Rabu, 13 September 2023
Home »
sejarah majapahit 1
» sejarah majapahit 1
sejarah majapahit 1
By video bobo September 13, 2023
Pada suatu siang, tanggal 9 Oktober 1940, warga desa Kweden
Kembar Onder-distrik Bangsal Kabupaten Mojokerto geger. Di jembatan
desa itu ditemukan beberapa orang yang terluka parah. Keduanya bukan
orang sembarangan sebab salah satunya adalah Wedono Mojosari, Mas
Sunarjoadiprodjo.
Awal kejadian peristiwa berdarah itu adalah adanya persoalan patok
tanah sawah milik Pak Kastran alias Reso. Dia menganggap pemerintah
desanya telah berbuat tidak adil sebab batas tanah garapannya di sebelah
timur telah bergeser. Berubahnya batas tanah itu jelas merugikan sebab luas
sawahnya berkurang.
Atas kejadian ini Pak Reso merasa penghasilannya bakal berkurang.
Sewa lahan yang diterimanya dari Pabrik Gula tidak sebanyak dahulu sebelum
patok tanah digeser oleh perangkat desanya. Padahal dari uang sewa lahan
ini dia masih merasa rugi dibanding bila sawah itu dikerjakannya sendiri.
Memang lahan sawah di sekitar tempat sengketa ini tergolong subur.
Namun sistem glebakan yang diterapkan membuat dirinya tidak bebas menanami
seperti kehendaknya sendiri. Dan pada tahun itu glebakan bergulir pada
hamparan sawah milik Pak Reso dan petani lainnya.
Sistem tanam glebakan adalah sistem giliran tanam pada bidang
hamparan sawah pada sebuah desa. Sistem ini dipakai ketika pemerintah
kolonial menerapkan sistem sewa tanah untuk konsesi perkebunan. Biasanya
persawahan dibagi dalam hamparan yang terdiri dari beberapa petak sawah.
Ketika satu hamparan disewa maka hamparan lainnya dikembalikan pada
pemiliknya untuk ditanami tanaman palawija. Begitu seterusnya sehingga
dalam satu desa masih ada sebagian sawah yang mengahasilkan pangan dan
sebagian lainnya dipakai untuk industri perkebunan.
Untuk mencari keadilan atas kasus yang dialaminya, Pak Reso nekad
datang ke onderan atau kecamatan Bangsal. Dia mengadu sebab protesnya
pada lurah Kwedenkembar sudah tidak ditanggapi.
Mendapat laporan ini , pihak onderan segera bertindak. Asisten
Wedono Bangsal meminta bantuan dari Wedono Mojosari yang juga menjadi
anggota panel Landrad atau pengadilan pribumi Mojokerto. Harapannya,
dengan kehadiran anggota Landrad akan didapat keputusan pasti.
Mediasi dilakukan di balai desa Kwedenkembar yang dihadiri Lurah,
Kepetengan, Asisten Wedono Bangsal dan Wedono Mojosari. Tentu saja Pak
Reso sendiri hadir di forum ini .
Hasilnya lacur, tidak seperti harapan Pak Reso. Dalam forum ini dia
merasa malah diintimidasi oleh para aparat ini . Segala permohonan yang
disampaikan Pak Reso kandas dengan dalih bahwa tanah adalah hak pemerintah
desa untuk membagikan pada siapa warga yang dikehendaki untuk diberi lahan
garap. Pihak desa bisa mengurangi luas lahan garapan warga bila memang dirasa
terlalu luas untuk diratakan dengan luas milik warga lainnya. Pak Reso pun
semakin gundah dan amarah memenuhi rongga dadanya.
Pak Reso berfikir di balai desa itu dia boleh saja dikalahkan oleh
wewenang mereka. Jika kata-kata dan permohonan sudah tidak dihiraukan
maka saatnya kepalan tangan yang bicara.
Wedono Mojosari tentu tidak menyangka jika keputusannya yang
membenarkan tindakan perangkat desa Kwedenkembar akan berbuntut.
Pejabat yang belum setahun menduduki jabatannya di Kawedanan itu
beranggapan keputusan dan kewenangannya selaku anggota panel pengadilan
pribumi dalam memutus perkara akan ditaati rakyatnya.
Di atas jembatan desa, Pak Reso menunggu para pejabat yang akan
kembali ke Bangsal. Dia telah siap dengan segala resiko yang bakal
diterimanya. Dia sekali lagi ingin bicara tanpa ada perangkat desanya. Dan di
atas jembatan itu tempat yang dianggap tepat sebab tidak ada akses lain
menuju arah Bangsal selain lewat jembatan ini .
sesudah rombongan Wedono dan Asisten Wedono Bangsal lewat, Pak
Reso segera menghentikannya. Ternyata Kepetengan atau perangkat desa
yang mengurusi keamanan desanya ikut dalam rombongan ini .
Kepetengan bernama Warno itu juga yang dalam pertemuan sebelumnya di
balai desa ikut memojokkan Pak Reso.
Kini niat Pak Reso berubah. Dia sudah tidak ingin belas kasihan lagi
sebab mesti meratap sekalipun keputusan akan sama. Ada Kepetengan
Kwedenkembar yang turut serta.
sesudah mereka berhadapan, Pak Reso segera mengeluarkan senjata
tajam yang dibawanya dari rumah. Dia memang sempat pulang sehabis
pertemuan di Balai Desa sebelum mencegat rombongan pejabat itu. Dengan
senjata tajam itu dia menyerang mereka secara membabi buta.
Wedono dan yang lainnya tentu tidak menyangka mendapat serangan
mendadak semacam itu. Ketiga orang ini sebisa mungkin menghindari
sabetan dan tusukan Pak Reso. Tetapi sepertinya Pak Reso memang sudah
lihai memakai senjatanya dengan mengincar bagian tubuh yang
mematikan. Serangan diarahkan ke lambung dan dada lawannya.
Ketiga orang itu tersungkur dengan bersimbah darah. Kepetengan dan
Asisten Wedono menghembuskan nafas terakhirnya di atas jembatan
ini . Sementara Mas Soenarjoadiorodjo masih sempat dilarikan ke
Ziekenhuis Gatoel. Namun sebab lambungnya sobek maka nyawanya pun
melayang tidak lama sesudah tiba di rumah sakit.
Sementara Pak Reso segera melarikan diri sesudah penyerangan
berdarah itu. Namun dia dapat ditangkap di daerah Tarik Sidoarjo.
Persoalan tanah bukan hanya masalah hak milik, bagi orang Jawa tanah
juga sebagian dari kehormatan yang harus diperjuangkan. Ada ujaran sedumuk
batuk senyari bumi ditotohi Pati, kehormatan atas tanah dibela hingga mati.
Ki Ro Da, sebuah kata yang membuat bingung dalam penulisan
sejarah Kota Mojokerto. Nama itu selalu muncul manakala keyword
Mojokerto diketuk pada keyboard gawai kita. Kenapa membingungkan ?. Ya
sebab itu terkait dengan tata pemerintahan Kota Mojokerto. Ki Ro Da
dituliskan sebagai Walikota Mojokerto yang menjabat di jaman penjajah
Jepang. Tentu jabatan walikota itu bukan sembarangan.
Beberapa waktu yang lewat (tahun 2016) pernah saya buat tulisan
singkat tentang persoalan ini . Untuk memperkuat tiadanya nama Ki Ro
Da dalam pemerintahan Kota Mojokerto adalah sebuah artikel di Surat Kabar
Tjahaja yang terbit pada tanggal 4 Nopember 1942 dengan judul "Sityo-sityoBaroe di Pulau Djawa". Dalam koran itu dituliskan bila Sityo atau Walikota
Mojokerto dirangkap oleh Bupati Mojokerto, RAA. Rekso Amiprodjo. Jadi
jelas bila walikota Mojokerto adalah orang pribumi, bukan orang Jepang.
Apakah tidak ada Sityo yang berkebangsaan Jepang seperti
Burgemeester yang selalu orang Belanda ? Memang ada orang Jepang yang
ditunjuk jadi Sityo, tetapi itu untuk kota-kota strategis. Hanya beberapa kota
besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya yang walikotanya sempat
diberikan pada orang sipil Jepang. Tentu tidak termasuk Mojokerto yang
berklasifikasi kota kecil.
Balik ke persoalan Ki Ro Da. Secara pribadi saya berasumsi bila
nama itu adalah sosok yang menjadi komandan militer di Mojokerto.
Memang hanya analisa belaka sebab belum menemukan bukti tertulis yang
bisa dipertanggungjawabkan. Di luar asumsi saya belum berani memastikan
sebab jelas susah menemukan data yang tersisa di jaman Jepang.
Dalam buku Pantja Warsa Kota Ketjil Modjokerto yang diterbitkan
oleh DPRDS Kota Mojokerto tahun 1954, nama Ki Ro Da masih belum ada.
