidupan sehari-hari para lelaki
Jawa di desa Meranti. Analisis domain dilakukan dengan mengumpulkan keseluruhan
hasil wawancara. Selanjutnya dengan (2)analisis taksonomi yang dilakukan setelah
langkah pertama terlaksana. Analisis ini dilakukan dengan memilah hasil wawancara yang
lebih mengarah pada focus penelitian dan melakukan elaborasi dengan hasil pengamatan
yang sudah dinarasikan. Kemudian melakukan (3)analisis komponen yang dilakukan ialah
dengan mencari perbedaan atau yang kontras dan memutuskan domain manakah yang
harus dipelajari secara mendalam terkait penelitian ini . Lalu (4)Analisis tema
menjadi bagian akhir yang merupakan keterkaitan antara berbagai domain (hasil
wawancara dan pengamatan). Analisis tema menjadi langkah untuk memahami secara
holistik “fenomena” yang sedang diteliti dan interpretasi didalamnya. Sehingga penarikan
kesimpulan akan bentuk gangguan kepribadian Meso dan juga faktor penyebab terjadinya
dapat dijabarkan.
Lelaki Jawa Desa Meranti dan Karakteristik Meso/ Mesu/ Kesuh
warga Desa Meranti Kabupaten Asahan merupakan warga yang ditinggali
oleh mayoritas etnik Jawa. Meskipun di wilayah ini juga terdapat etnik lainnya namun
rasionya begitu berbeda. Meskipun belum adanya data sensus desa secara berkelanjutan
terkait hal ini, namun dari hasil pengamatan ketika berada di desa, kita dapat melihat
bahwa perbandingan komposisi etnik diwilayah ini hampir 80% diisi oleh etnik Jawa dan
20%. diisi oleh etnik lainnya seperti etnik Batak Toba, Melayu, Minangkabau, Mandailing
dan Karo. Keadaan homogenitas di desa ini juga menciptakan sebuah pola tempat tinggal
yang saling membatasi antara masing-masing etnik. Seperti keberadaan etnik Batak Toba
yang memilih tinggal berkelompok di bagian depan pintu masuk (Gapura) Desa Meranti,
sedangkan Etnik Jawa dan lainnya lebih memilih berada di areal dalam desa. Pola menetap
bermukim ini menurut warga setempat menciptakan keadaan minimnya terjadi
interaksi antara etnik-etnik yang berada di bagian dalam desa dengan etnik Batak Toba
yang berada di areal depan desa Meranti meskipun jalan ini sering mereka lalui.
Namun di sisi lain, konflik sosial yang disebabkan oleh dinamika interaksi antar etnik
ini juga minim terjadi.
Keadaan topografi lingkungan yang baik menjadikan desa Meranti memiliki tanah
yang luas dan subur, sehingga warga banyak yang bermata pencaharian sebagai
petani sawah dan berkebun, namun banyak juga warga yang memilih untuk
pekerjaan lainnya seperti pengrajin batu bata, buruh bangunan, dan berdagang dirumah.
Keadaan tempat pekerjaan yang begitu dekat dengan rumah, menciptakan sebuah bentuk
pola pemeliharaan keluarga dan pembagian peran domestik yang tidak hanya dilakukan
oleh para wanita saja, namun kaum pria juga terlibat di dalamnya.
Sindroma budaya Mesu/Meso/Kesuh yaitu pemaknaan kata yang begitu banyak
penyebutannya namun memiliki arti yang sama. Mesu/Meso/Kesuh yaitu kata yang
berasal dari bahasa Jawa setempat yang dipahami sebagai keadaan kesal hati. Penjabaran
pemaknaan dari Mesu/Meso/Kesuh yaitu kondisi di mana seseorang mengalami
ketidakenakan hati (kekesalan) disebab kan oleh beragam sebab yang dipendam dalam
diri. Mesu/Meso/Kesuh menjadi sebuah bentuk perilaku dimana seorang individu (lelaki
Jawa) merasa kesal dan mengungkapkan kekesalan perasaan ini dengan kata-kata
kasar ataupun sumpah serapah namun tidak diluapkan pada orang yang bersangkutan.
Sehingga kekesalan ini juga membawa bentuk perilaku menyesali kehidupan yang
dilalui oleh diri sendiri dan terkadang memaki diri sendiri. Mesu/Meso/Kesuh bukanlah
sebuah perilaku peluapan amarah yang membabibuta ataupun dengan bentuk kekerasan
fisik yang dilakukan baik kepada diri sendiri ataupun pada orang lain melainkan hanya
dalam bentuk verbal (ngedumel) dan cenderung dilakukan seorang diri.
