badian utama" sadar atau memiliki kontrol atas tindakan
yang dilakukan oleh "kepribadian lain."
Jika ahli psikologi menyimpulkan bahwa kepribadian yang
bertanggung jawab atas tindak pidana berbeda dari kepribadian yang
mendominasi terdakwa pada saat evaluasi, hal ini dapat menjadi dasar
pembelaan hukum, seperti pembelaan "tidak bersalah sebab alasan
kegilaan" (Not Guilty by Reason of Insanity). Di sini, ahli psikologi
memainkan peran penting dalam menyediakan penilaian medis yang
objektif mengenai kapasitas mental terdakwa. 87
4. Memberikan Kesaksian sebagai Saksi Ahli
Ahli psikologi juga sering kali dipanggil untuk memberikan
kesaksian di pengadilan mengenai temuan mereka terkait terdakwa yang
didiagnosis dengan DID. Sebagai saksi ahli, psikolog forensik
menjelaskan kepada pengadilan tentang sifat gangguan DID, bagaimana
gangguan ini dapat memengaruhi perilaku terdakwa, dan apakah terdakwa
bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya.88
Kesaksian dari ahli psikologi memainkan peran penting dalam
membantu hakim dan juri memahami dampak gangguan mental pada
perilaku kriminal dan menentukan apakah terdakwa harus dihukum atau
dirujuk untuk perawatan medis atau rehabilitasi.
5. Memberikan Rekomendasi Penanganan atau Rehabilitasi
sesudah terdakwa didiagnosis dengan DID, ahli psikologi dapat
memberikan rekomendasi terkait perawatan atau rehabilitasi yang
diperlukan. Rekomendasi ini mencakup terapi psikologis, terapi trauma,
atau perawatan psikiatrik untuk menangani penyebab trauma yang
mendasari gangguan DID. Dalam beberapa kasus, ahli psikologi dapat
merekomendasikan agar terdakwa ditempatkan di fasilitas kesehatan
mental alih-alih penjara.89
Peranan ahli psikologi dalam proses hukum yang melibatkan penderita
Dissociative Identity Disorder sangat penting untuk memastikan bahwa
terdakwa mendapatkan penilaian yang adil dan tepat terkait kondisi mentalnya.
Ahli psikologi berperan dalam diagnosis, evaluasi kompetensi, penentuan
pertanggungjawaban pidana, memberikan kesaksian sebagai saksi ahli, serta
memberikan rekomendasi rehabilitasi. Semua peran ini mendukung sistem
peradilan dalam menyeimbangkan keadilan hukum dengan perhatian terhadap
kesehatan mental terdakwa.
B. Visum et Repertum Psychiatricum
Visum et repertum yaitu keterangan tertulis yang dibuat dokter atas
permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia,
berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan
peradilan.90 Dasar hukum Visum et Repertum ada dalam Pasal 133
KUHAP yang menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga sebab peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.
Sesuai dengan pasal diatas, Visum et Repertum Psychiatricum yaitu
laporan medis dari pemeriksaan psikiatrik Laporan ini dapat menjadi bukti
penting dalam proses pengadilan untuk menilai kondisi mental pelaku atau
korban, yang bisa mempengaruhi putusan hakim. Visum ini dapat membantu
menentukan apakah seseorang layak bertanggung jawab secara hukum atau
memerlukan perawatan mental. Laporan ini memungkinkan penegak hukum
atau pengadilan untuk mendapatkan pandangan dari ahli terkait kondisi mental
yang bisa memengaruhi perilaku seseorang, baik pelaku maupun korban. Visum
et Repertum Psychiatricum juga dapat digunakan sebagai dasar untuk
menentukan kebutuhan rehabilitasi atau perawatan psikiatrik bagi pelaku atau
korban yang mengalami gangguan mental akibat suatu peristiwa.
Selanjutnya, keberadaan Visum et Repertum tidak hanya diperuntukkan
kepada seorang korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan
tetapi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang
tersangka sekalipun seperti Visum et Repertum Psikiatris. Hal ini selaras
dengan apa yang disampaikan dalam KUHAP Pasal 120 Ayat 1 KUHAP:
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Visum et Repertum Psychiatricum, digunakan sebagai alat bukti surat, hal
ini diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP, yang berbunyi, “Surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasar keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”. Jadi
fungsi dan tujuan Visum et Repertum Psychiatricum sama dengan alat bukti,
yaitu merupakan alat bantu untuk memperjelas keadaan jiwa terdakwa
sehingga penegak hukum dapat memperoleh suatu keyakinan seadil-adilnya.