Nama Ki Ro Da sebagai Walikota Mojokerto baru ada di buku Karya Lima
Tahun DPRD Kotamadya Dati II Mojokerto yang dibuat pada masa
pemerintahan Walikota Samioedin. Pada saat itu juga dibuat Perwali tentang
Hari Jadi Kota Mojokerto yang di dalamnya menetapkan Ki Ro Da sebagai
salah satu walikota yang pernah menjabat di Mojokerto.
Dari Perwali itulah nama Ki Ro Da menyebar kemana-mana dengan
label walikota. Semua dokumen pemerintahan, hasil penelitian atau tulisan
akademik yang menyangkut kota Mojokerto akan tertera nama Ki Ro Da.
Namanya pun diabadikan dalam pahatan pada marmer yang diletakkan di
lobby kantor Walikota Mojokerto. Tidak ada yang membantah sebab
memang belum ada dokumen pembandingnya.
Pada akhirnya nama Ki Ro Da muncul dalam sebuah catatan yang
dibuat oleh seorang pejabat Belanda bernama Noteboom. Dia menduduki
posisi selaku Asisten Residen Jombang pada saat Jepang mulai masuk ke
tanah Jawa. Dia menyebut, "Modjokerto kreeg een Japan's garnizoen onder
de gehate Kapitein Koeroda". Secara umum dapat diartikan bila di Mojokerto
ditempatkan garnizoen dibawah Kapten Koeroda yang dibenci. Dia dibenci
sebab pernah memerintahkan penjarahan di Mojokerto hingga lalu
merembet ke Jombang. sesudah penjarahan terjadi, dia segera memerintahkan
menangkap para pelaku dan menghukumnya.
Jepang memang sudah memplooting penempatan pasukan beserta
komandannya sekalian. Di Mojokerto Jepang masuk pada siang hari Jum'at
tanggal 6 Maret 1942. Pada hari itu juga sudah muncul intruksi penjarahan
atas barang orang asing dan China. Artinya Kapten Kaeroda langsung
menjalankan fungsinya sebagai penguasa militer seketika itu juga.
Koeroda dan Ki Ro Da apakah bukan orang yang berbeda ?.
Kemungkinan berbeda orang itu sangat kecil sebab jumlah orang Jepang
dengan nama yang sama tentu probabilitasnya rendah jika dipakai untuk
ukuran daerah lingkup kabupaten. Apalagi sudah ada elemen jabatan dan titel
militer yang melekat pada nama ini .
Jadi jelas bila Ki Ro Da (Koeroda) adalah seorang militer dengan
pangkat Kapten. Jabatannya komandan Garnizoen yang kekuasaannya
meliputi wilayah Mojokerto dan Jombang. Dia sosok yang dibenci sebab
kekejamannya.
Bisa jadi Kapten Koeroda juga yang saat itu melakukan penangkapan
terhadap Mbah Hasyim Asy'ari. Dalam catatannya, Noteboom menyatakan
menerima kabar bila Mbah Hasyim sempat melindungi orang-orang
Eropa/Amerika yang datang ke Tebuireng. Orang asing ini minta
perlindungan sesudah melarikan diri dari kamp di Bojonegoro. Dan atas
perlindungan yang diberikan itu mereka bersedia mempelajari agama Islam.
Dengan adanya catatan Noteboom itu tampaknya sudah cukup untuk
menghilangkan nama Ki Ro Da dari papan mamer kantor Walikota
Mojokerto, dan seterusnya menyebut dia sebagai komandan Garnizoen saja.
Perkembangan daerah Mojokerto jelas tidak bisa dilepaskan dari
peran orang Belanda/Eropa dan para pedagang China. Kerjasama diantara
keduanya memang menimbulkan dampak negatif bagi orang-orang pribumi
dari sektor ekonomi. Dominasi ekonomi itu terus dipertahankan hingga jaman
kemerdekaan.
Tahun 1956, seorang Amerika bernama Boyd Robert Compton datang
ke Mojokerto. Dia mengumpulkan data peta sosial politik bagi negaranya
terkait dengan situasi perang dingin antar blok liberal dan blok komunis.
sebab itu dia mempelajari betul eksistensi etnis China yang sebagian
diantaranya menjadi pendukung komunis China.
Dalam laporannya dia menulis, "Kira-kira 10.000 orang di Kabupaten
Modjokerto berasal dari Cina. Toko-toko mereka mendominasi dua jalan
utama kota Modjokerto dan uang mereka diinvestasikan di hampir setiap
perusahaan non-pemerintah atau non-Belanda yang cukup besar di kabupaten
ini. Orang-orang Fukien dan Kanton yang merupakan minoritas Tionghoa di
Mojokerto telah memainkan peran ekonomi mereka dengan keterampilan dan
semangat, siap untuk bisnis setiap saat - bahkan selama sore hari, hingga
malam".
Para pendatang ini masuk ke Mojokerto bersamaan dengan
kebijakan politik tanam paksa. Mereka segera mendapatkan peluang sebagai
pedagang perantara hingga mampu mengumpulkan kekayaan secara
maksimal. Jurang ekonomi yang lebar terjadi diantara orang-orang pendatang
ini dengan penduduk asli.
Keberadaan mereka dalam mengontrol kegiatan ekonomi sedemikian
dalam. Distribusi barang sepenuhnya ada di tangan mereka sebab jasa
transportasi, bis,truk, perahu dan bahkan becak. Demikian pula dengan tokotoko grosir hingga pengecer tidak lepas dari perannya. Pun juga produksi
barang di Mojokerto semacam mebel, sepatu, penjahit, binatu alat-alat masak
serta pabrik es telah dimiliki.
Lalu apa yang dilakukan pribumi ?. Compton menyebut, orang pribumi
memang bisa bertani tetapi tidak bisa menjual hasilnya sendiri. Petani
menghasilkan gabah namun penggilingan dan jalur distribusi beras ada di tangan
orang China. Petani menanam kedelai namun pabrik tahu dan tempe milik orang
China. Dengan begitu laba besar terakumulasi pada segelintirorang China saja. Intinya segala sesuatu yang terkait dengan ekonomi tidak
bisa lepas dari peran mereka.
Orang-orang pribumi benar-benar tidak mampu bersaing sebab untuk
bisa menandingi usaha orang China dibutuhkan modal dua kali lipatnya.
Semisal pribumi akan membuka rumah makan, semua barang kebutuhan pasti
membeli di toko milik orang China. Pelayanan atas barang pada pembeli
pribumi kerap dibedakan dalam hal harga, mutu dan kecepatan pelayanannya.
Termasuk dalam usaha produksi seperti sepatu yang bahan bakunya
dimonopoli orang China.
Situasi semacam itu tetap mampu dipertahankan pada masa
kedatangan Jepang pada tahun 1942. Perubahan politik diikuti dengan
menjadi kaki tangan Jepang dalam urusan distribusi barang. Bahkan pada
jaman Jepang itulah mereka bisa keluar dari aturan yang membatasi gerak
orang China yang dibuat oleh penjajah Belanda. Orang China lalu
menyebar hingga ke pelosok desa. Contohnya, di Desa Kedungsari Kemlagi
setidaknya ada 5 keluarga China yang membuka toko pracangan di dekat
pasar desa ini . Awalnya mereka membeli tanah dengan diatas namakan
orang pribumi yang bekerja padanya.
sesudah Indonesia merdeka posisi ini sedikit terguncang. Saat
Jepang kalah terjadi penjarahan pada toko China yang cukup massif.
Misalnya, Husain Abdulghani, kakak Ruslan Abdulgani, pernah mengajak
orang di sekitar Modongan untuk menjarah barang di toko China yang ada
disana. Penjarahan itu menjadi titik kulminasi jurang ekonomi yang terjadi
pada jaman penjajahan. Tetapi situasi orang China yang tertekan itu tidak
berlangsung lama sebab Belanda lalu masuk ke Mojokerto pada bulan
Maret 1947. Mereka kembali mendapat angin dengan menempel pada
kekuatan serdadu Belanda untuk mengatasi gangguan para pejuang yang
sering datang menteror toko China.
Kekuatan ekonomi etnis China terpecah saat perang kemerdekaan
telah usai. Sebagian orang China Mojokerto mengambil sikap politik dengan
mendukung Komunis China dan sebagian lagi menjadi pendukung Indonesia.
Mereka yang ikut pemerintah RRC membuat sekolah yang mengadopsi
kurikulum RRT. Sebaliknya seorang tokok China bernama Lie Tong Liang
segera membuat sekolah China tandingan yang menerapkan kurikulum
Indonesia. Lie Tong Liang bukan tokoh sembarangan sebab dia dipercaya
menjadi sekretaris CHTH yang terbentuk tahun 1947 dan diketuai oleh Tan
Siang Lian asal Tegal. Sekolah yang didirikannya ini yang nantinya berubah
menjadi sekolah TNH. Sedangkan sekolah China yang satunya dibubarkan
sesudah terjadi peristiwa G 30 S/PKI. Gedung sekolah ini lalu
disita pemerintah RI.