Dari hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan, penulis kemudian
membagi keadaan Mesu/Meso/Kesuh menjadi tiga tingkatan yaitu:
1) Meso/Mesu/ Kesuh level Rendah
Kesuh rendah yaitu pengucapan secara lisan dan terbuka berupa perluapan amarah
yang hanya ditujukan pada diri sendiri ataupun orang lain dalam intensitas yang
jarang. Artinya kesuh pada tingkatan ini hanya berupa omelan semata individu
kepada individu lain tanpa ada kata-kata kotor didalam pengucapannya.
2) Meso/Mesu/ Kesuh level Sedang
Kesuh sedang yaitu pengucapan secara lisan dan terbuka dengan nada yang tinggi
dan menggunakan kata-kata kasar dalam proses perluapan emosi dan amarahnya
kepada seseorang. Namun pada dalam kesuh sedang ini, individu ini
melakukan kesuh hanya sebatas omongan kasar tanpa adanya tindakan fisik ataupun
tindakan yang berusaha untuk merugikan orang lainn.
3) Meso/Mesu/ Kesuh level Tinggi
Kesuh tinggi yaitu pelontaran kata-kata yang merupakan buah dari amarah akibat
suatu keadaan ataupun tindakan seseorang yang membuat seorang individu kesal
dalam skala terbesar. Artinya yaitu kesuh pada tingkatan ini tidak hanya berupa
caci makian semata tetapi juga menggunakan tindakan fisik, seperti melempar
barang-barang individu yang bersangkutan.
Mesu/Meso/Kesuh sendiri menurut warga sebenarnya juga terjadi pada pria dan
wanita hanya saja memiliki perbedaan antara kesuhnya pria dan kesuhnya wanita.
Perempuan dianggap lebih ekspresif dalam meluapkan kekesalannya dibanding laki-laki,
sehingga hal ini tidak terpendam dan tidak menjadi sebuah gangguan kepribadian.
Sedangkan laki-laki cenderung menahan, terkadang diam atau diluapkan namun tidak
pada orang yang bersangkutan. Data hasil wawancara dengan para informan menunjukkan
bahwasanya ada pengakuan dimana Mesu/Meso/Kesuh ini hanya terjadi pada pria yang
telah berumah tangga ataupun pasangan suami istri. Permasalahan dirumah tangga
menurut warga dianggap menjadi faktor terbesar penyebab terjadinya gangguan
kepribadian ini akibat dari tidak terbangunnya komunikasi dalam menyelesaikan dinamika
rumah tangga. Pandangan warga tentang hal ini di dukung dari hasil temuan penulis
dimana Mesu/Meso/Kesuh hanya dialami oleh pria yang sudah “berumur” dan berumah
tangga dalam kurun waktu yang cukup lama.
Etika hidup orang jawa dan faktor penyebab Mesu/Meso/Kesuh
Etnik Jawa yaitu warga yang dikenal begitu menjunjung nilai-nilai tata karma,
etika kesopanan dan harmonisasi dalam keluarga dan pergaulan kehidupan sosialnya.
Konsep Etika dapat dipahami sebagai sebuah kompleksitas
norma dan penilaian yang dipergunakan oleh warga yang bersangkutan untuk
mengetahui bagaimana seharusnya anggota-anggota warga ini menjalankan
kehidupannya. Pada kompleksitas norna dan etika, warga Jawa begitu mengatur
interaksi-interaksinya melalui dua prinsip, yakni prinsip kerukunan dan prinsip hormat.