Keyakinan yang diperoleh hakim dapat dibuktikan secara ilmiah, dengan kata
lain para penegak hukum tidak bisa ditipu dengan akal licik terdakwa untuk
dapat terhindar dari pidana. Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat
bertanggung jawab, maka pelaku dapat dikenai pidana. Sebagai pengecualian
dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHAP sebagai berikut :
(1)Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan sebab jiwanya cacat
dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu sebab
penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
(2)Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya disebabkan sebab jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu sebab penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya
orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
(3)Ketentuan ini dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa
yang terganggu sebab penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang
terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang
dalam persidangan nanti muncul dalam bentuk Visum et Repertum
Psychiatricum, digunakan untuk dapat mengungkapkan keadaan pelaku
perbuatan (terdakwa) sebagai alat bukti surat yang dapat
dipertanggungjawabkan. Bantuan ahli kedokteran jiwa sangat diperlukan
dalam membantu upaya menemukan kebenaran material suatu perkara pidana,
terutama dalam hal terdapatnya gangguan mental dari seorang terdakwa yang
telah melakukan tindak pidana. Hal ini sangat berkaitan dengan tujuan
dari proses peradilan pidana, sebab apabila putusan berdasar pada dugaan
saja, kebenaran material tidak akan terlaksana.91
Pembuktian mengenai keterkaitan antara gangguan jiwa yang dialami
penyandang DID harus lah diawali oleh pembuktian mengenai benar atau
tidaknya terdakwa yaitu seorang penyandang DID. Dalam hal ini, alat bukti
yang sangat diperlukan dan seharusnya memiliki kekuatan pembuktian yang
kuat secara kedudukan alat bukti dalam KUHAP yaitu keterangan ahli. Ahli
yang dapat membuktikan apakah seseorang mengalami gangguan jiwa atau
tidak yaitu seorang psikiater. Psikiater bertugas untuk melakukan
pemeriksaan terhadap kesehatan jiwa pada diri pelaku tindak pidana dan
mengemukakan keterangannya terhadap hal itu di muka persidangan. Untuk
memperkuat keterangannya secara hukum, seorang psikiater harus
mencantumkan hasil pemeriksaannya pada Visum et Repertum Psikiatrikum
(selanjutnya disebut VeRP).
Pelaku tindak pidana yang berdasar hasil pemeriksaan psikiater
terbukti menyandang DID belum tentu dapat dianggap tidak mampu
bertanggungjawab atas perbuatannya, meskipun DID memenuhi unsur sebagai
alasan penghapus pidana dalam Pasal 44 KUHP.93 Untuk membuktikan bahwa
tindak pidana yang dilakukan oleh penyandang DID memiliki keterkaitan
dengan gangguan jiwa yang dimilikinya, maka perlu dipisahkan terlebih
dahulu antara kepribadian utama (host) dan kepribadian alternatif (alter) yang
ada di dalam diri seorang penyandang DID ini . Untuk memisahkan antara
host dan alter pada diri penyandang DID dapat dilakukan dengan cara
mencocokkan karakteristik kepribadian yang ditemukan dengan identitas asli
yang dimiliki oleh tubuh penyandang DID, contohnya seperti akta kelahiran,
KTP, dan berbagai macam bukti identitas lainnya. sesudah mengetahui
kepribadian-kepribadian apa saja yang ada dalam diri penyandang DID,
maka perlu diperhatikan apakah tindak pidana yang dilakukannya yaitu
sebagai akibat dari gangguan jiwa berupa DID yang disandangnya.
Keterkaitan DID dengan tindak pidana yang dilakukan oleh penyandang
DID dapat dibuktikan dengan menggali semua informasi mengenai
kepribadian-kepribadian yang ada dalam diri penyandang DID dan
menghubungkannya dengan keadaan psikis dirinya pada saat melakukan tindak
pidana. Pembuktian hal ini dilakukan dengan menggali kebenaran materiil
tentang kepribadian mana yang mengambil alih kuasa atas diri penyandang
DID pada saat melakukan tindak pidana. Hal ini sebenarnya sudah diatur di
dalam Pasal 38 dan 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP baru).
Dalam hal DID sebagai gangguan jiwa yang disandang oleh pelaku tindak
pidana apabila ternyata kepribadian yang mengambil alih atas dirinya saat
melakukan tindak pidana yaitu host, maka ia dapat mempertanggung-
jawabkan perbuatannya dan dijatuhkan pidana. Penyandang DID yang terbukti
melakukan tindak pidana dalam keadaan sedang dikendalikan oleh alter dapat
dikatakan sebagai orang yang tidak mampu bertanggungjawab berdasar
Pasal 44 KUHP, serta seharusnya tidak lagi perlu dibuktikan mengenai unsur
kesalahan pada dirinya. Dalam situasi seperti ini penyandang DID yang
melakukan tindak pidana tidak dapat dipidana, namun dalam putusannya
hakim dapat memasukkan terdakwa ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan
perawatan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Ayat 2 KUHP. Sebaliknya,
apabila penyandang DID yang melakukan tindak pidana dalam keadaan host
sedang mengambil alih atas kuasa dari dirinya maka perlu dibuktikan kesalahan
yang ada pada dirinya.
TINDAK PIDANA PENDERITA DISSOCIATIVE IDENTITY DISORDER
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Penderita Dissociative Identity Disorder
Pidana umumnya pada masyarakat awam dikenal dengan sebutan sanksi
pidana atau hukuman. Pidana yaitu sebuah derita (nestapa) yang dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Dalam
Pasal 10 KUHP, pidana dibagi menjadi pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim.
Pidana dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya. Dalam hal penjatuhan
pidana terhadap pelaku tindak pidana ada syarat-syarat yang harus dipenuhi,
diantaranya :
a. Ada perbuatan pidana yang dilakukan;
b. Ada pelaku yang mampu bertanggungjawab;
c. ada kesalahan;
d. Tidak ada alasan pemaaf.
Apabila satu syarat saja tidak terpenuhi, maka pelaku tindak pidana tidak
dapat dibebankan dengan pertanggungjawaban pidana. Orang yang mampu
mempertanggung-jawabkan perbuatannya dapat diartikan sebagai orang yang
dianggap mampu menyadari (menginsyafi) perbuatan yang ia lakukan.
