Kamis, 15 Juni 2023
jakarta 2
By video bobo Juni 15, 2023
bab
sebagian besar penduduk Kota Sejong masih sering
menggunakan waktu malam hari dan akhir pekan di Seoul
dengan adanya fasilitas commuter line. Hal ini menjadi
“pekerjaan rumah” bagi pemerintah untuk membuat kota
Sejong lebih hidup.
• Pembangunan Ibu Kota baru membutuhkan komitmen dalam
perencanaan dan penganggaran jangka. Sejong akan menelan
biaya sebesar $22 miliar dalam jangka waktu 30 tahun
pembangunan. Hal ini merupakan jumlah yang jauh
lebih besar dari perkiraan semula sehingga membutuhkan
komitmen yang serius agar proyek ini dapat diselesaikan
dengan baik.
PUTRAJAYA, MALAYSIA
Overview
Putrajaya membutuhkan waktu 12 tahun dari saat penetapan
pemindahan Ibu Kota sampai dengan tahap pemindahan
pemerintahan. Setelah lebih dari 20 tahun pembangunan,
penduduk Putrajaya hanya berjumlah 85.000 masih relatif kecil
dari populasi yang direncanakan. Selain itu, kegiatan ekonomi di
luar jam kerja sangat kecil, hal itu menunjukkan bahwa Putrajaya
mungkin akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mandiri
secara fiskal.
Ide dan realisasi. Kebutuhan akan pusat administrasi baru
di Malaysia muncul sebab permasalahan kemacetan dan banjir di
Kuala Lumpur.47 Gagasan mendirikan pusat administrasi federal
di luar Kuala Lumpur dimulai pada akhir 1980-an dan diwujudkan
pada tahun 1993 dengan keputusan resmi untuk memindahkan
pusat administrasi Pemerintah. Pada Juni 1999, kantor Perdana
Menteri dipindahkan ke Putrajaya. Pada tanggal 1 Februari 2001,
Putrajaya dinyatakan sebagai Wilayah Federal dan Putrajaya
Corporation didirikan sebagai Otoritas Lokal yang bertugas
mengelola kotapraja.
Biaya. Total biaya konstruksi Putrajaya diperkirakan sekitar
$8 miliar, sebagian besar didanai dari anggaran publik. Sebagian
biaya pengembangan diimbangi dengan penjualan beberapa
pemerintah di Kuala Lumpur, namun sebagian besar pemerintah
di Kuala Lumpur dipertahankan oleh Pemerintah.
Setelah lebih dari 20 tahun pembangunan, penduduk
Putrajaya hanya berjumlah 85.000, masih relatif kecil dari populasi
yang direncanakan. Tingkat pertumbuhan saat ini terus
berkembang dari 12.240 orang pada tahun 2000 menjadi 90.000
orang pada tahun 2019, diperkirakan akan memakan waktu lebih
dari 80 tahun untuk mencapai target 330.000 penduduk. Rencana
penggunaan lahan didominasi “penggunaan tunggal” dengan ruang
terbuka yang luas dan plaza-plaza monumental yang membatasi
nuansa urban area ini .Selain itu, aksesibilitas masih menjadi
masalah sebab transportasi umum tidak sepenuhnya
diintegrasikan ke dalam konsep perencanaan awal dan rencana
induk awal membutuhkan revisi signifikan untuk
memperhitungkan topografi lokal dengan lebih baik.
Lesson Learned
• Master Plan Putrajaya menegaskan konsep “Intellegent City”
dan “City-in-a-Garden” yang mengintegrasikan sistem taman,
aliran air, wetland, hutan, dan ruang terbuka. Konsep ini
dapat dijadkan contoh untuk pembangunan Ibu Kota Negara
baru di Indonesia yang akan menggunakan konsep “forest
city”.
• Pembangunan Ibu Kota baru membutuhkan komitmen dalam
perencanaan dan penganggaran jangka - 72 -. Aktivitas
ekonomi diluar jam kerja di Putrajaya sangat kecil dan
mungkin akan membutuhkan waktu yang lama bagi
Putrajaya untuk dapat mencukupi kebutuhan secara
ekonominya.
• Konektivitas adalah aspek penting namum tidak cukup untuk
menjadikan sebuat kota menjadi sukses. Putrajaya
terkoneksi dengan baik dengan pusat ekonomi dan
transportasi, namun masih sulit untuk menaikan populasi
penduduk.
• Pembangunan di wilayah yang masih kosong tanpa penduduk
dan di lahan yang dimiliki oleh pemilik tunggal memperkecil
risiko sosial dan politik. Lahan Putrajaya dibeli pemerintah
dengan transaksi tunggal dengan perusahaan perkebunan.
Hal ini menghindari masalah penolakan dari masyarakat
lokal dan kebutuhan transmigrasi masyarakat lokal.
ISLAMABAD, PAKISTAN
Overview
Pemindahan Islamabad sebagai Ibu Kota dikarenakan adanya
permasalahan terkait rendahnya pelayanan infrastruktur dan
overpopulasi pada Ibu Kota sebelumnya. Islamabad terletak di
central Pakistan yang berada di dataran tinggi serta dilalui jalur
utama Asia.Berdiri sejak 1960 Islamabad dimaksudkan juga
menjadi penguat identitas bangsa yang erat kaitannya dengan
Islam.Kota ini menjadi pusat politik Pakistan yang dikelola oleh
Korporasi Metropolitan Islamabad, yang didukung oleh Capital
Development Authority (CDA).
Ide dan realisasi. Pusat administrasi pemerintahan di Kota
Islamabad mengedepankan konsep pengembangan modern dan
clean city. Penentuan lokasi Islamabad dipengaruhi diantaranya
sebagai Ibu Kota banyak transportasi, komunikasi, pertahanan,
ekonomi, masyarakat, fasilitas, dll. Masyarakat yang menempati
kota Islamabad merupakan kombinasi dari pegawai pemerintah dan
masyarakat pada umumnya sehingga terlihat adanya variasi dalam
hal pendapatan. Maka perlu adanya secara bertahap, baik untuk
membantu masyarakat berpenghasilan rendah agar memiliki
kompentensi maupun memastikan kenyamanan bagi masyarakat
kelas atas.
Islamabad telah direncanakan untuk menampung populasi
sekitar 2.500.000 jiwa dalam periode dua generasi, sehingga
diketahui bahwa populasi kota metropolitas Pakistan sebanyak
tahun 1960: 45.408 orang; tahun 2000: 568.689 orang; tahun
2019: 1.095.064 orang Sampai dengan tahun 1980-an Islambad
didominasi oleh pusat administrasi, kemudian berkembang menjadi
pusat bisnis dan perdagangan, menarik tenaga kerja dari Karachi,
Lahore dan Quetta. Aglomerasi Islamabad- Rawalpindi menjadi kota
nomor 3 terbesar di Pakistan (PDB per kapita tertinggi). Islamabad
telah menarik orang-orang dari seluruh Pakistan, menjadikannya
salah satu kota Pakistan yang paling dan urban.
Sampai dengan tahun 1980-an Islambad didominasi oleh
pusat administrasi, kemudian berkembang menjadi pusat bisnis
dan perdagangan, menarik tenaga kerja dari Karachi, Lahore dan
Quetta. Aglomerasi Islamabad- Rawalpindi menjadi kota nomor 3
terbesar di Pakistan (PDB per kapita tertinggi). Islamabad telah
menarik orang-orang dari seluruh Pakistan, menjadikannya salah
satu kota Pakistan yang paling dan urban.
Kota Islambad terletak berdekatan dengan Kota Rawalpindi
yang menawarkan Islamabad bantuan yang cukup besar dalam
fasilitas dan kebutuhan perumahan diawal pemindahan. Bandara
Chaklala di Rawalpindi akan membantu transportasi udara,
bendungan Rawalpindi akan mengamankan pasokan air, koneksi
kereta api dan jalan raya yang ada akan melayani kebutuhan
komunikasi. Semua ini akan berkontribusi terhadap menghindari
investasi besar selama fase pertama pengembangan Islamabad.
Kedua kota ini saling melayani dengan cara yang saling
melengkapi. Islamabad akan menjadi Ibu Kota negara dan akan
melayani terutama fungsi narative dan budaya. Rawalpindi akan
tetap menjadi pusat regional yang melayani industri dan fungsi
komersial.
Biaya. Pembangunan Islamabad sebagai Ibu Kota baru Pakistan
menggunakan dana dari APBN dan bantuan dari luar negeri. Biaya
ini mengakomodasi Master plan pada Islamabad yang
menjadikan Ibu Kota ini memiliki fleksibilitas untuk berkembang
secara dinamis di masa depan.
Lesson Learned
• Pentingnya memperhatikan kondisi sosial, budaya dan
ekonomi masyarakat yang akan tinggal di Ibu Kota baru.
Islamabad direncanakan akan dihuni oleh masyarakat yang
bervariasi kondisi pendapatannya sehingga perlu
diakomodasi kebutuhannya agar tidak menimbulkan konflik.
• Daya serta jumlah populasi yang akan menghuni Ibu Kota
perlu direncanakan secara matang. Islamabad merencanakan
akan menampung 2.500.000 jiwa, dan pada masa awal
pembangunan telah dihuni oleh hampir dari setengah jumlah
masyarakat yang diperkirakan.
• Penempatan lokasi sebaiknya tidak jauh dari kota eksisting
yang sudah berkembang. Islamabad yang terletak dekat Kota
Rawalpindi menjadikan Islamabad dapat dilayani dengan
berbagai infrastruktur yang telah tersedia.
ASTANA, KAZAKHSTAN
Overview
Terpisahnya Negara Kazakhstan dengan Union of Soviet
Socialist Republics (USSR) membuat Presiden Nursultan pada
tahun 1997 memutuskan Ibu Kota Kazakhstan di pindah dari
Almaty ke Astana. Astana berkembang dengan jumlah penduduk
eksisting 380.000 jiwa.51 Pada tahun 2019 Kazakh parliament
memberi nama Ibu Kota Baru dari Astana menjadi ”Nursultan”
untuk menghormati jasa Presiden.
