u 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan
pemulihan kondisi likuiditas Bank dan batas waktu ini
merupakan jangka waktu yang wajar untuk menjual aset
Bank.
Agunan yang dapat dibeli oleh Bank yaitu Agunan yang
pembiayaannya telah dikategorikan macet selama jangka
waktu tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bank negara kita memuat antara lain :
a. Agunan yang dapat dibeli oleh Bank Syariah dan UUS
yaitu Agunan yang pembiayaannya telah dikategori
kan macet selama jangka waktu tertentu;
b. Jangka waktu pencairan Agunan yang telah dibeli.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memperlihatkan bukti tertulis”,
termasuk menyampaikan keterangan atau fotokopi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi yang diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan” yaitu pimpinan
413
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen
setingkat menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Pembinaan yang dilakukan Bank negara kita , antara lain, mengenai
aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji
kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta
aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank
Syariah dan UUS.
Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (o f f - s i t e
s u p e r v i s i o n ) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung
(o n - s i t e s u p e r v i s i o n ) dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank
yang bersangkutan.
Pasal 51
Ayat (1)
Bank Syariah dan UUS perlu menjaga tingkat kesehatannya
dalam rangka memelihara kepercayaan warga .
414
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu segala
jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun
elektronis, yang terkait dengan objek pengawasan Bank
negara kita .
Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait
dengan Bank” yaitu setiap bagian ruangan dari kantor
bank dan tempat lain di luar bank yang terkait dengan
objek pengawasan Bank negara kita .
Huruf b
Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu segala
jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronis
yang terkait dengan objek pengawasan Bank negara kita .
Yang dimaksud dengan “setiap pihak” yaitu orang
atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap
pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik
langsung maupun tidak langsung, antara lain, u l t i m a t e
s h a r e h o l d e r atau pihak tertentu yang namanya tidak
tercantum sebagai pegawai, pengurus atau pemegang
saham bank tetapi dapat memengaruhi kegiatan
operasional bank atau keputusan manajemen bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rekening Simpanan maupun
rekening Pembiayaan” yaitu rekening-rekening, baik
yang ada pada Bank yang diawasi/diperiksa maupun
pada Bank lain, yang terkait dengan objek
pengawasan/pemeriksaan Bank negara kita .
415
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” yaitu pihak yang
menurut penilaian Bank negara kita memiliki kompetensi
untuk melaksanakan pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
A yat(l)
Keadaan suatu Bank dikatakan mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya bila berdasar
penilaian Bank negara kita , kondisi usaha Bank semakin
memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya
permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta
pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasar prinsip
kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan”
antara lain pembatasan keputusan pemberian bonus
( t a n t i e m ) , pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau
kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
416
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pihak lain” yaitu pihak di
luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan
usaha lain, maupun individu yang memenuhi
persyaratan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad” yaitu upaya sebagai berikut:
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyamas)
atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 56
Pada dasarnya sanksi administratif dikenakan terhadap anggota
komisaris atau anggota direksi secara personal yang melakukan
kesalahan, tetapi tidak menutup kemungkinan sanksi administratif
417
dikenakan secara kolektif bila kesalahan itu dilakukan
secara kolektif.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
UUS yang telah memiliki izin usaha dalam ketentuan ini
yaitu UUS yang sudah ada berdasar izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah pada Bank Umum Konvensional.
418
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita NOMOR 4867
419
PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
Hukum Kewarisan
Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan
menentukan siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan
berapa bagiannya masing-masing.
Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan,
disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat
manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan
ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Ulahi. Aturan
hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan
kebutuhan warga dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu
system hukum kewarisan yang sempurna.
Sejarah Hukum Kewarisan Islam
Sejarah Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan
zaman Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat
dipaparkan sebagai berikut:
1. Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan
tatacara pembagian warisan dalam warga yang didasarkan
atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya
diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang
sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna
mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan
serta merampas harta peperangan.
2. Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena
dipandang tidak mampu memangui senjata guna mempertahankan
kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas
harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/
atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris
secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam
dengan turunnya Surat An Nisa’, Ayat 19 yang melarang
421
menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat
itu Allah SWT. Berfirman :
“H a i o r a n g - o r a n g y a n g b e r i m a n , t i d a k h a l a l b a g i k a m u
m e m p u s a k a i w a n i t a d e n g a n j a l a n p a k s a
3. Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan
dasar untuk saling mewarisi. bila salah seorang dari mereka
yang telah mengadakan peijanjian bersaudara itu meninggal dunia
maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar
1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah
sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi
berdasar janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
4. Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga
dijadikan dasar untuk saling mewarisi. bila anak angkat itu
telah dewasa maka ia memiliki hak untuk sepenuhnya mewarisi
harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan
pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.
5. Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke
Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara
Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan
hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin
dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.
6. Dari paparan itu di atas dapat disimpulkan bahwa dasar
untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah yaitu :
a. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan
b. Adanya pengangkatan anak
c. Adanya janji setia untuk bersaudara
Ketiga jenis ahli waris itu disyaratkan harus laki-laki dan
sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak
dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam
di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin
dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan
dasar untuk saling mewarisi.
7. Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya
pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah
inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang
ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan
yang harus ditaati oleh setiap muslim.
422
8. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat
mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian)
untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka
memiliki hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun
banyaknya menurut bagian yang ditetapkan untuknya dalam
Syari’at Islam. Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-Nya
dalam Surat An Nisa’ ayat 7, yang artinya sebagai berikut:
’ ’B a g i o r a n g l a k i - l a k i a d a h a k ( b a g i a n ) d a r i h a r t a
p e n i n g g a l a n i b u , b a p a k , d a n k e r a b a t n y a ; d a n b a g i o r a n g
p e r e m p u a n j u g a a d a h a k ( b a g i a n ) d a r i h a r t a p e n i n g g a l a n
i b u , b a p a k , d a n k e r a b a t n y a , b a i k s e d i k i t a t a u b a n y a k
m e n u r u t b a g i a n y a n g t e l a h d i t e t a p k a n ” .
Kemudian dalam ayat 11 Surat An Nisa’ itu pula Allah SWT.
Berfirman yang artinya:
’’A l l a h m e n s y a r i ’a t k a n b a g i m u t e n t a n g ( p e m b a g i a n p u s a k a
u n t u k ) a n a k - a n a k m u , y a i t u b a h w a b a g i a n s e o r a n g a n a k l a k i -
l a k i s a m a d e n g a n b a g i a n d u a o r a n g a n a k p e r e m p u a n ” .
9. Selanjutnya pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara
(janji setia) juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 6 Surat Al
Ahzab, yang artinya:
”..... d a n o r a n g - o r a n g y a n g m e m p u n y a i h u b u n g a n d a r a h
s e b a g i a n n y a a d a l a h l e b i h b e r h a k d a r i p a d a s e b a g i a n y a n g
l a i n d i d a l a m k i t a b A l l a h d a r i p a d a o r a n g - o r a n g m u k m i n d a n
o r a n g - o r a n g M u h a j i r i n , k e c u a l i k a l a u k a m u m a u b e r b u a t
b a i k k e p a d a s a u d a r a - s a u d a r a m u .....”
10. Kemudian mengenai kewarisan anak angkat juga dihapuskan
dengan turunnya Ayat 4 dan 5 Surat Al Ahzab, yang artinya :
”..... d a n T u h a n t i d a k m e n j a d i k a n a n a k - a n a k a n g k a t m u n
s e b a g a i a n a k k a n d u n g m u s e n d i r i . Y a n g d e m i k i a n i t u
h a n y a l a h p e r k a t a a n m u d i m u l u t m u s a j a . S e d a n g A l l a h
m e n g a t a k a n y a n g s e b e n a r n y a d a n m e n u n j u k k a n j a l a n ( y a n g
b e n a r ) . P a n g g i l l a h m e r e k a d e n g a n m e m a k a i n a m a - n a m a
a y a h n y a ( y a n g s e b e n a r n y a ) s e b a b y a n g d e m i k i a n i t u l e b i h
a d i l d i s i s i A l l a h . J i k a k a m u t i d a k m e n g e t a h u i a y a h n y a m a k a
( p a n g g i l l a h m e r e k a s e p e r t i m e m a n g g i l ) s a u d a r a - s a u d a r a m u
s e a g a m a d a n m a u l a - m a u l a m u ( y a k n i o r a n g - o r a n g y a n g
b e r a d a d i b a w a h p e m e l i h a r a a n m u ) "
423
Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula
bahwa:
”M u h a m m a d i t u s e k a l i - k a l i b u k a n l a h b a p a k d a r i s e o r a n g
l a k i - l a k i d i a n t a r a k a m u t e t a p i d i a a d a l a h R a s u l A l l a h d a n
p e n u t u p p a r a n a b i .
11. Sedang mengenai kewarisan berdasar persaudaraan karena
hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan
Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
Artinya:
’’T i d a k a d a k e w a j i b a n b e r h i j r a h l a g i s e t e l a h p e n a k l u k a n k o t a
M a k k a h ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang
dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara
Muhajirin dengan Anshor.
12. Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak
tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di
Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan
dengan ayat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan).
Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara
berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang
kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan
warga yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga
yang ersifat bilateral.
13. Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang dibangun
oleh syari’ah Islam yaitu sistem kekeluargaan yang bersifat
bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat warga
Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga
mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum
Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik
kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol itu telah
mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada
masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan
diajarkan kepada ummat Islam di negara kita . Ketidakseimbangan
telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang
di negara kita yaitu kukum keluarga yang bersifat bilateral,
sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal
424
sehingga hukum kewarisan patrilineal itu kurang mendapat
sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas
untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji
ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.
14. Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW.
Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia
menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi
pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.
15. Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing
merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum,
yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan
ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya.
Oleh karenanya kedua hukum itu harus memiliki sifat,
asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan
enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, bila
terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi
ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya
dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem
hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama
dengan Hukum Perkawinan.
16. Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun ada berbagai
Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini
terjadi karena faktor sejarah, tata kehidupan warga ,
pemikiran, ketaatan terhadap. syari’ah, dan sebagainya yang
berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum
kewarisan Islam di negara kita , dan juga menimbulkan disparitas
nya putusan Pengadilan Agama.
17. Disamping itu, corak kehidupan warga Arab yang bersifat
patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman
terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang
kita pelajari selama ini yaitu hukum kewarisan yang lebih
bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman warga
Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil
karena corak kehidupan warga kita yaitu bilateral,
sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal.
18. Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah
Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas
membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan,
termasuk disini yaitu Peradilan Agama.
19. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang
Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk
memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris
dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang
jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan
warga Islam negara kita yang bilateral semakin terasa
mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden
Nomor 1, tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
20. Menghadapi kenyataan tentang perkembangan hukum kewarisan
Islam di negara kita , KH. Ali Darokah mengatakan bahwa :
’ ’W a l h a s i l , h u k u m f a r a i d y a n g a d a p e r l u d i b i n a l a g i , t e r u t a m a
u n t u k I n d o n e s i a , d e n g a n h u k u m f a r a i d k o n k r i t y a n g d a p a t
m e n c a k u p s o a l - s o a l p e n t i n g y a n g b e r k a i t d e n g a n f a r a i d , d a n
m e n c a k u p p e t u n j u k a y a t - a y a t A l Q u r ’a n d a n A l H a d i t s y a n g t e l a h
d i p o t o n g o l e h s e b a g i a n u l a m a f i q i h . B i l a p e m b i n a a n i t u b e r h a s i l ,
I n s y a A l l a h p e r s e n g k e t a a n k i t a d a p a t t e r s e l e s a i k a n . ”
Untuk menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan dalam ilmu
fiqih dengan rasa keadilan warga islam maka perlu diadakan kaji ulang
terhadap hukum kewarisan Islam yang ada dan mengembalikannya kepada
sumber aslinya, yaitu Al Qur’an dan As Sunah. Untuk itu, diluncurkanlah
gagasan tentang reaktualisasi Hukum Islam yang kemudian hasilnya
dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini.
HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA
Dalam peradilan atau dalam hukum negara kita juga ada hukum
waris adat. Selama ini, khususnya sebelum munculnya UU No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama memang sering terjadi kerancuan. Bagi umat
muslim mau membagi warisannya secara apa. Jika ia mau membagi
menurut hukum Islam bagaimana, jika ia mau membagi secara hukum adat
atau perdata bagaimana. Artinya, sebelum keluarnya UU Pengadilan Agama
masing-masing orang memiliki pilihan atau opsi dengan cara apa ia akan
membagi warisannya. Misalnya yang beragama islam bisa saja tidak
mengambil secara waris Islam tapi bisa ke waris perdata. Jadi sebelum
keluarnya UU Pengadilan Agama, mantan wapres (Adam Malik) juga
pemah menyelesaikan kasus waris itu ke pengadilan negeri.
Kemudian apa yang menjadi perbedaan antara masing-masing itu? yang
jelas dalam waris Islam bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan.
sedang dalam hukum waris perdata bagian perempuan seimbang atau
sama rata dengan bagian laki-laki. Namun demikian dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) juga ditegaskan bahwa bila kata sepakat atau
musyawarah antara para ahli waris maka warisan bisa dibagi secara sama
rata.
Setelah adanya UU Pengadilan Agama hak opsi itu ditegaskan bahwa
bagi mereka yang beragama Islam patuh dan tunduk pada hukum Islam,
pembagian warisnya harus secara Islam dan jika timbul sengketa harus
diselesaikan di Pengadilan Agama. Perbedaan lainnya yaitu bahwa dalam
waris Islam ada unsur ta'abudi atau ibadah, karena dilaksanakan
berdasar hukum agama atau taat kepada hukum-hukum yang diturunkan
oleh Al-qur'an dan hadis.
Dalam hukum waris Islam dikenal juga adanya mahjub (tertutupnya
ahli waris). Bukan terhalang, tapi tertutup. Misalnya seorang cucu tidak bisa
mendapat warisan jika ada anak. Kemudian kakek juga tidak dapat warisan
kalau bapaknya masih ada.
Jadi dalam hukum waris Islam dikenal ashabul furud, yaitu mereka
yang berhak menerima bagian waris secara mutlak atau tidak akan tertutup
oleh siapapun juga. Ashabul furud ini pertama kali yaitu suami atau istri
yang ditinggal mati oleh istri atau suaminya. Suami atau istri ini mutlak
mendapat harta warisan pewaris (pihak yang meninggal) dan tidak bisa
terhalang oleh siapapun juga. Namun bila si pewaris memiliki anak,
maka anak-anaknya (baik yang perempuan dan laki-laki) juga mendapat
warisan itu.
Kalau yang meninggal yaitu istri dan tidak memiliki anak, maka si
suami mendapat separuh dari harta warisan, sedang jika punya anak si
suami mendapat V4. Kalau yang meninggal yaitu suami dan tidak memiliki
anak, maka si istri mendapat V4 dari harta warisan pewaris, sedang jika
punya anak maka si istri mendapat V8. Kalau orang tua pewaris masih hidup,
maka bapak dan ibu pewaris juga mendapat harta warisan dan tidak bisa
tertutup oleh siapapun juga. Jadi ada ashabul furud yang ke atas (yaitu orang
tua), menyamping (yaitu suami atau istri) dan ke bawah (yaitu anak).
