Kamis, 15 Juni 2023

jakarta 3

 objek kerja sama;
2) Wajib memelihara objek kerja sama dan barang hasil 
kerja sama; dan
3) Dapat dibebankan pembagian kelebihan keuntungan 
sepanjang terdapat kelebihan keuntungan yang 
diperoleh dari yang ditentukan pada saat perjanjian 
dimulai (clawback).
Berdasarkan Pasal 54, BMN/Barang Milik Daerah yang tidak 
diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan 
negara/daerah dapat dipindahtangankan. 
Pemindahtanganan BMN/Barang Milik Daerah sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: 
a. Penjualan; 
b. Tukar Menukar; 
c. Hibah; atau 
d. Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah.
Pasal 55 ayat (1) mengatur juga persyaratan persetujuan DPR 
untuk Pemindahtanganan BMN untuk: 
a. tanah dan/atau bangunan; atau
b. selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari 
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
D. Peraturan Perundang-undangan yang Terkait Pemindahan 
dan Pembangunan IKN
Walaupun RUU IKN tidak mengatur tentang teknis 
pemindahan dan pembangunan IKN, namun ketentuan￾ketentuan pokoknya akan diatur. Karenanya, RUU IKN akan 
bersinggungan dengan beberapa Peraturan Perundang￾undangan, mulai dari UU No. 2 Tahun 2012 tentang 
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan 
Umum dan Kerangka Pengaturan seputar Kerjasama 
Pemerintah dan Badan Usaha, seperti Perpres 38 Tahun 2015 
dan peraturan pelaksana di bawahnya. 
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi 
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pasal 6 jo. Pasal 7 menetapkan kerangka dasar 
penyelenggaraan tanah untuk kepentingan umum berada 
pada wewenang pemerintah pusat yang harus sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c. Rencana Strategis; dan
d. Rencana Kerja setiap instansi (lembaga negara, 
kementerian dan lembaga nonkementerian, pemerintah 
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan Badan 
Hukum Milik Negara (BHMN)/BUMN yang mendapat 
penugasan khusus pemerintah pusat) yang 
memerlukan tanah.
Maka dapat dilihat bahwa pengadaan tanah dilakukan 
dengan sistem perencanaan yang harmonis dengan rencana￾rencana lainnya untuk memastikan arah pengadaan tanah 
tetap berada pada jalur perencanaan yang sudah ditetapkan 
sebelumnya.
Pasal 10 menjabarkan pengadaan tanah digunakan untuk 
pembangunan
a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, 
stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. Waduk, bedungan, bendung, irigasi, saluran air 
minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan 
bangunan pengairan lainnya;
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi 
listrik;
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah 
pusat;
h. Tempat pembuangan dan pengelolaan sampah;
i. Rumah sakit pemerintah pusat/pemerintah daerah;
j. Fasilitas keselamatan umum;
k. Tempat pemakaman umum pemerintah 
pusat/pemerintah daerah;
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka 
hijau publik;
m. Cagar alam dan cagar budaya;
n. Kantor pemerintah pusat/pemerinta daerah/desa;
o. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau 
konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat 
berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah 
pusat/pemerintah daerah;
q. Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; 
dan
r. Pasar umum dan lapangan parkir umrum.
Pasal 10 ayat (1) mewajibkan pemerintah pusat untuk 
melaksanakan pengadaan dari jenis-jenis peruntukan di

atas yang tanahnya selanjutnya dimiliki oleh pemerintah 
pusat atau pemerintah daerah. ayat (20 menjelaskan juga 
bahwa bila instansi yang memerlukan pengadaan tanah 
untuk kepentingan umum adalah BUMN, maka tanahnya 
menjadi milik BUMN ini .
Meski seakan-akan terpisah, namun Pasal 12 ayat (1) 
mengatur bahwa pemerintah pusat dapat bekerja sama 
dengan BUMN, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau 
badan usaha swata, sehingga memungkinkan fleksibilitas 
opsi pelaksanaan pengadaan tanah menggunakan skema 
kerjasama untuk membantu pelaksanaan pembangunan 
infrastruktur yang dibangun di atas tanah yang 
direncanakan ini .
