Rabu, 13 September 2023

sejarah majapahit 2

Dari dua nama ini, antara Majapahit dengan Hayam Wuruk 
sebenarnya memiliki satu kesamaan, yakni sama-sama membawa 
pengaruh besar terhadap Indonesia masa kini.
E. Warna Merah Putih (Getah Getih) dipakai  sebagai Bendera RI 
Semua orang pasti mengetahui bahwa bendera merah putih menjadi
lambang kebesaran bangsa Indonesia, ciri khas bangsa Indonesia, serta 
menjadi lambang kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak 
suku. Sebenarnya, ini masih berhubungan dengan pengaruh besar 
Majapahit terhadap Indonesia masa kini.
Mpu Prapanca, di dalam buku karangannya, Nagarakertagama, 
menceritakan bahwa warna merah dan putih pernah dipakai  sebagai
bendera yang dikibarkan dalam upacara hari kebesaran Raja Hayam 
Wuruk yang bertahta di Majapahit pada tahun 1350-1389 M. Selain itu, 
gambar-gambar yang dilukiskan pada kereta-kereta para petinggi 
Majapahit yang menghadiri upacara hari kebesaran Raja Hayam Wuruk 
itu bermotif merah dan putih.
Sebelumnya, warna merah dan putih juga pernah dipakai  sebagai 
bendera yang dikibarkan bala tentara Jayakatwang saat menyerang Singasari. 
Di zaman Majapahit, warna putih diambil dari warna alami kapuk yang 
ditenun menjadi selembar kain. Sedangkan, warna merah diperoleh dari 
perasan daun pohon jati, bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilitnbi), atau 
kulit buah manggis. Kedua warna itu merupakan warna yang dimuliakan dan 
dijadikan lambang kebesaran Majapahit.
Atas dasar itulah, lalu pada tanggal 18 Agustus 1945, 
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang 
perta-manya dan menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 
(UUD 1945). Di antara isinya antara lain menetapkan bahwa negara 
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik (Bab 1 Pasal 
1) dan bendera negaranya adalah merah putih (Pasal 35). Bendera merah 
putih pertama kali dikibarkan oleh para pendiri bangsa saat Proklamasi 
Kemerdekaan dilaksanakan tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan 
Timur Nomor 56, Jakarta.
F. Berbagai Bentuk PavilIiun (Pendopo) Dijadikan Inspirasi bagi 
Bangunan Pura dan Kompleks Perumahan di Bali
Anda yang sudah pernah jalan-jalan ke Ball pasti sering menemui 
pura dan kompleks perumahan yang bangunannya klasik mirip pura-pura 
peninggalan Majapahit. Sebenarnya, itu terinspirasi dari bentuk paviliun 
(pendopo) yang pernah dibangun di zaman Majapahit.
Pura dan kompleks perumahan di Bali itu memang sengaja 
dibangun dengan beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing￾masing lingkungan ini memiliki gerbang atau gapura yang berukiran 
indah dan menggambarkan aktivitas warga  setempat.
Denah bangunannya juga mengikuti konsep Trimandala yang 
memiliki tingkatan pada derajat kesucian, yakni sebagai berikut:
1. Nista Mandala (Jaba Pisan); lingkungan terluar yang merupakan pintu 
masuk ke lingkungan tengah. Lingkungan ini biasanya beru-pa 
lapangan rumput atau taman bunga yang cukup lebar yang sekiranyamuat untuk dipakai  dalam acara ritual, dan upacara kematian, 
berbagai upacara keagamaan.
2. Madya Mandala (JabaTengah): lingkungan tengah yang merupakan 
tempat beraktivitas di dalam ruangan beserta isinya. Dan, khusus untuk 
pura, biasanya di lingkungan ini ada  Bale Kulkul, Wantilan (ruang 
pertemuan), Bale Gong (gamelan), Perantenan, dan Pesandekan.
3. Utama Mandala (Jero): lingkungan yang merupakan zona paling suci 
yang biasa dipakai  untuk sembahyang. Dan, khusus untuk pura, 
biasanya di lingkungan ini ada  Bale Panggungan, Bale Murda, 
Bale Pawedan, Bale Piyasan, dan lain sebagainya.
Begitulah berbagai bentuk paviliun (pendopo) yang pernah diba￾ngun di zaman Majapahit menginspirasi bagi bangunan pura dan 
kompleks perumahan di Bali. Namun agaknya, literatur yang membahas 
hal ini sangat sedikit, sehingga tidak banyak diketahui.
G. Keris sebagai Senjata Klasik Maupun Pusaka yang Dihormati
Siapa di antara Anda yang suka mengoleksi keris, atau pernah 
mendapatkan warisan pusaka yang berupa keris? Keris agaknya tidak bisa 
dipisahkan dari sejarah Majapahit yang sudah terkubur ratusar tahun lalu. 
Para raja yang pernah menduduki singgasana Majapahtr memiliki keris. 
Sebut saja, Raden Wijaya, pendiri pertama Majapah'rt yang memiliki 
keris Kyai Gajah buatan Mpu Brahma Dewa. Selanjutnya, raja-raja lain 
yang pernah menduduki singgasana Majapahit juga memt-liki keris yang 
dijadikan sebagai senjata maupun pusaka kerajaan.
Sejarah mencatat bahwa banyak sekali keris yang dibuat pada 
zaman Kerajaan Majapahit. Di antaranya yang paling terkenal dan 
melegenda adalah keris pusaka Taming Sari, Condong Campur, Sabuk 
Inten, dan Naga Sasra. Sebagian besar dari keris ini  sekarang ini 
banyak yang tidak diketahui keberadaannya sebab  diduga menghilang 
dengan sendirinya (disebabkan oleh unsur magis di dalamnya), dan 
sebagian ada yang disimpan di museum seni.
Para keturunan Raja Majapahit yang sekarang tersebar di 
nusantara diduga juga memiliki keris-keris pusaka zaman Majapahit yang 
diwariskan secara turun-temurun. Mereka biasanya menyimpan keris￾keris yang diwariskan ini  di dalam sebuah kotak tertutup dan tidak 
untuk dipajang di ruangan dalam rumah. Dan, sebab  keris-keris ini memiliki unsur pusaka, maka setiap tiba di bulan Syura hari Selasa Wage 
selalu di-jamas, di-warangi, dan Selanjutnya diminyaki.
Galeri keris yang dimiliki oleh Gus IMM Trowulan yang 
terpajang di padepokan beliau juga bisa kita kunjungi dan bisa di pakai 
untuk spot foto yang menarik. Lokasinya tepat di depan Candi Bajangratu 
lebih tepatnya di Desa Temon, Kec. Trowulan. Disitu kita bisa memahami 
berbagai macam jenis keris yang dikoleksinya sambil belajar tentang 
konsep Islam, Majapahit dan Jawa.
H. Rumah dan Kampung Majapahit di Trowulan sebagai bentuk 
nuansa era Majapahit yang masih dilestarikan.
Hal lain nanti juga bisa kita lihat pada bentuk bangunan rumah 
Majapahit yang ada di kawasan Trowulan. Merupakan bentuk usaha  
Pemerintah untuk mengembalikan nuansa ke Majapahitan di kawasan 
Trowulan guna melestarikan budaya lokal dan menarik para wisatawan 
yang akan berkunjung di kawasan Trowulan. Bentuk bangunan rumah 
Majapajit banyak kita temukan di Desa Sentonorejo, Desa Trowulan, 
Desa Jatipasar, Desa Temon dan Desa Wates Umpak. Sementara Desa 
Bejijong lebih menekankan akan desa wisata yaitu Kampung Majapahit 
sebab  banyak disediakan Home Stay dengan fasilitas yang lengkap. Hal 
ini didukung oleh adanya Sanggar Bhagaskara yang mempertahakankan 
kampung Majapahit ini didukung dengan adanya festival kampung 
Majapahit, bedah buku, karawitan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Wisata 
Desa Bumi Mulyo Jati Majapahit di Desa Randugenengan, Kec. Dlanggu 
juga dapat kita kunjungi, sebab  disitu juga ada patung Gajah Mada, 
kolam renang, permainan anak-anak dan kampung Coklat. Serta dengan 
adanya peran komunitas-komunitas Majapahit di Mojokerto dan 
sekitarnya juga semakin menambah kajian kita dalam memahami 
Majapahit secara menyeluruh.










Waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Demikian pepatah 
latin kuno yang mungkin masih kita temukan aktualisasinya hingga sekarang. 
Waktu berubah dan cara-cara manusia mengekspresikan dirinya, menelusuri 
jejak pencarian makna tentang siapakah dirinya, orang lain dan dirinya 
bersama orang lain (warga ) juga berubah. Jika dikatakan bahwa tidak 
ada yang tetap di dunia ini mungkin yang tetap adalah perubahan itu sendiri. 
Seturut konteks zaman yang berubah, orang-orang dengan alam pikir dan 
rasa, karsa dan cipta, kebutuhan dan tantangan yang mengalami perubahan, 
serta budaya pun ikut berubah.
