Rabu, 12 Februari 2025

kepribadian ganda 5


 badian utama" sadar atau memiliki kontrol atas tindakan 

yang dilakukan oleh "kepribadian lain."  

Jika ahli psikologi menyimpulkan bahwa kepribadian yang 

bertanggung jawab atas tindak pidana berbeda dari kepribadian yang 

mendominasi terdakwa pada saat evaluasi, hal ini dapat menjadi dasar 

pembelaan hukum, seperti pembelaan "tidak bersalah sebab  alasan 

kegilaan" (Not Guilty by Reason of Insanity). Di sini, ahli psikologi 

memainkan peran penting dalam menyediakan penilaian medis yang 

objektif mengenai kapasitas mental terdakwa. 87 

4. Memberikan Kesaksian sebagai Saksi Ahli  

Ahli psikologi juga sering kali dipanggil untuk memberikan 

kesaksian di pengadilan mengenai temuan mereka terkait terdakwa yang 

didiagnosis dengan DID. Sebagai saksi ahli, psikolog forensik 

menjelaskan kepada pengadilan tentang sifat gangguan DID, bagaimana 

                                                          

 

gangguan ini dapat memengaruhi perilaku terdakwa, dan apakah terdakwa 

bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya.88 

Kesaksian dari ahli psikologi memainkan peran penting dalam 

membantu hakim dan juri memahami dampak gangguan mental pada 

perilaku kriminal dan menentukan apakah terdakwa harus dihukum atau 

dirujuk untuk perawatan medis atau rehabilitasi.  

5. Memberikan Rekomendasi Penanganan atau Rehabilitasi  

sesudah  terdakwa didiagnosis dengan DID, ahli psikologi dapat 

memberikan rekomendasi terkait perawatan atau rehabilitasi yang 

diperlukan. Rekomendasi ini mencakup terapi psikologis, terapi trauma, 

atau perawatan psikiatrik untuk menangani penyebab trauma yang 

mendasari gangguan DID. Dalam beberapa kasus, ahli psikologi dapat 

merekomendasikan agar terdakwa ditempatkan di fasilitas kesehatan 

mental alih-alih penjara.89  

       Peranan ahli psikologi dalam proses hukum yang melibatkan penderita 

Dissociative Identity Disorder sangat penting untuk memastikan bahwa 

terdakwa mendapatkan penilaian yang adil dan tepat terkait kondisi mentalnya. 

Ahli psikologi berperan dalam diagnosis, evaluasi kompetensi, penentuan 

pertanggungjawaban pidana, memberikan kesaksian sebagai saksi ahli, serta 

memberikan rekomendasi rehabilitasi. Semua peran ini mendukung sistem 

peradilan dalam menyeimbangkan keadilan hukum dengan perhatian terhadap 

kesehatan mental terdakwa.  

B.   Visum et Repertum Psychiatricum 

  Visum et repertum yaitu  keterangan tertulis yang dibuat dokter atas 

permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap 

seorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, 

berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan 

                                                          


peradilan.90 Dasar hukum Visum et Repertum ada dalam Pasal 133 

KUHAP yang menyebutkan:  

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang 

korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga sebab  peristiwa 

yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan 

keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau 

ahli lainnya.  

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas 

untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan 

bedah mayat. 

 Sesuai dengan pasal diatas, Visum et Repertum Psychiatricum yaitu  

laporan medis dari pemeriksaan psikiatrik Laporan ini dapat menjadi bukti 

penting dalam proses pengadilan untuk menilai kondisi mental pelaku atau 

korban, yang bisa mempengaruhi putusan hakim. Visum ini dapat membantu 

menentukan apakah seseorang layak bertanggung jawab secara hukum atau 

memerlukan perawatan mental. Laporan ini memungkinkan penegak hukum 

atau pengadilan untuk mendapatkan pandangan dari ahli terkait kondisi mental 

yang bisa memengaruhi perilaku seseorang, baik pelaku maupun korban. Visum 

et Repertum Psychiatricum juga dapat digunakan sebagai dasar untuk 

menentukan kebutuhan rehabilitasi atau perawatan psikiatrik bagi pelaku atau 

korban yang mengalami gangguan mental akibat suatu peristiwa. 

Selanjutnya, keberadaan Visum et Repertum tidak hanya diperuntukkan 

kepada seorang korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan 

tetapi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang 

tersangka sekalipun seperti Visum et Repertum Psikiatris. Hal ini selaras 

dengan apa yang disampaikan dalam KUHAP Pasal 120 Ayat 1 KUHAP: 

“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli 

atau orang yang memiliki keahlian khusus”.  

                                                          

 

Visum et Repertum Psychiatricum, digunakan sebagai alat bukti surat, hal 

ini diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP, yang berbunyi, “Surat keterangan 

dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasar  keahliannya mengenai 

sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”. Jadi 

fungsi dan tujuan Visum et Repertum Psychiatricum sama dengan alat bukti, 

yaitu merupakan alat bantu untuk memperjelas keadaan jiwa terdakwa 

sehingga penegak hukum dapat memperoleh suatu keyakinan seadil-adilnya. 

Keyakinan yang diperoleh hakim dapat dibuktikan secara ilmiah, dengan kata 

lain para penegak hukum tidak bisa ditipu dengan akal licik terdakwa untuk 

dapat terhindar dari pidana. Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat 

bertanggung jawab, maka pelaku dapat dikenai pidana. Sebagai pengecualian 

dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHAP sebagai berikut :  

(1)Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat 

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan sebab  jiwanya cacat 

dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu sebab  

penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.  

(2)Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan 

padanya disebabkan sebab  jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau 

terganggu sebab  penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya 

orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun 

sebagai waktu percobaan.  

(3)Ketentuan ini  dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah       

Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. 

Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa 

yang terganggu sebab  penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang 

terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang 

dalam persidangan nanti muncul dalam bentuk Visum et Repertum 

Psychiatricum, digunakan untuk dapat mengungkapkan keadaan pelaku 

perbuatan (terdakwa) sebagai alat bukti surat yang dapat 

dipertanggungjawabkan. Bantuan ahli kedokteran jiwa sangat diperlukan 

dalam membantu upaya menemukan kebenaran material suatu perkara pidana, 


 

terutama dalam hal terdapatnya gangguan mental dari seorang terdakwa yang 

telah melakukan tindak pidana. Hal ini  sangat berkaitan dengan tujuan 

dari proses peradilan pidana, sebab  apabila putusan berdasar  pada dugaan 

saja, kebenaran material tidak akan terlaksana.91 

Pembuktian mengenai keterkaitan antara gangguan jiwa yang dialami 

penyandang DID harus lah diawali oleh pembuktian mengenai benar atau 

tidaknya terdakwa yaitu  seorang penyandang DID. Dalam hal ini, alat bukti 

yang sangat diperlukan dan seharusnya memiliki kekuatan pembuktian yang 

kuat secara kedudukan alat bukti dalam KUHAP yaitu  keterangan ahli. Ahli 

yang dapat membuktikan apakah seseorang mengalami gangguan jiwa atau 

tidak yaitu  seorang psikiater. Psikiater bertugas untuk melakukan 

pemeriksaan terhadap kesehatan jiwa pada diri pelaku tindak pidana dan 

mengemukakan keterangannya terhadap hal itu di muka persidangan. Untuk 

memperkuat keterangannya secara hukum, seorang psikiater harus 

mencantumkan hasil pemeriksaannya pada Visum et Repertum Psikiatrikum 

(selanjutnya disebut VeRP).

Pelaku tindak pidana yang berdasar  hasil pemeriksaan psikiater 

terbukti menyandang DID belum tentu dapat dianggap tidak mampu 

bertanggungjawab atas perbuatannya, meskipun DID memenuhi unsur sebagai 

alasan penghapus pidana dalam Pasal 44 KUHP.93 Untuk membuktikan bahwa 

tindak pidana yang dilakukan oleh penyandang DID memiliki keterkaitan 

dengan gangguan jiwa yang dimilikinya, maka perlu dipisahkan terlebih 

dahulu antara kepribadian utama (host) dan kepribadian alternatif (alter) yang 

ada di dalam diri seorang penyandang DID ini . Untuk memisahkan antara 

host dan alter pada diri penyandang DID dapat dilakukan dengan cara 

mencocokkan karakteristik kepribadian yang ditemukan dengan identitas asli 

                                                          


 

yang dimiliki oleh tubuh penyandang DID, contohnya seperti akta kelahiran, 

KTP, dan berbagai macam bukti identitas lainnya. sesudah  mengetahui 

kepribadian-kepribadian apa saja yang ada dalam diri penyandang DID, 

maka perlu diperhatikan apakah tindak pidana yang dilakukannya yaitu  

sebagai akibat dari gangguan jiwa berupa DID yang disandangnya. 

Keterkaitan DID dengan tindak pidana yang dilakukan oleh penyandang 

DID dapat dibuktikan dengan menggali semua informasi mengenai 

kepribadian-kepribadian yang ada dalam diri penyandang DID dan 

menghubungkannya dengan keadaan psikis dirinya pada saat melakukan tindak 

pidana. Pembuktian hal ini dilakukan dengan menggali kebenaran materiil 

tentang kepribadian mana yang mengambil alih kuasa atas diri penyandang 

DID pada saat melakukan tindak pidana. Hal ini sebenarnya sudah diatur di 

dalam Pasal 38 dan 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab 

Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP baru).  

Dalam hal DID sebagai gangguan jiwa yang disandang oleh pelaku tindak 

pidana apabila ternyata kepribadian yang mengambil alih atas dirinya saat 

melakukan tindak pidana yaitu  host, maka ia dapat mempertanggung-

jawabkan perbuatannya dan dijatuhkan pidana. Penyandang DID yang terbukti 

melakukan tindak pidana dalam keadaan sedang dikendalikan oleh alter dapat 

dikatakan sebagai orang yang tidak mampu bertanggungjawab berdasar  

Pasal 44 KUHP, serta seharusnya tidak lagi perlu dibuktikan mengenai unsur 

kesalahan pada dirinya. Dalam situasi seperti ini penyandang DID yang 

melakukan tindak pidana tidak dapat dipidana, namun dalam putusannya 

hakim dapat memasukkan terdakwa ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan 

perawatan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Ayat 2 KUHP. Sebaliknya, 

apabila penyandang DID yang melakukan tindak pidana dalam keadaan host 

sedang mengambil alih atas kuasa dari dirinya maka perlu dibuktikan kesalahan 

yang ada pada dirinya.


TINDAK PIDANA PENDERITA DISSOCIATIVE IDENTITY DISORDER 

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM  

 

A. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Penderita Dissociative Identity Disorder 

Pidana umumnya pada masyarakat awam dikenal dengan sebutan sanksi 

pidana atau hukuman. Pidana yaitu  sebuah derita (nestapa) yang dijatuhkan 

kepada pelaku tindak pidana atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Dalam 

Pasal 10 KUHP, pidana dibagi menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. 

Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana 

denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan 

hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan 

hakim.  

Pidana dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana sebagai bentuk 

pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya. Dalam hal penjatuhan 

pidana terhadap pelaku tindak pidana ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, 

diantaranya :

a. Ada perbuatan pidana yang dilakukan;  

b. Ada pelaku yang mampu bertanggungjawab;  

c. ada kesalahan;  

d. Tidak ada alasan pemaaf.  

