Rabu, 12 Februari 2025

kepribadian ganda 8



 berdasar  interview yang dilakukan peneliti dengan subjek, peneliti 

menemukan fakta bahwa pada awalnya ketika subjek merasakan ada kepribadian 

lain yang subyek alami, seperti perubahan mood, perubahan sikap, perubahan 

emosional dan pencarian jati diri. Subjek merasa orang lain tidak akan bisa 

memahami atau tidak sependapat dengan subyek. Awalnya subyek merasa 

terpuruk dan keterpurukannya tak menemukan titik terang. Terkadang pula 

subyek bertanya pada diri sendiri, subyek merasa ia tidak normal seperti anak lain 

pada umunya. Namun, subyek ini  mengaku terkadang sulit menerima 

kenyataan kondisi jalan hidupnya. Pada awalnya mereka belum bisa 

mengikhlaskan atas kejadian buruk yang pernah dialaminya dan 

mengikhlaskannya sangat sulit sekali namun setelah berjalannya waktu disertai 

terapi ringan ini  mereka mampu menerima kondisi dan keadaan 

perkembangan diri mereka.  

 Individu perlu memahami posisinya dalam keluarga dan lingkungan sosial 

sekitarnya. Posisi subyek harus siap menerima kenyataan hidup apapun. 

Sedangkan lingkungan dimanapun subyek tinggal mempunyai peranan yang 

sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan dan perubahan kepribadian subyek. 

Kedudukan dan fungsi coping stress bersifat fundamental, karena pribadi yaitu  

 

motivator utama dan dukungan keluarga juga merupakan wadah pembentukan 

akhlak yang pertama bagi subyek. 

 Sebagaimana diungkapkan oleh Watkins, ego state dalam penelitian ini 

merupakan suatu perubahan positif individu dalam sebuah kejadian dalam hidup 

yang berdampak negatif sehingga membawa kepada tekanan fisik dan psikis. 

Dalam artikel Adi W. Gunawan “ego state dan alter” yang menyatakan bahwa 

ada dua  jalur jenis ego state yaitu normal ego state dan ego state. Normal ego 

state mampu berkomunikasi dengan baik dengan ego state lainnya. Sedangkan 

alter yaitu  ego state yang jalinan komunikasinya sangat buruk atau (hampir) 

terputus dengan ego state lainnya.1 

 Subjek yang ditemukan dalam penelitian ini mengacu Watkins yakni, (a) 

Ego state umumnya tercipta saat seseorang masih kecil atau di usia muda. Namun 

dalam diri klien juga bisa ditemukan ego state janin, bayi, anak kecil, remaja, 

dewasa, atau orang tua. Ego state juga mempunyai jenis kelamin pria dan wanita. 

(b) Ego state ini bisa ada dalam diri baik klien pria maupun wanita. Dengan kata 

lain, dalam diri seorang wanita bisa ada ego state berjenis kelamin baik pria 

maupun wanita, mulai yang usia muda hingga yang tua. Demikian juga dalam diri 

seorang pria.2 (c) Kemampuan sosial atau interpersonal di dalam penelitian ini 

karena labelling negative dari diri sendiri membuat kemampuan bersosialisasi 

menjadi terhambat. 

                                                            

 Kenyataan yang terjadi pada sekarang yaitu  kurangnya perhatian pada 

pada diri sendiri, belum berani menampilkan dirinya atau terjun di masyarakat 

pada masa mendatang. Kurangnya percaya diri ini menyebabkan individu akan 

lebih mencari perhatian pada dunia lain seperti asyik sendiri bahkan 

menghadirkan teman khayalannya. Pada kenyataannya juga sekarang ini ada 

beberapa orang yang memiliki teman imajinasinya yang ia ciptakan sendiri 

melalui fikirannya, misalnya bisa berupa suara dan mereka seperti berbicara 

sendiri. 

 Hal ini  menunjukkan pada kita betapa pentingnya perubahan dan 

perubahan kepribadiannya. Hal ini  pada dasarnya bersifat fundamental 

karena pada hakikatnya subyek harus membangun perubahan ego state pada diri 

subyek agar tidak dipandang sebelah mata bahkan tertekan pada diri sendiri. 

Orang tua atau keluarga merupakan tempat dan lingkungan pertama bagi 

subjek yang sangat berperan penting dalam setiap perkembangan pribadi subjek. 

Hal ini akan terkait dengan adaptasi subjek ketika ada permasalahan hidup yang 

datang pada diri subyek. Peneliti menemukan data bahwa coping stress yang baik 

untuk subjek kepribadian ganda yaitu  menerapkan smith therapy untuk 

pengendalian diri yang tak lain yaitu  untuk berserah diri pada Tuhan dan selalu 

bersyukur hingga sekarang diberi umur panjang. Sehingga nantinya diharapkan 

akan terbentuk ego state yang positif. 

 Sebenarnya subyek dapat merubah kepribadiannya tetapi menurut 

penuturan salah satu subyek cara menemukan jati diri sangatlah sederhana tetapi 

belum menemukan yang haq. Adapun proses dan tahapan ego state dengan 


 

melalui beberapa tahap terapi ringan menurut Watkins dan Watkins menyebutkan 

ego state dan introject walaupun sama-sama disebut sebagai Part atau Bagian Diri 

namun berbeda menurut sumber terciptanya. Ego state berasal dari dalam diri 

subyek sedangkan introject berasal dari luar. Introject yaitu  persepsi tentang 

seseorang yang terinternalisasi ke dalam pikiran bawah sadar. Dengan demikian 

bisa terdapat sangat banyak introject dalam diri seseorang. Dalam proses terapi, 

khususnya saat memakai   teknik ego state therapy, untuk bisa memproses 

trauma, maka ego state yang mengalami trauma perlu diaktifkan agar emosi yang 

tersimpan dalam ego state ini bisa diproses,

 Tiga tahapan modifikasi perilaku yang terjadi ketika seseorang mengalami 

perunahan ego state antara lain yaitu, anteseden, perilaku dan konsekuaensi.

Adapun subjek Si A dan Si Z saat mereka mengalami perubahan ego state dan 

individu berkepribadian ganda yang sangat tidak menyenangkan dalam hidup 

tetapi mereka dapat tercapai tahap antecedent (antisipasi). Sedangkan subjek Si Z 

yang masih mencapai tahap behaviour (perilaku) dan subjek Si A mampu 

mancapai tahap consequence (konsekuen). Dengan melalui beberapa proses 

tahapan sehingga dapat individu membentukan perubahan ego state. 