Ide dan realisasi. Pemindahan Ibu Kota di Kazakhstan
memiliki beberapa tujuan, yaitu, untuk memilih lokasi ”Center of
the Eurasian Continent” sebagai representasi kebijakan luar negeri
yang berorientasi multivektor, Ibu Kota baru sebagai citra negara
serta meningkatkan kesatuan nasional. Untuk mewujudkan tujuan
ini , arsitektur bangunan di desain untuk
mengharmonisasikan budaya timur dan barat dalam
mengembangkan aspek kota dan lingkungan kota, arah
pengembangan kota Astana mengedepankan inovasi, a trip to the
spiritual realm, mengembangkan konsep harmoni dan sustainability
diantara alam, lingkungan kota, manusia dan teknologi.
Durasi Pembangunan. Penyusunan master plan Astana dibuat
dalam waktu 3 tahun dari tahun 1997 sampai tahun
2000.Penyusunan master plan dikompetisikan secara internasional
dan mengundang arsitek dari Eropa, Asia dan Australia.Periode
pembangunan Astana didesain sebagai rencana pembangunan
jangka selama 30 tahun.Tahapan pembangunan dibagi menjadi 4
fase dari tahun 2000 sampai 2030. Berikut timeline pembangunan
Ibu Kota baru Kazakhstan
Biaya. Terdapat tiga sumber pendanaan pembangunan Ibu
Kota baru, yaitu dari investasi pemerintah sebesar USD 4.560 Juta
atau sekitar (50,7%), Swasta sebesar USD 2.970 jt (33%), dan
investasi asing sebesar USD 1.470 Jt (16,3%). Pemerintah
memfokuskan dana ini untuk fasilitas publik dan
infrastruktur dasar yang berbasis non-profit, sedangkan swasta dan
investasi asing lebih mengarah pada pembangunan yang bersifat
profit seeking seperti pusat perbelanjaan, bangunan kantor
komersial, dll. Berikut tabel skema pembiayaan pembangunan
Astana secara lebih detail.
Lesson Learned
• Pembangunan Ibu Kota baru membutuhkan komitmen dalam
perencanaan dan penganggaran jangka - 80 -. Pembangunan
Astana membutuhkan komitmen dan kepastian politik
sebab rencana pembangunan Astana merupakan rencana
pembangunan jangka selama 30 tahun 2000-2030
• Skema pembiayaan pembangunan melibatkan swasta dan
investasi. Sumber pendanaan pembangunan mengunakan
investasi pemerintah sebesar USD 4.560 Juta atau sekitar
(50,7%), Swasta sebesar USD 2.970 jt (33%), dan investasi
asing sebesar USD 1.470 Jt (16,3%).
Landmark Kota Astana
D. Kajian Terhadap Implikasi terhadap Sistem Baru yang
akan diatur dalam RUU Terhadap Aspek Beban Keuangan
Negara dan Kemanfaatan Negara
Perkiraan kebutuhan investasi pemindahan Ibu Kota Negara
didasari atas konsep kota baru yang 7 mempertimbangkan bahwa :
(a) ibu kota negara adalah kota baru yang berkelanjutan
(sustainable) yang berciri smart, green, memiliki identitas bangsa
dan kebhinekaan; (b) Ibu Kota negara merupakan kota baru yang
modern dan bertaraf internasional; serta (c) Ibu Kota negara dengan
pusat pemerintahan yang mencerminkan birokrasi dan sumber
daya manusia pemerintahan atau sipil nasional (ASN) yang ideal.
Ciri utama smart city antara lain adalah transportasi antar
moda terintegrasi dengan baik (smart mobility), tata bangunan
terencana secara efisien dan efektif (smart building), yang didukung
dengan teknologi informasi dan komunikasi dengan kecepatan
tinggi. Pembangunan kota yang bercirikan green city adalah
pembangunan kota yang mengedepankan unsur-unsur hijau,
sekaligus memiliki kemampuan dalam adaptasi dan mitigasi
terhadap bencana, yang bertujuan untuk menciptakan
keseimbangan lingkungan serta kenyamanan warga yang
menghuninya. Sementara itu, Kota bertaraf internasional harus
didukung dengan ketersediaan fasilitas dan pelayanan kota yang
setara dengan fasilitas dan pelayanan kota di kota-kota besar di
dunia.
Adapun Ibu Kota baru dengan pusat pemerintahan yang
ideal, dicirikan dengan adanya simplifikasi proses bisnis, efisiensi
dan efektivitas kerja, serta value ASN perlu diterapkan, sehingga
kualitas pelayanan publik dapat lebih meningkat. Pelayanan dan
pengelolaan kota sebagai pusat pengelolaan Ibu Kota negara harus
dapat mencerminkan pelayanan berkelas internasional yang efisien
dan berorientasi smart governance.
D.1. Perkiraan Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk menentukan biaya yang muncul yang
dibutuhkan dan berpotensi menjadi beban keuangan negara dan
daerah (IKN baru) dalam penataan ruang, pembangunan
infrastruktur, dan biaya pelayanan publik. Dalam mewujudkan
lingkungan ibu kota negara (IKN) ini , tata ruang kota perlu
dirancang secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Memperhatikan
hal ini , maka perlu diperhatikan : (1) unsur-unsur yang
direncanakan di lokasi Ibu Kota baru, dan (2) besaran Ibu Kota baru
yang akan dirancang. Mengingat lokasi baru Ibu Kota negara akan
menjadi pusat pemerintahan (eksekutif), maka unsur-unsur yang
direncanakan di Ibu Kota baru adalah: (a) Fungsi eksekutif, serta
fungsi-fungsi yang melekat pada fungsi pusat pemerintahan, yaitu
fungsi legislatif (MPR, DPR, dan DPD), fungsi yudikatif (Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial), serta perwakilan kedutaan negaranegara; (b) Fungsi keamanan dan pertahanan sebuah Ibu Kota
negara; (c) Anggota keluarga dari fungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, serta keamanan dan pertahanan negara; serta (d) Ibu
Kota baru diperkirakan akan menumbuhkan kegiatan
ekonomi/bisnis penunjang fungsi pemerintahan, sehingga
diprediksi akan hadir pelaku ekonomi ke dalam lokasi Ibu Kota
baru.
Selanjutnya, perlu dipersiapkan skenario besaran kota yang
akan dibangun sebagai Ibu Kota negara baru. Skenario pertama,
adalah dengan asumsi bahwa seluruh ASN dipindahkan tanpa
dilakukan right sizing jumlah ASN. Dengan demikian Ibu Kota baru
dirancang menjadi sebuah metropolitan baru. Total ASN
dipindahkan sejumlah 195.550 jiwa, dan total jumlah penduduk
yang dipindahkan adalah sejumlah 1.500.000 jiwa (- 84 -cenario I
pada tabel 7.1). Skenario ke dua, adalah dengan asumsi ASN
dipindahkan dengan skema right sizing, kondisi ideal yang
diharapkan dalam pengelolaan Ibu Kota negara yang modern dan
efisien. Dengan demikian Ibu Kota negara dirancang untuk tidak
terlalu padat dan menjadi kota besar. Total ASN dipindahkan
menjadi sebesar 137.170 jiwa, dan jumlah bangkitan penduduk
pada lokasi baru IKN adalah sebesar 870.000 jiwa. Skenario II pada
tabel 7.1.
Skenario ke II, merupakan skenario yang memungkinkan untuk
dilaksanakan. Jumlah ini tidak terlalu berbeda dengan
jumlah penduduk di ibu kota negara lain, seperti Putrajaya, Sejong
dan Brasilia. Putrajaya direncanakan akan dihuni oleh sebanyak
330.000 jiwa penduduk. Sejong dan Brasilia direncanakan dihuni
sebanyak 500.000 jiwa penduduk (World Bank, 2017).
D.2. Perkiraan Kebutuhan Ruang
Kebtuhan ruang dapat menjadi ukuran beban keuangan
negara dan daerah. Secara umum, terdapat lima komponen utama
dalam fungsi tata ruang dcenari baru IKN. Kelima komponen
ini meliputi pemerintahan, ekonomi, permukiman, sirkulasi
dan infrastruktur, serta ruang terbuka hijau. Sebagai Ibu Kota baru
yang berkelanjutan dengan nilai-nilai smart dan green, serta efisien
dalam pengelolaannya, maka perlu seefisien mungkin dalam
memanfaatkan luasan lahan. Untuk itu, konsep yang diusulkan
adalah pembangunan perkantoran dan residensial.
Perancangan porsi setiap fungsi dilakukan sebagai berikut.
1. Fungsi permukiman membutuhkan porsi sebesar 40% dari
total luas lahan. Porsi ini mengacu pada pengalaman
pengembangan kota-kota besar di Indonesia, dimana ratarata persentase luasan permukiman adalah sebesar 45.3%
dari total luas wilayah2. Pembangunan permukiman
dirancang secara (residensial non pimpinan kementerian)
maka porsi luasan permukiman dirancang sebesar 40% dari
total luasan lahan.
2. Sesuai dengan standar Kementerian PUPR, fungsi sirkulasi
dan infrastruktur mendapat porsi 20% dari total luas lahan.
Secara rinci porsi ini diperlukan untuk infrastruktur
jalan sebesar 12%, sirkulasi air sebesar 6%, dan kebutuhan
sirkulasi lainnya sebesar 2%3.
3. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, fungsi ruang terbuka hijau
(RTH) publik diporsikan minimal sebesar 20% dari total
lahan. Ketentuan proporsi RTH publik ini ditujukan
untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, sistem
hidrologi, dan sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat,
sekaligus untuk meningkatkan nilai estetika kota.
4. Selanjutnya, fungsi pemerintahan membutuhkan porsi
sebesar 5% dari total luasan lahan. Fungsi ini
mencakup perkantoran eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
5. Fungsi ekonomi membutuhkan porsi sebesar 15% dari total
luas lahan. Luasan ini untuk memberikan ruang bagi
para pelaku ekonomi/bisnis untuk mendukung pelayanan
perekonomian Ibu Kota baru.
