Dissociative Identity Disorder (DID) pada masyarakat awam
dikenal dengan istilah gangguan kepribadian ganda. Gangguan ini ditandai
oleh adanya dua atau lebih kepribadian pada diri seorang individu,
kepribadian - kepribadian ini terdiri dari kepribadian utama atau host
dan kepribadian alternatif atau alter, dimana kepribadian alternatif ini
dapat muncul dengan berbagai macam tipe mulai dari anak kecil, orang
tua, hingga dapat berperilaku menyerupai hewan.1 Individu dengan
gangguan identitas disosiatif (DID) memiliki perubahan sifat yang berbeda
dari biasanya, kepribadian alternatif yang ada pada diri penyandang DID
seringkali mengambil alih kuasa atas diri penyandang DID yang membuat
dirinya seringkali mengalami amnesia (lupa ingatan) sehingga dirinya
tidak mampu menyadari perbuatan apa yang dilakukan.2
Teori Saks telah mengajukan teori non-tanggung jawab umum
pada individu dengan DID, teori Saks memperlakukan identitas pasien
DID sebagai identitas yang terpisah, dan oleh sebab itu menyatakan
bahwa pengadilan tidak boleh meminta pertanggungjawaban pasien DID
atas kejahatan yang dilakukan kecuali seluruh identitas yang ada dalam
diri seseorang terlibat dalam kejahatan, yang berarti mereka melakukan
kejahatan atau bisa saja melakukan kejahatan ikut campur.3 Teori ini
berkorelasi dengan hak atas pengadilan yang adil, lebih baik membebaskan
sepuluh orang yang bersalah daripada memenjarakan satu orang yang tidak
bersalah, sebab hal ini berisiko menimbulkan kepercayaan masyarakat
terhadap proses hukum dan keseluruhan sistem politik.
Data menunjukkan bahwa hanya beberapa kasus gangguan
kepribadian ganda yang didiagnosis di seluruh dunia namun, pada tahun
1990-an puluhan ribu lebih kasus gangguan kepribadian ganda telah
didiagnosis, sehingga beberapa profesional dan ahli percaya bahwa
kepribadian ganda lebih mungkin terjadi dari pada yang diperkirakan
sebelumnya.5
Di beberapa negara pernah terjadi tindak pidana yang dilakukan
oleh penderita DID, disebutkan pada penelitian yang dilakukan Nakic dan
Thomas memaparkan kasus Goering Orndorff, seorang wanita yang telah
membunuh suaminya dan mengubah TKP selama proses uji coba dokter
spesialis diminta menilai kompetensinya untuk bertahan dalam uji coba
sebab adanya gejala disosiatif.
Beberapa ahli telah menyetujui penerapan diagnosis DID pada Ny.
Orndorffan menyampaikan pendapat mereka selama persidangan, namun
kemudian terungkap bahwa TKP sengaja diubah, dan Ny. Orndorff telah
memberi tahu teman satu selnya bahwa sebenarnya dia sadar saat
melakukan pembunuhan dengan mempertimbangkan semua fakta ini,
pengadilan memutuskan dia bersalah dan menjatuhkan hukuman 32 tahun
penjara.6
Sejalan dengan teori Saks, ada beberapa kasus DID yang
mendapatkan putusan tidak dihukum yaitu kasus Juanita Maxwell yang
terjadi di Florida pada tahun 1979 dianggap sebagai salah satu peristiwa
paling tidak biasa pada saat itu Maxwell ditangkap sebab kasus
pembunuhan, Juanita Maxwell didiagnosis menderita DID dimana dia
memiliki enam identitas. Selain itu, identitas pelaku kejahatan bernama
Wanda Weston yang diminta diadili, orang-orang terkesan sebab Juanita
yaitu wanita yang lembut dan berperilaku tenang, namun Wanda tampak
lebih agresif dan kasar,7 sebab dia yaitu seorang wanita yang menderita
DID, pengadilan memutuskan dia tidak bersalah dan mengirim pasien
ini ke rumah sakit jiwa.8
Mengutip laman Sehat Negeriku Kemenkes, Indonesia memiliki
prevalensi orang dengan gangguan jiwa kurang lebih 1 dari 5 orang. Jika
dikaitkan dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, jumlah
mereka yang rentan mengalami masalah gangguan jiwa mencapai 20
persen dari populasi penduduk di negeri ini.9
Kasus kepribadian ganda jarang terjadi di Indonesia, DID
berpotensi mengakibatkan tindak kriminal sebab orang dengan
kepribadian ganda tidak memiliki kendali atas dirinya saat berada di
kepribadian lain, beberapa kasus tindak pidana yang dilakukan oleh
penderita DID di Indonesia yaitu yang terjadi di Malang dalam tindak
pidana pornografi, namun kasus ini masih dalam tahap penyidikan oleh tim
penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur (selanjutnya disebut Polda Jatim),
tindak pidana yang dilakukan dalam kasus ini dilakukan oleh
tersangka yang berinisial AH dan ACS dengan menyebarkan 92 video
pornografi ke dalam media sosial dengan nama Twitter, tersangka yang
berinisial AH dalam kasus ini diduga menyandang DID dengan beberapa
kepribadian yang ada di dalam dirinya. Tersangka AH saat ini masih
dalam proses pemeriksaan kesehatan jiwa di Rumah Sakit Bhayangkara
Surabaya untuk membuktikan kebenaran DID yang disandang dan
tentunya akan sangat berpengaruh terhadap pertanggungjawaban
pidananya.
Tindak pidana pelaku DID juga disebutkan dalam Putusan Nomor
9/Pid.B/LH/2021/Pn.Bpd. dengan terdakwa Mustakim dan Ridwan.11
Keduanya dituntut atas tindak pidana penambangan tanpa izin usaha
pertambangan (IUP) sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang
No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP. Terdakwa I mengidap multiple disorder atau kepribadian ganda
sehingga menjadi hal yang meringankan, namun dalam putusan ini
Terdakwa I dihukum 8 Bulan Penjara dan Denda 800 Juta.12
Sebagai suatu bentuk gangguan jiwa yang diakui dalam konsep
psikologi, DID juga harus ditinjau lebih dalam mengenai kedudukannya
secara hukum terutama sebagai alasan penghapus pidana dalam Pasal 44
Ayat 1 KUHP yang tentunya akan mempengaruhi pertanggungjawaban
pidana terhadap penyandang DID yang melakukan tindak pidana apapun.
Orang yang telah terbukti melakukan suatu perbuatan yang
memenuhi unsur tindak pidana maka perlu untuk dibebankan kepadanya
pertanggungjawaban pidana sebagaimana regulasi yang berlaku namun,
gangguan jiwa sebagai dasar untuk seseorang dapat dianggap tidak mampu
bertanggungjawab secara pidana diatur dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang
menyebutkan bahwa “barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungkan kepadanya sebab jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu sebab penyakit, tidak dipidana”.
Pasal 44 Ayat 1 KUHP membagi gangguan jiwa yang dapat
menghapus pidana menjadi dua bentuk, yaitu jiwa yang cacat dalam
pertumbuhan dan terganggu sebab penyakit. DID bisa golongkan sebab
penyakit yang terganggu pada seseorang yang berhubungan dengan akal
ataupun pikiran.
