Rabu, 28 Februari 2024

hukum islam 9



 u 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan 

pemulihan kondisi likuiditas Bank dan batas waktu ini 

merupakan jangka waktu yang wajar untuk menjual aset 

Bank.

Agunan yang dapat dibeli oleh Bank yaitu  Agunan yang 

pembiayaannya telah dikategorikan macet selama jangka 

waktu tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan 

Peraturan Bank negara kita  memuat antara lain :

a. Agunan yang dapat dibeli oleh Bank Syariah dan UUS 

yaitu  Agunan yang pembiayaannya telah dikategori­

kan macet selama jangka waktu tertentu;

b. Jangka waktu pencairan Agunan yang telah dibeli.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “memperlihatkan bukti tertulis”, 

termasuk menyampaikan keterangan atau fotokopi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi yang diberi 

wewenang untuk melakukan penyidikan” yaitu  pimpinan

413

departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen 

setingkat menteri.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Pembinaan yang dilakukan Bank negara kita , antara lain, mengenai 

aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji 

kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta 

aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank 

Syariah dan UUS.

Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (o f f - s i t e  

s u p e r v i s i o n ) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung 

(o n - s i t e  s u p e r v i s i o n )  dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank 

yang bersangkutan.

Pasal 51

Ayat (1)

Bank Syariah dan UUS perlu menjaga tingkat kesehatannya 

dalam rangka memelihara kepercayaan warga .

414

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu  segala 

jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun 

elektronis, yang terkait dengan objek pengawasan Bank 

negara kita .

Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait 

dengan Bank” yaitu  setiap bagian ruangan dari kantor 

bank dan tempat lain di luar bank yang terkait dengan 

objek pengawasan Bank negara kita .

Huruf b

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu  segala 

jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronis 

yang terkait dengan objek pengawasan Bank negara kita . 

Yang dimaksud dengan “setiap pihak” yaitu  orang 

atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap 

pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik 

langsung maupun tidak langsung, antara lain, u l t i m a t e  

s h a r e h o l d e r  atau pihak tertentu yang namanya tidak 

tercantum sebagai pegawai, pengurus atau pemegang 

saham bank tetapi dapat memengaruhi kegiatan 

operasional bank atau keputusan manajemen bank.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “rekening Simpanan maupun 

rekening Pembiayaan” yaitu  rekening-rekening, baik 

yang ada pada Bank yang diawasi/diperiksa maupun 

pada Bank lain, yang terkait dengan objek 

pengawasan/pemeriksaan Bank negara kita .

415

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 53

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” yaitu  pihak yang 

menurut penilaian Bank negara kita  memiliki kompetensi 

untuk melaksanakan pemeriksaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 54

A yat(l)

Keadaan suatu Bank dikatakan mengalami kesulitan yang 

membahayakan kelangsungan usahanya bila  berdasar  

penilaian Bank negara kita , kondisi usaha Bank semakin 

memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya 

permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta 

pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasar  prinsip 

kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.

Huruf a

Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan” 

antara lain pembatasan keputusan pemberian bonus 

( t a n t i e m ) ,  pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau 

kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

416

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “pihak lain” yaitu  pihak di 

luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan 

usaha lain, maupun individu yang memenuhi 

persyaratan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 55

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan 

sesuai dengan isi Akad” yaitu  upaya sebagai berikut:

a. musyawarah;

b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyamas) 

atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 56

Pada dasarnya sanksi administratif dikenakan terhadap anggota 

komisaris atau anggota direksi secara personal yang melakukan 

kesalahan, tetapi tidak menutup kemungkinan sanksi administratif

417

dikenakan secara kolektif bila  kesalahan itu  dilakukan 

secara kolektif.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Ayat (1)

UUS yang telah memiliki izin usaha dalam ketentuan ini 

yaitu  UUS yang sudah ada berdasar  izin pembukaan 

Kantor Cabang Syariah pada Bank Umum Konvensional.

418

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  NOMOR 4867

419


PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN 

Hukum Kewarisan

Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan 

hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan 

menentukan siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan 

berapa bagiannya masing-masing.

Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan, 

disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat 

manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan 

ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Ulahi. Aturan 

hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan 

kebutuhan warga  dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu 

system hukum kewarisan yang sempurna.

Sejarah Hukum Kewarisan Islam

Sejarah Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan 

zaman Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat 

dipaparkan sebagai berikut:

1. Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan 

tatacara pembagian warisan dalam warga  yang didasarkan 

atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya 

diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang 

sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna 

mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan 

serta merampas harta peperangan.

2. Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena 

dipandang tidak mampu memangui senjata guna mempertahankan 

kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas 

harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ 

atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris 

secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam 

dengan turunnya Surat An Nisa’, Ayat 19 yang melarang

421

menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat 

itu  Allah SWT. Berfirman :

“H a i  o r a n g - o r a n g  y a n g  b e r i m a n ,  t i d a k  h a l a l  b a g i  k a m u

m e m p u s a k a i  w a n i t a  d e n g a n  j a l a n  p a k s a

3. Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan 

dasar untuk saling mewarisi. bila  salah seorang dari mereka 

yang telah mengadakan peijanjian bersaudara itu meninggal dunia 

maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 

1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah 

sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi 

berdasar  janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.

4. Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga 

dijadikan dasar untuk saling mewarisi. bila  anak angkat itu 

telah dewasa maka ia memiliki  hak untuk sepenuhnya mewarisi 

harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan 

pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.

5. Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke 

Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara 

Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan 

hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin 

dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.

6. Dari paparan itu  di atas dapat disimpulkan bahwa dasar 

untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah yaitu  :

a. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan

b. Adanya pengangkatan anak

c. Adanya janji setia untuk bersaudara

Ketiga jenis ahli waris itu  disyaratkan harus laki-laki dan 

sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak 

dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam 

di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin 

dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan 

dasar untuk saling mewarisi.

7. Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya 

pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah 

inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang 

ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan 

yang harus ditaati oleh setiap muslim.

422

8. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat 

mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) 

untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka 

memiliki  hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun 

banyaknya menurut bagian yang ditetapkan untuknya dalam 

Syari’at Islam. Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-Nya 

dalam Surat An Nisa’ ayat 7, yang artinya sebagai berikut:

’ ’B a g i  o r a n g  l a k i - l a k i  a d a  h a k  ( b a g i a n )  d a r i  h a r t a  

p e n i n g g a l a n  i b u ,  b a p a k ,  d a n  k e r a b a t n y a ;  d a n  b a g i  o r a n g  

p e r e m p u a n  j u g a  a d a  h a k  ( b a g i a n )  d a r i  h a r t a  p e n i n g g a l a n  

i b u ,  b a p a k ,  d a n  k e r a b a t n y a ,  b a i k  s e d i k i t  a t a u  b a n y a k  

m e n u r u t  b a g i a n  y a n g  t e l a h  d i t e t a p k a n  ” .

Kemudian dalam ayat 11 Surat An Nisa’ itu pula Allah SWT. 

Berfirman yang artinya:

’’A l l a h  m e n s y a r i ’a t k a n  b a g i m u  t e n t a n g  ( p e m b a g i a n  p u s a k a  

u n t u k )  a n a k - a n a k m u ,  y a i t u  b a h w a  b a g i a n  s e o r a n g  a n a k  l a k i -  

l a k i  s a m a  d e n g a n  b a g i a n  d u a  o r a n g  a n a k  p e r e m p u a n  ” .

9. Selanjutnya pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara 

(janji setia) juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 6 Surat Al 

Ahzab, yang artinya:

”..... d a n  o r a n g - o r a n g  y a n g  m e m p u n y a i  h u b u n g a n  d a r a h

s e b a g i a n n y a  a d a l a h  l e b i h  b e r h a k  d a r i p a d a  s e b a g i a n  y a n g  

l a i n  d i  d a l a m  k i t a b  A l l a h  d a r i p a d a  o r a n g - o r a n g  m u k m i n  d a n  

o r a n g - o r a n g  M u h a j i r i n ,  k e c u a l i  k a l a u  k a m u  m a u  b e r b u a t  

b a i k  k e p a d a  s a u d a r a - s a u d a r a m u .....”

10. Kemudian mengenai kewarisan anak angkat juga dihapuskan 

dengan turunnya Ayat 4 dan 5 Surat Al Ahzab, yang artinya :

”..... d a n  T u h a n  t i d a k  m e n j a d i k a n  a n a k - a n a k  a n g k a t m u n

s e b a g a i  a n a k  k a n d u n g m u  s e n d i r i .  Y a n g  d e m i k i a n  i t u  

h a n y a l a h  p e r k a t a a n m u  d i  m u l u t m u  s a j a .  S e d a n g  A l l a h  

m e n g a t a k a n  y a n g  s e b e n a r n y a  d a n  m e n u n j u k k a n  j a l a n  ( y a n g  

b e n a r ) .  P a n g g i l l a h  m e r e k a  d e n g a n  m e m a k a i  n a m a - n a m a  

a y a h n y a  ( y a n g  s e b e n a r n y a )  s e b a b  y a n g  d e m i k i a n  i t u  l e b i h  

a d i l  d i  s i s i  A l l a h .  J i k a  k a m u  t i d a k  m e n g e t a h u i  a y a h n y a  m a k a  

( p a n g g i l l a h  m e r e k a  s e p e r t i  m e m a n g g i l )  s a u d a r a - s a u d a r a m u  

s e a g a m a  d a n  m a u l a - m a u l a m u  ( y a k n i  o r a n g - o r a n g  y a n g  

b e r a d a  d i  b a w a h  p e m e l i h a r a a n m u )  "

423

Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula 

bahwa:

”M u h a m m a d  i t u  s e k a l i - k a l i  b u k a n l a h  b a p a k  d a r i  s e o r a n g  

l a k i - l a k i  d i  a n t a r a  k a m u  t e t a p i  d i a  a d a l a h  R a s u l  A l l a h  d a n  

p e n u t u p  p a r a  n a b i .

11. Sedang mengenai kewarisan berdasar  persaudaraan karena 

hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan 

Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :

Artinya:

’’T i d a k  a d a  k e w a j i b a n  b e r h i j r a h  l a g i  s e t e l a h  p e n a k l u k a n  k o t a  

M a k k a h  ”  (HR. Bukhori dan Muslim)

Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang 

dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara 

Muhajirin dengan Anshor.

12. Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak 

tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di 

Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan 

dengan ayat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). 

Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara 

berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang 

kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan 

warga  yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga 

yang ersifat bilateral.

13. Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang dibangun 

oleh syari’ah Islam yaitu  sistem kekeluargaan yang bersifat 

bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat warga  

Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga 

mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum 

Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik 

kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol itu  telah 

mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada 

masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan 

diajarkan kepada ummat Islam di negara kita . Ketidakseimbangan 

telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang 

di negara kita  yaitu  kukum keluarga yang bersifat bilateral, 

sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal

424

sehingga hukum kewarisan patrilineal itu  kurang mendapat 

sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas 

untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji 

ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.

14. Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW. 

Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia 

menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi 

pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.

15. Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing 

merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum, 

yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan 

ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya. 

Oleh karenanya kedua hukum itu  harus memiliki  sifat, 

asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan 

enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, bila  

terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi 

ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya 

dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem 

hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama 

dengan Hukum Perkawinan.

16. Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun ada  berbagai 

Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini 

terjadi karena faktor sejarah, tata kehidupan warga , 

pemikiran, ketaatan terhadap. syari’ah, dan sebagainya yang 

berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum 

kewarisan Islam di negara kita , dan juga menimbulkan disparitas 

nya putusan Pengadilan Agama.

17. Disamping itu, corak kehidupan warga  Arab yang bersifat 

patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman 

terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang 

kita pelajari selama ini yaitu  hukum kewarisan yang lebih 

bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman warga  

Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil 

karena corak kehidupan warga  kita yaitu  bilateral, 

sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal.

18. Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah 

Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas 

membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan, 

termasuk disini yaitu  Peradilan Agama.

19. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang 

Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk 

memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris 

dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang 

jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan 

warga  Islam negara kita  yang bilateral semakin terasa 

mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi 

Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden 

Nomor 1, tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.

20. Menghadapi kenyataan tentang perkembangan hukum kewarisan 

Islam di negara kita , KH. Ali Darokah mengatakan bahwa :

’ ’W a l h a s i l ,  h u k u m  f a r a i d  y a n g  a d a  p e r l u  d i b i n a  l a g i ,  t e r u t a m a  

u n t u k  I n d o n e s i a ,  d e n g a n  h u k u m  f a r a i d  k o n k r i t  y a n g  d a p a t  

m e n c a k u p  s o a l - s o a l  p e n t i n g  y a n g  b e r k a i t  d e n g a n  f a r a i d ,  d a n  

m e n c a k u p  p e t u n j u k  a y a t - a y a t  A l  Q u r  ’a n  d a n  A l  H a d i t s  y a n g  t e l a h  

d i p o t o n g  o l e h  s e b a g i a n  u l a m a  f i q i h .  B i l a  p e m b i n a a n  i t u  b e r h a s i l ,  

I n s y a  A l l a h  p e r s e n g k e t a a n  k i t a  d a p a t  t e r s e l e s a i k a n .  ”

Untuk menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan dalam ilmu 

fiqih dengan rasa keadilan warga  islam maka perlu diadakan kaji ulang 

terhadap hukum kewarisan Islam yang ada dan mengembalikannya kepada 

sumber aslinya, yaitu Al Qur’an dan As Sunah. Untuk itu, diluncurkanlah 

gagasan tentang reaktualisasi Hukum Islam yang kemudian hasilnya 

dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini.

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

Dalam peradilan atau dalam hukum negara kita  juga ada  hukum 

waris adat. Selama ini, khususnya sebelum munculnya UU No.7 Tahun 

1989 tentang Peradilan Agama memang sering terjadi kerancuan. Bagi umat 

muslim mau membagi warisannya secara apa. Jika ia mau membagi 

menurut hukum Islam bagaimana, jika ia mau membagi secara hukum adat 

atau perdata bagaimana. Artinya, sebelum keluarnya UU Pengadilan Agama 

masing-masing orang memiliki  pilihan atau opsi dengan cara apa ia akan 

membagi warisannya. Misalnya yang beragama islam bisa saja tidak 

mengambil secara waris Islam tapi bisa ke waris perdata. Jadi sebelum 

keluarnya UU Pengadilan Agama, mantan wapres (Adam Malik) juga 

pemah menyelesaikan kasus waris itu ke pengadilan negeri.

Kemudian apa yang menjadi perbedaan antara masing-masing itu? yang 

jelas dalam waris Islam bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan. 

sedang  dalam hukum waris perdata bagian perempuan seimbang atau 

sama rata dengan bagian laki-laki. Namun demikian dalam Kompilasi 

Hukum Islam (KHI) juga ditegaskan bahwa bila  kata sepakat atau 

musyawarah antara para ahli waris maka warisan bisa dibagi secara sama 

rata.

Setelah adanya UU Pengadilan Agama hak opsi itu ditegaskan bahwa 

bagi mereka yang beragama Islam patuh dan tunduk pada hukum Islam, 

pembagian warisnya harus secara Islam dan jika timbul sengketa harus 

diselesaikan di Pengadilan Agama. Perbedaan lainnya yaitu  bahwa dalam 

waris Islam ada unsur ta'abudi atau ibadah, karena dilaksanakan 

berdasar  hukum agama atau taat kepada hukum-hukum yang diturunkan 

oleh Al-qur'an dan hadis.

Dalam hukum waris Islam dikenal juga adanya mahjub (tertutupnya 

ahli waris). Bukan terhalang, tapi tertutup. Misalnya seorang cucu tidak bisa 

mendapat warisan jika ada anak. Kemudian kakek juga tidak dapat warisan 

kalau bapaknya masih ada.