Berdasarkan perhitungan jumlah pegawai pemerintahan ideal
untuk membangun Ibu Kota negara yang baru diperoleh kebutuhan
ruang untuk residensial (menempati porsi fungsi permukiman),
sarana dan prasarana pengolahan air minum, air limbah, listrik,
transportasi, pasar dan lainnya. Gambaran kebutuhan ruang yang
ideal akan sebesar 40.000 Ha pada Skenario I dan 30.000 Ha
diilustrasikan pada kolom Skenario II
Kebutuhan ruang secara ideal ini cukup memadai untuk
pertimbangan investasi. Pengembangan pembangunan perumahan
suatu kota baru yang dilakukan oleh swasta pada umumnya tidak
lebih dari 3.000 Ha. Dengan luasan 30.000 Ha akan memberikan
peluang bisnis bagi pengembang untuk turut berinvestasi baik
dalam residensial maupun perkantoran. Dibandingkan dengan
Skenario I, dimana diasumsikan birokrasi ASN masih beroperasi
seperti kondisi yang ada, maka Skenario II diperkirakan lebih efektif
untuk investasi pada luasan 30.000 Ha.
Berdasarkan kebutuhan fungsi ruang yang telah diuraikan
sebelumnya maka rancangan zonasi kawasan Ibu Kota Negara di
bagi menjadi 4 zona kawasan. Pembagian zona kawasan ini
berdasarkan fungsi kawasan dengan peruntukan luas yang
berbeda. Setiap zona kawasan memiliki prioritas pembangunan
yang akan di mulai dari zona inti Ibu Kota Negara sampai zona
perluasan Ibu Kota Negara yang akan terus dikembangan sesuai
luas total kawasan yang direncanakan.
Pembagian rancangan zonasi terdiri dari 4 kawasan :
a. Zona-1 Kawasan Inti Pusat Pemerintahan terdiri dari Istana
Kepresidenan, Kantor Lembaga Negara, (Eksekutif, Legislatif
dan Yudikatif) dikembangkan pada lahan seluas 2.000 Ha.
b. Zona-2 Kawasan Ibu Kota Negara dengan peruntukan sebagi
fungsi pendukung dan penunjang kawasan inti pusat
pemerintahan yang ada dikembangkan dari kawasan
sebelumya menjadi seluas 40.000 Ha
c. Zona-3 Kawasan Perluasan Ibu Kota Negara I merupakan
pengembangan zona IKN dengan fungsi ruang utama untuk
pengembangan kawasan dengan luas 200.000 Ha
d. Zona-4 Kawasan Perluasan Ibu Kota Negara II merupakan
perluasan dari zona sebelumnya dengan cakupan kota
metropolitan dengan luas lebih dari 200.000 Ha
Fungsi-fungsi kawasan direncanakan sesuai kebutuhan aktivitas di
dalam Ibu Kota Negara. Jenis-jenis aktivitas dalam kawasan, baik
fungsi pemerintahan maupun non-pemerintahan akan menentukan
fasilitas-fasilitas yang direncanakan pada kawasan ini. Setiap
fasilitas akan menentukan fungsi-fungsi pada setiap bangunan,
serta luasan dan volume pembangunan yang direncanakan.
Kemudian fasilitas dalam setiap kawasan mewakili prioritas
pembangunan berdasarkan zona kawasan. Terkait distribusi
fasilitas yang dibutuhkan dikelompokan berdasarkan fungsinya
dengan rincian sebagai berikut:
a. Fungsi Utama. Salah satu agenda utama dari pemindahan
Ibu Kota Negara (IKN) adalah pemindahan lokasi pusat
pemerintahan. Dengan demikian, gedung pemerintahan
sebagai sarana operasional serta pusat aktivitas dari sebuah
pusat pemerintahan merupakan komponen utama dari
investasi fisik yang dibangun. Rincian fasilitas yang akan di
bangun meliputi: a) Istana Kepresidenan; b) Bangunan
Strategis TNI/POLRI; c) Kantor Lembaga Negara (Eksekutif,
Legislatif, Yudikatif).
b. Fungsi Pendukung. Fungsi untuk menyediakan sejumlah
fasilitas pendukung yang perlu disiapkan untuk menunjang
aktivitas pusat pemerintahan yang akan dibangun. Rincian
fasilitas yang akan di bangun meliputi: a) Perumahan ASN; b)
Perumahan Non ASN; c) Sarana Pendidikan: SD, SMP, SMA,
dan Perguruan Tinggi; d) Sarana Kesehatan: Puskesmas &
Rumah Sakit; e) Fasilitas Kemanan Lingkungan
c. Fungsi Penunjang. Pembangunan prasarana dan fasilitas
umum diperlukan untuk menunjang seluruh aktivitas untuk
memfasilitasi kelancaran dan kemudahan aktivitas
masyarakat sehari-hari. Rencana fasilitas-fasilitas penunjang
yang akan dibangun meliputi: a) Infrastruktur Penunjang:
Jaringan jalan, Instalasi Pengolahan Limbah Terpadu, sistem
penyediaan air minum, sistem persampahan, sistem drainase
perkotaan, saluran ducting untuk jaringan telekomunikasi; b)
Jaringan transmisi dan distribusi listrik: PLTU Batubara; c)
Perbaikan kapasitas bandara serta pelabuhan, dan jalan tol
D.3. Perkiraan kebutuhan interaksi sosial, ekonomi dan budaya
Selain penambahan ASN, berbagai aktivitas ibu kota baru
akan menarik pendatang lainnya. Dibutuhkan sejumlah strategi
agar interaksi antara ASN, pendatang lainnya, dan penduduk yang
telah ada di wilayah calon ibu kota negara berjalan harmonis.
Penerimaan masyarakat dan proses interaksi yang akan terjadi
dalam struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang
heterogen sangat penting, tidak saja pada saat perencanaan, dan
proses pembangunan berlangsung, namun juga hingga
berfungsinya ibu kota negara yang baru. Proses pemindahan ibu
kota negara yang partisipatif dan inklusif menjadi dasar
terbentuknya kota dengan masyarakat kosmopolitan (majemuk)
namun tetap menghargai keberagaman budaya.
Saat ini di Provinsi Kalimantan Timur terdapat lima etnis
besar, dengan jumlah pendatang yang cukup besar (73,2%). Porsi
terbesar berasal dari Jawa, yang pindah sebagai transmigran pada
periode 1970 – 1980an. Pembangunan di Kalimantan Timur juga
menarik kepindahan suku bangsa Bugis, Banjar, dan berbagai etnis
lainnya, yang banyak diantaranya telah berakulturasi melalui kawin
campur lintas suku, termasuk dengan suku bangsa asli seperti
Suku Paser, Kutai, dan berbagai kelompok Dayak lainnya. Karakter
dan adat istiadat Suku Dayak pada dasarnya sangat terbuka,
sebab menganut trilogi peradaban, yaitu: hormat kepada leluhur,
patuh kepada orangtua, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Keterbukaan masyarakat asli, keberagaman sosial budaya yang
telah terjalin sejak lama, dan terbentuknya masyarakat yang
heterogen menjadi nilai tambah bagi kepindahan ibu kota negara ke
Kalimantan Timur.
Kehidupan ekonomi warga Kalimantan Timur juga beragam,
mulai dari industri kecil dan menengah, perikanan, pertanian,
perkebunan, pertambangan, dan jasa. Perkembangan industri
perkebunaan dan pertambangan telah mengubah pola
perekenomian masyarakat yang beradaptasi sesuai perkembangan
kondisi yang adaSalah satu persoalan utama yang dihadapi hingga
saat ini adalah konflik tenurial kehutanan dan wilayah adat Suku
Dayak. Bagi masyarakat suku Dayak, hutan adalah air susu
sumber penghidupan dan dianggap sebagai jantung Kalimantan
sehingga perlu dilestarikan. Karena keterikatan yang sangat erat
ini, masyarakat adat Dayak ingin menjaga dan mengamankan
hutan, namun dalam perkembangannya mereka termarjinalkan.
Kehadiran transmigran misalnya, merambah wilayah tanah adat
masyarakat Dayak. Desa-desa transmigrasi kemudian dimekarkan
menjadi desa definitif dan mendapatkan program sertifikasi tanah,
sarana prasarana dasar, dan Dana Desa. Sementara desa
masyarakat adat Dayak yang sering kali terpencil di tengah hutan
konservasi tidak mendapatkannya. Pada periode 1970an terdapat
program resettlement yang memindahkan masyarakat Dayak dari
kampung asal leluhurnya, dan kemudian diberikan status hutan
Negara. Dengan status ini, dilaksanakan berbagai peruntukan
seperti Kawasan konservasi, Hutan Tanaman Industri, atau
pertambangan. Kondisi ini menutup akses masyarakat Dayak
terhadap tanah leluhurnya, dan jika mereka mencari penghidupan
di hutan dianggap sebagai perambah hutan. Saat ini, masyarakat
Dayak bekerja di berbagai sektor, mulai dari peladang, bekerja di
perkebunan atau pertambangan, hingga menjadi pegawai negeri.
Terkait rencana pemindahan IKN, terdapat 2 potensi dampak
sosial ekonomi, yaitu hilangnya mata pencaharian dan tempat
tinggal, terutama bagi mereka yang bekerja dan tinggal di kawasan
hutan perkebunan. Agar kepindahan ASN dan unsur
pendukungnya serta pembangunan IKN menguatkan ketahanan
masyarakat Kalimantan, baik secara ekologi, ekonomi, sosial dan
budaya, diperlukan beberapa strategi sebagai berikut
1. Representasi identitas budaya dalam pembangunan IKN,
misalnya digunakannya simbol/ornamen Dayak pada
bangunan, pengembangan zona kebudayaan, pelestarian
situs budaya melalui museum atau taman seperti contoh di
beberapa kota besar dunia.
2. Pemahaman terhadap keberagaman budaya dan kondisi
sosial ekonomi penduduk lokal perlu disiapkan untuk
menjadi bekal pengetahuan ASN yang akan dipindahkan,
agar terjadi integrasi kehidupan masyarakat yang berkeadilan
sehingga manfaat pembangunan IKN dirasakan oleh semua
masyarakat.