 Beberapa point ini  sesuai dengan pada kenyataan dilapangan 

beberapa cara merubah kepribadian ganda subyek yang dilakukan subjek 

penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Diantaranya yang pertama menanamkan 

antecedent (anteseden) pada individu berkepribadian ganda, dimana subjek juga 

mengantisipasi jika terbawa emosi maka dapat merubah kepribadian. Kedua 

                                                             

mengenai behaviour (perilaku)subyek ketika mulai terjadi perubahan kepribadian 

dan bagaiman caranya agar sikapnya tidak berubah dan tetap dalam emosi stabil, 

dalam teori diatas diungkapakan membiasakan diri untuk selalu berdoa pada 

Tuhan, kenyataannya dengan kehidupan subjek dilapangan yaitu subjek selalu 

berusaha memperbaiki diri dengan membimbing diri sendiri agar tetap di jalan 

Tuhan. Ketiga menerima consequence (konsekuen) ketika subyek berhasil 

merubah ego state positif maka akan ada hasilnya, ketika subjek sudah merubah 

sifat subjek menjadi lebih baik maka subjek mendapat konsekuensi ini . 

 Hal-hal ini  menurut pengakuan subjek tentunya memanglah tidak 

mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama dan terus melalui beberapa 

tahapan. Individu berkepribadian ganda yaitu  salah satu individu yang sering 

memiliki mood yang berubah-ubah terkadang kacau bahkan sering menghadirkan 

sosok dalam imajinasinya. Maka dari itu peneliti ingin mengarahkan individu 

yang memiliki kepribadian ganda itu agar individu bisa mengolah tingkat 

emosionalnya dan mulai mengenali jati diri mereka yang haq. 

 Jati diri yang dimaksud disini yaitu  menemukan jati diri dalam diri setiap 

individu dalam arti mereka benar-benar mengenali diri mereka sendiri. 

Menemukan yaitu  pengalaman yang mencerahkan. Subjek dapat beradaptasi 

dimanapun tempatnya dan melakukan hal-hal untuk diri sendiri, untuk pertama 

kalinya. Perasaan ini sulit dijelaskan dengan kata-kata, tetapi jika subyek belum 

mengetahui siapa diri subyek sebenarnya, hal ini sulit untuk diabaikan. 

Menemukan jati diri tidaklah mudah, tetapi seperti kata pepatah, hasilnya akan 

setimpal. Individu manapun pasti ingin segera mengetahui seperti apa jati diri itu, 

 

begitu juga harapan yang dimiliki subyek berkepribadian ganda yang memiliki 

bermacam karakter hingga terkadang lupa apa yang telah terjadi begitu saja. 

Mereka juga mendapat dukungan terhadap keluarga, atau orang terdekat seperti 

teman yang mereka percaya. Subyek meyakini bahwa semua yang terjadi dengan 

kehidupan mereka yaitu  sudah takdir dari Sang Maha Kuasa, mereka yakin 

dengan menerima kedaan perubahan ego state yang mereka alami. Mereka juga 

tak lupa untuk selalu bersyukur dan ibadah kepada Tuhan. 

B. Dampak Positif Perubahan Ego State Study Individu Berkepribadian 

Ganda 

 Ego yaitu  perasaan yang kuat akan jati diri subyek yang sangat penting. 

Hilangnya identitas yaitu  sebuah penyakit. Perasaan akan identitas yang terpisah 

merupakan tabir antara manusia dengan Tuhan. Perasaan inilah yang 

mengacaukan kenyataan dan menghalang imanusia untuk mengetahui sifat 

ketuhanan. Tujuan transformasikan ego yaitu  mengilangkan perasaan identitas 

terpisah ini . Ketika akhirnya kita menyadari kefanaan diri, pribadi dapat 

menyempurnakan persatuan manusia dengan Tuhan. 

Perbedaan antara ego positif yang sehat dan ego negatif yang 

mementingkan diri sendiri dalam psikologi sufi. Carl Jung, menuliskan bahwa ego 

haruslah kuat agar mampu mengatasi perubahan radikal dan tuntunan yang intens 

dari jalan spiritual. Hal ini berarti penghormatan terhadap diri sendiri dan 

kesadaran akan kemampuan dan sifat manusia yang positif. 

Ego positif membantu kita untuk mencapai tujuan kita. Ego negative 

memamerkan kesadaran akan nilai diri berlebihan, serta pendekatan yang egois 


atau pemusatan pada diri sendiri terhadap kehidupan. Ego negative secara 

continue berusaha agar kita melayaninya; bagaikan member tunggangan pada 

seekor keledai dan bukannya menunggangi keledai ini .

Dilihat dari seberapa sering suatu ego state muncul atau aktif maka kita 

mengenal ada dua jenis ego state yaitu surface dan underlying ego state. Surface 

ego state yaitu  ego state yang sering muncul atau digunakan dalam menjalani 

hidup dan berinteraksi dengan lingkungan. Sedangkan underlying ego state yaitu  

ego state yang jarang muncul atau digunakan. Saat seseorang mengalami suatu 

pengalaman hidup dengan memakai   ego state tertentu maka ego state ini 

disebut sebagai ego state yang executive atau yang memegang kendali. Secara 

umum dalam keseharian surface ego state yang aktif berkisar antara empat hingga 

lima. 

Ego state saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Umumnya yang 

paling mudah diajak berkomunikasi yaitu  surface ego state karena mereka 

mudah untuk berbagi informasi. Bisa juga terjadi ada underlying ego state yang 

tidak berkomunikasi dengan surface ego state. Bila demikian kondisinya kita 

tidak bisa mengakses informasi yang ada pada underlying ego state ini dengan 

memakai   cara biasa,

Ketika dada kita telah dibersihkan dan hati kita telah terbuka, kita mulai 

mampu melampaui permukaan luar dan merasakan apa yang tersembunyi di 

dalam. Perilaku yang melukai orang lain atau melanggar prinsip-prinsip spiritual 

                                                             

 

umum (kejujuran, ketulusan dan belas kasih) cenderung akan menutup dan 

mengeraskan hati. Menjadi seorang darwis yang miliki hati lembut, peka dan 

penuh pemahaman.

Jika subyek menyadari bahwa hati manusia yaitu  kuil Tuhan, maka 

kepekaan kita terhadap nafs, dan keseluruhan psikologis kita akan 

tertransformasikan. Dari sudut pandang ini, kita bukanlah makhluk duniawi yang 

mencari spiritualitas; kita yaitu  makhluk spiritual yang berusaha menemukan 

diri kita yang sejati.

Untuk kebaikan dan kemajuan diri subyek, pahamilah  bahwa ada bagian-

bagian diri kita yang hidup dan terbentuk selama aktivitas dan interaksi dengan 

lingkungan. Bagian diri ini hidup dan berkembang bersama kita. Bagian diri ini 

punya emosi lapisan lapisan emosi dan kesadaran sendiri. 