Kedua prinsip ini kemudian mengatur, menuntut dan menuntun bahwa segala bentuk
interaksi yang mengarah pada konflik-konflik terbuka harus dicegah, demi menjaga
keselarasan. menjelaskan bahwa keselarasan menjadi sebuah hukum
regulative sosial, dimana keselarasan memang harus didahulukan dalam etika hidup orang
Jawa. Keselarasan menuntut sesuatu dari individu dan menjadi kepribadian yang melekat
untuk memahami kwajiban tetap dalam menjaga usaha untuk menjamin hak-haknya
sendiri namun jangan sampai mengganggu keselarasan sosial
Prinsip yang secara hakekatnya ingin membawa pada keselarasan ini ternyata
dibeberap kasus juga menunjukkan adanya problematika di dalamnya. Hari Poerwanto
(2020) dalam bukunya yang berjudul kebudayaan dan lingkungan menjabarakan bahwa
kepribadian sungkan yang dimiliki orang Jawa sebagai wujud menjaga keselarasan sosial
ternyata menjadi faktor utama permasalahan lingkungan hidup di desa. Pencemaran
lingkungan dalam bentuk pembuangan limbah yang sering dilakukan oleh pemilik usaha
ke selokan maupun ke sungai di desa, tidak pernah mendapatkan respon dari para tetangga
yang tinggal berdekatan dengan pabrik atau lokasi produksi usaha ini . Para tetangga
sangat mengetahui keadaan ini, namun tidak ingin ikut campur disebab kan rasa sungkan
kepada pemilik usaha yang terkenal sangat dermawan dan baik kepada warga. Rasa
sungkan dan tidak enak hati dalam menjaga prinsip keselarasan sosial inilah yang
mengakibatkan permasalahan pencemaran lingkungan di desa tetap terjadi tanpa ada
peringatan ataupun perhatian yang ditunjukkan oleh warga sekitar. Peran warga
sebagai salah satu perangkat kontrol sosial termasuk didalamnya kontrol lingkungan sudah
tidak berjalan dengan seharusnya akibat dari sikap penuh etika sungkan ini
Kembali pada pembahasan gangguan kepribadian Meso/Mesu/Kesuh pada lelaki Jawa
di Desa Meranti, dari hasil pengamatan selama life in di desa Meranti, penulis kemudian
menemukan berbagai hal yang menjadi faktor yang memicu terjadinya gangguan
kepribadian Meso/Mesu/Kesuh pada lelaki Jawa di Desa Meranti. Secara garis besar, hal
ini memang disebabkan oleh permasalahan rumah tangga, namun dapat diperinci sebagai
berikut :
1) Pembagian peran domestik yang melibatkan pria. Keterlibatan pria dalam
membantu pekerjaan domestik sembari juga melaksanakan peran public,
menjadikan pria (suami) memilik pandangan dan konsep penilaian tentang
pelaksanaan peran domestik yang benar atau tidak benar, yang optimal atau yang
kurang optimal. Sehingga terkadang apa yang dikerjakan oleh para wanita (istri)
dalam pekerjaan dirumah, sering mendapatkan penilaian sepihak dari para pria
(suami). Ketidakbecusan dalam pengerjaan pekerjaan dirumah, ketidakbecusan
dalam pengasuhan anak, sering menjadi penilaian yang disematkan. Hal ini
menciptkan kekesalan hati pada pria, namun hal ini tidak dapat selalu
disampaikan pada istri. Hal ini disebab kan apabila hal ini disampaikan, maka
akan terjadi ketidakharmonisan dikeluarga maupun konflik rumah tangga.
Sehingga para pria memilih untuk memendam keadaan ini dan berujung pada
terjadinya gangguan kepribadian Meso/Mesu/Kesuh. Tidak optimalnya peran
wanita terkait Seperti yang dialami oleh informan yang dikenal dengan nama Wak
Rebo yang membenarkan bbahwa orang-orang yang berumah tangga cenderung
berpotensi memiliki tingkat kesuh yang lebih dibandingkan yang berstatus lajang.
Kesuh kebanyakan terjadi pada orang yang sudah menikah dan bisa disebabkan
banyak hal misalnya sebab masalah pekerjaan rumah yang belum tuntas, merawat
anak yang dianggap tidak becus dan juga pelayanan pada suami yang dianggap
kurang optimal. Namun hal ini tidak dikomunikasikan pada si istri sebab
biasanya istri akan membela diri dan terjadi konflik di rumah tangga.
2) Pola menetap yang bersifat virilokal pasca menikah. Para pasangan yang telah
menikah banyak yang memilih bertempat tinggal dirumah sendiri namun masih
berada dilingkungan keluarga pria (virilocal). Pola menetap ini menjadikan
keadaan di keluarga tidak selalu bebas terutama juga dalam peluapan emosi.
