Rabu, 12 Februari 2025

kepribadian ganda 4



Dissociative Identity Disorder (DID) pada masyarakat awam 

dikenal dengan istilah gangguan kepribadian ganda. Gangguan ini ditandai 

oleh adanya dua atau lebih kepribadian pada diri seorang individu, 

kepribadian - kepribadian ini  terdiri dari kepribadian utama atau host 

dan kepribadian alternatif atau alter, dimana kepribadian alternatif ini 

dapat muncul dengan berbagai macam tipe mulai dari anak kecil, orang 

tua, hingga dapat berperilaku menyerupai hewan.1 Individu dengan 

gangguan identitas disosiatif (DID) memiliki perubahan sifat yang berbeda 

dari biasanya, kepribadian alternatif yang ada pada diri penyandang DID 

seringkali mengambil alih kuasa atas diri penyandang DID yang membuat 

dirinya seringkali mengalami amnesia (lupa ingatan) sehingga dirinya 

tidak mampu menyadari perbuatan apa yang dilakukan.2 

Teori Saks telah mengajukan teori non-tanggung jawab umum 

pada individu dengan DID, teori Saks memperlakukan identitas pasien 

DID sebagai identitas yang terpisah, dan oleh sebab  itu menyatakan 

bahwa pengadilan tidak boleh meminta pertanggungjawaban pasien DID 

atas kejahatan yang dilakukan kecuali seluruh identitas yang ada dalam 

diri seseorang terlibat dalam kejahatan, yang berarti mereka melakukan 

kejahatan atau bisa saja melakukan kejahatan ikut campur.3 Teori ini  

berkorelasi dengan hak atas pengadilan yang adil, lebih baik membebaskan 

sepuluh orang yang bersalah daripada memenjarakan satu orang yang tidak 

bersalah, sebab  hal ini berisiko menimbulkan kepercayaan masyarakat 

terhadap proses hukum dan keseluruhan sistem politik.

 

Data menunjukkan bahwa hanya beberapa kasus gangguan 

kepribadian ganda yang didiagnosis di seluruh dunia namun, pada tahun 

1990-an puluhan ribu lebih kasus gangguan kepribadian ganda telah 

didiagnosis, sehingga beberapa profesional dan ahli percaya bahwa 

kepribadian ganda lebih mungkin terjadi dari pada yang diperkirakan 

sebelumnya.5 

Di beberapa negara pernah terjadi tindak pidana yang dilakukan 

oleh penderita DID, disebutkan pada penelitian yang dilakukan Nakic dan 

Thomas memaparkan kasus Goering Orndorff, seorang wanita yang telah 

membunuh suaminya dan mengubah TKP selama proses uji coba dokter 

spesialis diminta menilai kompetensinya untuk bertahan dalam uji coba 

sebab  adanya gejala disosiatif.  

Beberapa ahli telah menyetujui penerapan diagnosis DID pada Ny. 

Orndorffan menyampaikan pendapat mereka selama persidangan, namun 

kemudian terungkap bahwa TKP sengaja diubah, dan Ny. Orndorff telah 

memberi tahu teman satu selnya bahwa sebenarnya dia sadar saat 

melakukan pembunuhan dengan mempertimbangkan semua fakta ini, 

pengadilan memutuskan dia bersalah dan menjatuhkan hukuman 32 tahun 

penjara.6 

Sejalan dengan teori Saks, ada beberapa kasus DID yang 

mendapatkan putusan tidak dihukum yaitu kasus Juanita Maxwell yang 

terjadi di Florida pada tahun 1979 dianggap sebagai salah satu peristiwa 

paling tidak biasa pada saat itu Maxwell ditangkap sebab  kasus 

pembunuhan, Juanita Maxwell didiagnosis menderita DID dimana dia 

memiliki enam identitas. Selain itu, identitas pelaku kejahatan bernama 

Wanda Weston yang diminta diadili, orang-orang terkesan sebab  Juanita 

yaitu  wanita yang lembut dan berperilaku tenang, namun Wanda tampak 

                                                          


 

lebih agresif dan kasar,7 sebab  dia yaitu  seorang wanita yang menderita 

DID, pengadilan memutuskan dia tidak bersalah dan mengirim pasien 

ini  ke rumah sakit jiwa.8 

Mengutip laman Sehat Negeriku Kemenkes, Indonesia memiliki 

prevalensi orang dengan gangguan jiwa kurang lebih 1 dari 5 orang. Jika 

dikaitkan dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, jumlah 

mereka yang rentan mengalami masalah gangguan jiwa mencapai 20 

persen dari populasi penduduk di negeri ini.9 

Kasus kepribadian ganda jarang terjadi di Indonesia, DID 

berpotensi mengakibatkan tindak kriminal sebab  orang dengan 

kepribadian ganda tidak memiliki kendali atas dirinya saat  berada di 

kepribadian lain, beberapa kasus tindak pidana yang dilakukan oleh 

penderita DID di Indonesia yaitu yang terjadi di Malang dalam tindak 

pidana pornografi, namun kasus ini masih dalam tahap penyidikan oleh tim 

penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur (selanjutnya disebut Polda Jatim), 

tindak pidana yang dilakukan dalam kasus ini  dilakukan oleh 

tersangka yang berinisial AH dan ACS dengan menyebarkan 92 video 

pornografi ke dalam media sosial dengan nama Twitter, tersangka yang 

berinisial AH dalam kasus ini diduga menyandang DID dengan beberapa 

kepribadian yang ada di dalam dirinya. Tersangka AH saat ini masih 

dalam proses pemeriksaan kesehatan jiwa di Rumah Sakit Bhayangkara 

Surabaya untuk membuktikan kebenaran DID yang disandang dan 

tentunya akan sangat berpengaruh terhadap pertanggungjawaban 

pidananya.

 

Tindak pidana pelaku DID juga disebutkan dalam Putusan Nomor 

9/Pid.B/LH/2021/Pn.Bpd. dengan terdakwa Mustakim dan Ridwan.11 

Keduanya dituntut atas tindak pidana penambangan tanpa izin usaha 

pertambangan (IUP) sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang 

No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 4 Tahun 

2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 

KUHP. Terdakwa I mengidap multiple disorder atau kepribadian ganda 

sehingga menjadi hal yang meringankan, namun dalam putusan ini  

Terdakwa I dihukum 8 Bulan Penjara dan Denda 800 Juta.12 

Sebagai suatu bentuk gangguan jiwa yang diakui dalam konsep 

psikologi, DID juga harus ditinjau lebih dalam mengenai kedudukannya 

secara hukum terutama sebagai alasan penghapus pidana dalam Pasal 44 

Ayat 1 KUHP yang tentunya akan mempengaruhi pertanggungjawaban 

pidana terhadap penyandang DID yang melakukan tindak pidana apapun. 

Orang yang telah terbukti melakukan suatu perbuatan yang 

memenuhi unsur tindak pidana maka perlu untuk dibebankan kepadanya 

pertanggungjawaban pidana sebagaimana regulasi yang berlaku namun, 

gangguan jiwa sebagai dasar untuk seseorang dapat dianggap tidak mampu 

bertanggungjawab secara pidana diatur dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang 

menyebutkan bahwa “barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak 

dapat dipertanggungkan kepadanya sebab  jiwanya cacat dalam 

pertumbuhan atau terganggu sebab  penyakit, tidak dipidana”.  

Pasal 44 Ayat 1 KUHP membagi gangguan jiwa yang dapat 

menghapus pidana menjadi dua bentuk, yaitu jiwa yang cacat dalam 

pertumbuhan dan terganggu sebab  penyakit. DID bisa golongkan sebab  

penyakit yang terganggu pada seseorang yang berhubungan dengan akal 

ataupun pikiran.