Jadi dalam hukum waris Islam dikenal ashabul furud, yaitu mereka 

yang berhak menerima bagian waris secara mutlak atau tidak akan tertutup 

oleh siapapun juga. Ashabul furud ini pertama kali yaitu  suami atau istri 

yang ditinggal mati oleh istri atau suaminya. Suami atau istri ini mutlak 

mendapat harta warisan pewaris (pihak yang meninggal) dan tidak bisa 

terhalang oleh siapapun juga. Namun bila  si pewaris memiliki anak,

maka anak-anaknya (baik yang perempuan dan laki-laki) juga mendapat 

warisan itu.

Kalau yang meninggal yaitu  istri dan tidak memiliki anak, maka si 

suami mendapat separuh dari harta warisan, sedang  jika punya anak si 

suami mendapat V4. Kalau yang meninggal yaitu  suami dan tidak memiliki 

anak, maka si istri mendapat V4 dari harta warisan pewaris, sedang  jika 

punya anak maka si istri mendapat V8. Kalau orang tua pewaris masih hidup, 

maka bapak dan ibu pewaris juga mendapat harta warisan dan tidak bisa 

tertutup oleh siapapun juga. Jadi ada ashabul furud yang ke atas (yaitu orang 

tua), menyamping (yaitu suami atau istri) dan ke bawah (yaitu anak). 

Saudara kandung (kakak atau adik) pewaris bisa saja mendapat warisan jika 

pewaris tidak memiliki anak.

Dalam hukum syar'i Islam ini juga diatur masalah rumah tangga mulai 

dari seseorang belum lahir sampai meninggal. Begitu pula masalah harta- 

harta itu sendiri. Contohnya setelah dia menikah dan kemudian bercerai itu 

kan ada ketentuan mengenai harta bersama yang dipilah dengan harta 

bawaan. Begitu juga ketika seseorang meninggal, maka disitu dikenal juga 

harta peninggalan dan harta warisan. Dalam bab 1 Pasal 171 poin d KHI 

disebutkan harta peninggalan yaitu  harta yang ditinggalkan oleh pewaris, 

baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. 

Hak-hak ini misalnya hak cipta atau hak kekayaan intelektual.

Kemudian di KHI juga dijelaskan mengenai harta warisan, yaitu harta 

bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah dipakai  untuk 

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan 

jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Pemberian untuk 

kerabat ini yang mungkin akan kita bahas lagi lebih lanjut yaitu masalah 

wasiat.

Jadi harta peninggalan yaitu  harta yang ditinggalkan oleh pewaris, 

sedang  harta warisan mumi yaitu  harta bawaan ditambah harta bersama 

dari suami atau istrinya setelah dipilah dan dikurangi biaya pengurusan 

waktu dia sakit (jika memang sakit), meninggal, mengubur, membayar 

hutang (jika punya hutang) dan wasiat, bila  punya wasiat dipilah juga 

wasiatnya. Harta warisan mumi inilah yang nantinya akan dibagi-bagi 

kepada ahli waris. Bisa juga terjadi dimana harta warisan mumi justru 

kurang, sehingga ahli waris yang hams menanggung semua biaya-biaya 

yang tadi. Dalam surat An Nisa ayat 11 dikatakan bahwa Allah berwasiat 

kepada kamu untuk membagi warisan sesuai dengan syariat setelah dihitung 

wasiatnya (dipilah wasiatnya) dan diselesaikan hutang-piutangnya. Jadi 

kalau ada hutang piutang nanti kita lihat hartanya berapa, hutangnya berapa.

Kalau memang defisit atau minus itulah yang harus ditanggung bersama 

sesuai kesepakatan musyawarah.

bila  harta peninggalan itu memang ada ahli warisnya maka ahli 

warisnya itu tetap dibagi, karena harta peninggalan itu yaitu  harta secara 

umum. sedang  harta warisan mumi yaitu  harta yang sudah dibersihkan 

dari segala umsan yang tadi.

sedang  untuk wasiat dalam hukum waris perdata barat dikenal 

dengan testamen. Wasiat itu hams dibagi setelah pemberi wasiat meninggal. 

Wasiat ada yang tertutup dan terbuka dan bisa diberikan kepada siapa saja. 

Wasiat berbeda dengan hibah, karena kalau hibah boleh dilaksanakan selama 

si pemberi masih hidup, sedang  wasiat baru boleh dilaksanakan setelah 

pemberi wasiat meninggal. Wasiat ini bisa dilakukan secara lisan atau 

tertulis dan dilakukan terhadap harta yang dimiliki secara sempurna, artinya 

bukan harta dalam sengketa. Misalnya seorang bapak mewasiatkan sebidang 

tanah yang memang dia punya kepada anaknya. Wasiat juga tidak boleh 

lebih dari V3 harta warisan. Wasiat akan diperhitungkan sebagai bagian dari 

warisan kalau dia lebih dari V3 .  Anak laki-laki langsung mendapat bagian 

asshobah atau sisa harta. Wasiat juga hams disaksikan oleh dua orang saksi 

dan hams secara otentik dicatatkan di kantor notaris. Dalam Al-qur'an 

disebutkan bahwa "bila  seseorang menjelang ajal atau sedang dalam 

bepergian jauh hendaknya dia membuat wasiat kepada keluarganya." Oleh 

karena kita wajib berwasiat kepada keluarga kita bila  kita mau pergi 

jauh.

Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana 

sebelumnya dia Memberi  hibah ke anaknya yang pertama. Tetapi dua 

orang anaknya yang lain tidak diberi hibah. Maka selama hibah itu diberikan 

kepada ahli waris itu akan diperhitungkan sebagai bagian warisan. Namun 

kalau hibah itu diberikan kepada yang bukan ahli waris akan dilihat 

bagaimana hibah itu dilaksanakan, sah atau tidak? otentik atau tidak? karena 

hibah juga ada yang di bawah tangan. Kalau hibah itu tidak sah maka 

pemberian hibahnya bisa ditarik dengan cara pembatalan hibah. Namun kita 

juga perlu melihat unsur keadilannya juga, Kalau semua harta diberikan 

kepada anak angkat atau menantu kesayangan dimana mereka itu 

sebenarnya bukan ahli waris, maka perlu dilihat apakah hibah itu disetujui 

oleh ahli waris yang lainnya.

Hibah itu  setidaknya memerlukan bukti otentik berupa akta yang 

memperkuat bahwasanya itu yaitu  hibah yang telah menjadi hak milik 

seseorang ya. Tapi sekarang ini banyak terjadi, dimana hibah hanya 

dilakukan secara lisan, sehingga beberapa tahun sesudah pemberi hibah

meninggal timbul permasalahan. Menghadapi hal yang seperti ini faktor 

yang diutamakan yaitu  pengakuan dari yang menerima hibah dan bukti 

bukti lainnya, seperti surat, catatan, bukti awal dan kesaksian dua orang 

saksi. yaitu  tugas pengadilan untuk membuktikan apakah hibah itu sah 

atau tidak.

Waris dapat menyebabkan konflik bila  ada  anak diluar nikah. 

Untuk itu, maka anak hasil perkawinan memiliki kedudukan lebih kuat, 

karena untuk membuktikan adanya hubungan darah harus dengan bukti yang 

sah/otentik bahwa kedua orang tua mereka menikah secara sah dan 

dicatatkan pada petugas pencatat perkawinan. Selanjutnya, anak luar kawin 

tidak mendapat warisan dari ayahnya, hanya mendapat warisan dari si ibu.

Untuk suatu keadaan dimana seorang istri yang sedang hamil dan 

kemudian suaminya meninggal, juga terkadang menimbulkan permasalahan 

tersendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah si anak yang dikandung ini 

bisa terhitung sebagai ahli waris? Pada dasaranya ahli waris yaitu  orang 

yang ada pada waktu si pewaris meninggal atau wafat. Timbul satu 

pengembangan, bagaimana jika ahli waris meninggal sebelum si pewaris 

meninggal? bila  si anak lahir bertepatan dengan meninggalnya suami itu 

perlu diperhitungkan sebagai bagian anak laki-laki. Namun bila  kembali 

kepada kaidah hukum atau norma, ahli waris yaitu  orang yang ada pada 

waktu si pewaris wafat. Artinya kalau anak itu lahir setelah ayahnya 

meninggal atau ketika ayahnya meninggal si anak masih dalam kandungan 

maka ia tidak menjadi ahli waris.

Hal ini berbeda dengan hukum perdata. Menurut pasal 2 KUHPerdata, 

dinyatakan bahwa anak yang sedang dalam berada dalam kandungan 

merupakan subyek hukum. Sehingga dengan demikian, bayi dalam 

kandungan pun memiliki hak mewaris. Dalam fikih juga ada pendapat 

demikian. Jadi tadi sudah saya katakan secara sepintas bahwa anak itu 

dihitung sebagai anak laki-laki. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan 

bahwa itu tidak bisa, karena si anak itu  tidak ada/wujudnya belum ada 

waktu si pewaris meninggal. Sehingga dengan demikian, bila  si anak 

itu  lahir, maka dia tetap akan mendapat warisan, namun hanya dari 

ibunya.

ada  juga suatu kasus dimana dalam sebuah keluarga ada  

delapan orang bersaudara. Sebelum ayah mereka meninggal kedelapan anak 

sudah menandatangani surat hibah sebuah rumah untuk kakak yang tertua. 

Tetapi kakak yang tertua yaitu  anak diluar nikah dan sekarang ia ingin 

menjual rumah hibah itu . Dalam kasus ini timbul pertanyaan apakah 

kedelapan anak itu  masih punya hak untuk mendapat bagian ?

Dalam kasus ini jika memang timbul sengketa maka pengadilan akan 

melihat bagaimana proses hibah itu berlangsung, sah atau tidak? Disetujui 

atau tidak oleh ahli waris. Bisa aja yang satu setuju tetapi ketujuh yang lain 

tidak. Atau yang bertujuh setuju tetapi yang satu tidak. Kalau demikian 

halnya artinya hibah itu artinya bermasalah, karena tidak disetujui oleh 

semua ahli waris. Seperti tadi sudah saya jelaskan bahwa wasiat tidak boleh 

dari V3 harta waris. Kemudian kalau pihak yang menerima hibah yaitu  

anak diluar nikah berarti dia bukan sebagai ahli waris dan dengan demikian 

tidak masuk dalam hitungan ahli waris.

Namun bila  sang anak luar nikah itu sudah diakui oleh ayah maka 

hibah itu tidak akan menjadi masalah. Kalau kasus seperti ini teijadi maka 

pengadilan akan melihat dan akan menghitung kembali siapa ahli warisnya. 

Ahli waris itu yang delapan bersaudara itu diluar kakak yang diluar nikah 

itu. Si kakak yang diluar nikah itu tentu akan kita hitung wasiatnya 

berdasar  persetujuan semuanya dan tidak boleh dari V3. Artinya di bawah 

V3 boleh.

Jika harta hibahnya itu mau dijual oleh kakak yang diluar nikah tadi, 

maka para adik tentunya harus tetap mendapat bagian dari penjualan hibah 

itu  karena hibah itu  merupakan harta warisan. Bagaimana kalau 

sudah terlanjur dijual ? tentunya ini akan menjadi sengketa masalah harta. 

Kalau sengketa masalah harta teijadi dan sudah melibatkan pihak ketiga 

(yaitu pembeli) maka kasus itu dikembalikan kepada pengadilan negeri dulu 

untuk diselesaikan. Persoalannya kita bagi dulu sesuai bagian laki-laki dan 

perempuan dan yang satu itu dihitung sebagai wasiat. Artinya yang si kakak 

luar nikah itu dihitung sebagai wasiat, dan bukan ahli waris dengan dengan 

syarat tidak boleh lebih dari V3 harta, tetapi dibawah V3 juga boleh. Nanti 

pengadilan akan melihat apakah dia dipersamakan. Kalau dia dipersamakan 

dengan perempuan ya dihitung bagian perempuan, begitu juga sebaliknya.

bila  hibahnya tidak ditandatangani oleh pemberi hibah akan 

menimbulkan permasalahan lagi, apakah hibahnya dianggap sah atau tidak. 

Yang jelas kalau secara hukum tidak sah, karena si pemberi hibah tidak 

memberi tanda tangan, dan ini bisa digugat oleh mereka yang bersaudara itu. 

Kecuali ada pengakuan seluruhnya mengakui bahwa sudah teijadi hibah, 

terlepas ada atau tidaknya tanda tangan itu. Tanda tangan itu kan otentik ya 

(tertulis). Kalau lisan kan apa yang perlu ditanda tangan. Kalau hibah secara 

lisan ya tidak apa-apa tidak ada tanda tangan. sedang  dalam hukum 

perdata barat, anak diluar nikah jelas diakui atau bisa diakui.

ada  lagi satu kasus dimana seorang istri yang menikah di bawah 

tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Sebelumnya

suaminya itu telah memiliki  seorang istri, namun tidak memiliki  anak, 

sehingga istri pertamanya itu mengangkat seorang anak tetangga sebagai 

anaknya. Sebelum suami meninggal, ia pernah berpesan agar jika dirinya 

meninggal, maka sang istri dapat meminta hak warisnya kepada ibunya. 

Setelah suami itu  meninggal si istri meminta hak warisnya kepada ibu 

mertuanya. Namun si ibu mertua ini tidak mau Memberi  sekarang, 

melainkan nanti jika si anak sudah besar. Padahal anak-anak dan si istri yang 

di bawah tangan ini memerlukan biaya pendidikan sejak kecil.

Kasus ini cukup rumit, karena menikah dibawah tangan, maka 

pembuktiannya menjadi kurang kuat. Untuk itu, maka sang istri untuk itu si 

istri yang menikah di bawah tangan ini harus meminta itsbat nikah dulu ke 

pengadilan agama, agar perkawinannya dengan suaminya itu (pewaris) 

tercatat. Hal ini untuk mencegah alibi mertuanya yang mengatakan bahwa 

perkawinan mereka tidak sah atau tidak kuat karena hanya dibawah tangan. 

Setelah memperoleh itsbat nikah baru kemudian dia dapat menggugat 

mertuanya ke pengadilan agama agar harta warisan suaminya segera dibagi. 

Walaupun pada dasarnya harta warisan itu tidak harus segera dibagi tetapi 

juga tidak harus ditunda pembagiannya. Pada pokoknya kalau memang ada 

itsbat nikah atau buku nikah maka itu akan kita perhitungkan sebagai ahli 

waris. Namun demikian pengadilan akan tetap melihat asas-asas keadilan.

Dalam persoalan anak yang masih kecil yang mendapat harta warisan, 

dalam Al-qur'an dikatakan bahwa hendaklah dijaga harta anak yatim dan 

jangan sampai harta anak yatim itu termakan oleh orang yang menjadi 

pelindungnya. Makanya seorang ibu yang punya anak, kemudian ada bagian 

harta warisan unutk anaknya itu harus dijaga agar jangan sampai terjual 

apalagi berpindah tangan, kecuali untuk kepentingan anak itu sendiri, 

misalnya untuk sekolahnya, kesehatannya.

bila  seseorang bercerai dia tidak mendapat harta warisan karena 

harta warisan itu hanya dalam ikatan perkawinan. Tapi untuk anak-anak dari 

orang tua yang bercerai mereka tetap mendapat warisan.

Di pengadilan agama ada  pertolongan pembagian harta 

peninggalan (P3HP) yang membantu pengurusan harta warisan muslim yang 

tidak ada sengketa. Artinya ahli waris sudah sepakat membagi harta warisan 

secara tertulis, ada surat-suratnya dan ahli waris mengajukan permohonan 

pembagian harta warisan di pengadilan agama melalui jalur P3HP.

Kemudian jika timbul sengketa dalam hal pembagian warisan, maka 

hal itu diselesaikan melalui gugatan di pengadilan agama (bagi yang 

beragama Islam) dan pengadilan negeri (bagi yang non muslim).