Kemampuan betanggungjawab biasanya dikaitkan dengan keadaan jiwa pada diri
pelaku tindak pidana. Pasal 44 KUHP merupakan dasar hukum yang mengatur
tentang ketidakmampuan bertanggungjawab, sebagai lawan dari mampu
bertanggungjawab.
Jika terbukti bahwa seseorang dengan DID melakukan kejahatan akibat
ketidakmampuannya mengontrol tindakan sebab gangguan mentalnya, sistem
hukum bisa memutuskan bahwa terdakwa memerlukan perawatan kesehatan
mental daripada hukuman penjara. Ini merupakan bagian dari pendekatan
rehabilitasi di mana individu dengan gangguan mental mendapatkan perawatan
yang mereka butuhkan untuk memulihkan kondisi mereka, bukan hanya menjalani
hukuman.
Di Indonesia, hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana yang
menderita identitas disosiatif dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor,
termasuk beratnya tindak pidana, keadaan individu, dan keputusan hakim. Sistem
hukum Indonesia biasanya memberikan penekanan pada rehabilitasi dan
pemulihan, terutama jika pelaku memiliki kondisi kesehatan mental yang
mempengaruhi perilakunya.96
Tidak ada peraturan khusus di Indonesia yang secara langsung
menentukan hukuman bagi pelanggar dengan identitas disosiatif. Keputusan
hukuman biasanya bergantung pada penilaian hakim terhadap keadaan kasus
berdasar fakta yang ada, termasuk informasi tentang kesehatan mental pelaku.
Meskipun pemerintah Indonesia fokus pada kesehatan mental di bidang
hukum, namun belum mampu mengatasi seluruh permasalahan hukum di berbagai
bidang hukum. Negara kita lebih lambat dibandingkan negara lain dalam
menangani dan memahami permasalahan hukum terkait kesehatan mental, sebab
kurangnya respon pemerintah terhadap kesehatan mental, yang merupakan aspek
penting dalam penegakan hukum. Meskipun UU Kesehatan Jiwa merupakan
bentuk perhatian pemerintah terhadap permasalahan kesehatan jiwa, namun UU
Kesehatan Jiwa belum mampu menjawab permasalahan peradilan pidana terkait
kesehatan jiwa.
UU Kesehatan Jiwa hanya mempertimbangkan permasalahan kesehatan
jiwa dalam bentuk pelayanan, keterkaitan antara permasalahan kesehatan jiwa dan
peradilan pidana tidak dipertimbangkan dalam peraturan perundang-undangan ini.
Pasal 44 KUHP dan Pasal 39 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP baru), merupakan landasan hukum
yang dapat digunakan untuk penegakan hukum pidana dalam perkara yang
berkaitan dengan masalah kesehatan jiwa. Pasal 44 KUHP memuat alasan-alasan
psikologis yang dapat dijadikan dasar penghapusan suatu tindak pidana.97
Namun mengingat perkembangan ilmu pengetahuan tentang kesehatan
jiwa, maka keterbatasan rumusan Pasal 44 KUHP tidak dapat memberikan
kepastian hukum mengenai pertanggungjawaban pidana orang yang menderita
gangguan jiwa tertentu, dan berbagai aspek ini perlu dipertimbangkan secara
mendalam untuk menentukan pertanggungjawaban pidana,98 Pasal 44 mengatur
bahwa:
(1)Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan sebab jiwanya cacat
dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu sebab
penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
(2)Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya disebabkan sebab jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu sebab penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya
orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
(3)Ketentuan ini dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Rumusan pasal ini dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang
dianggap tidak mampu untuk menyadari atau menyadari perbuatan yang
dilakukannya. Pasal 44 Ayat 1 KUHP secara umum membedakan antara keadaan
kejiwaan yang dapat menjadi dasar pencabutan pidana terhadap jiwa yang cacat
perkembangan dan jiwa yang cacat sebab penyakit, dan mengatur syarat-syarat.
untuk memenuhi Keadaan mental yang dijadikan alasan untuk pencabutan
hukuman.
Pasal 44 Ayat 1 KUHP mengartikan bahwa orang yang jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu sebab penyakit tidak dapat dipidana, tapi orang
ini dapat dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan
seperti yang disebutkan dalam Pasal 44 Ayat 2 KUHP. Alasan penghapus pidana
dalam Pasal 44 ini tentunya tidak dapat serta merta digunakan dalam semua kasus
tindak pidana yang dilakukan oleh penyandang gangguan jiwa. Untuk
menggunakan alasan ini sebagai dasar penghapus pidana, maka perlu dibuktikan
apakah tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana ini memiliki
keterkaitan dengan gangguan jiwa yang dialaminya.99
Alasan penghapus pidana dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP dalam bentuk jiwa
yang cacat dengan gila, manie, hysterie, epilepsie, meancholie, dan berbagai
macam penyakit jiwa lainnya.100 Selain itu, penyakit jiwa juga dapat mencakup
suatu bentuk gangguan jiwa dalam ilmu psikologi abnormal yang dimana
penyandangnya dapat terlihat seperti orang normal pada kehidupan sehari-hari.
Dalam hal jiwa yang terganggu sebab penyakit, seseorang dapat saja dihinggapi
oleh gangguan jiwa yang muncul secara terus-menerus (permanen) maupun secara
sementara (temporary) atau kumat-kumatan. Salah satu bentuk gangguan jiwa
yang muncul secara temporary atau kumat-kumatan yaitu Dissociative Identity
Disorder (DID).