 

Pasal 39 KUHP Tahun 2023 juga menjelaskan bahwa seeorang 

dengan disabilitas mental tidak dapat dijatuhi dipidana,  pasal ini berbunyi, 

“Setiap orang yang pada waklu melakukan Tindak Pidana menyandang 

disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai 

gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat 

tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan”. Hal ini 

membuat rumusan Pasal 44 Ayat 1 dan Pasal 39 KUHP Tahun 2023 

menjadi kabur, sebab  saat ini studi mengenai gangguan jiwa mengalami 

perkembangan yang pesat sehingga ada berbagai macam jenis jiwa 

yang tidak mampu diakomodir oleh Pasal 44 Ayat 1 KUHP dan Pasal 39 

KUHP Tahun 2023.14 

Sementara ini kasus DID ini lebih ditekankan kepada penghapusan 

pidana namun seharusnya ada aturan khusus terkait ini. Kasus DID di 

Indonesia banyak terjadi namun memang belum masuk ke tahap peradilan, 

jika dimungkinkan masuk ke tahap peradilan maka perlu dikaji lebih 

lanjut, terkait unsur perbuatan tindak pidana atau dibebaskan di mata 

hukum seperti kasus Juanita Maxwell, namun bisa juga dihukum 

berdasar  kasus Goering Orndorff yang secara sadar mengubah TKP 

dan memberi tahu teman satu selnya bahwa dia melakukan pembunuhan.15 

Dalam perspektif hukum Islam, pertanggungjawaban pidana dalam 

hukum Islam merupakan suatu pembebanan terhadap seseorang dengan 

akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya atas 

kemauan sendiri, dimana orang ini  mengetahui maksud serta akibat 

dari perbuatannya.

Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung 

kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. 

                                                          

 

Syariat islam yang dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi 

bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi 

syariat, yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang 

ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Perintah Allah 

yang dimaksud harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang 

lain.17 

Hukum Islam memandang seseorang sebagai mukallaf yakni 

bertanggung jawab secara pidana apabila ia mempunyai kekuatan berpikir 

(idrak) dan kekuatan memilih (ikhtiyar), apabila salah satu dari kedua 

unsur ini  tidak ada maka tanggung jawab pidana menjadi gugur. Gila 

dapat didefinisikan dengan hilangnya akal, rusaknya akal atau lemahnya 

akal, pengertian ini mencakup gila dan dungu serta berbagai keadaan sakit 

jiwa yang mengakibatkan hilangnya kekuatan berpikir.18 

Bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat syariat 

Islam dimaksud secara materil mengandung kewajiban asasi bagi setiap 

manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat 

menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak, setiap orang 

hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah SWT 

ini , perintah Allah SWT yang dimaksud, harus ditunaikan baik untuk 

kemaslahatan manusia pribadi maupun orang lain.19 Berbeda dengan 

hukum pidana positif yang nyata-nyata buatan manusia, sebab  produk 

hukum ini  merupakan olahan pikiran dari manusia, pastilah 

mempunyai kekurangan maupun celah-celah sehingga manusia dengan 

seenaknya dapat melakukan perbuatan yang melanggar hukum. 

Menimbang berbagai kasus tindak pidana oleh pelaku dengan 

riwayat DID yang telah dipaparkan sebelumnya, terlepas dari mereka ada 

yang dihukum ringan ataupun berat, sangat penting untuk 

                                                         

 

mempertimbangkan penyakit yang mereka derita, jika mereka melakukan 

tindakan kriminal di luar kesadarannya, maka mereka berhak mendapatkan 

asas keadilan sesuai ketentuan yang berlaku. Di sisi lain, DID sering kali 

dijadikan sebagai senjata dalam membela diri dan terbebaskan dari 

hukuman, sehingga merugikan pihak lainnya (korban). Maka dari itu, perlu 

untuk dikaji lebih lanjut dan dibuatkan kebijakan khusus mengenai tindak 

pidana DID. 

berdasar  paparan paragraf sebelumnya mengenai 

permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh penderita gangguan 

identitas disosiatif, maka perlu untuk menimbang bahwa kasus ini 

membutuhkan perhatian khusus, mengingat di Indonesia belum ada 

kebijakan khusus yang mengatur terkait ini, Maka penulis mengkaji dan 

akan menganalisisnya dalam penelitian dengan judul “PEMIDANAAN 

PELAKU TINDAK PIDANA PENDERITA DISSOCIATIVE 

IDENTITY DISORDER (DID)”. 

B. Identifikasi, Pembahasan dan Rumusan Masalah 

            1. Identifikasi Masalah 

berdasar  masalah yang telah penulis paparkan di atas, maka 

penulis berpandangan bahwa ada beberapa masalah yang harus 

diklasifikan dan diidentifikasikan agar penelitian tetap berada dalam 

ruang lingkup penulis akan membahas sebagai berikut : 

a. Tindak pidana yang dilakukan oleh penderita Dissociative Identity 

Disorder (DID). 

b. Kebijakan Hukum Pidana bagi penderita Dissociative Identity 

Disorder. 

c. Kriteria pertimbangan hakim pada pelaku yang menyandang 

Dissociative Identity Disorder.  

d. Pandangan hukum mengenai gangguan identitas disosiatif 

menurut hukum positif di Indonesia dan hukum pidana Islam. 

e. Pertanggungjawaban pidana dan penerapan sanksi bagi pelaku 


 

tindak pidana yang memiliki gangguan identitas disosiatif. 

f. Kekaburan pasal 44 Ayat 1 KUHP yang tidak memberikan 

batasan- batasan yang jelas mengenai keadaan jiwa yang dapat 

menjadi alasan penghapus pertanggungjawaban pidana. 

g. Pemulihan dan rehabilitasi bagi penderita DID yang terlibat dalam 

tindak pidana. 

2. Pembatasan Masalah 

berdasar  identifikasi masalah di atas, penulis membatasi 

penelitian mengenai kebijakan hukum pidana dan mengenai kasus-kasus 

pelaku penderita Dissociative Identity Disorder (DID) dan 

pertanggungjawabannya.  

3. Rumusan Masalah 

   berdasar  identifikasi masalah di atas, permasalahan peneliti 

yaitu  tentang seseorang yang mengalami Dissociative Identity 

Disorder untuk mempertajam permasalahan peneliti maka penulis 

membuat rincian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:  

a. Bagaimana kebijakan hukum pidana bagi penderita Dissociative 

Identity Disorder perspektif hukum positif dan hukum islam?  

b. Apa saja kasus Dissociative Identity Disorder dan bagaimana 

bentuk pertanggungjawabannya? 

 

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian  

1.  Tujuan Penelitian  

berdasar  penjelasan yang telah dijabarkan oleh peneliti di atas 

dalam latar belakang dan rumusan masalah, tujuan adanya penilitian ini 

yaitu  untuk: 

a. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana bagi penderita     

Dissociative Identity Disorder (DID perspektif hukum positif dan 

hukum islam).  

b. Untuk mengetahui kasus-kasus Dissociative Identity Disorder dan 

bagaimana bentuk pertanggungjawabannya.  

 

 

2. Manfaat Penelitian  

berdasar  permasalahan di atas, maka manfaat yang hendak di 

capai dalam penelitian ini yaitu  sebagai berikut:  

a. Manfaat Teoritis  

1) Mengembangkan ilmu terkait pemidanaan bagi pelaku tindak 

pidana yang dilakukan Oleh Penderita Dissociative Identity 

Disorder (DID).  

2) Menerapkan teori-teori yang didapatkan selama belajar di 

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayarullah Jakarta untuk 

diterapkan dalam praktek lapangan.  

3) Mendapat pengalaman dalam pembuatan karya tulis ilmiah 

sehingga dapat diaplikasian kedalam bentuk skripsi.  

b.  Manfaat Praktis  

1)  Dapat memberikan informasi tentang defenisi Dissociative    

Identity Disorder (DID).  

2) Dapat memberikan informasi tentang Tindak Pidana Yang           

dilakukan oleh penderita Dissociative Identity Disorder (DID) 

sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi pihak-pihak yang 

memiliki kepentingan tentang DID. 

 

D. Metode Penelitian  

1. Jenis Penelitian  

 Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Yuridis 

Normatif. Menurut Soerjono Soekanto, pendekatan yuridis-normatif 

yaitu  penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan 

pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara 

mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-

literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti,20 berkaitan 

                                                          

dengan tindak pidana dan Dissociative Identity Disorder (DID). 