Pendahuluan
Dalam rangka pembangunan nasional, Pemerintah berusaha menggali 
dan mengembangkan berbagai potensi sumber daya yang ada di setiap daerah. 
Salah satunya dengan mengembangkan potensi pada sektor pariwisata. Untuk 
mencapai pembangunan ini  Pemerintah telah mengeluarkan berbagai 
kebijakan dalam bidang kepariwisataan. Pembangunan pariwisata perlu 
ditingkatkan untuk memperluas kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan 
devisa serta memperkenalkan alam kebudayaannya (Utomo, 1993:5).
Pembangunan sektor pariwisata ini merupakan salah satu program 
andalan Pemerintah Indonesia yang memiliki prospek dan peranan penting 
dalam pembangunan. Hal ini sebab  Indonesia memiliki potensi keindahan 
alam, keanekaragaman seni budaya, adat istiadat serta peninggalan sejarah. 
Semua itu merupakan aset pariwisata yang potensial untuk dikembangkan. 
Suksesnya pengembangan kepariwisataan sangat ditentukan oleh adanya 
dukungan serta partisipasi aktif seluruh lapisan warga  terutama 
penduduk sekitar objek wisata.
Kegiatan pariwisata tentunya tidak lepas dari potensi pariwisata yang ada 
di setiap daerah. Di Indonesia banyak sekali objek yang menarik yang biasa dijadikan sebagai objek wisata, objek-objek ini  antara lain objek wisata 
alam, wisata budaya (wisata religi), dan wisata bahari. Oleh sebab itu, setiap 
daerah berusaha mengembangkan dan saling bersaing dalam sektor 
pariwisata. Pada saat ini dikembangkan wisata ziarah atau religi di daerah 
yang mempunyai peninggalan sejarah (budaya) yang memiliki nuansa historis 
dan religius.
Dampak berbagai macam pengembangan pariwisata akan berbeda￾beda. Namun itu akan kelihatan sekali dampaknya terhadap perekonomian 
warga , Pemerintah dan atau lingkungannya (Wahab, 1998:11). Dengan 
adanya dampak di atas, kepariwisataan dalam pembangunan wilayah akan 
memberikan sumbangan antara lain dalam bidang sosial, ekonomi dan 
budaya serta lingkungan kalau dikelola dengan profesional. Keanekaragaman 
suku bangsa dan budaya merupakan suatu aset nasional yang dapat dijadikan 
komoditi utama. sebab  itu, Pemerintah harus memikirkan pengembangan 
pariwisata dengan menetapkan strategi khusus untuk mengatasi permasalahan 
yang terjadi sekarang dan masa mendatang sehingga pariwisata benar-benar 
menjadi sektor yang bisa mendatangkan keuntungan.
Kajian Pustaka
a. Pengertian Glokalisasi
Proses pengadaptasian barang atau jasa yang dijual secara 
internasional terhadap budaya dan pasar lokal yang berbeda. Glokalisasi 
melihat yang global berinteraksi dengan yang lokal untuk menghasilkan 
sesuatu yang khas sifatnya Glokal2
b. Pengertian Eksistensi
Hal berada, keberadaan. Eksistensi adalah suatu proses yang 
dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata 
eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui 
atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan 
lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya 
kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan 
potensi-potensinya
Kebijakan Pemkab Mojokerto dalam mempertahankan Eksistensi 
Majapahit dan Islam di Era Milineal
Dalam penerapan kebijakan Pemkab Mojokerto melakukan berbagai 
macam kegiatan rutin tahunan. Hal ini dilakukan dalam mempertahankan 
tradisi mmsyarakat setempat dan disesuaikan dengan kebudayan Majapahit 
dan Islam yang sudah berkembang di Trowulan selama ini. Peran serta 
masyarkat dan pihak lain tidak dapat dipisahkan dalam penerapan kebijakan 
ini. Adapun bentuk kebijakan ini  dapat diterapkan dalam bentuk 
kegiatan-kegiatan dibawah ini:
1. Festival Pawai Budaya Majapahit
Kegiatan di dalamnya seperti halnya Penampilan Tari Mayang 
Rontek dan Bantengan. Tema dari kegiatan ini biasanya tiap tahun selalu 
diganti. Hal ini  merupakan rangkaian hari jadi kabupaten Mojokerto. 
diikuti oleh 18 kecamatan yang ada diseluruh wilayah kabupaten 
Mojokerto. Biasanya dari pihak kecamatan di wakilkan kepada 
SMA/SMK terdekat.
2. Ruwat Agung Nuswantoro
a) Festival dan Gebyar Macapat
Kegiatan ini biasanya di laksanakan untuk para siswa dan guru bisa 
disebut juga untuk tingkat senior dan junior. Serta diiringi 3 musisi 
gamelan, meraka begitu lihai melantunkan cengkok macapat. 
Layaknya sinden profesional, jenis tembang macapat Dhandhanggulo 
dan Sinom, menjadi pilihan utama peserta.
b) Unduh-Unduh Patirtaan
Unduh-unduh Patirtaan (mengumpulkan air) dari tujuh sumber
berbeda kraton Majapahit. Antara lain petirtaan Siti Inggil di Bejijong 
Trowulan, petirtaan Tribuwana Tungga Dewi di Klinterejo Sooko, 
petilasan Prabu Hayam Wuruk Desa Panggih Trowulan, petirtaan 
Putri Campa di Unggahan Kecamatan Trowulan, petirtaan Kubur 
Panjang/ Sumber Towo di Desa Unggahan Trowulan, sumur Sakti 
Gajah Mada di Beloh Kecamatan Trowulan, dan terakhir di sumur 
Upas Candi Kedaton Desa Sentonorejo Trowulan. Dalam proses 
pengambilan air di tujuh sumber mata air ini . Pihak Disbudpar 
dan Budayawan juga melibatkan siswa dari sekolah di sekitarnya 
yang termasuk dalam kecamatan Trowulan3
.

c) Ruwat Sukerto
Dalam ruwatan ini juga masih memperhatikan tradisi Jawa. Terutama 
konsep : ontang anting, gentono gentini, gentini gentono, sendang apit 
pancuran, pancuran apit sendang, uger-uger lawang, kembang 
sepasang, pendowo limo, pendawi limo. Tujuh sumber mata air yang 
diambil tadi dipakai  untuk melaksanakan prosesi ruwat sukerto.
d) Mangesti Suro
Biasanya mengadakan resepsi dan tumpengan serta mengundang raja￾raja Bali serta dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit

3. Kirab Agung Nuswantoro Majapahit
Kirab Agung Bumi Nuswantoro merupakan bentuk kegiatan seni 
arak-arakan/karnaval tradisi budaya yang memiliki keanekaragaman 
bentuk, jenis, nilai dan visual yang merupakan warisan penting untuk 
penguatan martabat jatidiri dan sumber inspirasi dalam proses kreatif 
mengenal sejarah tempo dulu bagi kehidupan berbudaya.


Kabupaten Mojokerto yang memiliki peninggalan sejarah 
Kerajaan Majapahit beserta nilai tradisi serta keragaman budaya maupun 
adat-istiadat yang tentu dibarengi dengan keunikan dan khasanahnya 
masing-masing perlu memperbanyak ruang-ruang kreatif dan event-event 
guna mengawal tumbuh kembangnya nilai tradisi budaya yang ada di 
tengah warga . usaha  pelestarian dan pengembangan tradisi budaya 
terutama pada kegiatan Kirab Agung Bumi Nuswantoro akan membuka 
secara luas informasi pada daerah lain sebagai ajang promosi kebesaran 
Kerajaan Majapahit yang pada akhirnya dapat meningkatkan kunjungan 
wisata di Kabupaten Mojokerto demi meningkatkan pendapatan dan 
kesejahteraan warga  Mojokerto.
4. Kirab Kubro dan Haul Syeikh Jumaddil Kubro
Kirab kubro memperingati Haul Syeikh Jumadil Kubro yang 
diperingati tiap tahun tidak pernah sepi animo. Dengan haul ini, kita bisa 
terus mengingat perjuangan Syekh Jumadil Kubro dalam berdakwah dan 
menyebarkan ajaran agama Islam pada masa Kerajaan Majapahit. Syeikh 
Jumadil Kubro dikenal sebagai penyebar Agama Islam di tanah Jawa 
pada masa Kerajaan Majapahit. Syeikh Jumadil Kubro adalah leluhur dan 
guru dari para Walisongo sesudahnya. Mengingat besarnya jasa dalam 
perkembangan Islam khususnya Jawa Timur, maka banyak kalangan umat 
Islam yang memelihara tradisi untuk terus mendoakan hari wafatnya, atau 
dalam Islam dikenal sebagai haul. Kompleks Makam Troloyo sebagai 
letak Makam Syeikh Jumaddil Kubro selalu dijadikan sebagai puncak 
acara haul ini . Biasanya kegiatan dalam meramaikan kegiatan haul 
terebut adalah Kirab Kubro yang dilakukan oleh warga  Trowulan, 
dilanjutkan dengan kegiatan Sema’an, Hadrah ISHARI Se-Karisidenan 
Gerbang Kartasusila yang meliputi Mojokerto, Lamongan, Jombang dan 
sekitarnya. Malam puncak kegiatan ini biasanya diadakan pengajian 
umum yang dihadiri oleh penceramah kondang atau terkenal, para tokoh 
agama dan seluruh lapisan warga  di Kabupaten Mojokerto.