Keberadaan sanak saudara di sekitaran lingkungan rumah menjadikan para pria
mencoba menjaga marwah/nama baik keharmonisan dikeluarga dengan cara tidak
meluapkan emosinya secara terbuka baik pada istrinya ataupun anak. Meskipun
kebanyakan kasus Meso/Mesu/Kesuh terjadi sebab permasalahan antara suami
dan istri. Para pria (suami) merasa segan dan tidak mau problematika dirumah
tangganya diketahui oleh sanak saudara, yang pada akhirnya akan dapat membuka
peluang sanak saudara ini ikut campur dalam permasalahan ini .
Sehingga luapan emosi yang ditahankan ini memberikan tekanan batin, rasa
kesal ataupun perasaan emosional yang ingin diluapkan namun tetap ditahan dan
dipendam sedemikian rupa, sehingga terjadi pengumpatan ataupun memarahi diri
sendiri yang dilakukan oleh para pria ini.
3) Tekanan problematika kebutuhan domestik dan perawatan anak. Permasalahan
ekonomi dalam konteks ini berkaitan dengan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan
barang dan bahan pokok untuk keluarga. Permasalahan ekonomi memang menjadi
salah satu pondasi dalam banyak hal yang terjadi baik di warga atau di
keluarga. Permasalahan ekonomi dalam tulisan ini ialah terkait pekerjaan
warga yang sebagian besar berladang dan berdagang. Permasalahan yang
dihadapi cenderung sama yaitu perihal harga hasil pertanian yang rendah daripada
harga pakan atau bibitnya, warung sepi pelanggan serta keadaan yang kian makin
sulit seiring berjalannya waktu. Permasalahan ekonomi ini dapat berimbas pada
interaksi kepada orang-orang terdekat seperti kesal sebab harga suatu barang atau
bahan pokok/hasil tani yang rendah maka seseorang akan malas untuk
mengerjakan atau menjualnya dan menyalahkan keadaan yang diluapkan pada
orang-orang di sekitar.
4) Lingkungan pekerjaan yang berdekatan dengan tempat tinggal. Perlu diketahui
bahwasannya pekerjaan yang banyak dilakukan oleh para pria di desa ini yaitu
perladangan yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumah. Selain itu juga bentuk
wirausaha pembuatan batu bata, perbengkelan, pertokoan dan wirausaha lainnya
yang juga lokasinya berdekatan dengan tempat tinggal. Keadaan ini disatu sisi
memang memberikan dampak positif dimana pengeluaran (cost) menjadi lebih
minim sebab tidak memerlukan ongkos transportasi menuju tempat kerja dan juga
biaya makan. Para pria pada saat istirahat kerja selalu dibawakan bekal makan oleh
para istri mereka ataupun para pria ini mengambilnya sendiri kerumah yang
berdekatan dengan tempat kerja mereka. Namun disisi lain, hal ini menjadi
penambah tekanan psikis pada pria dimana mereka dapat mengamati secara
langsung keadaan aktualisasi peran domestik yang dilakukan oleh istri serta
permasalahan-permasalahan kecil dalam pengasuhan anak. Anak-anak ini
mengadu pada ayah mereka dan hal ini dibiarkan begitu saja oleh para ibu
mereka. Selain itu juga kenakalan-kenakalan kecil yang dilakukan oleh anak
disekitar tempat kerja si ayah yang tentunya dapat memicu perasaan emosional.
Perasaan ini tidak dapat diluapkan secara langsung sebab begitu banyaknya rekan
kerja dan juga orang lain disekitar yang nantinya akan dapat menyaksikan konflik
di keluarga ini . Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis, para lelaki
kebanyakan lebih memilih untuk menahan emosi itu namun tetap saja akan tetap
tersimpan dihati mereka. Apalagi hal ini sering diperkeruh dengan
permasalahan pekerjaan yang dialami seperti target yang tidak tercapai,
keuntungan yang tidak didapatkan, perladangan yang mengalami permasalahan
hama dan lain sebagainya.