Aturan ketidakmampuan bertanggung jawab secara hukum juga
dibahas dalam pasal 39 KUHP Baru (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),
bunyi Pasal 39 KUHP Baru:
" Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang
disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran
psikotik dan/ atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat
dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.”.
Dalam kasus orang dengan DID, pergantian identitas bisa memengaruhi
kemampuan mereka untuk memahami atau menyadari tindakan mereka pada saat
tindak pidana terjadi. Ini berarti bahwa seseorang yang memiliki DID mungkin
bisa berargumen bahwa saat salah satu identitasnya melakukan tindak pidana,
identitas lainnya (yang sadar saat pemeriksaan) mungkin tidak memiliki kontrol
atau bahkan ingatan tentang peristiwa ini .
Dalam penerapan pasal 39 KUHP baru, pengadilan biasanya memerlukan
pemeriksaan psikiatris oleh ahli kesehatan mental untuk menilai apakah
seseorang yang didiagnosis dengan DID benar-benar tidak mampu bertanggung
jawab atas tindakannya. Ini termasuk melihat sejauh mana gangguan ini
memengaruhi kesadaran dan kontrol terhadap tindakan yang dilakukan.
Hakim dapat mempertimbangkan beberapa kriteria terkait penyandang
identitas disosiatif dalam proses pengadilan. Identitas disosiatif merujuk pada
kondisi mental di mana individu memiliki dua atau lebih identitas atau
kepribadian yang terpisah dan sering kali tidak menyadari satu sama lain.
Beberapa kriteria yang dipertimbangkan oleh hakim termasuk:
Kesadaran Hukum: Hakim mungkin perlu mempertimbangkan apakah
pelaku DID memiliki pemahaman yang memadai tentang tindakan kriminal yang
dilakukan oleh identitas tertentu. Studi menunjukkan bahwa dalam beberapa
kasus DID, identitas yang melakukan tindakan kriminal mungkin tidak
menyadari tindakan ini atau tidak memiliki kontrol atas perilaku
ini .
Bukti Kehadiran Identitas Terpisah: Penting bagi hakim untuk
mempertimbangkan bukti yang menunjukkan adanya perpindahan identitas atau
kepribadian yang berbeda. Penelitian psikologis telah mengidentifikasi
karakteristik klinis yang dapat membantu dalam diagnosis dan identifikasi DID,
termasuk perpindahan identitas yang disertai amnesia antara identitas.
Risiko Terhadap Masyarakat: Hakim perlu mempertimbangkan risiko yang
ditimbulkan oleh pelaku DID terhadap masyarakat. Studi menunjukkan bahwa
tingkat risiko kejahatan serius mungkin lebih rendah pada individu dengan
gangguan disosiatif daripada pada individu dengan gangguan kepribadian
antisosial.
Rehabilitasi dan Perawatan: Pertimbangan terhadap rehabilitasi dan
perawatan mental juga penting. Terapi yang terfokus pada integrasi identitas dan
pengelolaan gejala disosiatif telah terbukti efektif dalam mengobati DID.
Perlindungan Hak-hak Individu: Hakim harus memastikan bahwa hak-hak
individu pelaku DID dilindungi sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk
hak atas pertahanan yang layak dan hak atas perawatan kesehatan mental yang
memadai. Penelitian hukum telah menyoroti pentingnya memperlakukan pelaku
dengan gangguan mental secara adil dalam sistem peradilan pidana.
Pertimbangan-pertimbangan ini dapat membantu hakim dalam membuat
keputusan yang adil dan tepat dalam kasus-kasus yang melibatkan individu
dengan identitas disosiatif.
berdasar perspektif psikologi Islam, kepribadian ganda merupakan
serangkaian perilaku manusia yang menyimpang dari fitrah asli yang murni,
bersih dan suci, yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sejak zaman azali.
Gangguan ini dapat menyebabkan rusaknya jiwa sehingga jiwa menjadi
kosong, hati akan mati, walaupun secara fisik terlihat gagah dan sehat. Individu
yang mengalaminya akan mengalami kekosongan kalbu, gelisah, gersang dan
tidak dapat menikmati kehidupannya.
Islam memandang mengenai gangguan kepribadian sering diidentikkan
dengan akhlak tercela, yaitu perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama.
Gangguan kepribadian yang mengarah kepada perilaku buruk atau akhlak tercela
yang sering dikenal dengan istilah psikopatologi. Psikopatologi atau sakit mental
yaitu sakit yang tampak dalam bentuk perilaku dan fungsi kejiwaan yang tidak
stabil. Istilah psikopatologi ini mengacu pada sebuah sindrom yang luas, yang
meliputi ketidaknormalan kondisi indra, kognisi dan emosi.
Psikopatologi dalam Islam dapat dibagi dalam dua kategori; pertama,
bersifat duniawi. Macam-macam psikopatologi dalam kategori ini berupa gejala-
gejala atau penyakit kejiwaan yang telah dirumuskan dalam wacana psikologi
kontemporer; kedua, bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan
terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual dan agama.107 Namun
dalam hal ini, peneliti hanya akan menjelaskan lebih lanjut mengenai kategori
yang berhubungan dengan pokok penelitian ini yakni kategori pertama yang
bersifat duniawi.
Model psikopatologi yang pertama memiliki banyak kategori. Hal itu
disebabkan oleh perspektif masing-masing psikolog yang berbeda-beda.