Fahamilah bagian diri ini atau ego personality dalam diri subyek bisa lebih 

dari satu dan konon paling sedikit ada lima. Pahami juga ketika subyek 

mengalami konflik diri, sebenarnya yang terjadi yaitu  konflik antara ego 

personality yang ada di dalam diri subyek. Ego personality dalam diri subyek pun 

bisa terbentuk dari interaksi dengan orang lain – dalam istilah kami disebut 

introjects. Beberapa manfaat lainnya memahami konsep ego personality yaitu  

antara lain: 

1. Subyek akan sadar dan tahu cara mengatasi konflik antara bagian-bagian diri 

ini. 

                                                           

2. Subyek akan mampu “switch” dari satu bagian diri ke bagian diri yang lain 

(secara sengaja dan dengan kesadaran penuh).9 

 Perubahan berperilaku baik atau tata karma yang baik. Bertindak dengan 

penuh perhatian, kesantunan, kehalusan budi bahasa, keagungan dan 

penghormatan terhadap orang lain.10 Kualitas perilaku kerap menja disangat luar 

biasa ketika melihat orang-orang melayani. Hubungan kasih sayang dan kepekaan 

mulai terlihat dari sifat seseorang.11 Rasa syukur pada Tuhan di setiap insan 

yaitu  sifat terbaik. Rasa syukur itu pasti didasari oleh perubahan ego state pada 

subyek yang telah merasakan nikmatnya menemukan jati diri setelah melalui 

berbagai rintangan duniawi. Makadari itu manusia seharusnya tak boleh lepas dari 

perasaan bersyukur pada sang Ilahi atas segalanya yang telah anugrahi kehidupan 

ini. 

 

                                                             


Sindroma budaya meso yaitu  sebuah bentuk berperilaku meluapkan kekesalan hati 

dengan wujud memaki, menghujat, dan berkata buruk yang dilakukan berulang oleh 

penderita Mesu disaat sedang sendiri. Sindroma budaya gangguan kepribadian yang 

dialami oleh lelaki Jawa di Desa Meranti Kabupaten Asahan yang disebut dengan 

Mesu/Meso/Kesu. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan pendekatan 

Antropologi Psikologi yang didukung dengan teknik wawancara riwayat hidup (Life 

history) dan pengamatan (participant observer) yang dilakukan secara mendalam terkait 

dengan karakteristik sindroma budaya Mesu dan aktivitas sosial budaya warga  

setempat untuk menemukan faktor penyebab terjadinya gangguan kepribadian Mesu 

Budaya Etika hidup yang begitu kuat dalam menjaga keharmonisan keluarga dan sosial 

menjadi salah satu penyebab gangguan kepribadian ini terjadi. 

Permasalahan gangguan kepribadian merupakan kajian yang selalu mendapatkan 

sorotan di dalam pembahasan kesehatan mental. Gangguan kepribadian menjadi masalah 

laten yang sejatinya terus tumbuh di lingkungan hidup berwarga . Data dari Riskesdas 

pada tahun 2018 yang tercantum dalam informasi website resmi Kementerian Kesehatan 

Republik Indonesia pada tanggal 15 oktober 2019 menjelaskan bahwa 7 dari 1000 rumah 

tangga terdapat anggota keluarga dengan gangguan kepribadian. Kemudian lebih dari 19 

juta penduduk diatas usia 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, lebih dari 12 

juta orang di Indonesia yang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah mengalami 

depresi. Hal ini menunjukkan prevalensi yang sangat meningkat dari data terakhir dari 

WHO yang menyebutkan pada tahun 2010 warga  Indonesia yang mengalami 

gangguan kepribadian dan berujung pada tragedi bunuh diri mencapai 1,6 juta hingga 

1,8% per 100.000 jiwa. 

Peningkatan yang siginifikan ini kemudian menyoroti peran dari aspek kesehatan 

mental diri, aspek kesehatan mental di keluarga dan aspek kesehatan mental di lingkungan 

sosial, yang dianggap sebagai beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya 

permasalahan gangguan kepribadian. Ironisnya, fokus perhatian penanggulangan 

permasalahan sampai saat ini masih terkesan menitikberatkan pada upaya yang bersifat 

kuratif (proses penyembuhan). Proses penanggulangan dalam bentuk penyembuhan tentu 

sangat diperlukan, namun perlu juga dipahami bahwa perlunya dilakukan proses 

penanggulangan permasalahan dalam bentuk yang preventif agar karakteristik dan 

penyebab gangguan kepribadian dapat dikenali dan kemudian dapat ditanggulangi 

sebelum keadaan semakin buruk. 

Gangguan kepribadian menurut pandangan psikologi 

dianggap sebagai sebuah keadaan kepribadian yang kaku dan mengalahkan pengontrolan 

terhadap diri sendiri. Sehingga mempengaruhi fungsi kepribadian itu sendiri dan bahkan 

memicu  gejala psikiatrik yang memunculkan penderitaan bagi diri individu dan 

lingkungan sosial. Beberapa hal yang dianggap menjadi faktor penyebab munculnya 

gangguan kepribadian ialah faktor genetik, faktor temperamental, faktor biologis, dan 

faktor psikoanalitik. Hanya saja, diagnosis terkait dengan karakteristik gangguan 

kepribadian dan juga faktor penyebabnya harus mengikuti alur diagnosis psikiatrik oleh 

seorang psikiater ataupun psikolog, dan tidak bisa hanya sekedar diterka-terka seperti yang 

selama ini terjadi ditengah warga  

 

Gangguan kepribadian juga sering dianggap sebagai gangguan jiwa ataupun gangguan 

mental. Hal ini disebab kan gangguan kepribadian merupakan bagian dalam gangguan 

mental organik yang meliputi atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya 

penyakit, cedera, pengalaman traumatik yang berakibat tidak berfungsinya jaringan-

jaringan di dalam otak. Gangguan kepribadian memiliki ciri bersifat tidak fleksibel dan 

maladaptif yang memicu  disfungsi respon individu terhadap situasi pribadi, terhadap 

hubungan dengan orang lain ataupun dengan lingkungan sekitar 

Hal yang sering dikesampingkan dan sebenarnya perlu dipahami secara koheren 

yaitu  permasalahan gangguan kepribadian sesungguhnya sangat berkaitan erat dengan 

pola budaya setempat yang teraktualisasi dalam proses interaksi suatu kelompok 

warga . Budaya berperan menciptakan pedoman cara hidup, pandangan, norma dan 

aturan dalam hubungan sosial yang bersifat khas dan lokalitas. Pedoman dan cara hidup 

ini kemudian mengatur pola interaksi dalam satu kehidupan komunal. Akan tetapi acuan 

bertindak tidak selalu dapat terinternalisasi pada diri setiap anggota warga , bahkan 

terkadang memberikan tekanan pada psikis individu yang berdampak pada munculnya 

gangguan kepribadian yang khas dan bersifat lokalitas. Gangguan kepribadian yang 

bersifat lokalitas ini biasa disebut dengan sindroma budaya. 