Apabila satu syarat saja tidak terpenuhi, maka pelaku tindak pidana tidak 

dapat dibebankan dengan pertanggungjawaban pidana. Orang yang mampu 

mempertanggung-jawabkan perbuatannya dapat diartikan sebagai orang yang 

dianggap mampu menyadari (menginsyafi) perbuatan yang ia lakukan. 

Kemampuan betanggungjawab biasanya dikaitkan dengan keadaan jiwa pada diri 

pelaku tindak pidana. Pasal 44 KUHP merupakan dasar hukum yang mengatur 

tentang ketidakmampuan bertanggungjawab, sebagai lawan dari mampu 

bertanggungjawab. 

                                                         

Jika terbukti bahwa seseorang dengan DID melakukan kejahatan akibat 

ketidakmampuannya mengontrol tindakan sebab  gangguan mentalnya, sistem 

hukum bisa memutuskan bahwa terdakwa memerlukan perawatan kesehatan 

mental daripada hukuman penjara. Ini merupakan bagian dari pendekatan 

rehabilitasi di mana individu dengan gangguan mental mendapatkan perawatan 

yang mereka butuhkan untuk memulihkan kondisi mereka, bukan hanya menjalani 

hukuman. 

 Di Indonesia, hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana yang 

menderita identitas disosiatif dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, 

termasuk beratnya tindak pidana, keadaan individu, dan keputusan hakim. Sistem 

hukum Indonesia biasanya memberikan penekanan pada rehabilitasi dan 

pemulihan, terutama jika pelaku memiliki kondisi kesehatan mental yang 

mempengaruhi perilakunya.96 

Tidak ada peraturan khusus di Indonesia yang secara langsung 

menentukan hukuman bagi pelanggar dengan identitas disosiatif. Keputusan 

hukuman biasanya bergantung pada penilaian hakim terhadap keadaan kasus 

berdasar  fakta yang ada, termasuk informasi tentang kesehatan mental pelaku.  

Meskipun pemerintah Indonesia fokus pada kesehatan mental di bidang 

hukum, namun belum mampu mengatasi seluruh permasalahan hukum di berbagai 

bidang hukum. Negara kita lebih lambat dibandingkan negara lain dalam 

menangani dan memahami permasalahan hukum terkait kesehatan mental, sebab  

kurangnya respon pemerintah terhadap kesehatan mental, yang merupakan aspek 

penting dalam penegakan hukum. Meskipun UU Kesehatan Jiwa merupakan 

bentuk perhatian pemerintah terhadap permasalahan kesehatan jiwa, namun UU 

Kesehatan Jiwa belum mampu menjawab permasalahan peradilan pidana terkait 

kesehatan jiwa.  

UU Kesehatan Jiwa hanya mempertimbangkan permasalahan kesehatan 

jiwa dalam bentuk pelayanan, keterkaitan antara permasalahan kesehatan jiwa dan 

peradilan pidana tidak dipertimbangkan dalam peraturan perundang-undangan ini.  

                                                          

 

Pasal 44 KUHP dan Pasal 39 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang 

Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP baru), merupakan landasan hukum 

yang dapat digunakan untuk penegakan hukum pidana dalam perkara yang 

berkaitan dengan masalah kesehatan jiwa. Pasal 44 KUHP memuat alasan-alasan 

psikologis yang dapat dijadikan dasar penghapusan suatu tindak pidana.97   

Namun mengingat perkembangan ilmu pengetahuan tentang kesehatan 

jiwa, maka keterbatasan rumusan Pasal 44 KUHP tidak dapat memberikan 

kepastian hukum mengenai pertanggungjawaban pidana orang yang menderita 

gangguan jiwa tertentu, dan berbagai aspek ini  perlu dipertimbangkan secara 

mendalam untuk menentukan pertanggungjawaban pidana,98 Pasal 44 mengatur 

bahwa:  

(1)Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat 

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan sebab  jiwanya cacat 

dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu sebab  

penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.  

(2)Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan 

padanya disebabkan sebab  jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau 

terganggu sebab  penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya 

orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun 

sebagai waktu percobaan.  

(3)Ketentuan ini  dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah       

Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. 

Rumusan pasal ini dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang 

dianggap tidak mampu untuk menyadari atau menyadari perbuatan yang 

dilakukannya. Pasal 44 Ayat 1 KUHP secara umum membedakan antara keadaan 

kejiwaan yang dapat menjadi dasar pencabutan pidana terhadap jiwa yang cacat 

perkembangan dan jiwa yang cacat sebab  penyakit, dan mengatur syarat-syarat. 

                                                         

 

untuk memenuhi Keadaan mental yang dijadikan alasan untuk pencabutan 

hukuman.  

Pasal 44 Ayat 1 KUHP mengartikan bahwa orang yang jiwanya cacat dalam 

pertumbuhan atau terganggu sebab  penyakit tidak dapat dipidana, tapi orang 

ini  dapat dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan 

seperti yang disebutkan dalam Pasal 44 Ayat 2  KUHP. Alasan penghapus pidana 

dalam Pasal 44 ini tentunya tidak dapat serta merta digunakan dalam semua kasus 

tindak pidana yang dilakukan oleh penyandang gangguan jiwa. Untuk 

menggunakan alasan ini sebagai dasar penghapus pidana, maka perlu dibuktikan 

apakah tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana ini  memiliki 

keterkaitan dengan gangguan jiwa yang dialaminya.99 

Alasan penghapus pidana dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP dalam bentuk jiwa 

yang cacat dengan gila, manie, hysterie, epilepsie, meancholie, dan berbagai 

macam penyakit jiwa lainnya.100 Selain itu, penyakit jiwa juga dapat mencakup 

suatu bentuk gangguan jiwa dalam ilmu psikologi abnormal yang dimana 

penyandangnya dapat terlihat seperti orang normal pada kehidupan sehari-hari. 