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan 
Dasar Pokok-Pokok Agraria
Penyelenggaraan pemberian hak atas tanah diatur 
berdasarkan ketentuan Pasal 2 yang mana negara 
memiliki hak menguasai yang diwujudkan dengan 
pemberian wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, 
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air 
dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan 
hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan 
ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan 
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan 
hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Hak menguasai ini  dapat dikuasakan kepada daerah 
dan masyarakat-masyarakat hukum adat yang 
peruntukannya tidak bertentangan dengan kepentingan 
nasional. Dengan demikian pada hakikatnya hak 
menguasai negara adalah nafas dari hak yang nantinya 
akan diatur secara spesifik dalam peraturan perundang￾undangan selanjutnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tenntang 
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai 
atas Tanah
Hak pengelolaan dikenal melalui peraturan ini yang 
didefinisikan sebagai: 
“hak menguasai dari negara yang kewenangan 
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada 
pemegangnya.”
Jadi hak pengelolaan bila dikatikan dengan Pasal 2 ayat 
(4) Undang-Undang Nomo. 5 Tahun 1960 adalah 
penitikberatan pada tujuan hak menguasai negara dan 
melindungi kepentingan nasional, sehingga pengaturan 
mengenai hak pengelolaan perlu untuk dirinci.
Wewenang pemegang hak pengelolaan dalam pengaturan 
ini antara lain:
a. pemberian usul kepada Menteri yang 
menyelenggarakan urusan di bidang agrarian atau 
pejabat yang ditunjuk atas Hak Guna Bangunan dan 
Hak Pakai yang dimohonkan atas tanah hak 
pengelolaan (Pasal 22 ayat (2), Pasal 42 ayat (2));
b. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan 
Pasal 26 ayat (3)) dan pemberian usul atas
perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai (Pasal 46 
ayat (2));
c. Pembatalan Hak Guna Banguna dan Hak Pakai (Pasal 
35 ayat (1) huruf b, Pasal 55 ayat (1) huruf b); dan
d. Peralihan Hak Guna Banguna sebab pewarian (Pasal 
34 ayat (6)) dan peralihan Hak Pakai (Pasal 54 ayat (9)).
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan 
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata 
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah dan 
Hak Pengelolaan
Peraturan ini menjelaskan bahwa pada dasarnya hak 
pengelolaan dapat dibangun untuk:
e. Hak Guna Bangunan (Pasal 21); dan
f. Hak Pakai (Pasal 41);
Pasal 67 mengatur bahwa pihak-pihak yang dapat 
menerima hak pengelolaan antara lain:
a. Instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah;
b. Badan Usaha Milik Negara;
c. Badan Usaha Milik Daerah;
d. PT. Persero;
e. Badan Otorita;
f. Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang 
ditunjuk pemerintah.
Yang mana pemberian hak pengelolaan ini  dilakukan 
sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya 
berkaitan dengan pengelolaan tanah.
Yang mana dalam aturan ini disebutkan bahwa 
permohonan hak pengelolaan diajukan kepada Menteri 
yang menyelenggarakan urusan di bidang agrarian melalui 
kepala kantor pertanahan yang daerah kerjanya meliputi 
letak tanah yang bersangkutan (Pasal 70), dengan ini 
pengaturan di rancangan undang-undang perlu untuk 
menjelaskan hak pengelolaan yang diberikan kepada 
Otorita Ibu Kota Negara sehingga adanya kepastian adanya 
perwujudan perlindungan kepentingan nasional yang 
secara akarnya sudah diatur dalam Undang-Undang 
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok￾Pokok Agraria.