2. Pendekatan Penelitian  

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan bersifat deskriptif 

analitis berupa gambaran secara sistematis terhadap fakta-fakta yang ada, 

kemudian dianalisa dan dituangkan dalam bentuk skripsi untuk 

memaparkan permasalahan dengan judul yang dipilih yaitu Pemidanaan 

Pelaku Tindak Pidana Penderita Dissociative Identity Disorder (DID). 

3. Sumber Bahan Hukum  

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berupa 

bahan-bahan pustaka, yang terbagi menjadi tiga jenis antara lain:  

a. Bahan Hukum Primer  

a) Sumber data primer yaitu bahan-bahan hukum yang 

mempunyai kekuatan hukum mengikat.21 Sumber data primer 

terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan 

resmi atau hasil riset yang dikumpulkan selama penelitian. 

Dalam penelitian ini, sumber data primer yakni Alquran dan 

hadis, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 

44 dan Pasal 39 Tahun 2023. 

 b)   KUHP.  

b. Sumber Data Sekunder  

Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari hasil 

penelitian kepustakaan atau kajian terhadap berbagai literatur atau 

bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau bahan 

penelitian.22  

Pada penelitian ini ada beberapa sumber data sekunder, 

yaitu karya ilmiah, jurnal, artikel yang berkaitan dan buku yang 

ditulis oleh seorang ahli hukum yang berkaitan topik yang dipilih 

oleh penulis. 

                                                         

c. Bahan Hukum Tersier 

Bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan 

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, internet, 

dan sebagainya. Buku-buku atau artikel yang dimaksud yaitu yang 

membahas teori-teori hukum, khususnya tentang pemidanaan dan 

perlakuan terhadap pelaku dengan gangguan mental termasuk 

Dissociative Identity Disorder (DID). 

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam 

penelitian ini, yaitu kepustakaan atau Library Research. Data 

kepustakaan diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang 

bersumber dari peraturan perundangan- undangan, buku-buku serta 

dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan 

tema, objek, dan masalah dalam penelitian.23  

5.  Teknik Analisis Bahan Hukum 

Teknik analisis yang digunakan Penulis yaitu  penelitian 

bersifat deskriptif-kualitatif. yaitu dengan cara menarik kesimpulan 

dari yang bersifat umum ke hal yang lebih khusus berdasar  data 

yag ada. sebab  menggunakan pendekatan undang-undang (statutory 

approach), oleh sebab nya penulis akan melakukan penelahaan 

terhadap berbagai peraturan perundang-undangan dan regulasi yang 

memiliki keterikatan dengan bahan kajian yang dibahas dalam 

penelitian ini. 

6. Teknik Penulisan 

Dalam penyusunan penelitian skripsi ini, penulis berpedoman 

pada  buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”. 

                                                          

E. Sistematika Penulisan  

      Pada bagian pertama, penulis memuat pembahasan mengenai latar 

belakang masalah, identifikasi, pembatasan, serta rumusan masalah; 

tujuan dan manfaat penelitian; metode penelitian, jenis penelitian, 

pendekatan penelitian, sumber bahan hukum, teknik pengolahan dan 

analisis bahan hukum; serta sistematika penulisan skripsi.  

      Bagian kedua, memuat tinjauan umum tentang pemidanaan bagi 

pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh penderita dissociative 

identity disorder (DID), meliputi kerangka konseptual serta kerangka 

teoritis selain itu dibahas juga tentang review kajian terdahulu.  

      Bagian ketiga, menyajikan mengenai faktor penyebab seseorang 

bisa menderita penyakit dissociative identity disorder (DID) dan 

memaparkan proses pemulihan dan rehabilitasi bagi penderita DID 

yang terlibat dalam tindak pidana.  

      Bagian keempat menjelaskan ketentuan hukum pidana di Indonesia 

dan hukum pidana Islam tentang tindak pidana pembunuhan yang 

dilakukan oleh penderita gangguan identitas disosiatif (dissosiative 

identity disorder) pada bab ini menjelaskan mengenai kebijakan dan 

kriteria pertimbangan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan 

penderita DID.  

      Terakhir, pada bagian kelima memuat mengenai kesimpulan dari 

hasil penelitian yang telah penulis lakukan, serta saran atau 

rekomendasi mengenai pokok bahasan yang diteliti 

 

 

TINJAUAN UMUM  DISSOCIATIVE 

IDENTITY DISORDER (DID) 

A.  Kerangka Konseptual 

1. Tindak Pidana  

Tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 

(KUHP) secara terminologi juga dikenal dengan Strafbaar feit yang berasal 

dari Bahasa Belanda diambil dari kalimat Wetboek Van Strafbaar Feit,24 

istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana 

Belanda yaitu Strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, 

baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Baar 

diterjemahkan dapat atau boleh. Feit diterjemahkan tindak, peristiwa, 

pelanggaran dan perbuatan.25 

Tindak Pidana yaitu  suatu perlakuan manusia yang dirumuskan 

dalam undang-undang, melawan hukum serta memiliki akibat hukum yang 

patut dipidana dan dilakukan dengan unsur kesalahan. Bagi siapa saja yang 

melakukan perbuatan pidana harus mempertanggungjawabkan 

perbuatannya.26 

Andi Zainal Abidin, menyatakan pengertian tindak pidana menurut 

Pompe dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:27 

a. Definisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan tata hukum), 

yang diadakan sebab  kesalahan pelanggar, dan harus diberikan 

pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan 

menyelamatkan kesejahteraan umum.  

b. Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa 

yang oleh Undang-Undang ditentukan mengandung perbuatan 

                                                          

 

(handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif, 

biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan 

bagian dari suatu peristiwa.  

Kerangka konseptual tindak pidana penderita identitas disosiatif 

merupakan konsep yang menggambarkan bagaimana orang dengan DID 

memiliki persyaratan pertanggungjawaban pidana yang harus dipenuhi. 

Tindak pidana penderita DID dapat terjadi saat  individu dengan DID 

melakukan tindakan yang dianggap sebagai tindakan kriminal, seperti 

kejahatan atau pelanggaran. 

2. Jenis-jenis Tindak Pidana 

Dalam hukum pidana diadakan pembagian mengenai tindak pidana 

itu. Pembagian itu ada yang memang dipergunakan KUHP dan juga ada 

yang diadakan oleh doktrin. Di dalam KUHP mengadakan pembagian ke 

dalam dua jenis tindak pidana, yaitu:28 

a. Kejahatan (misdrijven) 

      Kejahatan yaitu  rechtsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang 

bertentangan dengan keadilan. Bahwasannya pertentangan ini terlepas 

perbuatan itu diancam pidana didalam suatu perundang-undangan 

atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan Masyarakat 

sebagai yang bertentangan dengan keadilan. Terkait hukumnya, tindak 

pidana kejahatan ini hukumnya yaitu  pidana badan dan dapat 

ditambah oleh denda. 

b. Pelanggaran (overtredingen) 

Pelanggaran yaitu  wetsdelict, artinya perbuatan-perbuatan itu 

didasari oleh Masyarakat sebagai suatu tindak pidana sebab  undang-

undang menyebutkan sebagai delik. Terkait hukumannya, tindak 

pidana pelanggaran ini hukumannya yaitu  kurungan dan boleh saja 

hanya denda. 


3. Alasan Penghapus Pidana 

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan 

dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para 

pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan sebab  telah melakukan 

suatu tindak pidana. Alasan-alasan ini  dinamakan alasan penghapus 

pidana. Alasan penghapus pidana yaitu  peraturan yang terutama ditujukan 

kepada hakim.

Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang 

telah memenuhi perumusan delik yang seharusya dipidana, tidak dipidana. 

Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk 

menentukan apakah telah ada keadaan khusus seperti dirumuskan 

dalam alasan penghapus pidana. 

Alasan-alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) yaitu  

alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan 

yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana. 

Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, ada tiga asas yang sangat 

penting, yaitu :

a. Asas Subsidiaritas 

      Ada benturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan 

hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kewajiban hukum 

dan kewajiban hukum. 

b. Asas Proporsionalitas 

      Ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela atau 

kewajiban hukum yang dilakukan. 

c.   Asas "culpa in causa" 

      Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang sejak semula 

mengambil risiko bahwa dia akan melakukan perbuatan pidana. Dasar 

                                                          

atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua 

jenis, yaitu : 

1) Alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgrond-faits justificatifs) 

2) Alasan Pemaaf (schulduitsluitingsgrond-faitsd'exuce) 

4. Dissociative Identity Disorder 

Secara etimologi, kata “gangguan” menurut kamus bahasa Indonesia 

berarti hal yang menyebabkan ketidakwarasan atau ketidaknormalan 

(tentang jiwa, kesehatan, dan pikiran).31 Sementara kata “identitas” menurut 

kamus bahasa Indonesia berarti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau 

suatu benda (jati diri).  Sedangkan kata “disosiatif” berasal dari bahasa 

Inggris “dissociate” yang termasuk ke dalam jenis kata kerja yang berarti 

memisahkan, menjauhkan. 

Menurut David A. Tomb, bahwa dulu gangguan identitas disosiatif 

dikenal sebagai gangguan kepribadian ganda, pasien-pasien dengan 

gangguan dramatik ini percaya bahwa mereka mempunyai paling sedikit 

dua (dan kadang lebih) kepribadian di dalam dirinya.32 Kepribadian yaitu  

suatu gaya perilaku yang menetap dan secara khas dapat dikenali pada setiap 

individu. Gangguan kepribadian merupakan suatu ciri kepribadian yang 

menetap, kronis, dapat terjadi pada hampir semua keadaan, menyimpang 

secara jelas dari norma-norma budaya dan maladatif serta menyebabkan 

fungsi kehidupan yang buruk.

 Sedangkan disosiasi yaitu  terpecahnya aktifitas mental yang 

spesifik dari sisa kesadaran normal, seperti terpecahnya pikiran atau 

perasaan dari perilaku, misal, saat  kita bosan mengikuti kuliah, kita 

melamun dan saat  kuliah usai ternyata catatan kuliah tetap lengkap tanpa 

menyadari bahwa kita melakukan hal itu. Gangguan disosiatif menunjukkan 

                                                          

 

disosiasi yang berat mengakibatkan timbulnya gejala-gejala yang berbeda 

dan bermakna dan mengganggu fungsi seseorang.34 

Sementara menurut Laura A. King, bahwa gangguan identitas 

disosiatif atau dissociative identity disorder (DID) atau yang sebelumnya 

dikenal sebagai gangguan kepribadian ganda (multiple personality disorder) 

yaitu  gangguan yang paling dramatis, namun paling jarang ditemukan 

dibanding dengan gangguan disosiasi lainnya, individu yang menderita 

gangguan ini memiliki dua atau lebih kepribadian atau selves, setiap 

kepribadian memiliki ingatannya masing-masing dan hubungan, satu 

kepribadian mendominasi pada satu waktu, sementara kepribadian lain 

mengambil alih pada waktu lain, dan kepribadian ini dipisahkan oleh 

dinding amnesia, perubahan kepribadian biasanya terjadi dalam situasi 

distress.35 

Selain itu menurut Sarlito W. Sarwono, Dissociative Identity 

Disorder (DID) atau yang lebih dikenal dengan istilah Split Personality atau 

Multiple Personality (kepribadian ganda), dulu dianggap sebagai salah satu 

jenis skizofrenia sebab  mengandung suatu gejala dari gangguan mental itu, 

yaitu pola pikir yang kacau.36 Pemisahan DID dari skizofrenia dipicu oleh 

temuan psikoterapis dr. Cornelia B. Wilbur atas diri pasiennya bermana 

Shirley Ardell Mason, dalam buku tentang pasien ini, yang ditulis oleh Flora 

Rheta Schreiber, Mason diberi nama samara Sybil Dorset, laporan yang 

kemudian dibukukan itu diberi judul Sybil.37 

Jadi, gangguan identitas disosiatif yaitu  sekelompok gangguan 

yang ditandai oleh suatu kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas, 

ingatan, atau kesadaran. Gangguan identitas disosiatif merupakan suatu 

                                                          


 

mekanisme pertahanan alam bawah sadar yang membantu seseorang 

melindungi aspek emosional dirinya dari mengenali dampak utuh beberapa 

peristiwa traumatik atau peristiwa yang menakutkan dengan membiarkan 

pikirannya melupakan atau menjauhkan dirinya dari situasi atau memori 

yang penyakitkan.38 

Kasus DID pertama kali dijelaskan oleh Paracelsus pada tahun 1646, 

pada abad ke-19, kesadaran ganda, precursor historis untuk DID, sering 

digambarkan sebagai keadaan berjalan sambil tidur, dengan para ahli ber- 

hipotesis bahwa pasien mengalami peralihan antara kesadaran normal dan 

"keadaan somnambulistik". Ketertarikan yang kuat pada spiritualisme, 

parapsikologi, dan hipnosis berlanjut sepanjang abad ke-19 dan awal ke-20, 

berjalan secara paralel dengan pandangan John Locke bahwa ada asosiasi 

gagasan yang membutuhkan koeksistensi perasaan dengan kesadaran 

perasaan. Hipnosis, yang dipelopori pada akhir abad ke-18 oleh Franz 

Mesmer, Armand- Marie Jacques de Chastenet, dan Marques de Puységur, 

menentang asosiasi gagasan Locke, penghipnotis melaporkan apa yang 

mereka anggap sebagai kepribadian ke-dua yang muncul selama hipnosis 

dan bertanya-tanya bagaimana dua pikiran dapat hidup berdampingan.

Awal Abad ke-20: Pada awal abad ke-20, kasus-kasus seperti "Eve 

White" (nama samaran) menarik perhatian publik dan profesional kesehatan 

mental terhadap fenomena identitas ganda dan aspek-aspeknya yang 

kompleks.

Era baru dimulai kembali pada tahun 1994 saat diterbitkannya 

DSMIV gangguan ini berganti nama menjadi gangguan identitas disosiatif 

(Dissociative Identity Disorder). Masalah kepribadian ganda ini tidak benar-

benar bisa dipahami, bahkan sebelum abad ke-20, gejala psikologi ini selalu 

dikaitkan dengan kerasukan setan. Abad ke-20 para psikolog menolak 

                                                          


 

kaitan itu menyebut fenomena ini dengan sebutan Multiple Personality 

Disorder (MPD). Berikutnya, saat  nama itu dirasa tidak lagi sesuai, gejala 

ini diberi nama baru, Dissociative Identity Disorder (DID). Era baru dimulai 

kembali pada tahun 1994 saat diterbitkannya DSM-IV gangguan ini 

berganti nama menjadi Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative Identity 

Disorder).

Menurut survei yang pernah dilakukan psikiater Colin Ross di 

Charter Hospital of Dallas tahun 1989, banyak bukti yang mendukung 

bahwa DID bukanlah sebuah kepura-puraan. Rata-rata penderita DID 

memiliki 16 kepribadian, berbagai kepribadian itu berasal dari pasien 

berbagai usia, jenis kelamin,dan ras, bahkan gangguan ini juga 

memungkinkan orang mengalami perubahan kesadaran menjadi spesies 

lain.

Di Indonesia istilah-istilah ini menjadi lebih dikenal semenjak 

diterbitkan buku yang diangkat dari kisah nyata dan menjadi banyak terjual 

(best-seller) pada tahun 2000an. Buku yang bercerita tentang penderita-

penderita gangguan identitas disosiatif diantaranya: Sybil,43 Karen,44 dan 

Billy.

Pada tahun 1974, buku yang sangat berpengaruh Sybil diterbitkan, 

dan kemudian dibuat menjadi miniseri pada tahun 1976 dan lagi pada tahun 

2007. Menjelaskan apa yang oleh Robert Rieber sebut sebagai "kasus 

kepribadian ganda paling terkenal ketiga, dia menyajikan diskusi rinci 

tentang masalah perawatan "Sybil Isabel Dorsett," nama samaran untuk 

Shirley Ardell Mason. Meskipun buku dan film-film berikutnya membantu 

mempopulerkan diagnosis dan memicu epidemi diagnosis, analisis kasus 

                                                          


 

kemudian menyarankan interpretasi yang berbeda, mulai dari masalah 

Mason yang disebabkan oleh metode terapi yang digunakan oleh 

psikiaternya, Cornelia B. Wilbur, atau tipuan yang tidak disengaja sebagian 

sebab  hak penerbitan yang menguntungkan, meskipun kesimpulan ini 

sendiri telah ditentang. David Spiegel, seorang psikiater Stanford yang 

ayahnya merawat Shirley Ardell Mason pada suatu kesempatan, 

mengatakan bahwa ayahnya menggambarkan Mason sebagai "histeris yang 

brilian. Dia merasa bahwa Dr. Wilbur cenderung menekannya untuk 

membesar-besarkan pemisahan kepribadian yang sudah dia miliki". Seiring 

meningkatnya perhatian media pada DID, demikian juga kontroversi 

seputar diagnosis. 