Istilah sindroma budaya menunjukkan pola perilaku gangguan kepribadian yang 

mengarah pada perilaku abnormal. Banyak dari pola ini yang secara lokal dianggap 

sebagai “penyakit” atau setidaknya penderitaan, dan sebagian besar diantaranya memiliki 

nama lokal. Meskipun presentasi gangguan kepribadian ini dikategorikan sebagai 

gangguan mental yang dapat ditemukan di seluruh dunia gejala-gejalanya, namun terdapat 

respon-respon sosial tertentu yang dipengaruhi oleh faktor budaya lokal. Kiev dalam 

menjelaskan bahwa fenomena Sindroma budaya merupakan 

gangguan-gangguan yang sebagian besar yaitu  varian- varian psikosi yang mirip dengan 

label gangguan jiwa di Barat, namun lokasi dijumpainya varian psikosis ini terhubung 

dengan peta kebudayaan warga  setempat. Jika peta kebudayaan berubah, maka 

sindroma budaya juga akan berubah. Bahkan karakteristik gangguan kepribadian seperti 

ini selalu dikaitkan dengan mitos-mitos warga  setempat. Karakteristik seperti ini di 

daratan Eropa sama sekali tidak ditemukan. 

Sedangkan Dina (Yuniarti.2020:8) mendefenisikan sindroma budaya sebagai pola 

perilaku abnormal yang berulang dan spesifik lokalitas berdasarkan pengalaman 

bermasalah yang mungkin terkait atau tidak terkait dengan kategori diagnosis gangguan 

kepribadian tertentu. Sindrom biasanya terikat dengan budaya umumnya terbatas pada 

warga  atau wilayah tertentu dan terlokalisasi, dan diagnosisnya membingkai makna 

koheren untuk merangkai pengalaman dan pengamatan tertentu yang berulang, berpola, 

dan mengganggu dalam budaya yang dilakukan dikehidupan nyata. Terdapat berbagai 

bentuk sindroma budaya di berbagai wilayah dan hal memiliki karakteristik ataupun 

tipenya masing-masing tergantung dengan tipe kebudayaan setempat. Seperti sindroma 

budaya Piblokto yang terjadi pada orang Eskimo (Jusson. 1960), Sindroma budaya 

Windigo yang terjadi pada suku Indian (Teicher. 1961). Pengkajian sindroma budaya tidak 

hanya dilakukan di berbagai wilayah di Eropa dan Amerika, namun juga terdapat beberapa 

penelitian tentang sindroma budaya yang terfokus pada etnik di Indonesia. Salah satu 

penelitian sindrma budaya yang paling popular yaitu  penelitian Hildreed Geertz (1982) 

tentang Latah pada wanita Jawa di Pare Jawa Timur. Namun selain itu juga terdapat 

beberapa penelitian lainnya seperti Baasir (1974) yang menjabarkan hasil penelitiannya 

tentang Koro sebagai sebuah bentuk sindroma yang terjadi pada keturunan Cina di 

Indonesia. Koro yaitu  sindroma anxietas yang mendadak sampai dengan panik 

disebabkan oleh adanya paham bahwa alat kelaminnya akan mengkerut masuk dan 

menghilang ke dalam tubuhnya sehingga dirinya akan mati, pada umumnya terjadi pada 

laki-laki. Orang itu akan berusaha mencegah dengan cara memegang erat-erat alat 

kelaminnya atau mengikat dengan tali, kalau perlu meminta bantuan orang lain memegang 

alat kelaminnya secara terus-menerus. Tidak hanya terjadi pada lelaki keturunan Cina saja, 

namun Tanumiharja (1984) juga menelusuri bahwa Koro juga terjadi di Sulawesi Selatan. 

Hal ini disebab kan Koro pada budaya Bugis dianggap menyalahi keadaan vitalitas yang 

harus dimiliki. 

Penelitian lainnya terkait dengan sindroma budaya yaitu  penelitian yang dilakukan 

oleh Aris Fauzan (2017) yang berjudul Sindrom Barat dan Pemberontakan Tak Sadar 

(Analisis Kritis Pergeseran Makna Amuk dalam Lintasan Sejarah). Hasil penelitian ini 

menjelaskan bahwa dalam  perkembangannya  amuk  dijadikan sebagai  bahasa  

psikopatologi  bagi  kalangan  yang  melakukan  tindakan  brutal  sebab  sebab kesehatan 

mental. Selain Sindroma budaya Amuk, juga terdapat penelitian tentang sindroma budaya 

Latah Latah yang dilakukan oleh Sri Pamungkas (2018) di dalam tulisannya yang berjudul 

Menafsir Perilaku Latah Coprolalia pada Perempuan Latah dalam Lingkup Budaya 

Mataraman: Sebuah Kajian Sosiopsikolinguistik. Penelitian ini menjabarkan diksi  yang 

terungkapkan  antara  penyandang  latah pribumi  dan  pendatang  mengalami  sedikit 

perbedaan,  utamanya  dalam  mengungkapkan  alat kelamin  lakil-laki  dan  perempuan. 

Penelitian sindroma budaya Latah kemudian mendapatkan perhatian minat dari 

peneliti lainnya seperti yang dilakukan oleh Andi Saputra Tanjung (2019) yang berjudul 

Kajian Psikolinguistik Terhadap Perilaku Berbahasa Orang Latah: Studi Kasus Pada 

Beberapa Warga Jalan Garu Iii Medan Amplas, Kota Medan. Hasil penelitiannya 

mengungkapkan bahwa Faktor lingkungan dan mimpi yang memicu  beberapa warga 

Jalan Garu III Medan Amplas  Kota  Medan berperilaku  berbahasa latah. Selanjutnya 

pengkajian yang dilakukan Habib Rois (2020) tentang Digitalisasi Tuturan Psikogenik 