Perpres No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama 
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan 
Infrastruktur
Pasal 5 mengatur mengenai jenis infrastruktur ekonomi 
dan infrastruktur sosial dapat dilakukan dengan skema 
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), 
antara lain:
a. Infrastruktu transportasi;
b. Infrastruktur jalan;
c. Infrastuktur sumber daya air dan irigasi;
d. Infrastruktur air minum;
e. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat;
f. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat;
g. Infrastruktur sistem pengelolaan persampahan;
h. Infrastruktur telekomunikasi dan informatika;
i. Infrastruktur ketenagalistrikan;
j. Infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi 
terbarukan;
k. Infrastruktur konservasi energi;
l. Infrastruktur fasilitas perkotaan;
m. Infrastruktur fasilitas pendidikan;

n. Infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana olahraga, 
serta kesenian;
o. Infrastruktur kawasan;
p. Infrastruktur pariwisata;
q. Infrastruktur kesehatan;
r. Infrastruktur lembaga permasyarakatan; dan
s. Infrastruktur perumahan rakyat.
Pasal 6 mengatur bahwa menteri/kepala lembaga/kepala 
daerah bertindak selaku Penanggung Jawab Proyek 
Kerjasama (PJPK), serta Pasal 8 memungkinan BUMN 
bertindak sebagai PJPK, dengan demikian dalam konteks 
ini dapat dikatakan bahwa KPBU berdasarkan prakarsa
pemerintah/pemerintah daerah/BUMN dapat 
dilaksanakan dengan pengaturan dan batasan jenis 
infrastruktur yang ditetapkan dalam peraturan ini dan 
wewenang bertindak sebagai PJPK melekat secara mutlak 
kepada menteri/kepala lembaga/kepala daerah/BUMN, 
yang dalam peraturan ini BUMN bertindak sebagai badan 
usaha yang sesuai dengan ketetapan berdasarkan 
peraturan perundang-undangan mengenai BUMN dan 
anggaran dasar dalam hal kuasa teknis pelaksanaan 
tahapan KPBU. Namun perlu dilihat bahwa terdapat 
pengecualian secara teknis dalam hal KPBU diajukan atas 
prakarsa badan usaha, meski tetap pengajuannya kepada 
menteri/kepala lembaga/kepala daerah sebagai PJPK 
berdasarkan peraturan ini. Peraturan Mengenai 
Kedudukan Lembaga Negara, Tentara Nasional 
Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Kedutaan 
Besar/Perwakilan Diplomatik, dan Organisasi 
Internasiona

Pemindahan Ibu Kota Negara juga berdampak pada 
kedudukan lembaga negara, Tentara Nasional Indonesia 
dan Kepolisian Republik Indonesia yang diuraikan dalam 
table di bawah ini.

Di samping kedudukan-kedudukan lembaga negara yang 
disebutkan di atas yang secara tegas disebutkan 
berkedudukan di Ibu Kota Negara, lembaga-lembaga 
pemerintah non kementerian juga perlu ditegaskan 
mengenai kedudukannya sehingga pengaturan di 
rancangan undang-undang menjadi signifikan.
Kejelasan yang sama juga diatur kedudukannya terhadap 
kedutaan besar/perwakilan diplomatik serta organisasi 
internasional. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus 
Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan 
Republik Indonesia menyatakan bahwa Provinsi DKI 
Jakarta memiliki peran yang salah satunya sebagai 
tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta 
pusat/perwakilan lembaga internasional, sehingga 
dengan demikian apabila keduataan besar/perwakilan 
diplomatik dan organisasi internasional memiliki opsi 
untuk memindahkan kedudukan yang dapat dikecualikan 
apabila diatur secara tegas agar juga ikut pindah dalam 
rancangan undang-undang.
E. Undang-Undang yang Terdampak RUU IKN dalam 
Kaitannya dengan Omnibus Law
Bagian ini menganalisis Peraturan Perundang-undangan
yang terdampak dari diundangkannya RUU IKN, yakni 
sejauh apa materi muatan yang akan diatur oleh RUU IKN 
berdampak terhadap materi muatan peraturan 
perundang-undangan lain. Dampak itu berkaitan 
dengan penyebutan istilah Ibu Kota Negara yang disematkan 
pada Jakarta dan juga dampak pengaturan dari RUU IKN 
terhadap Peraturan perundang-undangan lain. Hal ini 
nantinya akan berkaitan konsep "Omnibus Law" yang akan 
digunakan di dalam RUU IKN.
1. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 
Pasal 399 Undang-Undang ini menyebut "Provinsi Daerah 
Khusus Ibu Kota Jakarta" sehingga dengan 
diundangkannya RUU IKN dan ditetapkannya 
pemindahan IKN berdasarkan RUU a quo, maka perlu ada 
perubahan terhadap Pasal ini. 
2. UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan DKI 
Jakarta sebagai Ibukota NKRI. Sebagai Undang-Undang 
yang mengatur Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, tentu 
akan ada banyak dampak dari dari diundangkannya RUU 
IKN terhadap Undang-Undang ini. Setidaknya ada 27 
pasal yang berhubungan dengan Jakarta sebagai IKN. 
Harus diadakan perubahan menyeluruh terhadap 
Undang-Undang ini dengan diundangkannya RUU IKN;
3. UU No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah￾Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, 
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Dengan 
diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini harus 
diubah sebab sebagian wilayah Provinsi Kalimantan 
Timur dijadikan wilayah IKN.
4. UU No. 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang￾Undang Darurat No. 3 Tahun 1953 tentang 
Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di 
Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No. 9) sebagai 
Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Kutai 
Kartanegara; Dengan diundangkannya RUU IKN, Undang￾Undang ini harus diubah sebab sebagian wilayah 
Kabupaten Kutai Kartanegara dijadikan wilayah IKN.
5. UU No. 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten 
Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur. 
Dengan diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini 
harus diubah sebab sebagian Kabupaten Penajam Paser 
Utara dijadikan wilayah IKN. 
6. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 
5 ayat (1) Undang-Undang ini mengatur bahwa Bank 
Indonesia berkedudukan di Ibukota negara Republik 
Indonesia. Pasal ini harus diubah mengingat rencana 
bahwa Lembaga negara/Kementerian Negara/Lembaga 
Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan tetap di 
Jakarta.
7. UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin 
Simpanan. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang ini mengatur 
bahwa LPS berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik 
Indonesia. Pasal ini harus diubah mengingat rencana 
bahwa Lembaga negara/Kementerian Negara/Lembaga 
Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan tetap di 
Jakarta.
8. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa 
keuangan. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang ini mengatur 
bahwa OJK berkedudukan di Ibu Kota Negara Kesatuan 
Republik Indonesia. Pasal ini harus diubah mengingat 
rencana bahwa Lembaga negara/Kementerian
Negara/Lembaga Pemerintah di bidang ekonomi dan 
keuangan tetap di Jakarta.
9. UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 
Pasal 2 Undang-Undang ini mengatur bahwa Kementerian 
Negara berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik 
Indonesia. Pasal ini harus diubah mengingat rencana 
bahwa Lembaga negara/Kementerian Negara/Lembaga 
Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan tetap di 
Jakarta
10. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 
2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan 
Peraturan Zonasi. RUU IKN mengatur pengelolaan aset 
Pemerintah Pusat yang ada di Jakarta sebagai sumber 
pembiayaan pembangunan IKN dan dikerjasamakan 
dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengelolaan 
aset ini  akan mengubah kondisi zonasi di DKI 
Jakarta pada tempat di mana adanya aset Pemerintah 
Pusat sehingga peraturan perundang-undangan tentang 
detail tata ruang dan zonasi di Provinsi DKI Jakarta harus 
disesuaikan. 
11. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No. 1 
Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 
Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016-2036. Dengan 
diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini harus 
diubah sebab sebagian wilayah Provinsi Kalimantan 
Timur dijadikan wilayah IKN. Dengan demikian, seluruh 
peraturan-perundang-undangan di Kalimantan Timur 
tentang tara ruang harus disesuaikan, sebab baik batas 
wilayah dan peruntukannya berubah.