Pasal 39 KUHP Tahun 2023 juga menjelaskan bahwa seeorang
dengan disabilitas mental tidak dapat dijatuhi dipidana, pasal ini berbunyi,
“Setiap orang yang pada waklu melakukan Tindak Pidana menyandang
disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai
gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat
tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan”. Hal ini
membuat rumusan Pasal 44 Ayat 1 dan Pasal 39 KUHP Tahun 2023
menjadi kabur, sebab saat ini studi mengenai gangguan jiwa mengalami
perkembangan yang pesat sehingga ada berbagai macam jenis jiwa
yang tidak mampu diakomodir oleh Pasal 44 Ayat 1 KUHP dan Pasal 39
KUHP Tahun 2023.14
Sementara ini kasus DID ini lebih ditekankan kepada penghapusan
pidana namun seharusnya ada aturan khusus terkait ini. Kasus DID di
Indonesia banyak terjadi namun memang belum masuk ke tahap peradilan,
jika dimungkinkan masuk ke tahap peradilan maka perlu dikaji lebih
lanjut, terkait unsur perbuatan tindak pidana atau dibebaskan di mata
hukum seperti kasus Juanita Maxwell, namun bisa juga dihukum
berdasar kasus Goering Orndorff yang secara sadar mengubah TKP
dan memberi tahu teman satu selnya bahwa dia melakukan pembunuhan.15
Dalam perspektif hukum Islam, pertanggungjawaban pidana dalam
hukum Islam merupakan suatu pembebanan terhadap seseorang dengan
akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya atas
kemauan sendiri, dimana orang ini mengetahui maksud serta akibat
dari perbuatannya.
Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Syariat islam yang dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi
bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi
syariat, yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang
ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Perintah Allah
yang dimaksud harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang
lain.17
Hukum Islam memandang seseorang sebagai mukallaf yakni
bertanggung jawab secara pidana apabila ia mempunyai kekuatan berpikir
(idrak) dan kekuatan memilih (ikhtiyar), apabila salah satu dari kedua
unsur ini tidak ada maka tanggung jawab pidana menjadi gugur. Gila
dapat didefinisikan dengan hilangnya akal, rusaknya akal atau lemahnya
akal, pengertian ini mencakup gila dan dungu serta berbagai keadaan sakit
jiwa yang mengakibatkan hilangnya kekuatan berpikir.18
Bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat syariat
Islam dimaksud secara materil mengandung kewajiban asasi bagi setiap
manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat
menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak, setiap orang
hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah SWT
ini , perintah Allah SWT yang dimaksud, harus ditunaikan baik untuk
kemaslahatan manusia pribadi maupun orang lain.19 Berbeda dengan
hukum pidana positif yang nyata-nyata buatan manusia, sebab produk
hukum ini merupakan olahan pikiran dari manusia, pastilah
mempunyai kekurangan maupun celah-celah sehingga manusia dengan
seenaknya dapat melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Menimbang berbagai kasus tindak pidana oleh pelaku dengan
riwayat DID yang telah dipaparkan sebelumnya, terlepas dari mereka ada
yang dihukum ringan ataupun berat, sangat penting untuk
mempertimbangkan penyakit yang mereka derita, jika mereka melakukan
tindakan kriminal di luar kesadarannya, maka mereka berhak mendapatkan
asas keadilan sesuai ketentuan yang berlaku. Di sisi lain, DID sering kali
dijadikan sebagai senjata dalam membela diri dan terbebaskan dari
hukuman, sehingga merugikan pihak lainnya (korban). Maka dari itu, perlu
untuk dikaji lebih lanjut dan dibuatkan kebijakan khusus mengenai tindak
pidana DID.
berdasar paparan paragraf sebelumnya mengenai
permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh penderita gangguan
identitas disosiatif, maka perlu untuk menimbang bahwa kasus ini
membutuhkan perhatian khusus, mengingat di Indonesia belum ada
kebijakan khusus yang mengatur terkait ini, Maka penulis mengkaji dan
akan menganalisisnya dalam penelitian dengan judul “PEMIDANAAN
PELAKU TINDAK PIDANA PENDERITA DISSOCIATIVE
IDENTITY DISORDER (DID)”.
B. Identifikasi, Pembahasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
berdasar masalah yang telah penulis paparkan di atas, maka
penulis berpandangan bahwa ada beberapa masalah yang harus
diklasifikan dan diidentifikasikan agar penelitian tetap berada dalam
ruang lingkup penulis akan membahas sebagai berikut :
a. Tindak pidana yang dilakukan oleh penderita Dissociative Identity
Disorder (DID).
b. Kebijakan Hukum Pidana bagi penderita Dissociative Identity
Disorder.
c. Kriteria pertimbangan hakim pada pelaku yang menyandang
Dissociative Identity Disorder.
d. Pandangan hukum mengenai gangguan identitas disosiatif
menurut hukum positif di Indonesia dan hukum pidana Islam.
e. Pertanggungjawaban pidana dan penerapan sanksi bagi pelaku
tindak pidana yang memiliki gangguan identitas disosiatif.
f. Kekaburan pasal 44 Ayat 1 KUHP yang tidak memberikan
batasan- batasan yang jelas mengenai keadaan jiwa yang dapat
menjadi alasan penghapus pertanggungjawaban pidana.
g. Pemulihan dan rehabilitasi bagi penderita DID yang terlibat dalam
tindak pidana.
2. Pembatasan Masalah
berdasar identifikasi masalah di atas, penulis membatasi
penelitian mengenai kebijakan hukum pidana dan mengenai kasus-kasus
pelaku penderita Dissociative Identity Disorder (DID) dan
pertanggungjawabannya.
3. Rumusan Masalah
berdasar identifikasi masalah di atas, permasalahan peneliti
yaitu tentang seseorang yang mengalami Dissociative Identity
Disorder untuk mempertajam permasalahan peneliti maka penulis
membuat rincian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana kebijakan hukum pidana bagi penderita Dissociative
Identity Disorder perspektif hukum positif dan hukum islam?
b. Apa saja kasus Dissociative Identity Disorder dan bagaimana
bentuk pertanggungjawabannya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
berdasar penjelasan yang telah dijabarkan oleh peneliti di atas
dalam latar belakang dan rumusan masalah, tujuan adanya penilitian ini
yaitu untuk:
a. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana bagi penderita
Dissociative Identity Disorder (DID perspektif hukum positif dan
hukum islam).
b. Untuk mengetahui kasus-kasus Dissociative Identity Disorder dan
bagaimana bentuk pertanggungjawabannya.
2. Manfaat Penelitian
berdasar permasalahan di atas, maka manfaat yang hendak di
capai dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
1) Mengembangkan ilmu terkait pemidanaan bagi pelaku tindak
pidana yang dilakukan Oleh Penderita Dissociative Identity
Disorder (DID).
2) Menerapkan teori-teori yang didapatkan selama belajar di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayarullah Jakarta untuk
diterapkan dalam praktek lapangan.
3) Mendapat pengalaman dalam pembuatan karya tulis ilmiah
sehingga dapat diaplikasian kedalam bentuk skripsi.
b. Manfaat Praktis
1) Dapat memberikan informasi tentang defenisi Dissociative
Identity Disorder (DID).
2) Dapat memberikan informasi tentang Tindak Pidana Yang
dilakukan oleh penderita Dissociative Identity Disorder (DID)
sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi pihak-pihak yang
memiliki kepentingan tentang DID.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Yuridis
Normatif. Menurut Soerjono Soekanto, pendekatan yuridis-normatif
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara
mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-
literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti,20 berkaitan
dengan tindak pidana dan Dissociative Identity Disorder (DID).
2. Pendekatan Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan bersifat deskriptif
analitis berupa gambaran secara sistematis terhadap fakta-fakta yang ada,
kemudian dianalisa dan dituangkan dalam bentuk skripsi untuk
memaparkan permasalahan dengan judul yang dipilih yaitu Pemidanaan
Pelaku Tindak Pidana Penderita Dissociative Identity Disorder (DID).