Saudara kandung (kakak atau adik) pewaris bisa saja mendapat warisan jika
pewaris tidak memiliki anak.
Dalam hukum syar'i Islam ini juga diatur masalah rumah tangga mulai
dari seseorang belum lahir sampai meninggal. Begitu pula masalah harta-
harta itu sendiri. Contohnya setelah dia menikah dan kemudian bercerai itu
kan ada ketentuan mengenai harta bersama yang dipilah dengan harta
bawaan. Begitu juga ketika seseorang meninggal, maka disitu dikenal juga
harta peninggalan dan harta warisan. Dalam bab 1 Pasal 171 poin d KHI
disebutkan harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris,
baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Hak-hak ini misalnya hak cipta atau hak kekayaan intelektual.
Kemudian di KHI juga dijelaskan mengenai harta warisan, yaitu harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah dipakai untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Pemberian untuk
kerabat ini yang mungkin akan kita bahas lagi lebih lanjut yaitu masalah
wasiat.
Jadi harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris,
sedang harta warisan mumi yaitu harta bawaan ditambah harta bersama
dari suami atau istrinya setelah dipilah dan dikurangi biaya pengurusan
waktu dia sakit (jika memang sakit), meninggal, mengubur, membayar
hutang (jika punya hutang) dan wasiat, bila punya wasiat dipilah juga
wasiatnya. Harta warisan mumi inilah yang nantinya akan dibagi-bagi
kepada ahli waris. Bisa juga terjadi dimana harta warisan mumi justru
kurang, sehingga ahli waris yang hams menanggung semua biaya-biaya
yang tadi. Dalam surat An Nisa ayat 11 dikatakan bahwa Allah berwasiat
kepada kamu untuk membagi warisan sesuai dengan syariat setelah dihitung
wasiatnya (dipilah wasiatnya) dan diselesaikan hutang-piutangnya. Jadi
kalau ada hutang piutang nanti kita lihat hartanya berapa, hutangnya berapa.
Kalau memang defisit atau minus itulah yang harus ditanggung bersama
sesuai kesepakatan musyawarah.
bila harta peninggalan itu memang ada ahli warisnya maka ahli
warisnya itu tetap dibagi, karena harta peninggalan itu yaitu harta secara
umum. sedang harta warisan mumi yaitu harta yang sudah dibersihkan
dari segala umsan yang tadi.
sedang untuk wasiat dalam hukum waris perdata barat dikenal
dengan testamen. Wasiat itu hams dibagi setelah pemberi wasiat meninggal.
Wasiat ada yang tertutup dan terbuka dan bisa diberikan kepada siapa saja.
Wasiat berbeda dengan hibah, karena kalau hibah boleh dilaksanakan selama
si pemberi masih hidup, sedang wasiat baru boleh dilaksanakan setelah
pemberi wasiat meninggal. Wasiat ini bisa dilakukan secara lisan atau
tertulis dan dilakukan terhadap harta yang dimiliki secara sempurna, artinya
bukan harta dalam sengketa. Misalnya seorang bapak mewasiatkan sebidang
tanah yang memang dia punya kepada anaknya. Wasiat juga tidak boleh
lebih dari V3 harta warisan. Wasiat akan diperhitungkan sebagai bagian dari
warisan kalau dia lebih dari V3 . Anak laki-laki langsung mendapat bagian
asshobah atau sisa harta. Wasiat juga hams disaksikan oleh dua orang saksi
dan hams secara otentik dicatatkan di kantor notaris. Dalam Al-qur'an
disebutkan bahwa "bila seseorang menjelang ajal atau sedang dalam
bepergian jauh hendaknya dia membuat wasiat kepada keluarganya." Oleh
karena kita wajib berwasiat kepada keluarga kita bila kita mau pergi
jauh.
Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana
sebelumnya dia Memberi hibah ke anaknya yang pertama. Tetapi dua
orang anaknya yang lain tidak diberi hibah. Maka selama hibah itu diberikan
kepada ahli waris itu akan diperhitungkan sebagai bagian warisan. Namun
kalau hibah itu diberikan kepada yang bukan ahli waris akan dilihat
bagaimana hibah itu dilaksanakan, sah atau tidak? otentik atau tidak? karena
hibah juga ada yang di bawah tangan. Kalau hibah itu tidak sah maka
pemberian hibahnya bisa ditarik dengan cara pembatalan hibah. Namun kita
juga perlu melihat unsur keadilannya juga, Kalau semua harta diberikan
kepada anak angkat atau menantu kesayangan dimana mereka itu
sebenarnya bukan ahli waris, maka perlu dilihat apakah hibah itu disetujui
oleh ahli waris yang lainnya.
Hibah itu setidaknya memerlukan bukti otentik berupa akta yang
memperkuat bahwasanya itu yaitu hibah yang telah menjadi hak milik
seseorang ya. Tapi sekarang ini banyak terjadi, dimana hibah hanya
dilakukan secara lisan, sehingga beberapa tahun sesudah pemberi hibah
meninggal timbul permasalahan. Menghadapi hal yang seperti ini faktor
yang diutamakan yaitu pengakuan dari yang menerima hibah dan bukti
bukti lainnya, seperti surat, catatan, bukti awal dan kesaksian dua orang
saksi. yaitu tugas pengadilan untuk membuktikan apakah hibah itu sah
atau tidak.
Waris dapat menyebabkan konflik bila ada anak diluar nikah.
Untuk itu, maka anak hasil perkawinan memiliki kedudukan lebih kuat,
karena untuk membuktikan adanya hubungan darah harus dengan bukti yang
sah/otentik bahwa kedua orang tua mereka menikah secara sah dan
dicatatkan pada petugas pencatat perkawinan. Selanjutnya, anak luar kawin
tidak mendapat warisan dari ayahnya, hanya mendapat warisan dari si ibu.
Untuk suatu keadaan dimana seorang istri yang sedang hamil dan
kemudian suaminya meninggal, juga terkadang menimbulkan permasalahan
tersendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah si anak yang dikandung ini
bisa terhitung sebagai ahli waris? Pada dasaranya ahli waris yaitu orang
yang ada pada waktu si pewaris meninggal atau wafat. Timbul satu
pengembangan, bagaimana jika ahli waris meninggal sebelum si pewaris
meninggal? bila si anak lahir bertepatan dengan meninggalnya suami itu
perlu diperhitungkan sebagai bagian anak laki-laki. Namun bila kembali
kepada kaidah hukum atau norma, ahli waris yaitu orang yang ada pada
waktu si pewaris wafat. Artinya kalau anak itu lahir setelah ayahnya
meninggal atau ketika ayahnya meninggal si anak masih dalam kandungan
maka ia tidak menjadi ahli waris.
Hal ini berbeda dengan hukum perdata. Menurut pasal 2 KUHPerdata,
dinyatakan bahwa anak yang sedang dalam berada dalam kandungan
merupakan subyek hukum. Sehingga dengan demikian, bayi dalam
kandungan pun memiliki hak mewaris. Dalam fikih juga ada pendapat
demikian. Jadi tadi sudah saya katakan secara sepintas bahwa anak itu
dihitung sebagai anak laki-laki. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa itu tidak bisa, karena si anak itu tidak ada/wujudnya belum ada
waktu si pewaris meninggal. Sehingga dengan demikian, bila si anak
itu lahir, maka dia tetap akan mendapat warisan, namun hanya dari
ibunya.
ada juga suatu kasus dimana dalam sebuah keluarga ada
delapan orang bersaudara. Sebelum ayah mereka meninggal kedelapan anak
sudah menandatangani surat hibah sebuah rumah untuk kakak yang tertua.
Tetapi kakak yang tertua yaitu anak diluar nikah dan sekarang ia ingin
menjual rumah hibah itu . Dalam kasus ini timbul pertanyaan apakah
kedelapan anak itu masih punya hak untuk mendapat bagian ?
Dalam kasus ini jika memang timbul sengketa maka pengadilan akan
melihat bagaimana proses hibah itu berlangsung, sah atau tidak? Disetujui
atau tidak oleh ahli waris. Bisa aja yang satu setuju tetapi ketujuh yang lain
tidak. Atau yang bertujuh setuju tetapi yang satu tidak. Kalau demikian
halnya artinya hibah itu artinya bermasalah, karena tidak disetujui oleh
semua ahli waris. Seperti tadi sudah saya jelaskan bahwa wasiat tidak boleh
dari V3 harta waris. Kemudian kalau pihak yang menerima hibah yaitu
anak diluar nikah berarti dia bukan sebagai ahli waris dan dengan demikian
tidak masuk dalam hitungan ahli waris.
Namun bila sang anak luar nikah itu sudah diakui oleh ayah maka
hibah itu tidak akan menjadi masalah. Kalau kasus seperti ini teijadi maka
pengadilan akan melihat dan akan menghitung kembali siapa ahli warisnya.
Ahli waris itu yang delapan bersaudara itu diluar kakak yang diluar nikah
itu. Si kakak yang diluar nikah itu tentu akan kita hitung wasiatnya
berdasar persetujuan semuanya dan tidak boleh dari V3. Artinya di bawah
V3 boleh.
Jika harta hibahnya itu mau dijual oleh kakak yang diluar nikah tadi,
maka para adik tentunya harus tetap mendapat bagian dari penjualan hibah
itu karena hibah itu merupakan harta warisan. Bagaimana kalau
sudah terlanjur dijual ? tentunya ini akan menjadi sengketa masalah harta.
Kalau sengketa masalah harta teijadi dan sudah melibatkan pihak ketiga
(yaitu pembeli) maka kasus itu dikembalikan kepada pengadilan negeri dulu
untuk diselesaikan. Persoalannya kita bagi dulu sesuai bagian laki-laki dan
perempuan dan yang satu itu dihitung sebagai wasiat. Artinya yang si kakak
luar nikah itu dihitung sebagai wasiat, dan bukan ahli waris dengan dengan
syarat tidak boleh lebih dari V3 harta, tetapi dibawah V3 juga boleh. Nanti
pengadilan akan melihat apakah dia dipersamakan. Kalau dia dipersamakan
dengan perempuan ya dihitung bagian perempuan, begitu juga sebaliknya.
bila hibahnya tidak ditandatangani oleh pemberi hibah akan
menimbulkan permasalahan lagi, apakah hibahnya dianggap sah atau tidak.
Yang jelas kalau secara hukum tidak sah, karena si pemberi hibah tidak
memberi tanda tangan, dan ini bisa digugat oleh mereka yang bersaudara itu.
Kecuali ada pengakuan seluruhnya mengakui bahwa sudah teijadi hibah,
terlepas ada atau tidaknya tanda tangan itu. Tanda tangan itu kan otentik ya
(tertulis). Kalau lisan kan apa yang perlu ditanda tangan. Kalau hibah secara
lisan ya tidak apa-apa tidak ada tanda tangan. sedang dalam hukum
perdata barat, anak diluar nikah jelas diakui atau bisa diakui.
ada lagi satu kasus dimana seorang istri yang menikah di bawah
tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Sebelumnya
suaminya itu telah memiliki seorang istri, namun tidak memiliki anak,
sehingga istri pertamanya itu mengangkat seorang anak tetangga sebagai
anaknya. Sebelum suami meninggal, ia pernah berpesan agar jika dirinya
meninggal, maka sang istri dapat meminta hak warisnya kepada ibunya.
Setelah suami itu meninggal si istri meminta hak warisnya kepada ibu
mertuanya. Namun si ibu mertua ini tidak mau Memberi sekarang,
melainkan nanti jika si anak sudah besar. Padahal anak-anak dan si istri yang
di bawah tangan ini memerlukan biaya pendidikan sejak kecil.
Kasus ini cukup rumit, karena menikah dibawah tangan, maka
pembuktiannya menjadi kurang kuat. Untuk itu, maka sang istri untuk itu si
istri yang menikah di bawah tangan ini harus meminta itsbat nikah dulu ke
pengadilan agama, agar perkawinannya dengan suaminya itu (pewaris)
tercatat. Hal ini untuk mencegah alibi mertuanya yang mengatakan bahwa
perkawinan mereka tidak sah atau tidak kuat karena hanya dibawah tangan.
Setelah memperoleh itsbat nikah baru kemudian dia dapat menggugat
mertuanya ke pengadilan agama agar harta warisan suaminya segera dibagi.
Walaupun pada dasarnya harta warisan itu tidak harus segera dibagi tetapi
juga tidak harus ditunda pembagiannya. Pada pokoknya kalau memang ada
itsbat nikah atau buku nikah maka itu akan kita perhitungkan sebagai ahli
waris. Namun demikian pengadilan akan tetap melihat asas-asas keadilan.
Dalam persoalan anak yang masih kecil yang mendapat harta warisan,
dalam Al-qur'an dikatakan bahwa hendaklah dijaga harta anak yatim dan
jangan sampai harta anak yatim itu termakan oleh orang yang menjadi
pelindungnya. Makanya seorang ibu yang punya anak, kemudian ada bagian
harta warisan unutk anaknya itu harus dijaga agar jangan sampai terjual
apalagi berpindah tangan, kecuali untuk kepentingan anak itu sendiri,
misalnya untuk sekolahnya, kesehatannya.
bila seseorang bercerai dia tidak mendapat harta warisan karena
harta warisan itu hanya dalam ikatan perkawinan. Tapi untuk anak-anak dari
orang tua yang bercerai mereka tetap mendapat warisan.
Di pengadilan agama ada pertolongan pembagian harta
peninggalan (P3HP) yang membantu pengurusan harta warisan muslim yang
tidak ada sengketa. Artinya ahli waris sudah sepakat membagi harta warisan
secara tertulis, ada surat-suratnya dan ahli waris mengajukan permohonan
pembagian harta warisan di pengadilan agama melalui jalur P3HP.
Kemudian jika timbul sengketa dalam hal pembagian warisan, maka
hal itu diselesaikan melalui gugatan di pengadilan agama (bagi yang
beragama Islam) dan pengadilan negeri (bagi yang non muslim).
Kemudian bila misalnya dari objek harta warisan dijual oleh ahli
waris, tapi tidak semua ahli waris mengetahui bahwa harta warisan itu dijual
bagaimana? Kalau itu merupakan bagian dari harta warisan harus
dikompensasi. Berapa bagian yang sudah dijual dan berapa bagian
kompensasinya. Ahli waris yang tidak mengetahui ini juga dapat menuntut
secara pidana (tindak pidana penipuan) ahli waris yang lainnya sehingga
timbul sengketa hak. Menurut Pasal 49 dan 50 UU Peradilan Agama
sengketa hak itu harus diselesaikan di pengadilan negeri dulu. Pengadilan
Agama hanya sebatas menentukan siapa ahli waris, berapa bagian ahli waris
dan eksekusi harta waris. Kalau sudah menyangkut sengketa harta maka
Pengadilan Agama akan meminta bantuan dari pengadilan negeri dulu untuk
memutus sengketa itu .
bila si pewaris melakukan poligami, bila dia tidak punya anak
maka bagian istri yaitu V4. Tapi kalau suami istri itu punya anak maka
bagiannya V8. Jumlah V8 ini bukan untuk masing-masing istri (pertama,
kedua, dst) V8. Kalau seperti ini berarti jumlahnya sudah 4/8. Jadi sisanya
hanya tinggal 4/8 atau separuhnya. Yang betul jumlah V8 itu dibagi 4 (kalau
istrinya 4). Untuk bagian anak-anaknya dihitung dari 4 orang istri itu berapa
semua anaknya. Kalau anaknya 10 laki perempuan, berarti 7/8 dibagi 10 buat
anak-anaknya. Dengan perhitungan anak laki-laki 2 bagian dibandingkan anak
perempuan.
HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DAN
PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DI negara kita
A. HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DI negara kita
Membicarakan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di
negara kita , tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu umat Islam. Umat
Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok warga yang mendapat
legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di negara kita . Oleh
karena itu, umat Islam tidak dapat diceraipisahkan dengan hukum Islam
yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di negara kita bila
dilihat dari aspek perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita ), yaitu para
pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam
dalam negara negara kita merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para
pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara
berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen,
tujuh kata itu dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian
diganti dengan kata "Yang Maha Esa".
Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti 'yang dikutip
oleh muridnya (H. Mohammad Daud AH) mengandung norma dan garis
hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa negara
Republik negara kita berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu
hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut:
1. Dalam negara Republik negara kita tidak boleh terjadi atau berlaku
sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam bagi umat
Islam, kaidah agama Nasrani, atau agama Hindu-Bali bagi orang-orang
Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha
bagi orang Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik
negara kita ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang
bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan
bangsa negara kita .
2. Negara Republik negara kita wajib menjalankan syariat Islam bagi orang
Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi
orang Hindu-Bali. Sekadar menjalankan syariat itu memerlukan
perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua yaitu
negara Republik negara kita wajib menjalankan dalam pengertian
menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut
oleh bangsa negara kita dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum
agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara
negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan
syariat yang dipeluk oleh bangsa negara kita untuk kepentingan pemeluk
agama bersangkutan. Syariat yang berasal dari agama Islam misalnya,
yang disebut syariat Islam, tidak hanya memuat hukum salat, zakat,
puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum dunia baik
keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara
untuk menjalankannya secara sempurna. Misalnya, hukum harta
kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyeleng
garaan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum
pidana (Islam) seperti zina, pencurian, dan pembunuhan. Hal ini
memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan
Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara
dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat yang berasal dari
agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga negara
Republik negara kita .
3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk
menjalankannya. Oleh karena itu, dapat dijalankan sendiri oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi
terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut
agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari Suatu
agama yang diakui di negara Republik negara kita yang dapat dijalankan
sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya
hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada
umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan
pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan
agamanya masing-masing
Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu
perlu dikemukakan hal-hal berikut ini: (a) Dr. Muhammad Hatta (almarhum)
ketika menjelaskan arti perkataan "kepercayaan" yang termuat dalam ayat
(2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan
kepercayaan dalam pasal itu yaitu kepercayaan agama. Kuncinya
yaitu perkataan itu yang ada di ujung ayat (2) Pasal 29 dimaksud, Kata
"itu" menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan
itu . Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan
ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab Agama
Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai dengan keterangan H. Agus
Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan
Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada seorang pun di antara kami yang
ragu-ragu bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu yaitu aqidah,
kepercayaan agama . . . ; (b) ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1)
Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 Tahun 1959
dahulu, pemerintah Republik negara kita menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29
UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan;
(c) pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum
dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam
mewujudkan keadilan dalam Negara Republik negara kita . Menurut Pasal 4
Undang-Undang No. 4 Tahun 1970 peradilan di negara kita harus dilakukan
demi keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa (sekarang Pasal 4
ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004)
berdasar uraian dan penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa
hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara
Republik negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian
dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Undang-Undang Republik negara kita Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat dan beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan
hukum Islam. Demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang
menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di
negara kita . Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma hukum yang
tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu, keberlakuan dan
kekuatan hukum Islam secara ketatanegaraan di negara Republik negara kita
yaitu Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.
B. HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
bila membicarakan hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional, perlu diungkapkan produk pemikiran hukum Islam dalam sejarah
perilaku umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam di negara kita , seiring
pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu (1) syariah, (2) fikih, (3) fatwa
ulama/hakim, (4) keputusan pengadilan, dan (5) perundang-undangan. Hal
itu akan diuraikan sebagai berikut..
1. Syariah
Syariah atau yang biasa disebut I s l a m i c L a w dalam bahasa Inggris
seperti yang telah diuraikan yaitu hukum Islam yang tidak mengalami
perubahan sepanjang zaman dan mengikat pada setiap umat Islam. Namun,
ikatan dimaksud, didasari oleh aqidah dan akhlak Islam. Oleh karena itu,
syariah yaitu jalan hidup yang wajib ditempuh oleh setiap muslim. Syariah
memuat ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan
maupun berupa suruhan, la meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia, baik yang berhubungan dengan manusia kepada Tuhan-Nya,
manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan
kehidupannya. Namun, perlu diungkapkan bahwa hukum Islam dalam
pengertian ini seperti yang telah diuraikan bahwa ada yang dapat
dilaksanakan secara perorangan, per kelompok, dan ada yang memerlukan
bantuan alat negara dalam penerapannya.
2. Fikih (Fiqh)
Fikih seperti yang telah diuraikan yaitu hukum Islam yang
berdasar pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat,
nash Alquran dan/ atau hadis Nabi Muhammad. Hukum Islam dimaksud,
sudah diamalkan oleh umat Islam negara kita sejak orang negara kita memeluk
agama Islam. Namun, tingkat pengamalan hukum dimaksud didasari oleh
keimanan setiap orang Islam sehingga ditemukan pengamalan hukum itu
bervariasi pada setiap suku dan tempat.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu puncak pemikiran f i q h di
negara kita . Hal dimaksud, didasari oleh keterlibatan para ulama,
cendekiawan tokoh warga (tokoh agama dan tokoh adat) dalam
menentukan hukum Islam dalam hal perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
dan wakaf. KHI dimaksud, secara formal disahkan oleh Presiden tanggal 10
Juni 1991 melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Instruksi
dimaksud ditindaklanjuti tanggal 22 Juli 1991 oleh Menteri Agama RI
melalui Keputusannya Nomor 154 Tahun 1991, kemudian disebarluaskan
melalui Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
Nomor 3694/EV/HK. 003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991. Oleh karena itu, patut
dianggap sebagai i j m a ' ulama/ijtihad kolektif warga negara kita atau f i q h
ala negara kita (istilah Hazairin). KHI sebagai i j m a ' ulama negara kita diakui
keberadaannya dan diharapkan dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam
negara kita dalam menjawab setiap persoalan hukum yang muncul baik
penyelesaian kasus sengketa melalui musyawarah di dalam warga
maupun melalui lembaga di Peradilan Agama.
3. Fatwa
Hukum Islam yang berbentuk fatwa yaitu hukum Islam yang
dijadikan jawaban oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan
yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh Fatwa Majelis Ulama negara kita
mengenai larangan Natal Bersama antara orang Kristen dengan orang Islam.
Fatwa dimaksud, bersifat kasuistis dan tidak memiliki daya ikat secara
yuridis formal terhadap peminta fatwa. Namun, fatwa mengenai larangan
Natal bersama dimaksud secara yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh
umat Islam di negara kita . Oleh karena itu, fatwa pada umumnya cenderung
bersifat dinamis terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat
Islam.
4. Keputusan Pengadilan Agama
Hukum Islam yang berbentuk keputusan Pengadilan Agama yaitu
keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya
permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih
dan/atau lembaga kepadanya. Keputusan dimaksud, bersifat mengikat
kepada pihak-pihak yang beperkara. Selain itu, keputusan pengadilan agama
dapat bernilai sebagai yurisprudensi ( j u r i s p r u d e n c e ) , yang dalam kasus
tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.
5. Perundang-undangan negara kita
Hukum Islam dalani bentuk perundang-undangan di negara kita yaitu
yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya
lebih luas. Oleh karena itu, sebagai peraturan organik, terkadang tidak elastis
mengantisipasi tuntutan zaman dan perubahan. Sebagai contoh Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang itu
memuat hukum Islam dan mengikat kepada setiap warga negara Republik
negara kita (Zainuddin Ali, 2001:136-138).
439
440
GAMBARAN UMUM TENTANG
PERADILAN AGAMA DAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM
A. SKETSA PERADILAN AGAMA
Proses terbentuknya Peradilan Agama di negara kita diketahui melalui
teori yang dikemukakan oleh Al-Malbari dalam bukunya yang berjudul
F a t h u l M u ' in seperti yang dikutip oleh Zaini Ahmad Noeh, yaitu melalui
tiga bentuk. P e r t a m a , bentuk t a h k i m , berlaku pada zaman permulaan Islam
yakni pada saat terbentuknya warga Islam, sehingga orang-orang yang
bersengketa atas kesepakatan bersama mendatangi ahli agama untuk
meminta jasanya dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. K e d u a ,
bentuk t a u l i y a h dari a h l u l h a l l i w a l - a q d i , berlaku ketika agama Islam
berkembang di nusantara ini yang ditandai dengan munculnya komunitas
Islam di berbagai wilayah. Di antara mereka ada elite yang tampil atau
ditampilkan sebagai pemegang wibawa dan kekuasaan, baik bersifat
rohaniah maupun politis dalam pengertian sederhana. Kelompok elite inilah
yang pada masa itu berwenang menunjuk figur tertentu untuk
menyelenggarakan urusan Peradilan Agama. K e t i g a , bentuk t a u l i y a h dari
imam sebagai kepala negara, berlaku ketika kerajaan Islam berdiri di
nusantara ini; lebih jelas lagi dengan keberadaan instansi yang mengurus
kepentingan beragama kaum muslimin. Oleh karena itu, secara administratif,
baik keberadaan Peradilan Agama maupun produk hukumnya menjadi lebih
valid dan memiliki legitimatif (pembenaran). Sejak itu lembaga Peradilan
Agama telah mengambil bentuk formal dan konkret (Zaini Ahmad Noeh,
1980:17).
Ahmad Noeh mengemukakan ketiga wajah dimaksud, pertama wajah
Tahkim, yaitu Lembaga Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana
berupa tahkim telah lama ada dalam warga negara kita , yakni sejak
agama Islam datang di nusantara ini. Tahkim'inilah yang menjadi embrio
lahirnya Peradilan Agama, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar
penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah (terutama) dalam
melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang merupakan
rangkaian kesatuan dengan komponen ajaran agama Islam lainnya.
Peradilan Agama yang sudah ada sebelum datang kekuasaan kolonial di
negara kita itulah yang dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura
tahun 1882, di sebagian besar keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur
441
1937 dan di luar kedua wilayah itu tahun 1957 dengan peraturan perundang-
undangan pembentukannya (Zaini Ahmad Noeh, 1980: 17).
Pengadilan Agama sebagaimana keadaannya dari tahun ke tahun
dibentuk dalam suasana yang berbeda. Pengadilan Agama di Jawa, Madura,
dan di sebagian bekas keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, lahir dan
tumbuh dalam suasana kolonial, sedang Pengadilan Agama di luar daerah itu
lahir dan tumbuh dalam suasana kemerdekaan. Perbedaan suasana
pembentukan, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menyebabkan
perbedaan nama dan perbedaan kewenangannya. Perbedaan penyebutan
nama telah diseragamkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara lebih
tegas dicantumkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 1970
dengan sebutan Pengadilan Agama untuk seluruh wilayah negara kita .
sedang perbedaan kewenangan Pengadilan Agama disamakan oleh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
' Perbedaan kewenangan Pengadilan Agama yang berlaku di Jawa dan
Madura dari Peradilan Agama di luar wilayah itu yaitu terletak tugas pokok
di bidang hukum perkawinan; sedang Peradilan Agama di luar wilayah
memiliki tugas pokok di bidang hukum perkawinan dan hukum
kewarisan. Perbedaan wewenang Peradilan Agama menurut Hazairin tidak
memiliki dasar hukum, karena tidak ada perbedaan esensial dalam jiwa
keislaman antara orang Jawa dengan orang luar Jawa. Itulah satu-satunya
yang dapat diungkapkan sebagai penyebab perbedaan itu: Sekitar tahun
1930-an pihak Belanda selaras dengan teori resepsinya, melihat keadaan di
Jawa itu yakni hukum faraid belum dapat diterima oleh orang desa, apalagi
hukum adat di Jawa ini khas di bidang kewarisan "lebih adil" katanya jika
dibandingkan dengan hukum faraid yang mengutamakan pihak laki-laki
lebih dibandingkan pihak perempuan (Hazairin, 1985: 32).
Selain itu, Hazairin berpendapat bahwa kesalahan yang diperbuat oleh
pembuat PP No. 45 Tahun 1957 pada Peradilan Agama di luar Jawa dan
Madura haruslah segera diperbaiki karena tidak ada dasarnya untuk
meletakkan syarat bagi Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura bahwa
hukum Islam mestilah telah menjadi hukum (adat) yang berlaku. Nyatalah
bahwa pada tahun 1957 pembuat PP No. 45 Tahun 1957 masih dipengaruhi
oleh politik Belanda yang bernama teori r e c e p t i e (Hazairin, 1985: 32).
Namun, kesalahan pada tahun 1930-an dan kesalahan pada PP No. 45 Tahun
1957 yang membedakan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
dari Peradilan di luar kedua wilayah itu bam dapat diperbaiki melalui Pasal
49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
442
Selain kekuasaan Peradilan Agama yang berbeda, pengadilan agama itu
dalam susunannya tidak ada juru sita, sehingga tidak mampu
menjalankan keputusannya. Namun, upaya untuk mengendalikan Pengadilan
Agama itu, tetap berlanjut dinyatakan dalam Pasal 63 ayat (2) bahwa setiap
keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum atau
Pengadilan Negeri (H. Mohammad Daud Ali, 1991:253).
B. PERADILAN AGAMA DI negara kita
Peradilan agama yaitu proses pemberian keadilan berdasar hukum
Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan
Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di negara kita .
Selain itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman dalam negara Republik negara kita . Lembaga peradilan dimaksud,
memiliki kedudukan yang sama, sederajat dengan kewenangan yang
berbeda.
Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang
sederhana berupa t a h k i m , yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-
orang yang beragama Islam yang dilakukan oleh para ahli agama Islam. Hal
ini, ada di zaman penjajahan Belanda, bahkan sebelum adanya penjajahan di
negara kita .