Pertama, dari perspektif biologi, idenya yaitu bahwa gangguan fisik
menyebabkan gangguan mental seseorang. Kedua, dari perspektif psikoanalitik,
idenya yaitu bahwa gangguan mental disebabkan oleh konflik bawah sadar
yang biasanya berawal dari masa kanak-kanak awal dan pemakaian mekanisme
pertahanan untuk mengatasi kecemasan yang ditimbulkan oleh impuls dan emosi
yang depresi. Ketiga, dari perspektif perilaku, yang memandang gangguan
mental dari titik pandang teori belajar dan berpendapat bahwa perilaku abnormal
yaitu cara yang dipelajari untuk melawan stres. Keempat, dari perspektif
kognitif, idenya yaitu bahwa gangguan mental berakar dari gangguan proses
kognitif dan dapar dihilangkan dengan mengubah kondisi yang salah ini .108
Akhlak tercela dianggap sebagai psikopatologi, sebab hal itu
mengakibatkan dosa (al-itsm), baik dosa vertikal maupun dosa horizontal atau
sosial. Dosa yaitu kondisi emosi seseorang yang dirasa tidak tenang sesudah ia
melakukan suatu perbuatan (baik perbuatan lahiriah maupun batiniah) dan
merasa tidak enak jika perbuatannya itu diketahui oleh orang lain. Padahal dosa
biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebab jika diketahui oleh orang
lain maka dapat menurunkan harga dirinya. sebab itu tidak mengherankan
apabila pelaku dosa hidupnya selalu sedih, resah, bimbang, gelisah dan dihantui
oleh perbuatan dosanya.
Baik dalam Alquran maupun Sunah, jenis-jenis psikopatologi Islami banyak
sekali. Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun setidak-tidaknya dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Psikopatologi yang berhubungan dengan akidah atau hubungan dengan
Tuhan (ilahiyah), seperti syirik, kufur, zindiq dan sebagainya;
2. Psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan
(insaniyah), seperti hasud, ujub, ghadab, su’ al-zhan dan sebagainya;
3. Psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia,
seperti riya’, nifak dan sebagainya.
Berbagai bentuk psikopatologi Islam ini seringkali dilupakan oleh para
psikiater atau ahli jiwa kontemporer, padahal disadari atau tidak dan diakui atau
tidak, bentuk-bentuk psikopatologis di atas dapat menghambat aktualisasi dan
realisasi diri seseorang, bahkan sering kali mendatangkan penyakit fisik.
Sedangkan,Pertanggungjawaban pidana dalam Islam (syariat) yaitu
pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan
yang dikerjakannya (Unsur Obyektif) dengan kemauan sendiri, dimana orang
ini mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya (Unsur Subyektif).
Pembebanan ini disebab kan perbuatan yang dilakukan itu yaitu
telah menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam arti
perbuatan yang dilarang secara syar’i, baik dilarang melakukan atau dilarang
meninggalkan. Pembebanan juga disebab kan perbuatan itu sendiri dikerjakan
berdasar keinginan dan kehendak yang timbul dalam dirinya bukan dorongan
yang ditimbulkan oleh orang lain secara paksa (dipaksakan).
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam syariat (hukum) Islam
pertanggungjawaban itu didasarkan pada tiga hal:112
a. Adanya perbuatan yang dilarang
b. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri
c. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan itu
Apabila adanya ketiga hal ini di atas, maka pertanggungjawaban itu
ada pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana (kejahatan), jika
sebaliknya maka tidak ada perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan.
sebab itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila,
anak-anak yang belum mencapai umur balig atau orang yang dipaksakan untuk
melakukan perbuatan kejahatan, yang mengakibatkan terancam jiwanya. Dalam
hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya membebankan hukuman
pada orang yang masih hidup dan mukalaf, hukum Islam juga mengampuni
anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali
jika ia telah balig. Hal ini didasarkan pada dalil Alquran surat An- Nuur (24) ayat
59 yang berbunyi :
ُ لَُكْم َواَِذا بَلََغ اْالَْطفَاُل ِمْنُكُم اْلُحلَُم فَْلیَْستَأِْذنُْوا َكَما اْستَأَْذَن الَِّذْیَن ِمْن قَْبِلِھْمۗ َكٰذِلَك یُبَ ّٰ یُِّن
ُ َعِلْیٌم َحِكْیمٌ ّٰ ٰاٰیتِٖھۗ َو
“Apabila anak-anak di antaramu telah sampai umur dewasa, hendaklah mereka
meminta izin seperti halnya orang-orang yang (telah dewasa) sebelum mereka
(juga) meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya
kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Dalam pandangan hukum Islam mengenai ketentuan hukum kepidanaan
sering diartikan dengan sebuah kata dengan apa yang dikenal dengan sebutan
jarimah dan jinayah. Hanya saja, terhadap ketentuan dalam Islam ini lebih di
perjelas dengan ketentuan bahwa hukumannya ataupun atas
pertanggungjawaban dari perbuatan dengan ketentuan kepidanaan ini akan
berupa qishas dan hudud maupun takzir.113
Gila dalam hal pembunuhan secara umum terbagi dua, yaitu sebelum dan
sesudah melakukan tindak pidana pembunuhan. Gila yang timbul sesudah
seseorang telah melakukan tindakan jarimah, baik dari sebelum di proses pada
pengadilan maupun sesudah di proses oleh pengadilan. Adapun tehadap sebuah
pertaggungjawaban yang akan dikenakan kepada orang gila hal ini akan tentu
dapat berkaitan dengan ketentuan kepidanaan ini akan dapat mengakibatkan
kondisi yang berbeda-beda, dimana perbedaan-perbedaan ini akan dipengaruhi
oleh kondisi dua aspek, yaitu: dimana gilanya disertai jarimah atau terjadi
sesudahnya oleh perbuatan itu.