Kemudian bila  misalnya dari objek harta warisan dijual oleh ahli 

waris, tapi tidak semua ahli waris mengetahui bahwa harta warisan itu dijual 

bagaimana? Kalau itu merupakan bagian dari harta warisan harus 

dikompensasi. Berapa bagian yang sudah dijual dan berapa bagian 

kompensasinya. Ahli waris yang tidak mengetahui ini juga dapat menuntut 

secara pidana (tindak pidana penipuan) ahli waris yang lainnya sehingga 

timbul sengketa hak. Menurut Pasal 49 dan 50 UU Peradilan Agama 

sengketa hak itu harus diselesaikan di pengadilan negeri dulu. Pengadilan 

Agama hanya sebatas menentukan siapa ahli waris, berapa bagian ahli waris 

dan eksekusi harta waris. Kalau sudah menyangkut sengketa harta maka 

Pengadilan Agama akan meminta bantuan dari pengadilan negeri dulu untuk 

memutus sengketa itu .

bila  si pewaris melakukan poligami, bila  dia tidak punya anak 

maka bagian istri yaitu  V4. Tapi kalau suami istri itu punya anak maka 

bagiannya V8. Jumlah V8 ini bukan untuk masing-masing istri (pertama, 

kedua, dst) V8. Kalau seperti ini berarti jumlahnya sudah 4/8. Jadi sisanya 

hanya tinggal 4/8 atau separuhnya. Yang betul jumlah V8 itu dibagi 4 (kalau 

istrinya 4). Untuk bagian anak-anaknya dihitung dari 4 orang istri itu berapa 

semua anaknya. Kalau anaknya 10 laki perempuan, berarti 7/8 dibagi 10 buat 

anak-anaknya. Dengan perhitungan anak laki-laki 2 bagian dibandingkan  anak 

perempuan.



HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DAN 

PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DI negara kita 

A. HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DI negara kita 

Membicarakan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di 

negara kita , tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu umat Islam. Umat 

Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok warga  yang mendapat 

legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di negara kita . Oleh 

karena itu, umat Islam tidak dapat diceraipisahkan dengan hukum Islam 

yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di negara kita  bila 

dilihat dari aspek perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI 

(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita ), yaitu para 

pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam 

dalam negara negara kita  merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para 

pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada 

tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara 

berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam 

bagi pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, 

tujuh kata itu  dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian 

diganti dengan kata "Yang Maha Esa".

Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti 'yang dikutip 

oleh muridnya (H. Mohammad Daud AH) mengandung norma dan garis 

hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa negara 

Republik negara kita  berdasar  atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu 

hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut:

1. Dalam negara Republik negara kita  tidak boleh terjadi atau berlaku 

sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam bagi umat 

Islam, kaidah agama Nasrani, atau agama Hindu-Bali bagi orang-orang 

Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha 

bagi orang Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik 

negara kita  ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang 

bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan 

bangsa negara kita .

2. Negara Republik negara kita  wajib menjalankan syariat Islam bagi orang 

Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi 

orang Hindu-Bali. Sekadar menjalankan syariat itu  memerlukan 

perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua yaitu 

negara Republik negara kita  wajib menjalankan dalam pengertian 

menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut 

oleh bangsa negara kita  dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum 

agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara 

negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan 

syariat yang dipeluk oleh bangsa negara kita  untuk kepentingan pemeluk 

agama bersangkutan. Syariat yang berasal dari agama Islam misalnya, 

yang disebut syariat Islam, tidak hanya memuat hukum salat, zakat, 

puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum dunia baik 

keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara 

untuk menjalankannya secara sempurna. Misalnya, hukum harta 

kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyeleng­

garaan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum 

pidana (Islam) seperti zina, pencurian, dan pembunuhan. Hal ini 

memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan 

Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara 

dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat yang berasal dari 

agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga negara 

Republik negara kita .

3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk 

menjalankannya. Oleh karena itu, dapat dijalankan sendiri oleh setiap 

pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi 

terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut 

agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari Suatu 

agama yang diakui di negara Republik negara kita  yang dapat dijalankan 

sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya 

hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada 

umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan 

pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan 

agamanya masing-masing 

Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang 

tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu 

perlu dikemukakan hal-hal berikut ini: (a) Dr. Muhammad Hatta (almarhum) 

ketika menjelaskan arti perkataan "kepercayaan" yang termuat dalam ayat 

(2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan 

kepercayaan dalam pasal itu  yaitu  kepercayaan agama. Kuncinya 

yaitu  perkataan itu yang ada  di ujung ayat (2) Pasal 29 dimaksud, Kata 

"itu" menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan 

itu . Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan


ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab Agama 


Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai dengan keterangan H. Agus 

Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan 

Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada seorang pun di antara kami yang 

ragu-ragu bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu yaitu  aqidah, 

kepercayaan agama . . . ; (b) ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1) 

Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 Tahun 1959 

dahulu, pemerintah Republik negara kita  menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 

UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan; 

(c) pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum 

dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam 

mewujudkan keadilan dalam Negara Republik negara kita . Menurut Pasal 4 

Undang-Undang No. 4 Tahun 1970 peradilan di negara kita  harus dilakukan 

demi keadilan berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa (sekarang Pasal 4 

ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004) 

berdasar  uraian dan penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa 

hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara 

Republik negara kita  yaitu  Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian 

dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan 

Agama, Undang-Undang Republik negara kita  Nomor 38 Tahun 1999 tentang 

Pengelolaan Zakat dan beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan 

hukum Islam. Demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang 

menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di 

negara kita . Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma hukum yang 

tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu, keberlakuan dan 

kekuatan hukum Islam secara ketatanegaraan di negara Republik negara kita  

yaitu  Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.

B. HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

bila  membicarakan hukum Islam dalam pembinaan hukum 

nasional, perlu diungkapkan produk pemikiran hukum Islam dalam sejarah 

perilaku umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam di negara kita , seiring 

pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu (1) syariah, (2) fikih, (3) fatwa 

ulama/hakim, (4) keputusan pengadilan, dan (5) perundang-undangan. Hal 

itu akan diuraikan sebagai berikut..

1. Syariah

Syariah atau yang biasa disebut I s l a m i c  L a w  dalam bahasa Inggris 

seperti yang telah diuraikan yaitu  hukum Islam yang tidak mengalami 

perubahan sepanjang zaman dan mengikat pada setiap umat Islam. Namun, 

ikatan dimaksud, didasari oleh aqidah dan akhlak Islam. Oleh karena itu, 

syariah yaitu  jalan hidup yang wajib ditempuh oleh setiap muslim. Syariah 

memuat ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan 

maupun berupa suruhan, la meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan 

manusia, baik yang berhubungan dengan manusia kepada Tuhan-Nya, 

manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan 

kehidupannya. Namun, perlu diungkapkan bahwa hukum Islam dalam 

pengertian ini seperti yang telah diuraikan bahwa ada yang dapat 

dilaksanakan secara perorangan, per kelompok, dan ada yang memerlukan 

bantuan alat negara dalam penerapannya.

2. Fikih (Fiqh)

Fikih seperti yang telah diuraikan yaitu  hukum Islam yang 

berdasar  pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat, 

nash Alquran dan/  atau hadis Nabi Muhammad. Hukum Islam dimaksud, 

sudah diamalkan oleh umat Islam negara kita  sejak orang negara kita  memeluk 

agama Islam. Namun, tingkat pengamalan hukum dimaksud didasari oleh 

keimanan setiap orang Islam sehingga ditemukan pengamalan hukum itu 

bervariasi pada setiap suku dan tempat.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu  puncak pemikiran f i q h  di 

negara kita . Hal dimaksud, didasari oleh keterlibatan para ulama, 

cendekiawan tokoh warga  (tokoh agama dan tokoh adat) dalam 

menentukan hukum Islam dalam hal perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, 

dan wakaf. KHI dimaksud, secara formal disahkan oleh Presiden tanggal 10 

Juni 1991 melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Instruksi 

dimaksud ditindaklanjuti tanggal 22 Juli 1991 oleh Menteri Agama RI 

melalui Keputusannya Nomor 154 Tahun 1991, kemudian disebarluaskan 

melalui Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam 

Nomor 3694/EV/HK. 003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991. Oleh karena itu, patut 

dianggap sebagai i j m a '  ulama/ijtihad kolektif warga  negara kita  atau f i q h  

ala negara kita  (istilah Hazairin). KHI sebagai i j m a '  ulama negara kita  diakui 

keberadaannya dan diharapkan dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam 

negara kita  dalam menjawab setiap persoalan hukum yang muncul baik

penyelesaian kasus sengketa melalui musyawarah di dalam warga  

maupun melalui lembaga di Peradilan Agama.

3. Fatwa

Hukum Islam yang berbentuk fatwa yaitu  hukum Islam yang 

dijadikan jawaban oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan 

yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh Fatwa Majelis Ulama negara kita  

mengenai larangan Natal Bersama antara orang Kristen dengan orang Islam. 

Fatwa dimaksud, bersifat kasuistis dan tidak memiliki  daya ikat secara 

yuridis formal terhadap peminta fatwa. Namun, fatwa mengenai larangan 

Natal bersama dimaksud secara yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh 

umat Islam di negara kita . Oleh karena itu, fatwa pada umumnya cenderung 

bersifat dinamis terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat 

Islam.

4. Keputusan Pengadilan Agama

Hukum Islam yang berbentuk keputusan Pengadilan Agama yaitu  

keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya 

permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih 

dan/atau lembaga kepadanya. Keputusan dimaksud, bersifat mengikat 

kepada pihak-pihak yang beperkara. Selain itu, keputusan pengadilan agama 

dapat bernilai sebagai yurisprudensi ( j u r i s p r u d e n c e ) ,  yang dalam kasus 

tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.

5. Perundang-undangan negara kita 

Hukum Islam dalani bentuk perundang-undangan di negara kita  yaitu  

yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya 

lebih luas. Oleh karena itu, sebagai peraturan organik, terkadang tidak elastis 

mengantisipasi tuntutan zaman dan perubahan. Sebagai contoh Undang- 

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang itu 

memuat hukum Islam dan mengikat kepada setiap warga negara Republik 

negara kita  (Zainuddin Ali, 2001:136-138).

439

440

GAMBARAN UMUM TENTANG 

PERADILAN AGAMA DAN KOMPILASI 

HUKUM ISLAM

A. SKETSA PERADILAN AGAMA

Proses terbentuknya Peradilan Agama di negara kita  diketahui melalui 

teori yang dikemukakan oleh Al-Malbari dalam bukunya yang berjudul 

F a t h u l  M u  ' in  seperti yang dikutip oleh Zaini Ahmad Noeh, yaitu melalui 

tiga bentuk. P e r t a m a ,  bentuk t a h k i m ,  berlaku pada zaman permulaan Islam 

yakni pada saat terbentuknya warga  Islam, sehingga orang-orang yang 

bersengketa atas kesepakatan bersama mendatangi ahli agama untuk 

meminta jasanya dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. K e d u a ,  

bentuk t a u l i y a h  dari a h l u l  h a l l i  w a l - a q d i ,  berlaku ketika agama Islam 

berkembang di nusantara ini yang ditandai dengan munculnya komunitas 

Islam di berbagai wilayah. Di antara mereka ada elite yang tampil atau 

ditampilkan sebagai pemegang wibawa dan kekuasaan, baik bersifat 

rohaniah maupun politis dalam pengertian sederhana. Kelompok elite inilah 

yang pada masa itu berwenang menunjuk figur tertentu untuk 

menyelenggarakan urusan Peradilan Agama. K e t i g a ,  bentuk t a u l i y a h  dari 

imam sebagai kepala negara, berlaku ketika kerajaan Islam berdiri di 

nusantara ini; lebih jelas lagi dengan keberadaan instansi yang mengurus 

kepentingan beragama kaum muslimin. Oleh karena itu, secara administratif, 

baik keberadaan Peradilan Agama maupun produk hukumnya menjadi lebih 

valid dan memiliki  legitimatif (pembenaran). Sejak itu lembaga Peradilan 

Agama telah mengambil bentuk formal dan konkret (Zaini Ahmad Noeh, 

1980:17).

Ahmad Noeh mengemukakan ketiga wajah dimaksud, pertama wajah 

Tahkim, yaitu Lembaga Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana 

berupa tahkim telah lama ada dalam warga  negara kita , yakni sejak 

agama Islam datang di nusantara ini. Tahkim'inilah yang menjadi embrio 

lahirnya Peradilan Agama, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar 

penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah (terutama) dalam 

melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang merupakan 

rangkaian kesatuan dengan komponen ajaran agama Islam lainnya.

Peradilan Agama yang sudah ada sebelum datang kekuasaan kolonial di 

negara kita  itulah yang dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura 

tahun 1882, di sebagian besar keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur

441

1937 dan di luar kedua wilayah itu tahun 1957 dengan peraturan perundang- 

undangan pembentukannya (Zaini Ahmad Noeh, 1980: 17).

Pengadilan Agama sebagaimana keadaannya dari tahun ke tahun 

dibentuk dalam suasana yang berbeda. Pengadilan Agama di Jawa, Madura, 

dan di sebagian bekas keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, lahir dan 

tumbuh dalam suasana kolonial, sedang Pengadilan Agama di luar daerah itu 

lahir dan tumbuh dalam suasana kemerdekaan. Perbedaan suasana 

pembentukan, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menyebabkan 

perbedaan nama dan perbedaan kewenangannya. Perbedaan penyebutan 

nama telah diseragamkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara lebih 

tegas dicantumkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 1970 

dengan sebutan Pengadilan Agama untuk seluruh wilayah negara kita . 

sedang  perbedaan kewenangan Pengadilan Agama disamakan oleh 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

' Perbedaan kewenangan Pengadilan Agama yang berlaku di Jawa dan 

Madura dari Peradilan Agama di luar wilayah itu yaitu  terletak tugas pokok 

di bidang hukum perkawinan; sedang  Peradilan Agama di luar wilayah 

memiliki  tugas pokok di bidang hukum perkawinan dan hukum 

kewarisan. Perbedaan wewenang Peradilan Agama menurut Hazairin tidak 

memiliki  dasar hukum, karena tidak ada perbedaan esensial dalam jiwa 

keislaman antara orang Jawa dengan orang luar Jawa. Itulah satu-satunya 

yang dapat diungkapkan sebagai penyebab perbedaan itu: Sekitar tahun 

1930-an pihak Belanda selaras dengan teori resepsinya, melihat keadaan di 

Jawa itu yakni hukum faraid belum dapat diterima oleh orang desa, apalagi 

hukum adat di Jawa ini khas di bidang kewarisan "lebih adil" katanya jika 

dibandingkan dengan hukum faraid yang mengutamakan pihak laki-laki 

lebih dibandingkan  pihak perempuan (Hazairin, 1985: 32).

Selain itu, Hazairin berpendapat bahwa kesalahan yang diperbuat oleh 

pembuat PP No. 45 Tahun 1957 pada Peradilan Agama di luar Jawa dan 

Madura haruslah segera diperbaiki karena tidak ada dasarnya untuk 

meletakkan syarat bagi Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura bahwa 

hukum Islam mestilah telah menjadi hukum (adat) yang berlaku. Nyatalah 

bahwa pada tahun 1957 pembuat PP No. 45 Tahun 1957 masih dipengaruhi 

oleh politik Belanda yang bernama teori r e c e p t i e  (Hazairin, 1985: 32). 

Namun, kesalahan pada tahun 1930-an dan kesalahan pada PP No. 45 Tahun 

1957 yang membedakan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura 

dari Peradilan di luar kedua wilayah itu bam dapat diperbaiki melalui Pasal 

49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

442

Selain kekuasaan Peradilan Agama yang berbeda, pengadilan agama itu 

dalam susunannya tidak ada  juru sita, sehingga tidak mampu 

menjalankan keputusannya. Namun, upaya untuk mengendalikan Pengadilan 

Agama itu, tetap berlanjut dinyatakan dalam Pasal 63 ayat (2) bahwa setiap 

keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum atau 

Pengadilan Negeri (H. Mohammad Daud Ali, 1991:253).

B. PERADILAN AGAMA DI negara kita 

Peradilan agama yaitu  proses pemberian keadilan berdasar  hukum 

Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan 

Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di negara kita . 

Selain itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan 

kehakiman dalam negara Republik negara kita . Lembaga peradilan dimaksud, 

memiliki  kedudukan yang sama, sederajat dengan kewenangan yang 

berbeda.

Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang 

sederhana berupa t a h k i m ,  yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang- 

orang yang beragama Islam yang dilakukan oleh para ahli agama Islam. Hal 

ini, ada di zaman penjajahan Belanda, bahkan sebelum adanya penjajahan di 

negara kita .

Sejak rancangan Undang-Undang Peradilan Agama disahkan tanggal 

29 Desember 1989 oleh Presiden Republik negara kita  menjadi Undang- 

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diundangkan pada 

tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam 

Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.

Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan peristiwa 

penting yang bukan hanya pembangunan perangkat hukum nasional, 

melainkan juga bagi umat Islam negara kita . Sebabnya yaitu  Peradilan 

Agama menjadi lebih mantap kedudukannya sebagai salah satu badan 

pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di negara kita ; menegakkan 

hukum Islam bagi pencari keadilan, utamanya bagi mereka yang beragama 

Islam berkenaan dengan perkara keperdataan di bidang perkawinan, 

kewarisan, wasiat, hibah, dan sedekah. Dengan undang-undang ini, pemeluk 

agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk negara kita  diberi 

kesempatan untuk menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran 

agaraanya sesuai dengan jiwa Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan 

diundangkan itu terdiri atas 7 bab, 108 pasal dengan sistematika dan garis-

443

garis besar isinya, yaitu (1) Bab I tentang ketentuan umum. Hal ini mengatur 

di antaranya: Peradilan Agama yaitu  peradilan bagi orang-orang yang 

beragama Islam, terdiri atas (a) Pengadilan Agama sebagai pengadilan 

tingkat pertama, dan (b) Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan 

tingkat banding. Kedua-duanya merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman 

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata 

dimaksud, Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibukota 

kabupaten, sedang  Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota 

provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah Agung, di bawah 

pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung di bidang Lingkungan Peradilan 

Agama. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya seperti halnya 

dengan badan peradilan lain, dilakukan oleh Departemen Teknis, yaitu 

Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama; (2) Bab II sampai 

dengan Bab III mengatur susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, di 

antaranya disebutkan bahwa bagian pertama atau bagian umum menyebut 

susunan Pengadilan Agama yang terdiri atas pimpinan, yaitu seorang ketua 

dan seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. 

Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri atas pimpinan, yaitu seorang 

ketua dan seorang wakil ketua, hakim tinggi; (3) Bab IV mengatur hukum 

acara Peradilan Agama; (4) Bab V mengatur tentang ketentuan-ketentuan 

lain; (5) Bab VI mengatur tentang ketentuan peralihan; (6) Bab VII tentang 

penutup (sekarang ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang 

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan 

Agama).

C. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DAN PERANNYA

Ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai (Aceh, dekat 

Lhokseumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia mengagumi 

perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al- 

Malik Al-Zahir pada diskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih. 

Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, 

Al-Malik Al-Zahir, yang menjadi Sultan Pasai ketika itu, yaitu  juga 

seorang fuqaha yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di Kerajaan 

Pasai pada waktu itu yaitu  hukum Islam mazhab Syafi'i. Menurut Hamka, 

dari Pasailah disebarkan paham Syafi'i ke kerajaan Islam lainnya di 

negara kita . Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500) para 

ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata 

putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam 

warga  ,

Dalam proses Islamisasi kepulauan negara kita  yang dilakukan oleh para 

saudagar melalui perdagangan dan perkawinan hukum Islam memiliki  

peran yang amat besar. Misalnya, ketika seorang saudagar hendak menikah 

dengan seorang pribumi, maka wanita itu diislamkan lebih dahulu dan 

pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. 

Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan 

antaranggotanya dengan kaidah hukum Islam atau kaidah lama yang 

disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang suami istri 

meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan 

Islam. Jika ada sengketa di antara mereka, sengketa itu diselesaikan oleh 

h a k a m  melalui t a h k i m  kepada m u h a k k a m  yang merupakan asal usul 

Peradilan Agama atau bentuk Peradilan Agama pada permulaan 

perkembangan agama Islam di nusantara ini. Pembentukan keluarga yang 

kemudian berkembang menjadi warga  Islam yang baru memerlukan 

pengajaran agama baik untuk anak-anak maupun untuk orang yang telah 

dewasa. Secara tradisional, biasanya pelajaran agama yang diajarkan pada 

waktu itu yaitu  (1) ilmu kalam, (2) ilmu fikih, dan (3) ilmu tasawwuf 

(mistik). Dengan sistem pendidikan dan perkawinan yang demikian, 

menyebarlah ajaran agama Islam ke seluruh kepulauan negara kita  secara 

damai,

Setelah agama Islam berakar dalam warga , peran saudagar dalam 

menyebarkan ajaran Islam digantikan oleh para ulama sebagai guru dan 

pengawal hukum Islam. Misalnya, Nuruddin Ar-Raniri (yang hidup di abad 

ke-17) menulis buku hukum Islam dengan judul S i r a t a l  M u s t a k i m  (Jalan 

Lurus) pada tahun 1628. Menurut Hamka seperti yang dikutip oleh H. 

Mohammad Daud Ali, kitab S i r a t a l  M u s t a k i m  ini merupakan kitab hukum 

Islam yang pertama disebarkan ke seluruh negara kita  oleh Syaikh Arsyad 

Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin, kitab hukum S i r a t a l  M u s t a k i m  

itu diperluas dan diperpanjang uraiannya di dalam S a b i l a l  M u h t a d i n  dan 

dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di 

daerah kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah kesultanan Palembang, 

Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, dan Mataram ada  

kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam 

menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka. Ini 

dapat dibuktikan dari karya pujangga yang hidup pada masa itu. Misalnya, 

K u t a r a g a m a ,  S a j i n a t u l  H u k u m ,  dan lain-lain 

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Belanda 

mengukuhkan kekuasaannya, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri 

sendiri telah ada dalam warga , tumbuh dan berkembang di samping

kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini. 

Menurut Ahmad Djamil Latif, ada  bukti-bukti yang menunjukkan 

bahwa hukum Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan 

nusantara dan memiliki  pengaruh yang bersifat normatif dalam 

kebudayaan negara kita . Pengaruh itu tampak dalam hukum keluarga dan 

hukum pidana ,

Ketika VOC dating di nusantara ini, ia tidak saja mengakui keberlakuan 

hukum Islam, bahkan berusaha untuk membukukan hukum Islam ke dalam 

berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan penduduk bumiputera di 

wilayah yang mereka kuasai. Tahun 1750 diterbitkan kitab sebagai 

kumpulan hukum pertama yang diberi nama kitab H u k u m  M o g h a r r a e r  yang 

memuat hukum orang Jawa untuk keperl

uan L a n d r a a d  di Semarang. Kitab 

hukum ini memuat hukum pidana dan hukum perdata Islam. Pada tahun 

1760, diterbitkan pula suatu himpunan peraturan hukum Islam mengenai 

kewarisan dan perkawinan, kitab ini diberi nama C o m p e n d i u m  F r e i j e r .  Di 

samping dua kitab ini masih ada kitab yang dibuat di zaman VOC, seperti 

kitab P a p a k e m  C i r e b o n  pada tahun 1768 dan kitab C o m p e n d i u m  v a n  

C l o o t w i j c k  untuk daerah Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan. Setelah 

kekuasaan VOC berakhir, negara kita  dikuasai oleh kolonialis Belanda dan 

kemudian oleh Inggris. Sampai tahun 1816 posisi hukum Islam masih 

mantap. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris menyatakan bahwa 

hukum yang berlaku di kalangan rakyat yaitu  hukum Islam yang bersumber 

dari Alquran, sehingga pelaksanaan hukum kewarisan dan hukum 

perkawinan berjalan sebagaimana mestinya. Salomon Keyzer berpendapat 

bahwa hukum Islamlah yang berlaku di kalangan orang-orang Jawa. 

Pendapat ini dikuatkan oleh L.W.C. Van den Berg yang mengatakan bahwa 

hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk 

agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.

Pendapat Van den Berg di atas mendapat tantangan dari Christian 

Snouck Hurgronje. Christian Snouck Hurgronje berpendapat bahwa yang 

berlaku bagi orang Islam negara kita  bukanlah hukum Islam, melainkan 

hukum adat. Di dalam hukum adat itu memang telah ada  pengaruh 

hukum Islam, tetapi pengamh itu baru memiliki  kekuatan hukum kalau 

telah benar-benar diterima oleh hukum adat. Pendapat ini dikembangkan 

secara sistematis dan ilmiah oleh Cornells van Vollenhoven dan Betrand ter 

Haar Bzn serta dilaksanakan dalam praktik oleh murid-murid dan 

pengikutnya.

Pendapat yang dikemukakan Christian Snouck Hurgronje di atas 

mendapat tantangan dari pemikir hukum Islam di negara kita . Menurut

mereka, teori yang dikemukakan oleh Hurgronje itu memiliki  maksud- 

maksud politik untuk mematahkan perlawanan bangsa negara kita  yang 

dijiwai oleh hukum Islam terhadap kekuasaan pemerintah kolonial. Dengan 

teori itu, kata mereka, Belanda hendak mematikan pertumbuhan hukum 

Islam dalam warga  yang dilaksanakan sejalan dengan pengejaran dan 

pembunuhan terhadap pemuka dan ulama-ulama besar Islam seperti yang di 

Aceh ketika itu ,

Selain itu, pandangan dan saran penganut teori resepsi inilah yang 

menyebabkan, pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah 

komisi untuk meninjau kembali wewenang P r i e s t e r r a a d  atau R a a d  Agama 

di Jawa dan Madura. Sebelum itu, yakni pada tahun 1882 secara resmi 

menurut hukum ketatanegaraan Hindia Belanda Pengadilan Agama berwe­

nang mengadili perkara kewarisan orang-orang Islam menurut ketentuan 

hukum Islam. Komisi yang diketuai oleh Betrand ter Haar Bzn ini memberi 

rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau 

kembali wewenang Pengadilan Agama, Dengan alasan bahwa hukum 

kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka dengan 

Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dicabutlah wewenang R a a d  Agama atau 

Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan.

Kalau Pengadilan Agama Islam di Jawa dicabut kewenangannya untuk 

menyelesaikan perkara kewarisan sejak tahun 1937, berarti Pengadilan 

Agama tidak berfungsi lagi untuk menyelesaikan perkara kewarisan. Namun, 

kenyataannya Pengadilan Agama tetap menyelesaikan perkara kewarisan 

dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Oleh karena itu, kebanyakan 

Pengadilan Agama selalu menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu 

hanya untuk melayani konsultasi masalah kewarisan. Di beberapa daerah, 

Pengadilan Agama menerima lebih banyak perkara kewarisan bila 

dibandingkan dengan perkara kewarisan yang diterima oleh Pengadilan 

Negeri . Hasil Penelitian Daniel S. Lev 

itu lebih lanjut dibuktikan oleh penelitian Ny. Habibah Daud, di daerah 

Khusus Ibukota Jakarta Raya.

Menurut hasil penelitian itu, pada tahun 1976, dari 1.081 orang yang 

mengajukan masalah kewarisan pada Pengadilan di Jakarta, 1.034 orang 

(95,65%) mengajukan masalahnya pada Pengadilan Agama, 47 orang 

(4,35%) pada Pengadilan Negeri. Mereka yang mengajukan 

permasalahannya ke Pengadilan Agama itu menganggap bahwa apa yang 

diputuskan di sana yaitu  Islamiah, sesuai dengan kesadaran hukum yang 

diyakininya. Oleh karena itu, keadilan yang Islamiah mendasari pilihan 

hukum serta lembaganya 

Setelah kemerdekaan negara kita , pemimpin Islam dengan berbagai cara 

berupaya untuk mengembalikan hukum Islam pada kejayaannya semula. 

Begitulah, menjelang kemerdekaan negara kita  Badan Penyelidik Usaha 

Persiapan Kemerdekaan negara kita  dibentuk pada tahun 1945, dan bersidang 

untuk merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara 

negara kita  merdeka di kemudian hari. Pemimpin Islam yang menjadi anggota 

badan itu  terus berusaha mendudukkan hukum Islam dalam Negara 

negara kita  itu kelak. Setelah melalui berbagai tukar pikiran dalam 

musyawarah, para pemimpin negara kita , baik yang beragama Islam maupun 

yang non-Islam berusaha merancang dan merumuskan Undang-Undang 

Dasar Republik negara kita , yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 

mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam Piagam Jakarta (22 Juni 

1945). Di dalam Piagam Jakarta itu, dinyatakan antara lain bahwa negara 

"berdasar  kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat 

Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Tujuh kata terakhir ini dihilangkan dari 

Pembukaan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan negara kita  

tanggal 18 Agustus 1945 dengan imbalan tambahan kata "Yang Maha Esa", 

sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan "Yang Maha Esa" 

ini dijadikan garis hukum dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) 

mengandung arti bahwa negara berdiri atas keinsafan bangsa dan warga  

untuk mematuhi norma kesusilaan. Oleh karena itu, tidak ada peluang bagi 

hukum yang bertentangan dengan norma Ilahi di dalam Negara Republik 

negara kita ,

Selain perkembangan hukum Islam melalui perundang-undangan di 

atas, dapat juga dilihat pada perkembangan ijtihad, i j m a '  para ulama 

mengenai sistem kewarisan bilateral menurut Quran dan Hadis, kedudukan 

ahli waris pengganti (mawali) dalam kewarisan Islam dan lahirnya kaidah 

hukum perkawinan Islam, hukum kewarisan Islam, dan hukum kewakafan 

Islam. Sebagai contoh perkembangan ijtihad, di antaranya, Hazairin 

mengemukakan bahwa perkataan mawali yang ada  dalam Alquran 

Surah An-Nisaa' (4) ayat 33 mengandung pengertian ahli waris pengganti. 

Menurut beliau, perkataan ahli waris pengganti itu tidak ada sangkut pautnya 

dengan ganti-mengganti ahli waris. Ia hanya menunjukkan siapa yang 

menjadi ahli waris kalau penghubungnya telah meninggal dunia lebih dahulu 

dari pewaris. Istilah itu ada  dalam hukum adat warga  muslim 

negara kita . Hazairin mengangkatnya untuk mengisi kekosongan hukum yang 

ada  dalam sistem hukum kewarisan Islam yang dianggap telah mapan 

sejak masuknya Islam di negara kita  sampai tahun 1960-an. Kekosongan itu 

yaitu  mengenai kedudukan cucu, melalui anak perempuan, dalam hukum 

kewarisan Islam 

Mengenai kedudukan cucu dalam hukum kewarisan Islam, yang 

ketentuannya tidak ada  di dalam Quran dan Hadis, sehingga pemikiran 

para ahli hukum Islamiah yang memecahkannya atau yang biasa disebut 

ijtihad. Pemecahan pertama dilakukan oleh Zaid bin Tsabit yang pada 

pokoknya menyatakan bahwa cucu melalui anak laki-laki menjadi ahli waris 

dan menghijab seperti anak laki-laki bila  tidak ada anak laki-laki lain 

bagi pewaris yang masih hidup. Ijtihad Zaid bin Tsabit ini memecahkan 

masalah cucu sebagai ahli waris, tetapi pemecahan itu hanya mengenai cucu 

melalui anak laki-laki saja, tidak mengenai cucu melalui anak perempuan. 

Ijtihad ini logis dalam sistem kekerabatan patrilineal di tempat Zaid 

mengeluarkan pendapatnya pada zaman itu 

Hukum kewarisan Islam mengenai kedudukan cucu sebagai ahli waris 

pengganti atau mawali seperti disebutkan di atas, ketentuannya didapatkan 

melalui ijtihad atau hasil pemikiran yang mendalam dari para ahli hukum 

Islam, sehingga mungkin saja ada  perbedaan pada suatu tempat dengan 

tempat lainnya. Sebab, hasil pemikiran itu dipengaruhi oleh budaya hukum 

( l e g a l  c u l t u r e )  yang berlaku di suatu tempat atau negara. Hal ini sejalan 

pendapat Roscoe Pound yang mengatakan bahwa, hukum itu berbeda di 

suatu tempat dengan tempat lainnya karena adanya perbedaan budaya 

hukum (Roscoe Pound, 1986: 143). Sebagai contoh mengenai kedudukan 

ahli waris pengganti (mawali) di negara kita  berbeda dari kedudukan ahli 

waris pengganti di negara yang penduduknya mayoritas Islam, seperti di 

Mesir, Suriah, Maroko, Tunisia, dan Pakistan.