A. Landasan Filosofis
Berdasarkan Lampiran Angka 2 UU No. 12/2011, landasan 
filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang 
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk 
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita 
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah 
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan 
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, pada bagian ini, yang penting untuk diuji 
adalah sejauh mana Rancangan Undang-Undang tentang Ibu 
Kota Negara telah sesuai atau setidak-tidaknya tidak 
bertentangan dengan Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 
Tahun 1945. Jelas, tidak ada satu pun dari uraian-uraian 
dari Naskah Akademik ini pada bagian sebelumnya yang 
melanggar Pancasila, yang ada justru usaha  perwujudan sila￾sila Pancasila. Tidak ada satu pun uraian yang melanggar 
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak ada satu pun uraian 
yang melanggar prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, 
tidak ada satu pun uraian yang melanggar prinsip Persatuan 
Indonesia, tidak ada satu pun uraian yang melanggar prinsip 
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan, dan akhirnya tidak ada satu 
pun uraian yang melanggar prinsip Keadilan Sosial Bagi 
Seluruh Rakyat Indonesia. 
Justru, penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu 
Kota Negara ini adalah usaha  untuk mewujudkan 2 dari 4 
tujuan nasional sebagaimana yang termaktub di dalam 
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu melindungi segenap 
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan 
untuk memajukan kesejahteraan umum. 
Rancangan Undang-Undang ini akan mengatur tentang tata 
kelola pemerintahan Ibu kota Negara yang lebih baik, baik 
dari segi pemerintahan maupun dimensi penataaan ruang 
dan lingkungan hidup. Dari situ tentu akan dapat melindungi 
warga negara Indonesia di wilayah Ibu Kota Negara dari 
ancaman bencana ekologis, tindak kejahatan, korupsi 
sekaligus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang 
akhirnya dapat memajukan kesejahteraan umum.
B. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang 
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk 
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan 
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, 
yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin 
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan 
yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan 
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk 
Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa
persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah 
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang 
tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang￾Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya 
sudah ada namun tidak memadai, atau peraturannya memang 
sama sekali belum ada.
Berdasarkan uraian-uraian yang disampaikan pada bagian 
sebelumnya, sudah cukup jelas diuraikan bahwa Rancangan 
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara ini akan mengisi 
kekosongan hukum sebab hingga 75 tahun Indonesia 
merdeka, Indonesia belum memiliki satu pun Undang￾Undang pokok yang mengatur tentang Ibu Kota Negara. 
Jakarta ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara Republik 
Indonesia berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 
jo. UU PNPS No. 2 Tahun 1961. Setelah itu, berturut-turut, 
berbagai Undang-Undang kembali menetapkan Jakarta 
sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), mulai dari UU No. 11 
Tahun 1990, UU No. 34 Tahun 1999, hingga terakhir, yang 
masih berlaku hingga saat ini, diatur melalui UU No. No. 29 
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus 
Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik 
Indonesia. 
Undang-Undang yang disahkan sejak 1961 hingga 2007 itu 
sesungguhnya adalah Undang-Undang yang menetapkan 
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, yang kemudian di dalamnya 
diatur tentang berbagai hal mengenai tata kelola, bentuk, dan 
susunan pemerintahan di Jakarta menyesuaikan penetapan 
ini . Materi muatan RUU yang akan disusun 
berdasarkan Naskah Akademik ini akan menyusun kerangkat 
utuh normatif tentang pengelolaan Ibu Kota Negara.
Di samping itu, Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota 
Negara ini akan mengatasi persoalan hukum berupa otonomi 
khusus yang melekat pada pemerintahan Ibu Kota Negara. 
Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi DKI 
Jakarta sedang menyusun Naskah Akademik untuk
Perubahan UU No. 29 Tahun 2007 dalam rangka 
mengadakan harmonisasi dan penyesuaian mengenai 
beberapa hal terkait urusan pemerintahan yang dalam 
praktiknya menemui keruwetan akibat posisi Jakarta yang 
berperan ganda, yakni sebagai daerah otonom khusus Ibu 
Kota dan juga sebagai perpanjangan tangan pemerintah 
pusat. Dengan demikian, RUU yang disusun berdasarkan 
Naskah Akademik ini akan mengatasi persoalan hukum 
ini .
C. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan 
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk 
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan 
masyarakat dan negara.
Uraian pada BAB II telah menguraikan dengan rinci 
bagaimana penerapan teori-teori, asas/prinsip, dan gagasan￾gagasan mengenai tata kelola pemerintahan akan 
menyelesaikan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan 
masyarakat dalam aspek ekonomi dan bisnis, penataaan 
ruang, penatagunaan tanah, pemerintahan yang bersih dari
korupsi, lingkungan hidup yang lebih baik, ketahanan 
terhadap bencana yang mumpuni, dan pencegahan kejahatan 
yang lebih mantap. 
Dari sisi negara, tentu tata kelola Ibu kota Negara yang akan 
dituangkan di dalam RUU tentang Ibu Kota Negara menjadi 
kebutuhan yang mendesak agar seluruh administrasi 
pemerintahan IKN dapat terlaksana dengan baik, efektif, dan 
efisien.
Seluruh materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang 
Ibu Kota Negara sebagai satu kesatuan akan menyasar 
tujuan-tujuan (objectives) dari kehidupan bernegara 
sebagaimana yang termaktub di dalam Pembukaan UUD NRI 
Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan 
memajukan kesejahteraan umum. 
Rancangan Undang-Undang ini akan mengatur tentang tata 
kelola pemerintahan Ibu kota Negara yang lebih baik, baik 
dari segi pemerintahan maupun dimensi penataaan ruang
dan lingkungan hidup. Dari situ tentu akan dapat melindungi 
warga negara Indonesia di wilayah Ibu Kota Negara dari 
ancaman bencana ekologis, tindak kejahatan, korupsi 
sekaligus dapat memajukan kesejahteraan umum.
Rancangan Undang-Undang ini akan menata kembali 
berbagai benang kusut penataan perkotaan holistik dan 
modern, tata kelola lingkungan hidup, penanggulangan 
bencana, dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, 
tangkas, dan berorientasi pada pemecahan masalah publik 
serta pelayanan publik yang baik. Ibu Kota Negara

diharapkan dapat menjadi contoh baik untuk kota yang 
modern, berteknologi tinggi, dengan tata kelola pemerintahan 
sangat baik, dan berwawasan pembangunan berkelanjutan 
baik di Indonesia maupun di dunia. 
B. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Beberapa pokok-pokok yang akan diatur di dalam Rancangan 
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara antara lain 
meliputi: ketentuan tentang kedudukan, pembentukan, 
fungsi, prinsip, dan cakupan wilayah, ketentuan tentang 
pembagian wilayah, ketentuan tentang Kegiatan Pemindahan
Ibu Kota Negara; ketentuan tentang Bentuk, Susunan, dan 
Urusan Pemerintahan Ibu Kota Negara; ketentuan tentang 
kedudukan lembaga negara, perwakilan negara asing, dan 
perwakilan organisasi internasional, ketentuan tentang Tata 
Ruang, Pertanahan, Lingkungan Hidup, dan Penanggulangan 
Bencana; dan ketentuan terkait Pendanaan dan pengelolaan 
anggaran pendapatan dan belanja. 
Sebagai Undang-Undang yang mengatur sesuatu secara 
umum dan abstrak, maka nantinya diperlukan beberapa 
peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksana 
dari Undang-Undang ini . Hal itu dikarenakan tidak 
semua hal teknis akan dapat ditampung dan diatur secara 
komprehensif di dalam materi-materi muatan pasal Undang￾Undang. Jenis peraturan perundang-undangan yang akan 
menjadi peraturan pelaksana adalah peraturan presiden. 