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berupa
bahan-bahan pustaka, yang terbagi menjadi tiga jenis antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
a) Sumber data primer yaitu bahan-bahan hukum yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat.21 Sumber data primer
terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau hasil riset yang dikumpulkan selama penelitian.
Dalam penelitian ini, sumber data primer yakni Alquran dan
hadis, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal
44 dan Pasal 39 Tahun 2023.
b) KUHP.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari hasil
penelitian kepustakaan atau kajian terhadap berbagai literatur atau
bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau bahan
penelitian.22
Pada penelitian ini ada beberapa sumber data sekunder,
yaitu karya ilmiah, jurnal, artikel yang berkaitan dan buku yang
ditulis oleh seorang ahli hukum yang berkaitan topik yang dipilih
oleh penulis.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, internet,
dan sebagainya. Buku-buku atau artikel yang dimaksud yaitu yang
membahas teori-teori hukum, khususnya tentang pemidanaan dan
perlakuan terhadap pelaku dengan gangguan mental termasuk
Dissociative Identity Disorder (DID).
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam
penelitian ini, yaitu kepustakaan atau Library Research. Data
kepustakaan diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang
bersumber dari peraturan perundangan- undangan, buku-buku serta
dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan
tema, objek, dan masalah dalam penelitian.23
5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan Penulis yaitu penelitian
bersifat deskriptif-kualitatif. yaitu dengan cara menarik kesimpulan
dari yang bersifat umum ke hal yang lebih khusus berdasar data
yag ada. sebab menggunakan pendekatan undang-undang (statutory
approach), oleh sebab nya penulis akan melakukan penelahaan
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan dan regulasi yang
memiliki keterikatan dengan bahan kajian yang dibahas dalam
penelitian ini.
6. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan penelitian skripsi ini, penulis berpedoman
pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”.
E. Sistematika Penulisan
Pada bagian pertama, penulis memuat pembahasan mengenai latar
belakang masalah, identifikasi, pembatasan, serta rumusan masalah;
tujuan dan manfaat penelitian; metode penelitian, jenis penelitian,
pendekatan penelitian, sumber bahan hukum, teknik pengolahan dan
analisis bahan hukum; serta sistematika penulisan skripsi.
Bagian kedua, memuat tinjauan umum tentang pemidanaan bagi
pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh penderita dissociative
identity disorder (DID), meliputi kerangka konseptual serta kerangka
teoritis selain itu dibahas juga tentang review kajian terdahulu.
Bagian ketiga, menyajikan mengenai faktor penyebab seseorang
bisa menderita penyakit dissociative identity disorder (DID) dan
memaparkan proses pemulihan dan rehabilitasi bagi penderita DID
yang terlibat dalam tindak pidana.
Bagian keempat menjelaskan ketentuan hukum pidana di Indonesia
dan hukum pidana Islam tentang tindak pidana pembunuhan yang
dilakukan oleh penderita gangguan identitas disosiatif (dissosiative
identity disorder) pada bab ini menjelaskan mengenai kebijakan dan
kriteria pertimbangan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan
penderita DID.
Terakhir, pada bagian kelima memuat mengenai kesimpulan dari
hasil penelitian yang telah penulis lakukan, serta saran atau
rekomendasi mengenai pokok bahasan yang diteliti
TINJAUAN UMUM DISSOCIATIVE
IDENTITY DISORDER (DID)
A. Kerangka Konseptual
1. Tindak Pidana
Tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) secara terminologi juga dikenal dengan Strafbaar feit yang berasal
dari Bahasa Belanda diambil dari kalimat Wetboek Van Strafbaar Feit,24
istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu Strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf,
baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Baar
diterjemahkan dapat atau boleh. Feit diterjemahkan tindak, peristiwa,
pelanggaran dan perbuatan.25
Tindak Pidana yaitu suatu perlakuan manusia yang dirumuskan
dalam undang-undang, melawan hukum serta memiliki akibat hukum yang
patut dipidana dan dilakukan dengan unsur kesalahan. Bagi siapa saja yang
melakukan perbuatan pidana harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya.26
Andi Zainal Abidin, menyatakan pengertian tindak pidana menurut
Pompe dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:27
a. Definisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan tata hukum),
yang diadakan sebab kesalahan pelanggar, dan harus diberikan
pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa
yang oleh Undang-Undang ditentukan mengandung perbuatan
(handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif,
biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan
bagian dari suatu peristiwa.
Kerangka konseptual tindak pidana penderita identitas disosiatif
merupakan konsep yang menggambarkan bagaimana orang dengan DID
memiliki persyaratan pertanggungjawaban pidana yang harus dipenuhi.
Tindak pidana penderita DID dapat terjadi saat individu dengan DID
melakukan tindakan yang dianggap sebagai tindakan kriminal, seperti
kejahatan atau pelanggaran.
2. Jenis-jenis Tindak Pidana
Dalam hukum pidana diadakan pembagian mengenai tindak pidana
itu. Pembagian itu ada yang memang dipergunakan KUHP dan juga ada
yang diadakan oleh doktrin. Di dalam KUHP mengadakan pembagian ke
dalam dua jenis tindak pidana, yaitu:28
a. Kejahatan (misdrijven)
Kejahatan yaitu rechtsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan. Bahwasannya pertentangan ini terlepas
perbuatan itu diancam pidana didalam suatu perundang-undangan
atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan Masyarakat
sebagai yang bertentangan dengan keadilan. Terkait hukumnya, tindak
pidana kejahatan ini hukumnya yaitu pidana badan dan dapat
ditambah oleh denda.
b. Pelanggaran (overtredingen)
Pelanggaran yaitu wetsdelict, artinya perbuatan-perbuatan itu
didasari oleh Masyarakat sebagai suatu tindak pidana sebab undang-
undang menyebutkan sebagai delik. Terkait hukumannya, tindak
pidana pelanggaran ini hukumannya yaitu kurungan dan boleh saja
hanya denda.
3. Alasan Penghapus Pidana
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan
dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para
pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan sebab telah melakukan
suatu tindak pidana. Alasan-alasan ini dinamakan alasan penghapus
pidana. Alasan penghapus pidana yaitu peraturan yang terutama ditujukan
kepada hakim.
Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang
telah memenuhi perumusan delik yang seharusya dipidana, tidak dipidana.
Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk
menentukan apakah telah ada keadaan khusus seperti dirumuskan
dalam alasan penghapus pidana.
Alasan-alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) yaitu
alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan
yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana.
Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, ada tiga asas yang sangat
penting, yaitu :
a. Asas Subsidiaritas
Ada benturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan
hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kewajiban hukum
dan kewajiban hukum.
b. Asas Proporsionalitas
Ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela atau
kewajiban hukum yang dilakukan.
c. Asas "culpa in causa"
Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang sejak semula
mengambil risiko bahwa dia akan melakukan perbuatan pidana. Dasar
atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu :
1) Alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgrond-faits justificatifs)
2) Alasan Pemaaf (schulduitsluitingsgrond-faitsd'exuce)
4. Dissociative Identity Disorder
Secara etimologi, kata “gangguan” menurut kamus bahasa Indonesia
berarti hal yang menyebabkan ketidakwarasan atau ketidaknormalan
(tentang jiwa, kesehatan, dan pikiran).31 Sementara kata “identitas” menurut
kamus bahasa Indonesia berarti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau
suatu benda (jati diri). Sedangkan kata “disosiatif” berasal dari bahasa
Inggris “dissociate” yang termasuk ke dalam jenis kata kerja yang berarti
memisahkan, menjauhkan.