Dalam hal jiwa yang terganggu sebab  penyakit, seseorang dapat saja dihinggapi 

oleh gangguan jiwa yang muncul secara terus-menerus (permanen) maupun secara 

sementara (temporary) atau kumat-kumatan. Salah satu bentuk gangguan jiwa 

yang muncul secara temporary atau kumat-kumatan yaitu  Dissociative Identity 

Disorder (DID).  

 Aturan ketidakmampuan bertanggung jawab secara hukum juga 

dibahas dalam pasal 39  KUHP Baru (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), 

bunyi Pasal 39 KUHP Baru:  

" Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang 

disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran 

psikotik dan/ atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat 

dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.”. 

                                                          

 

Dalam kasus orang dengan DID, pergantian identitas bisa memengaruhi 

kemampuan mereka untuk memahami atau menyadari tindakan mereka pada saat 

tindak pidana terjadi. Ini berarti bahwa seseorang yang memiliki DID mungkin 

bisa berargumen bahwa saat salah satu identitasnya melakukan tindak pidana, 

identitas lainnya (yang sadar saat pemeriksaan) mungkin tidak memiliki kontrol 

atau bahkan ingatan tentang peristiwa ini . 

Dalam penerapan pasal 39 KUHP baru, pengadilan biasanya memerlukan 

pemeriksaan psikiatris oleh ahli kesehatan mental untuk menilai apakah 

seseorang yang didiagnosis dengan DID benar-benar tidak mampu bertanggung 

jawab atas tindakannya. Ini termasuk melihat sejauh mana gangguan ini  

memengaruhi kesadaran dan kontrol terhadap tindakan yang dilakukan. 

Hakim dapat mempertimbangkan beberapa kriteria terkait penyandang 

identitas disosiatif dalam proses pengadilan. Identitas disosiatif merujuk pada 

kondisi mental di mana individu memiliki dua atau lebih identitas atau 

kepribadian yang terpisah dan sering kali tidak menyadari satu sama lain. 

Beberapa kriteria yang dipertimbangkan oleh hakim termasuk:  

Kesadaran Hukum: Hakim mungkin perlu mempertimbangkan apakah 

pelaku DID memiliki pemahaman yang memadai tentang tindakan kriminal yang 

dilakukan oleh identitas tertentu. Studi menunjukkan bahwa dalam beberapa 

kasus DID, identitas yang melakukan tindakan kriminal mungkin tidak 

menyadari tindakan ini  atau tidak memiliki kontrol atas perilaku 

ini .

Bukti Kehadiran Identitas Terpisah: Penting bagi hakim untuk 

mempertimbangkan bukti yang menunjukkan adanya perpindahan identitas atau 

kepribadian yang berbeda. Penelitian psikologis telah mengidentifikasi 

karakteristik klinis yang dapat membantu dalam diagnosis dan identifikasi DID, 

termasuk perpindahan identitas yang disertai amnesia antara identitas.

Risiko Terhadap Masyarakat: Hakim perlu mempertimbangkan risiko yang 

ditimbulkan oleh pelaku DID terhadap masyarakat. Studi menunjukkan bahwa 

tingkat risiko kejahatan serius mungkin lebih rendah pada individu dengan 

gangguan disosiatif daripada pada individu dengan gangguan kepribadian 

antisosial.

Rehabilitasi dan Perawatan: Pertimbangan terhadap rehabilitasi dan 

perawatan mental juga penting. Terapi yang terfokus pada integrasi identitas dan 

pengelolaan gejala disosiatif telah terbukti efektif dalam mengobati DID.

Perlindungan Hak-hak Individu: Hakim harus memastikan bahwa hak-hak 

individu pelaku DID dilindungi sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk 

hak atas pertahanan yang layak dan hak atas perawatan kesehatan mental yang 

memadai. Penelitian hukum telah menyoroti pentingnya memperlakukan pelaku 

dengan gangguan mental secara adil dalam sistem peradilan pidana.

Pertimbangan-pertimbangan ini dapat membantu hakim dalam membuat 

keputusan yang adil dan tepat dalam kasus-kasus yang melibatkan individu 

dengan identitas disosiatif. 

berdasar  perspektif psikologi Islam, kepribadian ganda merupakan 

serangkaian perilaku manusia yang menyimpang dari fitrah asli yang murni, 

bersih dan suci, yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sejak zaman azali. 

Gangguan ini  dapat menyebabkan rusaknya jiwa sehingga jiwa menjadi 

kosong, hati akan mati, walaupun secara fisik terlihat gagah dan sehat. Individu 

yang mengalaminya akan mengalami kekosongan kalbu, gelisah, gersang dan 

tidak dapat menikmati kehidupannya. 

Islam memandang mengenai gangguan kepribadian sering diidentikkan 

dengan akhlak tercela, yaitu perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. 

                                                          

Gangguan kepribadian yang mengarah kepada perilaku buruk atau akhlak tercela 

yang sering dikenal dengan istilah psikopatologi. Psikopatologi atau sakit mental 

yaitu  sakit yang tampak dalam bentuk perilaku dan fungsi kejiwaan yang tidak 

stabil. Istilah psikopatologi ini mengacu pada sebuah sindrom yang luas, yang 

meliputi ketidaknormalan kondisi indra, kognisi dan emosi. 

Psikopatologi dalam Islam dapat dibagi dalam dua kategori; pertama, 

bersifat duniawi. Macam-macam psikopatologi dalam kategori ini berupa gejala-

gejala atau penyakit kejiwaan yang telah dirumuskan dalam wacana psikologi 

kontemporer; kedua, bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan 

terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual dan agama.107 Namun 

dalam hal ini, peneliti hanya akan menjelaskan lebih lanjut mengenai kategori 

yang berhubungan dengan pokok penelitian ini yakni kategori pertama yang 

bersifat duniawi.  

Model psikopatologi yang pertama memiliki banyak kategori. Hal itu 

disebabkan oleh perspektif masing-masing psikolog yang berbeda-beda. 