Kasus Sybil Isabel Dorsett dianggap sebagai "kasus klinis 

kepribadian ganda paling penting pada abad kedua puluh", Penerbitan buku 

"Sybil: Kisah nyata seorang wanita yang memiliki enam belas kepribadian 

terpisah" oleh Flora Rheta Schreiber menjadi best seller. Film televisi 

"Sybil" yang dibintangi Sally Field dan Joanne Woodward menempatkan 

Lorimar Productions mendapat banyak keuntungan. Sybil yaitu  korban 

pelecehan mengerikan yang ditimpakan padanya oleh ibunya yang psikotik. 

Ayahnya gagal melindunginya dari hal itu. Sebagai hasilya, dia 

mengembangkan kepribadian yang mengubah perasaan dan emosi yang 

tidak bisa diatasi oleh Sybil.46 

Sybil yang terjaga kehilangan semua emosi ini, dan sebab  itu 

menjadi sosok yang agak menjemukan. Dia tidak menyadari kepribadiannya 

yang lain. Cornelia Wilbur membantu Sybil memadukan kepribadian 

sesudah  enam belas tahun menjalani terapi. Kasus Sybil sangat penting 

dalam beberapa hal. Psikiater Sybil, Cornelia Wilbur, berusaha keras untuk 

mengesahkan laporan pelecehan termasuk wawancara dengan orang tua 

Sybil, kunjungan dengan Sybil ke rumah masa kecilnya, dan berbicara 

dengan dokter Sybil dan meninjau catatannya. Kasus ini dengan kuat 

                                                          

menghubungkan gangguan kepribadian ganda dengan pelecehan anak, 

perawatan grafis dari amnesia, episode fugue dan konflik di antara 

perubahan kepribadian dalam buku Schreiber "berfungsi sebagai cara 

melawan pasien lain sehingga dapat dibandingkan dan dipahami." Terapi 

Dr. Wilbur yang meliputi hipnosis dan intervensi terapeutik lainnya 

menghasilkan resolusi yang "berfungsi sebagai contoh bagi banyak 

terapis.

Gangguan disosiatif yaitu  fenomena yang sangat mengagumkan 

dan menarik, namun membingungkan. Meski gangguan-gangguan ini tetap 

misterius dalam beberapa hal, petunjuk-petunjuk yang memberikan 

pemahaman akan asal-muasalnya tetap bermunculan.48 Seseorang bisa 

menderita penyakit disosiatif diliat dari beberapa sebab diantaranya; 

a. Pandangan Psikodinamika 

           Amnesia disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan 

cara memutus atau mendisosiasi alam sadar seseorang dari 

kesadaran akan pengalaman traumatis atau sumber-sumber lain dari 

nyeri maupun konflik psikologi. Bagi teoretikus psikodinamika, 

gangguan disosiatif melibatkan penggunaan represi secara besar-

besaran, yang menghasilkan “terpisahnya” impuls yang tidak dapat 

diterima dan ingatan yang menyakitkan dari kesadaran seseorang. 

Dalam amnesia dan fugue disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri 

dari kebanjiran kecemasan dengan mengeluarkan ingatan-ingatan 

yang mengganggu atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan 

yang bersifat seksual atau agresif, pada kepribadian ganda, orang 

mungkin mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima 

melalui pengembangan kepribadian pengganti, pada depersonalisasi 

orang berada di luar dirinya sendiri, aman dengan cara menjauh dari 

pertarungan emosional di dalam dirinya.

                                                          

b.  Pandangan Kognitif dan Belajar 

             Teoretikus belajar dan kognitif memandang disosiasi 

sebagai suatu respon yang dipelajari yang meliputi proses tidak 

berpikir tentang tindakan atau pikiran yang mengganggu dalam 

rangka menghindari rasa bersalah dan malu yang ditimbulkan oleh 

pengalaman-pengalaman itu, kebiasaan tidak berpikir tentang 

masalah-masalah ini  secara negatif dikuatkan dengan adanya 

perasaan terbebas dari kecemasan, atau dengan memindahkan 

perasaan bersalah atau malu. Sejumlah teoretikus sosial kognitif, 

percaya bahwa gangguan identitas disosiatif yaitu  suatu bentuk 

bermain peran. Orang dapat mengorganisasikan pola perilaku 

mereka menurut peran tertentu yang telah mereka amati, mereka 

juga dapat menjadi sangat mendalami permainan peran mereka 

hingga ‘lupa’ bahwa mereka sedang menampilkan sebuah peran.50  

c. Disfungsi Otak  

        Beberapa bukti terakhir menunjukkan perbedaan dalam 

aktivitas metabolisme otak antara orang dengan gangguan 

depersonalisasi dan subjek yang sehat. Ada penemuan yang 

menekankan pada kemungkinan adanya disfungsi di bagian otak 

yang terlibat dalam persepsi tubuh, dapat membantu menjelaskan 

perasaan terpisah dari tubuh yang diasosiasikan dengan 

depersonalisasi.

d. Model Diatesis-Stres  

Walaupun banyak bukti trauma masa kanak-kanak dalam 

kasus gangguan identitas disosiatif, hanya sedikit anak yang 

mengalami penyiksaan yang mengembangkan kepribadian ganda. 

Sifat-sifat kepribadian tertentu, seperti kecenderungan berfantasi, 

tingkat kemudahan tinggi untuk dihipnotis dan keterbukaan pada 

                                                          


 

kondisi kesadaran alter, dapat menjadi predisposisi bagi individu 

untuk mengembangkan pengalaman disosiatif bila dihadapkan 

dengan stress yang ekstrim, seperti penyiksaan yang traumatis, 

walaupun demikian, sifat-sifat ini  belum tentu mengakibatkan 

seseorang mengalami gangguan disosiatif, orang yang memiliki 

kecenderungan rendah untuk berfantasi atau kemudahan dihipnotis 

kemungkinan mengalami semacam karakteristik pikiran-pikiran 

cemas dan intrusif yang merupakan gangguan stress pasca trauma 

(PTSD) pada periode sesudah  stres yang traumatis dan bukan 

gangguan disosiatif.

    berdasar  penjelasan sebelumnya mengenai beberapa sebab seseorang 

menderita gangguan identitas disosiatif, maka adapun ciri-cirinya sebagai 

berikut:

a. Memiliki dua atau lebih identitas atau kepribadian yang berbeda 

Kepribadian-kepribadian itu mempersepsi, menilai dan 

bereaksi terhadap lingkungan dengan cara yang sangat berbeda, 

Kepribadian yang berbeda-beda itu seperti pada pola pikir, tindakan 

dan gaya bicara.54 Penderita gangguan identitas disosiatif ini 

menampilkan dua atau lebih  kepribadian pada situasi yang berbeda. 

Misalnya ada laki-laki berusia 30 tahun dengan kepribadian asli 

yang lemah, tidak mampu mengambil keputusan, rapuh dan sensitif. 