Sedikit diantara orang China di Mojokerto juga melakukan asimilasi
dengan orang pribumi. Mereka menukar nama dan bahkan keyakinannya
hingga sepenuhnya menerima tradisi yang ada di sekitarnya. Orang China
yang berasimilasi inilah yang lalu menjadi tulang punggung organisasi
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Salah seorang diantaranya
adalah Sarutomo, pemilik pabrik rokok Bokormas.
Ketimpangan ekonomi yang terbuka itu menyulut konflik. Kekerasan
secara parsial terhadap orang China kerap terjadi sebelumnya. Seorang
perantau China yang berkerja di Pabrik Karet di Mojokerto bernama Lie
Chen Lin dihabisi oleh 3 orang penyerang tak dikenal. Demikian pula dengan
perantau etnis China bernama Cheng Thun Chun yang diserang saat
bersepeda di kota Mojokerto. sebab peristiwa itu Kedutaan Besar China
sempat mengajukan nota protes pada pemerintah RI pada bulan Mei 1951.
Kerusuhan etnis juga hampir meledak pada tahun 1952 saat
gerombolan bersenjata tajam masuk ke kota Mojokerto. Penjarahan hampir
terjadi saat mereka akan menjarah dengan alasan kesulitan pangan akibat
paceklik di tahun ini . Alasan lainnya adalah kebutuhan yang meningkat
menjelang datangnya hari raya. Beruntung situasi segera bisa kendalikan oleh
aparat keamanan.
Kejadian serupa terulang pada tahun 1966. Penjarah menggedor-gedor
toko China di Kota Mojokerto, sementara di dalam toko, pemiliknya
bersembunyi ketakutan. Akibat penjarahan di tahun ini beberapa orang
ditangkap. Almarhum, Pak Yazid Qohar menyebut bila penangkapan ini
dikaitkan dengan gerakan demonstrasi yang digalang oleh anak-anak
Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) Mojokerto. Pak Yazid sendiri
mengaku ikut ditangkap pada saat itu.
Hingga sekarang ini dominasi ekonomi etnis China tetap ada,
meskipun tidak sebesar masa-masa sebelumnya.
Ketika mertua berkeinginan membeli sebuah mesin pompa air diesel dia
menyuruh berangkat ke Jombang. Begitu pula saat mau membeli alat elektronik,
seorang kawan menyarankan agar membeli di Krian saja. Kenapa ? Ya sebab
harganya lebih murah dibandingkan jika membelinya di Mojokerto.
Ternyata fenomena mahalnya harga barang di Mojokerto itu tidak
terjadi saat ini saja. Pada masa kolonial malah lebih parah lagi sebab harga
barang itu "ditentukan" oleh satu orang saja. Boleh dikata dia yang
menguasai bisnis penjualan barang di Mojokerto.
Persoalan mahalnya harga barang ini pernah diangkat dalam
tulisan di Koran "Get Nueuws Van Den Dag". Koran yang berkantor di
kawasan Kebonsirih Jakarta itu dipimpin oleh K. Wybrands. Dia sebelumnya
sudah pernah mendengar tentang hal itu dari seorang kawannya yang
berprofesi sebagai jurnalis di Koran Surabaja Nieuwshandleblad. Tetapi dia
tidak percaya begitu saja sehingga memerintahkan seorang anak buahnya
melakukan penelusuran lebih lanjut. Lalu pada bulan Pebruari 1913
berangkatlah wartawan koran ini ke Mojokerto.
Dari laporan wartawan yang dikirimnya, Wybrands mendapatkan
kepastian bila memang ada permainan harga di Mojokerto. Permainan harga
itu dijalankan oleh Kapiten Tan Djoe An yang memiliki sebuah Toko Besar
di kawasan Pecinan Mojokerto. Maka tidak heran jika Tan Djoe An bisa
mempertahankan kedudukan sebagai pemimpin orang China yang sudah
didapatkannya sejak tahun 1898.
Dalam laporannya disebutkan jika Tan Djoe An melakukan semacam
kontrol harga pada para pedagang China. Dengan kekuasaan sebagai Kapiten
China dia meminta agar pedagang kecil membeli barang dari tokonya.
Sementara jika ada pedagang China Mojokerto yang mengambil barang
selain dari tokonya maka dia akan memaksa agar harga jualnya harus lebih
tinggi dari harga barang di tokonya. Sedangkan harga di Toko Tan Djoe An
sendiri sudah dipatok lebih tinggi dari harga normal.
Praktek monopoli harga ini tentu sangat merugikan para pedagan
kecil lainnya sebab semua pembeli tentu akan memilih membeli di toko milik
Tan Djoe An yang harganya lebih murah. Sedangkan harga di toko ini
harganya juga sudah tinggi dibanding harga di kota lainnya. Sementara untuk
konsumen juga tidak ada pilihan lain sebab untuk membeli barang dari kota lain
akan rugi di biaya trahsportasi yang ketika itu cukup mahal.
Sejak awal kehadiran pada pendatang China memang berprofesi
sebagai pedagang. Mereka muncul seiring dengan keberadaan industri gula di
Mojokerto. Lambat laun jumlah orang China di Mojokerto semakin banyak
sehingga mereka dibuatkan kampung tersendiri di sepanjang Jalan Kediri
yang saat ini bernama Jl. Majapahit. Dari kawasan Pecinan itulah para
pedagang mendistribusikan barang dagangannya.
Bagaimana cara wartawan itu melakukan investigasinya ?. Dia datang
ke Mojokerto bersama istrinya dan tinggal beberapa waktu. Sang istri
lalu mencari referensi tentang tempat berbelanja yang murah. Hasilnya
hampir semua orang menyarankan agar membeli di toko Tan Djoe An saja.
sesudah didatangi langsung oleh sang Istri, memang toko yang dikelola oleh
seoarang bawahan bernama Tuan Sing itu memang lengkap persediaan
barangnya. Namun sesudah dicheck ternyata harganya memang lebih tinggi,
seperti harga ban mobil ber-merk Dunlop harga lebih tinggi dari daftar harga
resmi yang dikeluarkan oleh distributor ban di Surabaya. Pun demikian
halnya dengan harga barang lainnya yang ternyata harganya jauh lebih tinggi
dibanding harga di toko langganannya di Buitenzorg atau BogorMendapati situasi demikian, sang wartawan lalu
menyampaikannya pada seorang pemuda pribumi kenalannya. Pemuda itu
menyarankan agar belanja di sebuah toko lainnya saja. Saran ini
dijalankan dengan datang membeli pada toko milik orang China lainnya.
Alhasil memang harga di toko itu lebih tinggi dibanding toko Tan Djoe An.
Pada seorang pemilik toko kecil dia menanyakan tentang hal itu.
Jawaban yang dia terima adalah Kapiten China itu melakukan agar tidak ada
orang yang bisa menjual barang lebih murah dibanding toko miliknya. Intinya
harga tinggi yang ditentukan tidak disaingi oleh pedagang lainnya.
Sebelum sang wartawan balik dari Mojokerto, dia menyampaikan
persoalan harga itu pada semua orang yang dikenalnya. Si kenalan pun
sempat berjanji untuk menyelidiki masalah itu. Namun tampaknya usaha
melaporkan perbuatan Tan Djoe An tidak menemui hasil. Maklum saja,
selain berkuasa, Tan Djoe An juga dikenal "dermawan" sehingga pihak yang
berwenang segan mengusik bisnisnya.
Pada akhir laporannya, sang wartwan menyebut jika apa yang
dipraktekkan Tan Djoe An merupakan sebuah cara buruk dari pedagang
China di sebuah tempat kecil yang dikelola oleh orang Eropa.
Bagaimana bila ada pedagang China yang menentang kekuasaan Tan
Djoe An ?. Sebuah kisah tutur menyebutkan bila beberapa orang China
sempat diusir keluar dari kota Mojokerto sebab hal itu. Salah satu tempat
yang dipilih orang China "buangan" adalah memilih tinggal di daerah
Kutorejo. Kutorejo masuk pada wilayah kekuasaan China Mojosari.
Memang keberadaan Kota Mojokerto yang berstatus sebagai Stadgemeente dibentuk untuk kepentingan orang asing, dalam hal ini orang Eropa
dan China.
R. Ardi Sriwidjaja mungkin salah satu orang yang memiliki kecintaan
pada Mojokerto. Buktinya dia memilih menghabiskan masa tua di Mojokerto.
Meskipun saat itu dia tidak memilki rumah di Mojokerto. Demikian pula
dengan pesannya untuk dimakamkan di daerah yang pernah dipimpinnya
ini .
R. Ardi Sriwidjaja adalah sosok ambtenaar yang meniti karir dari
bawah. Mulai masuk dunia birokrasi kolonial sesudah menyelesaikan sekolah
kepegawaian hingga terakhir menduduki posisi sebagai Residen Bojonegoro.
Profesi selaku pegawai pemerintah juga banyak digeluti oleh saudara-saudara
sekandungnya.
Lahir pada tahun 1911 di Ngawi dari keluarga priyayi. Ayahnya
bekerja sebagi pegawai pemerintah kolonial sehingga membuat Ardi
Sriwidjaja dan saudara-saudaranya memiliki hak bersekolah hingga tingkat
lanjutan. sesudah menyelesaikan pendidikan di HIS, dia meneruskan ke
Sekolah Pendidikan Pangreh Praja yang disebut OSVIA.