Menurut David A. Tomb, bahwa dulu gangguan identitas disosiatif
dikenal sebagai gangguan kepribadian ganda, pasien-pasien dengan
gangguan dramatik ini percaya bahwa mereka mempunyai paling sedikit
dua (dan kadang lebih) kepribadian di dalam dirinya.32 Kepribadian yaitu
suatu gaya perilaku yang menetap dan secara khas dapat dikenali pada setiap
individu. Gangguan kepribadian merupakan suatu ciri kepribadian yang
menetap, kronis, dapat terjadi pada hampir semua keadaan, menyimpang
secara jelas dari norma-norma budaya dan maladatif serta menyebabkan
fungsi kehidupan yang buruk.
Sedangkan disosiasi yaitu terpecahnya aktifitas mental yang
spesifik dari sisa kesadaran normal, seperti terpecahnya pikiran atau
perasaan dari perilaku, misal, saat kita bosan mengikuti kuliah, kita
melamun dan saat kuliah usai ternyata catatan kuliah tetap lengkap tanpa
menyadari bahwa kita melakukan hal itu. Gangguan disosiatif menunjukkan
disosiasi yang berat mengakibatkan timbulnya gejala-gejala yang berbeda
dan bermakna dan mengganggu fungsi seseorang.34
Sementara menurut Laura A. King, bahwa gangguan identitas
disosiatif atau dissociative identity disorder (DID) atau yang sebelumnya
dikenal sebagai gangguan kepribadian ganda (multiple personality disorder)
yaitu gangguan yang paling dramatis, namun paling jarang ditemukan
dibanding dengan gangguan disosiasi lainnya, individu yang menderita
gangguan ini memiliki dua atau lebih kepribadian atau selves, setiap
kepribadian memiliki ingatannya masing-masing dan hubungan, satu
kepribadian mendominasi pada satu waktu, sementara kepribadian lain
mengambil alih pada waktu lain, dan kepribadian ini dipisahkan oleh
dinding amnesia, perubahan kepribadian biasanya terjadi dalam situasi
distress.35
Selain itu menurut Sarlito W. Sarwono, Dissociative Identity
Disorder (DID) atau yang lebih dikenal dengan istilah Split Personality atau
Multiple Personality (kepribadian ganda), dulu dianggap sebagai salah satu
jenis skizofrenia sebab mengandung suatu gejala dari gangguan mental itu,
yaitu pola pikir yang kacau.36 Pemisahan DID dari skizofrenia dipicu oleh
temuan psikoterapis dr. Cornelia B. Wilbur atas diri pasiennya bermana
Shirley Ardell Mason, dalam buku tentang pasien ini, yang ditulis oleh Flora
Rheta Schreiber, Mason diberi nama samara Sybil Dorset, laporan yang
kemudian dibukukan itu diberi judul Sybil.37
Jadi, gangguan identitas disosiatif yaitu sekelompok gangguan
yang ditandai oleh suatu kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas,
ingatan, atau kesadaran. Gangguan identitas disosiatif merupakan suatu
mekanisme pertahanan alam bawah sadar yang membantu seseorang
melindungi aspek emosional dirinya dari mengenali dampak utuh beberapa
peristiwa traumatik atau peristiwa yang menakutkan dengan membiarkan
pikirannya melupakan atau menjauhkan dirinya dari situasi atau memori
yang penyakitkan.38
Kasus DID pertama kali dijelaskan oleh Paracelsus pada tahun 1646,
pada abad ke-19, kesadaran ganda, precursor historis untuk DID, sering
digambarkan sebagai keadaan berjalan sambil tidur, dengan para ahli ber-
hipotesis bahwa pasien mengalami peralihan antara kesadaran normal dan
"keadaan somnambulistik". Ketertarikan yang kuat pada spiritualisme,
parapsikologi, dan hipnosis berlanjut sepanjang abad ke-19 dan awal ke-20,
berjalan secara paralel dengan pandangan John Locke bahwa ada asosiasi
gagasan yang membutuhkan koeksistensi perasaan dengan kesadaran
perasaan. Hipnosis, yang dipelopori pada akhir abad ke-18 oleh Franz
Mesmer, Armand- Marie Jacques de Chastenet, dan Marques de Puységur,
menentang asosiasi gagasan Locke, penghipnotis melaporkan apa yang
mereka anggap sebagai kepribadian ke-dua yang muncul selama hipnosis
dan bertanya-tanya bagaimana dua pikiran dapat hidup berdampingan.
Awal Abad ke-20: Pada awal abad ke-20, kasus-kasus seperti "Eve
White" (nama samaran) menarik perhatian publik dan profesional kesehatan
mental terhadap fenomena identitas ganda dan aspek-aspeknya yang
kompleks.
Era baru dimulai kembali pada tahun 1994 saat diterbitkannya
DSMIV gangguan ini berganti nama menjadi gangguan identitas disosiatif
(Dissociative Identity Disorder). Masalah kepribadian ganda ini tidak benar-
benar bisa dipahami, bahkan sebelum abad ke-20, gejala psikologi ini selalu
dikaitkan dengan kerasukan setan. Abad ke-20 para psikolog menolak
kaitan itu menyebut fenomena ini dengan sebutan Multiple Personality
Disorder (MPD). Berikutnya, saat nama itu dirasa tidak lagi sesuai, gejala
ini diberi nama baru, Dissociative Identity Disorder (DID). Era baru dimulai
kembali pada tahun 1994 saat diterbitkannya DSM-IV gangguan ini
berganti nama menjadi Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative Identity
Disorder).
Menurut survei yang pernah dilakukan psikiater Colin Ross di
Charter Hospital of Dallas tahun 1989, banyak bukti yang mendukung
bahwa DID bukanlah sebuah kepura-puraan. Rata-rata penderita DID
memiliki 16 kepribadian, berbagai kepribadian itu berasal dari pasien
berbagai usia, jenis kelamin,dan ras, bahkan gangguan ini juga
memungkinkan orang mengalami perubahan kesadaran menjadi spesies
lain.
Di Indonesia istilah-istilah ini menjadi lebih dikenal semenjak
diterbitkan buku yang diangkat dari kisah nyata dan menjadi banyak terjual
(best-seller) pada tahun 2000an. Buku yang bercerita tentang penderita-
penderita gangguan identitas disosiatif diantaranya: Sybil,43 Karen,44 dan
Billy.
Pada tahun 1974, buku yang sangat berpengaruh Sybil diterbitkan,
dan kemudian dibuat menjadi miniseri pada tahun 1976 dan lagi pada tahun
2007. Menjelaskan apa yang oleh Robert Rieber sebut sebagai "kasus
kepribadian ganda paling terkenal ketiga, dia menyajikan diskusi rinci
tentang masalah perawatan "Sybil Isabel Dorsett," nama samaran untuk
Shirley Ardell Mason. Meskipun buku dan film-film berikutnya membantu
mempopulerkan diagnosis dan memicu epidemi diagnosis, analisis kasus
kemudian menyarankan interpretasi yang berbeda, mulai dari masalah
Mason yang disebabkan oleh metode terapi yang digunakan oleh
psikiaternya, Cornelia B. Wilbur, atau tipuan yang tidak disengaja sebagian
sebab hak penerbitan yang menguntungkan, meskipun kesimpulan ini
sendiri telah ditentang. David Spiegel, seorang psikiater Stanford yang
ayahnya merawat Shirley Ardell Mason pada suatu kesempatan,
mengatakan bahwa ayahnya menggambarkan Mason sebagai "histeris yang
brilian. Dia merasa bahwa Dr. Wilbur cenderung menekannya untuk
membesar-besarkan pemisahan kepribadian yang sudah dia miliki". Seiring
meningkatnya perhatian media pada DID, demikian juga kontroversi
seputar diagnosis.