5. Pagelaran Budaya Bulan Purnama
Gelaran pertama adalah Bulan Purnama Larung Sesaji yang 
dilaksanakan di Kolam Segaran. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Dinas 
Pariwisata Kepeemudaan dan Olah raga Kabupaten Mojokerto. Diawali 
dengan kirab sesaji yang berangkat dari Pendopo Agung menuju Kolam 
Segaran. Dengan upacara dan doa, selanjutnya hewan ternak unggas dan 
ikan dilarungkan ke Kolam Segaran. Acara ini selain bentuk gelaran 
budaya sekaligus sebagai atraksi wisata budaya yang dikunjungi oleh 
warga  Trowulan dan sekitarnya.
Seluruh rangkaian kegiatan diatas merupakan usaha  pemkab 
Mojokerto dalam bentuk melestarikan budaya lokal dan termasuk bagian 
dari program tahunan yang harus dilaksanakan dalam usaha nya untuk 
mewujudkan dan meningkatkan kemajuan pariwisata dan simbol 
Kerajaraan Majapahit di era milenial.
Dampak yang ditimbulkan dengan adanya kebijakan Pemkab Mojokerto 
terhadap kegiatan rutin tahunan yang diselenggarakan di Trowulan
Pada dasarnya semua usaha dan aktivitas pembangunan dapat 
menimbulkan dampak, baik secara positif maupun negatif. Dampak positif 
suatu pembangunan merupakan suatu dampak yang sangat diharapkan oleh 
pemerintah maupun warga , dampak negatif tidak diharapkan bahkan 
perlu ditekan sekecil mungkin. Begitu pula dengan pembangunan di bidang kepariwisataan juga menimbulkan dampak positif maupun negatif bagi pihak 
pengelola, Pemerintah bahkan warga .
Pariwisata merupakan segala macam motivasi yang mempunyai 
pengaruh pada segi-segi kehidupan orang dan warga  baik pada segi 
sosial-ekonomi yang bisa dinyatakan dalam angka (quantifiable) maupun 
pada segi-segi sosial-budaya, politik dan lingkungan yang ada dasarnya sulit 
ditanyakan dalam angka (non-quantifiable). Pengaruh-pengaruh itu bisa 
menguntungkan sehingga perlu di lipatgandakan dan bisa merugikan
sehingga sedapat mungkin dihindari atau dibatasi (Spillane, 1991:13).
Perkembangan kegiatan rutin tahunan yang dilakukan oleh Pemkab 
Mojokerto merupakan kegiatan terstruktur dan aktivitas manusia yang pada 
akhirnya memberi pengaruh ekonomi terhadap kehidupan di sekitar lokasi 
pariwisata. Pengaruh ekonomi dapat dirasakan oleh warga  sekitar, 
terutama dari segi materil yaitu meningkatnya pendapatan. Keuntungan 
lainnya adalah dengan dibangunnya sarana-sarana kemudahan menuju lokasi 
pariwisata, misalnya transportasi dan kios-kios penjualan sehingga dapat 
membuka lapangan pekerjaan bagi warga . Pada hakekatnya 
pembangunan pariwisata merupakan kegiatan ekonomi untuk memperbesar 
penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dan meratakan kesempatan 
berusaha terutama bagi warga  setempat.
Pendapat Spillane (1991:138) keuntungan pariwisata ini  bila 
dilihat dari aspek ekonomi yaitu:
a. Membuka kesempatan kerja dan memperluas lapangan pekerjaan
Industri pariwisata merupakan mata rantai yang sangat panjang, 
sehingga banyak membuka kesempatan kerja. Selain itu, semakin banyak 
wisatawan yang berkunjung maka banyak pula lapangan kerja yang 
tercipta baik secara langsung maupun tidak langsung yang berhubungan 
atau yang tidak berhubungan dengan pariwisata. Hal ini dapat menyerap 
tenaga kerja yang ada di daerah wisata.
Penyerapan tenaga kerja dapat diartikan tertampungnya tenaga 
kerja dalam suatu bidang pekerjaan, artinya ketika telah terbukanya suatu 
bidang usaha maka tertampunglah atau terseraplah tenaga kerja yang ada. 
Tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja. Menurut Budiarjo 
(dalam Cahyaningtyas, 2008:22) tenaga kerja adalah seluruh penduduk 
yang berusia 10 tahun keatas secara aktif melakukan kegiatan ekonomi. 
Penduduk yang meningkat dengan cepat dapat memicu  banyaknyapengangguran dan kekurangan lapangan pekerjaan, sebab  penduduk 
meningkat secara tidak langsung proporsi pekerja ikut meningkat.
b. Menambah pemasukan dan pendapatan warga 
Di daerah pariwisata warga  dapat menambah pendapatan 
dengan menjual barang dan jasa. Semakin banyak wisatawan yang 
membeli atau memakai  jasa mereka maka semakin besar 
pendapatan. Menurut Wahab (1998:94) pariwisata memacu peningkatan 
dan penambahan pendapatan warga  pada pusat-pusat kegiatan 
pariwisata yang tersebar di seluruh negara.
Pendapatan didasarkan atas penghasilan yang diterima oleh 
seseorang selama satu bulan yang telah melakukan usaha dan sebagai balas 
jasa atas kegiatan atau jerih payah yang telah dikerjakan. Dari kegiatan 
produksi maupun konsumsi dapat diketahui seberapa besar pendapatan yang 
diperoleh. Penghasilan ini  berupa uang atau sesuatu yang dapat 
diuangkan dari usaha keluarga. Menurut Usman (dalam Cahyaningtyas, 
2008:23) besar pendapatan yang diperoleh keluarga yang bersumber dari 
sektor formal (gaji atau upah yang diperoleh secara tetap), sektor informal 
(penghasilan tambahan dagangan, tukang, buruh), sektor subsistem (hasil 
usaha sendiri berupa tanaman, ternak, kiriman, dan pemberian orang lain).
c. Menambah devisa negara
Sektor pariwisata dapat menghasilkan devisa yang besar bagi 
negara untuk keperluan pembangunan. Banyak wisatawan asing yang 
memanfaatkan berbagai bentuk pelayanan yang tersedia oleh industri 
pariwisata maka semakin banyak devisa yang diterima, sehingga dapat 
dikatakan bahwa pembangunan pariwisata telah menjadi tumpuan 
harapan bagi banyak negara untuk memperbaiki dan meningkatkan 
perekonomiannya. Keuntungan pariwisata menyediakan berbagai para 
pekerja di bidang jasa, transportasi, pemandu wisata, para pedagang 
sekitar. Di samping masalah ketenagakerjaan, pariwisita juga 
menghasilkan pendapatan yang menguntungkan penduduk lokal dengan 
meningkatkan aktivitas perekonomian.
Adapun dampak lain yang ditimbulkan dari kegiatan ini adalah 
terpeliharanya budaya warga  setempat, sebagai ajang promosi 
pariwisata daerah dan warga  akan lebih mengenal sejarah setempat 
terutama sejarah Kerajaan Majapahit dan perkembangan Islam di 
kawasan Trowulan.Keterkaitan kebijakan Pemkab Mojokerto dengan Teori Jaringan Aktor 
Teori Jaringan Aktor, untuk selanjutnya di sini disebut ANT (Actor Network 
Theory) biasa dikaitkan dengan Bruno Latour, seorang antropolog ahli tentang 
kajian sains dan teknologi. ANT merupakan pendekatan yang pada awalnya 
dipakai dalam studi STS (Science, Technology, and Society), salah satu kajian 
multidisiplin dan transdisiplin yang meneliti tentang cara teknologi memengaruhi 
perubahan sistem politik, ekonomi, dan perilaku warga . Studi STS bukan 
sekedar kajian tentang fungsi dan pemanfaatan teknologi oleh manusia, tetapi 
kajian yang lebih mendalam tentang cara teknologi mengubah struktur dan 
perilaku manusia yang terjadi melalui jaringan perdebatan politik, ilmiah, dan 
kultural tentang pembuatan dan penerapan bentuk teknologi. ANT memberikan 
satu warna pada studi STS dengan memertanyakan dikotomi antara 
manusia/teknologi, atau lebih dikenal dengan dikotomi culture/nature, dan 
memberikan kerangka metodologis untuk memahami jaringan sosial dan
pengetahuan sains-teknologi4
.
Teori jaringan aktor adalah satu keluarga tersendiri yang terdiri dari 
alat-alat semiotik-material, berbagai kesadaran dan metode-metode analisis 
yang memberlakukan segala sesuatu di dunia sosial dan natural sebagai suatu 
efek yang terus-menerus dihasilkan oleh jaringan-jaringan hubungan 
tempatnya berada. Hal ini berasumsi bahwa tidak ada satu hal pun di dunia 
ini memiliki realitas atau bentuk di luar relasi-relasi atau hubungan-hubungan 
yang dijalankan itu5
.