Opleiding School Voor Inlandsche Qmbtenaren Opleiding (OSVIA)
adalah sekolah pendidikan bagi calon pegawai-pegawai bumi putra. sesudah lulus
mereka dipekerjakan dalam pemerintahan kolonial sebagai pamong praja.
Sekolah ini dimasukkan ke dalam sekolah ketrampilan tingkat menengah dan
mempelajari soal-soal administrasi pemerintahan. Masa belajarnya lima tahun,
tetapi tahun 1908 masa belajar ditambah menjadi tujuh tahun. Pada umumnya
murid yang diterima di sekolah ini berusia 12-16 tahun. OSVIA di Jawa Timur
ada di Probolinggo, Malang, Blitar dan Madiun, entah di OSVIA mana Ardi
Sriwidjaja menempuh pendidikan kepegawaiannya.
Karir kepegawaiannya diawali dengan di wilayah Kabupaten Malang.
Posisinya terus meningkat hingga menjadi seorang Mantri Polisi. Pada
kisaran tahun 1941 dia sudah berhasil mendapatkan posisi sebagai Wedana di
Ngadiluwih Kediri. Tetapi sebelum itu Ardi Sriwidjaja telah ditunjuk selaku
Asisten Wedana di Pakisaji Malang. Jabatan Wadana ini terus
diembannya hingga pergantian pemerintah dari Hindia Belanda kepada
Pemerintah Jepang.
Ketika jaman revolusi kemerdekaan, Ardi Sriwidjaja memilih menjadi
pegawai Republik dengan tugas yang sama sebagai Wedana Ngadiluwih. Jabatan
wedana di tempat yang sama itu cukup lama didudukinya hingga tahun 1950.
Pada tahun ini dia mendapatkan promosi menjadi Patih Kabupaten
Mojokerto menggantikan R.Soeharto yang ditunjuk sebagai Bupati Mojokerto.
Dalam posisi sebagai Patih atau Sekretaris Daerah, Ardi Sriwidjaja
dipercaya sebagai ketua SSKDN, Serikat Sekerja Kementerian Dalam Negeri
di Mojokerto, semacam KORPRI saat ini. Jabatan ini mendekatkan
dirinya pada dunia politik sebab sebagian besar pegawai negeri dikenal
sebagai pendukung PNI dalam pemilu 1955. Meski kalah jumlah kursi di
legislatif daerah namun PNI berhasil menduduki jabatan ketua DPRD Kab.
Mojokerto yang dipercayakan pada R. Oemar Nitiadikoesoemo. Kedekatan
dengan PNI itu juga yang lalu mengantarkan dirinya ke jabatan sebagai
Bupati Mojokerto dalam pemilihan bupati oleh DPRD Kab. Mojokerto.
Pada tanggal 11 Maret 1958, Ardi Sriwidjaja dilantik secara resmi
sebagai Bupati Mojokerto. Jabatan yang diemban hingga meletusnya
peristiwa Pemberontakan PKI pada September 1965.
Dalam masa pemerintahannya ini cukup banyak prestasi yang
diraihnya. Infrastruktur berupa jalan penghubung diperbaiki, seperti jalan
aspal menuju ke Pacet. Di daerah wisata itu pun dibangun pemandian Ubalan
yang pengelolaannya bekerja sama dengan pihak desa.
Dibudang pertanian sempat digalakkan Operasi Gerakan Makmur.
Tujuannya adalah meningkatkan hasil panen dan juga pembelian hasil panen
petani. Di setiap desa didirikan lumbung desa agar semua desa memiliki
ketahanan pangan. Lumbung desa ini masih berfungsi hingga tahun 1980-
an dan berakhir saat pemerintah membuat KUD. Gerakan Makmur ini juga
diikuti dengan pembangunan beberapa waduk penampungan air di beberapa
daerah. Pembangunan sarana irigasi itu tidak sempat diresmikan oleh Ardi
Sriwidjaja sebab adanya gejolak politik. Program irigasi itu lalu direuskan
dan diresmikan oleh Bupati selanjutnya, Mayor R.A. BasoeniR. Ardi Sriwidjaja juga memperhatikan sektor pendidikan dengan
mendirikan SMA Negeri di Mojokerto. sesudah menjalankan kegiatan belajar
di Balai Prajurit, gedung sekolah dibangun di daerah Gatoel Puri. sebab itu
sekolah SMA pertama yang berdiri di Mojokerto itu dikenal dengan nama
SMA Gatoel.
Pada bulan Pebruari 1960, Ardi Sriwidjaja menginisiasi pertemuan
yang membahas masalah sosial di Kabupaten dan Kota Mojokerto. Sebuah
pertemuan yang dihadiri oleh Bupati, Walikota dan pejabat terkait dilakukan
di Peringgitan, Rumah Dinas Bupati. Dalam pertemuan itu diputuskan untuk
membuat sarana rehabilitasi para penyandang masalah sosial seperti, pelacur,
gelandangan dan juga pengangguran. Pertemuan lanjutan dilakukan hingga
lalu terbentuk Yayasan Majapahit di Balongcangkring yang dipimpin
oleh Soewono Blong.
Masa pemerintahan Bupati Ardi Sriwidjaja memang berlangsung pada
masa sulit. Stabilitas ekonomi dan palitik sedang labil sehingga
memunculkan banyak persoalan keamanan. Tindak kriminal berupa
pencurian dan perampokan meningkat tinggi. Untuk mengatasinya lalu
diberlakukan kondisi darurat di Karesidenan Surabaya, termasuk Mojokerto.
Dari sisi perdagangan juga sama sebab ada permainan distribusi barang
kebutuhan pokok. Kondisi yang diperparah dengan imbas persaingan politik
nasional yang merembet hingga ke daerah. Darurat Sipil atau SOB itu
berlangsung dari tahun 1957 hingga tahun 1962.
sesudah peristiwa G 30 S/PKI, Kabupaten Mojokerto menjadi salah
satu daerah yang harus diganti kepala daerahnya. Meskipun tidak terlibat
dalam PKI, namun Ardi Sriwidjaja disinyalir sebagai Seokarnois yang harus
dilengserkan oleh Orde Baru. Jabatan itu lalu "diserahkan" pada ABRI.
Komandan KODIM, Mayor R.A. Basoeni dipilih oleh DPRD
menggantikannya.
Karir R. Ardi Sriwidjaja lalu "diselamatkan" oleh gubernur
Jawa Timur, R. Wijono dengan memberinya jabatan selaku Residen
Bojonegoro. R. Wijono juga membantunya untuk membeli rumah di
Mojokerto sesudah Ardi Sriwidjaja pensiun. Tepat pada hari peringatan ABRI
tahun 1995, Ardi Sriwidjaja wafat pada usia 85 tahun. Pemakaman
dilaksanakan di pemakaman umum di Losari Gedeg Mojokerto.
Cacah Jiwa atau Sensus Penduduk telah beberapa kali dilaksanakan di
Indonesia. Pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1920 dengan sebutan volksteling. Sensus Penduduk yang pertama ini
hanya dilaksanankan di Pulau Jawa saja. Baru pada volksteling kedua pada
tahun 1930 yang dilakukan untuk seluruh wilayah Hindia Belanda. Hasil
sensus tahun 1930 itu lalu dibukukan dengan diberi judul Volkstelling
1930: Overzivht voor Nederlandsch-Indie.
Data kependudukan tahun 1930 itu banyak dijadikan referensi oleh
para peneliti saat melakukan kajian tentang dinamika sosial sebuah wilayah
yang dikerjakannya. Hampir semua buku yang membahas perkembangan
sosial masa kolonial merujuk pada hasil volkstelling ini .
sesudah Indonesia merdeka juga menjalankan hal yang sama. Untuk
itu lalu dibentuklah sebuah lembaga baru yang diberi nama Biro Pusat
Statistik. BPS berdiri berdasar UU Nomor 6 Tahun 1960 tentang Sensus
dan UU Nomer 7 Tahun 1960 tentang Statistik. Tidak lama sesudah dibentuk
BPS menjalankan kegiatan Cacah Jiwa pada tahun 1961. Sarbini Sumawinata
ditunjuk sebagai Kepala BPS yang pertama.
Pada bulan Oktober tahun itu kegiatan sensus dilakukan di semua
wilayah Republik Indonesia. Menurut kisah, para petugas lapangan sensus
saat itu bekerja secara sukarela alias tidak dibayar. Dari hasil kerja mereka
diketahui penduduk terbanyak ada di Propinsi Jawa Timur. Propinsi dengan
penduduk paling sedikit adalah Kalimantan Tengah.
Tidak seperti daerah lainnya, sensus penduduk di Mojokerto
mengalami kendala sebab pekerjaannya tidak selesai di kecamatan Ngoro.