Tapi dia juga memiliki kepribadian berbeda yaitu berani, cepat 

tanggap, tidak kenal kompromi dan sebagainya. Kepribadian kedua 

atau kepribadian pengganti (alter) ini  akan muncul  beberapa 

kali.55 Dalam hal ini saat  seseorang menemui orang dengan 

                                                          

 

gangguan identitas disosiatif akan seperti mengadapi orang yang 

berbeda atau kepribadian yang berbeda namun masih dalam satu 

tubuh. 

b. Dua atau lebih kepribadian ini  mengambil alih perilaku   

penderita secara bergantian (switching) 

Dua atau lebih kepribadian ini secara berulang mengambil 

kontrol penuh atas perilaku individu. Kepribadian tuan rumah akan 

ditinggalkan. Sehingga perilaku individu itu sepenuhnya berada di 

dalam kendali kepribadian pengganti (alter). Salah satu di antara 

beberapa kepribadian ini  biasanya lebih menonjol, atau 

dominasi ini  dapat terjadi secara bergantian. Perilaku penderita 

pada suatu saat akan konsisten dengan kepribadian yang sedang 

mendominasi pada saat itu. Setiap kepribadian dapat menyadari atau 

pun tidak, adanya jenis kepribadian yang lain.56 

c. Mengalami amnesia dalam artian tidak mengigat apa yang telah   

dilakukan 

Menurut Sarlito W. Sarwono, bahwa saat  satu kepribadian 

sedang memegang kendali, kepribadian-kepribadian lain tidak tahu-

menahu. Dengan demikian, terjadi gejala yang khas pada penderita 

gangguan identitas disosiatif, yaitu tidak ingat apa yang sudah 

dilakukannya.57  

Penderita mudah lupa akan informasi pribadi penting yang 

terlalu substansial untuk dianggap sebagai lupa biasa. Seperti lupa 

akan masa kecilnya, lupa dengan apa yang baru saja dia lakukan dan 

lain sebagainya. 

d. Gangguan bukan disebabkan oleh efek psikologis langsung dari zat 

Menurut Sarlito W. Sarwono, bahwa hal ini bukan 

disebabkan oleh pengaruh obat-obatan, trauma atau benturan di 

                                                         

kepala, usia tua maupun penyebab medis yang lain, melainkan 

sebab  ada pergantian kendali dalam jiwa penderita.58 Dalam artian, 

gangguan ini  timbul bukan akibat dari obat yang dikonsumsi 

atau pun pengaruh alkohol atau pun pengaruh lain yang serupa, 

Sebagai contoh, seseorang mungkin mengalami gangguan mental 

atau perilaku, tetapi gangguan ini  bukan disebabkan oleh efek 

langsung dari zat yang mereka konsumsi. 

 

B. Kerangka Teori 

1. Teori Restorative Justice 

Konsepsi Restorative Justice pada dasarnya bukan suatu hal yang baru 

atau asing lagi baik Masyarakat Indonesia. Menurut Rufinus Hotmaulana 

Hutauruk, konsep dasar pendekatan restorative justice berupa Tindakan untuk 

membangun kembali hubungan yang rusak akibat tindak pidana telah lama 

dikenal dan dipraktikkan di dalam hukum adat yang berlaku di Indonesia.

Keadilan Restoratif yaitu  Penyelesaian Tindak pidana dengan 

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh 

Masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk 

bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan 

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.60 

Seorang ahli kriminologi Tony F. Marshall dalam tulisannya 

sebagaimana yang dikutip dalam buku Penyelesaian perkara pidana 

penerapan keadilan restoratif dan transformatif karya Bambang Waluyo 

yaitu“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in 

a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the 

                                                          

aftermath of the offence and its implication for the future.61 (Restorative 

Justice yaitu  sebuah proses di mana para pihak yang berkepentingan dalam 

pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara 

bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran ini  

demi kepentingan masa depan). 

Restorative Justice dalam pandangan banyak orang sebagaimana yang 

dikutip dalam buku Efektifitas Restorative Justice dalam Proses Hukum 

Pidana karya Alfitra yaitu as a philosophy, a process, an idea, a theory and a 

intervention. Restorative justice dilakukan melalui proses kooperatif yang 

melibatkan semua pihak (stakeholders).

Hal ini berarti bahwa proses penanggulangan tindak pidana melalui 

pendekatan restoratif yaitu  suatu upaya untuk menyelesaikan perkara 

pidana, yang bertujuan untuk memulihkan keadaan yang didalamnya 

termasuk ganti rugi terhadap korban yang disepakati oleh para pihak yang 

memiliki kepentingan dalam penyelesaian perkara ini .  

2.  Alasan Pembenar dan Pemaaf 

Alasan Pembenar (rechtvaardigingsgronden), yaitu alasan-alasan 

yang membenarkan tindakan pelaku, dengan menghapus sifat melawan 

hukum dari tindakannya. Alasan-alasan yang termasuk dalam kelompok ini 

yaitu :

a. Keadaan Darurat (Noodtoestand) Pasal 48 KUHP 

Keadaan darurat diantaranya yaitu, sebab  adanya pertentangan 

antara kepentingan hukum (conflict van rechtbelengen), contoh : sekoci 

kapal tenggelam. Adanya pertentangan antara kepentingan hukum dan 

kewajiban hukum (conflict van rechtsbelang en rechtsplicht), contoh : 

Pemilik toko kaca mata dengan pemakai kaca mata. Adanya pertentangan 

                                                          


antara kewajiban hukum (conflict van rechstplichten). Contoh : 

panggilan sidang saksi dua sidang bersamaan. 

b. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Pasal 49 Ayat 1 KUHP 

Keadaan darurat diantaranya yaitu, Adanya suatu serangan yang 

sesaat  atau mengancam secara langsung, serangan itu datang dari 

manusia dan bersifat melawan hukum, serangan itu diadakan oleh objek 

tertentu, pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan, oleh 

sebab  bersifat darurat. 

c. Melaksanakan Perintah Undang-undang (wejelijk voorschrift) Pasal 50 

KUHP  

d. Menjalankan Perintah Jabatan yang diberikan oleh penguasa yang 

berwenang untuk itu (Bevoegd gezag) Pasal 51 Ayat 1 KUHP. 

Alasan Pemaaf (Schuld Uitsluitingsgronden), Yaitu alasan-alasan yang 

menghilangkan unsur kesalahan (dalam arti luas) pada tindakan pelaku dan 

memaafkan pelaku atas tindakannya itu. Alasan pemaaf yaitu;64 

a. Ketidakmampuan pelaku untuk menyadari tindakan atau disebut 

Ontoerekenningvatbaarheid, Pasal 44, 45. KUHP, UU No.11/2012 dan 

Pasal 39 Tahun 2023 

b. Daya Paksa (overmacht) Pasal 48 KUHP  

c. Pembelaan lampau batas (noodweer exces) Pasal 49 (2) KUHP 

d. Menjalankan Perintah Jabatan berdasar  perintah dari pihak yang tidak 

berwenang untuk itu (ambtelijk bevel door / onbevoegd gezag)  

e. Anak dibawah umur (UU No.3/1997, UU No. 11/2012) 

3. Maqashid Syariah  

Maqâshid al-syariah merupakan suatu teori hukum Islam yang cikal 

bakalnya sudah tumbuh sejak dimulainya proses penetapan hukum Islam itu 

sendiri, dan selanjutnya dikemas dengan baik serta dikembangkan oleh 

ulama-ulama sesudah periode tabi'-tab'in. Walaupun proses 

perkembangannya tidak secepat ilmu ushul fiqh, tetapi keberadaannya 

                                                          


sudah diamalkan oleh para ulama pada setiap penetapan hukum yang 

mereka lahirkan.65 

Secara etimologi Maqashid al-shariah yaitu  dua kata yang terdiri 

dari maqashid dan al-shariah, maqasid merupakan bentuk jamak (plural) 

dari kata maqsid yang berarti tempat yang dituju atau dimaksudkan atau 

maqsad yang berarti tujuan atau arah.66 Ibn al-Manzhûr mendefinisikan 

makna Maqashid sebagaimana yang dikutip dalam buku Maqashid al- 

Syariah karya Busyro bahwa Maqashid dapat berarti istiqâmah al-thâriq, 

(keteguhan pada satu jalan) dan al-itimâd (sesuatu yang menjadi 

tumpuan),67 Allah menjelaskan jalan yang lurus dan mengajak manusia 

untuk mengikuti jalan ini , sebagaimana ada Q.S. an-Nahl (16): 9 

yang berbunyi: 

ِ قَْصُد السَّبِْیِل َوِمْنَھا َجۤاىٌر َۗولَْو َشۤاَء لََھٰدىُكْم اَْجَمِعْینَ  ّٰ  َوَعلَى 

“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara 

jalan- jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah 

Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).” 