Kepribadian dengan karakteristik memendam (permissive) pada peluapan emosional
diri dari keadaan berumah tangga ini bukanlah suatu karakter yang tiba-tiba ada pada
lelaki Jawa. Konstruksi dan doktrinisasi sosial budaya begitu mempengaruhi pengambilan
keputusan memendam rasa emosional mereka. Hal ini juga sangat berkaitan erat dengan
banyak nilai-nilai budaya yang diinternalisasikan terkait menyikapi permasalahan. Apalagi
warga Jawa yaitu warga yang sangat menjunjung keteraturan, kesimbangan
dan keharmonisan hidup. Nilai-nilai dan ajaran yang lebih mengedepankan menjaga
keharmonisan dan tidak disintegrasi dikeluarga ataupun di lingkungan sosial juga
ditanamkan dalam banyak falsafah hidup etnik Jawa. Salah satu falsafah hidup yang selalu
diajarkan yaitu “Trima yen ketaman, Sakserik sameng dumadi, Tri legawa nalangsa srah
ing Barthara (ikhlas kehilangan tanpa menyesal, sabar jika hati disakiti sesama, ketiga
yaitu lapang dada sambil berserah diri pada Tuhan). Dimana ada penekanan pada
mengedepankan rasa sabar ketika disakiti oleh orang lain dan menyerahkan
pembalasannya pada Tuhan yang Maha Esa. Sebuah sikap yang diajarkan untuk lebih
menjunjung nilai spiritualitas pada setiap permasalahan hidup.
Nilai-nilai dalam Falsafah hidup ini begitu memperkuat karakteristik kepribadian
orang Jawa yang lebih menekankan pada menjaga ketentraman batin, keselarasan dan
keseimbangan kehidupan dengan sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi
sambil menempatkan diri individu dibawah warga dan warga dibawah alam
semesta ,
Meskipun kita tidak dapat menutup mata bahwasanya keadaan menjaga keselarasan
ini saat sekarang ini telah mulai mengalami pergeseran, dimana begitu banyak
terlihat fenomena dalam kehidupan sosial warga Jawa di daerah lain dimana konflik-
konflik sudah bersifat terbuka dan mengenyampingkan prinsip keselarasan dan kerukunan
ini . Etnik Jawa juga tidak terlepas dari karakter kepribadian yang berkarakter negatif
dan dapat menjadi perusak prinsip keselarasan hal ini . dalam
karyanya yang berjudul Manusia Jawa Modern memberikan deskripsi beberapa karakter
negatif warga Jawa ditengah kehidupan modern yang diamatinya saat ini.
Diantaranya ialah (1)bertuhan sinkreatis, (2) Feodal dan otoriter, (3) Pendendam dan
kejam, (4)Munafik, (5) Kurang menghargai karya bangsa sendiri, (6) Kurang disiplin, (7)
Suka berpesta dan Mo Limo (kebiasaan melakukan lima pantangan di Jawa yaitu main
yaitu berjudi, madat yaitu mabuk narkoba, minum yaitu mabuk minuman keras, maling
yaitu mencuri dan madon yang artinya yaitu main perempuan. Sehingga apabila hal ini
terus dibiarkan tanpa adanya proses dekonstruksi dalam melekatkan kembali budaya Jawa
yang penuh nilai keluhuran, maka akan banyak generasi muda Jawa yang mengalami
pergeseran dalam menjalani kehidupan sosial tanpa adanya sebuah kosmologi yang harus
dijaga keteraturannya
Hasil dari penelitian mengenai Sindroma Budaya Gangguan Kepribadian Abnormal
Meso Pada Lelaki Etnik Jawa dalam Analisis Antropologi Psikologi Di Desa Meranti
Kecamatan Meranti Kabupaten Asahan, memberikan kesimpulan bahwa
Mesu/Mesu/Kesuh yang bermakna kesal hati yaitu gangguan kepribadian pada pria Jawa
di Desa Meranti yang terwujud dalam bentuk marah, memaki dan sumpah serapah secara
tiba-tiba namun diluapkan saat sedang sendiri. Kemudian Faktor yang memicu
beberapa pria Jawa di Desa Meranti mengalami Gangguan kepribadian Mesu/Mesu/Kesuh
bukanlah sebab faktor bawaan ataupun masalah kepribadian, melainkan sebab faktor
permasalahan sosial budaya rumah tangga. Diantaranya yaitu terdapatnya pembagian
peran domestik yang melibatkan pria, pola menetap yang bersifat virilokal pasca menikah,
tekanan problematika kebutuhan domestik dan pengasuhan anak, serta lingkungan
pekerjaan yang berada berdekatan dengan tempat tinggal. Selain itu juga, Gangguan
kepribadian Mesu/Mesu/Kesuh merupakan wujud pertentangan batin para pria Jawa di
Desa Meranti yang terenkulturasi nilai etika hidup etnik Jawa yang mengajarkan
kewajiban dalam menjaga keselarasan dan harmoni sosial, dengan kekesalan hati yang
seharusnya diluapkan kepada individu yang bersangkutan.