Di kecamatan Ngoro yang memiliki 19 desa ini hanya bisa dilaporkan
hasilnya dari 6 desa saja. Desa yang selesai mencacah jiwa penduduknya
adalah Desa Ngoro, Wonosari, Watesnegoro, Manduro, Kunjorowesi, dan
Jedong. Dari keenam desa ini didapatkan total jumlah penduduk sebesar
15.029 jiwa.
Sayangnya tidak ada keterangan lebih lanjut terkait dengan tidak
selesainya sensus di 13 desa lainnya. Namun sebab pemgitungan secara
menyeluruh di semua wilayah harus dilakukan maka BPS Kabupaten
Mojokerto lalu membuat angka perkiraan. Dari perkiraan ini
ditetapkan jumlah penduduk di Kecamatan Ngoro ditaksir berjumlah 31.458
jiwa.
Bagaimana dengan jumlah penduduk di daerah lainnya ?.
Di Kawedanan Mojokerto ada , Kecamatan Sooko dengan 19 desa
memiliki penduduk sebesar 19.451. Kecamatan Trowulan ada 16 desa
dengan total penduduk 29.806. Kecamatan Bangsal jumlah desanya 23 dihuni
oleh 31.991 penduduk. Kecamatan Puri, 24 desa total populasi 41.979 orang
Selanjutnya Kawedanan Mojosari, Kecamatan Mojosari, 19 desa
mempunyai jumlah penduduk 33.349. Kecamatan Pungging, 19 desa
memiliki total penghuni sebesar 31.452. Kecamatan Kutorejo ada 17 desa
dengan penduduk sejumlah 27.865 jiwa. Kecamatan Dlanggu, 16 desa
mempunyai penduduk 25.696 orang.
Di wilayah selatan yang disebut Kawedanan Jabung adalah Kecamatan
Trawas dengan 13 desa penduduknya berjumlah 13.767. Kecamatan Pacet ada 20
desa dengan populasi 26.739. Kecamatan Gondang, 18 desa penduduknya
sebesar 19.361 jiwa. Kecamatan Jatirejo memiliki 19 desa dengan penghuni
sejumlah 19.925. Dan Kecamatan Trowulan, 16 desa dihuni oleh 29.806 orang.
Kawedanan Mojokasri yang terletak di utara Kali Brantas ada 4
Kecamatan, yaitu Kecamatan Kemlagi, 20 desa penduduknya 32.194.
Kecamatan Gedeg ada 14 desa dengan populasi 28.340. Kecamatan Jetis, 16
desa jumlah penduduk sebesar 36.723. Dan Kecamatan Dawarblandong, 18
desa penduduknya 28.854 orang.
Dengan jumlah ini didapatkan populasi total penduduk di
Kabupaten Mojokerto dengan 17 Kecamatan mempunyai 489.091. Jumlah
penduduk itu tersebar di 310 desa dengan sex ratio 237.116 berjenis kelamin
laki-laki dan 251.975 perempuan.
Jumal penduduk Kota Kecil Mojokerto dengan 1 kecamatan yang
memiliki 12 desa populasinya 50.446 dengan perbandingan sex ratio 23.712
laki-laki dan 26.754 perempuan. Tercatat ada 158 orang gelandangan yang
menjadi penduduk kota Mojokerto. Perincian penduduk kota perdesa seperti
yang ada pada gambar,
Dalam pembangunan pusat pemerintahan di Jawa, selain ada kantor
pemerintah biasaya akan dibangun juga tempat ibadah atau masjid. Begitu
pula dengan yang ada di Kecamatan Kuterejo dimana masjid yang dibangun
ada sumbangan dari orang China.
Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah setingkat kecamatan
dinamakan Onder Distrik. Orang Jawa menyebut kantor kecamatan dengan
nama Onderan. Onderan Kutorejo sendiri berdiri pada tahun 1902 sesudah
pemerintah Kabupaten Mojokerto memindahkan pusat pemerintahan dari
Madiopuro ke Desa Kutorejo. Perpindahan ini juga diikuti dengan
pergantian nomenklatur dari onder distrik Mojosari Kidul dengan ibukota di
Madiopuro menjadi Onder Distrik Koetoredjo dengan pusat pemerintahan di
Kutorejo. Wilayah Onderan Kutorejo masuk dalam distrik atau kawedanan
Mojosari.
Tampaknya pemindahan pusat pemerintahan Kutorejo ini tidak
lepas dari adanya pabrik gula Ketanen. Biasanya pusat pemerintahan
memang diletakkan tidak jauh dari pusat perkembangan perekonomian.
Pabrik Gula Ketanen saat itu dimiliki oleh keluarga The Boen Keh sesudah
membeli pabrik ini dari G.C. Bohl pada tahun 1870.
Selanjutnya pada tahun 1802 diangkatlah Mas Prawiroadinoto sebagai
Asisten Wedono atau Camat Kutorejo. sesudah membangun kantor kecamatan
lalu dibangunlah masjid yang letaknya tidak jauh dari kantor
kecamatan. Masjid Onderan Kutorejo ada di pertigaan desa Kutorejo, sekitar
50 meter di barat kantor kecamatan lama. Bekas kantor kecamatan ini
saat ini masih ada. Pemerintah lalu membangun kantor kecamatan baru
sesudah Indonesia merdeka di tempat bekas bangunan milik pabrik gula
Ketanen yang sudah tidak beroperasi lagi.
Sebagai masjid tingkat kecamatan tentu fasilitas yang dimiliki cukup
lengkap. Menurut cerita pada masa lalu masjid Kutorejo juga memiliki
menara seperti menara yang ada di Masjid Madiopuro. Letak menara ada di
sebelah utara masjid. Menara itu dibongkar saat ada renovasi masjid yang
lalu diberi nama Masjid Baitul Muttaqin ini .
Ada cerita menarik dari pembangunan masjid itu. Keluarga The Boen
Keh ikut memberi bantuan saat mendirikannya. Bukan hanya bantuan materi,
keluarga China asal Kapasan Surabaya itu juga menyumbang mimbar atau
tempat kutbah bagi Khotib saat sholat Jum'at. Mimbar yang terbuat dari kayu
jati itu bukan mimbar sembarangan. Keluarga The Boen Keh memberikan
meja/altar sembahyang yang dimilikinya untuk dibuat menjadi mimbar
masjid. Pada masa lalu mimbar pada kanan dan kirinya dihiasai dengan
ornamen naga. Kedua naga itu melilit dari bawah pada kanan dan kiri kaki
mimbar. Dan kedua ragam hias naga ini bertemu hingga membentuk
setengah lingkaran. Sayangnya hiasan naga yang menjadi salah satu hiasan
khas Tionghoa ini pada akhirnya dihilangkan dengan cara
memotongnya. Maka yang tersisa adalah sebagian ragam hias naga pada
mimbar ini . Mimbar itu masih dipergunakan hingga saat ini.
Entah mengapa kepala naga ini lalu dipotong oleh
pengurus masjid. Kini yang tersisa adalah ekor dan badannya saja. Mimbar
ini masih dipakai hingga saat ini.
Benda lain yang tersisa dari masjid yang sudah mengalami perubahan
fisik itu adalah sebuah bencet. Alat untuk mengetahui waktu sholat Dhuhur
dan Asyar dengan memanfaatkan bayangan sinar matahari itu masih berdiri
di halaman masjid.
Tepat di depan Masjid juga ada Monumen perjuangan Kompi
Macan Putih atau Kompi Soemadi. Pejuang asli kelahiran Kutorejo ini
meniti karir militer dari saat ikut dalam kesatuan Peta di Surabaya. Beliau
meninggal pada tahun 1988 dengan menyandang pangkat Mayor Jendral dan
di makamkan di TMP Kalibata Jakarta.
Masjid Baitul Muttaqin Kutorejo merupakan masjid tua yang
keberadaannya berkaitan dengan pemerintahan Onderan Kutorejo. Masjid itu
juga menjadi bukti adanya sikap toleransi antar umat beragama dengan bukti
mimbar yang berasal dari altar orang Tionghoa. warga tidak pernah
mempersoalkan hal itu apalagi sampai bersikap mengharamkannya. Semoga
sikap toleran itu terus terpelihara.
Majapahit sebuah kerajaan besar yang perjalanannya relatif singkat
namun mampu menuliskan kebesarannya dengan tinta emas dalam sejarah
bangsa Indonesia bahkan Dunia. Bahkan pada masa keemasannya saat Raja
Hayam Wuruk berkuasa, dimana saat itu kekuasaan Majapahit mencapai
seluruh wilayah Asia. Oleh sebab itu untuk menjaga kedaulatan dan batas
kekuasaan Raja Hayam wuruk memiliki dua panglima perang yang handal
yakni Mahapatih Gajah Mada dan Empunala. Empunala bertugas untuk
menjaga wilayah perairan Majapahit.