Latah (Kajian Fonetik Akustik). Tulisannya ini menjabarkan bahwa Faktor psikologis 

yaitu  faktor dominan yang memicu  gangguan psikogenik latah, selain itu juga 

Perbedaan  pola  pada  tuturan lain  hanya berkaitan dengan jumlah kata yang diulang-

ulang, secara garis besar bunyi vokoid netral berperan sebagai puncak intensitas tuturan 

latah Echolalia 

Para peneliti budaya telah melihat ada keterkaitan antara karakteristik budaya pada 

warga  lokal dengan terjadinya sindroma budaya. Beberapa kasus sindroma budaya 

kemudian ditelusuri melalui fokus kajian Antropologi Psikologi dan Psikiatri. Diantaranya 

ialah sindroma budaya Koro pada lelaki di wilayah Cina, Amok pada warga  Melayu 

di Asia Tenggara, Senu yang dialami oleh etnik Karo di Sumatera Utara dan Latah yang 

terjadi pada wanita Jawa. Penelitian antropologi psikologi dan psikiatri tentang Latah pada 

wanita Jawa yaitu  pengkajian yang dilakukan Hildred Geertz yang cukup mendapatkan 

perhatian dari pengkaji budaya lainnya. Hildreed Geertz (1982) salah seorang Antropolog 

yang menelusuri sindroma budaya gangguan kepribadian Latah pada wanita Jawa di Pare 

dari hasil penelitiannya menjabarkan keterkaitan perubahan keadaan pada warga  

Jawa di Pare pola budaya kehidupan memicu  problematika Maladaptasi wanita Jawa 

di dalam kehidupan berwarga nya. Keadaan Maladaptasi ini kemudian memunculkan 

sebuah perilaku abnormal pengulangan kata-kata (Latah) yang dibarengi dengan perilaku 

terkejut dan terkadang mengarah pada kata yang bermakna “jorok” 

Bentuk Sindroma budaya juga ditemukan terjadi pada warga  Jawa di Kabupaten 

Asahan. Sindroma budaya ini memiliki karakteristik hanya terjadi pada lelaki Jawa yang 

tinggal di wilayah ini  saja dan kasus yang paling terbanyak yaitu  di wilayah desa 

Meranti Kecamatan Meranti. Sedangkan para wanitanya sama sekali tidak menunjukkan 

gejala perilaku yang serupa. Tentu saja hal ini tidak terlepas dengan pola hidup, sistem 

sosial budaya setempat dan terkhusus pada pola budaya yang dijalankan dipahami dan 

dijalankan oleh para lelaki Jawa setempat 

  

Jenis penelitian ini yaitu  penelitian kualitatif dengan pendekatan Antropologi 

Psikologi. Pendekatan Antropologi Psikologi selalu digunakan dalam mengungkap 

fenomena kejiwaan suatu warga  dengan menitikberatkan pada khasanah pola budaya 

setempat, hal ini disebab kan fenomena kejiwaan merupakan wujud dari pola-pola budaya 

lokal yang hidup dan diwariskan turun temurun, dan akan lebih tepat jika ditelaah dalam 

ranah berfikir, konsep dan teori keilmuan Antropologi 

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu  dengan metode etnografi. 

Metode ini digunakan peneliti untuk melihat fenomena sosial dan kultur lokal secara detail 

dengan menjadi bagian (life in) dari warga  lokal sehingga dapat menemukan suatu 

pola budaya yang mempengaruhi munculnya wujud perilaku abnormal Mesu/ Kesu/Meso 

pada lelaki Jawa di lokasi penelitian. Informan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua 

jenis yaitu informan kunci dan informan pendukung. Adapun yang menjadi informan 

kunci dalam penelitian ini yaitu  penderita Mesu itu sendiri yaitu Pak Abdullah (75), Wak 

Beruh (69), Wak Rebu (60) (identitas disamarkan). Kemudian informan pendukung yaitu 

para keluarga penderita Mesu. Dalam proses pengumpulan data menggunakan Teknik 

pengamatan secara langsung (observasi partisipasi) pada pola hidup dan kondisi sosial 

budaya warga  setempat, dan wawancara mendalam (deep interview) secara tidak 

terstruktur kepada penderita Mesu dan keluarganya, dengan cara tinggal bersama 

warga  yang diteliti (life in) agar dapat melakukan penelusuran informasi secara life 

history penderita Mesu yang diteliti 

Data yang dikumpulkan kemudian di analisis data mengikuti tahapan analisis data 

etnografi Spradley (2017) yaitu : (1)Analisis domain dilakukan untuk memperoleh 

gambaran umum dan holistik mengenai pola budaya kehidupan sehari-hari para lelaki 

Jawa di desa Meranti. Analisis domain dilakukan dengan mengumpulkan keseluruhan 

hasil wawancara. Selanjutnya dengan (2)analisis taksonomi yang dilakukan setelah 

langkah pertama terlaksana. Analisis ini dilakukan dengan memilah hasil wawancara yang 

lebih mengarah pada focus penelitian dan melakukan elaborasi dengan hasil pengamatan 

yang sudah dinarasikan. Kemudian melakukan (3)analisis komponen yang dilakukan ialah 

dengan mencari perbedaan atau yang kontras dan memutuskan domain manakah yang 

harus dipelajari secara mendalam terkait penelitian ini . Lalu (4)Analisis tema 

menjadi bagian akhir yang merupakan keterkaitan antara berbagai domain (hasil 

wawancara dan pengamatan). Analisis tema menjadi langkah untuk memahami secara 

holistik “fenomena” yang sedang diteliti dan interpretasi didalamnya. Sehingga penarikan 

kesimpulan akan bentuk gangguan kepribadian Meso dan juga faktor penyebab terjadinya 

dapat dijabarkan.  

Lelaki Jawa Desa Meranti dan Karakteristik  Meso/ Mesu/ Kesuh 

warga  Desa Meranti Kabupaten Asahan merupakan warga  yang ditinggali 

oleh mayoritas etnik Jawa. Meskipun di wilayah ini juga terdapat etnik lainnya namun 

rasionya begitu berbeda. Meskipun belum adanya data sensus desa secara berkelanjutan 

terkait hal ini, namun dari hasil pengamatan ketika berada di desa, kita dapat melihat 

bahwa perbandingan komposisi etnik diwilayah ini hampir 80% diisi oleh etnik Jawa dan 

20%. diisi oleh etnik lainnya seperti etnik Batak Toba, Melayu, Minangkabau, Mandailing 

dan Karo. Keadaan homogenitas di desa ini juga menciptakan sebuah pola tempat tinggal 

yang saling membatasi antara masing-masing etnik. Seperti keberadaan etnik Batak Toba 

yang memilih tinggal berkelompok di bagian depan pintu masuk (Gapura) Desa Meranti, 

sedangkan Etnik Jawa dan lainnya lebih memilih berada di areal dalam desa. Pola menetap 

bermukim ini menurut warga  setempat menciptakan keadaan minimnya terjadi 

interaksi antara etnik-etnik yang berada di bagian dalam desa dengan etnik Batak Toba 

yang berada di areal depan desa Meranti meskipun jalan ini  sering mereka lalui. 

Namun di sisi lain, konflik sosial yang disebabkan oleh dinamika interaksi antar etnik 

ini  juga minim terjadi.  