3. Untuk keberlanjutan penghidupan penduduk lokal,
diperlukan sinergi budaya dan kearifan lokal dengan
pemanfaatan teknologi dan inovasi, misalnya tempat usaha
beserta alat produksi, pengelolaan pangan yang dikelola oleh
masyarakat setempat, pengembangan smart farming,
platform penjualan hasil kerajinan, dan sebagainya. Yang
diinginkan adalah terwujudnya kegiatan ekonomi yang
memandirikan, terjaganya kebudayaan yang bermartabat,
tersedianya kesempatan usaha lintas generasi.
4. Peningkatan sumber daya manusia perlu dilakukan sejak
awal perencanaan IKN. Mulai tahun anggaran 2020,
diharapkan berbagai sektor terkait pendidikan vokasi,
pendidikan tinggi, dan berbagai kegiatan penyiapan kerja
diarahkan untuk meningkatkan kapasitas siswa dan pemuda
di wilayah IKN dan penyangganya. Perlu dipertimbangkan
pemberian kuota untuk peningkatan keterampilan kelompok
marginal (antara lain: Suku Dayak, kelompok perempuan
muda, kelompok penyandang disabilitas dsb) agar dapat
berpartisipasi langsung dalam pembangunan IKN.
D.4. Sarana dan Prasarana yang Dibutuhkan
Sarana dan Prasarana yang disiapkan mencerminkan potensi
beban keuangan negara dan daerah. Salah satu agenda utama dari
pemindahan ibu kota adalah pemindahan lokasi pusat administrasi
pemerintahan. Dengan demikian, gedung pemerintahan sebagai
sarana operasional serta pusat aktivitas dari sebuah pusat
administrasi pemerintahan merupakan komponen utama dari
investasi fisik yang dibangun. Fasilitas utama yang perlu dibangun
di IKN meliputi istana kepresidenan dan gedung K/L (gedung
eksekutif), gedung kantor legislatif, gedung kantor yudikatif,
markas POLRI, dan markas TNI. Dengan jumlah K/L yang sangat
banyak, pemerintah dapat mempertimbangkan opsi
menggabungkan beberapa K/L ke dalam satu gedung, atau
membangun gedung-gedung K/L di dalam satu kawasan
sebagaimana diterapkan di Sejong, Korea Selatan (World Bank,
2017).
Untuk menunjang pusat pemerintahan yang akan dibangun
ini , terdapat sejumlah sarana dan prasarana yang perlu
disiapkan:
1. Sarana dan Prasarana umum dan pelayanan publik. Sarana
dan prasarana yang dibangun sebaiknya sudah bertaraf
internasional. Pembangunan sarana transportasi masal
seperti halte, terminal, stasiun dan kereta api diperlukan
untuk kelancaran dan kemudahan aktivitas masyarakat
sehari-hari, Pembangunan prasarana dan fasilitas umum
juga diperlukan untuk menunjang seluruh aktivitas, seperti
jaringan jalan, air limbah, persampahan, drainase, air
minum, listrik, telepon, gas, pemadam kebakaran, hingga
sarana penerangan jalan umum. Pembangunan sarana
seperti pendidikan, sarana kesehatan, peribadatan,
perniagaan, rekreasi dan olahraga tentunya juga diperlukan
untuk menunjang kesehatan dan kebutuhan pendidikan.
Sarana pendidikan yang dibangun harus mencakup seluruh
tingkat, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, dan Perguruan
Tinggi, sehingga kebutuhan warga yang dipindahkan dapat
terpenuhi. Sementara itu, pembangunan sarana kesehatan
mencakup rumah sakit dan puskesmas.
2. Perumahan dan Permukiman. Diperkirakan kebutuhan
hunian untuk pegawai negeri sipil sebesar 300.000 unit.
Untuk itu, perlu dibangun tempat tinggal sebanyak jumlah
ini untuk memenuhi kebutuhan pegawai negeri sipil
yang beraktivitas di kota ini maupun bagi para pelaku
ekonomi yang membutuhkan tempat bermukim. Opsi hunian
yang akan dibangun terdiri atas dua jenis, yaitu rumah tapak
dan hunian bertingkat (rumah susun/ apartemen).
3. Taman dan Hutan Kota. Sebagai Ibu Kota baru yang
berkelanjutan dengan ekosistem bertaraf internasional,
dibutuhkan pembangunan sarana pertamanan dan RTH
seperti pedestrian, hutan kota, areal pertanian, hutan
konversi, daerah bantaran sungai, lahan perkebunan (RTH)
oleh sektor publik sebesar 20% dari total lahan terbangun.
Ada pun dalam membangun ibu kota baru, Pemerintah tidak
harus selalu membangun seluruh sarana mulai dari awal. Pihak
Pemerintah dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang telah
ada (existing), terutama apabila biaya yang dibutuhkan tidak
sedikit. Sistem jaringan transportasi seperti pelabuhan dan
bandara merupakan contoh prasarana berbiaya tinggi yang
kebutuhannya perlu dipertimbangkan secara matang. Oleh sebab
itu kedekatan dan akses terhadap sarana dan prasarana umum
yang telah ada sangat penting.
D.5. Desain Sistem Keuangan IKN dan Dampaknya terhadap
Beban Keuangan Negara
D.5.1. Gambaran Umum tentang Keuangan Negara
Uraian tentang sistem keuangan IKN berkaitan pada
perhitungan dan inventarisasi sumber-sumber pendapatan IKN dan
perhitungan tentang belanja IKN -- yang kesemuanya berkaitan
dengan hal-hal yang dapat membebani keuangan negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara mengatur bahwa pendapatan negara adalah semua
penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan
negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar
negeri. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sumber
pendapatan negara berasal dari tiga sektor yaitu: pajak, non pajak
dan hibah. Tiga sumber ini yang jadi sumber penerimaan kas
negara secara umum. Besarnya penerimaan yang diterima negara
ditetapkan oleh Kementerian Keuangan atas persetujuan presiden
yang dibahas bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sumber pendapatan tadi, setelah melalui proses tertentu, akan
kembali lagi pada rakyat dalam bentuk program bantuan atau
pembangunan fasilitas umum.
Sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak
setidaknya mencakup yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan
Bangunan, Pajak Ekspor, Pajak Perdagangan Internasional serta
Bea Masuk dan Cukai. Besaran tarif pajak ini sudah
ditentukan oleh undang–undang perpajakan yang berlaku.
Adapun sumber pendapatan negara dari sektor non-pajak
terdiri dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
pengelolaan sumber daya alam, pinjaman, barang sitaan,
percetakan uang atau sumbangan. Sumber pendapatan negara
yang ketiga adalah hibah. Hibah adalah pemberian yang diberikan
kepada pemerintah namun bukan bersifat pinjaman. Dana bantuan
yang didapat biasanya diperuntukkan bagi pembiayaan
pembangunan. Di samping itu, pendapatan yang berasal dari luar
negeri juga bisa berupa pinjaman program atau pinjaman proyek
dengan jangka waktu tertentu.
A. Peraturan perundang-undangan terkait Bentuk
Pemerintahan Ibu Kota Negara
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Bentuk
Pemerintahan Ibu Kota Negara antara lain:
a. Pasal 18 dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 "UUD NRI Tahun
1945";
b. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
"UU tentang Pemerintahan Daerah";
UUD NRI Tahun 1945
Pasal 18
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu memiliki pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang.** )
2. Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**)
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.** )
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis.**)
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintahan Pusat.**)
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.** )
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam undang-undang.** )
Pasal 18A
1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota,
atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.**)
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.** )
Pasal 18B
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang.**)
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan
masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang.
**)
Berdasarkan ketentuan yang termaktub pada Pasal-Pasal di
dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah UUD NRI Tahun
1945 ini dan berdasarkan pertimbangan strategis
kelembagaan, setidaknya ada 4 pilihan bentuk pemerintahan
yang dapat dipilih, yaitu 1) daerah otonom (baru) berbentuk
provinsi; 2) Kawasan Khusus di dalam Provinsi Kalimantan
Timur; 3) Kawasan Khusus di dalam daerah otonom (baru); 4)
Daerah Khusus Ibu Kota Negara.
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 1:
Daerah Otonom (baru) berbentuk Provinsi
Berdasarkan pasal 18 ayat (1), wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah terbagi habis ke dalam wilayah
Provinsi, Kabupaten, dan Kota dan kesemuanya dikelola oleh
Pemerintahan Daerah. Ayat (6) Pasal yang sama mengatur
bahwa ketiga bentuk pemerintahan ini disematkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Dengan berlandaskan Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan
(6), pilihan bentuk pemerintahan IKN adalah daerah otonom,
baik yang berbentuk provinsi maupun kota. Pasal 18 ayat (4)
mengatur bahwa provinsi dikepalai oleh Gubernur dan untuk
Kota dikepalai oleh Walikota. Berdasarkan Pasal itu pula,
keduanya harus dipilih secara demokratis, baik melalui
pemilihan langsung maupun melalui pemilihan oleh DPRD.1
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 18 ayat (3), pilihan bentuk
pemerintahan IKN berupa daerah otonom Provinsi atau Kota
mengharuskan adanya DPRD, yang mana harus dipilih dalam
pemilihan umum.
Dalam mewujudkan Pilihan ini, secara teknis tentunya harus
diadakan Pembentukan Daerah Baru melalui Pemekaran,
sebagai bagian dari Penataan Daerah, sebagaimana diatur
Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) jo. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2)
oleh UU tentang Pemerintahan Daerah.
Pemekaran daerah dapat dilakukan terhadap Provinsi
Kalimantan Timur yang di dalamnya berkaitan dengan
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser
Utara dengan prosedur teknis sebagaimana yang diatur oleh
Pasal 33 hingga Pasal 43 UU tentang Pemerintahan Daerah.