Kasus Sybil Isabel Dorsett dianggap sebagai "kasus klinis
kepribadian ganda paling penting pada abad kedua puluh", Penerbitan buku
"Sybil: Kisah nyata seorang wanita yang memiliki enam belas kepribadian
terpisah" oleh Flora Rheta Schreiber menjadi best seller. Film televisi
"Sybil" yang dibintangi Sally Field dan Joanne Woodward menempatkan
Lorimar Productions mendapat banyak keuntungan. Sybil yaitu korban
pelecehan mengerikan yang ditimpakan padanya oleh ibunya yang psikotik.
Ayahnya gagal melindunginya dari hal itu. Sebagai hasilya, dia
mengembangkan kepribadian yang mengubah perasaan dan emosi yang
tidak bisa diatasi oleh Sybil.46
Sybil yang terjaga kehilangan semua emosi ini, dan sebab itu
menjadi sosok yang agak menjemukan. Dia tidak menyadari kepribadiannya
yang lain. Cornelia Wilbur membantu Sybil memadukan kepribadian
sesudah enam belas tahun menjalani terapi. Kasus Sybil sangat penting
dalam beberapa hal. Psikiater Sybil, Cornelia Wilbur, berusaha keras untuk
mengesahkan laporan pelecehan termasuk wawancara dengan orang tua
Sybil, kunjungan dengan Sybil ke rumah masa kecilnya, dan berbicara
dengan dokter Sybil dan meninjau catatannya. Kasus ini dengan kuat
menghubungkan gangguan kepribadian ganda dengan pelecehan anak,
perawatan grafis dari amnesia, episode fugue dan konflik di antara
perubahan kepribadian dalam buku Schreiber "berfungsi sebagai cara
melawan pasien lain sehingga dapat dibandingkan dan dipahami." Terapi
Dr. Wilbur yang meliputi hipnosis dan intervensi terapeutik lainnya
menghasilkan resolusi yang "berfungsi sebagai contoh bagi banyak
terapis.
Gangguan disosiatif yaitu fenomena yang sangat mengagumkan
dan menarik, namun membingungkan. Meski gangguan-gangguan ini tetap
misterius dalam beberapa hal, petunjuk-petunjuk yang memberikan
pemahaman akan asal-muasalnya tetap bermunculan.48 Seseorang bisa
menderita penyakit disosiatif diliat dari beberapa sebab diantaranya;
a. Pandangan Psikodinamika
Amnesia disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan
cara memutus atau mendisosiasi alam sadar seseorang dari
kesadaran akan pengalaman traumatis atau sumber-sumber lain dari
nyeri maupun konflik psikologi. Bagi teoretikus psikodinamika,
gangguan disosiatif melibatkan penggunaan represi secara besar-
besaran, yang menghasilkan “terpisahnya” impuls yang tidak dapat
diterima dan ingatan yang menyakitkan dari kesadaran seseorang.
Dalam amnesia dan fugue disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri
dari kebanjiran kecemasan dengan mengeluarkan ingatan-ingatan
yang mengganggu atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan
yang bersifat seksual atau agresif, pada kepribadian ganda, orang
mungkin mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima
melalui pengembangan kepribadian pengganti, pada depersonalisasi
orang berada di luar dirinya sendiri, aman dengan cara menjauh dari
pertarungan emosional di dalam dirinya.
b. Pandangan Kognitif dan Belajar
Teoretikus belajar dan kognitif memandang disosiasi
sebagai suatu respon yang dipelajari yang meliputi proses tidak
berpikir tentang tindakan atau pikiran yang mengganggu dalam
rangka menghindari rasa bersalah dan malu yang ditimbulkan oleh
pengalaman-pengalaman itu, kebiasaan tidak berpikir tentang
masalah-masalah ini secara negatif dikuatkan dengan adanya
perasaan terbebas dari kecemasan, atau dengan memindahkan
perasaan bersalah atau malu. Sejumlah teoretikus sosial kognitif,
percaya bahwa gangguan identitas disosiatif yaitu suatu bentuk
bermain peran. Orang dapat mengorganisasikan pola perilaku
mereka menurut peran tertentu yang telah mereka amati, mereka
juga dapat menjadi sangat mendalami permainan peran mereka
hingga ‘lupa’ bahwa mereka sedang menampilkan sebuah peran.50
c. Disfungsi Otak
Beberapa bukti terakhir menunjukkan perbedaan dalam
aktivitas metabolisme otak antara orang dengan gangguan
depersonalisasi dan subjek yang sehat. Ada penemuan yang
menekankan pada kemungkinan adanya disfungsi di bagian otak
yang terlibat dalam persepsi tubuh, dapat membantu menjelaskan
perasaan terpisah dari tubuh yang diasosiasikan dengan
depersonalisasi.
d. Model Diatesis-Stres
Walaupun banyak bukti trauma masa kanak-kanak dalam
kasus gangguan identitas disosiatif, hanya sedikit anak yang
mengalami penyiksaan yang mengembangkan kepribadian ganda.
Sifat-sifat kepribadian tertentu, seperti kecenderungan berfantasi,
tingkat kemudahan tinggi untuk dihipnotis dan keterbukaan pada
kondisi kesadaran alter, dapat menjadi predisposisi bagi individu
untuk mengembangkan pengalaman disosiatif bila dihadapkan
dengan stress yang ekstrim, seperti penyiksaan yang traumatis,
walaupun demikian, sifat-sifat ini belum tentu mengakibatkan
seseorang mengalami gangguan disosiatif, orang yang memiliki
kecenderungan rendah untuk berfantasi atau kemudahan dihipnotis
kemungkinan mengalami semacam karakteristik pikiran-pikiran
cemas dan intrusif yang merupakan gangguan stress pasca trauma
(PTSD) pada periode sesudah stres yang traumatis dan bukan
gangguan disosiatif.
berdasar penjelasan sebelumnya mengenai beberapa sebab seseorang
menderita gangguan identitas disosiatif, maka adapun ciri-cirinya sebagai
berikut:
a. Memiliki dua atau lebih identitas atau kepribadian yang berbeda
Kepribadian-kepribadian itu mempersepsi, menilai dan
bereaksi terhadap lingkungan dengan cara yang sangat berbeda,
Kepribadian yang berbeda-beda itu seperti pada pola pikir, tindakan
dan gaya bicara.54 Penderita gangguan identitas disosiatif ini
menampilkan dua atau lebih kepribadian pada situasi yang berbeda.
Misalnya ada laki-laki berusia 30 tahun dengan kepribadian asli
yang lemah, tidak mampu mengambil keputusan, rapuh dan sensitif.