Atas dasar mengenai kondisi gila disertai sebuah tindakan yang
menimbulkan sebuah ketentuan kepidanaan (dimana pada saat melakukan
perbuatan ini dalam kondisi kejiawaan yang gila), maka pelakunya akan
dilepaskan dari segala macam bentuk pertanggung jawaban pidana yang ada,
oleh sebab saat melakukan hal demikian dia tidak memiliki kemamuan pada
dirinya idrak (berfikir). Atas dasar ketentuan diatas didalam islam dilandasannya
oleh sebuah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
عن علي رضي هللا عنھ عن النبي صلى هللا علیھ وسلم قال: "ُرفَِع اْلقَلَُم عن ثالثة:
رواه ابو .َظ، وعن الصبي حتى یَْحتَِلَم، وعن المجنون حتى یَْعِقلعن النائم حتى یَْستَْیقِ
داود
Dari Ali -raḍiyallāhu 'anhu-, dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam beliau
bersabda, “Pena (pencatat amal) akan diangkat dari tiga orang, yaitu: dari
orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia balig, dan dari
orang yang gila sampai dia sampai dia sadar (berakal).” (H.R. Abu Daud).
berdasar atas penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa apabila
seseorang yang telah mengidap penyakit dimana pada dirinya ada sifat gila
atas dirinya yang akan melakukan sebuah tindakan jarimah al-hudud atau
perbuatan pidana yang akan berkonsekuensi terkait dengan penegakan had,
seperti perbuatan yang dilarang seperti: melakukan perbuata zina, menjadi
seorang pemabuk, menajadi seorang pencuri dan lain sebagainya maka dia
tidak akan terkena sebuah hukuman had atau dengan kata lain dinyatakan gugur
atas segala macam bentuk perbuatan yang telah dilakukannya.
Adapun dalam perbuatan pidana yang akan berkaitan dengan konsekuensi
qishas dan diyat. Maka terhadap orang gila itu tidaklah diqishash. Melainkan
pada hukuman yang akan dikenakan pada dirinya akan diganti dengan uqubah
Maliyah, yaitu dengan cara melakukan pembayaran dengan diyat. Hal ini
disebab kan oleh sebab kejahatan yang akan berkaitan dengan hak-hak hamba
itu tidak bisa digugurkan dengan sendirinya seperti halnya pada hak yang
diberikan oleh Allah. Sedangkan terhadap perbuatan dimana pembunuhan yang
telah dia lakukan itu akan disamakan dengan al-qathl al-khata’. Sebagaimana
pendapat mayoritas sebagaian ulama selain Syafi’i menyebutkan “(perbuatan)
yang disengaja oleh orang gila itu (dianggap) khata”.115
Penulis juga menyimpulkan apabila pada DID seseorang telah mengalami
kondisi yang dinyatakan bahwa dia mengidap penyakit identitas disosiatif
kemudian melakukan perbuatan pidana, maka pelakunya akan dibebaskan dari
segala macam bentuk pertanggung jawaban pidana, sebab dia tidak memiliki
kemampuan untuk dapat membedakan apakah perbutan yang telah dia lakukan
ini merupakan sebuah perbuatan yang dilarang ataupun tidak.Sementara
dalam hukum islam pada ketentuan tindak pidana yang telah berkonsekuensi
qishash dan diyat. Maka, pada diri orang gila ini tidaklah di qishash.
Melainkan pada hukumannya akan digantikan dengan uqubah Maliyah
(hukuman harta).
B. Kasus Dissociative Identity Disorder
Dalam lingkaran hukum, DID telah digambarkan sebagai salah satu
diagnosa psikiatris dan penilaian forensik yang paling disengketakan. Jumlah
kasus pengadilan yang melibatkan DID telah meningkat secara substansial
sejak 1990-an dan diagnosis menyajikan berbagai tantangan untuk sistem
hukum. DID difokuskan pada studi antara tahun 1880 dan 1920 dan pada tahun
1944, 67% dari semua kasus yang diketahui telah dilaporkan selama waktu
itu.116 Laporan kasus gangguan identitas disosiatif (DID) kemudian jatuh
secara dramatis mungkin sebab meningkatnya diagnosis skizofrenia dan
sebab munculnya Freud. Pada tahun 1970-an, diagnosis gangguan identitas
disosiatif meningkat secara dramatis sesudah penerbitan buku yang sangat
populer, Sybil, pada tahun 1973 (Dissociative Identity Disorder: I'm Not Sybil).
Pada tahun 1970-an saja, diperkirakan bahwa lebih banyak kasus DID
dilaporkan dari pada sepanjang sejarah sejak 1816 dan kasus terkenal Mary
Reynolds. Antara 1991 dan 1997, lebih dari 500 kasus DID dirawat di pusat
perawatan gangguan disosiatif tunggal di Dallas, Texas. Selain itu, sebab
semakin banyak kasus DID dilaporkan, semakin banyak kepribadian alternatif
(alter) dilaporkan dalam setiap kasus. Mayoritas kasus yang dicatat pada tahun
1944 bermanifestasi dengan hanya dua kepribadian, sementara ada rata-rata
15,7 perubahan kepribadian yang tercatat dalam kasus yang dilaporkan pada
tahun 1997. Kasus Tindak Pidana Dissociative Identity Disorder yang terkenal
diantaranya ialah kasus Billy Milligan, Juanita Maxwell, dan Louis Vivet.