Sebagai kerajaan maritim, Majapahit perlu menjaga perbatasanperbatasan laut mereka susaha tidak ada musuh yang masuk. Untuk itu,
mereka menyiapkan puluhan kapal untuk menjaga perairan. Kapal-kapal ini
ditugaskan di lima gugus yaitu di sebelah barat Sumatera, sebelah selatan
Jawa, perairan Sulawesi, Kepulauan Natuna, dan Laut Jawa. Dari kelima
gugus, tugas yang paling berat diemban kapal yang berjaga di Kepulauan
Natuna sebab banyaknya perompak yang berpangkal di Vietnam dan
Tiongkok. Sementara itu, armada yang berjaga di Laut Jawa pun memiliki
tugas yang cukup berat disebab kan bertugas untuk mengawal Raja Hayam
Wuruk saat meninjau wilayah timur Jawa. Dengan pertahanan maritim seperti
ini, musuh akan berpikir dua kali untuk melakukan penyerangan.
Bahkan sampai saat ini semboyan pasukan Majapahit “Jalesveva
Jayamahe” yang berarti di laut kita jaya, hingga kini masih dipakai sebagai
sebuah slogan di bidang maritim Indonesia. Bahkan pada masa pemerintahan
Ir. Soekarno, beliau sering menganjurkan warga untuk selalu
menyayikan lagu “Nenekku seorang pelaut”. Maknanya agar kita semua
mengetahui bahwa jati diri bangsa kita adalah kemaritiman dan pencetusnya
ide dan konsep dasar kemaritiman ini ialah kerajaan Majapahit, kerajaan
terbesar penguasa laut nusantara.Anggapan tentang laut seperti dengan lautan itu, pulau-pulau yang
dekat dengan perbatasan negara lain sering disebut pulau terluar dan bukan
pulau terdepan dari wilayah suatu negara. Laut adalah sesuatu yang
menyatukan bukan memisahkan6
.
Sejarah mengenai Indonesia yang merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia tidak lepas dari jasa yang diberikan oleh Kerajaan
Majapahit. Berbagai prasasti menunjukkan wilayah Majapahit meluas ke
hampir seluruh nusantara. Dalam menguasai wilayah ini tidak hanya
diperlukan kekuatan berperang, namun juga diperlukan kekuatan berbicara
dan yang terpenting kekuatan di bidang maritim yang kuat untuk mampu
berekspedisi hingga menaklukkan nusantara. Majapahit muncul sebagai
sumur inspirasi baik dalam hal perdagangan maupun di bidang maritim yang
tidak akan habis untuk kita terus timba dan ambil manfaatnya. Sehingga
kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan maritim yang kuat.
Hal-hal yang telah dijabarkan tidak lepas dari unsur perairan,
perkapalan dan armada laut dari Kerajaan Majapahit sebagai pendukung
Majapahit sebagai kerajaan maritim.
Peranan Sungai Brantas dalam usaha Mendukung Keberadaan
Majapahit sebagai Kerajaan Maritim
Keberadaan pelabuhan sungai disepanjang tepian bengawan Brantas
dan bengawan Solo terekam pada Prasasti Canggu (1280 saka). Pada lempeng
ke 5 disebutkan nama-nama desa pelabuhan di tepi Sungai Brantas dan
Bengawan Solo. Adapun nama desa-desa pelabuhan dalam Prasasti Canggu
adalah sebagai berikut :
Lempeng 5 sisi depan :
1. Nusa, i temon, parajengan, i pakatekan, i wunglu, i
rabutri, i banu mrdu, i gocor, i tambak, i pujut,
2. I mireng, ing dmak, i mabuwur, i godong, i rumusan, i
canggu, i i randu gowok, i wahas, i nagara,
3. I sarba, i waringin pitu, i lagada, i pamotan, i
tulangan, i panumbangan, i jruk, i trung, i gasang, i
4. Bukul, i curabhaya, muwah prakaraning naditira
pradeca sthananing anambangi Terjemahan :
1. Nusa, di temon, parajengan, di wunglu, di rabut,ri,
di banu Mrdu,di gocor, di tambak, di pujut,
2. Di mireng, di dmak, di klung, di pagdangan, di
mabuwur, di godong, di rumusan, di canggu, di
randu gowok, di wahas, di nagara,
3. Di sarba, di Waringinpitu, di lagada, di pamotan, di
tulangan, di panumbangan, di jruk, di trung, di
kambang cri, di tda, di gasang, di
4. Bukul, di curabhaya, juga segala macam masalah di
wilayah pinggir sungai tempat penyeberangan....”
Keterangan dari Prasasti Kamalagyan (959 saka), Prasasti Kudadu
(1216 saka), dan Prasasti Canggu (1280 saka) menunjukkan bahwa
kemungkinan ke dua yang lebih nyata, yaitu bengawan brantas bercabang
menjadi tiga di Waringinsapta. Dilihat dari penyebutan dalam Prasasti
Canggu (1280 saka) hanya dua cabang besar dan dapat dilayari hingga
pedalaman. sesudah menyebut Waringinsapta, dalam Prasasti Canggu
langsung menyebut nama desa pelabuhan lagada, pamotan dan tulangan,
jika dirunut , maka sesudah menyebutkan Waringinsapta penyebutan dimulai
dari salah satu muara cabang Bengawan Brantas. Pamotan dapat
diidentifikasi dengan Pamwtan Apajeg dalam prasasti Kudadu (1216 saka)
sekarang menjadi desa Pamotan, kecamatan Porong kabupaten Sidoarjo.
Sedangkan Tulangan sekarang menjadi nama desa dan nama kecamatan.
sesudah menyebut nama desa pelabuhan Tulangan berganti ke cabang
Bengawan Brantas berikutnya. Dimulai dari Panumbangan yang
diidentifikasi sebagai Desa Penambang kecamatan Balongbendo, lalu
“Jruk” sekarang menjadi Desa Jeruk Legi, kecamatan Balongbendo. Lalu
Trung sekarang menjadi Desa Terung dikecamatan Krian. Kambang Cri
menjadi Bangsri masuk wilyah kecamatan Sukodono. Adapun “Tda” masih
belum dapat ditemukan. lalu menuju “Gsang” yang diidentifikasikan
Pagesangan , desa pelabuhan Bukul dapat dihubungkan dengan kelurahan
Bungkul. Dan terakhir pada muara Bengawan Brantas cabang utara adalah
desa pelabuhan “Churabhaya” yang kini menjadi ibu kota Jawa Timur7
.
Jalan lalu lintas pelayaran dan perdagangan yang utama di kerajaan
Majapahit adalah sungai-sungai besar, seperti Bengawan Solo, Kali Brantas
dan yang lainnya. Sungai-sungai ini menghubungkan kota-kota dan
tempat-tempat perdagangan yang terletak di sepanjang perairan ini , baik
yang ada di daerah pedalaman maupun yang ada di daerah pedalaman
maupun yang di daerah pedalaman maupun yang ada di daerah dekat pantai.
Beberapa prasasti yang berasal dari Majapahit, bahkan yang berasal dari
zaman sebelumnya, telah menunjukkan kepada kita bahwa lalu lintas melalui
sungai ini telah menduduki tempat yang sangat penting dalam kehidupan
sosial dan ekonomi. Beberapa kota pelabuhan yang penting di Majapahit pada
abad XIV ialah Canggu, Surabhaya, Gresik, Sidhayu, Tuban dan Pasuruan.
berdasar hasil rapat sumber tertulis analilis klasik pada 18-23 November
1991, tempat pelabuhan pemunggahan di sepanjang Sungai Brantas ada tiga
yaitu, Terung – Canggu – Bubat. Terung dan Bubat merupakan tempat turun
naiknya penumpang, sedangkan Canggu merupakan pelabuhan barang.8
Keberadaan pelabuhan canggu, pelabuhan Tuban dan Gresik sangat
mempengaruhi dari eksistensi Majapahit sebagai kerajaan maritim.
Keberadaan pelabuhan Canggu di perkuat dengan adanya prasasti canggu dan
keberadaannya juga ditafsirkan sekarang dekat dengan Desa Canggu pada saat
ini. Dalam penerapan letak pelabuhan di Sungai Brantas seperti halnya Ujung
Galuh, Sumobito dan Megaluh (kalau sekarang Jombang) memberikan
pengaruh yang menojol terhadap kegiatan perekonomian warga dan
pemerintahan kerajaan Majapahit pada saat itu. Kapal-kapal besar atau yang
lebih dikenal dengan Jung bisa masuk dan bersimpangan di sungai Brantas. Hal
ini membuktikan bahwa pada masa kerajaan Majapahit keberadaan sungai
Brantas sangat luas dan dapat dipakai kapal-kapal Jung untuk masuk
ke wilayah terdekat atau pedalaman dari kerajaan Majapahit.