Kesinambungan teori ini dengan adanya kebijakan Pemkab dalam 
melaksanakan kegiatan rutin tahunan di Trowulan menunjukkan adanya bentuk 
kerja sama dan sinergitas dengan pihak terkait. Dengan tujuan yang sama untuk 
melestarikan budaya lokal dan mewujudkan eksistensi Majapahit dan Islam di 
era milenial. Berusaha untuk melokalkan dan mengenalkan budaya asli 
Mojokerto ketingkat yang lebih luas lagi. Pemkab tidak dapat melaksanakan 
kegiatan ini tanpa bantuan mereka. Ini menunjukkan suatu pola struktur dalam 
mensukseskan kegiatan tersebbut. Dalam pengaplikasiannya kegaitan ini 
pelaksananya adalah Disporabudpar Kab. Mojokerto (Bidang
Kebudayaan) bekerjasama dengan Dinas PUPR, DLH, Bakesbang, Satpol PP, 
Dishub, Tokoh Agama, Budayawan, Forkopimda, dan pihak-pihak lain di 
lingkungan Kabupaten Mojokerto.
Kesimpulan
berdasar pembahasan diatas maka dapat diambil  
sebagai berikut:
1. Kebijakan Pemkab Mojokerto diwujudkan dalam berbagai macam 
kegiatan rutin tahunan yang didasarkan atas tradisi warga  
setempat dan sisi historis di kawasan Trowulan. Kegiatan itu dapat 
diwujudkan melalui Festival Pawai Budaya Majapahit, Ruwat Agung 
Nuswantoro (Festival dan Gebyar Macapat, Unduh-Unduh Patirtaan, 
Ruwat Sukerto, Mangesti Suro), Kirab Agung Nuswantoro Majapahit, 
Kirab Kubro dan Haul Syeikh Jumaddil Kubro serta Pagelaran 
Budaya Bulan Purnama.
2. Perkembangan kegiatan rutin tahunan yang dilakukan oleh Pemkab 
Mojokerto merupakan kegiatan terstruktur dan aktivitas manusia yang 
pada akhirnya memberi pengaruh ekonomi terhadap kehidupan di 
Trowulan dan sekitarnya. Pengaruh ekonomi dapat dirasakan oleh 
warga  sekitar, terutama dari segi materil yaitu meningkatnya 
pendapatan. Keuntungan lainnya adalah dengan dibangunnya sarana￾sarana kemudahan menuju lokasi pariwisata, misalnya transportasi 
dan kios-kios penjualan sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan 
bagi warga . Pada hakekatnya pembangunan pariwisata 
merupakan kegiatan ekonomi untuk memperbesar penerimaan devisa, 
memperluas lapangan kerja dan meratakan kesempatan berusaha 
terutama bagi warga  setempat, terpeliharanya budaya warga  
setempat, sebagai ajang promosi pariwisata daerah dan warga  
akan lebih mengenal sejarah setempat terutama sejarah Kerajaan 
Majapahit dan perkembangan Islam di kawasan Trowulan.
3. Kesinambungan teori Teori Jaringan Aktor dengan adanya kebijakan 
Pemkab dalam melaksanakan kegiatan rutin tahunan di Trowulan 
menunjukkan adanya bentuk kerja sama dan sinergitas dengan pihak 
terkait. Dengan tujuan yang sama untuk melestarikan budaya lokal 
dan mewujudkan eksistensi Majapahit dan Islam di era milenial. 
Berusaha untuk melokalkan dan mengenalkan budaya asli Mojokerto 
ketingkat yang lebih luas lagi.










Majapahit, sebuah kerajaan besar yang tidak akan pernah habis untuk 
kita bahas, disamping jejak peninggalannya masih banyak menyimpan 
“misteri“ ditambah lagi karna luas kekuasaannya yang meliputi asia tenggara 
sungguh bukan sebuah pekerjaan yang mudah untuk menelaah atau mengkaji 
semua tentang Majapahit. Kejayaan Majapahit tentunya tidak hanya sebab  
faktor kekuatan pasukan dan panglima – panglimanya yang gagah berani, 
namun kondisi alam serta kekayaan alamnya (bumi) yang secara tidak 
langsung memberikan sumbangsih besar dalam kejayaan Majapahit, kondisi 
alam beserta kekayaannya yang memberikan sumbangsih bagi sebuah negara 
nantinya kita kenal dengan sebutan Geohistori. Geohistori adalah sebuah 
bagian dari ilmu sejarah yang menyelidiki, membahas dan menetapkan 
hubungan timbal balik antara keadaan alam dengan aktivitas alam dalam 
menentukan jalannya sejarah; alam tidak saja merupakan tantangan tetapi 
juga menawarkan keadaannya kepada manusiademi kehidupannya, sehingga 
alam natur menjadi kultur Yang dimaksud warga  Majapahit, ialah 
penduduk wilayah Majapahit pada abad XIV-XV yang mengikuti sistem 
sosial yang mendukung kebudayaan yang berlaku. warga  Majapahit ini 
tinggal di wilayah Jawa Timur, bagian timur Jawa dan Tengah yang 
mematuhi adat dan tata tertib yang berlaku dalam warga  Majapahit 
(Machi, 1993: 5).
Majapahit yang muncul pada akhir abad XIII M yang didirikan oleh 
seorang menantu raja yang kita kenal dengan nama R. Wijaya, dimana 
proses pembangunannya di dukung sepuhnya oleh Arya Wiraraja seorang 
adipati Shongenep (Sumenp-madura) beserta pasukan dari Shongenep, 
seiring perkembangannya Majapahit dipersepsikan memiliki organisasi 
sosial yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan organisasi sosial dari 
kerajaan lain yang mendahuluinya. Perubahan jaman membawa perubahan
orientasi, terutama yang menyangkut perekonomian sebagai unsur utama 
untuk kelangsungan hidup suatu bangsa. Majapahit dianggap sebagai 
warga  hidropolik dan warga  kota perdagangan. Kita mengetahui 
bahwa kerajaan Majapahit adalah sebuah negara agraris yang semi 
komersial. Hasil bumi yang berlimpah dari daerah-daerah pedalaman yang 
subur diangkut ke berbagai tempat untuk diperdagangkan, baik melalui jalan 
sungai maupun jalan darat. Banyak para pedagang dari berbagai daerah yang 
berdatangan ke pedalaman untuk mengumpulkan hasil bumi dan 
membawanya kedaerah-daerah lain, khususnya ke daerah-daerah pesisir. 
Dengan demikian, lalu lintas perdagangan dan pelayaran sungai menjadi 
ramai. Sejalan dengan perkembangan perdagangan antara daerah, di daerah 
pesisir muncul beberapa kota pelabuhan yang menjadi pusat dan pelayaran 
antar daerah maupun antar pulau.
Basis ekonomis yang dimiliki kerajaan Majapahit telah 
membedakan sistem sosio-kulturalnya dengan warga  Malaka, 
Mataram, dan Bali. Demikian pendapat Sartono Kartodirjo. Basis 
ekonomiMajapahit adalah: agraris, semi komersial, Hindu, Mataram 
agraris, Islam-Hindu, Malaka komersial, Islam, Bali agraris, Hindu. Dari 
basis ekonomi yang berbeda, struktur sosial dari warga  ini  juga 
berbeda (Bachri, 2005: 28-29).
B. Peranan Sungai Brantas.
Kalau kita bicara tentang perdagangan di Majapahit tentu ada 
beberapa dari kita mungkin bertanya – tanya, mengapa perdagangan di 
Majapahit begitu pesat berkembang? lantas transportasi apa yang dipakai  
untuk mengirim dan mendatangkan barang – barang dagang? Inilah salah 
satu keuntungan Majapahit yang dilalui oleh beberapa sungai besar, yang 
salah satunya kita kenal dengan nama sungai Brantas. Jalan lalu lintas 
pelayaran dan perdagangan yang utama di kerajaan Majapahit adalah sungai￾sungai besar, seperti Bengawan Solo, Kali Brantas dan yang lainnya. Sungai￾sungai ini  menghubungkan kota-kota dan tempat-tempat perdagangan 
yang terletak di sepanjang perairan ini , baik yang ada di daerah 
pedalaman maupun yang ada di daerah pedalaman maupun yang di daerah 
pedalaman maupun yang ada di daerah dekat pantai. Beberapa prasasti yang 
berasal dari Majapahit, bahkan yang berasal dari Jaman sebelumnya, telah 
menunjukkan kepada kita bahwa lalu lintas melalui sungai ini telah 
menduduki tempat yang sangat penting dalam
kehidupan sosial dan ekonomi. Beberapa kota pelabuhan yang penting di 
Majapahit pada abad XIV ialah Canggu, Surabhaya, Gresik, Sidhayu, 
Tuban dan Pasuruan.