Sejak rancangan Undang-Undang Peradilan Agama disahkan tanggal
29 Desember 1989 oleh Presiden Republik negara kita menjadi Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diundangkan pada
tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam
Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan peristiwa
penting yang bukan hanya pembangunan perangkat hukum nasional,
melainkan juga bagi umat Islam negara kita . Sebabnya yaitu Peradilan
Agama menjadi lebih mantap kedudukannya sebagai salah satu badan
pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di negara kita ; menegakkan
hukum Islam bagi pencari keadilan, utamanya bagi mereka yang beragama
Islam berkenaan dengan perkara keperdataan di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, dan sedekah. Dengan undang-undang ini, pemeluk
agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk negara kita diberi
kesempatan untuk menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran
agaraanya sesuai dengan jiwa Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan
diundangkan itu terdiri atas 7 bab, 108 pasal dengan sistematika dan garis-
443
garis besar isinya, yaitu (1) Bab I tentang ketentuan umum. Hal ini mengatur
di antaranya: Peradilan Agama yaitu peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam, terdiri atas (a) Pengadilan Agama sebagai pengadilan
tingkat pertama, dan (b) Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan
tingkat banding. Kedua-duanya merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
dimaksud, Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibukota
kabupaten, sedang Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota
provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah Agung, di bawah
pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung di bidang Lingkungan Peradilan
Agama. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya seperti halnya
dengan badan peradilan lain, dilakukan oleh Departemen Teknis, yaitu
Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama; (2) Bab II sampai
dengan Bab III mengatur susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, di
antaranya disebutkan bahwa bagian pertama atau bagian umum menyebut
susunan Pengadilan Agama yang terdiri atas pimpinan, yaitu seorang ketua
dan seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita.
Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri atas pimpinan, yaitu seorang
ketua dan seorang wakil ketua, hakim tinggi; (3) Bab IV mengatur hukum
acara Peradilan Agama; (4) Bab V mengatur tentang ketentuan-ketentuan
lain; (5) Bab VI mengatur tentang ketentuan peralihan; (6) Bab VII tentang
penutup (sekarang ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama).
C. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DAN PERANNYA
Ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai (Aceh, dekat
Lhokseumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia mengagumi
perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al-
Malik Al-Zahir pada diskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih.
Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja,
Al-Malik Al-Zahir, yang menjadi Sultan Pasai ketika itu, yaitu juga
seorang fuqaha yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di Kerajaan
Pasai pada waktu itu yaitu hukum Islam mazhab Syafi'i. Menurut Hamka,
dari Pasailah disebarkan paham Syafi'i ke kerajaan Islam lainnya di
negara kita . Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500) para
ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata
putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam
warga ,
Dalam proses Islamisasi kepulauan negara kita yang dilakukan oleh para
saudagar melalui perdagangan dan perkawinan hukum Islam memiliki
peran yang amat besar. Misalnya, ketika seorang saudagar hendak menikah
dengan seorang pribumi, maka wanita itu diislamkan lebih dahulu dan
pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam.
Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan
antaranggotanya dengan kaidah hukum Islam atau kaidah lama yang
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang suami istri
meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan
Islam. Jika ada sengketa di antara mereka, sengketa itu diselesaikan oleh
h a k a m melalui t a h k i m kepada m u h a k k a m yang merupakan asal usul
Peradilan Agama atau bentuk Peradilan Agama pada permulaan
perkembangan agama Islam di nusantara ini. Pembentukan keluarga yang
kemudian berkembang menjadi warga Islam yang baru memerlukan
pengajaran agama baik untuk anak-anak maupun untuk orang yang telah
dewasa. Secara tradisional, biasanya pelajaran agama yang diajarkan pada
waktu itu yaitu (1) ilmu kalam, (2) ilmu fikih, dan (3) ilmu tasawwuf
(mistik). Dengan sistem pendidikan dan perkawinan yang demikian,
menyebarlah ajaran agama Islam ke seluruh kepulauan negara kita secara
damai,
Setelah agama Islam berakar dalam warga , peran saudagar dalam
menyebarkan ajaran Islam digantikan oleh para ulama sebagai guru dan
pengawal hukum Islam. Misalnya, Nuruddin Ar-Raniri (yang hidup di abad
ke-17) menulis buku hukum Islam dengan judul S i r a t a l M u s t a k i m (Jalan
Lurus) pada tahun 1628. Menurut Hamka seperti yang dikutip oleh H.
Mohammad Daud Ali, kitab S i r a t a l M u s t a k i m ini merupakan kitab hukum
Islam yang pertama disebarkan ke seluruh negara kita oleh Syaikh Arsyad
Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin, kitab hukum S i r a t a l M u s t a k i m
itu diperluas dan diperpanjang uraiannya di dalam S a b i l a l M u h t a d i n dan
dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di
daerah kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah kesultanan Palembang,
Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, dan Mataram ada
kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam
menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka. Ini
dapat dibuktikan dari karya pujangga yang hidup pada masa itu. Misalnya,
K u t a r a g a m a , S a j i n a t u l H u k u m , dan lain-lain
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Belanda
mengukuhkan kekuasaannya, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri
sendiri telah ada dalam warga , tumbuh dan berkembang di samping
kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini.
Menurut Ahmad Djamil Latif, ada bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa hukum Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan
nusantara dan memiliki pengaruh yang bersifat normatif dalam
kebudayaan negara kita . Pengaruh itu tampak dalam hukum keluarga dan
hukum pidana ,
Ketika VOC dating di nusantara ini, ia tidak saja mengakui keberlakuan
hukum Islam, bahkan berusaha untuk membukukan hukum Islam ke dalam
berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan penduduk bumiputera di
wilayah yang mereka kuasai. Tahun 1750 diterbitkan kitab sebagai
kumpulan hukum pertama yang diberi nama kitab H u k u m M o g h a r r a e r yang
memuat hukum orang Jawa untuk keperl
uan L a n d r a a d di Semarang. Kitab
hukum ini memuat hukum pidana dan hukum perdata Islam. Pada tahun
1760, diterbitkan pula suatu himpunan peraturan hukum Islam mengenai
kewarisan dan perkawinan, kitab ini diberi nama C o m p e n d i u m F r e i j e r . Di
samping dua kitab ini masih ada kitab yang dibuat di zaman VOC, seperti
kitab P a p a k e m C i r e b o n pada tahun 1768 dan kitab C o m p e n d i u m v a n
C l o o t w i j c k untuk daerah Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan. Setelah
kekuasaan VOC berakhir, negara kita dikuasai oleh kolonialis Belanda dan
kemudian oleh Inggris. Sampai tahun 1816 posisi hukum Islam masih
mantap. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris menyatakan bahwa
hukum yang berlaku di kalangan rakyat yaitu hukum Islam yang bersumber
dari Alquran, sehingga pelaksanaan hukum kewarisan dan hukum
perkawinan berjalan sebagaimana mestinya. Salomon Keyzer berpendapat
bahwa hukum Islamlah yang berlaku di kalangan orang-orang Jawa.
Pendapat ini dikuatkan oleh L.W.C. Van den Berg yang mengatakan bahwa
hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk
agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.
Pendapat Van den Berg di atas mendapat tantangan dari Christian
Snouck Hurgronje. Christian Snouck Hurgronje berpendapat bahwa yang
berlaku bagi orang Islam negara kita bukanlah hukum Islam, melainkan
hukum adat. Di dalam hukum adat itu memang telah ada pengaruh
hukum Islam, tetapi pengamh itu baru memiliki kekuatan hukum kalau
telah benar-benar diterima oleh hukum adat. Pendapat ini dikembangkan
secara sistematis dan ilmiah oleh Cornells van Vollenhoven dan Betrand ter
Haar Bzn serta dilaksanakan dalam praktik oleh murid-murid dan
pengikutnya.
Pendapat yang dikemukakan Christian Snouck Hurgronje di atas
mendapat tantangan dari pemikir hukum Islam di negara kita . Menurut
mereka, teori yang dikemukakan oleh Hurgronje itu memiliki maksud-
maksud politik untuk mematahkan perlawanan bangsa negara kita yang
dijiwai oleh hukum Islam terhadap kekuasaan pemerintah kolonial. Dengan
teori itu, kata mereka, Belanda hendak mematikan pertumbuhan hukum
Islam dalam warga yang dilaksanakan sejalan dengan pengejaran dan
pembunuhan terhadap pemuka dan ulama-ulama besar Islam seperti yang di
Aceh ketika itu ,
Selain itu, pandangan dan saran penganut teori resepsi inilah yang
menyebabkan, pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah
komisi untuk meninjau kembali wewenang P r i e s t e r r a a d atau R a a d Agama
di Jawa dan Madura. Sebelum itu, yakni pada tahun 1882 secara resmi
menurut hukum ketatanegaraan Hindia Belanda Pengadilan Agama berwe
nang mengadili perkara kewarisan orang-orang Islam menurut ketentuan
hukum Islam. Komisi yang diketuai oleh Betrand ter Haar Bzn ini memberi
rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau
kembali wewenang Pengadilan Agama, Dengan alasan bahwa hukum
kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka dengan
Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dicabutlah wewenang R a a d Agama atau
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan.
Kalau Pengadilan Agama Islam di Jawa dicabut kewenangannya untuk
menyelesaikan perkara kewarisan sejak tahun 1937, berarti Pengadilan
Agama tidak berfungsi lagi untuk menyelesaikan perkara kewarisan. Namun,
kenyataannya Pengadilan Agama tetap menyelesaikan perkara kewarisan
dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Oleh karena itu, kebanyakan
Pengadilan Agama selalu menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu
hanya untuk melayani konsultasi masalah kewarisan. Di beberapa daerah,
Pengadilan Agama menerima lebih banyak perkara kewarisan bila
dibandingkan dengan perkara kewarisan yang diterima oleh Pengadilan
Negeri . Hasil Penelitian Daniel S. Lev
itu lebih lanjut dibuktikan oleh penelitian Ny. Habibah Daud, di daerah
Khusus Ibukota Jakarta Raya.
Menurut hasil penelitian itu, pada tahun 1976, dari 1.081 orang yang
mengajukan masalah kewarisan pada Pengadilan di Jakarta, 1.034 orang
(95,65%) mengajukan masalahnya pada Pengadilan Agama, 47 orang
(4,35%) pada Pengadilan Negeri. Mereka yang mengajukan
permasalahannya ke Pengadilan Agama itu menganggap bahwa apa yang
diputuskan di sana yaitu Islamiah, sesuai dengan kesadaran hukum yang
diyakininya. Oleh karena itu, keadilan yang Islamiah mendasari pilihan
hukum serta lembaganya
Setelah kemerdekaan negara kita , pemimpin Islam dengan berbagai cara
berupaya untuk mengembalikan hukum Islam pada kejayaannya semula.
Begitulah, menjelang kemerdekaan negara kita Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan negara kita dibentuk pada tahun 1945, dan bersidang
untuk merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara
negara kita merdeka di kemudian hari. Pemimpin Islam yang menjadi anggota
badan itu terus berusaha mendudukkan hukum Islam dalam Negara
negara kita itu kelak. Setelah melalui berbagai tukar pikiran dalam
musyawarah, para pemimpin negara kita , baik yang beragama Islam maupun
yang non-Islam berusaha merancang dan merumuskan Undang-Undang
Dasar Republik negara kita , yang kemudian dikenal dengan UUD 1945
mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam Piagam Jakarta (22 Juni
1945). Di dalam Piagam Jakarta itu, dinyatakan antara lain bahwa negara
"berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Tujuh kata terakhir ini dihilangkan dari
Pembukaan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan negara kita
tanggal 18 Agustus 1945 dengan imbalan tambahan kata "Yang Maha Esa",
sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan "Yang Maha Esa"
ini dijadikan garis hukum dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1)
mengandung arti bahwa negara berdiri atas keinsafan bangsa dan warga
untuk mematuhi norma kesusilaan. Oleh karena itu, tidak ada peluang bagi
hukum yang bertentangan dengan norma Ilahi di dalam Negara Republik
negara kita ,
Selain perkembangan hukum Islam melalui perundang-undangan di
atas, dapat juga dilihat pada perkembangan ijtihad, i j m a ' para ulama
mengenai sistem kewarisan bilateral menurut Quran dan Hadis, kedudukan
ahli waris pengganti (mawali) dalam kewarisan Islam dan lahirnya kaidah
hukum perkawinan Islam, hukum kewarisan Islam, dan hukum kewakafan
Islam. Sebagai contoh perkembangan ijtihad, di antaranya, Hazairin
mengemukakan bahwa perkataan mawali yang ada dalam Alquran
Surah An-Nisaa' (4) ayat 33 mengandung pengertian ahli waris pengganti.
Menurut beliau, perkataan ahli waris pengganti itu tidak ada sangkut pautnya
dengan ganti-mengganti ahli waris. Ia hanya menunjukkan siapa yang
menjadi ahli waris kalau penghubungnya telah meninggal dunia lebih dahulu
dari pewaris. Istilah itu ada dalam hukum adat warga muslim
negara kita . Hazairin mengangkatnya untuk mengisi kekosongan hukum yang
ada dalam sistem hukum kewarisan Islam yang dianggap telah mapan
sejak masuknya Islam di negara kita sampai tahun 1960-an. Kekosongan itu
yaitu mengenai kedudukan cucu, melalui anak perempuan, dalam hukum
kewarisan Islam
Mengenai kedudukan cucu dalam hukum kewarisan Islam, yang
ketentuannya tidak ada di dalam Quran dan Hadis, sehingga pemikiran
para ahli hukum Islamiah yang memecahkannya atau yang biasa disebut
ijtihad. Pemecahan pertama dilakukan oleh Zaid bin Tsabit yang pada
pokoknya menyatakan bahwa cucu melalui anak laki-laki menjadi ahli waris
dan menghijab seperti anak laki-laki bila tidak ada anak laki-laki lain
bagi pewaris yang masih hidup. Ijtihad Zaid bin Tsabit ini memecahkan
masalah cucu sebagai ahli waris, tetapi pemecahan itu hanya mengenai cucu
melalui anak laki-laki saja, tidak mengenai cucu melalui anak perempuan.
Ijtihad ini logis dalam sistem kekerabatan patrilineal di tempat Zaid
mengeluarkan pendapatnya pada zaman itu
Hukum kewarisan Islam mengenai kedudukan cucu sebagai ahli waris
pengganti atau mawali seperti disebutkan di atas, ketentuannya didapatkan
melalui ijtihad atau hasil pemikiran yang mendalam dari para ahli hukum
Islam, sehingga mungkin saja ada perbedaan pada suatu tempat dengan
tempat lainnya. Sebab, hasil pemikiran itu dipengaruhi oleh budaya hukum
( l e g a l c u l t u r e ) yang berlaku di suatu tempat atau negara. Hal ini sejalan
pendapat Roscoe Pound yang mengatakan bahwa, hukum itu berbeda di
suatu tempat dengan tempat lainnya karena adanya perbedaan budaya
hukum (Roscoe Pound, 1986: 143). Sebagai contoh mengenai kedudukan
ahli waris pengganti (mawali) di negara kita berbeda dari kedudukan ahli
waris pengganti di negara yang penduduknya mayoritas Islam, seperti di
Mesir, Suriah, Maroko, Tunisia, dan Pakistan.