Pertama, dari perspektif biologi, idenya yaitu  bahwa gangguan fisik 

menyebabkan gangguan mental seseorang. Kedua, dari perspektif psikoanalitik, 

idenya yaitu  bahwa gangguan mental disebabkan oleh konflik bawah sadar 

yang biasanya berawal dari masa kanak-kanak awal dan pemakaian mekanisme 

pertahanan untuk mengatasi kecemasan yang ditimbulkan oleh impuls dan emosi 

yang depresi. Ketiga, dari perspektif perilaku, yang memandang gangguan 

mental dari titik pandang teori belajar dan berpendapat bahwa perilaku abnormal 

yaitu  cara yang dipelajari untuk melawan stres. Keempat, dari perspektif 

kognitif, idenya yaitu  bahwa gangguan mental berakar dari gangguan proses 

kognitif dan dapar dihilangkan dengan mengubah kondisi yang salah ini .108 

Akhlak tercela dianggap sebagai psikopatologi, sebab hal itu 

mengakibatkan dosa (al-itsm), baik dosa vertikal maupun dosa horizontal atau 

sosial. Dosa yaitu  kondisi emosi seseorang yang dirasa tidak tenang sesudah  ia 

                                                          


melakukan suatu perbuatan (baik perbuatan lahiriah maupun batiniah) dan 

merasa tidak enak jika perbuatannya itu diketahui oleh orang lain. Padahal dosa 

biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebab jika diketahui oleh orang 

lain maka dapat menurunkan harga dirinya. sebab  itu tidak mengherankan 

apabila pelaku dosa hidupnya selalu sedih, resah, bimbang, gelisah dan dihantui 

oleh perbuatan dosanya.

Baik dalam Alquran maupun Sunah, jenis-jenis psikopatologi Islami banyak 

sekali. Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun setidak-tidaknya dapat 

dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Psikopatologi yang berhubungan dengan akidah atau hubungan dengan 

Tuhan (ilahiyah), seperti syirik, kufur, zindiq dan sebagainya;  

2. Psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan 

(insaniyah), seperti hasud, ujub, ghadab, su’ al-zhan dan sebagainya;  

3. Psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia, 

seperti riya’, nifak dan sebagainya.  

Berbagai bentuk psikopatologi Islam ini  seringkali dilupakan oleh para 

psikiater atau ahli jiwa kontemporer, padahal disadari atau tidak dan diakui atau 

tidak, bentuk-bentuk psikopatologis di atas dapat menghambat aktualisasi dan 

realisasi diri seseorang, bahkan sering kali mendatangkan penyakit fisik.

Sedangkan,Pertanggungjawaban pidana dalam Islam (syariat) yaitu  

pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan 

yang dikerjakannya (Unsur Obyektif) dengan kemauan sendiri, dimana orang 

ini  mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya (Unsur Subyektif).  

Pembebanan ini  disebab kan perbuatan yang dilakukan itu yaitu  

telah menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam arti 

perbuatan yang dilarang secara syar’i, baik dilarang melakukan atau dilarang 

meninggalkan. Pembebanan juga disebab kan perbuatan itu sendiri dikerjakan 

                                                          

berdasar  keinginan dan kehendak yang timbul dalam dirinya bukan dorongan 

yang ditimbulkan oleh orang lain secara paksa (dipaksakan).  

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam syariat (hukum) Islam 

pertanggungjawaban itu didasarkan pada tiga hal:112  

a. Adanya perbuatan yang dilarang  

b. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri  

c. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan itu  

Apabila adanya ketiga hal ini  di atas, maka pertanggungjawaban itu 

ada pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana (kejahatan), jika 

sebaliknya maka tidak ada perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. 

sebab  itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, 

anak-anak yang belum mencapai umur balig atau orang yang dipaksakan untuk 

melakukan perbuatan kejahatan, yang mengakibatkan terancam jiwanya. Dalam 

hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya membebankan hukuman 

pada orang yang masih hidup dan mukalaf, hukum Islam juga mengampuni 

anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali 

jika ia telah balig. Hal ini didasarkan pada dalil Alquran surat An- Nuur (24) ayat 

59 yang berbunyi :  

ُ لَُكْم َواَِذا بَلََغ اْالَْطفَاُل ِمْنُكُم اْلُحلَُم فَْلیَْستَأِْذنُْوا َكَما اْستَأَْذَن الَِّذْیَن ِمْن قَْبِلِھْمۗ َكٰذِلَك یُبَ  ّٰ یُِّن 

ُ َعِلْیٌم َحِكْیمٌ  ّٰ  ٰاٰیتِٖھۗ َو

 “Apabila anak-anak di antaramu telah sampai umur dewasa, hendaklah mereka 

meminta izin seperti halnya orang-orang yang (telah dewasa) sebelum mereka 

(juga) meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya 

kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”  

Dalam pandangan hukum Islam mengenai ketentuan hukum kepidanaan 

sering diartikan dengan sebuah kata dengan apa yang dikenal dengan sebutan 

jarimah dan jinayah. Hanya saja, terhadap ketentuan dalam Islam ini lebih di 

perjelas dengan ketentuan bahwa hukumannya ataupun atas 

                                                          

pertanggungjawaban dari perbuatan dengan ketentuan kepidanaan ini akan 

berupa qishas dan hudud maupun takzir.113 

 Gila dalam hal pembunuhan secara umum terbagi dua, yaitu sebelum dan 

sesudah melakukan tindak pidana pembunuhan. Gila yang timbul sesudah 

seseorang telah melakukan tindakan jarimah, baik dari sebelum di proses pada 

pengadilan maupun sesudah  di proses oleh pengadilan. Adapun tehadap sebuah 

pertaggungjawaban yang akan dikenakan kepada orang gila hal ini akan tentu 

dapat berkaitan dengan ketentuan kepidanaan ini akan dapat mengakibatkan 

kondisi yang berbeda-beda, dimana perbedaan-perbedaan ini akan dipengaruhi 

oleh kondisi dua aspek, yaitu: dimana gilanya disertai jarimah atau terjadi 

sesudahnya oleh perbuatan itu.  