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 2:
Kawasan Khusus di Dalam Provinsi Kalimantan Timur
Pasal 360 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah
mengatur bahwa Pemerintah Pusat dapat membentuk
Kawasan Khusus, yang dalam konteks Naskah Akademik ini,
Kawasan Khusus Ibu Kota Negara di dalam Provinsi exsiting,
Kalimantan Timur. Menurut Pasal 1 angka 42 UndangUndang a quo, Kawasan Khusus adalah bagian wilayah dalam
Daerah provinsi dan/atau Daerah kabupaten/kota yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus
bagi kepentingan nasional yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Adapun pembentukan Kawasan khusus ini harus didasarkan
pada urusan pemerintahan tertentu. Berdasarkan Pasal 360
ayat (1) yang mengatur bahwa “Untuk menyelenggarakan
fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis bagi
kepentingan nasional, Pemerintah Pusat dapat menetapkan
kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau
kabupaten/kota.”
Sementara itu, Kawasan Khusus yang dibentuk harus
meliputi beberapa macam Kawasan Khusus menurut Pasal
360 ayat (2), yaitu:
a. kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas;
b. kawasan hutan lindung;
c. kawasan hutan konservasi;
d. kawasan taman laut;
e. kawasan buru;
f. kawasan ekonomi khusus;
g. kawasan berikat;
h. kawasan angkatan perang;
i. kawasan industri;
j. kawasan purbakala;
k. kawasan cagar alam;
l. kawasan cagar budaya;
m. kawasan otorita; dan
n. kawasan untuk kepentingan nasional lainnya yang
diatur dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Dalam konteks RUU IKN ini, Kawasan Khusus yang akan
dibentuk diperuntukkan untuk kepentingan nasional lainnya
sebagaimana yang disebut pada huruf n. Dengan demikian,
maka Kawasan khusus ini, sebab merupakan wilayah pusat,
maka menjadi wilayah administratif. Undang-Undang ini
mendefinisikan Wilayah Administratif sebagai “wilayah kerja
perangkat Pemerintah Pusat termasuk gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di
Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kota
dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum di
Daerah.”
Sebagai wilayah administratif, maka Kawasan khusus IKN
dikelilingi daerah otonom, yaitu daerah otonom Kabupaten
Kutai Kartanegara dan daerah otonom Kabupaten Penajam
Paser Utara serta daerah otonom Provinsi Kalimantan Timur.
Dengan kondisi ini , maka pilihan bentuk pemerintahan
berupa wilayah administratif berkonsekuensi pada harus
jelasnya pembagian urusan antara wilayah administratif pada
Kawasan khusus IKN dengan daerah-daerah otonom a quo.
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 3:
Kombinasi antara Pembentukan Daerah Otonom Provinsi
(Baru) dan Kawasan Khusus
Pilihan ketiga adalah membentuk daerah otonom Provinsi
berdasarkan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan ditetapkan
menjadi IKN, lalu di dalam Provinsi IKN ini dibentuk
Kawasan Khusus Pusat Pemerintahan. Seluruh kegiatan dan
fungsi IKN dilaksanakan di Kawasan Khusus ini yang
diatur secara khusus di dalam RUU IKN.
Perbedaan dengan Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 3 adalah
dalam Pilihan ini, penataan ruang Kawasan Khusus tunduk
pada penataan ruang Provinsi IKN, bukan Provinsi
Kalimantan Timur. Dengan demikian, kegiatan perencanaan
dapat lebih mudah dilakukan sebab segalanya dimulai dari
awal dan tanpa variabel-variabel yang berpotensi
menghambat pembangunan.
Langkah pertama adalah pembentukan Provinsi baru
sebagaimana yang sudah diuraikan secara teknis dalam
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 1 di atas. Langkah kedua
adalah menetapkan Provinsi baru ini sebagai IKN
melalui RUU IKN. Setelah itu, Ketiga, Pemerintah Pusat
membentuk Kawasan Khusus Pusat Pemerintahan di dalam
wilayah Provinsi IKN ini yang diatur khusus di dalam
RUU IKN. Kawasan Khusus ini menjadi inti dari IKN dan
pusat segala kegiatan penyelenggaraan negara di IKN.
Langkah pertama dan kedua dapat digabungkan ke dalam
satu RUU, yaitu RUU IKN, mengingat efisiensi penyusunan
Undang-Undang dan Pasal 43 ayat (3) UU tentang
Pemerintahan Daerah tidak menyebut secara spesifik bahwa
UU Pembentukan Daerah baru harus berdiri sendiri.
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 4:
Daerah Khusus Ibu Kota Negara
Pasal 18B di atas memberi peluang untuk mengatur bentuk
dan susunan pemerintahan IKN menjadi lebih eksklusif dan
dapat diatur secara leluasa berdasarkan Undang-Undang,
berdasarkan kekhususan dan keistimewaan daerah ini .
Pasal 18B ini menjadi dasar untuk mengatur daerah di luar
dari yang diatur Pasal 18 sebagaimana diuraikan di atas,
contohnya Daerah Istimewa Yogyakarta.
RUU IKN dapat mengatur Daerah Khusus Ibu Kota Negara
secara leluasa perihal 1) pemilihan kepala daerah yang tidak
harus melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui
pemilihan oleh DPRD, melainkan dapat diatur bahwa kepala
daerah ditunjuk oleh Presiden; 2) keberadaan DPRD yang bisa
diatur untuk ditiadakan; hingga pengaturan pemerintahan
daerah lain yang dikecualikan dari berbagai peraturan
perundang-undangan.
Bentuk pemerintahan seperti ini memang leluasa, namun
membutuhkan pengaturan yang detail sebab membuat
sistem baru. Di tambah lagi, perlu penelaahan lebih lanjut
mengenai "kekhususan" yang dimaksud pasal 18B
mengingat, berdasarkan diskusi di kalangan ahli hukum dan
pemerintahan selama penyusunan Naskah Akademik ini,
masih ada perbedaan penafsiran tentang hal itu untuk bisa
dijadikan dasar pembentukan daerah khusus IKN.
Sejarah pasal 18B ayat (1) ini muncul dalam Panitia Ad Hoc
III perubahan UUD 1945 pada tahun 2000. Di dalam risalah
rapat perubahan UUD 1945 ini (Tim Penyusun Naskah
Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2008),
di dapati bahwa istilah daerah istimewa dan daerah khusus
muncul dalam perdebatan mengenai perubahan pasal 18
yang saat ini menjadi pasal 18 ayat (1) hingga ayat (7),
khususnya yang terkait dengan penetapan kepala daerah
tanpa melalui pemilihan secara demokratis (sebagai
pengecualian untuk keistimewaan Yogyakarta).
Selanjutnya Pasal 18B ayat (1) ini juga membahas tentang
kekhususan Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan Papua.
Dengan status khusus ini , maka bentuk dan susunan
pemerintahan daerah dari "satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus" dapat mengatur tersendiri di
luar dari ketentuan Pasal 18 (hasil perubahan). Yang menjadi
contoh untuk perdebatan di dalam PAH III adalah
ditiadakannya pemerintahan daerah otonom kota dan
kabupaten di dalam Provinsi DKI Jakarta.
Dengan demikian, berdasarkan original intent dari perumus
Pasal 18 B ayat (1), perumusan bentuk dan susunan
pemerintahan di IKN ke depan dapat berlandaskan pada
Pasal 18B ayat (1) sebagai sebuah "satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus" sehingga dalam RUU IKN dapat
mengatur beberapa hal secara distingtif dan eksklusif, seperti
ketiadaan DPRD, Kepala Daerah Khusus IKN yang ditunjuk
oleh Presiden (tidak ada pemilihan DPRD maupun langsung),
dan seterusnya.
RUU IKN akan mengadopsi pilihan ke 4 ini sebagai pilihan
yang diharapkan dapat membuka ruang gerak inovasi
pemerintahan IKN sekaligus tetap konstitusional.
Sehubungan dengan konstitusionalitas pilihan bentuk
pemerintahan ke 4 ini berdasarkan Pasal 18B ayat (1),
sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menjadi
rujukan.
MK menafsirkan bahwa ada kriteria berbeda dalam
menentukan keistimewaan dan kekhususan suatu daerah.
Keistimewaan suatu daerah ditentukan oleh sejauh mana
daerah ini memiliki hak asal usul dan kesejarahan
tertentu sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Di sisi lain, kekhususan suatu daerah ditentukan
oleh sejauh mana daerah ini memiliki “kenyataan dan
kebutuhan politik yang sebab posisi dan keadaannya
mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang
tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.” Pendapat MK
ini secara gamblang menjelaskan bahwa status khusus dapat
diberikan kepada suatu daerah tanpa ada latar belakang
kesejarahan tertentu. Kata kuncinya adalah “kenyataan dan
kebutuhan politik” dan posisi/keadaannya pada masa
sekarang. Hal sebagaimana yang dikemukakan MK pada
halaman 39 Putusan MK No. 81/2010:
Menurut Mahkamah, penetapan nama suatu daerah menjadi daerah
istimewa atau daerah khusus haruslah dengan kriteria yang berbeda.
Suatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan
daerah ini terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah
ini sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika
kekhususan itu terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang
sebab posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan
status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.
Lebih lanjut, MK menafsirkan bahwa jenis dan ruang lingkup
kekhususan harus didasarkan pada “latar belakang
pembentukan kebutuhan nyata.” Berdasarkan latar belakang
dan kebutuhan ini , oleh karenanya suatu daerah dapat
diberi kekhususan yang sifatnya “fleksibel sesuai dengan
kebutuhan nyata.” Putusan MK ini jelas memberi ruang
pengaturan yang luas bagi Undang-Undang yang mengatur
tentang daerah khusus di Indonesia. Terlebih lagi jika daerah
khusus itu berstatus sebagai Ibu Kota Negara sebab latar
belakang munculnya kata khusus pada Pasal 18B UUD 1945
tidak lain adalah sebab pembahasan tentang Daerah
Khusus Ibukota (Lihat Risalah Rapat Perumusan Perubahan
Pasal 18 UUD 1945 pada Naskah Komprehensif Perubahan
UUD 1945 Buku IV Jilid 2, halaman 1184, 1368, 1377)
Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jenis dan ruang lingkup
kekhususan dan keistimewaan daerah khusus serta daerah istimewa
yang ditetapkan dengan Undang-Undang sangat terkait dengan: a) hak
asal usul yang melekat pada daerah yang telah diakui dan tetap hidup;
dan b) latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata diperlukannya
kekhususan atau keistimewaan dari daerah yang bersangkutan sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memperhatikan
dua kriteria ini , menurut Mahkamah hak asal usul dan sejarah
adalah hak yang harus tetap diakui, dijamin dan tidak dapat diabaikan
dalam menetapkan jenis dan ruang lingkup keistimewaan suatu daerah
dalam Undang-Undang. Adapun jenis dan ruang lingkup kekhususan
yang didasarkan pada latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata
yang mengharuskan diberikan kekhususan kepada suatu daerah adalah
bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan nyata diberikannya
kekhususan bagi daerah yang bersangkutan.