D. KOMPILASI HUKUM ISLAM
Proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak terlepas dari
pertumbuhan, perkembangan hukum Islam dan lembaga Peradilan Agama
sebelum dan sesudah warga negara kita memproklamasikan kemerde
kaannya pada tanggal 17 Xgustus 1945. Oleh karena itu, membicarakan
Hukum Islam di negara kita tidak dapat dipisahkan dari eksistensi: (1)
perkembangan Hukum Islam dan perannya, (2) Kompilasi Hukum Islam, (3)
pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama. Selain itu akan diuraikan
latar belakang KHI, gagasan dasar KHI, dan realisasi KHI.
1. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah
Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan
dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang
itu menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan
pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedang
pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun
undang-undang itu ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di
lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah
penandatanganan Surat Keputusan Bersama (8KB) Ketua Mahkamah Agung
dengan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No. 1, 2, 3,
dan 4 tahun 1983. Keempat SKB dimaksud, yaitu jalan pintas sambil
menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan
Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada
saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas pembinaan teknis
yustisial Peradilan Agama merasakan adanya beberapa kelemahan. Sebagai
contoh, hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama
cenderung simpang siur, simpang siur dimaksud, sebagai akibat dari
perbedaan pendapat para ulama pada suatu persoalan. Untuk mengatasi
perbedaan itu, perlu menetapkan satu buku hukum yang menghimpun semua
hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat
dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga
terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.
2. Gagasan Dasar Kompilasi Hukum Islam
Busthanul Arifin (pencetus Kompilasi Hukum Islam) mengemukakan
pendapat berikut,
(1) Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di negara kita harus ada antara
lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh para aparat
penegak hukum maupun oleh warga .
(2) Persepsi yang tidak seragam tentang syariah akan dan sudah
menyebabkan hal-hal.
(3) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut Hukum
Islam itu ( m a a a n z a k i l l a h u ) .
(4) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syariat itu
( t a n f i d z i y a h ) .
(5) Akibat kepanjangannya yaitu tidak mampu memakai jalan dan
alat yang telah tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan
perundang-undangan lainnya.
(6) Di dalam sejarah Islam pernah dua kali di tiga negara, hukum Islam
diberlakukan sebagai perundang-undangan negara, yaitu sebagai
berikut.
a. Di India pada masa pemerintahan Raja An Rijeb yang membuat
dan memberlakukan perundang-undangan Islam yang terkenal
dengan FatwaAlamfiri.
b. Di Kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah
A l - A h k a m A l - A d l i y a h . Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasi
di Sudan. berdasar hal di atas, sejalan dengan apa yang telah
dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1958, yaitu hanya
memakai 13 buah kitab kuning. Kitab kuning dimaksud,
sudah dipergunakan selama ini di Peradilan. Oleh karena itu,
upaya ke arah kesatuan dan kepastian hukum sejalan dengan apa
yang dilakukan di negara-negara itu . Dari situlah kemudian
muncul gagasan untuk membuat Kompilasi Hukum Islam sebagai
buku hukum bagi Pengadilan Agama.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran
hukum warga yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat
(1) yang berbunyi: "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga ". Selain itu,
Fikih Islam mengungkapkan kaidah: "Hukum Islam dapat berubah karena
perubahan waktu, tempat, dan keadaan". Keadaan warga itu selalu
berkembang karena memakai metode yang sangat memperhatikan rasa
keadilan warga . Di antara metode itu ialah m a s l a h a t m u r s a l a h , i s t i h s a n ,
i s t i s h s h a b , dan u r f .
4. Landasan Fungsional
Kompilasi Hukum Islam yaitu fikih negara kita karena ia disusun
dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam negara kita .
Fikih negara kita dimaksud yaitu fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin
dan T.M, Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya memiliki tipe fikih lokal
semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih-Hindy, fikih lain-lain yang sangat
memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum warga setempat, yang
bukan berupa mazhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai fikih
dalam menjawab satu persoalan fikih. Ia mengarah kepada Unifikasi mazhab
dalam hukum Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di negara kita ini
merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah
pembangunan hukum nasional di negara kita .
5. Realisasi Kompilasi Hukum Islam
Pembentukan Kompilasi Hukum Islam merupakan penjabaran dari
Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal
49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai,
untuk mewujudkan kesadaran warga mengenai pelaksanaan hukum
Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf.
Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui
Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan
Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25
Maret 1985. Di dalam SKB dimaksud, ditentukan para pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama yang ditunjuk dan jabatan masing-masing
dalam proyek, jangka waktu, tata kerja, dan biaya yang dipakai dalam
proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Pelaksanaan proyek dimaksud, memiliki dua pertimbangan.
P e r t a m a , sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung RI terhadap
jalannya peradilan di semua lingkungan Peradilan di negara kita , khususnya di
lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam
yang selama ini telah menjadi hukum positif di Pengadilan Agama. K e d u a ,
untuk mencapai maksud itu demi meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek
pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu
membentuk tim proyek yang susunannya terdiri atas pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama Republik negara kita .
Tujuan perumusan Kompilasi Hukum Islam di negara kita yaitu
menyiapkan pedoman yang seragam (unifikasi) bagi Hakim Pengadilan
Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa
negara kita yang beragama Islam. Oleh karena itu, tidak terjadi lagi simpang
siur keputusan Pengadilan Agama.
bila tidak ada KHI atau para hakim di Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan perkara, maka ia berpedoman kepada referensi kitab fikih
yang dibuat oleh para fuqaha terdahulu berdasar situasi dan kondisinya di
mana fuqaha itu berada, hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama
sering putusannya berbeda sebagai akibat rujukan yang berbeda. Oleh karena
itu, Busthanul Arifin mempersoalkan, hukum Islam yang mana yang
dijadikan rujukan jika dalam satu masalah tertentu ada banyak pendapat.
Menurut dia, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni
harus ada kepastian hukum
Kompilasi Hukum Islam yaitu fikih negara kita karena ia disusun
dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam negara kita .
Fikih negara kita dimaksud yaitu fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin
dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya memiliki tipe fikih lokal
semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat
memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum warga setempat, yang
bukan berupa mazhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai fikih
dalam menjawab satu persoalan fikih. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab
dalam hukum Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di negara kita ini
merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah
pembangunan hukum nasional di negara kita .
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, JENIS, DAN
TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA ISLAM
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata f l g h j i n a y a h .
F i q h j i n a y a h yaitu segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang m u k a l l a f (orang yang
dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum
yang terperinci dari Alquran dan hadis (Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan
kriminal yaitu tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum
serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan.
Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Syariat
dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia
untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menem
patkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri
maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang
berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus
ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
Alquran merupakan penjelasan Allah tentang syariat, sehingga disebut
A l - B a y a n (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar memiliki
empat cara dan salah satunya yaitu Allah Memberi penjelasan dalam
bentuk n a s h (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya: orang yang
membunuh tanpa hak hukumannya harus dibunuh oleh keluarga korban atas
adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali
bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang
berstatusjanda atau duda dan/atau sudah menikah hukumannya yaitu
rajam.* Demikian juga perbuatan yang berkaitan dengan peminum khamar,
pencurian, perampokan, penuduhan berzina dan orang murtad. Hal-hal
seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Alquran.
Hukum rajam yaitu hukuman bagi pezina janda dan/atau duda serta orang yang
memiliki istri dan/atau suami. Rajam, yaitu pezina digalikan lubang yang kemudian
dimasukkan di lubang sampai lehernya (ditanam hidup-hidup) lalu dilempari batu sampai
meninggal. Sanksi hukuman itu dilakukan karena melanggar hak Tuhan sehingga hukuman
Tuhan yang dijadikan acuan.
B. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA ISLAM
Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan
(termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh seseorang, berzina, minuman
khamar membunuh atau melukai seseorang, pencurian, merusak harta
seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan yang semacamnya
yang berkaitan dengan kepidanaan.
C. JENIS HUKUMAN
Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum
pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukuman yang pasti
mengenai berat ringannya hukuman termasuk q i s h a s h dan d i y a t yang
tercantum di dalam Alquran dan hadis yang biasa disebut h u d u d , (b)
ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang biasa
disebut hukuman to ' z i r . Hukum publik (Islam) yaitu j i n a y a h yang memuat
aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam
j a r i m a h h u d u d maupun dalam j a r i m a h t a ' z i r . J a r i m a h yaitu perbuatan
tindak pidana. J a r i m a h h u d u d yaitu perbuatan pidana yang memiliki
bentuk dan batas hukumannya di dalam Alquran dan sunnah Nabi
Muhammad saw. Lain halnya j a r i m a h t a ' z i r . J a r i m a h t a ' z i r yaitu perbuatan
pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa
(hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya.
D. TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM
Tujuan hukum pidana Islam yaitu memelihara jiwa, akal, harta
warga secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan hukum
pidana Islam amat penting dalam kehidupan berwarga . Sebab, empat
dari tujuan syariat dapat dicapai dengan menaati ketentuan hukum pidana
Islam, dan dua di antaranya bertautan dengan ketentuan hukum perdata
Islam, yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa semata-mata
dipelihara oleh ketentuan hukum pidana Islam.
Selain itu, perlu diungkapkan bahwa tujuan hukum pada umumnya
seperti yang telah diungkapkan yaitu menegakkan keadilan sehingga
terwujud ketertiban dan ketenteraman warga , Oleh karena itu, putusan
hakim harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh warga .
warga yang patuh terhadap hukum berarti mencintai keadilan. Hal ini
berdasar dalil hukum yang bersumber dari Alquran Surah An-Nisaa' (4)
ayat 65 :
Mate d ete T u h a n m u , m e r e k a ( p a d a h a k i k a t n y a ) t i d a k b e r i m a n h i n g g a
m e r e k a m e n j a d i k a n k a m u h a k i m d a l a m p e r k a r a y a n g m e r e k a
p e r s e l i s i h k a n , k e m u d i a n m e r e k a t i d a k m e r a s a k e b e r a t a n d a l a m h a t i
m e r e k a t e r h a d a p p u t u s a n y a n g k a m u b e r i k a n , d a n m e r e k a m e n e r i m ' a
d e n g a n s e p e n u h n y a .
Dalil hukum dari ayat Alquran di atas dapal diketahui dan dipahami
bahwa Allah menjelaskan, walaupun ada orang-orang yang mengaku
beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah beriman selama mereka tidak mau
mematuhi putusan hakim yang adil, seperti putusan Nabi Muhammad saw.
sebagai Rasul yang pernah menetapkan penyelesaian perselisihan di antara
umatnya. Sebagai contoh, suatu peristiwa yang diceritakan oleh Bukhari
Muslim, yaitu Zubair bin Awwam mengadukan seorang laki-laki kaum
Anshar kepada Nabi Muhammad saw. dalam suatu perselisihan tentang air
untuk kebun kurma. Nabi Muhammad saw. memberi putusan seraya berkata
kepada Zubair: A i r i l a h k e b u n m u i t u l e b i h d a h u l u k e m u d i a n a i r k a n l a h
k e p a d a k e b u n t e t a n g g a m u . Maka laki-laki itu berkata: "Apakah karena dia
anak bibimu hai Rasulullah". Maka berubahlah muka Nabi Muhammad saw.
karena ia mendengar tuduhan dimaksud. Namun, Nabi Muhammad saw.
berkata lagi (untuk menguatkan putusannya): H a i Z u b a i r a i r i l a h k e b u n m u
i t u s e h i n g g a a i r i t u m e r a t a i n y a , k e m u d i a n a l i r k a n l a h k e p a d a k e b u n
t e t a n g g a m u .
Hikmah peristiwa dimaksud yaitu bahwasanya hukum harus dipatuhi
dan setiap putusan harus mengandung rasa keadilan agar dengan ikhlas
dipatuhi oleh anggota warga . Kasus mengairi kebun korma yang
langsung ditangani oleh Nabi Muhammad saw. itu, mengandung rasa
keadilan. Sebab, kedua belah pihak memperoleh aliran air yang
memungkinkan tumbuhnya pohon kurma yang menjadi sumber kehidupan
mereka berdua. Dari kasus ini juga jelas bahwa Nabi Muhammad saw.
mencela perbuatan monopoli dalam sesuatu usaha.
Selain hal itu , dapat juga dipahami bahwa pemanfaatan hak milik
berupa tanah sebagai salah satu sumber kehidupan manusia yang paling
vital, maka hendaklah memakai asas keseimbangan. Contoh, setiap
orang berhak memakai hak miliknya menurut kehendaknya, tetapi ia
pun berkewajiban dalam memakai haknya dimaksud, tidak mengganggu hak orang lain. Misalnya, bebas memakai tanahnya sesuai dengan
kehendaknya, tetapi ia berkewajiban pula menjamin pemenuhan kepentingan
umum seperti menjamin lancarnya pengairan yang berdekatan dengan
tanahnya yang mengairi sawah petani. Oleh karena itu, ia tidak boleh
mengelola tanah itu yang mengakibatkan dapat menghambat
tersalurnya air ke persawahan para petani. Sebaliknya, seseorang tidak dapat
dengan memakai dalih untuk kepentingan umum, sehingga tidak
memberi ganti kerugian yang wajar terhadap tanah seseorang yang diambil
untuk kepentingan umum (H. Baharuddin Lopa, 1996: 127).
Namun, bila tujuan hukum Islam itu dilihat dari ketetapan hukum yang
dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad saw., baik yang termuat di dalam
Alquran maupun yang ada di dalam Al-Hadis, yaitu untuk kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala
yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna
kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam yaitu
kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani, individu, dan
warga . Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-
Syathibi dan disepakati oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang dikutip
oleh H. Hamka Haq, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta .
DISKURSUS TENTANG
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
A. FAKTOR-FAKTOR PENGHALANG PEMBARUAN HUKUM
ISLAM
Salah satu anugerah Allah S WT yang tidak ternilai harganya bagi manusia
yaitu kecerdasan. Dengan kecerdasan akalnya, manusia dapat mengem
bangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membangun peradaban demi
kesejahteraan umat manusia. Kecerdasan memungkinkan manusia lebih
maju dalam bersikap, berbuat, dan berkarya secara dinamis dan konstruktif.
Sayangnya anugerah kecerdasan ini seringkah tidak atau belum
dimanfaatkan secara maksimal oleh manusia. Banyak ditemukan watak
manusia, khususnya umat Islam yang bermalas-malasan atau tidak
memakai kecerdasannya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi umat Islam bersikap malas
dalam berpikir dan mulai memasuki periode teks dan s y a r h (deskripsi atas
teks) dalam bidang fikih Islam, yaitu sebagai berikut.
1. Ketertinggalan peradaban umat Islam dibandingkan dengan dunia Barat
yang mengakibatkan tertinggalnya fikih dan terhentinya ijtihad.
2. Dari faktor di atas, muncullah pembakuan fikih mazhab. Para ulama
masing-masing mazhab menuliskan hasil ijtihad yang bersifat pokok
atau elementer di dalam sejumlah persoalan yang kemudian mereka
fatwakan. Mereka meyakini bahwa apa yang dibukukannya telah cukup
memenuhi kebutuhan umat Islam. Mereka merasa puas dengan kitab-
kitab besar para mujtahid yang ada.