Aliran Sungai Brantas dapat dibagi atas tiga bagian:
a) Hilir atas
Ini menempati dataran tinggi Malang sekarang yang dulunya ditempati 
oleh wilayah induk Tumampel semenjak akuwu Tunggul Amentung 
berasal, sampai pada masa bertahtahnya Kertajaya di Kediri (th 1220).
b) Hilir tengah
Di sinilah terletak kota Daha (Gelang-Gelang, Gelgelang atau Kediri) 
yang menjadi ibu kota kerajaan Panjalu (1041) untuk lalu 
menjadi kerajaan Kediri (1045-1222). Dataran rendah Kediri 
memanjang dari Selatan ke Utara (persisnya dari Tulungagung 
sekarang sampai Kertosono dengan diapit oleh tiga gunung yaitu 
gunung Wilis sebelah Barat, komplek gunung Arjuno-Anjasmoro 
serta Kawi-Kelud di sebelah Timurnya.
c) Hilir Bawah
Dataran rendah ini membujur Barat Timur dari Kertosono sampai 
Delta Sungai Brantas. Sebelum sampai awal Delta ini , terletak 
pusat kerajaan Majapahit tak jauh dari Trowulan sekarang di 
Kabupaten Mojokerto.
Bagian hilir Brantas di sekitar Mojokerto. Mulai kertosono Sungai 
Brantas membelok ke arah timur sebab  alirannya menabrak pegunungan 
kendeng tengah. Di situ sungai ini  kemasukan anak sungai dari barat 
yakni sungai widas. Anehnya tanah di Mojokerto terdiri atas unsur liat 
berat yang berwarna kelabu kehitam-hitaman, yang ternyata mengandung 
kapur asam arang. Tentang keanehan ini Mohr menulis demikian: ada dua 
kemungkinan mengenai terjadinya. Pertama, hadirnya kapur dalam tanah 
itu disebabkan oleh bahan kapur yang berasal dari tempat lain, lalu 
oleh air Sungai Brantas diendapkan di situ. Kedua, kapur ini  
memang terbentuk setempat, artinya dasar dari tanah itu memang berupa 
batuan kapur. (Daljoeni, 1982: 78)
Antara Hilir atas dan tengah, ada daerah Blitar sekarang di Lereng 
Selatan gunung Kelud itu terletak candi Penataran. Meskipun ini tak penting 
untuk di bahas secara khusus, daerah ini pernah dipotong oleh perbatasan 
kerajaan Panjalu dengan Jenggala yang mengikuti garis lurus dari Utara ke 
Selatan melalui puncak gunung Arjuna-Anjasmoro dan Kawi-
Kelud untuk terus menuju ke Samudra Hindia. Pada garis itulah terletak 
Kali Leksa sebagai anak Sungai Brantas.
Sungai Brantas pola alirannya melingkar, mata airnya ada di 
lereng komplek gunung Arjuno-Anjasmoro. Pola melingkar inilah yang 
melahirkan bagian-bagian Hilir serta Hulunya yang masing-masing 
menstimulasikan kegiatan-kegiatan ekonomis dan politis pada pemimpin 
dari abad ke abad. Antara hulu dan Delta sungai ini  terletak dataran 
rendah Pasuruan dan daerah Pelana (Zadelgebied) Lawang sekarang yang 
pernah ditempati ibu kota kerajaan Singhasari. Keberadaan Sungai 
Brantas sangat berpengaruh terhadap kekuatan politik berbagai kerajaan 
di Jawa Timur tinjauan geografi politik seluruh alirannya dari hulu 
sampai muara dapat dikuasai oleh satu kerajaan, maka dapatlah kerajaan 
yang bersangkutan tumbuh menjadi kombinasi negeri agraris-maritim 
yang ideal.
Delta Kali Brantas diapit oleh kali porong yang mengalir ke arah 
timur (bermuara di selat Madura) dan kali Mas (kencana) yang mengalir 
ke timur laut lalu ke utara bermuara di Surabaya sekarang. 
Terbentuknya delta ini  makan waktu berabad-abad lamanya, 
sementara itu peranannya penting dalam percaturan politik kerajaan￾kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur. Kondisi tanah di delta itu 
sendiri tidak baik, mula-mula penuh dengan rawa dan diselingi hutan 
belukar sana sini. sesudah  kering hutan dibuka dan dijadikan tanah 
pertanian. Untuk keperluan itu raden wijaya pendiri kerajaan Majapahit 
mengerahkan tenaga transmigran yang berasal dari Tumapel dan Madura. 
Adapun pusat kerajaan Majapahit sendiri ada di luar delta Brantas 
ini . Namun alam aslinya juga mirip dengan di delta itu, sebab  
ditinjau secara geomorfologis wilayah delta itu dari masa ke masa 
mengalami pergeseran letak (Daljoeni, 1982: 69).
Pembagian Jenggala dan Panjalu diatas menimbulkan tidak dua, 
melainkan tiga daerah, sebab  disebelah utara garis timur-barat adalah pula 
daerah ketiga, yaitu daerah kahuripan atau wilwatikta sesudah tahun 1293. 
Bagaimana sesungguhnya daerah yang pernah menyimpan pusat kekuasaan 
Sindok dan Airlangga itu menurut pembagian Empu Barada tidaklah ini  
dalam Nagr, sesudah  satu dari pada Jenggala-Panjalu dapat merebut 
kekuasaan, maka perwatasan daerah kahuripan tidaklah penting sebab  
termasuk pula kedalamnya. Bagi Majapahit adalah lain halnya. Desa 
Majapahit didirikan di daerah Terik yang dahulunya tunduk kebawahkekuasaan Singasari dan izin mendirikan desa itu didapat oleh wijaya dari 
Daha waktu Jayakatong berkuasa. Negara Majapahit didirikan dan menjadi 
besar diatas daerah diluar Daha atau Jenggala, didaerah Kahuripan yang 
mempunyai sejarah sendiri. Ketiga daerah Dahana-Jenggala-Jiwana itu, 
seperti telah diterangkan diatas pusatnya terletak dipinggir aliran Kali 
Brantas bagian udik, tengah dan hilir (Yamin, tanpa tahun: 143).
Maka ketiga daerah itu ialah daerah Majapahit bagian pusat, 
terhadap daerah itu maka Negara mempunyai perhubungan seperti 
terhadap keluarga sendiri. Daerah itu dikuasai oleh seorang prabu dan dua 
orang ratu dan pemerintahannya dilaksanakan oleh tiga orang patih. 
Daerah nusantara sebagai lingkaran tempat melalaksanakan perimbangan 
kekuasaan dipandang sebagai daerah kesatuan. Menurut pemandangan 
prapanca maka diluar daerah kepulauan itu ada  dua macam daerah 
yang mempunyai dua jenis perhubungan yaitu daerah kebudayaan dan 
daerah teman: India, Tiongkok dan India belakang. (Yamin, tanpa tahun: 
145). Dengan ini sampailah kita kepada penghabisan perumahan Negara 
Majapahit, yang kini akan kita masuki dengan memperhatikan susunan 
dan bentukan urusan dalam.
C. Letak Ibukota Kerajaan Majapahit.
Pusat kerajaan Majapahit berada pada ujung bawah suatu kipas 
alluvial pada ketinggian 30-40 m diatas permukaan laut. Disebelah 
utaranya terhampar dataran banjir Kali Brantas, sedang di sebelah selatan 
dan tenggaranya sejauh kurang lebih 25 km menjulang tinggi kompeks 
gunung Anjasmoro, Arjuna, penanggungan dan Welirang dengan 
ketinggian antara 2000 dan 3000 m. Kota Majapahit sekitar tahun 1416-
1434 tidak lagi terletak di tepi Kali Brantas, tetapi telah bergeser ke arah 
barat daya sejauh perjalanan darat sedikitnya setengah hari. Sebenarya, 
dari uraian prapanca kita dapat menyimpulkan bahwa ibukota Majapahit 
pada Jaman keemasannyai itu sudah tidak lagi terletak di Trik, di tepi Kali 
Brantas. Hal ini disebabkan tidak satupun kalimat prapanca dala bait-bait 
nagarakrtagama yang menyebutkan atau memberi petunjuk bahwa 
ibukota Majapahit terletak di tepi Kali Brantas. Seperti diketahui, sumber￾sumber yang menyebutkan bahwa ibukota Majapahit terletak di tepi Kali 
Brantas hanya kitab pararaton dan berita cina dari Jaman dinasti Yuan. 
Kedua sumber tertulis ini  memberikan keterangan mengenai masa 
awal dari (kota) Majapahit ketika raden wijaya belum menjadi raja.
Ibukota kerajaan Majapahit terletak di dataran rendah Brantas, 
sedang pusat sakral kerajaan, yaitu Panataran, terletak jauh di pedalaman 
di tengah-tengah daerah pegunungan (± 90 km dari ibukota). Hal ini erat 
hubungannya dengan dua proses perubahan yang berlansung sekaligus 
pada saat itu. Proses pertama sering dinamakan proses rejavanisasi, yaitu 
yang terkait dengan menguatnya kembali unsur budaya pemujaan leluhur. 