Di samping itu, kegiatan pemindahan Ibu Kota Negara 
dilakukan dengan mempertimbangkan kerja sama dengan

Pemerintah Daerah Ibu Kota Negara sebelumnya, yaitu 
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 
C. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang
Materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota 
Negara akan mencakup tiga hal, yaitu Ketentuan Umum, 
Materi yang Akan Diatur, dan Ketentuan Peralihan. Ada pun 
ruang lingkup dari materi muatan Undang-Undang Ibu Kota 
Negara yaitu:
Bab I: Ketentuan Umum
Beberapa hal yang diatur di dalam Bab ini antara lain 
pembatasan definisi terhadap beberapa istilah yang 
digunakan di dalam Undang-Undang ini:
1. Ibu Kota Negara adalah Ibu Kota Negara Kesatuan 
Republik Indonesia.
2. Lembaga Negara adalah lembaga yang menjalankan 
fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif di tingkat pusat 
serta lembaga lain sebagaimana ditentukan dalam 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan.
3. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia 
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara 
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden 
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang￾Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Presiden adalah Presiden Republik Indonesia 
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang 
selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan 
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah Daerah Ibu Kota Negara sebelumnya, yaitu 
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 
C. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang
Materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota 
Negara akan mencakup tiga hal, yaitu Ketentuan Umum, 
Materi yang Akan Diatur, dan Ketentuan Peralihan. Ada pun 
ruang lingkup dari materi muatan Undang-Undang Ibu Kota 
Negara yaitu:
Bab I: Ketentuan Umum
Beberapa hal yang diatur di dalam Bab ini antara lain 
pembatasan definisi terhadap beberapa istilah yang 
digunakan di dalam Undang-Undang ini:
1. Ibu Kota Negara adalah Ibu Kota Negara Kesatuan 
Republik Indonesia.
2. Lembaga Negara adalah lembaga yang menjalankan 
fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif di tingkat pusat 
serta lembaga lain sebagaimana ditentukan dalam 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan.
3. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia 
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara 
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden 
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang￾Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Presiden adalah Presiden Republik Indonesia 
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang 
selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan 
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara yang 
selanjutnya disingkat KSN IKN adalah kawasan khusus 
yang akan dan menyelenggarakan fungsi sebagai Ibu 
Kota Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan 
Undang-Undang ini.
7. Ibu Kota Negara […] yang selanjutnya disebut sebagai 
IKN […] adalah suatu wilayah di dalam Negara Kesatuan 
Republik Indonesia yang menjadi tempat kedudukan Ibu 
Kota Negara dan menjalankan fungsi sebagai Ibu Kota 
Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan 
Undang-Undang ini. 
8. Pemerintahan Khusus Ibu Kota Negara […]yang 
selanjutnya disebut sebagai Pemerintahan Khusus IKN
[…] adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus di 
IKN […] yang diatur dengan Undang-Undang ini. 
9. Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya disebut 
sebagai Otorita IKN adalah lembaga pemerintah 
setingkat kementerian yang dibentuk untuk
melaksanakan persiapan, pembangunan, dan 
pemindahan Ibu Kota Negara yang baru, serta 
penyelenggaraan Pemerintahan Khusus IKN […].
10. Kepala Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya disebut 
sebagai Kepala Otorita IKN adalah pimpinan Otorita IKN
yang berkedudukan setingkat menteri yang bertanggung 
jawab atas pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita IKN 
dalam pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan 
pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan 
Pemerintahan Khusus IKN […].
11. Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya 
disebut sebagai Wakil Kepala Otorita IKN adalah wakil 
pimpinan yang bertugas membantu Kepala Otorita IKN
atas pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita IKN dalam
pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan 
pemindahan IKN, serta penyelenggaraan Pemerintahan 
Khusus IKN […].
12. Rencana Induk Pembangunan Ibu Kota Negara adalah 
dokumen perencanaan terpadu untuk melaksanakan 
pembangunan, pemindahan dan pengelolaan Ibu Kota 
Negara […] yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

13. Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli 
atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan Belanja 
Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 
Bab II: Kedudukan, Pembentukan dan Pemindahan, 
Fungsi, Prinsip, dan Cakupan Wilayah
Bab ini mengatur tentang Ibu Kota Negara berkedudukan di 
Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Negara. Bab ini juga akan 
mengatur tentang pembentukan dan pemindahan status, 
fungsi dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Negara dan 
prinsip-prinsip pembangunan Ibu Kota Negara. Selanjutanya, 
Bab ini juga mengatur tentang cakupan dan penataan 
wilayah. 