Kalimat “bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan nyata” di
dalam halaman 39 Putusan MK No. 81/2010 di atas
mengindikasikan bahwa bahwa pada prinsipnya pengaturan
tentang daerah khusus di dalam Undang-Undang diberi
keleluasaan untuk menentukan materi muatan sepanjang
dapat dibuktikan bahwa kebutuhannya nyata.
Bagaimana hubungannya dengan Pasal 18 UUD 1945? Pada
halaman 93 Putusan MK 11/2008, MK mengemukakan:
Bahwa di samping itu, Mahkamah penting juga menegaskan hubungan
antara Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, apakah
hubungan antara norma pokok dan norma tambahan atau hubungan
antara lex generalis dan lex specialis atau hubungan antara dua norma
konstitusi yang setara. Alternatif pertama adalah Pasal 18 ayat (1) berisi
norma pokok yang berlaku umum, sedangkan Pasal 18B ayat (1) berisi
norma tambahan yang tidak boleh menyimpangi dan menyampingkan
norma pokok. Artinya, penerapan Pasal 18B ayat (1) sebagaimana
tercermin dalam UU 32/2004 dan UU 29/2007 tidak boleh menyimpangi
dan menyampingkan berlakunya Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 dalam
susunan pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai provinsi.
Alternatif kedua adalah Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dianggap
merupakan lex specialis, sehingga penerapan Pasal 18B ayat (1) ini
dalam hal-hal tertentu dapat menyimpangi dan menyampingkan Pasal 18
ayat (1). Artinya, pengaturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta boleh
berbeda dari otonomi daerah provinsi lain. Sedangkan alternatif ketiga
adalah keduanya dianggap setara, dalam arti sama-sama berlaku secara
mandiri, sehingga penerapan Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1)
masing-masing dapat berlaku secara mandiri dan tidak berada dalam
posisi yang dapat dipertentangkan. Artinya, pengaturan mengenai Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dapat sepenuhnya didasarkan pada Pasal 18B
ayat (1) tanpa mengurangi berlakunya Pasal 18 ayat (1) untuk provinsi
lain yang tidak berstatus khusus atau istimewa. Dari ketiga alternatif
hubungan norma konstitusi dalam Pasal 18 dengan norma konstitusi
dalam Pasal 18B UUD 1945, menurut Mahkamah, keduanya berada
dalam hubungan yang setara dan tidak saling membawahi. Pilihan
terhadap alternatif ketiga ini, menurut Mahkamah, dipandang lebih tepat
setidaknya sebab dua hal. Pertama, dilihat dari perspektif original intent
dalam pengertian ketika rumusan Pasal 18B UUD 1945 diperdebatkan
dalam sidang-sidang Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat, kekhususan yang dimaksud dalam Pasal 18B
ayat (1) memang merujuk pada status Jakarta sebagai daerah khusus
sebab kedudukannya sebagai ibukota negara, sehingga dapat diberi
status provinsi. Kedua, pemberian status provinsi oleh undang-undang
kepada Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang memicu nya seolaholah harus tunduk pada ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945,
sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein seperti
tercermin dalam alternatif kedua di atas, meskipun benar secara historis
berdasarkan praktik pengertian daerah (gewest) di masa lalu, namun
kekhususan yang terdapat dalam pasal ini dimaksudkan pula untuk
menampung dinamika perkembangan kebutuhan di masa depan yang
memerlukan penentuan status khusus bagi daerah-daerah tertentu. Lagi
pula, kedudukan kedua pasal ini [Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18B
ayat (1) UUD 1945] dari perspektif teori Verfassungsbegriff Carl Schmitt,
dalam makna absolut (absolute sense of the constitution, absoluut begriff
der verfassung), undang-undang dasar merupakan suatu sistem tertutup
(closed system of higher and ultimate norms), sehingga setiap pasal
undang-undang dasar bersifat otonom sebagai norma-normarum (norm
of norms) [vide Carl Schmitt, Verfassungslehre, 1928/Constitutional
Theory, 2008:62].
Berdasarkan uraian Putusan MK ini , MK berpandangan
bahwa Pasal 18B (termasuk pula Pasal 18A) bukan
merupakan pengecualian dari Pasal 18. Artinya, norma yang
diatur pada Pasal 18B ayat (1) bersifat independen dan tidak
berkaitan dengan Pasal 18. Dengan demikian, pengaturan
suatu daerah khusus di dalam Undang-Undang yang
mendasarkan pada Pasal 18B ayat (1), tidak perlu terikat
pada Pasal 18.
Bagaimana peluang uji materi terkait Pasal 18 ayat (1)?
Halaman 26 Putusan MK No. 37 Tahun 2016 menjawab
pertanyaan ini sebagai berikut:
Sementara itu, berkenaan dengan Pasal 18B ayat (1), persoalan
konstitusional yang mungkin timbul dalam konteks pengujian UndangUndang adalah jika suatu daerah sebagai satuan pemerintahan
menganggap suatu Undang-Undang tidak mengakui dan menghormati
kekhususan atau keistimewaan daerahnya, sehingga yang memiliki
kedudukan hukum untuk menguji Undang-Undang demikian adalah
suatu pemerintahan atau satuan pemerintahan daerah, bukan
perseorangan warga negara.
Berdasarkan uraian sebelumnya, bentuk pemerintahan yang
paling tepat untuk IKN adalah Daerah Khusus Ibu Kota
Negara dengan pertimbangan bahwa Pasal 18B ayat (1)
memberi ruang fleksibilitas untuk membentuk satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus sehingga dapat
menampung visi dan misi kelembagaan IKN yang sesuai
dengan cost and benefit analysis atas format kelembagaan
sebagaimana diuraikan pada Bab II. Dengan demikian bentuk
pemerintahan IKN tidak hanya tepat hitung-hitungannya,
namun juga konstitusional.
B. Peraturan perundang-undangan terkait Tata Ruang,
Infrastruktur, dan Lingkungan Hidup Ibu Kota Negara
Peraturan perundang-undangan yang dianalisis pada bagian
ini yaitu UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang ini adalah undang-undang pokok yang
mengatur tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
yang selanjutnya diterjemahkan sebagai rencana tata ruang
pada level Provinsi, kabupaten, dan Kota.
Pasal 5 ayat 5 Undang-Undang ini berkaitan dengan dasar
perencanaan Ibu Kota Negara yang terintegrasi sebagai
Kawasan Strategis Naisonal. Pasal ini mengatur bahwa
“Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri
atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan
ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang
kawasan strategis kabupaten/kota.”
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang ini juga mengatur bahwa
Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis nasional meliputi:
a. Penetapan kawasan strategis nasional;
b. Perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional;
c. Pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan
d. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis
nasional.
Dengan demikian, seiring dengan perencanaan
pembangunan IKN, perlu disusun dasar hukum bagi
penentuan Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara,
sebab dalam Pasal 8 ayat (4) membuka kemungkinan bagi
pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang
pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional dan
pengendalian pemanfaatan kawasan strategis nasional
melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan, yang
mana dekonsentrasi dapat diberikan kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sedangkan tugas
pembantuan dapat diberikan kepada gubernur dan
bupati/walikota untuk penyelenggaraan pemanfaatan dan
pengendalian aspek nilai yang tidak strategis yang menjadi
dasar penetapan Kawasan strategis nasional, sehingga
pengaturan yang disasar dalam rancangan undang-undang
tentang IKN adalah bersifat khusus dari ketentuan Pasal 8
ayat 4 ini.
Pengaturan mengenai penetapan kawasan strategis nasional
lebih lanjut diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
yang diubah terakhir oleh Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 2017. Pasal 75 mengatur bahwa penetapan kawasan
strategis nasional dilakukan berdasarkan kepentingan:
a. Pertahanan dan keamanan;
b. Pertubuhan ekonomi;
c. Sosial dan budaya;
d. Pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi
tinggi; dan/atau
e. Fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Untuk penetapan, Pasal 82 ayat (2) jo. Ayat (3) memberikan
keleluasan kepada pemerintah pusat untuk menetapkan
kawasan strategis nasional selain yang sudah ditetapkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
dengan instrumen hukum Peraturan Presiden. Jadi,
pemerintah memiliki kecepatan yang lebih baik dalam hal
penetapan kawasan strategis nasional yang hanya dalam
bentuk instrumen Peraturan Presiden.
Dalam konteks pengaturan tata ruang, berdasarkan
argumentasi-argumentasi di atas, maka wewenang
pemerintah pusat dalam pelaksanaan tata ruang dilakukan
dengan pemberian wewenang kepada Otorita Ibu Kota Negara
sebagai lembaga setingkat kementerian yang secara hukum
berada di bawah pemerintah pusat dengan dasar hukum
bahwa Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang mana negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang, yang mana saat ini dengan dibentuknya
rancangan-undang-undang mengenai Ibu Kota Negara maka
Otorita Ibu Kota Negara memiliki wewenang untuk mengatur
perencanaan pengaturan mengenai tata ruang di wilayah Ibu
Kota Negara.
PP No.68 Tahun 2014 tentang Penataan Wilayah
Petahanan Negara.