Penguasaan Nusantara oleh Majapahit
Kerajaan Majapahit pada kejayaannya menguasai ribuan pulau yang
ada di nusantara. Menurut Pararaton, Negarakertagama dan Hikayat Raja-raja
dari Pasai oleh Daldjoeni, wilayah kekuasaan Majapahit kurang lebih sama
dengan wilayah Republik Indonesia sekarang ditambah dengan Malaysia,Brunai Darussalam, Singapura dan sebagian dari Filipina. Berikut adalah
lebih lengkapnya.9
1. Di sebelah Timur Jawa meliputi Bali (dengan Badahulu dan Lwa-gajah),
Nusa Penida (Gurun dengan Sukun sebagai ibukota), Lombok Timurlaut
dan lembah Lombok (dua pelabuhan : Lombok dan Birah serta Sasak),
Sumbawa (Bima, Taliwang, Dompo, Sapi), Flores Timurlaut (Larantuka),
Timor dan pulau-pulau di sekitarnya, Kepulauan Solor, Pulau Gunungapi,
Banda, Ambwan (Ambon), Kepulauan Goram, sebelah Timur Seran
(Gurun), Kepulauan di Barat Misool (Hutankadali), Wwanin (Onin) di
Irian Jaya, Kowiai di Tenggara Irian Jaya (Seran kedua), Ternate
(Maluku), Kepulauan Ralaud di Timurlaut Sulawesi Tengah, Buton,
Sulawesi Baratdaya dan Lumu (Bantayan, Makkasar, Luwuk), Salayar
(Salaya), Kangean di antara Madura dan Salanyar.
2. Di Kalimantan dan dekatnya meliputi Teluk Maludu (Kalka Saaludung)
di Utara Brunei, Burune (Brunai), Wilayah sungai Landak (Kalimantan
Barat), Balino (Malano) di tepi sungai Rejang di Serawak, Kutalingga
wilayah sungai Landa dan sungai Batanglupar di Serawak, Sadong (Sedu)
di Serawak, Sambas, Mampawa di selatan Sambas, Daerah Landak
(Kalimantan Barat), Sukadana, Kotawaringin, Daerah sekitar Sampit,
Daerah sekitar Katingan atau sungai Mendawai, Kapuas, Peniraman
(Tirem) di tepi Kapuas, Banjarmasin, Muarakabai (di muara sungai
Labaim anak sungai dari sungai Mendawai (Wawai), daerah sekitar
Barito (Baritu), Tubalong (Tubalung) di Amuntai, Sebuku pulau kecil di
Timur Pulau Lau, Daerah sekitar sungai Pasir, Kutai, Berau, Kepulauan
Sulu (Solot) di Timurlaut Brunai, dan Samedang (lokasinya belum jelas).
3. Di pulau-pulau antara Kalimantan dan Malaka meliputi Karimata,
Kepulauan Tambelan, Kepulauan Serasan (bagian dari Natuna),
Kepulauan Natuna Selatan (Subi), Bungaran (Natuna Besar), Pulau Laut
(Natuna Utara), Kepulauan Anambas dan Siantan (Siatan), Tiuman, pulau
di perbatasan Patang dengan Johor, Pemanggil (antara Tiuman dan Pulau
Tinggi), Bintan di kepulauan Riau, Bulan yaitu pulau di Baratdaya
Bintan, Riau, Lingga, Bangka, dan Bilitung.
4. Di Malaka meliputi Seumang (Semong) di Malaka Utara, Dungun
(Keamanan), Kelantan di Malaka Timur, Trengganu (Tringganu) di
Malaka Timur, Hujung Tanah, ujung Tenggara jazirah Malaka, Singapura(Tumasik), Sungai Ujung Semujung (Sanghyang Hujun), Kelang di
Malak Barat, Kedah di Malaka Barat, serta Jering (jere) dan Kanjapirinan
(kepulauan di dekat Malaka, belum pasti lokasinya).
5. Di Sumatra meliputi Palembang (ditaklukkan tahun 1337), Jambi, Tebo
(Teba) di Jambi bagian atas, Pulau Punjung dan Siguntur di daerah
Batanghari (Dharmasraya), Kandis di sebelah kanan sungai Sunamar
(Utara Buo) di nagari Lubukjantan, Kawai di antara Kandi dan negari
Tanjung di seberang Bukitmarapalam, Minangkabau (Munangkabo),
daerah sekitar sungai Kampar, Rokan dan Siak, Panai di dekat Siantar,
Tanjung Haru (Kampe), Perlak di Samudera (dekat Lhoseumawe) dan
Lambri (Lamuri), Padanglawas (Gayuluos) di Aceh Barat, Barat di Aceh
Barat atau Tapanuli Barat, Baros (Barus) di pantai Tapanuli, Mandahiling
di Tapanuli Selatan, Lampung, dan Bantan yang tak diketahui lokasinya
di Sumatra.
Letak pusat Kerajaan Majapahit sendiri adalah di Pulau Jawa. Hal ini
dibuktikan dengan penemuan-penemuan peninggalan Kerajaan Majapahit di
Pulau Jawa sendiri. Pulau Jawa adalah pulau yang sangat indah, hijau, subur
dan kaya akan emas menurut Prasasti Canggal tahun 732. Selain itu, letak
Pulau Jawa yang strategis menjadikan Pulau Jawa terkenal terutama kerajaankerajaan di dalamnya khususnya Majapahit
Kapal Spirit Majapahit merupakan hasil karya pengrajin saat ini
merupakan rekonstruksi berdasar kreativitas mereka. Adanya Miniatur
kapal Spirit Majapahit juga membuktikan bahwa kecintaan warga
Mojokerto di masa kini diapresiasikan dengan menciptakan sebuah karya
yang berbentuk kapal miniatur Kerajaan Majapahit yang dapat menguasai
wilayah laut nusantara di bawah pimpinan pasukan Nala. Sejarah mencatat
bahwa ketika kerajaan Majapahit berkuasa diwilayah laut nusantara, tidak ada
kerajaan dan penjajah dari wilayah barat yaitu Eropa, mampu untuk singgah
dan menduduki wilayah laut nusantara. Ini membuktikan bahwa peranan
pasukan laut yang dipimpin oleh laksamana Nala memberikah pengaruh yang
kuat dalam menjaga ketahanan wilayah laut nusantara.
Hubungan antar pulau yang dijalin oleh Kerajaan Majapahit
membutuhkan armada serta sarana transportasi untuk mencapai tujuan
menyatukan nusantara. berdasar daerah yang ada di Indonesia yang
merupakan negara kepulauan ini dan berdasar ilustrasi pemetaan yang
telah dibuat, maka dapat disimpulkan bahwa transportasi pada era Kerajaan
Majapahit saat itu adalah memakai transportasi perairan memakai
kapal. Sampai saat ini juga, belum ditemukan peninggalan Majapahit berupa
reruntuhan perahu/kapal yang dipakai pada era Majapahit.
Bukti penggunaan kapal oleh majapahit ada pada relief Candi
Borobudur dan Candi Panataran serta Candi Jago. Di Candi Borobudur sendiri
ada 10 relief perahu. Perahu-perahu itu dibagi pada tahun 1923 Th. Van Erp menjadi perahu primitif, perahu tanpa cadik dan perahu bercadik.
ada pembenaran terhadap relief di Candi Jago bahwa sebenarnya perahu
dengan kepala kerbau itu bukanlah kapal melainkan tungku penyiksaan yang
bentuknya seperti kerbau. Namun, sampai saat ini juga, belum ditemukan
peninggalan Majapahit berupa reruntuhan perahu/kapal yang dipakai pada
era Majapahit.
Penguasaan armada laut yang dipimpin laksamana Nala,
memakai Kapal Pregat atau kapal pemburu, cirinya adalah kapal
berkepala naga dipakai sebagai penjaga wilayah laut nusantara.
Peranannya yaitu mengusir kedatangan kapal-kapal asing yang mau masuk ke
wilayah laut kerajaan Majapahit pada saat itu. Semakin kuatnya pertahanan
kerajaan Majapahit dilandasi atas pembagian posisi sentral dan penugasan
yang tepat. Wilayah darat dipimpin sepenuhnya oleh Patih Gajah Mada
sedangkan wilayah laut dipimpin sepenuhnya oleh laksamana Nala.
Kesimpulan
berdasar pemaparan data dan pembahasan maka dapat diambil
sebagai berikut:
1. Sungai Brantas berperan besar dalam mendukung Kerajaan Majapahit
sebagai kerajaan maritim. Sarana transportasi pada saat itu adalah jalur
perairan seperti sungai. Jalur ini dipakai sebagai pelayaran dan
perdagangan yang utama di kerajaan Majapahit dengan memakai
sungai-sungai besar, seperti Bengawan Solo, Kali Brantas dan yang
lainnya. Sungai-sungai ini menghubungkan kota-kota dan tempattempat perdagangan yang terletak di sepanjang perairan ini , dari
daerah pedalaman hingga daerah pantai. Beberapa prasasti yang berasal
dari Majapahit telah menunjukkan kepada kita bahwa lalu lintas melalui
sungai ini telah menduduki tempat yang sangat penting dalam kehidupan
sosial dan ekonomi khususnya bagi kerajaan Majapahit.
2. Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan maritim yang jaya di masa
lalu. berdasar letak, pusat Kerajaan Majapahit adalah di Pulau
Jawa. Hal ini dibuktikan dengan penemuan-penemuan peninggalan
Kerajaan Majapahit yang ditemukan di Pulau Jawa. Keadaan armada
Kerajaan Majapahit beserta perkapalannya sangat baik dan maju
sehingga mampu menguasai nusantara dengan kapal-kapal yang ada.