Bab III: Bentuk, Susunan, dan Urusan Pemerintahan
Bab ini mengatur tentang Penyelenggaraan Pemerintahan 
Khusus oleh Otorita IKN beserta susunan pemerintahan di 
bawahnya dan urusan yang menjadi kewenangangannya. 
Bab IV: Pembagian Wilayah
Bab ini mengatur tentang penyelenggaraan Pemerintahan 
Khusus IKN [...], Kepala Otorita IKN memiliki kewenangan 
untuk membagi wilayah IKN [...] menjadi wilayah-wilayah 
yang bentuk, jumlah dan strukturnya disesuaikan dengan 
kebutuhan, yang ketentuan pembagian wilayahnya ini  
diatur dengan Peraturan Presiden.
Bab V: Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran Pendapatan 
Belanja 
Bab ini mengatur APB untuk Pemerintahan Khusus IKN.
Bab VI: Penataan Ruang, Pertanahan, Lingkungan Hidup, 
Penanggulangan Bencana, dan Pertahanan dan Keamanan
Bab ini mengatur secara umum tentang penataan Ruang, 
Pertanahan, Lingkungan Hidup, Penanggulangan Bencana, 
dan Pertahanan dan Keamanan di IKN.
Bab VII: Pemindahan Ibu Kota
Bab ini mengatur pengaturan umum tentang Pemindahan Ibu
Kota Negara.
Bab VIII: Ketentuan Peralihan
Bab ini mengatur bahwa Sejak Undang-Undang ini 
ditetapkan sampai dengan tanggal penetapan status Ibu Kota 
Negara), kedudukan, fungsi dan peran Ibu Kota Negara tetap 
berada di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Di 
samping itu, Otorita IKN yang menyelenggarakan 
Pemerintahan Khusus IKN [...] berdasarkan Undang-Undang 
ini melanjutkan pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita IKN 
yang sebelumnya telah dibentuk berdasarkan peraturan 
perundang-undangan sebelum Undang- Undang ini 
ditetapkan. Selanjutnya, Kepala Otorita IKN dan Wakil Kepala 
Otorita IKN yang diangkat berdasarkan peraturan perundang￾undangan sebelum ditetapkannya Undang-Undang ini, pada 
tanggal penetapan status Ibu Kota Negara sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ditunjuk dan diangkat 
sebagai Kepala Otorita IKN dan Wakil Kepala Otorita IKN yang 
pertama oleh Presiden untuk menyelenggarakan 
Pemerintahan Khusus IKN [...].
Bab IX: Ketentuan Penutup
Bab ini adalah materi Omnibus Law di mana sejumlah pasal 
di dalam Undang-Undang lain akan diubah atau dicabut
melalui RUU IKN. Di samping itu, Bab ini juga 
mengamanatkan penyesuaian-penyesuaian. Adapun 
peraturan perundang-undangan ini  yaitu:
1. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi 
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan 
Timur disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang￾Undang ini.
2. Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 
tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara 
disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
3. Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 
tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten 
Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur 
dan Kota Bontang disesuaikan dengan ketentuan dalam 
Undang- Undang ini.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), 
dan ayat (3) disesuaikan selambat- lambatnya 2 (dua) tahun 
sejak Undang-Undang ini ditetapkan. 
Di samping itu, Bab ini juga akan mengatur tentang 
keberlakukan seluruh atau sebagian materi muatan pasal 
RUU IKN.
































Related Posts:

  • jakarta 3  objek kerja sama;2) Wajib memelihara objek kerja sama dan barang hasil&n… Read More