Selanjutnya, kata al-shariah secara etimologi yaitu  agama, millah 

(syariat), metode, jalan, dan sunnah. Secara terminologi aturan-aturan yang 

telah disyariatkan Allah berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum amal 

perbuatan ('amaliyah), kata al-shariah juga diartikan sejumlah atau 

sekumpulan hukum-hukum amal perbuatan yang terkandung dalam Islam.68 

Maqasid dan al-shari’ah apabila disatukan melahirkan pengertian 

yang relatif sama kecuali pada bagian-bagian seperti perbedaan redaksi dan 

pengembangan serta keterkaitan maqasid al-shari'ah dengan lainnya, di 

antara pengertian ini  maqasid al-shari'ah yaitu  tujuan, target atau 

hasil akhir berupa kemaslahatan hakiki dengan ditetapkannya hukum pada 

                                                          

 

manusia. Pengertian lainnya maqasid al-shariah yaitu  tujuan akhir dan 

rahasia bahkan nilai atau norma serta makna-makna ditetapkannya sebuah 

hukum,69 dengan demikian maqâshid al-syariah secara bahasa artinya 

yaitu  upaya manusia untuk mendapatkan solusi yang sempurna dan jalan 

yang benar berdasar  sumber utama ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadis 

Nabi SAW. 70 

Dalam terminologi ushul fiqh, menurut Wahbah al-Zuhaili mengenai 

maqshid al-Syariah sebagaimana yang dikutip dalam buku Maqashid Al-

Syariáh Mashlahah karya Safriadi, maqshid al-Syariah yaitu  nilai-nilai 

dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau sebagian besar dari 

hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai 

tujuan dan rahasia syariat, yang ditetapkan oleh al-Syri' (pembuat syari'at) 

dalam setiap ketentuan hukum, dengan demikian, Maqãshid al- Syariah 

merupakan suatu kandungan nilai yang menjadi tujuan akhir pemberlakuan 

hukum-hukum syara'.71 

Tujuan pokok hukum Islam menurut Muhammd Abu Zahrah yang 

dikutip dalam buku Panorama Maqashid Syariah karya Sutisna dkk, ada tiga  

macam: Pertama, Tahdzib al-fard (Mendidik individu), dalam makna yang 

luas yaitu  penyucian jiwa umat Islam. Hal ini dimaksudkan agar setiap 

muslim dapat menjadi sumber kebaikan bukan sumber keburukan bagi 

masyarakat lingkungannya. Kedua, Iqamah al-yaitu  (menegakkan 

keadilan) di tengah-tengah masyarakat. Tujuan kedua disyari'atkannya 

hukum Islam yaitu  untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah 

masyarakat, baik menyangkut urusan sesama umat Islam maupun dalam 

hubungannya dengan pihak lain atau bukan muslim. Ketiga, Jalb al-

mashlahah, (memelihara kemaslahatan). Hal ini merupakan tujuan puncak 

yang hendak dicapai oleh setiap hukum Islam. Maslahat hakiki yang 

dikehendaki oleh syari'at Islam, bukanlah maslahat yang didasarkan pada 

                                                          


hawa nafsu, melainkan maslahat yang didasarkan pada nash-nash agama. 

Abu Zahrah melanjutkan jika disebut istilah maslahah maka yang dimaksud 

yaitu  maslahah yang hakiki yang kembali pada lima hal yang pokok yaitu 

penjagaan terhadap agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.72 

Memahami maqāṣid al-sharī’ah yaitu  suatu tuntunan yang harus 

dilakukan dalam rangka mengetahui masalah dari setiap hukum yang 

ditetapkan oleh Allah SWT, pemahaman terhadap maqāṣid al-sharī’ah 

memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan hukum Islam. 

Sementara itu, pengembangan hukum Islam harus dilakukan agar hukum 

Islam mampu merespon segala perubahan dan perkembangan zaman.73 

Adapun manfaat mempelajari maqāṣid al-sharī’ah yaitu untuk 

mengungkapkan tujuan, alasan, dan hikmah baik yang umum maupun 

khusus, untuk menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan tiap 

zaman. Membantu ulama dalam berijtihad dalam bingkai tujuan syariat 

Islam dan Mempersempit perselisihan di antara pengikut mazhab fiqh.74 

Kandungan maqāṣid al-sharī’ah yaitu  pada kemaslahatan, 

kemaslahatan itu melalui analisis maqāṣid al-sharī’ah tidak hanya dilihat 

dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan 

pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu yang mengandung niai-nilai 

filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan Tuhan kepada manusia.75 

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, Abu 

Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam yang (kemudian) 

disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya, sebagaimana yang dikutip 

dalam buku Filsafat Hukum Islam karya Suparman Usman dan Itang, lima 

tujuan Hukum Islam yaitu agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz 

                                                          


al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). 76 

Pada penelitian ini akan difokuskan pada pembahasan hifz al-‘aql 

(menjaga pikirab atau akal), ini berkaitan denngan penyakit jiwa termasuk 

dissociative identity disorder (DID) yang berkaitan dengan rusaknya akal. 

Akal yaitu  anggota tubuh yang vital pada manusia, dengan akal 

inilah manusia dapat membedakan, merasa dan mengetahui yang mana yang 

baik dan tidak baik,77 untuk memelihara akal agama Islam mensyariatkan 

pengharaman meminum khamar dan segala yang memabukkan dan 

mengenakan hukuman terhadap orang yang meminumnya atau 

menggunakan segala yang memabukkan.78 Larangan meminum minuman 

memabukkan didasarkan pada Q.S. Al-Maidah (5): 90: 

ۡن َعَمِل الشَّۡیطٰ  ا اِنََّما اۡلَخۡمُر َواۡلَمۡیِسُر َواۡالَۡنَصاُب َواۡالَۡزَالُم ِرۡجٌس ّمِ اَیَُّھا الَِّذۡیَن ٰاَمنُۡوۤ ِن ٰیۤ

  فَاۡجتَنِبُۡوهُ لَعَلَُّكۡم تُۡفِلُحۡونَ 

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum minuman keras, 

berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah yaitu  

perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan- 

perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”  

Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti diharamkan 

meminum minuman keras, jika ketentuan ini tidak dindahkan, maka akan 

berakibat terancamnya eksistensi akal. Memelihara akal dalam peringkat 

hajiyyat, seperti dianjurkannya menunut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal 

itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri 

seseorang, dalam kaitanya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. 

 Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat yang dimaksud 

                                                         

seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu 

yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan 

mengancam eksistensi akal secara langsung.79 

Jasser Auda menyampaikan kritikan terhadap sistem hukum Islam 

yang terlalu sering menggunakan pengertian hifz al-aql sebagai bentuk 

penjagaan akal atau pikiran dan selalu menjadikan khamar sebagai contoh. 

Audah berusaha menafsirkan ulang apa yang dimaksud dengan hifz al-'aql 

dalam konteks modern seperti sekarang ini.  

Audah berusaha untuk memodernisasi dalam hukum Islam dalam 

bentuk yang kekinian. Menurut Audah, hifz al-aql juga dapat didefinisikan 

sebagai bentuk pengembangan terhadap akal atau pikiran.80 

Menurut Audah konsep tentang hifz al-aql seharusnya diperluas 

supaya konsep ini tetap berlaku pada zaman sekarang yang menuntut 

kemajuan dalam bidang pemikiran. Audah menekankan hendak 

mereformasi hifz al-'aql dari yang sebelumnya berarti "penjagaan terhadap 

akal atau pikiran" berubah menjadi "pengembangan terhadap akal atau 

pikiran". Di antara contoh yang disebutkan Audah yaitu  pengembangan 

pikiran ilmiah, perjalanan menunut ilmi pengetahuan, melawan mentalitas 

taklid.

Pengembangan pikiran ilmiah merupakan salah satu bagian dari 

hifz al-'aql. Setiap orang dituntut untuk terus mengembangkan pikiran yang 

berbasis pada pendekatan rasional dan ilmu pengetahuan. Pengembangan 

pemikiran ilmiah dilakukan dengan cara terus melatih daya nalar otak 

manusia dengan melihat realitas zamannya. Islam juga hendak memerangi 

mentalitas taklid atau biasa disebut dengan "ikut-ikutan".  