Pengaturan tata ruang yang sifatnya holistik dan menjadi
acuan utama dalam pelaksanaan kegiatan dalam sebuah
negara membuat aspek-aspek lainnya yang bersifat vital juga
perlu diperhatikan untuk memastikan obyek-obyek penting
dari negara tetap betahan dan tidak musnah dari faktorfaktor serangan dari negara lain. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara bahwa wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dapat dimanfaatkan untuk pembinaan
kemampuan pertahanan dengan mempertahikan hak
masyarakat dan peraturan perundang-undangan serta
wilayah yang digunakan sebagai instalasi militer dan latihan
militer yang strategis dan permanan ditetapkan dengan
instrumen hukum peraturan pemerintah, maka penataan
ruang wilayah pertahanan perlu diatur untuk menetapkan
arah pelaksanaan penataan ruang wilayah pertahanan.
Penetapan wilayah pertahanan mutlak merupakan wewenang
pemerintah pusat dengan tercemin di Pasal 7 yang
mengatakan bahwa wilayah pertahanan yang tercakup pada
pangkalan militer atau kesatrian, daerah latihan militer, dan
instalasi militer merupakan lampiran yang tidak terpisah dari
peraturan pemerintah, sementara unutk wilayah pertahanan
yang mencakup:
a. Daerah uji coba peralatan dan persenjataan militer;
b. Daerah penyimpanan barang eksplosif dan berbahaya
lainnya;
c. Daerah disposal amunisi dan peralatan pertahanan
berbahaya lainnya;
d. Obyek vital nasional yang bersifat strategis; dan/atau
e. Kepentingan pertahanan udara.
Ditetapkan dengan keputusan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertahanan.
Harmonisasi rencanan penetapan wilayah pertahanan
dengan instrumen perencanaan tata ruang lainnya juga
sangat penting, hal ini diatur juga pada Pasal 10 ayat (1)
huruf d yang menyatakan bahwa dalam penyusunan
rencana tata ruang kawasan strategis nasional dari sudut
kepentingan pertahanan dan keamanan wajib:
a. Mengacu pada:
i. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
ii. Rencana Wilayah Pertahanan (RWP);
iii. Kebijakan umum pertahanan negara;
iv. Kebijakan penyelenggaraan pertahanan
negara; dan
v. Pedoman dan petunjuk pelaksanaan
bidang penataan ruang dan
pertahanan.
b. Memperhatikan:
i. Rencana Tata Ruang Pulau datau
Kepulauan;
ii. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah
Kebupaten/Kota setempat;
iii. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional; dan
iv. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang ini harus dijadikan acuan dalam
penyusunan Rencana Induk Penataan Ruang dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi dasar bagi
keseluruhan pengelolaan lingkungan hidup di IKN. Hal ini
terakomodasi dalam Pasal 14 yang mengatur bahwa
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup salah satunya adalah tata ruang. Di
samping itu, pada Psal 15 ayat (2) jo. Pasal 19 mengatur
bahwa dalam penyusunan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS), pemerintah pusat dan pemerintah daerah
wajib mengintegrasikan KLHS ke dalam rencana tata ruang
wilayah beserta rencana rincinya.
Dalam ketentuan peraturan ini, salah satu instrument
perwujudan pencegahan yang berkaitan erat dengan tata
ruang adalah Analisis Mengenail Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL). Pasal 1 mendefinisikan AMDAL sebagai:
“kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Pasal 22 ayat (2) menjabarkan dampak penting berdasarkan
kriteria:
a. Bsearnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak
rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. Luas wilayah penyebaran dampak;
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak;
e. Sifat kumulatif dampak;
f. Berbalik atau tidak berbalik dampak; dan/atau
g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 31 lenjut lanjut menegaskan bahwa penyusunan
AMDAL ini menjadi acuan bagi pemerintah untuk
menentukan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup, dalam hal ini diperlukan pengaturan
khusus bahwa Otorita Ibu Kota Negara, dalam rangka
perlindungan lingkungan hidup, mendasarkan keputusan
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup atas
AMDAL yang sudah disusun oleh pemrakarsa dan Rencana
Induk Pembangunan Ibu Kota Negara yang disusun.
PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan
yang telah diubah terakhir oleh PP No. 3 Tahun 2008
Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa konsep tata
hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan
hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang
lebih optimal dan lestari serta tata hutan secara lebih rinci
diatur dengan peraturan pemerintah, serta Pasal 66 yang
menyatakan bahwa pemerintah pusat dapat menyerahkan
sebagian kewenangan yang bersifat operasional kepada
pemerintah daerah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah, maka perlu untuk dilihat bagaimana konsep tata
hutan dalam tingkatan peraturan pemerintah yang
berhubungan dengan konsep perlindungan lingkungan
hidup.
Pasal 3 ayat (1) menjabarkan mengenai wewenang
pemerintah pusat terhadap tata hutan dan penyusunan
pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di seluruh
kawasan hutan. Hal ini jelas behubungan dengan
perlindungan hutan sebagai kawasan penunjang lingkungan
hidup. Ayat (2) menjelaskan 3 (tiga) fungsi pokok hutan,
yakni:
a. Hutan konservasi;
b. Hutan lindung; dan
c. Hutan produksi.
Ayat (3) menjelaskan bahwa hutan-hutan di atas dibagi dalam
Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH), yang menjadi bagian dari
penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah
provisni dan pemerintah kabupaten/kota.
Di samping pemerintah pusat, Pasal 4 ayat (1) menjelaskan
bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang
kehutanan dapat pula melakukan penyelenggaraan
pengelolaan hutan berdasarkan pelimpahan dari pemerintah
pusat. Pelimpahan ini memampukan direksi BUMN
untuk membentuk organisasi KPH dan menujuk kepala KPH,
namun pada ayat (3) memberikan pembatasan kepada BUMN
untuk tidak melakukan penyelenggaraan pengelolaan hutan
yang merupakan kewenangan publik, yakni:
a. Penunjukan dan penetapan kawasan hutan;
b. Pengukuhan kawasan hutan;
c. Pinjam pakai kawasan hutan;
d. Tukar menukar kawasan hutan;
e. Perubahan status dan fungsi kawasan hutan;
f. Proses dan pembuatan berita acara tukar
menukar, pinjam pakai kawasan hutan;
g. Pemberian izin pemanfaatan hutan kepada pihak
ketiga atas pengelolaan hutan yang ada di
wilayah kerjanya;
h. Kegiatan yang berkaitan dengan penyidik
pegawai negeri sipil kehutanan.
Hal ini penting untuk dibatasi untuk menegakkan wewenang
pemerintah pusat sebagai otoritas utama dalam perlindungan
fungsi hutan bagi lingkungan hidup, termasuk dalam setiap
keputusan-keputusan penting yang dapat mempengaruhi
fungsi hutan itu sendiri bagi lingkungan hidup sebagaimana
disebutkan pada poin (a) sampai dengan poin (h) di atas.
Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang
Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan
Peraturan ini adalah penjabaran lebih sepsifik mengenai
penataan ruang Pulau Kalimantan secara holistik yang
didasarkan pada Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berbunyi:
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
h. Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata
ruang Kawasan strategis nasional;
i. Rencana tata ruang Kawasan strategis provinsi; dan
j. Rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan trencana
tata ruang Kawasan strategis kabupaten/kota.
Pemerintah pusat sendiri sudah merencanakan bahwa Pulau
Kalimantan memiliki visi penataan ruang yang berorientasi
kepada kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal itu
tercermin pada Pasal 6 ayat (1) yang mecanangkan
pelestarian Kawasan berfungsi lindung dan bervegetasi hutan
tropis basah paling sedikit 45% (empat puluh lima persen)
dari luas Pulau Kalimantan sebagai paru-pari dunia.
Di samping itu, perencanaan Pulau Kalimantan sendiri juga
berorientasi pada:
a. Perwujudan kemandirian energi dan lumbung energi
ketenaglistrikan yang berorientasi pada pengembangan
energi baru dan terbarukan serta interkoneksi
jariangan transmisi listrik (Pasal 7 ayat (1)).
b. Perwujudan pusat pertambangan mineral, batubara,
serta minyak dan gas bumi dengan pengembangan
Kawasan perkotaan nasional sebagai pusat industri
pengolahan dan industri jasa hasil pertambangan
mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi dan
pengembangan Kawasan pertambangan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tamping
lingkungan hidup (Pasal 8 ayat (1)).
c. Perwujudan pusat perkebunan kelapa sawit, karet, dan
hasil hutan berkelanjutan denga memperhatikan
prinsip pembangunan berkelanjutan dan
pengembangan Kawasan perkotaan nasional sebagai
pusat industri pengolahan dan industri jasa hasil
pekebunan kelapa sawit, karet, dan hasil hutan (Pasal
9 ayat (1)).
d. Perwujudan Kawasan perbatasan negara dengan
mempehatikan keharmonisan aspek kedaulatan,
pertahanan dan keamanan negara, kesejahteraan
masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup (Pasal
10 ayat (1)).
Orientasi-orientasi kebijakan Pulau Kalimantan yang terkait
dengan unsur-unsur yang tidak terlepas dari fungsi dan
tujuan dari IKN sebagai pusat pemerintahan dan demi
mencapai pemerataan ekonomi pembangunan dapat
didukung dengan pengaturan kebijakan penataan ruang dan
secara umum diatur dalam rancangan undang-undang
tentang IKN dan penetapannya sebagai Kawasan strategis
nasional dengan instrument peraturan presiden.
C. Peraturan perundang-undangan terkait Keuangan IKN dan
Kerjasama
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara mengatur tentang sumber-sumber penerimaan untuk
pendanaan pembangunan bagi Pemerintah Pusat. Pendanaan
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(“APBN”) proses dan ketentuan pelaksanaannya didasarkan
pada peraturan ini. Pasal 11 menguraikan bahwa APBN
merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang
ditetapkan tiap tahun dengan dasar undang-undang,
sehingga dengan demikian untuk dapat dilakukannya
pendanaan terhadap suatu pembangunan berdasarkan APBN
harus ditetapkannya instrumen undang-undang.