3. Fanatisme mazhab. Masing-masing ulama hanya bersikukuh pada
mazhab tertentu; hanya mementingkan pengajaran mazhabnya dan
pelestarian prinsip dan penyusunan cabang-cabangnya; hanya mengajak
umat berpaham secara monologis atau kepada mazhab yang dipilihnya;
dan meyakini bahwa mazhabnyalah yang benar. Hal inilah yang
dikategorikan sebagai klaim kebenaran ( t r u t h c l a i m ) .
4. Semakin meningkatnya penolakan terhadap ijtihad. Kitab para ulama
mazhab mengandung banyak kritikan terhadap mazhab lain. Misalnya,
yang dikatakan Al-Jashash Al-Hanafi di dalam kitabnya, A l - A h k a m
A l q u r a n , yang mengandung kritikan terhadap mazhab lain.
5. Adanya pertikaian antarmazhab karena para hakim pada masa-masa
tertentu telah menetapkan berbagai keputusan hukum berdasar
mazhab tertentu yang dia peluk. Mereka menolak jika harus keluar dari
berbagai ketetapan yang telah ditentukan oleh para ulama mereka.
Fanatisme mazhab yaitu salah satu faktor pembakuan yang dilakukan
oleh para ulama fikih dan pengagung fikih mereka.
6. Berkembangnya sikap iri hati di antara para ulama yang menyebabkan
mereka menolak ijtihad karena takut lawan-lawannya menjadi kuat dan
melontarkan sesuatu yang baru. Hal ini membuat mereka bersikukuh
terhadap pendapat para ulama terdahulu ( a l - m u t a q a d d i m i r i ) .
Sumber kekeliruan yang mengatakan bahwa ijtihad telah tertutup
terletak pada ketidakmampuan mereka untuk membedakan antara ijtihad
yang bisa mengantarkan pelakunya pada pembentukan mazhab fikih dan
ijtihad terbuka. Hal ini menyebabkan pelakunya mendapatkan dirinya
bersepakat dengan salah satu mazhab lain tanpa disengaja dan tanpa terikat
dengan langkah-langkah mazhab itu.
Argumentasi kelompok yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah
tertutup, antara lain sebagai berikut.
P e r t a m a , hukum Islam dalam bidang ibadah, muamalah, munakahat,
jinayat, dan sebagainya dianggap sudah lengkap dan dibukukan secara rinci
dan rapi. Oleh karena itu, ijtihad dalam hal ini tidak diperlukan lagi.
K e d u a , mayoritas kaum Sunni hanya mengakui mazhab empat. Karena
itu, penganut Ahlu as-Sunnah hendaknya memilih salah satu dari mazhab
empat dan tidak boleh pindah mazhab.
K e t i g a , membuka pintu ijtihad, selain sesuatu yang percuma dan
membuang-buang waktu, hasilnya akan berkisar pada hukum yang terdiri
atas kumpulan pendapat dua mazhab atau lebih yang dikenal dengan istilah
t a l f i q yang kebolehannya masih diperselisihkan oleh kalangan ulama u s h u l ;
hukum yang telah dikeluarkan oleh salah satu mazhab empat, berarti ijtihad
itu hanyalah t a h s i l a l - h a s i l , hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab di
luar mazhab empat tidak dianggap sah oleh mayoritas ulama Ahlu as-
Sunnah; hukum yang tidak seorang pun membenarkannya yang pada
hakikatnya sama dengan menentang ijmak.
K e e m p a t , kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad
keempat Hijriyah sampai saat ini, tidak seorang ulama pun berani
menonjolkan dirinya atau ditonjolkan oleh pengikutnya sebagai seorang
m u j t a h i d m u t l a q m u s t a q i l . Hal ini menunjukkan bahwa syarat-syarat
berijtihad itu memang sangat sulit, sehingga dapat dikatakan tidak mungkin
lagi untuk saat sekarang.
Keempat alasan di atas yang menggiring umat Islam semakin malas
untuk berpikir dan pasrah dengan mengikuti berbagai mazhab yang telah ada
karena mereka menilai, bahwa ijtihad bukanlah aktivitas yang mudah
dilakukannya. Dengan demikian, sejak awal abad keempat sampai akhir
abad ke-12 Hijriyah, umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang
pemikiran (khususnya bidang hukum Islam). Mereka tidak berani
menunjukkan kreativitasnya karena takut melakukan kesalahan atau tidak
cukup mampu secara keilmuan.
B. URGENSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM
Seorang filsuf sekaligus negarawan Francis, Andre Malraux, meramalkan
bahwa abad ke 21 yaitu abad agama. Manusia tidak akan s u r v i v e di abad
itu, bila nilai-nilai agama tidak diaktualisasikan kembali. Ada beberapa
fakta penting yang akan mempengaruhi dan membentuk manusia masa
depan, yang berkembang dalam proses sejarah kehidupan atau pergulatan
hidup manusia di dunia.
Pada abad permulaan ke-20, agama seperti telah dikesampingkan akibat
berkibarnya humanisme, rasionalisme, ilmu pengetahuan, dan berbagai
ideology sekuler. Namun demikian, agama tetap berkembang dengan cepat
di masa lalu bahkan menjadi sumber motivasi dalam proses kesejarahan
manusia.
Di sebagian besar wilayah dunia, tampak intensitas keberagamaan
semakin tinggi. Gejala ini, merupakan reaksi dari orientasi materialisme
yang eksklusif dari sebagian besar ideologi sekuler yang bersaing di abad
ke-20. Gejala ini merupakan reaksi baik gagasan maupun hasil dari
d e v e l o p m e n t a l i s m .
warga dunia sekarang ini ditimpa oleh kekurangan pangan dan
ketidakstabilan ekonomi, kerusakan lingkungan, berbagai bentuk bencana
alam39, kontinuitas konflik, dan ancaman bahaya nuklir. Berbagai kenyataan
39 Memilukan! Trenggalek yang aman dan tenteram tiba-tiba diterjang banjir bandang yang
luar biasa dahsyatnya. Ratusan rumah rusak, ribuan hektar sawah hancur, puluhan manusia
tewas, dan ratusan lainnya luka parah. Berbarengan dengan itu, sejumlah daerah di
Kalimantan dan Sumatra juga diterjang banjir. Di Sumatra Barat, misalnya, longsor
menimbun jalan utama Solok-Padang dan menewaskan sedikitnya empat orang. Di Riau,
anehnya, banjir muncul bersamaan dengan asap kebakaran hutan. Ya, banjir dan api
muncul bersamaan. Peristiwa yang tampak kontras itu terjadi di negara kita . Tragisnya,
kedua peristiwa itu berkaitan dengan perusakan hutan. Setiap musim hujan, banjir dan
longsor terus terjadi di hampir seluruh wilayah negara kita . Pekan pertama Januari 2006,
banjir bandang menerjang Jember, Jawa Timur, menewaskan 50 orang lebih. Lalu longsor
ini menunjukkan bahwa manusia kini sedang sakit dan dilanda malaise
spiritual. Sementara itu, industri dan teknologi maju tidak membawa
kepuasan bagi manusia. Oleh karena itu, tanggung jawab agamalah untuk
mengartikulasi kerinduan manusia terhadap makna hidup yang lebih tinggi;
dan menunjukkan alternatif untuk mendapatkan kepuasan yang
sesungguhnya.
Pemisahan antara agama dan negara merupakan salah satu prinsip dari
demokrasi politik yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia,
khususnya negara-negara yang terdiri atas multi-etnis, yang membutuhkan
saling pengertian dan menghormati antarwarga negaranya yang memiliki
perbedaan ras maupun agama. Namun begitu, sampai sekarang masih
ada negara-negara yang mendasarkan diri pada agama terutama dalam
Islam, di mana tekad untuk membentuk negara yang berdasar agama
masih begitu kuat.
Sebagian dari kebangkitan atau intensitas keberagamaan dalam bidang
politik yaitu munculnya persepsi bahwa pemisahan antara agama dan
negara telah menyebabkan kehancuran nilai-nilai agama dalam mekanisme
pemerintahan bahkan menimbulkan perceraian antara etika dan politik.
Di antara pertanyaan yang ditujukan pada penulis ketika membuka
seminar mengenai hal di atas terutama dalam kedudukannya sebagai
pemimpin dari agama yang berbeda-beda, yakni mampukah agama
mengembangkan perannya dalam kancah politik tanpa menyodorkan
dogmatisme dan pembobrokan struktur warga , sehingga agama bisa
menyelesaikan konflik yang ada? Mungkinkah agama bekerja sama dalam
berusaha membentuk warga yang lebih bermoral, meskipun tetap
memiliki pandangan yang berbeda dalam keimanan dan tujuan hidupnya?
Dalam mencari jawaban pertanyaan ini, penulis pikir sangat penting
untuk pertama-tama mengenai, bahwa agama merupakan segalanya bagi
manusia. Agama yaitu suatu jalan menuju keselamatan manusia, pedoman
dan penilaian atas perbuatan manusia, dan petunjuk wahyu yang membawa
manusia kepada suatu kebenaran transenden. Agama juga bisa didefinisikan
menimpa Banjarnegara, Jawa Tengah, menewaskan 200 orang lebih. Seterusnya banjir dan
longsor menimpa Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan pulau-pulau lain. Kini, tiga
bulan setelah tragedi Jember dan Banjarnegara, tragedi yang sama menimpa Trenggalek.
Sepertinya kita sudah merasa terbiasa dengan bencana itu . Padahal, mestinya kita
berpikir: Mengapa banjir dan longsor terus saja terjadi? Apakah pemerintah gagal
mengatasi pencegahan banjir dan longsor yang telah menelan biaya miliaran rupiah tiap
tahun?
suatu bentuk kosmologi yang membawa pikiran dan pesan-pesan untuk
mencapai keselamatan manusia.
Keberagamaan manusia pada saat yang bersamaan selalu disertai
dengan identitas budayanya masing-masing yang berbeda-beda. Di
warga , agama merupakan suatu e s t a b l i s h m e n t yang kuat dan terikat erat
dalam sistem sosial politik, dan ekonomi warga . Agama merupakan
a g e n t o f c h a n g e dan mobilisasi, sekaligus juga menjadi kekuatan
immobilisasi dari komunitas manusia. Agama baik dipandang dari aspek
individual maupun sosial yaitu sumber moral maupun etika; sebuah
pedoman untuk menuju kebaikan. Dari dimensi ini, sangat penting untuk
mengidentifikasi semua peran agama dalam kehidupan, sehingga
Memberi kemungkinan untuk bekerja sama yang saling menguntungkan.
Komunikasi di antara agama sangat penting untuk mencapai bentuk
kerja sama. Kesetiaan masing-masing penganut agama diperdalam dengan
refleksinya, ada banyak cara; menyangkut cara pandang dan ekspresi
terhadap kebenaran; dan itu merupakan awal toleransi dan kerendahan hati.
Banyak masalah yang memiliki persamaan nilai dalam agama-agama,
yang mana bisa dikatakan bahwa agama merupakan m a j o r e l e m e n t dalam
budaya. Komunikasi dalam kerangka toleransi yang saling menguntungkan
akan memperkaya spiritual, seperti tersirat dalam Alquran, yang menyatakan
bahwa perbedaan akan memacu manusia untuk berlomba dalam kebaikan.
Agama dalam aspek duniawinya merupakan e s t a b l i s h m e n t , sumber
nilai dan kekuatan mobilisasi yang sering menimbulkan konflik dalam
sejarah umat manusia. Oleh karena itu, kerja sama antara manusia masa
datang bahkan kerja sama para penganut satu agama pun perlu, karena
terbukti dalam satu agama yang sama sering muncul konflik
antarpengikutnya. Sebagai contoh, konflik antara gereja-gereja yang telah
mapan dengan teologi pembebasan; antara Sunni dan Syi'ah; antara kaum
mistikus dan pekerja sosial. Sebagai pengaku sumber kebenaran mutlak,
agama harus memiliki peranan dominan yang mana pada suatu ketika
perlu berada di luar proses sejarah. Persepsi dan pengertian kita bisa berubah
karena waktu, namun kebenaran mutlak tetap abadi. Tuhan tidak pernah
berubah, meskipun nama-nama Tuhan berbeda. Namun meski kebenaran itu
abadi, tetapi agama itu tetap historis; menjelma dalam pergolakan hidup
manusia. Fakta menunjukkan, bahwa agama ternyata tidak mudah bekerja
sama dengan sejarah. Bahkan seringkah, agama berusaha membengkokkan
jalannya sejarah, menurut kehendak persepsinya. Agama sering mencuatkan
amarah dan terkadang meledakkan senjata untuk menggilas kekuatan sekuler
dan menguasai jiwa manusia. Begitulah hubungan antarperanan agama, baik
secara historis maupun ahistoris; antara transendensi dan keduniaan yang
terjadi dalam kehidupan manusia, yang sesungguhnya sangat menarik untuk
dikaji.
Tanda-tanda mulai tumbuhnya pengakuan dari pentingnya fungsi
hukum dalam pembangunan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat
menghindarkan kesan bahwa di tengah-tengah kesibukan tentafig
pembangunan ini ada suatu kelesuan ( m e l a i s e ) atau kekurangpercayaan
akan hukum dan gunanya dalam warga .
Sebaliknya, dan ini mungkin kedengarannya paradoksal sekali, di
puncak m a l a i s e dan ketiadaan kepercayaan mengenai guna bahkan adanya
hukum di warga kita ini, terdengar jeritan-jeritan yang menandakan
masih percayanya orang di negara kita terhadap keampuhan hukum. Tidak
jemu-jemunya orang mengumandangkan t h e r u l e o f l a w dengan harapan
yang sering mengharukan bahwa dengan kembalinya ratu keadilan ke atas
tahtanya, dengan sendirinya segala sesuatu akan beres kembali dan tercapai
m a s y a r a k a t y a n g t a t a t e n t r e m k e r t a r a h a r j a .
Keadaan yang coba dilukiskan di atas, yaitu orang di satu pihak, acuh
tidak acuh atau hilang kepercayaan terhadap hukum, tetapi di lain pihak
memiliki kepercayaan yang naif terhadap kekuatan yang seakan-akan magis
religius dari hukum, mencirikan cara berpikir kita umumnya tentang hukum.
Kedua anggapan tentang hukum itu, sama-sama kurang tepat; yang satu
karena terlalu memandang rendah terhadap arti dari fungsi hukum dalam
warga (lebih menghargai arti dibandingkan kekuasaan), sedang
anggapan yang kedua tidak pula banyak menolong karena terlalu banyak
mengharapkan sesuatu dibandingkan nya.
Kesemuanya ini memaksa kita untuk memahami fungsi hukum dalam
warga ini dengan lebih wajar dengan mencoba meneliti arti dan fungsi
hukum itu secara akal (rasional). Rudolf Von Jhering dalam D e r Z w e c h I m
R e c h t menyebutkan bahwa hukum yaitu keseluruhan peraturan yang
memaksa ( c o m p u l s o r y r u l e s ) yang berlaku dalam suatu negara. Menurut
E.Utrecht, hukum itu yaitu himpunan peraturan (perintah dan larangan)
yang mengurus tata tertib suatu warga dan karena itu harus ditaati oleh
warga itu.