Proses kedua ialah perkemmbangan hubungan antarregional dan 
internasional yang maju pesat pada Jaman kereajaan Majapahit sebagai 
dampak dari situasi umum di Asia Tenggara yang sangat menguntungkan 
bagi stabilitas ekonomi (Santoso, 2008: 86).
Unsur bangunan yag terdiri dari sejumlah prasasti, angka tahun 
pada batu-batu nisan yang ditemukan di daerah Trowulan, sebagian besar 
juga berasal dari masa sebelum Majapahit. Adapun tiga prasasti juga 
ditemukan disana seperti prasasti Alasantan, Hamban dan prasasti Haraha 
(Djafar, 2009: 142).
Sebenarnya dalam penataan ruang atau bangunan kerajaan
Majapahit ada  empat macam acuan, yaitu:
a) Penataan yang mengacu kepada arah absolute, contahnya berorientasi 
kepada mata angin, keletakan pegunungan, puncak gunung, gunung 
tertinggi dan juga kearah laut.
b) Penataan berdasar posisi relative, contohnya dalam penataan ini 
ada  lokasi titik tengah yang bersifat relative bisa dipindah￾pindahkan
c) Penataan berdasar posisi hierarkis. Dalam hal ini ada  konsep 
adanya ruang atau bangunan utama (primer) bangunan peringkat ke-2, 
ke-3 dan pelengkap lainnya.
d) Penataan berdasar posisi structural, maksudnya adalah dengan 
memandang urutan ruang tertentu yang sudah pasti dan tidak bisa 
diubah-ubah bagaimanapun posisinya (Munandar, 2008: 71-72).
Di area madyaning madya grid tengah dari sistem sanga mandala, 
ada  kolam segaran. Maka, sangat mungkin dulu pernah ada 
bangunan di tengah ini . Penatan sanga mandala yang telah 
disesuaikan dengan arah mata angin Mpu Prapanca ini  ternyata 
banyak yang sejalan dengan fenomena arkeologi yang ada  di situs 
Trowulan. Banyak kawasan (grid) dalam sanga mandala ini  ternyata 
mempunyai temuan arkeologi yang sesuai dengan konsep kesucian dan 
konsep dewata yang mengampu grid ini  (Munandar, 2008: 99).
Mpu Prapanca dapat saja secara sadar menyesuaikan arah 
keletakan ideal dewa-dewa penjaga mata angin (Astadikpalaka) dengan 
kondisi Majapahit sendiri. Jika memang Majapahit dulu berlokasi di 
Trowulan, maka Prapanca lalu menyesuaikan arah dan keletakan 
Astadikpalaka ini  dengan keadaan geografis Trowulan. Nampaknya, 
Prapanca secara sadar telah memutar arah keletakan Astadikpalaka itu 
disesuaikan dengan kedudukan laut dan gunung dari Trowulan. Maka 
terjadilah mata angina yang diputar itu menjadi arah:
1. Timur geografis dipandang sebagai arah utara
2. Tenggara geografis menjadi arah timur laut
ada  rangkaian pegunungan Arjuno, Welirang, Ajasmara dan 
Penanggungan (Pawitra). Arah timur laut adalah yang terbaik sebab  
disenangi para pertapa dan dewa-dewa. Arah itu menuju khayangan. 
Arah ini dijaga oleh Isana yang kelak diseur dengan Siva Mahadeva
3. Selatan menjadi timur
4. Barat daya menjadi tenggara
5. Barat menjadi selatan
6. Barat laut menjadi barat daya
7. Utara menjadi barat
Tempat bersemayamnyaVaruna (dewa laut), maka hal itu sesuai 
sebab  di arah utara yang telah menjadi barat itu ada  laut jawa.
8. Timur laut menjadi barat laut. (Munandar, 2008: 92-95).
Dalam hal letak Astadikpalakadi arah mata angin, yang menjadi 
titik tengahnya adalah gunung Mahameru. Menurut ajaran Hindu, gunung 
itu berada di tengah benua Jambudvipa yang dikelilingi oleh tujuh 
samudera (segara) dan rangkaian pegunungan berselang-seling berbentuk 
melingkar. Demikianlah apabila konsep penataan Astadikpalakaini  
hendak diletakkan di Trowulan, maka dicari dulu simbol titik tengah situs 
ini . Maka, tidak perlu berlama-lama mencari lokasi titik tengahnya 
sebab  sejak dulu telah diketahui adanya kolam segaran yang merupakan 
simbol samudera. Selain itu, diduga bahwa ditengah segaran dulu ada  
bangunan suci yang merupakan representasi dari gunung Mahameru. 
Bangunan ini  dari bahan yang mudah lapuk dengan atap Prasadha
(berbentuk seperti menara menjulang tinggi).
Pada masa Majapahit (abad ke-14 sampai 15 M), tradisi dan 
pencapaian kebudayaannya cukup maju. Dalam hal ini mungkin ada 
pihak yang menjadi subordinatif di bawah kekuasaan Majapahit. Akan 
tetapi, bentuk karya sasteranya juga tetap bernafaskan keagamaan. Para 
kawi dan pujangga waktu itu agaknya dapat mengubah secara bebas tanpa 
ada tekanan dari manapun. Sejauh yang dapat ditelaah tidak ada karya 
sastera dengan nuansa perlawanan kepada Raja Majapahit, artinya tidak 
ada golongan yang mengadakan perlawanan lewat karya sastera masa itu. 
Bentuk perlawanan, kalau dapat dikatakan demikian, dinyatakan dalam 
ungkapan sindiran yang ditulis dalam beberapa bait saja, namun secara 
umum isi Nagarakretagama merayakan kemegahan Majapahit di bawah 
Hayam Wuruk. (Munandar, 2008: 131).
Mpu Prapanca mendeskripsikan tentang Wanguntur sesudah  
memperbincangkan bagian depan kompleks keraton yang kiranya
menghadap ke utara. Maka, dapat diketahui keraton Majapahit 
menghadap ke utara adalah berkat pernyataan Nagarakretagama pupuh 
8:2 yang antara lain menyebutkan adanya pintu gerbang di utara 
kompleks keraton yang luar biasa perkasa. Pintu besinya dilengkapi 
dengan berbagai hiasan indah. Pintu gerbang itulah yang disebut cungkup 
panjang, sedangkan gerbang-gerbang lainnya tidak diuraikan lagi 
keadaannya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pintu gerbang 
utara itu merupakan pintu gerbang utama, artinya lagi kompleks istana 
Majapahit menghadap ke utara. Selain itu, juga diketahui bahwa lapangan 
Wanguntur terletak di sisi utara keraton dan keraton menghadap ke arah 
utara, yakni ke arah tanah lapangn yang dinamakan Wanguntur.
Keadaan bangunan istana yang menghadap utara kearah tanah 
lapang terus dipertahankan hingga masa kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. 
Misalnya yang ada  di kompleks keraton kasepuhan Cirebon, keraton 
Surasowan di situs Banten lama, keraton Yogyakarta dan Surakarta. 
Tanah lapang yang berada di bagian depan istana itu lalu 
dinamakan dengan alun-alun. Agaknya konsep alun-alun yang berada di 
depan bangunan tempat tinggal penguasa terus dipertahankan. Oleh 
sebab  itu, setiap kota di Jawa bahkan sampai tingkat kecamatan dan desa 
yang dikembangkan dalam masa penjajahan Belanda selalu mempunyai 
tanah lapang yang dinamakan alun-alun. (Munandar, 2008: 133).
Hasil penelitian memastikan bahwa ibukota Majapahit dikelilingi 
oleh jaringan jalur air yang lebar dan dalam serta mempunyai jalan keluar 
ke arah barat menuju ke Kali Brantas. Adapun sumber airnya berasal dari 
sungai-sungai yang ada di sebelah selatan ibukota. Dulunya melalui 
interpretasi foto udara yang pankhromatik, ditemukan pula jalur-jalur 
yang saling tegak lurus di antara reruntuhan bangunan kota segaran, 
sumurupas, candi tikus, candi bajangratu, wringinlawang dan sebagainya. 
lalu dengan teknik geolistik tadi segalanya menjadi lebih jelas. 
Jalur-jalur lurus yang semula diduga jaringan jalan raya berupa 
pergerasan tanah ternyata salah belaka. Isinya justru endapan lumpur 
basah. Adapun bangunan di sekitarnya sekarang berupa sisa-sisa bata 
yang digali oleh penduduk untumk bahan bangunan baru.
Stabilitas keamanan dan politis berpengaruh erat terhadap lamanya 
Majapahit menjadi ibukota kerajaan. Sejak Raden Wijaya naik tahta pada 
akhir abad ke-13 sampai akhir abad ke-15, ibukota kerajaan rupanya tidak 
pernah dipindahkan. Sangat disayangkan, bahwa tidak mewarisi data yang
pasti mengenai bentukdan struktur kota itu. Tersisa hanyalah sebuah tulisan 
dari prapanca dan beberapa hasil penggalian di desa Trowulan yang belum 
dapat dipastikan seratus persen sebagai lokasi bekas ibukota Majapahit.