Tapi dia juga memiliki kepribadian berbeda yaitu berani, cepat
tanggap, tidak kenal kompromi dan sebagainya. Kepribadian kedua
atau kepribadian pengganti (alter) ini akan muncul beberapa
kali.55 Dalam hal ini saat seseorang menemui orang dengan
gangguan identitas disosiatif akan seperti mengadapi orang yang
berbeda atau kepribadian yang berbeda namun masih dalam satu
tubuh.
b. Dua atau lebih kepribadian ini mengambil alih perilaku
penderita secara bergantian (switching)
Dua atau lebih kepribadian ini secara berulang mengambil
kontrol penuh atas perilaku individu. Kepribadian tuan rumah akan
ditinggalkan. Sehingga perilaku individu itu sepenuhnya berada di
dalam kendali kepribadian pengganti (alter). Salah satu di antara
beberapa kepribadian ini biasanya lebih menonjol, atau
dominasi ini dapat terjadi secara bergantian. Perilaku penderita
pada suatu saat akan konsisten dengan kepribadian yang sedang
mendominasi pada saat itu. Setiap kepribadian dapat menyadari atau
pun tidak, adanya jenis kepribadian yang lain.56
c. Mengalami amnesia dalam artian tidak mengigat apa yang telah
dilakukan
Menurut Sarlito W. Sarwono, bahwa saat satu kepribadian
sedang memegang kendali, kepribadian-kepribadian lain tidak tahu-
menahu. Dengan demikian, terjadi gejala yang khas pada penderita
gangguan identitas disosiatif, yaitu tidak ingat apa yang sudah
dilakukannya.57
Penderita mudah lupa akan informasi pribadi penting yang
terlalu substansial untuk dianggap sebagai lupa biasa. Seperti lupa
akan masa kecilnya, lupa dengan apa yang baru saja dia lakukan dan
lain sebagainya.
d. Gangguan bukan disebabkan oleh efek psikologis langsung dari zat
Menurut Sarlito W. Sarwono, bahwa hal ini bukan
disebabkan oleh pengaruh obat-obatan, trauma atau benturan di
kepala, usia tua maupun penyebab medis yang lain, melainkan
sebab ada pergantian kendali dalam jiwa penderita.58 Dalam artian,
gangguan ini timbul bukan akibat dari obat yang dikonsumsi
atau pun pengaruh alkohol atau pun pengaruh lain yang serupa,
Sebagai contoh, seseorang mungkin mengalami gangguan mental
atau perilaku, tetapi gangguan ini bukan disebabkan oleh efek
langsung dari zat yang mereka konsumsi.
B. Kerangka Teori
1. Teori Restorative Justice
Konsepsi Restorative Justice pada dasarnya bukan suatu hal yang baru
atau asing lagi baik Masyarakat Indonesia. Menurut Rufinus Hotmaulana
Hutauruk, konsep dasar pendekatan restorative justice berupa Tindakan untuk
membangun kembali hubungan yang rusak akibat tindak pidana telah lama
dikenal dan dipraktikkan di dalam hukum adat yang berlaku di Indonesia.
Keadilan Restoratif yaitu Penyelesaian Tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh
Masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.60
Seorang ahli kriminologi Tony F. Marshall dalam tulisannya
sebagaimana yang dikutip dalam buku Penyelesaian perkara pidana
penerapan keadilan restoratif dan transformatif karya Bambang Waluyo
yaitu“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in
a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implication for the future.61 (Restorative
Justice yaitu sebuah proses di mana para pihak yang berkepentingan dalam
pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara
bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran ini
demi kepentingan masa depan).
Restorative Justice dalam pandangan banyak orang sebagaimana yang
dikutip dalam buku Efektifitas Restorative Justice dalam Proses Hukum
Pidana karya Alfitra yaitu as a philosophy, a process, an idea, a theory and a
intervention. Restorative justice dilakukan melalui proses kooperatif yang
melibatkan semua pihak (stakeholders).
Hal ini berarti bahwa proses penanggulangan tindak pidana melalui
pendekatan restoratif yaitu suatu upaya untuk menyelesaikan perkara
pidana, yang bertujuan untuk memulihkan keadaan yang didalamnya
termasuk ganti rugi terhadap korban yang disepakati oleh para pihak yang
memiliki kepentingan dalam penyelesaian perkara ini .
2. Alasan Pembenar dan Pemaaf
Alasan Pembenar (rechtvaardigingsgronden), yaitu alasan-alasan
yang membenarkan tindakan pelaku, dengan menghapus sifat melawan
hukum dari tindakannya. Alasan-alasan yang termasuk dalam kelompok ini
yaitu :
a. Keadaan Darurat (Noodtoestand) Pasal 48 KUHP
Keadaan darurat diantaranya yaitu, sebab adanya pertentangan
antara kepentingan hukum (conflict van rechtbelengen), contoh : sekoci
kapal tenggelam. Adanya pertentangan antara kepentingan hukum dan
kewajiban hukum (conflict van rechtsbelang en rechtsplicht), contoh :
Pemilik toko kaca mata dengan pemakai kaca mata. Adanya pertentangan
antara kewajiban hukum (conflict van rechstplichten). Contoh :
panggilan sidang saksi dua sidang bersamaan.
b. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Pasal 49 Ayat 1 KUHP
Keadaan darurat diantaranya yaitu, Adanya suatu serangan yang
sesaat atau mengancam secara langsung, serangan itu datang dari
manusia dan bersifat melawan hukum, serangan itu diadakan oleh objek
tertentu, pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan, oleh
sebab bersifat darurat.
c. Melaksanakan Perintah Undang-undang (wejelijk voorschrift) Pasal 50
KUHP
d. Menjalankan Perintah Jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang untuk itu (Bevoegd gezag) Pasal 51 Ayat 1 KUHP.
Alasan Pemaaf (Schuld Uitsluitingsgronden), Yaitu alasan-alasan yang
menghilangkan unsur kesalahan (dalam arti luas) pada tindakan pelaku dan
memaafkan pelaku atas tindakannya itu. Alasan pemaaf yaitu;64
a. Ketidakmampuan pelaku untuk menyadari tindakan atau disebut
Ontoerekenningvatbaarheid, Pasal 44, 45. KUHP, UU No.11/2012 dan
Pasal 39 Tahun 2023
b. Daya Paksa (overmacht) Pasal 48 KUHP
c. Pembelaan lampau batas (noodweer exces) Pasal 49 (2) KUHP
d. Menjalankan Perintah Jabatan berdasar perintah dari pihak yang tidak
berwenang untuk itu (ambtelijk bevel door / onbevoegd gezag)
e. Anak dibawah umur (UU No.3/1997, UU No. 11/2012)
3. Maqashid Syariah
Maqâshid al-syariah merupakan suatu teori hukum Islam yang cikal
bakalnya sudah tumbuh sejak dimulainya proses penetapan hukum Islam itu
sendiri, dan selanjutnya dikemas dengan baik serta dikembangkan oleh
ulama-ulama sesudah periode tabi'-tab'in. Walaupun proses
perkembangannya tidak secepat ilmu ushul fiqh, tetapi keberadaannya
sudah diamalkan oleh para ulama pada setiap penetapan hukum yang
mereka lahirkan.65
Secara etimologi Maqashid al-shariah yaitu dua kata yang terdiri
dari maqashid dan al-shariah, maqasid merupakan bentuk jamak (plural)
dari kata maqsid yang berarti tempat yang dituju atau dimaksudkan atau
maqsad yang berarti tujuan atau arah.66 Ibn al-Manzhûr mendefinisikan
makna Maqashid sebagaimana yang dikutip dalam buku Maqashid al-
Syariah karya Busyro bahwa Maqashid dapat berarti istiqâmah al-thâriq,
(keteguhan pada satu jalan) dan al-itimâd (sesuatu yang menjadi
tumpuan),67 Allah menjelaskan jalan yang lurus dan mengajak manusia
untuk mengikuti jalan ini , sebagaimana ada Q.S. an-Nahl (16): 9
yang berbunyi:
ِ قَْصُد السَّبِْیِل َوِمْنَھا َجۤاىٌر َۗولَْو َشۤاَء لََھٰدىُكْم اَْجَمِعْینَ ّٰ َوَعلَى
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara
jalan- jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah
Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”
Selanjutnya, kata al-shariah secara etimologi yaitu agama, millah