Penguasaan armada laut dipimpin laksamana Nala dan dengan
memakai Kapal Pregat atau kapal pemburu. Cirinya adalah kapal
berkepala naga dan dipakai sebagai penjaga wilayah laut nusantara.
Peranannya yaitu mengusir kedatangan kapal-kapal asing yang mau
masuk ke wilayah laut kerajaan Majapahit pada saat itu. Dengan
keadaan ini, kerajaan Majapahit semakin kuat di bidang Maritim.
Ditambah lagi dengan adanya fokus pembagian wilayah perluasan
yaitu Gajah Mada di darat dan laksamana Nala di laut. Namun, hingga
saat ini belum ditemukan bukti nyata reruntuhan atau artefak perahu
maupun kapal era Majapahit.
Tahukah kalian kisah tentang Majapahit ? tentu banyak diantara kita
yang spontan akan jawab tahu, sesudah itu akan muncul pertanyaa berikutnya
yaitu : tahukah kalian tentang peninggalan – peninggalan Majapahit ? tentu
pula kalau akan jawab tahu dan serta merta menyebutkan tentang benda –
benda peninggalan ini , mulai dari candi, arca maupun senjata serta jejak
kebesarannya di Negara – negara tetangga. Lantas tahukah kita tentang
warisan Majapahit yang berupa warisan – warisan non fisik ? tentunya
banyak diantara kita terutama pelajar yang mungkin belum memahami
sepenuhnya apa saja peninggalan itu. Peninggalan yang merupan kearifan
serta pemikiran para pendahulu kita, sehingga kebesaran karya ataupun nama
besarnya sampai saat ini diakui oleh dunia.
Sampai saat ini spirit pemikiran dan semangat perjuangan serta kearifan
pemikiran para pendahulu banyak dijadikan dasar pijakan oleh seseorang
maupun kelompok warga bahkan sampai pada bentuk pemerintahan dan
landasan dasar Negara kita dipengaruhi ataupun diadopsi dari pemikiran para
pendahulu. Ternyata kebesaran Majapahit bukan hanya pada kemegahan
bangunan serta luasnya kekuasannya, namun pemikiran – pemikiran yang lahir
pada masa itu masih relevan diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara pada masa kini yang katanya modern. Berikut ini akan kita paparkan
apa saja peninggalan non fisik yang diwariskan oleh para leluhur kepada kita.
A. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara
Siapa di antara kita yang tak kenal dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika? Saya yakin, kita semua, sebagai rakyat Indonesia pasti kenal
dengan semboyan Republik Indonesia ini . Semboyan yang selalu
diajarkan kepada kita mulai dari jenjang pendidikan Taman Kanak –
Kanak, semboyan untuk mempersatukan bangsa dan menghargai
keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semboyan ini
sebenarnya sudah ada sejak zaman Majapahit dan dijadikan sebagai
semangat pemersatu nusantara oleh Maha Patih Gadjah Mada. Majapahit
selain memiliki Maha Patih dan pasukan yang kuat juga memiliki seorang
penulis (sastrawan) yang menuliskan sebuah karya besar yang kita kenal
dengan nama kakawin Sutasoma karya seorang Empu yang bernama
Tantular. Dalam Kakawin Sotasoma karya Empu Tantular inilah tertuang
tentang konsep bagaimana menghargai perbedaan, di sana tertulis:
Jauh hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno sudah memiliki
pandangan untuk memilih semboyan negara dari motto yang dahulu
pernah dipakai Majapahit untuk mempersatukan Nusantara. la pun
mengambil bait terakhir yang disebut dalam motto ini , yakni
"Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa".
Kemudian, seiring berjalannya waktu, bait dari motto ini
berhasil digubah menjadi Bhinneka Tunggal Ika, yang arti atau hakikatnya adalah sama.49 Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa
sansekerta, dan sering kali diterjemahkan dengan kalimat "Berbeda-beda
tetapi tetap satu jua". Maka, sejak negara Rl merdeka, para pendiri bangsa
memakai motto Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara
yang tertulis pada lambang negara garuda.
B. Istilah Bhayangkara Dipakai dalam Jajaran Kepolisian Rl
Tahukah kita bahwa istilah Bhayangkara yang sering dipakai dalam
jajaran Kepolisian Rl sudah ada sejak zaman Majapahit? Dahulu, ketika
Patih Gadjah Mada ingin melakukan ekspansi nusantara, ia memiliki satuan
prajurit elite bernama Bhayangkara, yang dipakai sebagai alatpertahanan negara dan invasi pada waktu itu. Semua prajurit yang
tergabung di dalam satuan Bhayangkara ini dikenal sangat hebat dan
memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, sehingga sanggup mengalahkan
para prajurit musuh, bahkan yang paling hebat sekalipun. Dari sinilah,
banyak dari kerajaan musuh yang takluk dan menyerahkan diri. '
Berawal dari cerita sejarah inilah, muncul istilah Bhayangkara
yang sering dipakai dalam Jajaran Kepolisian Rl, yang hingga sekarang
ini menjadi populer di lingkungan Kepolisian Rl. Dan, bahkan saking
populernya, istilah Bhayangkara ini juga dipakai untuk hari ulang tahun
Kepolisian Rl, hingga akhirnya dikenal dengan Hari Bhayangkara.
Selain nama Bhayangkara yang dipakai , dalam kesatuan
POLRI juga mengenal tribrata dan catur prasetya, dalam tribrata yang
merupan nilai dasar yang menjadi pedoman moral dan nurani bagi setiap
anggota polri serta catur prasetya yang juga dijadikan pedoman insan
polri dalam menjalankan tugasnya, juga diangkat dari nilai nilai luhur
perjuangan dan semangat bhayangkara pada masa Maha Patih Gajah
Mada yang secara garis besar isi dan artinya sebagai berikut
1. SATYA BHAKTYAPRABHU artinya setya dan patuh terhadap
pemimpin
2. ANAYAKEN MUSUH artinya membinasakan atau mengalahkan
musuh
3. GINONG PRATIDINA artinya selalu menegakkan kebenaran
4. TAN SATRISNA artinya menebarkan kasih sayang.
C. Nama Gadjah Mada Diabadikan sebagai Nama Universitas
Kita pasti tahu Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebenarnya,
sebab-musababnya bersumber dari pemikiran Bung Karno yang menginginkan agar para mahasiswa yang kuliah di Universitas Gadjah Mada
itu meneladani sumpah seorang Patih Gadjah Mada yang dikenal dengan
Sumpah Palapa.
Sumpah Palapa ini mengandung filosofi yang bisa disamakan dengan peribahasa, "Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian,
bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian". Jadi, para mahasiswa
Universitas Gadjah Mada itu harus bekerja keras atau, barulah bisa
bersenang-senang menikmati hasil kerja kerasnya.
Para guru besar Universitas Gadjah Mada tentunya sangat tahu
filosofi dari Sumpah Palapa. Mereka ingin agar Universitas Gadjah Mada menjadi sebuah tempat munculnya Gadjah Mada-Gadjah Mada yang lain.
Sehingga, dengan kerja keras, para mahasiswa bisa mencapai cita-citanya
yang tinggi dalam bidang apa pun. Tak terkecuali, akademisi, ekonom,
akuntan, dokter, arsitek, guru, dan pekerjaan-pekerjaan yang lain.
Adanya nama Gadjah Mada yang diabadikan sebagai nama universitas semakin mengukuhkan anggapan bahwa Majapahit masih
berpengaruh besar terhadap Indonesia masa kini. Dari pengaruh ini,
mungkin bisa diambil pemahaman bahwa kita juga harus menghargai
seseorang sebab kerja kerasnya, bukan sebab asal keturunannya maupun
kekayaannya yang melimpah ruah.
D. Nama Majapahit dan Hayam Wuruk Diabadikan sebagai Nama Jalan
Ketika kita pergi ke beberapa kota, pasti pandangan kita tidak pernah
absen dari melihat nama Majapahit dan Hayam Wuruk yang
diabadikan sebagai nama jalan. Hal itu sebab saking terkenalnya nama
Majapahit dan Hayam Wuruk di Nusantara. Banyak di antara kota yang
memakai dua nama ini untuk diabadikan sebagai nama jalan. Tidak
hanya di beberapa kota yang ada di Pulau Jawa yang memakai dua nama
ini, melainkan juga di beberapa kota yang ada di pulau-pulau lainnya,
seperti
Bali dan Sumatera, mengabadikan mereka sebagai nama jalan.
Lebih jauh, Majapahit adalah kerajaan besar yang kekuasaannya
pernah meliputi seluruh Nusantara. Dari sinilah, nama Majapahit dikenal
luas, hingga akhirnya diabadikan sebagai nama jalan. Begitu juga,
Hayam Wuruk dikenal luas sebab merupakan Raja Majapahit yang
pernah membawa Majapahit menuju zaman keemasannya
Related Posts:
sejarah majapahit 1 Pada suatu siang, tanggal 9 Oktober 1940, warga desa Kweden Kembar Onder-distrik Bangsal Kabupaten Mojokerto … Read More