Keadaan topografi lingkungan yang baik menjadikan desa Meranti memiliki tanah 

yang luas dan subur, sehingga warga  banyak yang bermata pencaharian sebagai 

petani sawah dan berkebun, namun banyak juga warga  yang memilih untuk 

pekerjaan lainnya seperti pengrajin batu bata, buruh bangunan, dan berdagang dirumah. 

Keadaan tempat pekerjaan yang begitu dekat dengan rumah, menciptakan sebuah bentuk 

pola pemeliharaan keluarga dan pembagian peran domestik yang tidak hanya dilakukan 

oleh para wanita saja, namun kaum pria juga terlibat di dalamnya.  

Sindroma budaya Mesu/Meso/Kesuh yaitu  pemaknaan kata yang begitu banyak 

penyebutannya namun memiliki arti yang sama. Mesu/Meso/Kesuh yaitu  kata yang 

berasal dari bahasa Jawa setempat yang dipahami sebagai keadaan kesal hati. Penjabaran 

pemaknaan dari Mesu/Meso/Kesuh yaitu  kondisi di mana seseorang mengalami 

ketidakenakan hati (kekesalan) disebab kan oleh beragam sebab yang dipendam dalam 

diri. Mesu/Meso/Kesuh menjadi sebuah bentuk perilaku dimana seorang individu (lelaki 

Jawa) merasa kesal dan mengungkapkan kekesalan perasaan ini  dengan kata-kata 

kasar ataupun sumpah serapah namun tidak diluapkan pada orang yang bersangkutan. 

Sehingga kekesalan ini  juga membawa bentuk perilaku menyesali kehidupan yang 

dilalui oleh diri sendiri dan terkadang memaki diri sendiri. Mesu/Meso/Kesuh bukanlah 

sebuah perilaku peluapan amarah yang membabibuta ataupun dengan bentuk kekerasan 

fisik yang dilakukan baik kepada diri sendiri ataupun pada orang lain melainkan hanya 

dalam bentuk verbal (ngedumel) dan cenderung dilakukan seorang diri. 

Dari hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan, penulis kemudian 

membagi keadaan Mesu/Meso/Kesuh menjadi tiga tingkatan yaitu: 

1) Meso/Mesu/ Kesuh level Rendah 

    Kesuh rendah yaitu  pengucapan secara lisan dan terbuka berupa perluapan amarah 

yang hanya ditujukan pada diri sendiri ataupun orang lain dalam intensitas yang 

jarang. Artinya kesuh pada tingkatan ini hanya berupa omelan semata individu 

kepada individu lain tanpa ada kata-kata kotor didalam pengucapannya.  

2) Meso/Mesu/ Kesuh level Sedang 

     Kesuh sedang yaitu  pengucapan secara lisan dan terbuka dengan nada yang tinggi 

dan menggunakan kata-kata kasar dalam proses perluapan emosi dan amarahnya 

kepada seseorang. Namun pada dalam kesuh sedang ini, individu ini  

melakukan kesuh hanya sebatas omongan kasar tanpa adanya tindakan fisik ataupun 

tindakan yang berusaha untuk merugikan orang lainn.  

3) Meso/Mesu/ Kesuh level Tinggi 

Kesuh tinggi yaitu  pelontaran kata-kata yang merupakan buah dari amarah akibat 

suatu keadaan ataupun tindakan seseorang yang membuat seorang individu kesal 

dalam skala terbesar. Artinya yaitu  kesuh pada tingkatan ini tidak hanya berupa 

caci makian semata tetapi juga menggunakan tindakan fisik, seperti melempar 

barang-barang individu yang bersangkutan. 

Mesu/Meso/Kesuh sendiri menurut warga  sebenarnya juga terjadi pada pria dan 

wanita hanya saja  memiliki perbedaan antara kesuhnya pria dan kesuhnya wanita. 

Perempuan dianggap lebih ekspresif dalam meluapkan kekesalannya dibanding laki-laki, 

sehingga hal ini  tidak terpendam dan tidak menjadi sebuah gangguan kepribadian. 

Sedangkan laki-laki cenderung menahan, terkadang diam atau diluapkan namun tidak 

pada orang yang bersangkutan. Data hasil wawancara dengan para informan menunjukkan 

bahwasanya ada pengakuan dimana Mesu/Meso/Kesuh ini hanya terjadi pada pria yang 

telah berumah tangga ataupun pasangan suami istri. Permasalahan dirumah tangga 

menurut warga  dianggap menjadi faktor terbesar penyebab terjadinya gangguan 

kepribadian ini akibat dari tidak terbangunnya komunikasi dalam menyelesaikan dinamika 

rumah tangga. Pandangan warga  tentang hal ini di dukung dari hasil temuan penulis 

dimana Mesu/Meso/Kesuh hanya dialami oleh pria yang sudah “berumur” dan berumah 

tangga dalam kurun waktu yang cukup lama. 

Etika hidup orang jawa dan faktor penyebab Mesu/Meso/Kesuh 

Etnik Jawa yaitu  warga  yang dikenal begitu menjunjung nilai-nilai tata karma, 

etika kesopanan dan harmonisasi dalam keluarga dan pergaulan kehidupan sosialnya. 

Konsep Etika dapat dipahami sebagai sebuah kompleksitas 

norma dan penilaian yang dipergunakan oleh warga  yang bersangkutan untuk 

mengetahui bagaimana seharusnya anggota-anggota warga  ini  menjalankan 

kehidupannya. Pada kompleksitas norna dan etika, warga  Jawa begitu mengatur 

interaksi-interaksinya melalui dua prinsip, yakni prinsip kerukunan dan prinsip hormat. 

Kedua prinsip ini kemudian mengatur, menuntut dan menuntun bahwa segala bentuk 

interaksi yang mengarah pada konflik-konflik terbuka harus dicegah, demi menjaga 

keselarasan. menjelaskan bahwa keselarasan menjadi sebuah hukum 

regulative sosial, dimana keselarasan memang harus didahulukan dalam etika hidup orang 

Jawa. Keselarasan menuntut sesuatu dari individu dan menjadi kepribadian yang melekat 

untuk memahami kwajiban tetap dalam menjaga usaha untuk menjamin hak-haknya 

sendiri namun jangan sampai mengganggu keselarasan sosial

Prinsip yang secara hakekatnya ingin membawa pada keselarasan ini ternyata 

dibeberap kasus juga menunjukkan  adanya problematika di dalamnya. Hari Poerwanto 