Pasal 12 menjelaskan bahwa APBN disusun dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dengan
berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Sehingga
diperlukan justifikasi yang kuat bahwa pendanaan
pemindahan ibukota oleh APBN mendukung kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan rencana kerja
pemerintah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara mengatur dengan jelas proses penyusunan dan
penetapan APBN. Prosesnya dimulai, berdasarkan Pasal 13
sampai dengan Pasal 15, dengan Pemerintah Pusat
menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka
ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (“DPR”) paling lambat pertengahan bulan
Mei pada tahun berjalan. Lalu Pemerintah Pusat dan DPR
membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok
kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam
pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran
berikutnya yang mana berdasarkan kerangka ekonomi makro
dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama
DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran
untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian
negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. Dalam
hal penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan
lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang
menyusun rencana kerja dan anggaran
kementerian/lembaga tahun berikutnya. Rencana kerja dan
anggaran ini disampaikan kepada DPR untuk dibahas
dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN yang hasil
pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan
kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan
rancangan undang-undang tetang APBN tahun berikutnya.
Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-Undang
tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumendokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus
tahun sebelumnya. DPR dapat mengajukan usul yang
memicuperubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran dalam Rancangan Undang-Undang tentang
APBN, sepanjang perubahan ini tidak memicu
peningkatan defisit anggaran. Pengambilan keputusan oleh
DPR mengenai Rancangan Undang-Undang tentang APBN
dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Berdasarkan
Pasal 26, apabila Rancangan Undang-Undang tentang APBN
sudah disetujui dan ditetapkan dengan undang-undang,
maka pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
Pengelolaan Barang Milik Negara menjadi salah satu satu
sumber pembiayaan dari pemindahan IKN. Pasal 1 angka 10
mendefisiniskan barang milik negara sebagai Barang Milik
Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Berdasarkan Pasal 42 Menteri Keuangan mengatur
pengelolaan barang milik negara. Pasal 45 mengatur
pemindahtanganan barang milik negara. Barang milik negara
yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara tidak dapat dipindahtangankan. Pemindahtanganan
barang milik negara dilakukan dengan cara dijual,
dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal
Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR.
Berdasarkan Pasal 46, persetujuan DPR dilakukan untuk:
a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan
yang:
1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau
penataan kota;
2) harus dihapuskan sebab anggaran untuk bangunan
pengganti sudah disediakan dalam dokumen
pelaksanaan anggaran;
3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang
jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak
secara ekonomis.
c. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah
dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Sementara pemindahtanganan barang milik negara selain
tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan
Rp100.000.000.000,00 dilakukan setelah mendapat
persetujuan Presiden.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 3 ayat (2) mengatur Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah meliputi:
a. Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;
b. pengadaan;
c. Penggunaan;
d. Pemanfaatan;
e. pengamanan dan pemeliharaan;
f. Penilaian;
g. Pemindahtanganan;
h. Pemusnahan;
i. Penghapusan;
j. Penatausahaan; dan
k. pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Konsep pengaturan BMN dalam peraturan ini dari sudut
pandang subyek atas BMN dibagi menjadi:
a. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan
betanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman
serta melakukan pengelolaan BMN/Barang Milik Daerah.
b. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan
penggunaan BMN/Barang Milik Daerah.
Untuk memaksimalkan pemanfaatan BMN, maka dikenalkan
konsep-konsep berikut (Pasal 27): Sewa; Pinjam Pakai; Kerja
Sama Pemanfaatan; Bangun Guna Serah atau Bangun Serah
Guna atau Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.
a. Sewa
Sewa atas BMN dilaksanakan terhadap (Pasal 28 ayat (1)):
1) BMN yang berada pada Pengelola Barang, yang mana
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) yang dimaksud dengan
Pengelola Barang adalah Menkeu.
2) BMN yang berada pada Pengguna Barang, yang mana
berdasarkan Pasal 6 ayat (1) yang dimaksud dengan
Pengguna Barang adalah Menteri/Pimpinan Lembaga
selaku pimpinan Kementerian/Lembaga.
Pasal 29 mengatur bahwa BMN dapat disewakan kepada
pihak lain dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
dan dapat diperpanjang untuk:
1) Kerja sama infrastruktur;
2) Kegiatan dengan karkteristik usaha yang memerlukan
waktu lebih dari 5 (lima) tahun; atau
3) Ditentukan lain dalam Undang-undang.
Sewa dikenakan formula tarif/besaran sewa, yang
ditentukan oleh pengelola barang datau pengguna barang.
Hasil sewa BMN merupakan penerimaan negara sehingga
seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum
negara.
b. Kerja Sama Pemanfaatan
Pasal 31 mengatur bahwa kerja sama pemanfaatan BMN
dilaksanakan dalam rangka:
a. Mengoptimalkan daya guna dan hasil guna
BMN/Barang Milik Daerah; dan/atau
b. Meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.
Pasal 33 membatasi pelaksanaan kerja sama pemanfaatan
atas BMN yang hasur dilaksanakn dengan ketentuan:
1) Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam
APBN untuk memenuhi biaya operasional,
pemeliharaan, dan/atau perbaikan yang diperlukan
terhadap BMN ini ;
2) Mitra kerja sama pemanfaatan ditetapkan melalui
tender, kecuali untuk BMN yang bersifat khusus dapat
dilakukan penunjukan langsung;
3) Penunjukan langsung mitra kerja sama pemanfaatan
atas BMN yang bersifat khusus sebagaimana
dimaksud di atas dilakukan oleh Pengguna Barang
terhadap Badan Usaha Milik Negara yang memiliki
bidang dan/atau wilayah kerja tertentu sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
4) Mitra kerja sama pemanfaatan harus membayar
kontribusi tetap setiap tahun selama jangka waktu
pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian
keuntungan hasil kerja sama pemanfaatan ke
renening kas umum negara;
5) Besaran pembayaran kontribusi teatap da pembagian
keuntungan hasil kerja sama pemanfaatan ditetapkan
dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh:
a) Pengelola Barang, untuk BMN pada Pengelola
Barang dan BMN berupa tanah dan/atau
bangunan serta sebagian tanah dan/atau
bangunan yang berada pada Pengguna Barang;
b) Pengguna Barang dan dapat melibatkan
Pengelola Barang, untuk BMN selain tanah
dan/atau bangunan yang berada pada Pengguna
Barang.
6) Besaran pembayaran kontribusi tetap dan
pembagian/keuntungan hasil kerja sama
pemnafaatan harus mendapat persetujuan Pengelola
Barang;
7) Dalam kerja sama pemanfaatan BMN berupa tanah
dan/atau bangunan, sebagian kontribusi tetap dan
pembagian keuntungannya dapat berupa bangunan
beserta fasilitasnya yang dibangun dalam satu
kesatuan perencanaan namun tidak termasuk sebagai
objek kerja sama pemanfaatan;
8) Besaran nilai bangunan beserta fasilitasnya sebagai
bagian dari kontribusi tetap dan kontribusi pembagian
keuntungan sebagaimana dimaksud di atas paling
banya 10% (sepuluh persen) dari total penerimaan
kontribusi tetap dan pembagian keuntungan selama
masa kerja sama pemanfaatan, namun dalam hal
mitra kerja sama pemanfaatan atas BMN untuk
penyediaan infrastruktur berbentuk Badan Usaha
Milik Negara/Daerah, kontribusi tetap dan pembagian
keuntungan dapat ditetapkan paling tinggi 70% (tujuh
puluh persen) dari hasil perhitiungan tim yang
besarannya ditetapkan oleh Menkau atau pejabat yang
ditunjuk oleh Menkeu (ayat (5) j.o. ayat (6));
9) Bangunan yang dibangun dengan biaya sebagian
kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dari awal
pengadaannya merupakan BMN;
10) Selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerja sama
pemanfaatan dilarang menjaminkan atau
menggadaikan BMN yang menjadi objek kerja sama
pemanfaatan; dan
11) Jangka waktu kerja sama pemanfaatan paling lama
30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani
dan dapat diperpanjang, kecuali untuk kerja sama
pemanfaatan atas BMN untuk penyediaan
infrastruktur adalah paling lama 50 (lima puluh)
tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat
diperpanjang.
c. Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna
Model kerja sama ini dilakukan dengan pertimbangan
(Pasal 34 ayat (1)):
a. Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas
bagi penyelenggaraan pemerintahan negara untuk
kepentingan pelayanan umum dalam rangka
penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan
b. Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam
APBN untuk penyediaan bangunan dan fasilitas
ini .
Jangka waktu Bangun Guna Serah atau Bangun Serah
Guna paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian
ditandatangani (Pasal 36 ayat (1)) yang mana
penetapannya dilakukan dengan tender. (Pasal 36 ayat
(2)).
Mitra Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna yang
telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian
(Pasal 36 ayat (3):
1) Wajib membayar kontribusi ke rekening kas umum
negara setiap tahun, yang besarannya ditetapkan
berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh
pejabat yang berwenang;
2) Wajib memelihara objek Bangun Guna Serah atau
Bangun Serah Guna, dan
3) Dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau
memindahtangankan:
a) Tanah yang menjadi objek Bangun Guna Serah atau
Bangun Serah Guna;
b) Hasil Bangun Guna Serah yang digunakan langsung
untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
pemerintah pusat; dan/atau
c) Hasil Bangun Serah Guna.
d. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur
Pasal 38 mengatur bahwa kerja sama penyediaan
infrastruktur dilaksanakan terhadap:
a. BMN berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengelola
Barang/Pengguna Barang;
b. BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang
masih digunakan oleh Pengguna Barang; atau
c. BMN selain tanah dan/atau bangunan.
Kerja sama penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan
oleh Pengelola Barang atau Pengguna Barang dengan
persetujuan Pengelola Barang.
Kerja sama penyediaan infrastruktur dilakukan oleh
pemerintah dan badan usaha yang mana badan usaha ini
dapat berbentuk (Pasal 39 ayat (1) dan (2):
a. Perseroan terbatas;
b. Badan Usaha Milik Negara;
c. Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
d. Koperasi.
Jangka waktu kerja sama penyediaan infrastruktur adalah
untuk paling lama 50 (lima puluh) tahun dan dapat
diperpanjang (Pasal 39 ayat (3)).
Selama masa jangka waktu kerja sama penyediaan
infrastruktur, mitra kerja sama:
1) Dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau
memindahkan BMN yang menjadi