(syariat), metode, jalan, dan sunnah. Secara terminologi aturan-aturan yang
telah disyariatkan Allah berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum amal
perbuatan ('amaliyah), kata al-shariah juga diartikan sejumlah atau
sekumpulan hukum-hukum amal perbuatan yang terkandung dalam Islam.68
Maqasid dan al-shari’ah apabila disatukan melahirkan pengertian
yang relatif sama kecuali pada bagian-bagian seperti perbedaan redaksi dan
pengembangan serta keterkaitan maqasid al-shari'ah dengan lainnya, di
antara pengertian ini maqasid al-shari'ah yaitu tujuan, target atau
hasil akhir berupa kemaslahatan hakiki dengan ditetapkannya hukum pada
manusia. Pengertian lainnya maqasid al-shariah yaitu tujuan akhir dan
rahasia bahkan nilai atau norma serta makna-makna ditetapkannya sebuah
hukum,69 dengan demikian maqâshid al-syariah secara bahasa artinya
yaitu upaya manusia untuk mendapatkan solusi yang sempurna dan jalan
yang benar berdasar sumber utama ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadis
Nabi SAW. 70
Dalam terminologi ushul fiqh, menurut Wahbah al-Zuhaili mengenai
maqshid al-Syariah sebagaimana yang dikutip dalam buku Maqashid Al-
Syariáh Mashlahah karya Safriadi, maqshid al-Syariah yaitu nilai-nilai
dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau sebagian besar dari
hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai
tujuan dan rahasia syariat, yang ditetapkan oleh al-Syri' (pembuat syari'at)
dalam setiap ketentuan hukum, dengan demikian, Maqãshid al- Syariah
merupakan suatu kandungan nilai yang menjadi tujuan akhir pemberlakuan
hukum-hukum syara'.71
Tujuan pokok hukum Islam menurut Muhammd Abu Zahrah yang
dikutip dalam buku Panorama Maqashid Syariah karya Sutisna dkk, ada tiga
macam: Pertama, Tahdzib al-fard (Mendidik individu), dalam makna yang
luas yaitu penyucian jiwa umat Islam. Hal ini dimaksudkan agar setiap
muslim dapat menjadi sumber kebaikan bukan sumber keburukan bagi
masyarakat lingkungannya. Kedua, Iqamah al-yaitu (menegakkan
keadilan) di tengah-tengah masyarakat. Tujuan kedua disyari'atkannya
hukum Islam yaitu untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat, baik menyangkut urusan sesama umat Islam maupun dalam
hubungannya dengan pihak lain atau bukan muslim. Ketiga, Jalb al-
mashlahah, (memelihara kemaslahatan). Hal ini merupakan tujuan puncak
yang hendak dicapai oleh setiap hukum Islam. Maslahat hakiki yang
dikehendaki oleh syari'at Islam, bukanlah maslahat yang didasarkan pada
hawa nafsu, melainkan maslahat yang didasarkan pada nash-nash agama.
Abu Zahrah melanjutkan jika disebut istilah maslahah maka yang dimaksud
yaitu maslahah yang hakiki yang kembali pada lima hal yang pokok yaitu
penjagaan terhadap agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.72
Memahami maqāṣid al-sharī’ah yaitu suatu tuntunan yang harus
dilakukan dalam rangka mengetahui masalah dari setiap hukum yang
ditetapkan oleh Allah SWT, pemahaman terhadap maqāṣid al-sharī’ah
memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan hukum Islam.
Sementara itu, pengembangan hukum Islam harus dilakukan agar hukum
Islam mampu merespon segala perubahan dan perkembangan zaman.73
Adapun manfaat mempelajari maqāṣid al-sharī’ah yaitu untuk
mengungkapkan tujuan, alasan, dan hikmah baik yang umum maupun
khusus, untuk menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan tiap
zaman. Membantu ulama dalam berijtihad dalam bingkai tujuan syariat
Islam dan Mempersempit perselisihan di antara pengikut mazhab fiqh.74
Kandungan maqāṣid al-sharī’ah yaitu pada kemaslahatan,
kemaslahatan itu melalui analisis maqāṣid al-sharī’ah tidak hanya dilihat
dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan
pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu yang mengandung niai-nilai
filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan Tuhan kepada manusia.75
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, Abu
Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam yang (kemudian)
disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya, sebagaimana yang dikutip
dalam buku Filsafat Hukum Islam karya Suparman Usman dan Itang, lima
tujuan Hukum Islam yaitu agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz
al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). 76
Pada penelitian ini akan difokuskan pada pembahasan hifz al-‘aql
(menjaga pikirab atau akal), ini berkaitan denngan penyakit jiwa termasuk
dissociative identity disorder (DID) yang berkaitan dengan rusaknya akal.
Akal yaitu anggota tubuh yang vital pada manusia, dengan akal
inilah manusia dapat membedakan, merasa dan mengetahui yang mana yang
baik dan tidak baik,77 untuk memelihara akal agama Islam mensyariatkan
pengharaman meminum khamar dan segala yang memabukkan dan
mengenakan hukuman terhadap orang yang meminumnya atau
menggunakan segala yang memabukkan.78 Larangan meminum minuman
memabukkan didasarkan pada Q.S. Al-Maidah (5): 90:
ۡن َعَمِل الشَّۡیطٰ ا اِنََّما اۡلَخۡمُر َواۡلَمۡیِسُر َواۡالَۡنَصاُب َواۡالَۡزَالُم ِرۡجٌس ّمِ اَیَُّھا الَِّذۡیَن ٰاَمنُۡوۤ ِن ٰیۤ
فَاۡجتَنِبُۡوهُ لَعَلَُّكۡم تُۡفِلُحۡونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum minuman keras,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah yaitu
perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti diharamkan
meminum minuman keras, jika ketentuan ini tidak dindahkan, maka akan
berakibat terancamnya eksistensi akal. Memelihara akal dalam peringkat
hajiyyat, seperti dianjurkannya menunut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal
itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri
seseorang, dalam kaitanya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat yang dimaksud
seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu
yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan
mengancam eksistensi akal secara langsung.79
Jasser Auda menyampaikan kritikan terhadap sistem hukum Islam
yang terlalu sering menggunakan pengertian hifz al-aql sebagai bentuk
penjagaan akal atau pikiran dan selalu menjadikan khamar sebagai contoh.
Audah berusaha menafsirkan ulang apa yang dimaksud dengan hifz al-'aql
dalam konteks modern seperti sekarang ini.
Audah berusaha untuk memodernisasi dalam hukum Islam dalam
bentuk yang kekinian. Menurut Audah, hifz al-aql juga dapat didefinisikan
sebagai bentuk pengembangan terhadap akal atau pikiran.80
Menurut Audah konsep tentang hifz al-aql seharusnya diperluas
supaya konsep ini tetap berlaku pada zaman sekarang yang menuntut
kemajuan dalam bidang pemikiran. Audah menekankan hendak
mereformasi hifz al-'aql dari yang sebelumnya berarti "penjagaan terhadap
akal atau pikiran" berubah menjadi "pengembangan terhadap akal atau
pikiran". Di antara contoh yang disebutkan Audah yaitu pengembangan
pikiran ilmiah, perjalanan menunut ilmi pengetahuan, melawan mentalitas
taklid.
Pengembangan pikiran ilmiah merupakan salah satu bagian dari
hifz al-'aql. Setiap orang dituntut untuk terus mengembangkan pikiran yang
berbasis pada pendekatan rasional dan ilmu pengetahuan. Pengembangan
pemikiran ilmiah dilakukan dengan cara terus melatih daya nalar otak
manusia dengan melihat realitas zamannya. Islam juga hendak memerangi
mentalitas taklid atau biasa disebut dengan "ikut-ikutan".