(2020) dalam bukunya yang berjudul kebudayaan dan lingkungan menjabarakan bahwa 

kepribadian sungkan yang dimiliki orang Jawa sebagai wujud menjaga keselarasan sosial 

ternyata menjadi faktor utama permasalahan lingkungan hidup di desa. Pencemaran 

lingkungan dalam bentuk pembuangan limbah yang sering dilakukan oleh pemilik usaha 

ke selokan maupun ke sungai di desa, tidak pernah mendapatkan respon dari para tetangga 

yang tinggal berdekatan dengan pabrik atau lokasi produksi usaha ini . Para tetangga 

sangat mengetahui keadaan ini, namun tidak ingin ikut campur disebab kan rasa sungkan 

kepada pemilik usaha yang terkenal sangat dermawan dan baik kepada warga. Rasa 

sungkan dan tidak enak hati dalam menjaga prinsip keselarasan sosial inilah yang 

mengakibatkan permasalahan pencemaran lingkungan di desa tetap terjadi tanpa ada 

peringatan ataupun perhatian yang ditunjukkan oleh warga sekitar. Peran warga  

sebagai salah satu perangkat kontrol sosial termasuk didalamnya kontrol lingkungan sudah 

tidak berjalan dengan seharusnya akibat dari sikap penuh etika sungkan ini  


Kembali pada pembahasan gangguan kepribadian Meso/Mesu/Kesuh pada lelaki Jawa 

di Desa Meranti, dari hasil pengamatan selama life in di desa Meranti, penulis kemudian 

menemukan berbagai hal yang menjadi faktor yang memicu  terjadinya gangguan 

kepribadian Meso/Mesu/Kesuh pada lelaki Jawa di Desa Meranti. Secara garis besar, hal 

ini memang disebabkan oleh permasalahan rumah tangga, namun dapat diperinci sebagai 

berikut : 

1) Pembagian peran domestik yang melibatkan pria. Keterlibatan pria dalam 

membantu pekerjaan domestik sembari juga melaksanakan peran public, 

menjadikan pria (suami) memilik pandangan dan konsep penilaian tentang 

pelaksanaan peran domestik yang benar atau tidak benar, yang optimal atau yang 

kurang optimal. Sehingga terkadang apa yang dikerjakan oleh para wanita (istri) 

dalam pekerjaan dirumah, sering mendapatkan penilaian sepihak dari para pria 

(suami). Ketidakbecusan dalam pengerjaan pekerjaan dirumah, ketidakbecusan 

dalam pengasuhan anak, sering menjadi penilaian yang disematkan. Hal ini  

menciptkan kekesalan hati pada pria, namun hal ini  tidak dapat selalu 

disampaikan pada istri. Hal ini disebab kan apabila hal ini  disampaikan, maka 

akan terjadi ketidakharmonisan dikeluarga maupun konflik rumah tangga. 

Sehingga para pria memilih untuk memendam keadaan ini dan berujung pada 

terjadinya gangguan kepribadian Meso/Mesu/Kesuh. Tidak optimalnya peran 

wanita terkait Seperti yang dialami oleh informan yang dikenal dengan nama Wak 

Rebo yang membenarkan bbahwa orang-orang yang berumah tangga cenderung 

berpotensi memiliki tingkat kesuh yang lebih dibandingkan yang berstatus lajang. 

Kesuh kebanyakan terjadi pada orang yang sudah menikah dan bisa disebabkan 

banyak hal misalnya sebab  masalah pekerjaan rumah yang belum tuntas, merawat 

anak yang dianggap tidak becus dan juga pelayanan pada suami yang dianggap 

kurang optimal. Namun hal ini  tidak dikomunikasikan pada si istri sebab  

biasanya istri akan membela diri dan terjadi konflik di rumah tangga. 

2) Pola menetap yang bersifat virilokal pasca menikah. Para pasangan yang telah 

menikah banyak yang  memilih bertempat tinggal dirumah sendiri namun masih 

berada dilingkungan keluarga pria (virilocal). Pola menetap ini menjadikan 

keadaan di keluarga tidak selalu bebas terutama juga dalam peluapan emosi. 

Keberadaan sanak saudara di sekitaran lingkungan rumah menjadikan para pria 

mencoba menjaga marwah/nama baik keharmonisan dikeluarga dengan cara tidak 

meluapkan emosinya secara terbuka baik pada istrinya ataupun anak. Meskipun 

kebanyakan kasus  Meso/Mesu/Kesuh terjadi sebab  permasalahan antara suami 

dan istri. Para pria (suami) merasa segan dan tidak mau problematika dirumah 

tangganya diketahui oleh sanak saudara, yang pada akhirnya akan dapat membuka 

peluang sanak saudara ini  ikut campur dalam permasalahan ini . 

Sehingga luapan emosi yang ditahankan ini  memberikan tekanan batin, rasa 

kesal ataupun perasaan emosional yang ingin diluapkan namun tetap ditahan dan 

dipendam sedemikian rupa, sehingga terjadi pengumpatan ataupun memarahi diri 

sendiri yang dilakukan oleh para pria ini. 

3) Tekanan problematika kebutuhan domestik dan perawatan anak. Permasalahan 

ekonomi dalam konteks ini berkaitan dengan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan 

barang dan bahan pokok untuk keluarga. Permasalahan ekonomi memang menjadi 

salah satu pondasi dalam banyak hal yang terjadi baik di warga  atau di 

keluarga. Permasalahan ekonomi dalam tulisan ini ialah terkait pekerjaan 

warga  yang sebagian besar berladang dan berdagang. Permasalahan yang 

dihadapi cenderung sama yaitu perihal harga hasil pertanian yang rendah daripada 

harga pakan atau bibitnya, warung sepi pelanggan serta keadaan yang kian makin 

sulit seiring berjalannya waktu. Permasalahan ekonomi ini dapat berimbas pada 

interaksi kepada orang-orang terdekat seperti kesal sebab  harga suatu barang atau 

bahan pokok/hasil tani yang rendah maka seseorang akan malas untuk 

mengerjakan atau menjualnya dan menyalahkan keadaan yang diluapkan pada 

orang-orang di sekitar.  

4) Lingkungan pekerjaan yang berdekatan dengan tempat tinggal. Perlu diketahui 

bahwasannya pekerjaan yang banyak dilakukan oleh para pria di desa ini yaitu  

perladangan yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumah. Selain itu juga bentuk 

wirausaha pembuatan batu bata, perbengkelan, pertokoan dan wirausaha lainnya 

yang juga lokasinya berdekatan dengan tempat tinggal. Keadaan ini disatu sisi 

memang memberikan dampak positif dimana pengeluaran (cost) menjadi lebih 

minim sebab  tidak memerlukan ongkos transportasi menuju tempat kerja dan juga 

biaya makan. Para pria pada saat istirahat kerja selalu dibawakan bekal makan oleh 

para istri mereka ataupun para pria ini  mengambilnya sendiri kerumah yang 

berdekatan dengan tempat kerja mereka. Namun disisi lain, hal ini menjadi 

penambah tekanan psikis pada pria dimana mereka dapat mengamati secara 

langsung keadaan aktualisasi peran domestik yang dilakukan oleh istri serta 

permasalahan-permasalahan kecil dalam pengasuhan anak. Anak-anak ini  

mengadu pada ayah mereka dan hal ini  dibiarkan begitu saja oleh para ibu 

mereka.  Selain itu juga kenakalan-kenakalan kecil yang dilakukan oleh anak 

disekitar tempat kerja si ayah yang tentunya dapat memicu perasaan emosional. 