Zaman keemasan hukum Islam, sebagaimana telah disebutkan,
berlangsung sekitar 250 tahun. Setelah itu, yakni sejak pertengahan abad
keempat Hijrah, hukum Islam mengalami periode taklid. Pada masa itu
gerakan ijtihad terhenti, kebebasan berpikir para ulama sudah tidak ada lagi.
Para ulama tidak lagi mengambil hukum Islam dari sumbernya, yaitu
Alquran dan hadis, tetapi mereka lebih senang bertaklid dan mengikuti fikih
Imam pendahulu. Kemampuan akal mereka, dibatasi dengan mempelajari
mazhab Imam itu , mereka mengha-ramkan dirinya keluar dari batasan
itu. Mereka berusaha memahami lafal-lafal dan ibarat Imam mereka, bukan
berusaha memahami nash syariat dan prinsipnya yang umum. Mereka telah
melupakan ijtihad malah dengan mengatakan pintu ijtihad telah tertutup.
Penyebab utama timbulnya periode taklid ini yaitu karena timbulnya
fanatisme kelompok. Setiap kelompok dari Imam mujtahid membentuk
suatu aliran fikih yang memiliki cara-cara i s t i n b a t h hukum tersendiri, dan
para murid atau anggota dari setiap kelompok berusaha mempertahankan
mazhabnya dengan segala cara sehingga mengalihkan perhatian mereka dari
sumber hukum yang utama, Alquran dan hadis. Sebab lainnya pada masa itu
kekuasaan Islam terbagi ke dalam beberapa kerajaan yang saling bertikai
sehingga para pemimpin dan warga sibuk dengan peperangan, yang
salah satunya mengakibatkan terhentinya gerakan ijtihad.
Berhentinya gerakan ijtihad itu menimbulkan kejumudan dan kebekuan
hukum Islam, sehingga umat Islam selalu mencurigai hal-hal baru dan
mengharamkannya tanpa meneliti terlebih dahulu kegunaan dan
kerugiannya. Mereka menyebutnya sebagai b i d ' a h dan mengharamkannya
karena tidak diatur dalam Islam dan dalam wahyu Tuhan. Mereka
mengharamkan peneijemahan Alquran ke dalam bahasa lain dan melarang
mempelajari pengetahuan umum. Di kalangan umat Islam juga berkembang
pendapat bahwa umat Islam tidak berhak hidup bahagia di dunia, mereka
tidak perlu kaya, dan tidak perlu berkuasa; umat Islam hanya akan mendapat
kebahagiaan dan kesenangan di akhirat nanti.
Sikap taklid mulai didobrak oleh Ibn Taimiyah (1263-1328). Ia secara
tegas berpendapat bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dan tidak pemah
tertutup. Seruannya untuk menggairahkan kembali ijtihad berhasil
Memberi pengaruh yang besar di dunia Islam pada masa-masa
berikutnya. Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad
yang terjadi di Kerajaan Usmani, India, dan Saudi Arabia banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiyah.
Di kerajaan Usmani, sikap taklid itu mulai didobrak sejak akhir abad
ke-13 Hijrah atau abad ke-19 Masehi. Pemerintah Usmani pada waktu itu
menugaskan sekelompok ulama terkemuka untuk menyusun suatu hukum
dalam bidang muamalat yang tidak terikat pada salah satu mazhab.
Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad itu, di
India dan Saudi Arabia malah sudah dimulai pada abad ke-18 Masehi. Di
India, gerakan itu dipelopori oleh Syah Waliullah (1703-1762), sedang di
Saudi Arabia, gerakan itu dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab
(1703-1787). Gerakan terakhir ini kemudian dikenal dengan gerakan
W a h a b i a h .
Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad yang
dimulai sejak abad ke-18 Masehi inilah yang disebut gerakan pembaruan
hukum Islam, sehingga masa itu sampai sekarang disebut periode pembaruan
hukum Islam. Pembaruan hukum Islam merupakan bagian dari pembaruan
yang terjadi dalam Islam. Jadi, pembaruan dalam Islam lebih luas meliputi
pembaruan dalam bidang pendidikan, politik, kebudayaan, hukum, dan lain-
lain. Gerakan pembaruan dalam arti yang luas ini, di Kerajaan Usmani pun,
menurut Harun Nasution, sudah dimulai sejak abad ke-14 Masehi. Akan
tetapi, pembaruan yang terjadi di Kerajaan Usmani pada waktu itu baru
dalam bidang kebudayaan dan kemiliteran, belum sempat menjamah bidang
hukum Islam serta masalah keagamaan pada umumnya karena pembaruan di
Kerajaan Usmani waktu itu tidak dipelopori oleh para ulama, sebagaimana
yang terjadi di India dan Saudi Arabia. Ide-ide pembaruan termasuk
pembaruan hukum Islam semakin mempengaruhi dunia Islam termasuk
negara kita setelah munculnya tokoh-tokoh pembaru ternama seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan lain-lain.
Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk
mengembangkan hukum Islam disebut gerakan pembaruan hukum Islam,
sebab gerakan itu muncul untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu
menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modem. Menetapkan ketentuan
hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru itu
mengandung dua unsur. P e r t a m a , menetapkan hukum terhadap masalah bam
yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah bayi tabung. K e d u a ,
menetapkan atau mencari ketentuan hukum bam bagi suatu masalah yang
sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan
kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan tidak sesuai
dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang yaitu ketentuan
hukum lama yang mempakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak
mampu lagi merealisasi kebutuhan dan kemaslahatan warga masa kini.
Untuk itu, perlu ditetapkan ketentuan hukum bam yang lebih mampu
merealisasi kemaslahatan umat yang mempakan tujuan syariat dengan
mempertimbangkan perkembangan bam yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modem. Contohnya ketentuan hukum Islam
mengenai pemimpin wanita. Ijtihad ulama sekarang telah membolehkan
wanita menjadi pemimpin atau kepala negara, padahal ijtihad lama
menetapkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atau kepala negara.
Jadi, pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan
ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modem, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada
ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk menggantikan
ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan
kemaslahatan manusia masa sekarang. Ketentuan hukum di sini yaitu
ketentuan hukum Islam kategori fikih yang merupakan hasil ijtihad para
ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori syariat.
Pembaruan itu dapat terjadi dalam tiga bentuk atau tiga kondisi, yaitu
sebagai berikut.
1. bila hasil ijtihad lama itu yaitu salah satu dan sekian kejadian
yang dikandung oleh suatu teks Alquran dan hadis. Dalam keadaan
demikian, pembaruan dilakukan dengan mengangkat pula kejadian
yang lain yang terkandung dalam ayat atau hadis itu . Contoh,
jumhur ulama telah menetapkan tujuh macam kekayaan yang wajib
zakat, yaitu emas dan perak, tanam-tanaman, buah-buahan, barang
dagangan; binatang ternak, barang tambang, dan barang peninggalan
orang dahulu yang ditemukan waktu digali.
S e b a g i a n d a r i h a s i l u s a h a m u y a n g b a i k - b a i k d a n s e b a g i a n d a r i a p a
y a n g K a m i k e l u a r k a n d a r i b u m i u n t u k k a m u .
Pendapat yang menetapkan penghasilan yang datang dari jasa
dikenakan zakat, sebagaimana telah dijelaskan, juga tetap berkisar
dalam ruang lingkup arti teks Alquran di atas.
2. bila hasil ijtihad lama didasarkan atas ' u r f setempat, dan bila ' u r f i t u
sudah berubah maka untuk ijtihad lama itu pun dapat diubah dengan
menetapkan hasil ijtihad baru yang didasarkan kepada ' u r f setempat
yang telah berubah itu. Contohnya hasil ijtihad mengenai kepala negara
wanita. Hasil ijtihad ulama terdahulu menetapkan wanita tidak boleh
menjadi kepala negara, sesuai dengan ' u r f warga Islam masa itu
yang tidak bisa menerima wanita sebagai kepala negara. Dengan
berkembangnya paham emansipasi wanita, ' u r f warga Islam
sekarang sudah berubah, mereka sudah dapat menerima wanita sebagai
kepala negara. Hasil ijtihad ulama pun sudah berubah dan sudah
menetapkan bahwa wanita boleh menjadi kepala negara.
3. bila hasil ijtihad lama ditetapkan dengan q i y a s maka pembaruan
dapat dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad atau
ketentuan hukum yang ditetapkan dengan q i y a s dengan memakai
i s t i l s a n . Sebagaimana diketahui, penetapan hukum dengan i s t i l s a n
merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan
oleh q i y a s dan metode i s t i n b a t h hukum yang lain. Contohnya hasil
ijtihad tentang larangan masuk masjid bagi orang haid yang di- q i y a s -
kan kepada orang j u n u b (orang yang mandi besar) karena sama-sama
hadas besar. Ada ulama yang merasa q i y a s di atas kurang tepat karena
ada unsur lain yang membedakan haid dengan junub, walaupun
keduanya sama-sama hadas besar.
Karena pembaruan hukum Islam mengandung arti, bahwa gerakan
ijtihad menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan
dan perkembangan baru maka pembaruan itu dilakukan dengan cara kembali
kepada ajaran asli Alquran dan hadis dan tidak mesti, terikat dengan
ketentuan hukum Islam hasil ijtihad lama yang merupakan hukum Islam
kategori fikih. Hukum Islam kategori fikih yaitu hasil pemahaman dan
rumusan para ulama yang bisa jadi ada yang dipengaruhi oleh keadaan pada
masa itu, seperti yang dilandaskan atas ' u r f setempat dan karenanya
ketentuan itu belum tentu mampu menjawab permasalahan dan
perkembangan baru, artinya belum tentu mampu merealisasi kemaslahatan
umat masa kini yang keadaannya berbeda dengan keadaan masa itu. Adapun
ajaran asli Alquran dan hadis selalu mampu menjawab permasalahan
warga sepanjang zaman dan semua tempat. Oleh karena itu, dalam
menetapkan hukum terhadap suatu masalah, para mujtahid harus langsung
kembali kepada ajaran asli Alquran dan hadis dengan cara berijtihad
memahami dan menafsirkan ajaran asli itu serta memperhatikan dasar-
dasar atau prinsipnya yang umum. Dengan demikian, ketentuan hukum
Islam yang dihasilkan oleh ijtihad itu betul-betul mampu menjawab
permasalahan warga , dalam arti mampu merealisasi kemaslahatan umat
manusia yang merupakan tujuan syariat Islam.
Melihat kondisi umat Islam yang semakin terpuruk dan ketertinggalan
yang sangat jauh dari peradaban Barat maka diawal abad ke-13 Hijriyah ada
sebuah prakarsa pemikiran yang ingin membukakan cakrawala kepada umat
Islam bahwa pintu ijtihad sesungguhnya masih terbuka lebar. Sebagian
ulama yang dipelopori oleh Imam Asy-Syaukani menyatakan bahwa ijtihad
masih sangat terbuka. Ada beberapa alasan kenapa ijtihad masih terbuka, yaitu
a. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang dinamis
menjadi kaku dan beku, sehingga Islam suatu saat akan ditinggalkan
oleh cepatnya perubahan zaman. Sebab banyak kasus baru yang
hukumnya belum dijelaskan oleh Alquran dan As-Sunnah, dan juga
belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu.
b. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi para ulama
Islam untuk menciptakari pemikiran yang baik dalam memanfaatkan
dan menggali sumber (dalil) hukum Islam.
c. Membuka pintu ijtihad berarti membuat setiap pemasalahan bam yang
dihadapi oleh umat dapat diketahui hukumnya, sehingga hukum Islam
akan selalu berkembang dan sanggup menjawab tantangan zaman.
Lebih-lebih wilayah ijtihad yang dimaksud hanya memasuki pada
wilayah-wilayah teks yang d z a n n i y a t u a d - d a l a l a h .
Terbukanya pintu ijtihad tentu saja memiliki konsep dan persyaratan
yang utuh agar ijtihad tidak disalahgunakan oleh pihak yang ingin memsak
orisinalitas ajaran Islam. Kemusykilan pengertian dan cakupan ijtihad,
metode ijtihad, serta kualifikasi mujtahid yaitu hal-hal yang perlu
dipertimbangkan sebelum kita berbicara tentang pentingnya ijtihad. Sudah
sangat jelas, bahwa ijtihad bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan oleh
setiap orang. Membuka pintu ijtihad bukan berarti Memberi hak kepada
setiap orang untuk berijtihad.
Belakangan ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak melakukan
ijtihad tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Asas egalitarianisme Islam
sering dijadikan dalih untuk menolak adanya kaum elit yang memiliki
otoritas benjtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak
mau, melainkan persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang
tidak mampu untuk berijtihad sangat mengundang bahaya. Untuk itulah,
sebelum seseorang melakukan ijtihad harus sudah memenuhi persyaratan
yang ketat, namun tentu saja untuk ukuran saat ini tidak seketat dan seideal
yang dimiliki oleh para mujtahid mutlak.
C. TUJUAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM
Kemajuan yang pesat terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi modem menimbulkan pembahan besar dalam segala bidang
kehidupan manusia. Pada masa awal Islam peperangan masih dengan
memakai pedang, sekarang sudah sampai kepada penggunaan senjata
canggih bempa senjata kimia dan bom nuklir. Begitu pula dengan alat
transportasi masih memakai binatang tunggangan seperti unta, kuda,
dan lain-lain, sekarang sudah sampai pada penggunaan pesawat yang
memiliki kecepatan jelajah yang luar biasa. Jelasnya dalam kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak muncul hal-hal baru dalam
kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan dalam masya-rakat.
Perubahan struktur sosial dan munculnya masalah baru seperti transfusi
darah, inseminasi (pembuahan) buatan, bayi tabung, dan lain-lain perlu
diatur dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan Islam.
Islam sebagai agama wahyu yang terakhir berlaku dan dibutuhkan
sepanjang zaman memiliki pedoman dan prinsip dasar sebagai petunjuk
bagi umat manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat. Sebagai agama yang dibawa untuk menjadi rahmat bagi
sekalian alam, Islam tentu harus dapat menjawab semua permasalahan umat
manusia yang telah dan akan timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kalau Islam tidak mampu menjawab permasalahan umat manusia
tentu akan ditinggalkan. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh siapa pun yang
meyakini kebenaran ajaran Islam.
Agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi dan menjawab tantangan
zaman, hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman terhadap Islam
perlu terus-menerus diperbarui dengan Memberi penafsiran bam terhadap
n a s h s y a r a k dengan cara menggali kemungkinan lain atau alternatif dalam
syariat yang diyakini mengandung alternatif yang bisa diangkat dalam
menjawab masalah baru. Jadi, pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar
hukum Islam selalu mampu merealisasi tujuan syariat semaksimal mungkin,
yaitu merealisasi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Timbul pertanyaan, apakah boleh hukum Islam terus-menerus
diperbarui dan dikembangkan? Bukankah ajaran Islam mutlak kebenarannya
dan tidak berubah? Untuk menjawab pertanyaan ira perlu dipelajari terlebih
dahulu hakikat Islam secara filosofis dan historis. Sebagaimana diketahui
Islam mengandung ajaran yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.
melalui wahyu. Wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad
melalui Jibril pada hakikatnya yaitu ayat-ayat Alquran dalam teks Arabnya.