Atas dasar mengenai kondisi gila disertai sebuah tindakan yang 

menimbulkan sebuah ketentuan kepidanaan (dimana pada saat melakukan 

perbuatan ini  dalam kondisi kejiawaan yang gila), maka pelakunya akan 

dilepaskan dari segala macam bentuk pertanggung jawaban pidana yang ada, 

oleh sebab  saat melakukan hal demikian dia tidak memiliki kemamuan pada 

dirinya idrak (berfikir). Atas dasar ketentuan diatas didalam islam dilandasannya 

oleh sebuah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:  

 

عن علي رضي هللا عنھ عن النبي صلى هللا علیھ وسلم قال: "ُرفَِع اْلقَلَُم عن ثالثة: 

رواه ابو  .َظ، وعن الصبي حتى یَْحتَِلَم، وعن المجنون حتى یَْعِقلعن النائم حتى یَْستَْیقِ 

  داود

Dari Ali -raḍiyallāhu 'anhu-, dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam beliau 

bersabda, “Pena (pencatat amal) akan diangkat dari tiga orang, yaitu: dari 

orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia balig, dan dari 

orang yang gila sampai dia sampai dia sadar (berakal).” (H.R. Abu Daud).

berdasar  atas penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa apabila 

seseorang yang telah mengidap penyakit dimana pada dirinya ada sifat gila 

atas dirinya yang akan melakukan sebuah tindakan jarimah al-hudud atau 

perbuatan pidana yang akan berkonsekuensi terkait dengan penegakan had, 

seperti perbuatan yang dilarang seperti: melakukan perbuata zina, menjadi 

seorang pemabuk, menajadi seorang pencuri dan lain sebagainya maka dia 

tidak akan terkena sebuah hukuman had atau dengan kata lain dinyatakan gugur 

atas segala macam bentuk perbuatan yang telah dilakukannya.  

Adapun dalam perbuatan pidana yang akan berkaitan dengan konsekuensi 

qishas dan diyat. Maka terhadap orang gila itu tidaklah diqishash. Melainkan 

pada hukuman yang akan dikenakan pada dirinya akan diganti dengan uqubah 

Maliyah, yaitu dengan cara melakukan pembayaran dengan diyat. Hal ini  

disebab kan oleh sebab  kejahatan yang akan berkaitan dengan hak-hak hamba 

itu tidak bisa digugurkan dengan sendirinya seperti halnya pada hak yang 

diberikan oleh Allah. Sedangkan terhadap perbuatan dimana pembunuhan yang 

telah dia lakukan itu akan disamakan dengan al-qathl al-khata’. Sebagaimana 

pendapat mayoritas sebagaian ulama selain Syafi’i menyebutkan “(perbuatan) 

yang disengaja oleh orang gila itu (dianggap) khata”.115 

Penulis juga menyimpulkan apabila pada DID seseorang telah mengalami 

kondisi yang dinyatakan bahwa dia mengidap penyakit identitas disosiatif 

kemudian melakukan perbuatan pidana, maka pelakunya akan dibebaskan dari 

segala macam bentuk pertanggung jawaban pidana, sebab  dia tidak memiliki 

kemampuan untuk dapat membedakan apakah perbutan yang telah dia lakukan 

ini  merupakan sebuah perbuatan yang dilarang ataupun tidak.Sementara 

dalam hukum islam pada ketentuan tindak pidana yang telah berkonsekuensi 

qishash dan diyat. Maka, pada diri orang gila ini  tidaklah di qishash. 

Melainkan pada hukumannya akan digantikan dengan uqubah Maliyah 

(hukuman harta). 

 

                                                          

B. Kasus Dissociative  Identity Disorder 

Dalam lingkaran hukum, DID telah digambarkan sebagai salah satu 

diagnosa psikiatris dan penilaian forensik yang paling disengketakan. Jumlah 

kasus pengadilan yang melibatkan DID telah meningkat secara substansial 

sejak 1990-an dan diagnosis menyajikan berbagai tantangan untuk sistem 

hukum. DID difokuskan pada studi antara tahun 1880 dan 1920 dan pada tahun 

1944, 67% dari semua kasus yang diketahui telah dilaporkan selama waktu 

itu.116 Laporan kasus gangguan identitas disosiatif (DID) kemudian jatuh 

secara dramatis mungkin sebab  meningkatnya diagnosis skizofrenia dan 

sebab  munculnya Freud. Pada tahun 1970-an, diagnosis gangguan identitas 

disosiatif meningkat secara dramatis sesudah  penerbitan buku yang sangat 

populer, Sybil, pada tahun 1973 (Dissociative Identity Disorder: I'm Not Sybil). 

Pada tahun 1970-an saja, diperkirakan bahwa lebih banyak kasus DID 

dilaporkan dari pada sepanjang sejarah sejak 1816 dan kasus terkenal Mary 

Reynolds. Antara 1991 dan 1997, lebih dari 500 kasus DID dirawat di pusat 

perawatan gangguan disosiatif tunggal di Dallas, Texas. Selain itu, sebab  

semakin banyak kasus DID dilaporkan, semakin banyak kepribadian alternatif 

(alter) dilaporkan dalam setiap kasus. Mayoritas kasus yang dicatat pada tahun 

1944 bermanifestasi dengan hanya dua kepribadian, sementara ada rata-rata 

15,7 perubahan kepribadian yang tercatat dalam kasus yang dilaporkan pada 

tahun 1997. Kasus Tindak Pidana Dissociative Identity Disorder yang terkenal 

diantaranya ialah kasus Billy Milligan, Juanita Maxwell, dan Louis Vivet.  