Perasaan ini tidak dapat diluapkan secara langsung sebab  begitu banyaknya rekan 

kerja dan juga orang lain disekitar yang nantinya akan dapat menyaksikan konflik 

di keluarga ini . Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis, para lelaki 

kebanyakan lebih memilih untuk menahan emosi itu namun tetap saja akan tetap 

tersimpan dihati mereka. Apalagi hal ini  sering diperkeruh dengan 

permasalahan pekerjaan yang dialami seperti target yang tidak tercapai, 

keuntungan yang tidak didapatkan, perladangan yang mengalami permasalahan 

hama dan lain sebagainya.  

Kepribadian dengan karakteristik memendam (permissive) pada peluapan emosional 

diri dari keadaan berumah tangga ini bukanlah suatu karakter yang tiba-tiba ada pada 

lelaki Jawa. Konstruksi dan doktrinisasi sosial budaya begitu mempengaruhi pengambilan 

keputusan memendam rasa emosional mereka. Hal ini juga sangat berkaitan erat dengan 

banyak nilai-nilai budaya yang diinternalisasikan terkait menyikapi permasalahan. Apalagi 

warga  Jawa yaitu  warga  yang sangat menjunjung keteraturan, kesimbangan 

dan keharmonisan hidup. Nilai-nilai dan ajaran yang lebih mengedepankan menjaga 

keharmonisan dan tidak disintegrasi dikeluarga ataupun di lingkungan sosial juga 

ditanamkan dalam banyak falsafah hidup etnik Jawa. Salah satu falsafah hidup yang selalu 

diajarkan yaitu  “Trima yen ketaman, Sakserik sameng dumadi, Tri legawa nalangsa srah 

ing Barthara (ikhlas kehilangan tanpa menyesal, sabar jika  hati disakiti sesama, ketiga 

yaitu lapang dada sambil berserah diri pada Tuhan). Dimana ada penekanan pada 

mengedepankan rasa sabar ketika disakiti oleh orang lain dan menyerahkan 

pembalasannya pada Tuhan yang Maha Esa. Sebuah sikap yang diajarkan untuk lebih 

menjunjung nilai spiritualitas pada setiap permasalahan hidup. 

Nilai-nilai dalam Falsafah hidup ini begitu memperkuat karakteristik kepribadian 

orang Jawa yang lebih menekankan pada menjaga ketentraman batin, keselarasan dan 

keseimbangan kehidupan dengan sikap nrima  terhadap segala peristiwa yang terjadi 

sambil menempatkan diri individu dibawah warga  dan warga  dibawah alam 

semesta ,

Meskipun kita tidak dapat menutup mata bahwasanya keadaan menjaga keselarasan 

ini  saat sekarang ini telah mulai mengalami pergeseran, dimana begitu banyak 

terlihat fenomena dalam kehidupan sosial warga  Jawa di daerah lain dimana konflik-

konflik sudah bersifat terbuka dan mengenyampingkan prinsip keselarasan dan kerukunan 

ini . Etnik Jawa juga tidak terlepas dari karakter kepribadian yang berkarakter negatif 

dan dapat menjadi perusak prinsip keselarasan hal ini . dalam 

karyanya yang berjudul Manusia Jawa Modern memberikan deskripsi beberapa karakter 

negatif warga  Jawa ditengah kehidupan modern yang diamatinya saat ini. 

Diantaranya ialah (1)bertuhan sinkreatis, (2) Feodal dan otoriter, (3) Pendendam dan 

kejam, (4)Munafik, (5) Kurang menghargai karya bangsa sendiri, (6) Kurang disiplin, (7) 

Suka berpesta dan Mo Limo (kebiasaan melakukan lima pantangan di Jawa yaitu main 

yaitu berjudi, madat yaitu mabuk narkoba, minum yaitu mabuk minuman keras, maling 

yaitu mencuri dan madon yang artinya yaitu main perempuan. Sehingga apabila hal ini 

terus dibiarkan tanpa adanya proses dekonstruksi dalam melekatkan kembali budaya Jawa 

yang penuh nilai keluhuran, maka akan banyak generasi muda Jawa yang mengalami 

pergeseran dalam menjalani kehidupan sosial tanpa adanya sebuah kosmologi yang harus 

dijaga keteraturannya 

Hasil dari penelitian mengenai Sindroma Budaya Gangguan Kepribadian Abnormal 

Meso Pada Lelaki Etnik Jawa dalam Analisis Antropologi Psikologi Di Desa Meranti 

Kecamatan Meranti Kabupaten Asahan, memberikan kesimpulan bahwa 

Mesu/Mesu/Kesuh yang bermakna kesal hati yaitu  gangguan kepribadian pada pria Jawa 

di Desa Meranti yang terwujud dalam bentuk marah, memaki dan sumpah serapah secara 

tiba-tiba namun diluapkan saat sedang sendiri. Kemudian Faktor yang memicu  

beberapa pria Jawa di Desa Meranti mengalami Gangguan kepribadian Mesu/Mesu/Kesuh 

bukanlah sebab  faktor bawaan ataupun masalah kepribadian, melainkan sebab  faktor 

permasalahan sosial budaya rumah tangga. Diantaranya yaitu terdapatnya pembagian 

peran domestik yang melibatkan pria, pola menetap yang bersifat virilokal pasca menikah, 

tekanan problematika kebutuhan domestik dan pengasuhan anak, serta lingkungan 

pekerjaan yang berada berdekatan dengan tempat tinggal. Selain itu juga, Gangguan 

kepribadian Mesu/Mesu/Kesuh merupakan wujud pertentangan batin para pria Jawa di 

Desa Meranti yang terenkulturasi nilai etika hidup etnik Jawa yang mengajarkan 

kewajiban dalam menjaga keselarasan dan harmoni sosial, dengan kekesalan hati yang 

seharusnya diluapkan kepada individu yang bersangkutan. 

 


Related Posts:

  • kepribadian ganda 8 berdasar  interview yang dilakukan peneliti dengan subjek, peneliti menemukan fakta bahwa pada awalnya ketika subjek merasakan ada kep… Read More