Maksudnya yaitu Islam tidak menganjurkan setiap individu
melakukan tindakan taklid terhadap sesuatu yang ia sendiri tidak
mengetahuinya secara mendalam. Orang yang taklid akan mudah untuk
dijerumuskan pada perbuatan yang tidak benar dan bertentangan dengan
hukum Islam. Menghindari sifat taklid dapat mendorong seseorang untuk
belajar, memahami, dan menggali dalil atau alasan dibalik suatu ajaran,
untuk memperkuat keyakinan dan pemahaman yang mendalam, dengan
tidak terikat pada pendapat satu individu atau golongan tertentu, seseorang
akan lebih bebas berpikir dan tidak terbatas oleh otoritas tunggal dalam
sebuah keputusan.82 Jika semua orang hanya mengikuti pendapat orang lain
tanpa mempertanyakan, maka tidak akan ada perkembangan ilmu.
C. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian terdahulu, beberapa hasil
kajian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk
dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil penelitian yang telah penulis baca maka
ada beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan kajian antara lain sebagai
berikut:
1. Skripsi Nur Naafilah Nurdin yang berjudul “Tindak Pidana
Pembunuhan Oleh Penderita Gangguan Identitas Disosiatif”. Skripsi
ini membahas tentang hakikat dari gangguan identitas disosiatif, untuk
mengetahui perspektif Islam dan nasional mengenai gangguan identitas
disosiatif, serta untuk mengetahui penjatuhan sanksi terhadap tindak
pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas disosiatif dalam
hukum Islam dan hukum nasional.
2. Skripsi Chamelia Masfufah yang berjudul “Psikologi Kepribadian
Ganda”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana seseorang memilki
kepribadian ganda, menjelaskan kasus-kasus kepribadian ganda dan
bagaimana cara menghilangkan kepribadian ganda.
3. Jurnal Alfiansyah dan Hana Farida yang berjudul “Tinjaun Kriminologi
Terhadap Gangguan Identitas Disosiatif Sebagai Pendorong
Terjadinya Tindak Pidana”. Penelitian ini membahas tentang
Gangguan Identitas Desosatif sebagai pendorong terjadinya kejahatan
melalui tinjauan hukum kriminologi. Permasalahan ini menarik untuk
dikaji secara hukum kriminologi, sebab mempelajari penyebab
terjadinya kejahatan, dalam hal ini penyebab terjadinya ialah Gangguan
Identitas Disosiatif.
4. Jurnal Muhammad Dwi Rafky yang berjudul “Pertanggungjawaban
Pidana Terhadap Pelaku Penganiayaan Penyandang Dissociative
Identity Disorder”, Jurnal ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan
yang menyandang Dissociative Identity Disorder (DID).
PERAN AHLI PSIKOLOGI DALAM PROSES HUKUM TINDAK PIDANA
PENDERITA DISSOCIATIVE IDENTITY DISORDER
A. Peran Ahli Psikologi
Pembuktian mengenai kemampuan bertanggungjawab seorang pelaku
tindak pidana dilakukan apabila ada keragu-raguan dalam proses
pemeriksaan perkara sehingga membutuhkan pemeriksaan secara kejiwaan
terhadap pelaku tindak pidana. Keadaan yang membutuhkan pemeriksaan
secara kejiwaan terhadap pelaku tindak pidana yaitu apabila pelaku tindak
pidana yang dalam hal pembuktian di persidangan berstatus terdakwa
menunjukkan indikasi-indikasi bahwa ia menyandang suatu gangguan jiwa,
salah satunya Dissociative Identity Disorder (DID). Membuktikan keterkaitan
antara gangguan jiwa yang dialami penyandang DID dalam hubungannya
dengan tindak pidana yang dilakukan menjadi tugas penasihat hukum
(pengacara) yang mendampingi terdakwa.
Keterbatasan pemahaman para penegak hukum mengenai DID akan
menghambat proses pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan oleh
penyandang DID sebab untuk menentukan pertanggungjawaban pidana
terhadap penyandang DID diperlukan berbagai pihak dari bidang hukum dan
psikiatri. Oleh sebab itu, perlu dibentuk suatu lembaga khusus psikiatri
kriminal yang beranggotakan ahli-ahli dari bidang hukum dan psikiatri. Untuk
menunjang keefektifannya dalam menangani kasus-kasus pidana yang
dilakukan oleh orang yang diduga menyandang suatu gangguan jiwa, lembaga
khusus ini harus diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan
terhadap kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mengalami
gangguan jiwa. Pembentukan lembaga khusus ini akan sangat
berpengaruh terhadap proses pemeriksaan perkara pidana, terutama dalam
membuktikan keterkaitan antara gangguan jiwa yang disandang seseorang
dengan tindak pidana yang dilakukannya.83
Peranan Ahli Psikologi dalam Proses Hukum Tindak Pidana Penderita
DID, dalam proses hukum yang melibatkan terdakwa dengan DID, ahli
psikologi memiliki beberapa peranan kunci, baik sebagai saksi ahli maupun
evaluator klinis. Berikut yaitu beberapa peranan utama yang dimainkan oleh
ahli psikologi dalam kasus-kasus ini :
1. Evaluasi Kesehatan Mental Terdakwa
Ahli psikologi forensik bertanggung jawab untuk melakukan
evaluasi mendalam terhadap terdakwa yang diduga menderita DID.
Evaluasi ini biasanya dilakukan melalui wawancara klinis, tes psikologis,
dan pengamatan perilaku. Tujuannya yaitu untuk menentukan apakah
terdakwa benar-benar memiliki DID, serta sejauh mana kondisi mental
ini memengaruhi perilakunya pada saat melakukan tindak pidana.84
Ahli psikologi juga harus membedakan DID dari gangguan mental
lainnya seperti skizofrenia atau simulasi (faking), sebab beberapa
terdakwa mungkin berpura-pura memiliki DID untuk menghindari
tanggung jawab pidana. Evaluasi mendalam oleh ahli psikologi
memastikan bahwa diagnosis yang akurat dibuat, yang kemudian dapat
digunakan sebagai bukti di pengadilan.
2. Menilai Kompetensi untuk Diadili
Salah satu peran kunci ahli psikologi dalam kasus DID yaitu
menentukan kompetensi terdakwa untuk diadili, kompetensi untuk diadili
(Competency to Stand Trial) mengacu pada kemampuan terdakwa untuk
memahami tuduhan yang dihadapinya, serta kemampuan untuk membantu
dalam pembelaannya sendiri.
Jika terdakwa memiliki DID, ahli psikologi harus mengevaluasi
apakah terdakwa mampu berpindah ke "kepribadian utama" yang dapat
memahami proses hukum. Jika kepribadian utama tidak memiliki
kesadaran atas tindakan yang dilakukan oleh "kepribadian lain", maka ahli
psikologi dapat merekomendasikan bahwa terdakwa tidak kompeten untuk
diadili sampai kondisinya membaik melalui terapi atau pengobatan.86
3. Menilai Kapasitas Pertanggungjawaban
Pidana Ahli psikologi juga bertugas menilai sejauh mana kondisi
mental terdakwa memengaruhi kemampuannya untuk memahami atau
mengontrol tindakannya pada saat tindak pidana terjadi. Dalam hukum
pidana, pertanggungjawaban pidana mengharuskan terdakwa untuk
memiliki niat jahat pada saat tindak pidana dilakukan. Jika terdakwa dalam
kondisi DID, salah satu pertanyaan penting yang perlu dijawab yaitu
apakah "kepri