Billy Milligan yaitu warga negara Amerika, yang terkenal dengan
gangguan kepribadian ganda. Dia didakwa melakukan pemerkosaan dan
perampokan, tetapi merupakan orang pertama yang dibebaskan oleh
pengadilan AS sebab gangguan mental. Pada tahun 1977, dia dikirim untuk
perawatan wajib dan menjalani sejarah psikiatris sebagai pemilik 24
kepribadian penuh.117 sesudah dirawat oleh dr. David Caul, semua kepribadian
dalam diri Billy, dengan sukarela bersedia untuk dipersatukan, tetapi dr. Caul
mendapat kesulitan sebab masyarakat dan media massa setempat tidak senang
dengan metode perawatannya yang memberi kebebasan kepada pasien untuk
bergaul dengan masyarakat. Masyarakat yang masih trauma sebab perbuatan
kepribadian-kepribadian Billy, merasa keberatan dan sering mendiskreditkan
Billy sehingga 24 kepribadian dalam tubuh Billy saling bertengkar sendiri dan
Billy harus menjalani terapi selama 10 tahun sebelum ia bisa berfungsi sebagai
manusia normal.
Kemudian, pada tahun 1979 kasus Juanita Maxwell yang berusia 23
tahun bekerja sebagai pelayan hotel di Fort Myers, Florida. Pada bulan Maret
tahun itu, tamu hotel berusia 72 tahun Inez Kelley dibunuh secara brutal; dia
dipukuli, digigit, dan dicekik sampai mati. Maxwell ditangkap sebab ada
darah di sepatunya dan goresan di wajahnya. Dia mengaku tidak tahu apa yang
terjadi. Saat menunggu persidangan, Maxwell menemui seorang psikiater, dan
saat dia pergi ke persidangan, dia mengaku tidak bersalah sebab dia
memiliki banyak kepribadian. Dia memiliki enam kepribadian di samping
kepribadiannya, dan salah satu kepribadian dominan, Wanda Weston,
melakukan pembunuhan. Di persidangannya, tim pembela, melalui
penggunaan pekerja sosial, membuat Wanda berdiri di mimbar. Hakim berpikir
bahwa transformasi itu sangat luar biasa. Juanita yaitu seorang wanita yang
bersuara lembut, tetapi Wanda yaitu orang yang berani dan genit dan
menyukai kekerasan. Dia tertawa saat dia mengaku memukuli warga senior
itu dengan lampu sebab ketidaksepakatan tentang pena. Hakim yakin bahwa
dia memiliki kepribadian ganda atau pantas menerima Academy Award.
Maxwell dikirim ke rumah sakit jiwa, di mana dia mengatakan dia tidak
mendapatkan perawatan yang tepat dan hanya menerima obat penenang. Dia
dibebaskan, tetapi pada tahun 1988, dia ditangkap lagi.118
Louis Vivet lahir dari seorang pelacur pada 12 Februari 1863, Vivet
diabaikan sebagai seorang anak. Pada saat dia berusia delapan tahun, dia telah
melakukan tindak kejahatan. Dia ditangkap dan ditempatkan di sebuah rumah
perawatan sampai remaja. saat dia berusia 17 tahun, dia bekerja di kebun
anggur, dan seekor ular beludak melingkari lengan kirinya. Meskipun ular itu
tidak menggigitnya, ular itu sangat menakutkan sehingga Vivet mengalami
kejang-kejang dan secara psikosomatis lumpuh dari pinggang ke bawah.
saat lumpuh, dia ditempatkan di rumah sakit jiwa, tetapi sesudah satu tahun,
dia mulai berjalan lagi. Vivet sekarang tampak seperti orang yang sama sekali
berbeda. Dia tidak mengenali siapa pun di rumah sakit jiwa, suasana hatinya
jauh lebih gelap, dan bahkan selera makannya berbeda. saat dia berusia 18
tahun, dia dibebaskan dari suaka tetapi tidak tinggal lama. Selama beberapa
tahun berikutnya, Vivet keluar masuk rumah sakit. Selama antara 1880 dan
1881, dia didiagnosis dengan banyak kepribadian. Menggunakan hipnosis dan
metaloterapi (menempatkan magnet dan logam lain pada tubuh), seorang
dokter menemukan hingga 10 kepribadian yang berbeda, semuanya dengan
sifat dan sejarah mereka sendiri. Namun, sesudah meninjau kasus ini di tahun-
tahun berikutnya, beberapa ahli percaya dia mungkin hanya memiliki tiga
kepribadian.
Seorang wanita asal Indonesia yang lahir sekitar 27 tahun silam ini pada
tahun 2009 didiagnosis mengidap Dissociative Identity Disorder (DID) atau
gangguan identitas disosiatif. Anastasia Wella menjadi pasien pengidap
gangguan identitas disosiatif pertama yang diketahui di Indonesia. Gangguan
yang muncul pada dirinya disebabkan oleh trauma parah yang dialami akibat
perlakuan kasar dari orang tuanya. Selain itu, Anastasia Wella sering
mengalami tekanan dari lingkungan sekolah, Wella sering dikucilkan, dianggap
culun hingga dibuat merasa minder, dibully dan sering merasa sendiri sehingga
merasakan takut yang berlebihan. Semua pengalaman buruk yang menimpa
Wella terjadi saat Wella masih berusia sekitar 9 tahun dan kejadian-kejadian
ini terjadi secara berulang. Pengalaman buruk itulah yang memaksakan
kepribadian Wella terpecah menjadi 9 kepribadian.