Maksudnya yaitu  Islam tidak menganjurkan setiap individu 

melakukan tindakan taklid terhadap sesuatu yang ia sendiri tidak 

mengetahuinya secara mendalam. Orang yang taklid akan mudah untuk 

                                                          

dijerumuskan pada perbuatan yang tidak benar dan bertentangan dengan 

hukum Islam. Menghindari sifat taklid dapat mendorong seseorang untuk 

belajar, memahami, dan menggali dalil atau alasan dibalik suatu ajaran, 

untuk memperkuat keyakinan dan pemahaman yang mendalam, dengan 

tidak terikat pada pendapat satu individu atau golongan tertentu, seseorang 

akan lebih bebas berpikir dan tidak terbatas oleh otoritas tunggal dalam 

sebuah keputusan.82 Jika semua orang hanya mengikuti pendapat orang lain 

tanpa mempertanyakan, maka tidak akan ada perkembangan ilmu. 

C. Tinjauan Kajian Terdahulu 

Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian terdahulu, beberapa hasil 

kajian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk 

dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil penelitian yang telah penulis baca maka 

ada beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan kajian antara lain sebagai 

berikut: 

1. Skripsi Nur Naafilah Nurdin yang berjudul “Tindak Pidana 

Pembunuhan Oleh Penderita Gangguan Identitas Disosiatif”. Skripsi 

ini membahas tentang hakikat dari gangguan identitas disosiatif, untuk 

mengetahui perspektif Islam dan nasional mengenai gangguan identitas 

disosiatif, serta untuk mengetahui penjatuhan sanksi terhadap tindak 

pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas disosiatif dalam 

hukum Islam dan hukum nasional. 

2. Skripsi Chamelia Masfufah yang berjudul “Psikologi Kepribadian 

Ganda”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana seseorang memilki 

kepribadian ganda, menjelaskan kasus-kasus kepribadian ganda dan 

bagaimana cara menghilangkan kepribadian ganda. 

3. Jurnal Alfiansyah dan Hana Farida yang berjudul “Tinjaun Kriminologi 

Terhadap Gangguan Identitas Disosiatif Sebagai Pendorong 

Terjadinya Tindak Pidana”. Penelitian ini membahas tentang 

                                                         

Gangguan Identitas Desosatif sebagai pendorong terjadinya kejahatan 

melalui tinjauan hukum kriminologi. Permasalahan ini menarik untuk 

dikaji secara hukum kriminologi, sebab  mempelajari penyebab 

terjadinya kejahatan, dalam hal ini penyebab terjadinya ialah Gangguan 

Identitas Disosiatif. 

4. Jurnal Muhammad Dwi Rafky yang berjudul “Pertanggungjawaban 

Pidana Terhadap Pelaku Penganiayaan Penyandang Dissociative 

Identity Disorder”, Jurnal ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana 

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan 

yang menyandang Dissociative Identity Disorder (DID). 



PERAN AHLI PSIKOLOGI DALAM PROSES HUKUM TINDAK PIDANA 

PENDERITA DISSOCIATIVE IDENTITY DISORDER 

 

A. Peran Ahli Psikologi 

Pembuktian mengenai kemampuan bertanggungjawab seorang pelaku 

tindak pidana dilakukan apabila ada keragu-raguan dalam proses 

pemeriksaan perkara sehingga membutuhkan pemeriksaan secara kejiwaan 

terhadap pelaku tindak pidana. Keadaan yang membutuhkan pemeriksaan 

secara kejiwaan terhadap pelaku tindak pidana yaitu apabila pelaku tindak 

pidana yang dalam hal pembuktian di persidangan berstatus terdakwa 

menunjukkan indikasi-indikasi bahwa ia menyandang suatu gangguan jiwa, 

salah satunya Dissociative Identity Disorder (DID). Membuktikan keterkaitan 

antara gangguan jiwa yang dialami penyandang DID dalam hubungannya 

dengan tindak pidana yang dilakukan menjadi tugas penasihat hukum 

(pengacara) yang mendampingi terdakwa. 

Keterbatasan pemahaman para penegak hukum mengenai DID akan 

menghambat proses pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan oleh 

penyandang DID sebab  untuk menentukan pertanggungjawaban pidana 

terhadap penyandang DID diperlukan berbagai pihak dari bidang hukum dan 

psikiatri. Oleh sebab  itu, perlu dibentuk suatu lembaga khusus psikiatri 

kriminal yang beranggotakan ahli-ahli dari bidang hukum dan psikiatri. Untuk 

menunjang keefektifannya dalam menangani kasus-kasus pidana yang 

dilakukan oleh orang yang diduga menyandang suatu gangguan jiwa, lembaga 

khusus ini  harus diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan 

terhadap kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mengalami 

gangguan jiwa. Pembentukan lembaga khusus ini  akan sangat 

berpengaruh terhadap proses pemeriksaan perkara pidana, terutama dalam 

 

membuktikan keterkaitan antara gangguan jiwa yang disandang seseorang 

dengan tindak pidana yang dilakukannya.83 

Peranan Ahli Psikologi dalam Proses Hukum Tindak Pidana Penderita 

DID, dalam proses hukum yang melibatkan terdakwa dengan DID, ahli 

psikologi memiliki beberapa peranan kunci, baik sebagai saksi ahli maupun 

evaluator klinis. Berikut yaitu  beberapa peranan utama yang dimainkan oleh 

ahli psikologi dalam kasus-kasus ini :  

1. Evaluasi Kesehatan Mental Terdakwa  

Ahli psikologi forensik bertanggung jawab untuk melakukan 

evaluasi mendalam terhadap terdakwa yang diduga menderita DID. 

Evaluasi ini biasanya dilakukan melalui wawancara klinis, tes psikologis, 

dan pengamatan perilaku. Tujuannya yaitu  untuk menentukan apakah 

terdakwa benar-benar memiliki DID, serta sejauh mana kondisi mental 

ini  memengaruhi perilakunya pada saat melakukan tindak pidana.84 

Ahli psikologi juga harus membedakan DID dari gangguan mental 

lainnya seperti skizofrenia atau simulasi (faking), sebab  beberapa 

terdakwa mungkin berpura-pura memiliki DID untuk menghindari 

tanggung jawab pidana. Evaluasi mendalam oleh ahli psikologi 

memastikan bahwa diagnosis yang akurat dibuat, yang kemudian dapat 

digunakan sebagai bukti di pengadilan.

2. Menilai Kompetensi untuk Diadili  

Salah satu peran kunci ahli psikologi dalam kasus DID yaitu  

menentukan kompetensi terdakwa untuk diadili, kompetensi untuk diadili 

(Competency to Stand Trial) mengacu pada kemampuan terdakwa untuk 

memahami tuduhan yang dihadapinya, serta kemampuan untuk membantu 

dalam pembelaannya sendiri.  

                                                          

 

Jika terdakwa memiliki DID, ahli psikologi harus mengevaluasi 

apakah terdakwa mampu berpindah ke "kepribadian utama" yang dapat 

memahami proses hukum. Jika kepribadian utama tidak memiliki 

kesadaran atas tindakan yang dilakukan oleh "kepribadian lain", maka ahli 

psikologi dapat merekomendasikan bahwa terdakwa tidak kompeten untuk 

diadili sampai kondisinya membaik melalui terapi atau pengobatan.86  

3. Menilai Kapasitas Pertanggungjawaban  

Pidana Ahli psikologi juga bertugas menilai sejauh mana kondisi 

mental terdakwa memengaruhi kemampuannya untuk memahami atau 

mengontrol tindakannya pada saat tindak pidana terjadi. Dalam hukum 

pidana, pertanggungjawaban pidana mengharuskan terdakwa untuk 

memiliki niat jahat pada saat tindak pidana dilakukan. Jika terdakwa dalam 

kondisi DID, salah satu pertanyaan penting yang perlu dijawab yaitu  

apakah "kepri


Related Posts:

  • kepribadian ganda 4Dissociative Identity Disorder (DID) pada masyarakat awam dikenal dengan istilah gangguan kepribadian ganda. Gangguan ini ditandai oleh adan… Read More