Sejak ditemukannya kitab nagarakrtagama di pulau lombok pada 
1902, banyak ahli sejarah yang berusaha untuk membuat membuat peta 
ibukota Majapahit berdasar uraian prapanca ini . Salah satu usaha 
pertama untuk membuat rekonstruksi kota Majapahit dilakukan oleh Kern 
antara 1905 dan 1914. Hasil usahanya lalu dipublikasikan Kern dan 
Poerbatjaraka. Kedua publikasi yang hanya memuat sebuah sketsa kasar 
ibukota Majapahit ini  kemudia dikritik dan diperbaiki oleh 
Stutterheim (1914) dan Pigeaud (1960-1963). Maclaine Pont menganggap 
peninggalan-peninggalan yang ada di Trowulan adalah bekas ibukota 
kerajaan Majapahit, tetapi Stutterheim tidak menyetujui hal itu dan 
mengambil bentuk Pura Klungkung sebagai struktur dasar. Pigeaud tidak 
setuju dengan Stutterheim dan membuat sesuatu peta rekontruksi 
berdasar struktur ruang yang dualistis (Santoso, 2008: 86).
Di dalam Nagarakrtagama, prapanca memakai istilah pura untuk 
seluruh kraton-kompleks, jadi yang termasuk pura bukan saja istana raja 
yang sakral (puri) dan alul-alun (wanguntur), tetapi juga kompleks para 
pendeta, pejaba dan sebagainya. Seluruh bangunan yang termasuk bagian 
dari pura dikelilingi oleh sebuah tembok yang oleh prapanca disebut sebagai 
kota, sedangkan nama yang dipakai oleh prapanca untuk menyebut seluruh 
daerah yang termasuk pusat kerajaan Majapahit adalah negara.
Inti pusat kerajaan Majapahit terdiri dari sebuah sentrum ganda dan 
ada  beberapa daerah suci, salah satu yang terpenting ialah tempat 
pemujaan yang terletak di sebelah timur Alun-alun Lor. Di tengah-tengah 
komplek pemujaan itu ada  sebuah vihara Siva, lengkap dengan tempat 
untuk menjalankan upacara pengorbanan. Menurut Maclaine Ponnt, luas 
seluruh kota Majapahit ± 8-9 km² dan tidak mempuyai benteng kota. Hanya 
istana raja saja yang mempunyai benteng. Kraton Majapahit terdiri dari tiga 
bagian, dan bagian timur dipakai  untuk tinggal. Di pelataran yang terletak 
di tengah-tengah kompleks istana ada  bangunan-bangunan terpenting. 
Dengan pembagian kota menjadi area sakral dan area profan, Maclaine pont 
memperlihatkan adanya unsur-unsur atau bangunan-bangunan lain yang 
menunjukkan adanya kontinuitas antara Jaman Majapahit dengan Jaman 
Mataram (Santoso, 2008: 95).
sesudah  meneliti uraian Pigeaud mengenai sruktur kota Majapahit, 
akhirnya dapat diambil  bahwa konsepsi mikrokosmos yang 
berlaku pada Jaman Majapahit merupakan sebuah konsepsi yang 
mempunyai dua prinsip dasar yaitu prinsip mikrokosmis-dualistis dan 
prinsip mikrokosmis-hierarkis. Pada dasarnya, pembagian wilayah kota 
menjadi satuan-satuan teritorial pada sistem perkampungan di kota-kota 
Jawa, baik pada Jaman Majapahit maupun pada periode sesudah itu, 
dilaksanakan dengan menerapkan prinsip mikrokosmis-hierarkis yang 
sama. Perbedaannya hanya terletak pada sifat hubungan antara satuan￾satuan eritorial ini . Sistem pembentukan satuan-satuan teritorial 
yang lebih kecil di Majapahit adalah sebuah sistem tata ruang yang 
terpadu, dimana beberapa satuan-satuan teritorial yang lebih kecil pada 
saat itu digabung menjadi satu akan membentuk satuan mikrokosmis yang 
tingkatannya lebih tinggi.
Perkampungan-perkampungan yang berada di sebelah utara kota 
pesisir sering kali merupakan satuan teritorial yang dikembangkan 
berdasar hubungan kerja, walupun faktor etnis-religiius pada awalnya 
memainkan peranan yang penting. Tentu saja setiap perkampungan 
(kuarter) itu secara internal mempunyai struktur hierarkis, tetapi 
hubungan antara kepala kampung dengan penghuni lainnya bukan 
hubungan kawula gusti seperti struktur hierarkis pada sebuah keraton 
Majapahit. Tidak adanya sebuah pusat kekuasaan yang tunggal 
memperjelas bahwa secara keseluruhan kota Majapahit tidak dibentuk 
berdasar prinsip mikrokosmis-hierarkis.
Erlangga membagi wilayah kerajaannya menjadi dua bagian 
sehingga merugikan masing-masingnya, Panjalu sebagai gudang beras, 
hasil dataran rendah Kediri dan lokasinnya di pedalaman Jawa Timur. 
Janggala menguasai pelabuhan-pelabuhan di Laut Jawa akan tetapi tak 
menguasai daerah pedalaman secara geografis dan ekonomis. Pembagian 
dua yang sial ini akhirnya mengalami perubahan sesudah  pihak Kediri atau 
Panjalu berhasil merebut delta Sungai Brantas sehingga terbuka baginya 
untuk mulai mengembangkan suatu kombinasi negeri agraris-maritim 
yang lalu dapat melebarkan sayap kegiatannya ke Nusantara bagian 
Timur, adapun Jenggala makin menyempit ke wilayah Singhasari yang 
mata pencariannya melulu agraris. lalu Kertanegara (1268-1292) 
mewarisi keadaan yang diciptakan oleh Ranggawuni, tetapi berupa 
Negara kombinasi yang setengah sempurna.
Di bawah raja Majapahit ada  pula sejumlah raja daerah, yang 
disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau 
kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan 
kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya 
masing-masing. Dalam Prasasti Warihin Pitu (1447 M) disebutkan bahwa 
pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang 
dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan 
ini  yaitu: Daha, Jagaraga, Kabalan, Kahuripan, Kembang Jenar, 
Keling Kelinggapura, Matahun, Pajang, Singhapura, Tanjungpura, 
Wengker, Tumapel, Wirabumi.
Makna yang lebih mendalam adalah bahwa di dalam konsep ruang 
di Jawa yang paling diutamakan bukan batasan teritorial, tetapi struktur 
hubungan antara elemen-elemen pembentukan ruang. Pertanyaan utama 
yang harus dipecahkan bukan elemen-elemen mana yang berada didalam 
dan yang mana harus berada di luar batas, tetapi bagaimana struktur 
hubungan antara elemen-elemen pembentukan ruang dan di dalam 
menghubungkan elemen-elemen ini  satu sama lain, prinsip 
mikrokosmis-dualistislah yang diterapkan.
Prinsip kontradiksi yang dualistis mempunyai hakikat yang lebih 
mendasar dibandingkan dengan prinsip mikrokosmis-hierarkis dalam 
bentuk sistem bilangan empat. Berlainan dengan prinsip mikrokosmis￾hierarkis, prisnsip mikrokosmis-dualistis tidak dapat dipakai  untuk 
menentukan keutuhan satuan ruang yang terbatas. Dengan memakai  
prinsip ini , kita hanya bisa menentukan letaknya (di Majapahit 
dalam bentuk sakral) tetapi tidak bisa menentukan batasannya. Cara orang 
Jawa-Majapahit (dalam abad ke-14) menyucikan ruang, bukan saja 
berbeda dengan cara pada Jaman Jawa pertengahan (abad ke-8 sampai ke-
12), tetapi bahkan merupakan kebalikannya. Hakikat demokrasi konsepsi 
keruangan Jawa Timur itu ditunjang pula oleh ketiadaan tembok yang 
melingkari kota Majapahit. Absennya tembok kota selalu merupakan 
tanda eratnya hubungan antara kota dan daerah, selain juga membuktikan 
bahwa penduduk kota tidak mempunyai alasan untuk mengkhawatirkan 
adanya kemungkinan serangan dari daerah belakang. Dari faktor-faktor 
diatas, dapat diduga bahwa pada Jaman Majapahit hubungan antara kota 
dan daerah pedalaman, antara pusat dan daerah sekelilingnya, hampir 
bebas dari ketegangan.