DID dalam konsep psikologi dipandang sebagai suatu bentuk gangguan
jiwa dalam kategori gangguan disosiatif. Sedangkan kedudukan DID dalam
konsep hukum perlu dikaji melalui Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
Kesehatan Jiwa yang di dalamnya ada pengertian mengenai gangguan jiwa
dengan menyebutkan “Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya
disingkat ODGJ yaitu orang yang menyandang gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala
dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia”.
berdasar pengertian ODGJ yang termuat dalam pengertian ini ,
dapat disimpulkan bahwa segala bentuk gangguan jiwa yang diakui dalam
konsep psikologi diakui keberadaannya oleh Undang-Undang Kesehatan Jiwa.
Hukum pidana melalui pasal 44 Ayat 1 dan Pasal 39 KUHP Baru memandang
ODGJ sebagai orang yang tidak mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan tidak dapat dipidana. Undang-Undang Kesehatan Jiwa
menggunakan istilah gangguan jiwa untuk menggambarkan suatu keadaan jiwa
yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan dengan
berbagai bentuk gejala maupun perubahan perilaku yang dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, orang yang menyandang suatu gangguan jiwa dapat
dianggap sebagai orang dengan jiwa yang terganggu sebab penyakit seperti
yang disebutkan dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP. Penjelasan-penjelasan ini
membuktikan bahwa penyandang DID yang diakui oleh Undang-Undang
Kesehatan Jiwa sebagai orang yang mengalami suatu gangguan jiwa telah
memenuhi unsur-unsur sebagai orang dengan jiwa yang terganggu sebab
penyakit dalam konsep Pasal 44 Ayat 1 KUHP. Dengan terpenuhinya unsur-
unsur ini , maka Dissociative Identity Disorder (DID) dalam konsep
hukum pidana dapat dijadikan sebagai alasan pengahapus pidana dalam Pasal
44 Ayat 1 KUHP dan Pasal 39 KUHP Baru.
berdasar hasil uraian pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang
dapat diambil dari penelitian ini yaitu :
1. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Penderita Dissociative Identity
Disorder dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk
beratnya tindak pidana, keadaan individu, dan keputusan hakim. Sistem
hukum Indonesia biasanya memberikan penekanan pada rehabilitasi dan
pemulihan, terutama jika pelaku memiliki kondisi kesehatan mental yang
mempengaruhi perilakunya. Pasal 44 KUHP dan Pasal 39 KUHP Baru
merupakan salah satu dasar hukum yang dapat digunakan pada hukum
pidana yang berkaitan dengan masalah kesehatan jiwa. Adapun Kebijakan
bagi penderita DID dalam hukum Islam yaitu tidak tidak dapat dihukum
atau dapat diganti dengan denda atau harta. DID bisa dikategorikan
sebagai orang gila, sebab memiliki gangguan jiwa, apabila atas dasar
mengenai kondisi gila disertai sebuah tindakan yang menimbulkan sebuah
ketentuan kepidanaan (dimana pada saat melakukan perbuatan ini
dalam kondisi kejiawaan yang gila), maka pelakunya akan dilepaskan dari
segala macam bentuk pertanggung jawaban pidana.
2. Kasus Dissociative Identity Disorder yang terkenal ialah kasus Billy
Milligan, Juanita Maxwell, dan Louis Vivet. Billy Milligan didakwa
melakukan pemerkosaan dan perampokan, tetapi merupakan orang
pertama yang dibebaskan oleh pengadilan AS sebab gangguan mental.
Kemudian, pada tahun 1979 kasus Juanita Maxwell, dia ditangkap sebab
kasus pembunuhan yang dilakukannya secara brutal. Adapun kasus Louis
Vivet lahir dari seorang pelacur pada 12 Februari 1863, Vivet diabaikan
sebagai seorang anak. Pada saat dia berusia delapan tahun, dia telah
melakukan tindak kejahatan. Dia ditangkap dan ditempatkan di sebuah
rumah perawatan sampai remaja,saat dia berusia 18 tahun, dia
dibebaskan dari suaka tetapi tidak tinggal lama.
1. Kerja sama antara sistem peradilan dan lembaga kesehatan mental perlu
ditingkatkan, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk membentuk
lembaga khusus yang bertugas menilai kondisi mental terdakwa dalam
kasus yang melibatkan penderita gangguan mental seperti Dissociative
Identity Disorder (DID).
2. Pemerintah dan pembuat kebijakan disarankan untuk memperkuat
regulasi yang mengatur pemidanaan bagi penderita gangguan mental,
termasuk DID. Pengembangan kebijakan rehabilitasi yang lebih
komprehensif dan akurat harus menjadi prioritas.
3. Penderita seperti Dissociative Identity Disorder (DID), terlibat dalam
tindak pidana disarankan untuk memprioritaskan rehabilitasi
dibandingkan dengan pemidanaan konvensional. Penderita perlu
mendapatkan akses terhadap terapi yang memadai dan perawatan
psikologis untuk membantu mereka mengatasi gangguan identitasnya.
4. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk memahami bagaimana
gangguan mental seperti Dissociative Identity Disorder (DID),
memengaruhi tindakan kriminal dan tanggung jawab pidana. Studi yang
mendalam dapat membantu sistem peradilan dalam membuat kebijakan
yang lebih tepat terkait kasus-kasus ini.