Oleh karena itu, kalam Allah dalam Islam harus diartikan secara harfiah,
firman, sabda, atau kata-kata Tuhan.
Hakikat ini memiliki implikasi bahwa jika kata-kata Arab dalam ayat
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad diganti dengan sinonimnya, atau
diubah susunan katanya, atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain maka ayat
yang dihasilkan demikian bukanlah lagi wahyu yang bersifat absolut,
melainkan merupakan penafsiran, hasil buatan manusia, yang bersifat relatif
kebenarannya. Dengan kata lain, penafsiran dan terjemahan itu tidak
mengikat bagi manusia, yang mengikatnya yaitu ayat-ayat dalam teks Arab
itu. Demikianlah sifat dasar dari Alquran sebagai sumber pertama ajaran
Islam.
Adapun hadis sebagai sumber kedua, bukanlah wahyu dalam arti di
atas. Hadis pada umumnya mengandung ucapan dan perbuatan Nabi
Muhammad saw. yang disebut sunnah Nabi serta terpelihara dari kesalahan.
Kalau ada ucapan atau perbuatan Nabi yang salah, beliau mendapat teguran
dari Tuhan. Kalau tidak mendapat teguran, ucapan dan perbuatan Nabi itu
benar. Dengan demikian, Nabi terpelihara dari kesalahan (maksum). Ada
pula hadis yang mengandung bukan ucapan atau perbuatan Nabi, melainkan
arti yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati beliau. Kemudian, Nabilah
yang mengungkapkan arti kata itu dalam kata-kata beliau sendiri, yang
disebut hadis q u d s i . Hadis sebagai sumber kedua memberi penjelasan
terhadap ayat-ayat Alquran.
Ayat Alquran berjumlah lebih dari 6000, namun hanya sebagian dari
jumlah itu yang merupakan ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang
keimanan, ajaran tentang hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, dan
ajaran tentang hubungan horizontal manusia dengan manusia. Menurut
perkiraan ulama, jumlah ayat itu hanya kira-kira 500 : 130 mengenai
keimanan, 140 mengenai ibadah, dan 230 mengenai muamalah atau hidup
berwarga . Di samping itu, ada pula ayat-ayat yang mengandung
ungkapan tentang fenomena alam yang erat hubungannya dengan filsafat
dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar dari ayat-ayat itu mengandung
riwayat tentang nabi sebelum Nabi Muhammad, riwayat umat terdahulu,
teladan serta ibarat yang dapat diambil dari pengalaman umat masa lampau,
hidayah serta kesesatan, dan kebaikan serta kejahatan.
Dalam.ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang iman, ibadah, dan
hidup berwarga pada umumnya datang dalam bentuk ajaran dasar dan
prinsip tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai cara pelaksanaannya.
Demikian juga dengan ayat-ayat tentang fenomena alam.
Ayat-ayat yang mengandung ajaran dasar dan prinsip-prinsip inilah
yang menjadi pegangan utama umat Islam semenjak Nabi Muhammad
wafat, dalam menghadapi berbagai masalah dalam bidang keimanan atau
teologi, bidang ibadah, bidang hidup kewarga an, filsafat, dan
sebagainya.
Timbullah dalam sejarah terhadap penjelasan dan penafsiran tentang
ajaran dasar serta prinsip-prinsip itu. Pemberian penjelasan dan penafsiran
dimulai oleh sahabat Nabi, terutama Abu Bakar, Umar Ibn Al-Khattab,
Usman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Talib, yang secara kronologis
menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai kepala umat Islam yang
tidak lama setelah hijrah ke Madinah, mengambil bentuk negara. Dalam
memberi penjelasan dan penafsiran mereka dibantu oleh sahabat lain yang
senantiasa mereka ajak bermusyawarah.
Dengan demikian, di samping sunnah Nabi, timbullah sunnah sahabat.
Sunnah sebenarnya berarti tradisi, tetapi sunnah atau tradisi Nabi terpelihara
dari kesalahan, sedang sunnah atau tradisi sahabat tidak. Akan tetapi,
sungguh pun tidak terpelihara dari kesalahan sunnah, tradisi atau sunnah
sahabat berpengaruh besar kepada umat Islam sesudah zaman mereka dan
sampai sekarang pengaruh itu masih tetap ada.
Setelah zaman sahabat, datanglah zaman para ulama besar. Pada zaman
sahabat dunia Islam baru mencakup daerah sekitar semenanjung Arabia,
seperti Palestina, Syria, Irak, Persia, dan Mesir. Adapun zaman sesudah
mereka, daerah-daerah Afrika Utara, Spanyol, Transoxiana, India, dan
daerah lain yang jauh letaknya dari Arabia telah menjadi Islam. Kalau
masalah yang dihadapi sahabat dengan meluasnya daerah Islam ke luar
semenanjung Arabia, daerah yang mencakup berbagai bangsa, bahasa,
kebudayaan, dan adat istiadat, jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi
Nabi di zaman Islam masih terbatas pada semenanjung Arabia yang satu
bahasa, kebudayaan, dan adat istiadatnya. Oleh karena itu, masalah yang
dihadapi para ulama dengan Islam jauh lebih besar dari yang dihadapi para
sahabat.
Ulama pun tidak berpusat di satu tempat, tetapi masing-masing daerah
memiliki ulamanya sendiri-sendiri yang menghadapi masalah yang
berbeda pula. Dalam menghadapi masalah yang berbeda, pegangan mereka
tetap ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi. Oleh karena itu, timbullah
penjelasan dan penafsiran berbeda dalam menghadapi masalah berbeda itu.
Dalam perkembangan sejarah, penjelasan dan penafsiran berbeda itu
mengambil bentuk mazhab dan aliran-aliran. Mazhab dan aliran itu
terkadang tidak hanya menunjukkan perbedaan pendapat, tetapi juga
pendapat yang saling bertentangan.
Demikianlah dalam soal keimanan, yang menjadi ajaran paling pokok
dalam Islam, ada lima aliran teologi atau ilmu kalam. Masalah yang
pertama timbul dalam bidang ini yaitu kedudukan pembuat dosa besar,
seperti membunuh orang tanpa alasan yang sah, berzina, menjalankan riba,
dan durhaka kepada orang tua. Dipersoalkan apakah pembuat dosa besar
masih mukmin, masih orang Islam atau tidak? Golongan keras yang dalam
sejarah teologi dikenal dengan K h a w a r i j , mengatakan bahwa pembuat dosa
besar bukan mukmin lagi melainkan sudah menjadi kafir dan ke luar dari
Islam. Golongan lembut M u r j i ' a h berpendapat, bahwa pembuat dosa besar
tetap mukmin, orang Islam dan bukan kafir. Golongan rasional, M u k t a z i l a h ,
berpendapat lain pembuat dosa besar tidak mukmin, tidak kafir, dan
hanyalah muslim. Bagi M u k t a z i l a h , orang mukmin yaitu orang yang
mengucapkan dua syahadat dan menjalankan ajaran Islam, sedang orang
muslim yaitu orang yang hanya mengucapkan dua syahadat, namun tidak
melaksanakan ajaran Islam.
Perbedaan penafsiran ini timbul karena dalam Alquran tidak ada ayat-
ayat yang secara terperinci dan definitif menyebut siapa yang mukmin dan
siapa yang kafir. Ayat hanya menyebut iman mencakup kepercayaan kepada
Tuhan, malaikat, rasul, kitab, dan hari perhitungan di akhirat. Ketika terjadi
peperangan dan pembunuhan antara sesama muslim di zaman Usman, Ali,
dan Muawiyah, timbullah pertanyaan tentang pembuat dosa besar. Dalam
menjawab pertanyaan itu timbullah penafsiran yang berbeda-beda.
Setelah ulama Islam mulai dari abad ke-8 Masehi mempelajari filsafat
Yunani dalam usaha menentang serangan bersifat filosofis yang datang dari
luar Islam, filsafat mempengaruhi pemikiran keagamaan dalam Islam.
Sebagai akibatnya, timbullah dalam Islam teologi rasional dan teologi
tradisional. Teologi rasional banyak memakai penafsiran metaforis,
sedang teologi tradisional banyak terikat pada penafsiran harfiah.
"Tangan Tuhan" dan "kursi Tuhan" yang ada dalam Alquran
diartikan teologi rasional "kekuasaan Tuhan", sedang teologi tradisional
tetap berpegang pada arti harfiah, yaitu "tangan" dan "kursi", walaupun tidak
sama dengan tangan dan kursi manusia. Demikian pula dalam soal kemauan
dan perbuatan manusia, teologi rasional menganut paham adanya kebebasan
manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan, sedang teologi
tradisional menganut paham fatalisme. Perbedaan penafsiran ini timbul
karena ayat-ayat mengenai tangan dan perbuatan manusia itu tidak
mengandung penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan
kata-kata itu.
Dalam hubungan ini, bahwa dalam perkembangan penjelasan dan
penafsiran selanjutnya, para ulama Islam membagi ayat-ayat Alquran dalam
dua kelompok: ayat-ayat yang artinya pasti sebagaimana diberikan teks dan
tidak dapat ditakwilkan lagi ( q a t h ' i a l - d a l a l a h ) dan ayat-ayat yang artinya
masih dapat ditakwilkan ( z h a n n i a l - d a l a l a h ) . Yang banyak ada dalam
Alquran yaitu ayat-ayat yang z h a n n i a l - d a l a l a h , ayat-ayat yang artinya
dapat ditakwilkan, yaitu ayat-ayat yang tidak mesti diambil arti tersuratnya,
tetapi dapat diambil arti tersiratnya. "Kursi" dan "tangan" Tuhan itu
termasuk dalam kelompok ayat z h a n n i a l - d a l a l a h . Demikian juga j a n n a t
(surga) dan n a r (neraka). J a n n a t dalam arti tersurat menggambarkan istana
yang penuh dengan kesenangan jasmani, sedang n a r secara harfiah
menggambarkan api yang menyala-nyala. Kaum syariat mengambil arti
harfiah ini, namun kaum sufi dan filosofi mengambil arti tersirat, yaitu
kesenangan dan kesengsaraan ruhani yang secara tersirat terletak di belakang
gambaran jasmani tentang surga dan neraka yang diberikan Alquran.
Kalau dalam bidang keimanan, yang merupakan masalah paling pokok
dalam Islam, ada aliran-aliran yang berbeda pendapat, maka tidak
mengherankan kalau dalam bidang ibadah dan bidang muamalat atau hidup
kewarga an manusia, ada pula mazhab-mazhab. Imam mazhab
yang banyak memakai rasio yaitu Abu Hanifah dan yang banyak memakai
sunnah atau hadis yaitu Ahmad Ibn Hanbal. Dalam hal bidang ilmu kalam
atau teologi Islam, dalam bidang hukum fikih yang berhubungan dengan
ibadah dan hidup kewarga an manusia ada pula mazhab yang
rasional dan tradisional.
Sebagai contoh dalam soal ibadah dapat diambil penentuan permulaan
hari puasa, hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. R u ' y a t oleh golongan
rasional diartikan melihat dengan otak, yaitu perhitungan atau hisab,
sedang golongan tradisional mengartikan r u ' y a t "melihat" dengan mata
kepala.
Dalam hidup kewarga an, ayat Alquran sebagaimana telah disebut
di atas, berjumlah kira-kira 230 ayat. Perincian yang diberikan oleh Abdul
Wahab Khallaf, seorang Guru Besar dalam bidang hukum Islam yaitu
sebagai berikut: hidup kekeluargaan 70 ayat, jual beli 70 ayat, soal pidana 30
ayat, hubungan muslim dengan nonmuslim 25 ayat, peradilan 13 ayat,
hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat, serta soal kenegaraan 10 ayat.
Sesuai dengan sifat dasar ayat-ayat Alquran di atas, yaitu hanya
mengandung ajaran dasar dan prinsip-prinsip, banyak berbentuk z h a n n i a l -
d a l a l a h danfianya sedikit berbentuk q a t h ' i a l - d a l a l a h maka ayat-ayat
mengenai hidup kewarga an ini juga memerlukan penjelasan dan
penafsiran yang banyak dari para ulama hukum Islam. Sebagaimana dalam
bidang lain di sini juga banyak dijumpai perbedaan pendapat dan penafsiran.
Sebagai contoh dapat diambil perkawinan pria Islam dengan wanita
ahli kitab, yaitu wanita Yahudi dan Kristen. Dalam mazhab Syafi'i ada
pendapat bahwa wanita Kristen tidak boleh dikawini seorang pria muslim
karena ia menganut keyakinan trinitas. Menumt mazhab lain, seorang pria
Islam boleh kawin dengan wanita Kristen karena dia yaitu ahli kitab dan
bukan m usyrikah atau politeis. Ayat Alquran dengan jelas mengatakan
bahwa orang Islam boleh mengambil wanita ahli kitab menjadi istri.
Alquran surah Al-Maa'idah (5) ayat 5 berbunyi :
D an d iha la lkan m engaw in i w an ita -w an ita y a n g m en jaga kehorm a tan
d i an ta ra w an ita -w an ita y a n g berim an dan w an ita -w an ita y a n g
m en jaga kehorm a tan d i an ta ra o rang -o rang y a n g d ib er i a l-K itab
sebe lum kamu, b ila kam u te lah m em baya r m as kaw in m ereka dengan
m aksu d m en ikah inya .
Dikarenakan ayat di atas tidak menjelaskan lebih lanjut ahli kitab mana
yang dimaksud, timbullah perbedaan penafsiran tentang ahli kitab itu .
Semenjak masuknya bank Barat ke dalam Islam pada abad ke-19
timbullah perbedaan pendapat mengenai haram atau tidaknya bunga bank.
Yang tegas diharamkan dalam Alquran yaitu riba (lihat Alquran Surah Al-
Baqarah (2) ayat 275-278 dan Surah Ali' Imran (3) ayat 1 30). Ayat ini juga
tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan riba. Yang
menjadi pertanyaan apakah bunga bank masuk dalam kategori riba. Ada
yang menganggapnya masuk kategori riba dan mengharamkan bunga bank.
Di lain pihak menganggapnya bukan riba atau berpendapat bahwa bunga
bank tidak haram.
Kesimpulan dari uraian di atas bahwa sepanjang masa timbul
penjelasan dan penafsiran mengenai ajaran dasar dan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Alquran. Penjelasan dan penafsiran para ulama, yang
disebut ijtihad, makin lama makin banyak jumlahnya. Ijtihad ulama yang
jauh lebih banyak dibandingkan ayat-ayat Alquran itu sendiri, juga merupakan
ajaran-ajaran Islam. Namun, karena ajaran yang berasal dari ijtihad ini
yaitu hasil pemikiran manusia, maka ajaran itu bersifat relatif dan tidak
absolut.