Majapahit sebagai kerajaan besar yang sangat luas wilayah 
kekuasaannya dan memiliki hubungan dagang dengan luar negeri 
tentunya memiliki pusat perkotaan. Daerah Trowulan ditinjau dari kondisi 
geografisnya mempunyai kesesuaian lahan sebagai daerah pemukiman 
perkotaan. Hal ini  didukung oleh topografi yang landau, material 
penyusun yang berupa endapan fluvio vulkanik (memiliki daya 
dukungyang kuat/stabil, subur), drainase sebagian besar baik, air tanah 
relatif dangkal dengan potensi sedang-besar, dan bebas dari proses 
geomorfik dari arah selatan. Kondisi geografis fisikan Trowulan pada 
masa kerajaan Majapahit tidak jauh berbeda dengan keadaan masa 
sekarang. Akibat berlangsungnya proses geomorfik, sudah barang tentu 
telah mengalami perubahan tetapi perebuhan ini  belum 
menghilangkan kenampakan pada masa lampau. Perubahan yang terjadi 
adalah proses pengendapan dan erosi pada alur-alur sungai. Pengendapan 
bahan vulkanik juga pernah terjadi akibat letusan gunung api Kelud yang 
terjadi berulang kali. Lapisan bahan vulkanik tampak pada profil tanah 
hasil penggalian di dataran Pendopo Agung, lantai dan pondasi Kedaton 
dan Candi Tikus (Kartodirdjo, 1993: 24).
D. Kehancuran Kerajaan Majapahit (Tinjauan Geomorfologi dan 
Geologi).
Penelitian geologis oleh fihak Institut Teknologi Bandung pada 
tahun 1980 menghasilkan suatu teori bahwa hancurnya Majapahit itu 
sebab  ledakan gunung api yang disertai dengan banjir besar. 
Kemungkinan besar adalah ledakan gunung welirang atau anjasmoro, 
kemungkinan kedua adalah aliran lahar dari piroklastik yang berasal dari 
gunung welirang. Arah aliran maut ini diperkirakan menuju ke utara dan 
bara laut, melalui kali gembolo dan anak-anak Sungai Brantas lain yang 
berasal dari gunung welirang. Disamping aliran benda-benda lepas hasil 
longsoran dari kompleks gentonggowahgede dapat saja meluncur melalui 
lembah jurangcelot dan langsung menghambur ke daerah jatirejo dan 
tumpahnya persis di daerah pusat kerajaan. Longsoran itu dapat diawali 
oleh gempa hebat dan banjir sungai yang besar (Daljoeni, 1982: 98).
Tetapi andaikata pusat kerajaan tidak dihancurkan oleh bencana 
alam, kerajaan Majapahit dapat saja mengalami kemunduran sebagai akibat 
dari proses pendangkalan Kali Brantas. Khususnya bagian deltanya dan kali 
porong. Dapat dipahami bahwa bersama itu garis pantai maju dan
menghambat lalu lintas air sehingga hubungan Majapahit dengan dunia 
luar tersumbat sebab nya, sedang pada masa itu jalur itu dominan. Dari 
penelitiannya, Ir Sampurno secara khusus menunjuk kepada sistem 
teknologi dan tata air di ibukota Majapahit. Berbagai saluran dan pipa￾pipa yang tertinggal membuktikan adanya teknologi mengenai air yang 
cukup maju pada Jamannya. Mengenai lokasi pelabuhan Majapahit, hasil 
penelitian hingga sekarang belum mampu menemukannya. Namun 
diperkirakan kali Surabaya (kali mas) semula merupakan alur pelayaran 
yang penting sebab  menghubungkan Majapahit dengan daerah luar. 
Adapun Sungai Brantas sebagai cabang Kali Brantas dapat dilayari untuk 
mendekati pusat kerajaan, paling tidak sampai daerah Japaran dan titik ini 
untuk sampai ke pusat kerajaan tinggal di tempuh jarak 8-10 km saja 
(Daljoeni, 1982: 99).
Masalah lingkungan yang dihadapi oleh daerah Trowulan dan 
sekitarnya adalah genangan yang terjadi akibat meluapnya air sungai 
Brantas dan kekeringan akibat musim kemarau, yang lamanya 4 hingga 6 
bulan. Aktivitas deretan gunung api sebelah selatan daerah Trowulan, 
khususnya gunung api Kelud mempunyai andil yang besar terhadap 
pendangkalan sungai Brantas dan  an bahan vulkanik pada lahan 
daerah Trowulan dan sekitarnya. Daerah belakang (bintrland) yang subur 
sangat mendukung terhadap kebesaran Majapahit sebagai Negara agraris 
komersial (Kartodirdjo, 1993: 24).
EPILOG: BELAJARLAH DARI SEJARAH SEBAB SEJARAH 
ADALAH GURU KEHIDUPAN.
Pendapat Van Melsen (1992) dalam (Atmadja, 2010: 421). Sejarah itu 
bukan sekedar riwayat tentang hal ihwal yang menimpa manusia bersama 
dengan reaksinya atas semuanya itu. Dalam sejarah bisa tampak bagi kita 
garis-garis yang dapat kita teruskan ke masa depan. Dengan demikian waktu 
sekarang tidal lagi merupakan “sekarang” melulu, di mana berlangsung rupa￾rupa kejadian. Waktu sekarang mendapat suatu dimensi mendalam, sehingga 
kejadian-kejadian menjadi lebih daripada sejumlah titik saja. Titik titik itu 
tampak di atas garis-garis yang mulai di masa lampau dan mengundang untuk 
dengan cara tertentu diteruskan ke masa depan




Mendengar kata Kerajaan Majapahit, tentu sudah tidak asing lagi di 
telinga kita, dan saat itu juga yang akan terlintas dalam bayangan atau fikiran 
kita adalah sebuah kerajaan besar yang daerah kekuasaanya hampir meliputi 
seluruh Asia, selain itu yang kita ingar adalah sebuah sumpah yang akhirnya 
menyatukan nusantara, yaitu sumpah palapa yang diucapkan seorang 
Mahapatih gagah perkasa dan dan sangat sakti yang kita kenal dengan nama 
Gajah Mada. Namun dibalik besarnya kekuasaan Majapahit tentu tidak akan 
pernah bisa lepas dari sebuah perjalanan panjang, mulai dari awal berdirinya, 
hingga akhirnya mampu mencapai masa keemasan serta berbagai 
pemberontakan dan gejolak yang terjadi di dalamnya. Namun kali ini kita 
akan bicara (membahas) tentang awal berdirinya Kerajaan Majapahit.
Bermula dari adanya serangan Jayakatwang yang menyerang 
Kerajaan Singosari. Raden Wijaya yang bertugas menghadang pasukan di 
sebelah utara ternyata mendapati serangan lebih besar dilancarkan dari arah 
selatan, R Wijaya pun kembali ke istana. Melihat istana yang porak poranda 
dan terbunuhnya Kertanegara, akhirnya R Wijaya melarikan diri. bersama 
tentaranya yang setia. sesudah  dirasa aman, Raden Wijaya melanjutkan 
pelariannya menuju Madura meminta perlindungan Arya Wiraraja. 
Sesampainya di Madura Tepatnya di Kadipaten Shongenep (sekarang 
Sumenep) sebuah wilayah di ujung timur pulau Madura, R Wijaya menemui 
Arya Wiraraja yang saat itu menjabat sebagai Adipati Shongenep, R Wijaya 
menceritakan perihal pelariannya ke madura pada Arya Wiraraja, sesudah  
mendengar semua cerita yang disampaikan oleh R wijaya akhirnya Arya 
Wiraraja menyarankan R Wijaya pura-pura menyerah kepada Jayakatwang 
agar mendapatkan kepercayaannya. R Wijaya mengikuti saran itu. sesudah  
Jayakatwang percaya, Wijaya meminta daerah Alas Terik untuk dibuka 
menjadi sebuah pedukuhan. Dia berdalih desa itu akan dijadikan pertahanan 
terdepan jika harus menghadapi musuh yang menyeberang melalui Sungai 
Brantas. Dengan bantuan Wiraraja, Wijaya membuka daerah Terik menjadi 
pedukuhan yang diberi nama Majapahit. Nama Majapahit sendiri diambil dari kata “buah maja yang berasa pahit”. Hal ini sebab  didaerah ini  banyak 
sekali ditemukan buah maja. sesudah  sesudah  selesai membabat alas dan 
membangun pedukuhan Majapahit dibantu oleh prajurit – prajurit yang setia 
pada dirinya, R Wijaya diam-diam memperkuat pasukannya dengan dibantu 
oleh sebagian prajurit Arya Wiraraja, Dia menunggu saat yang tepat untuk 
membalas dendam kepada Jayakatwang dan merebut kembali tahta Singosari.
Bertepatan dengan masa itu, pada awal 1293, tentara Khubilai Khan 
datang ke Jawa untuk mengukum Kertanagara sebab  telah melukai utusan 
Mongol (Tartar), Namun sesampainya di pulau Jawa, pasukan Tartar baru 
mengetahui kalau Kertanagara telah dihabisi Jayakatwang. Kedatangan 
pasukan Tartar ke tanah Jawa dimanfaatkan oleh R Wijaya untuk 
membantunya menyerang dan menundukkan Jayakatwang, pada saat itu R 
Wijaya berkata kalau Tartar membantunya menyerang Jayakatwang dan 
berhasil menundukkannya maka dia akan tunduk pada kerajaan 

Related Posts:

  • sejarah majapahit 2 .Dari dua nama ini, antara Majapahit dengan Hayam Wuruk sebenarnya memiliki satu kesamaan, yakni sama-sama me… Read More