D. KOMPILASI HUKUM ISLAM

Proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak terlepas dari 

pertumbuhan, perkembangan hukum Islam dan lembaga Peradilan Agama 

sebelum dan sesudah warga  negara kita  memproklamasikan kemerde­

kaannya pada tanggal 17 Xgustus 1945. Oleh karena itu, membicarakan 

Hukum Islam di negara kita  tidak dapat dipisahkan dari eksistensi: (1) 

perkembangan Hukum Islam dan perannya, (2) Kompilasi Hukum Islam, (3) 

pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama. Selain itu akan diuraikan 

latar belakang KHI, gagasan dasar KHI, dan realisasi KHI.

1. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam

Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah 

Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan

dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang 

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang 

itu  menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan 

pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedang  

pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun 

undang-undang itu  ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di 

lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah 

penandatanganan Surat Keputusan Bersama (8KB) Ketua Mahkamah Agung 

dengan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No. 1, 2, 3, 

dan 4 tahun 1983. Keempat SKB dimaksud, yaitu  jalan pintas sambil 

menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan 

Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang- 

Undang No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada 

saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang 

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).

Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas pembinaan teknis 

yustisial Peradilan Agama merasakan adanya beberapa kelemahan. Sebagai 

contoh, hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama 

cenderung simpang siur, simpang siur dimaksud, sebagai akibat dari 

perbedaan pendapat para ulama pada suatu persoalan. Untuk mengatasi 

perbedaan itu, perlu menetapkan satu buku hukum yang menghimpun semua 

hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat 

dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga 

terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.

2. Gagasan Dasar Kompilasi Hukum Islam

Busthanul Arifin (pencetus Kompilasi Hukum Islam) mengemukakan 

pendapat berikut,

(1) Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di negara kita  harus ada antara 

lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh para aparat 

penegak hukum maupun oleh warga .

(2) Persepsi yang tidak seragam tentang syariah akan dan sudah 

menyebabkan hal-hal.

(3) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut Hukum 

Islam itu ( m a a  a n z a k i l l a h u ) .

(4) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syariat itu 

( t a n f i d z i y a h ) .

(5) Akibat kepanjangannya yaitu  tidak mampu memakai  jalan dan 

alat yang telah tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan 

perundang-undangan lainnya.

(6) Di dalam sejarah Islam pernah dua kali di tiga negara, hukum Islam 

diberlakukan sebagai perundang-undangan negara, yaitu sebagai 

berikut.

a. Di India pada masa pemerintahan Raja An Rijeb yang membuat 

dan memberlakukan perundang-undangan Islam yang terkenal 

dengan FatwaAlamfiri.

b. Di Kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah 

A l - A h k a m  A l - A d l i y a h .  Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasi 

di Sudan. berdasar  hal di atas, sejalan dengan apa yang telah 

dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1958, yaitu hanya 

memakai  13 buah kitab kuning. Kitab kuning dimaksud, 

sudah dipergunakan selama ini di Peradilan. Oleh karena itu, 

upaya ke arah kesatuan dan kepastian hukum sejalan dengan apa 

yang dilakukan di negara-negara itu . Dari situlah kemudian 

muncul gagasan untuk membuat Kompilasi Hukum Islam sebagai 

buku hukum bagi Pengadilan Agama.

3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran 

hukum warga  yaitu  Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 

(1) yang berbunyi: "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- 

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga ". Selain itu, 

Fikih Islam mengungkapkan kaidah: "Hukum Islam dapat berubah karena 

perubahan waktu, tempat, dan keadaan". Keadaan warga  itu selalu 

berkembang karena memakai  metode yang sangat memperhatikan rasa 

keadilan warga . Di antara metode itu ialah m a s l a h a t  m u r s a l a h ,  i s t i h s a n ,  

i s t i s h s h a b ,  dan u r f .

4. Landasan Fungsional

Kompilasi Hukum Islam yaitu  fikih negara kita  karena ia disusun 

dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam negara kita . 

Fikih negara kita  dimaksud yaitu  fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin 

dan T.M, Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya memiliki  tipe fikih lokal 

semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih-Hindy, fikih lain-lain yang sangat 

memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum warga  setempat, yang

bukan berupa mazhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai fikih 

dalam menjawab satu persoalan fikih. Ia mengarah kepada Unifikasi mazhab 

dalam hukum Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di negara kita  ini 

merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah 

pembangunan hukum nasional di negara kita .

5. Realisasi Kompilasi Hukum Islam

Pembentukan Kompilasi Hukum Islam merupakan penjabaran dari 

Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 

49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, 

untuk mewujudkan kesadaran warga  mengenai pelaksanaan hukum 

Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. 

Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui 

Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan 

Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 

Maret 1985. Di dalam SKB dimaksud, ditentukan para pejabat Mahkamah 

Agung dan Departemen Agama yang ditunjuk dan jabatan masing-masing 

dalam proyek, jangka waktu, tata kerja, dan biaya yang dipakai  dalam 

proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam.

Pelaksanaan proyek dimaksud, memiliki  dua pertimbangan. 

P e r t a m a ,  sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung RI terhadap 

jalannya peradilan di semua lingkungan Peradilan di negara kita , khususnya di 

lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam 

yang selama ini telah menjadi hukum positif di Pengadilan Agama. K e d u a ,  

untuk mencapai maksud itu  demi meningkatkan kelancaran 

pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek 

pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu 

membentuk tim proyek yang susunannya terdiri atas pejabat Mahkamah 

Agung dan Departemen Agama Republik negara kita .

Tujuan perumusan Kompilasi Hukum Islam di negara kita  yaitu  

menyiapkan pedoman yang seragam (unifikasi) bagi Hakim Pengadilan 

Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa 

negara kita  yang beragama Islam. Oleh karena itu, tidak terjadi lagi simpang 

siur keputusan Pengadilan Agama.

bila  tidak ada KHI atau para hakim di Pengadilan Agama dalam 

menyelesaikan perkara, maka ia berpedoman kepada referensi kitab fikih 

yang dibuat oleh para fuqaha terdahulu berdasar  situasi dan kondisinya di 

mana fuqaha itu berada, hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama

sering putusannya berbeda sebagai akibat rujukan yang berbeda. Oleh karena 

itu, Busthanul Arifin mempersoalkan, hukum Islam yang mana yang 

dijadikan rujukan jika dalam satu masalah tertentu ada  banyak pendapat. 

Menurut dia, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni 

harus ada kepastian hukum 

Kompilasi Hukum Islam yaitu  fikih negara kita  karena ia disusun 

dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam negara kita . 

Fikih negara kita  dimaksud yaitu  fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin 

dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya memiliki  tipe fikih lokal 

semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat 

memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum warga  setempat, yang 

bukan berupa mazhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai fikih 

dalam menjawab satu persoalan fikih. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab 

dalam hukum Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di negara kita  ini 

merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah 

pembangunan hukum nasional di negara kita .


PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, JENIS, DAN

TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA ISLAM

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata f l g h  j i n a y a h .  

F i q h  j i n a y a h  yaitu  segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau 

perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang m u k a l l a f  (orang yang 

dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum 

yang terperinci dari Alquran dan hadis (Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan 

kriminal yaitu  tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum 

serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan.

Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung 

kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Syariat 

dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia 

untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menem­

patkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri 

maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang 

berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus 

ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

Alquran merupakan penjelasan Allah tentang syariat, sehingga disebut 

A l - B a y a n  (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar memiliki  

empat cara dan salah satunya yaitu  Allah Memberi  penjelasan dalam 

bentuk n a s h  (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya: orang yang 

membunuh tanpa hak hukumannya harus dibunuh oleh keluarga korban atas 

adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali 

bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang 

berstatusjanda atau duda dan/atau sudah menikah hukumannya yaitu  

rajam.* Demikian juga perbuatan yang berkaitan dengan peminum khamar, 

pencurian, perampokan, penuduhan berzina dan orang murtad. Hal-hal 

seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Alquran.

Hukum rajam yaitu  hukuman bagi pezina janda dan/atau duda serta orang yang 

memiliki  istri dan/atau suami. Rajam, yaitu pezina digalikan lubang yang kemudian 

dimasukkan di lubang sampai lehernya (ditanam hidup-hidup) lalu dilempari batu sampai 

meninggal. Sanksi hukuman itu dilakukan karena melanggar hak Tuhan sehingga hukuman 

Tuhan yang dijadikan acuan.


B. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA ISLAM

Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan 

(termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh seseorang, berzina, minuman 

khamar membunuh atau melukai seseorang, pencurian, merusak harta 

seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan yang semacamnya 

yang berkaitan dengan kepidanaan.

C. JENIS HUKUMAN

Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum 

pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukuman yang pasti 

mengenai berat ringannya hukuman termasuk q i s h a s h  dan d i y a t  yang 

tercantum di dalam Alquran dan hadis yang biasa disebut h u d u d ,  (b) 

ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang biasa 

disebut hukuman to ' z i r .  Hukum publik (Islam) yaitu  j i n a y a h  yang memuat 

aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam 

j a r i m a h  h u d u d  maupun dalam j a r i m a h  t a ' z i r .  J a r i m a h  yaitu  perbuatan 

tindak pidana. J a r i m a h  h u d u d  yaitu  perbuatan pidana yang memiliki  

bentuk dan batas hukumannya di dalam Alquran dan sunnah Nabi 

Muhammad saw. Lain halnya j a r i m a h  t a ' z i r .  J a r i m a h  t a ' z i r  yaitu  perbuatan 

pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa 

(hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya.

D. TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM

Tujuan hukum pidana Islam yaitu  memelihara jiwa, akal, harta 

warga  secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan hukum 

pidana Islam amat penting dalam kehidupan berwarga . Sebab, empat 

dari tujuan syariat dapat dicapai dengan menaati ketentuan hukum pidana 

Islam, dan dua di antaranya bertautan dengan ketentuan hukum perdata 

Islam, yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa semata-mata 

dipelihara oleh ketentuan hukum pidana Islam.

Selain itu, perlu diungkapkan bahwa tujuan hukum pada umumnya 

seperti yang telah diungkapkan yaitu  menegakkan keadilan sehingga 

terwujud ketertiban dan ketenteraman warga , Oleh karena itu, putusan 

hakim harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh warga . 

warga  yang patuh terhadap hukum berarti mencintai keadilan. Hal ini 

berdasar  dalil hukum yang bersumber dari Alquran Surah An-Nisaa' (4) 

ayat 65 :

Mate d ete  T u h a n m u ,  m e r e k a  ( p a d a  h a k i k a t n y a )  t i d a k  b e r i m a n  h i n g g a  

m e r e k a  m e n j a d i k a n  k a m u  h a k i m  d a l a m  p e r k a r a  y a n g  m e r e k a  

p e r s e l i s i h k a n ,  k e m u d i a n  m e r e k a  t i d a k  m e r a s a  k e b e r a t a n  d a l a m  h a t i  

m e r e k a  t e r h a d a p  p u t u s a n  y a n g  k a m u  b e r i k a n ,  d a n  m e r e k a  m e n e r i m ' a  

d e n g a n  s e p e n u h n y a .

Dalil hukum dari ayat Alquran di atas dapal diketahui dan dipahami 

bahwa Allah menjelaskan, walaupun ada orang-orang yang mengaku 

beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah beriman selama mereka tidak mau 

mematuhi putusan hakim yang adil, seperti putusan Nabi Muhammad saw. 

sebagai Rasul yang pernah menetapkan penyelesaian perselisihan di antara 

umatnya. Sebagai contoh, suatu peristiwa yang diceritakan oleh Bukhari 

Muslim, yaitu Zubair bin Awwam mengadukan seorang laki-laki kaum 

Anshar kepada Nabi Muhammad saw. dalam suatu perselisihan tentang air 

untuk kebun kurma. Nabi Muhammad saw. memberi putusan seraya berkata 

kepada Zubair: A i r i l a h  k e b u n m u  i t u  l e b i h  d a h u l u  k e m u d i a n  a i r k a n l a h  

k e p a d a  k e b u n  t e t a n g g a m u .  Maka laki-laki itu berkata: "Apakah karena dia 

anak bibimu hai Rasulullah". Maka berubahlah muka Nabi Muhammad saw. 

karena ia mendengar tuduhan dimaksud. Namun, Nabi Muhammad saw. 

berkata lagi (untuk menguatkan putusannya): H a i  Z u b a i r  a i r i l a h  k e b u n m u  

i t u  s e h i n g g a  a i r  i t u  m e r a t a i n y a ,  k e m u d i a n  a l i r k a n l a h  k e p a d a  k e b u n  

t e t a n g g a m u .  

Hikmah peristiwa dimaksud yaitu  bahwasanya hukum harus dipatuhi 

dan setiap putusan harus mengandung rasa keadilan agar dengan ikhlas 

dipatuhi oleh anggota warga . Kasus mengairi kebun korma yang 

langsung ditangani oleh Nabi Muhammad saw. itu, mengandung rasa 

keadilan. Sebab, kedua belah pihak memperoleh aliran air yang 

memungkinkan tumbuhnya pohon kurma yang menjadi sumber kehidupan 

mereka berdua. Dari kasus ini juga jelas bahwa Nabi Muhammad saw. 

mencela perbuatan monopoli dalam sesuatu usaha.

Selain hal itu , dapat juga dipahami bahwa pemanfaatan hak milik 

berupa tanah sebagai salah satu sumber kehidupan manusia yang paling 

vital, maka hendaklah memakai  asas keseimbangan. Contoh, setiap 

orang berhak memakai  hak miliknya menurut kehendaknya, tetapi ia 

pun berkewajiban dalam memakai  haknya dimaksud, tidak mengganggu hak orang lain. Misalnya, bebas memakai  tanahnya sesuai dengan 

kehendaknya, tetapi ia berkewajiban pula menjamin pemenuhan kepentingan 

umum seperti menjamin lancarnya pengairan yang berdekatan dengan 

tanahnya yang mengairi sawah petani. Oleh karena itu, ia tidak boleh 

mengelola tanah itu  yang mengakibatkan dapat menghambat 

tersalurnya air ke persawahan para petani. Sebaliknya, seseorang tidak dapat 

dengan memakai  dalih untuk kepentingan umum, sehingga tidak 

memberi ganti kerugian yang wajar terhadap tanah seseorang yang diambil 

untuk kepentingan umum (H. Baharuddin Lopa, 1996: 127).

Namun, bila tujuan hukum Islam itu dilihat dari ketetapan hukum yang 

dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad saw., baik yang termuat di dalam 

Alquran maupun yang ada  di dalam Al-Hadis, yaitu untuk kebahagiaan 

hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala 

yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna 

kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam yaitu  

kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani, individu, dan 

warga . Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy- 

Syathibi dan disepakati oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang dikutip 

oleh H. Hamka Haq, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan 

harta .


DISKURSUS TENTANG 

PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

A. FAKTOR-FAKTOR PENGHALANG PEMBARUAN HUKUM 

ISLAM

Salah satu anugerah Allah S WT yang tidak ternilai harganya bagi manusia 

yaitu  kecerdasan. Dengan kecerdasan akalnya, manusia dapat mengem­

bangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membangun peradaban demi 

kesejahteraan umat manusia. Kecerdasan memungkinkan manusia lebih 

maju dalam bersikap, berbuat, dan berkarya secara dinamis dan konstruktif. 

Sayangnya anugerah kecerdasan ini seringkah tidak atau belum 

dimanfaatkan secara maksimal oleh manusia. Banyak ditemukan watak 

manusia, khususnya umat Islam yang bermalas-malasan atau tidak 

memakai  kecerdasannya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi umat Islam bersikap malas 

dalam berpikir dan mulai memasuki periode teks dan s y a r h  (deskripsi atas 

teks) dalam bidang fikih Islam, yaitu sebagai berikut.