Billy Milligan yaitu  warga negara Amerika, yang terkenal dengan 

gangguan kepribadian ganda. Dia didakwa melakukan pemerkosaan dan 

perampokan, tetapi merupakan orang pertama yang dibebaskan oleh 

pengadilan AS sebab  gangguan mental. Pada tahun 1977, dia dikirim untuk 

perawatan wajib dan menjalani sejarah psikiatris sebagai pemilik 24 

kepribadian penuh.117 sesudah  dirawat oleh dr. David Caul, semua kepribadian 

dalam diri Billy, dengan sukarela bersedia untuk dipersatukan, tetapi dr. Caul 

                                                          

mendapat kesulitan sebab  masyarakat dan media massa setempat tidak senang 

dengan metode perawatannya yang memberi kebebasan kepada pasien untuk 

bergaul dengan masyarakat. Masyarakat yang masih trauma sebab  perbuatan 

kepribadian-kepribadian Billy, merasa keberatan dan sering mendiskreditkan 

Billy sehingga 24 kepribadian dalam tubuh Billy saling bertengkar sendiri dan 

Billy harus menjalani terapi selama 10 tahun sebelum ia bisa berfungsi sebagai 

manusia normal. 

Kemudian, pada tahun 1979 kasus Juanita Maxwell yang berusia 23 

tahun bekerja sebagai pelayan hotel di Fort Myers, Florida. Pada bulan Maret 

tahun itu, tamu hotel berusia 72 tahun Inez Kelley dibunuh secara brutal; dia 

dipukuli, digigit, dan dicekik sampai mati. Maxwell ditangkap sebab  ada 

darah di sepatunya dan goresan di wajahnya. Dia mengaku tidak tahu apa yang 

terjadi. Saat menunggu persidangan, Maxwell menemui seorang psikiater, dan 

saat  dia pergi ke persidangan, dia mengaku tidak bersalah sebab  dia 

memiliki banyak kepribadian. Dia memiliki enam kepribadian di samping 

kepribadiannya, dan salah satu kepribadian dominan, Wanda Weston, 

melakukan pembunuhan. Di persidangannya, tim pembela, melalui 

penggunaan pekerja sosial, membuat Wanda berdiri di mimbar. Hakim berpikir 

bahwa transformasi itu sangat luar biasa. Juanita yaitu  seorang wanita yang 

bersuara lembut, tetapi Wanda yaitu  orang yang berani dan genit dan 

menyukai kekerasan. Dia tertawa saat  dia mengaku memukuli warga senior 

itu dengan lampu sebab  ketidaksepakatan tentang pena. Hakim yakin bahwa 

dia memiliki kepribadian ganda atau pantas menerima Academy Award. 

Maxwell dikirim ke rumah sakit jiwa, di mana dia mengatakan dia tidak 

mendapatkan perawatan yang tepat dan hanya menerima obat penenang. Dia 

dibebaskan, tetapi pada tahun 1988, dia ditangkap lagi.118 

Louis Vivet lahir dari seorang pelacur pada 12 Februari 1863, Vivet 

diabaikan sebagai seorang anak. Pada saat dia berusia delapan tahun, dia telah 

melakukan tindak kejahatan. Dia ditangkap dan ditempatkan di sebuah rumah 

                                                          

perawatan sampai remaja. saat  dia berusia 17 tahun, dia bekerja di kebun 

anggur, dan seekor ular beludak melingkari lengan kirinya. Meskipun ular itu 

tidak menggigitnya, ular itu sangat menakutkan sehingga Vivet mengalami 

kejang-kejang dan secara psikosomatis lumpuh dari pinggang ke bawah. 

saat  lumpuh, dia ditempatkan di rumah sakit jiwa, tetapi sesudah  satu tahun, 

dia mulai berjalan lagi. Vivet sekarang tampak seperti orang yang sama sekali 

berbeda. Dia tidak mengenali siapa pun di rumah sakit jiwa, suasana hatinya 

jauh lebih gelap, dan bahkan selera makannya berbeda. saat  dia berusia 18 

tahun, dia dibebaskan dari suaka tetapi tidak tinggal lama. Selama beberapa 

tahun berikutnya, Vivet keluar masuk rumah sakit. Selama antara 1880 dan 

1881, dia didiagnosis dengan banyak kepribadian. Menggunakan hipnosis dan 

metaloterapi (menempatkan magnet dan logam lain pada tubuh), seorang 

dokter menemukan hingga 10 kepribadian yang berbeda, semuanya dengan 

sifat dan sejarah mereka sendiri. Namun, sesudah  meninjau kasus ini di tahun-

tahun berikutnya, beberapa ahli percaya dia mungkin hanya memiliki tiga 

kepribadian.

Seorang wanita asal Indonesia yang lahir sekitar 27 tahun silam ini pada 

tahun 2009 didiagnosis mengidap Dissociative Identity Disorder (DID) atau 

gangguan identitas disosiatif. Anastasia Wella menjadi pasien pengidap 

gangguan identitas disosiatif pertama yang diketahui di Indonesia. Gangguan 

yang muncul pada dirinya disebabkan oleh trauma parah yang dialami akibat 

perlakuan kasar dari orang tuanya. Selain itu, Anastasia Wella sering 

mengalami tekanan dari lingkungan sekolah, Wella sering dikucilkan, dianggap 

culun hingga dibuat merasa minder, dibully dan sering merasa sendiri sehingga 

merasakan takut yang berlebihan. Semua pengalaman buruk yang menimpa 

Wella terjadi saat  Wella masih berusia sekitar 9 tahun dan kejadian-kejadian 

ini  terjadi secara berulang. Pengalaman buruk itulah yang memaksakan 

kepribadian Wella terpecah menjadi 9 kepribadian.