1. Ketertinggalan peradaban umat Islam dibandingkan dengan dunia Barat 

yang mengakibatkan tertinggalnya fikih dan terhentinya ijtihad.

2. Dari faktor di atas, muncullah pembakuan fikih mazhab. Para ulama 

masing-masing mazhab menuliskan hasil ijtihad yang bersifat pokok 

atau elementer di dalam sejumlah persoalan yang kemudian mereka 

fatwakan. Mereka meyakini bahwa apa yang dibukukannya telah cukup 

memenuhi kebutuhan umat Islam. Mereka merasa puas dengan kitab- 

kitab besar para mujtahid yang ada.

3. Fanatisme mazhab. Masing-masing ulama hanya bersikukuh pada 

mazhab tertentu; hanya mementingkan pengajaran mazhabnya dan 

pelestarian prinsip dan penyusunan cabang-cabangnya; hanya mengajak 

umat berpaham secara monologis atau kepada mazhab yang dipilihnya; 

dan meyakini bahwa mazhabnyalah yang benar. Hal inilah yang 

dikategorikan sebagai klaim kebenaran ( t r u t h  c l a i m ) .

4. Semakin meningkatnya penolakan terhadap ijtihad. Kitab para ulama 

mazhab mengandung banyak kritikan terhadap mazhab lain. Misalnya, 

yang dikatakan Al-Jashash Al-Hanafi di dalam kitabnya, A l - A h k a m  

A l q u r a n ,  yang mengandung kritikan terhadap mazhab lain.

5. Adanya pertikaian antarmazhab karena para hakim pada masa-masa 

tertentu telah menetapkan berbagai keputusan hukum berdasar 

mazhab tertentu yang dia peluk. Mereka menolak jika harus keluar dari 

berbagai ketetapan yang telah ditentukan oleh para ulama mereka. 

Fanatisme mazhab yaitu  salah satu faktor pembakuan yang dilakukan 

oleh para ulama fikih dan pengagung fikih mereka.

6. Berkembangnya sikap iri hati di antara para ulama yang menyebabkan 

mereka menolak ijtihad karena takut lawan-lawannya menjadi kuat dan 

melontarkan sesuatu yang baru. Hal ini membuat mereka bersikukuh 

terhadap pendapat para ulama terdahulu ( a l - m u t a q a d d i m i r i ) .

Sumber kekeliruan yang mengatakan bahwa ijtihad telah tertutup 

terletak pada ketidakmampuan mereka untuk membedakan antara ijtihad 

yang bisa mengantarkan pelakunya pada pembentukan mazhab fikih dan 

ijtihad terbuka. Hal ini menyebabkan pelakunya mendapatkan dirinya 

bersepakat dengan salah satu mazhab lain tanpa disengaja dan tanpa terikat 

dengan langkah-langkah mazhab itu.

Argumentasi kelompok yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah 

tertutup, antara lain sebagai berikut.

P e r t a m a ,  hukum Islam dalam bidang ibadah, muamalah, munakahat, 

jinayat, dan sebagainya dianggap sudah lengkap dan dibukukan secara rinci 

dan rapi. Oleh karena itu, ijtihad dalam hal ini tidak diperlukan lagi.

K e d u a ,  mayoritas kaum Sunni hanya mengakui mazhab empat. Karena 

itu, penganut Ahlu as-Sunnah hendaknya memilih salah satu dari mazhab 

empat dan tidak boleh pindah mazhab.

K e t i g a ,  membuka pintu ijtihad, selain sesuatu yang percuma dan 

membuang-buang waktu, hasilnya akan berkisar pada hukum yang terdiri 

atas kumpulan pendapat dua mazhab atau lebih yang dikenal dengan istilah 

t a l f i q  yang kebolehannya masih diperselisihkan oleh kalangan ulama u s h u l ;  

hukum yang telah dikeluarkan oleh salah satu mazhab empat, berarti ijtihad 

itu hanyalah t a h s i l  a l - h a s i l ,  hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab di 

luar mazhab empat tidak dianggap sah oleh mayoritas ulama Ahlu as- 

Sunnah; hukum yang tidak seorang pun membenarkannya yang pada 

hakikatnya sama dengan menentang ijmak.

K e e m p a t ,  kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad 

keempat Hijriyah sampai saat ini, tidak seorang ulama pun berani 

menonjolkan dirinya atau ditonjolkan oleh pengikutnya sebagai seorang 

m u j t a h i d  m u t l a q  m u s t a q i l .  Hal ini menunjukkan bahwa syarat-syarat 

berijtihad itu memang sangat sulit, sehingga dapat dikatakan tidak mungkin 

lagi untuk saat sekarang.

Keempat alasan di atas yang menggiring umat Islam semakin malas 

untuk berpikir dan pasrah dengan mengikuti berbagai mazhab yang telah ada 

karena mereka menilai, bahwa ijtihad bukanlah aktivitas yang mudah 

dilakukannya. Dengan demikian, sejak awal abad keempat sampai akhir 

abad ke-12 Hijriyah, umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang 

pemikiran (khususnya bidang hukum Islam). Mereka tidak berani 

menunjukkan kreativitasnya karena takut melakukan kesalahan atau tidak 

cukup mampu secara keilmuan.

B. URGENSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM

Seorang filsuf sekaligus negarawan Francis, Andre Malraux, meramalkan 

bahwa abad ke 21 yaitu  abad agama. Manusia tidak akan s u r v i v e  di abad 

itu, bila  nilai-nilai agama tidak diaktualisasikan kembali. Ada beberapa 

fakta penting yang akan mempengaruhi dan membentuk manusia masa 

depan, yang berkembang dalam proses sejarah kehidupan atau pergulatan 

hidup manusia di dunia.

Pada abad permulaan ke-20, agama seperti telah dikesampingkan akibat 

berkibarnya humanisme, rasionalisme, ilmu pengetahuan, dan berbagai 

ideology sekuler. Namun demikian, agama tetap berkembang dengan cepat 

di masa lalu bahkan menjadi sumber motivasi dalam proses kesejarahan 

manusia.

Di sebagian besar wilayah dunia, tampak intensitas keberagamaan 

semakin tinggi. Gejala ini, merupakan reaksi dari orientasi materialisme 

yang eksklusif dari sebagian besar ideologi sekuler yang bersaing di abad 

ke-20. Gejala ini merupakan reaksi baik gagasan maupun hasil dari 

d e v e l o p m e n t a l i s m .

warga  dunia sekarang ini ditimpa oleh kekurangan pangan dan 

ketidakstabilan ekonomi, kerusakan lingkungan, berbagai bentuk bencana 

alam39, kontinuitas konflik, dan ancaman bahaya nuklir. Berbagai kenyataan

39 Memilukan! Trenggalek yang aman dan tenteram tiba-tiba diterjang banjir bandang yang 

luar biasa dahsyatnya. Ratusan rumah rusak, ribuan hektar sawah hancur, puluhan manusia 

tewas, dan ratusan lainnya luka parah. Berbarengan dengan itu, sejumlah daerah di 

Kalimantan dan Sumatra juga diterjang banjir. Di Sumatra Barat, misalnya, longsor 

menimbun jalan utama Solok-Padang dan menewaskan sedikitnya empat orang. Di Riau, 

anehnya, banjir muncul bersamaan dengan asap kebakaran hutan. Ya, banjir dan api 

muncul bersamaan. Peristiwa yang tampak kontras itu terjadi di negara kita . Tragisnya, 

kedua peristiwa itu berkaitan dengan perusakan hutan. Setiap musim hujan, banjir dan 

longsor terus terjadi di hampir seluruh wilayah negara kita . Pekan pertama Januari 2006, 

banjir bandang menerjang Jember, Jawa Timur, menewaskan 50 orang lebih. Lalu longsor

ini menunjukkan bahwa manusia kini sedang sakit dan dilanda malaise 

spiritual. Sementara itu, industri dan teknologi maju tidak membawa 

kepuasan bagi manusia. Oleh karena itu, tanggung jawab agamalah untuk 

mengartikulasi kerinduan manusia terhadap makna hidup yang lebih tinggi; 

dan menunjukkan alternatif untuk mendapatkan kepuasan yang 

sesungguhnya.

Pemisahan antara agama dan negara merupakan salah satu prinsip dari 

demokrasi politik yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia, 

khususnya negara-negara yang terdiri atas multi-etnis, yang membutuhkan 

saling pengertian dan menghormati antarwarga negaranya yang memiliki  

perbedaan ras maupun agama. Namun begitu, sampai sekarang masih 

ada  negara-negara yang mendasarkan diri pada agama terutama dalam 

Islam, di mana tekad untuk membentuk negara yang berdasar  agama 

masih begitu kuat.

Sebagian dari kebangkitan atau intensitas keberagamaan dalam bidang 

politik yaitu  munculnya persepsi bahwa pemisahan antara agama dan 

negara telah menyebabkan kehancuran nilai-nilai agama dalam mekanisme 

pemerintahan bahkan menimbulkan perceraian antara etika dan politik.

Di antara pertanyaan yang ditujukan pada penulis ketika membuka 

seminar mengenai hal di atas terutama dalam kedudukannya sebagai 

pemimpin dari agama yang berbeda-beda, yakni mampukah agama 

mengembangkan perannya dalam kancah politik tanpa menyodorkan 

dogmatisme dan pembobrokan struktur warga , sehingga agama bisa 

menyelesaikan konflik yang ada? Mungkinkah agama bekerja sama dalam 

berusaha membentuk warga  yang lebih bermoral, meskipun tetap 

memiliki  pandangan yang berbeda dalam keimanan dan tujuan hidupnya?

Dalam mencari jawaban pertanyaan ini, penulis pikir sangat penting 

untuk pertama-tama mengenai, bahwa agama merupakan segalanya bagi 

manusia. Agama yaitu  suatu jalan menuju keselamatan manusia, pedoman 

dan penilaian atas perbuatan manusia, dan petunjuk wahyu yang membawa 

manusia kepada suatu kebenaran transenden. Agama juga bisa didefinisikan

menimpa Banjarnegara, Jawa Tengah, menewaskan 200 orang lebih. Seterusnya banjir dan 

longsor menimpa Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan pulau-pulau lain. Kini, tiga 

bulan setelah tragedi Jember dan Banjarnegara, tragedi yang sama menimpa Trenggalek. 

Sepertinya kita sudah merasa terbiasa dengan bencana itu . Padahal, mestinya kita 

berpikir: Mengapa banjir dan longsor terus saja terjadi? Apakah pemerintah gagal 

mengatasi pencegahan banjir dan longsor yang telah menelan biaya miliaran rupiah tiap 

tahun? 

suatu bentuk kosmologi yang membawa pikiran dan pesan-pesan untuk 

mencapai keselamatan manusia.

Keberagamaan manusia pada saat yang bersamaan selalu disertai 

dengan identitas budayanya masing-masing yang berbeda-beda. Di 

warga , agama merupakan suatu e s t a b l i s h m e n t  yang kuat dan terikat erat 

dalam sistem sosial politik, dan ekonomi warga . Agama merupakan 

a g e n t  o f  c h a n g e  dan mobilisasi, sekaligus juga menjadi kekuatan 

immobilisasi dari komunitas manusia. Agama baik dipandang dari aspek 

individual maupun sosial yaitu  sumber moral maupun etika; sebuah 

pedoman untuk menuju kebaikan. Dari dimensi ini, sangat penting untuk 

mengidentifikasi semua peran agama dalam kehidupan, sehingga 

Memberi  kemungkinan untuk bekerja sama yang saling menguntungkan.

Komunikasi di antara agama sangat penting untuk mencapai bentuk 

kerja sama. Kesetiaan masing-masing penganut agama diperdalam dengan 

refleksinya, ada  banyak cara; menyangkut cara pandang dan ekspresi 

terhadap kebenaran; dan itu merupakan awal toleransi dan kerendahan hati. 

Banyak masalah yang memiliki  persamaan nilai dalam agama-agama, 

yang mana bisa dikatakan bahwa agama merupakan m a j o r  e l e m e n t  dalam 

budaya. Komunikasi dalam kerangka toleransi yang saling menguntungkan 

akan memperkaya spiritual, seperti tersirat dalam Alquran, yang menyatakan 

bahwa perbedaan akan memacu manusia untuk berlomba dalam kebaikan.

Agama dalam aspek duniawinya merupakan e s t a b l i s h m e n t ,  sumber 

nilai dan kekuatan mobilisasi yang sering menimbulkan konflik dalam 

sejarah umat manusia. Oleh karena itu, kerja sama antara manusia masa 

datang bahkan kerja sama para penganut satu agama pun perlu, karena 

terbukti dalam satu agama yang sama sering muncul konflik 

antarpengikutnya. Sebagai contoh, konflik antara gereja-gereja yang telah 

mapan dengan teologi pembebasan; antara Sunni dan Syi'ah; antara kaum 

mistikus dan pekerja sosial. Sebagai pengaku sumber kebenaran mutlak, 

agama harus memiliki  peranan dominan yang mana pada suatu ketika 

perlu berada di luar proses sejarah. Persepsi dan pengertian kita bisa berubah 

karena waktu, namun kebenaran mutlak tetap abadi. Tuhan tidak pernah 

berubah, meskipun nama-nama Tuhan berbeda. Namun meski kebenaran itu 

abadi, tetapi agama itu tetap historis; menjelma dalam pergolakan hidup 

manusia. Fakta menunjukkan, bahwa agama ternyata tidak mudah bekerja 

sama dengan sejarah. Bahkan seringkah, agama berusaha membengkokkan 

jalannya sejarah, menurut kehendak persepsinya. Agama sering mencuatkan 

amarah dan terkadang meledakkan senjata untuk menggilas kekuatan sekuler 

dan menguasai jiwa manusia. Begitulah hubungan antarperanan agama, baik

secara historis maupun ahistoris; antara transendensi dan keduniaan yang 

terjadi dalam kehidupan manusia, yang sesungguhnya sangat menarik untuk 

dikaji.

Tanda-tanda mulai tumbuhnya pengakuan dari pentingnya fungsi 

hukum dalam pembangunan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat 

menghindarkan kesan bahwa di tengah-tengah kesibukan tentafig 

pembangunan ini ada  suatu kelesuan ( m e l a i s e )  atau kekurangpercayaan 

akan hukum dan gunanya dalam warga .

Sebaliknya, dan ini mungkin kedengarannya paradoksal sekali, di 

puncak m a l a i s e  dan ketiadaan kepercayaan mengenai guna bahkan adanya 

hukum di warga  kita ini, terdengar jeritan-jeritan yang menandakan 

masih percayanya orang di negara kita  terhadap keampuhan hukum. Tidak 

jemu-jemunya orang mengumandangkan t h e  r u l e  o f  l a w  dengan harapan 

yang sering mengharukan bahwa dengan kembalinya ratu keadilan ke atas 

tahtanya, dengan sendirinya segala sesuatu akan beres kembali dan tercapai 

m a s y a r a k a t  y a n g  t a t a  t e n t r e m  k e r t a  r a h a r j a .

Keadaan yang coba dilukiskan di atas, yaitu orang di satu pihak, acuh 

tidak acuh atau hilang kepercayaan terhadap hukum, tetapi di lain pihak 

memiliki kepercayaan yang naif terhadap kekuatan yang seakan-akan magis 

religius dari hukum, mencirikan cara berpikir kita umumnya tentang hukum.

Kedua anggapan tentang hukum itu, sama-sama kurang tepat; yang satu 

karena terlalu memandang rendah terhadap arti dari fungsi hukum dalam 

warga  (lebih menghargai arti dibandingkan  kekuasaan), sedang  

anggapan yang kedua tidak pula banyak menolong karena terlalu banyak 

mengharapkan sesuatu dibandingkan nya.