 

DID dalam konsep psikologi dipandang sebagai suatu bentuk gangguan 

jiwa dalam kategori gangguan disosiatif. Sedangkan kedudukan DID dalam 

konsep hukum perlu dikaji melalui Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang 

Kesehatan Jiwa yang di dalamnya ada pengertian mengenai gangguan jiwa 

dengan menyebutkan “Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya 

disingkat ODGJ yaitu  orang yang menyandang gangguan dalam pikiran, 

perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala 

dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan 

penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia”. 

berdasar  pengertian ODGJ yang termuat dalam pengertian ini , 

dapat disimpulkan bahwa segala bentuk gangguan jiwa yang diakui dalam 

konsep psikologi diakui keberadaannya oleh Undang-Undang Kesehatan Jiwa. 

Hukum pidana melalui pasal 44 Ayat  1 dan Pasal 39 KUHP Baru memandang 

ODGJ sebagai orang yang tidak mampu mempertanggungjawabkan 

perbuatannya dan tidak dapat dipidana. Undang-Undang Kesehatan Jiwa 

menggunakan istilah gangguan jiwa untuk menggambarkan suatu keadaan jiwa 

yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan dengan 

berbagai bentuk gejala maupun perubahan perilaku yang dapat menimbulkan 

penderitaan dan hambatan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.  

Dengan demikian, orang yang menyandang suatu gangguan jiwa dapat 

dianggap sebagai orang dengan jiwa yang terganggu sebab  penyakit seperti 

yang disebutkan dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP. Penjelasan-penjelasan ini  

membuktikan bahwa penyandang DID yang diakui oleh Undang-Undang 

Kesehatan Jiwa sebagai orang yang mengalami suatu gangguan jiwa telah 

memenuhi unsur-unsur sebagai orang dengan jiwa yang terganggu sebab  

penyakit dalam konsep Pasal 44 Ayat 1 KUHP. Dengan terpenuhinya unsur-

unsur ini , maka Dissociative Identity Disorder (DID) dalam konsep 

hukum pidana dapat dijadikan sebagai alasan pengahapus pidana dalam Pasal 

44 Ayat 1 KUHP dan Pasal 39 KUHP Baru. 

 

 

berdasar  hasil uraian pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang 

dapat diambil dari penelitian ini yaitu : 

1. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Penderita Dissociative Identity 

Disorder dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk 

beratnya tindak pidana, keadaan individu, dan keputusan hakim. Sistem 

hukum Indonesia biasanya memberikan penekanan pada rehabilitasi dan 

pemulihan, terutama jika pelaku memiliki kondisi kesehatan mental yang 

mempengaruhi perilakunya. Pasal 44 KUHP dan Pasal 39 KUHP Baru 

merupakan salah satu dasar hukum yang dapat digunakan pada hukum 

pidana yang berkaitan dengan masalah kesehatan jiwa. Adapun Kebijakan 

bagi penderita DID dalam hukum Islam yaitu tidak tidak dapat dihukum 

atau dapat diganti dengan denda atau harta. DID bisa dikategorikan 

sebagai orang gila, sebab  memiliki gangguan jiwa, apabila atas dasar 

mengenai kondisi gila disertai sebuah tindakan yang menimbulkan sebuah 

ketentuan kepidanaan (dimana pada saat melakukan perbuatan ini  

dalam kondisi kejiawaan yang gila), maka pelakunya akan dilepaskan dari 

segala macam bentuk pertanggung jawaban pidana. 

2. Kasus Dissociative Identity Disorder yang terkenal ialah kasus Billy 

Milligan, Juanita Maxwell, dan Louis Vivet. Billy Milligan didakwa 

melakukan pemerkosaan dan perampokan, tetapi merupakan orang 

pertama yang dibebaskan oleh pengadilan AS sebab  gangguan mental. 

Kemudian, pada tahun 1979 kasus Juanita Maxwell, dia ditangkap sebab  

kasus pembunuhan yang dilakukannya secara brutal. Adapun kasus Louis 

Vivet lahir dari seorang pelacur pada 12 Februari 1863, Vivet diabaikan 

sebagai seorang anak. Pada saat dia berusia delapan tahun, dia telah 

melakukan tindak kejahatan. Dia ditangkap dan ditempatkan di sebuah 

rumah perawatan sampai remaja,saat  dia berusia 18 tahun, dia 

dibebaskan dari suaka tetapi tidak tinggal lama.  


1. Kerja sama antara sistem peradilan dan lembaga kesehatan mental perlu 

ditingkatkan, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk membentuk 

lembaga khusus yang bertugas menilai kondisi mental terdakwa dalam 

kasus yang melibatkan penderita gangguan mental seperti Dissociative 

Identity Disorder (DID). 

2. Pemerintah dan pembuat kebijakan disarankan untuk memperkuat 

regulasi yang mengatur pemidanaan bagi penderita gangguan mental, 

termasuk DID. Pengembangan kebijakan rehabilitasi yang lebih 

komprehensif dan akurat harus menjadi prioritas. 

3. Penderita seperti Dissociative Identity Disorder (DID), terlibat dalam 

tindak pidana disarankan untuk memprioritaskan rehabilitasi 

dibandingkan dengan pemidanaan konvensional. Penderita perlu 

mendapatkan akses terhadap terapi yang memadai dan perawatan 

psikologis untuk membantu mereka mengatasi gangguan identitasnya. 

4. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk memahami bagaimana 

gangguan mental seperti Dissociative Identity Disorder (DID), 

memengaruhi tindakan kriminal dan tanggung jawab pidana. Studi yang 

mendalam dapat membantu sistem peradilan dalam membuat kebijakan 

yang lebih tepat terkait kasus-kasus ini. 

 

 

 

 


Related Posts:

  • kepribadian ganda 5 badian utama" sadar atau memiliki kontrol atas tindakan yang dilakukan oleh "kepribadian lain."  Jika ahli psikologi menyimpulkan… Read More