Kesemuanya ini memaksa kita untuk memahami fungsi hukum dalam 

warga  ini dengan lebih wajar dengan mencoba meneliti arti dan fungsi 

hukum itu secara akal (rasional). Rudolf Von Jhering dalam D e r  Z w e c h  I m  

R e c h t  menyebutkan bahwa hukum yaitu  keseluruhan peraturan yang 

memaksa ( c o m p u l s o r y  r u l e s )  yang berlaku dalam suatu negara. Menurut

E.Utrecht, hukum itu yaitu  himpunan peraturan (perintah dan larangan) 

yang mengurus tata tertib suatu warga  dan karena itu harus ditaati oleh 

warga  itu.

Zaman keemasan hukum Islam, sebagaimana telah disebutkan, 

berlangsung sekitar 250 tahun. Setelah itu, yakni sejak pertengahan abad 

keempat Hijrah, hukum Islam mengalami periode taklid. Pada masa itu 

gerakan ijtihad terhenti, kebebasan berpikir para ulama sudah tidak ada lagi. 

Para ulama tidak lagi mengambil hukum Islam dari sumbernya, yaitu 

Alquran dan hadis, tetapi mereka lebih senang bertaklid dan mengikuti fikih

Imam pendahulu. Kemampuan akal mereka, dibatasi dengan mempelajari 

mazhab Imam itu , mereka mengha-ramkan dirinya keluar dari batasan 

itu. Mereka berusaha memahami lafal-lafal dan ibarat Imam mereka, bukan 

berusaha memahami nash syariat dan prinsipnya yang umum. Mereka telah 

melupakan ijtihad malah dengan mengatakan pintu ijtihad telah tertutup.

Penyebab utama timbulnya periode taklid ini yaitu  karena timbulnya 

fanatisme kelompok. Setiap kelompok dari Imam mujtahid membentuk 

suatu aliran fikih yang memiliki  cara-cara i s t i n b a t h  hukum tersendiri, dan 

para murid atau anggota dari setiap kelompok berusaha mempertahankan 

mazhabnya dengan segala cara sehingga mengalihkan perhatian mereka dari 

sumber hukum yang utama, Alquran dan hadis. Sebab lainnya pada masa itu 

kekuasaan Islam terbagi ke dalam beberapa kerajaan yang saling bertikai 

sehingga para pemimpin dan warga  sibuk dengan peperangan, yang 

salah satunya mengakibatkan terhentinya gerakan ijtihad.

Berhentinya gerakan ijtihad itu menimbulkan kejumudan dan kebekuan 

hukum Islam, sehingga umat Islam selalu mencurigai hal-hal baru dan 

mengharamkannya tanpa meneliti terlebih dahulu kegunaan dan 

kerugiannya. Mereka menyebutnya sebagai b i d ' a h  dan mengharamkannya 

karena tidak diatur dalam Islam dan dalam wahyu Tuhan. Mereka 

mengharamkan peneijemahan Alquran ke dalam bahasa lain dan melarang 

mempelajari pengetahuan umum. Di kalangan umat Islam juga berkembang 

pendapat bahwa umat Islam tidak berhak hidup bahagia di dunia, mereka 

tidak perlu kaya, dan tidak perlu berkuasa; umat Islam hanya akan mendapat 

kebahagiaan dan kesenangan di akhirat nanti.

Sikap taklid mulai didobrak oleh Ibn Taimiyah (1263-1328). Ia secara 

tegas berpendapat bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dan tidak pemah 

tertutup. Seruannya untuk menggairahkan kembali ijtihad berhasil 

Memberi  pengaruh yang besar di dunia Islam pada masa-masa 

berikutnya. Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad 

yang terjadi di Kerajaan Usmani, India, dan Saudi Arabia banyak 

dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiyah.

Di kerajaan Usmani, sikap taklid itu mulai didobrak sejak akhir abad 

ke-13 Hijrah atau abad ke-19 Masehi. Pemerintah Usmani pada waktu itu 

menugaskan sekelompok ulama terkemuka untuk menyusun suatu hukum 

dalam bidang muamalat yang tidak terikat pada salah satu mazhab.

Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad itu, di 

India dan Saudi Arabia malah sudah dimulai pada abad ke-18 Masehi. Di 

India, gerakan itu dipelopori oleh Syah Waliullah (1703-1762), sedang  di 

Saudi Arabia, gerakan itu dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab

(1703-1787). Gerakan terakhir ini kemudian dikenal dengan gerakan 

W a h a b i a h .

Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad yang 

dimulai sejak abad ke-18 Masehi inilah yang disebut gerakan pembaruan 

hukum Islam, sehingga masa itu sampai sekarang disebut periode pembaruan 

hukum Islam. Pembaruan hukum Islam merupakan bagian dari pembaruan 

yang terjadi dalam Islam. Jadi, pembaruan dalam Islam lebih luas meliputi 

pembaruan dalam bidang pendidikan, politik, kebudayaan, hukum, dan lain- 

lain. Gerakan pembaruan dalam arti yang luas ini, di Kerajaan Usmani pun, 

menurut Harun Nasution, sudah dimulai sejak abad ke-14 Masehi. Akan 

tetapi, pembaruan yang terjadi di Kerajaan Usmani pada waktu itu baru 

dalam bidang kebudayaan dan kemiliteran, belum sempat menjamah bidang 

hukum Islam serta masalah keagamaan pada umumnya karena pembaruan di 

Kerajaan Usmani waktu itu tidak dipelopori oleh para ulama, sebagaimana 

yang terjadi di India dan Saudi Arabia. Ide-ide pembaruan termasuk 

pembaruan hukum Islam semakin mempengaruhi dunia Islam termasuk 

negara kita  setelah munculnya tokoh-tokoh pembaru ternama seperti 

Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan lain-lain.

Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk 

mengembangkan hukum Islam disebut gerakan pembaruan hukum Islam, 

sebab gerakan itu muncul untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu 

menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh 

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modem. Menetapkan ketentuan 

hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru itu 

mengandung dua unsur. P e r t a m a ,  menetapkan hukum terhadap masalah bam 

yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah bayi tabung. K e d u a ,  

menetapkan atau mencari ketentuan hukum bam bagi suatu masalah yang 

sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan 

kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan tidak sesuai 

dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang yaitu  ketentuan 

hukum lama yang mempakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak 

mampu lagi merealisasi kebutuhan dan kemaslahatan warga  masa kini. 

Untuk itu, perlu ditetapkan ketentuan hukum bam yang lebih mampu 

merealisasi kemaslahatan umat yang mempakan tujuan syariat dengan 

mempertimbangkan perkembangan bam yang ditimbulkan oleh kemajuan 

ilmu pengetahuan dan teknologi modem. Contohnya ketentuan hukum Islam 

mengenai pemimpin wanita. Ijtihad ulama sekarang telah membolehkan 

wanita menjadi pemimpin atau kepala negara, padahal ijtihad lama 

menetapkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atau kepala negara.


Jadi, pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan 

ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan 

baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi 

modem, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada 

ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk menggantikan 

ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan 

kemaslahatan manusia masa sekarang. Ketentuan hukum di sini yaitu  

ketentuan hukum Islam kategori fikih yang merupakan hasil ijtihad para 

ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori syariat.

Pembaruan itu dapat terjadi dalam tiga bentuk atau tiga kondisi, yaitu 

sebagai berikut.

1. bila  hasil ijtihad lama itu yaitu  salah satu dan sekian kejadian 

yang dikandung oleh suatu teks Alquran dan hadis. Dalam keadaan 

demikian, pembaruan dilakukan dengan mengangkat pula kejadian 

yang lain yang terkandung dalam ayat atau hadis itu . Contoh, 

jumhur ulama telah menetapkan tujuh macam kekayaan yang wajib 

zakat, yaitu emas dan perak, tanam-tanaman, buah-buahan, barang 

dagangan; binatang ternak, barang tambang, dan barang peninggalan 

orang dahulu yang ditemukan waktu digali.

S e b a g i a n  d a r i  h a s i l  u s a h a m u  y a n g  b a i k - b a i k  d a n  s e b a g i a n  d a r i  a p a  

y a n g  K a m i  k e l u a r k a n  d a r i  b u m i  u n t u k  k a m u .

Pendapat yang menetapkan penghasilan yang datang dari jasa 

dikenakan zakat, sebagaimana telah dijelaskan, juga tetap berkisar 

dalam ruang lingkup arti teks Alquran di atas.

2. bila  hasil ijtihad lama didasarkan atas ' u r f  setempat, dan bila ' u r f  i t u  

sudah berubah maka untuk ijtihad lama itu pun dapat diubah dengan 

menetapkan hasil ijtihad baru yang didasarkan kepada ' u r f  setempat 

yang telah berubah itu. Contohnya hasil ijtihad mengenai kepala negara 

wanita. Hasil ijtihad ulama terdahulu menetapkan wanita tidak boleh 

menjadi kepala negara, sesuai dengan ' u r f  warga  Islam masa itu 

yang tidak bisa menerima wanita sebagai kepala negara. Dengan 

berkembangnya paham emansipasi wanita, ' u r f  warga  Islam 

sekarang sudah berubah, mereka sudah dapat menerima wanita sebagai 

kepala negara. Hasil ijtihad ulama pun sudah berubah dan sudah 

menetapkan bahwa wanita boleh menjadi kepala negara.

3. bila  hasil ijtihad lama ditetapkan dengan q i y a s  maka pembaruan 

dapat dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad atau 

ketentuan hukum yang ditetapkan dengan q i y a s  dengan memakai  

i s t i l s a n .  Sebagaimana diketahui, penetapan hukum dengan i s t i l s a n  

merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan 

oleh q i y a s  dan metode i s t i n b a t h  hukum yang lain. Contohnya hasil 

ijtihad tentang larangan masuk masjid bagi orang haid yang di- q i y a s -  

kan kepada orang j u n u b  (orang yang mandi besar) karena sama-sama 

hadas besar. Ada ulama yang merasa q i y a s  di atas kurang tepat karena 

ada unsur lain yang membedakan haid dengan junub, walaupun 

keduanya sama-sama hadas besar.

Karena pembaruan hukum Islam mengandung arti, bahwa gerakan 

ijtihad menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan 

dan perkembangan baru maka pembaruan itu dilakukan dengan cara kembali 

kepada ajaran asli Alquran dan hadis dan tidak mesti, terikat dengan 

ketentuan hukum Islam hasil ijtihad lama yang merupakan hukum Islam 

kategori fikih. Hukum Islam kategori fikih yaitu  hasil pemahaman dan 

rumusan para ulama yang bisa jadi ada yang dipengaruhi oleh keadaan pada 

masa itu, seperti yang dilandaskan atas ' u r f  setempat dan karenanya 

ketentuan itu belum tentu mampu menjawab permasalahan dan 

perkembangan baru, artinya belum tentu mampu merealisasi kemaslahatan 

umat masa kini yang keadaannya berbeda dengan keadaan masa itu. Adapun 

ajaran asli Alquran dan hadis selalu mampu menjawab permasalahan 

warga  sepanjang zaman dan semua tempat. Oleh karena itu, dalam 

menetapkan hukum terhadap suatu masalah, para mujtahid harus langsung 

kembali kepada ajaran asli Alquran dan hadis dengan cara berijtihad 

memahami dan menafsirkan ajaran asli itu  serta memperhatikan dasar- 

dasar atau prinsipnya yang umum. Dengan demikian, ketentuan hukum 

Islam yang dihasilkan oleh ijtihad itu betul-betul mampu menjawab 

permasalahan warga , dalam arti mampu merealisasi kemaslahatan umat 

manusia yang merupakan tujuan syariat Islam.

Melihat kondisi umat Islam yang semakin terpuruk dan ketertinggalan 

yang sangat jauh dari peradaban Barat maka diawal abad ke-13 Hijriyah ada 

sebuah prakarsa pemikiran yang ingin membukakan cakrawala kepada umat 

Islam bahwa pintu ijtihad sesungguhnya masih terbuka lebar. Sebagian 

ulama yang dipelopori oleh Imam Asy-Syaukani menyatakan bahwa ijtihad 

masih sangat terbuka. Ada beberapa alasan kenapa ijtihad masih terbuka,  yaitu

a. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang dinamis 

menjadi kaku dan beku, sehingga Islam suatu saat akan ditinggalkan 

oleh cepatnya perubahan zaman. Sebab banyak kasus baru yang 

hukumnya belum dijelaskan oleh Alquran dan As-Sunnah, dan juga 

belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu.

b. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi para ulama 

Islam untuk menciptakari pemikiran yang baik dalam memanfaatkan 

dan menggali sumber (dalil) hukum Islam.

c. Membuka pintu ijtihad berarti membuat setiap pemasalahan bam yang 

dihadapi oleh umat dapat diketahui hukumnya, sehingga hukum Islam 

akan selalu berkembang dan sanggup menjawab tantangan zaman. 

Lebih-lebih wilayah ijtihad yang dimaksud hanya memasuki pada 

wilayah-wilayah teks yang d z a n n i y a t u  a d - d a l a l a h .

Terbukanya pintu ijtihad tentu saja memiliki konsep dan persyaratan 

yang utuh agar ijtihad tidak disalahgunakan oleh pihak yang ingin memsak 

orisinalitas ajaran Islam. Kemusykilan pengertian dan cakupan ijtihad, 

metode ijtihad, serta kualifikasi mujtahid yaitu  hal-hal yang perlu 

dipertimbangkan sebelum kita berbicara tentang pentingnya ijtihad. Sudah 

sangat jelas, bahwa ijtihad bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan oleh 

setiap orang. Membuka pintu ijtihad bukan berarti Memberi  hak kepada 

setiap orang untuk berijtihad.

Belakangan ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak melakukan 

ijtihad tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Asas egalitarianisme Islam 

sering dijadikan dalih untuk menolak adanya kaum elit yang memiliki  

otoritas benjtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak 

mau, melainkan persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang 

tidak mampu untuk berijtihad sangat mengundang bahaya. Untuk itulah, 

sebelum seseorang melakukan ijtihad harus sudah memenuhi persyaratan 

yang ketat, namun tentu saja untuk ukuran saat ini tidak seketat dan seideal 

yang dimiliki oleh para mujtahid mutlak.

C. TUJUAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM

Kemajuan yang pesat terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan 

teknologi modem menimbulkan pembahan besar dalam segala bidang 

kehidupan manusia. Pada masa awal Islam peperangan masih dengan 

memakai  pedang, sekarang sudah sampai kepada penggunaan senjata 

canggih bempa senjata kimia dan bom nuklir. Begitu pula dengan alat

transportasi masih memakai  binatang tunggangan seperti unta, kuda, 

dan lain-lain, sekarang sudah sampai pada penggunaan pesawat yang 

memiliki  kecepatan jelajah yang luar biasa. Jelasnya dalam kemajuan 

ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak muncul hal-hal baru dalam 

kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan dalam masya-rakat. 

Perubahan struktur sosial dan munculnya masalah baru seperti transfusi 

darah, inseminasi (pembuahan) buatan, bayi tabung, dan lain-lain perlu 

diatur dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan Islam.

Islam sebagai agama wahyu yang terakhir berlaku dan dibutuhkan 

sepanjang zaman memiliki  pedoman dan prinsip dasar sebagai petunjuk 

bagi umat manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia 

dan di akhirat. Sebagai agama yang dibawa untuk menjadi rahmat bagi 

sekalian alam, Islam tentu harus dapat menjawab semua permasalahan umat 

manusia yang telah dan akan timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan 

teknologi. Kalau Islam tidak mampu menjawab permasalahan umat manusia 

tentu akan ditinggalkan. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh siapa pun yang 

meyakini kebenaran ajaran Islam.

Agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi dan menjawab tantangan 

zaman, hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman terhadap Islam 

perlu terus-menerus diperbarui dengan Memberi  penafsiran bam terhadap 

n a s h s y a r a k  dengan cara menggali kemungkinan lain atau alternatif dalam 

syariat yang diyakini mengandung alternatif yang bisa diangkat dalam 

menjawab masalah baru. Jadi, pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar 

hukum Islam selalu mampu merealisasi tujuan syariat semaksimal mungkin, 

yaitu merealisasi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

Timbul pertanyaan, apakah boleh hukum Islam terus-menerus 

diperbarui dan dikembangkan? Bukankah ajaran Islam mutlak kebenarannya 

dan tidak berubah? Untuk menjawab pertanyaan ira perlu dipelajari terlebih 

dahulu hakikat Islam secara filosofis dan historis. Sebagaimana diketahui 

Islam mengandung ajaran yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. 

melalui wahyu. Wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad 

melalui Jibril pada hakikatnya yaitu  ayat-ayat Alquran dalam teks Arabnya. 

Oleh karena itu, kalam Allah dalam Islam harus diartikan secara harfiah, 

firman, sabda, atau kata-kata Tuhan.

Hakikat ini memiliki  implikasi bahwa jika kata-kata Arab dalam ayat 

yang disampaikan kepada Nabi Muhammad diganti dengan sinonimnya, atau 

diubah susunan katanya, atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain maka ayat 

yang dihasilkan demikian bukanlah lagi wahyu yang bersifat absolut, 

melainkan merupakan penafsiran, hasil buatan manusia, yang bersifat relatif

kebenarannya. Dengan kata lain, penafsiran dan terjemahan itu tidak 

mengikat bagi manusia, yang mengikatnya yaitu  ayat-ayat dalam teks Arab 

itu. Demikianlah sifat dasar dari Alquran sebagai sumber pertama ajaran 

Islam.

Adapun hadis sebagai sumber kedua, bukanlah wahyu dalam arti di 

atas. Hadis pada umumnya mengandung ucapan dan perbuatan Nabi 

Muhammad saw. yang disebut sunnah Nabi serta terpelihara dari kesalahan. 

Kalau ada ucapan atau perbuatan Nabi yang salah, beliau mendapat teguran 

dari Tuhan. Kalau tidak mendapat teguran, ucapan dan perbuatan Nabi itu 

benar. Dengan demikian, Nabi terpelihara dari kesalahan (maksum). Ada 

pula hadis yang mengandung bukan ucapan atau perbuatan Nabi, melainkan 

arti yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati beliau. Kemudian, Nabilah 

yang mengungkapkan arti kata itu dalam kata-kata beliau sendiri, yang 

disebut hadis q u d s i .  Hadis sebagai sumber kedua memberi penjelasan 

terhadap ayat-ayat Alquran.

Ayat Alquran berjumlah lebih dari 6000, namun hanya sebagian dari 

jumlah itu yang merupakan ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang 

keimanan, ajaran tentang hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, dan 

ajaran tentang hubungan horizontal manusia dengan manusia. Menurut 

perkiraan ulama, jumlah ayat itu hanya kira-kira 500 : 130 mengenai 

keimanan, 140 mengenai ibadah, dan 230 mengenai muamalah atau hidup 

berwarga . Di samping itu, ada pula ayat-ayat yang mengandung 

ungkapan tentang fenomena alam yang erat hubungannya dengan filsafat 

dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar dari ayat-ayat itu mengandung 

riwayat tentang nabi sebelum Nabi Muhammad, riwayat umat terdahulu, 

teladan serta ibarat yang dapat diambil dari pengalaman umat masa lampau, 

hidayah serta kesesatan, dan kebaikan serta kejahatan.

Dalam.ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang iman, ibadah, dan 

hidup berwarga  pada umumnya datang dalam bentuk ajaran dasar dan 

prinsip tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai cara pelaksanaannya. 

Demikian juga dengan ayat-ayat tentang fenomena alam.

Ayat-ayat yang mengandung ajaran dasar dan prinsip-prinsip inilah 

yang menjadi pegangan utama umat Islam semenjak Nabi Muhammad 

wafat, dalam menghadapi berbagai masalah dalam bidang keimanan atau 

teologi, bidang ibadah, bidang hidup kewarga an, filsafat, dan 

sebagainya.

Timbullah dalam sejarah terhadap penjelasan dan penafsiran tentang 

ajaran dasar serta prinsip-prinsip itu. Pemberian penjelasan dan penafsiran 

dimulai oleh sahabat Nabi, terutama Abu Bakar, Umar Ibn Al-Khattab,

Usman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Talib, yang secara kronologis 

menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai kepala umat Islam yang 

tidak lama setelah hijrah ke Madinah, mengambil bentuk negara. Dalam 

memberi penjelasan dan penafsiran mereka dibantu oleh sahabat lain yang 

senantiasa mereka ajak bermusyawarah.

Dengan demikian, di samping sunnah Nabi, timbullah sunnah sahabat. 

Sunnah sebenarnya berarti tradisi, tetapi sunnah atau tradisi Nabi terpelihara 

dari kesalahan, sedang  sunnah atau tradisi sahabat tidak. Akan tetapi, 

sungguh pun tidak terpelihara dari kesalahan sunnah, tradisi atau sunnah 

sahabat berpengaruh besar kepada umat Islam sesudah zaman mereka dan 

sampai sekarang pengaruh itu masih tetap ada.

Setelah zaman sahabat, datanglah zaman para ulama besar. Pada zaman 

sahabat dunia Islam baru mencakup daerah sekitar semenanjung Arabia, 

seperti Palestina, Syria, Irak, Persia, dan Mesir. Adapun zaman sesudah 

mereka, daerah-daerah Afrika Utara, Spanyol, Transoxiana, India, dan 

daerah lain yang jauh letaknya dari Arabia telah menjadi Islam. Kalau 

masalah yang dihadapi sahabat dengan meluasnya daerah Islam ke luar 

semenanjung Arabia, daerah yang mencakup berbagai bangsa, bahasa, 

kebudayaan, dan adat istiadat, jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi 

Nabi di zaman Islam masih terbatas pada semenanjung Arabia yang satu 

bahasa, kebudayaan, dan adat istiadatnya. Oleh karena itu, masalah yang 

dihadapi para ulama dengan Islam jauh lebih besar dari yang dihadapi para 

sahabat.

Ulama pun tidak berpusat di satu tempat, tetapi masing-masing daerah 

memiliki  ulamanya sendiri-sendiri yang menghadapi masalah yang 

berbeda pula. Dalam menghadapi masalah yang berbeda, pegangan mereka 

tetap ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi. Oleh karena itu, timbullah 

penjelasan dan penafsiran berbeda dalam menghadapi masalah berbeda itu.

Dalam perkembangan sejarah, penjelasan dan penafsiran berbeda itu 

mengambil bentuk mazhab dan aliran-aliran. Mazhab dan aliran itu 

terkadang tidak hanya menunjukkan perbedaan pendapat, tetapi juga 

pendapat yang saling bertentangan.

Demikianlah dalam soal keimanan, yang menjadi ajaran paling pokok 

dalam Islam, ada  lima aliran teologi atau ilmu kalam. Masalah yang 

pertama timbul dalam bidang ini yaitu  kedudukan pembuat dosa besar, 

seperti membunuh orang tanpa alasan yang sah, berzina, menjalankan riba, 

dan durhaka kepada orang tua. Dipersoalkan apakah pembuat dosa besar 

masih mukmin, masih orang Islam atau tidak? Golongan keras yang dalam 

sejarah teologi dikenal dengan K h a w a r i j ,  mengatakan bahwa pembuat dosa

besar bukan mukmin lagi melainkan sudah menjadi kafir dan ke luar dari 

Islam. Golongan lembut M u r j i ' a h  berpendapat, bahwa pembuat dosa besar 

tetap mukmin, orang Islam dan bukan kafir. Golongan rasional, M u k t a z i l a h ,  

berpendapat lain pembuat dosa besar tidak mukmin, tidak kafir, dan 

hanyalah muslim. Bagi M u k t a z i l a h ,  orang mukmin yaitu  orang yang 

mengucapkan dua syahadat dan menjalankan ajaran Islam, sedang  orang 

muslim yaitu  orang yang hanya mengucapkan dua syahadat, namun tidak 

melaksanakan ajaran Islam.

Perbedaan penafsiran ini timbul karena dalam Alquran tidak ada ayat- 

ayat yang secara terperinci dan definitif menyebut siapa yang mukmin dan 

siapa yang kafir. Ayat hanya menyebut iman mencakup kepercayaan kepada 

Tuhan, malaikat, rasul, kitab, dan hari perhitungan di akhirat. Ketika terjadi 

peperangan dan pembunuhan antara sesama muslim di zaman Usman, Ali, 

dan Muawiyah, timbullah pertanyaan tentang pembuat dosa besar. Dalam 

menjawab pertanyaan itu timbullah penafsiran yang berbeda-beda.

Setelah ulama Islam mulai dari abad ke-8 Masehi mempelajari filsafat 

Yunani dalam usaha menentang serangan bersifat filosofis yang datang dari 

luar Islam, filsafat mempengaruhi pemikiran keagamaan dalam Islam. 

Sebagai akibatnya, timbullah dalam Islam teologi rasional dan teologi 

tradisional. Teologi rasional banyak memakai penafsiran metaforis, 

sedang  teologi tradisional banyak terikat pada penafsiran harfiah.

"Tangan Tuhan" dan "kursi Tuhan" yang ada  dalam Alquran 

diartikan teologi rasional "kekuasaan Tuhan", sedang  teologi tradisional 

tetap berpegang pada arti harfiah, yaitu "tangan" dan "kursi", walaupun tidak 

sama dengan tangan dan kursi manusia. Demikian pula dalam soal kemauan 

dan perbuatan manusia, teologi rasional menganut paham adanya kebebasan 

manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan, sedang  teologi 

tradisional menganut paham fatalisme. Perbedaan penafsiran ini timbul 

karena ayat-ayat mengenai tangan dan perbuatan manusia itu  tidak 

mengandung penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan 

kata-kata itu.

Dalam hubungan ini, bahwa dalam perkembangan penjelasan dan 

penafsiran selanjutnya, para ulama Islam membagi ayat-ayat Alquran dalam 

dua kelompok: ayat-ayat yang artinya pasti sebagaimana diberikan teks dan 

tidak dapat ditakwilkan lagi ( q a t h ' i  a l - d a l a l a h )  dan ayat-ayat yang artinya 

masih dapat ditakwilkan ( z h a n n i  a l - d a l a l a h ) .  Yang banyak ada  dalam 

Alquran yaitu  ayat-ayat yang z h a n n i  a l - d a l a l a h ,  ayat-ayat yang artinya 

dapat ditakwilkan, yaitu ayat-ayat yang tidak mesti diambil arti tersuratnya, 

tetapi dapat diambil arti tersiratnya. "Kursi" dan "tangan" Tuhan itu 

termasuk dalam kelompok ayat z h a n n i  a l - d a l a l a h .  Demikian juga j a n n a t  

(surga) dan n a r  (neraka). J a n n a t  dalam arti tersurat menggambarkan istana 

yang penuh dengan kesenangan jasmani, sedang  n a r  secara harfiah 

menggambarkan api yang menyala-nyala. Kaum syariat mengambil arti 

harfiah ini, namun kaum sufi dan filosofi mengambil arti tersirat, yaitu 

kesenangan dan kesengsaraan ruhani yang secara tersirat terletak di belakang 

gambaran jasmani tentang surga dan neraka yang diberikan Alquran.

Kalau dalam bidang keimanan, yang merupakan masalah paling pokok 

dalam Islam, ada  aliran-aliran yang berbeda pendapat, maka tidak 

mengherankan kalau dalam bidang ibadah dan bidang muamalat atau hidup 

kewarga an manusia, ada  pula mazhab-mazhab. Imam mazhab 

yang banyak memakai rasio yaitu  Abu Hanifah dan yang banyak memakai 

sunnah atau hadis yaitu  Ahmad Ibn Hanbal. Dalam hal bidang ilmu kalam 

atau teologi Islam, dalam bidang hukum fikih yang berhubungan dengan 

ibadah dan hidup kewarga an manusia ada  pula mazhab yang 

rasional dan tradisional.

Sebagai contoh dalam soal ibadah dapat diambil penentuan permulaan 

hari puasa, hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. R u ' y a t  oleh golongan 

rasional diartikan melihat dengan otak, yaitu perhitungan atau hisab, 

sedang  golongan tradisional mengartikan r u ' y a t  "melihat" dengan mata 

kepala.

Dalam hidup kewarga an, ayat Alquran sebagaimana telah disebut 

di atas, berjumlah kira-kira 230 ayat. Perincian yang diberikan oleh Abdul 

Wahab Khallaf, seorang Guru Besar dalam bidang hukum Islam yaitu  

sebagai berikut: hidup kekeluargaan 70 ayat, jual beli 70 ayat, soal pidana 30 

ayat, hubungan muslim dengan nonmuslim 25 ayat, peradilan 13 ayat, 

hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat, serta soal kenegaraan 10 ayat.

Sesuai dengan sifat dasar ayat-ayat Alquran di atas, yaitu hanya 

mengandung ajaran dasar dan prinsip-prinsip, banyak berbentuk z h a n n i  a l -  

d a l a l a h  danfianya sedikit berbentuk q a t h ' i  a l - d a l a l a h  maka ayat-ayat 

mengenai hidup kewarga an ini juga memerlukan penjelasan dan 

penafsiran yang banyak dari para ulama hukum Islam. Sebagaimana dalam 

bidang lain di sini juga banyak dijumpai perbedaan pendapat dan penafsiran.

Sebagai contoh dapat diambil perkawinan pria Islam dengan wanita 

ahli kitab, yaitu wanita Yahudi dan Kristen. Dalam mazhab Syafi'i ada 

pendapat bahwa wanita Kristen tidak boleh dikawini seorang pria muslim 

karena ia menganut keyakinan trinitas. Menumt mazhab lain, seorang pria 

Islam boleh kawin dengan wanita Kristen karena dia yaitu  ahli kitab dan

bukan m usyrikah  atau politeis. Ayat Alquran dengan jelas mengatakan 

bahwa orang Islam boleh mengambil wanita ahli kitab menjadi istri.

Alquran surah Al-Maa'idah (5) ayat 5 berbunyi :

D an  d iha la lkan  m engaw in i w an ita -w an ita  y a n g  m en jaga  kehorm a tan  

d i an ta ra  w an ita -w an ita  y a n g  berim an  dan  w an ita -w an ita  y a n g  

m en jaga  kehorm a tan  d i an ta ra  o rang -o rang  y a n g  d ib er i a l-K itab  

sebe lum  kamu, b ila  kam u  te lah  m em baya r  m as kaw in  m ereka  dengan  

m aksu d  m en ikah inya .

Dikarenakan ayat di atas tidak menjelaskan lebih lanjut ahli kitab mana 

yang dimaksud, timbullah perbedaan penafsiran tentang ahli kitab itu .

Semenjak masuknya bank Barat ke dalam Islam pada abad ke-19 

timbullah perbedaan pendapat mengenai haram atau tidaknya bunga bank. 

Yang tegas diharamkan dalam Alquran yaitu  riba (lihat Alquran Surah Al- 

Baqarah (2) ayat 275-278 dan Surah Ali' Imran (3) ayat 1 30). Ayat ini juga 

tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan riba. Yang 

menjadi pertanyaan apakah bunga bank masuk dalam kategori riba. Ada 

yang menganggapnya masuk kategori riba dan mengharamkan bunga bank. 

Di lain pihak menganggapnya bukan riba atau berpendapat bahwa bunga 

bank tidak haram.

Kesimpulan dari uraian di atas bahwa sepanjang masa timbul 

penjelasan dan penafsiran mengenai ajaran dasar dan prinsip-prinsip yang 

terkandung dalam Alquran. Penjelasan dan penafsiran para ulama, yang 

disebut ijtihad, makin lama makin banyak jumlahnya. Ijtihad ulama yang 

jauh lebih banyak dibandingkan  ayat-ayat Alquran itu sendiri, juga merupakan 

ajaran-ajaran Islam. Namun, karena ajaran yang berasal dari ijtihad ini 

yaitu  hasil pemikiran manusia, maka ajaran itu bersifat relatif dan tidak 

absolut.


Related Posts:

  • hukum islam 9 u 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan pemulihan kondisi likuiditas Bank dan batas waktu ini merupakan jangka waktu yang wajar untuk … Read More