Kamis, 15 Juni 2023

jakarta 1

Penetapan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia pada 
awalnya merupakan penetapan yang bersumber pada kebiasaan 
dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Jakarta sejatinya adalah
warisan dari VOC dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda buah 
dari pengembangan kota pelabuhan ‘Jayakarta’ pada tahun 1619. 
Pemilihan lokasi ibu kota Hindia Belanda ini didasari oleh 
pertimbangan kepentingan administrasi dari VOC yang saat itu 
memiliki hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial 
di wilayah ini  yang diberikan oleh Parlemen Belanda sejak 
tahun 1602. Berdiri dan berkembangnya benteng serta 
permukiman orang Belanda kemudian menjadi cikal bakal Jakarta 
yang saat itu diberi nama Batavia. Secara resmi, pemerintah kota 
Batavia (Stad Batavia) dibentuk pada 4 Maret 1621. Selama 8 tahun 
kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai 
pada tahun 1650. Sebagai pusat kegiatan orang-orang Belanda di 
Hindia Belanda, Batavia kemudian dikenal dengan sebutan ‘Queen 
of the East’ yang merepresentasikan kepentingan Belanda terkait 
perdagangan.
Di masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia 
diubah oleh pemerintah militer Jepang menjadi ‘Jakarta’. Hal ini 
dilakukan sebagai salah satu strategi untuk menarik hati penduduk 
Indonesia. Seiring dengan pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 
tanggal 17 Agustus 1945, para pendiri negara menetapkan Jakarta 
sebagai ibu kota Republik Indonesia. Dalam perjalanannya sempat 
terjadi perpindahan ibu kota sebab adanya perjanjian dengan
pihak penjajah Belanda serta sebab kondisi darurat selama masa 
perang kemerdekaan 1945 – 1949. Namun kemudian Ibu Kota
kembali ke Jakarta untuk seterusnya seiring dengan penyerahan 
kedaulatan Indonesia dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, 
yang berlaku hingga saat ini. Perjalanan sejarah menunjukkan 
bahwa penetapan Jakarta sebagai Ibu Kota adalah kebiasaan dan 
praktik pemerintahan de facto sepanjang sejarah.
Secara de jure baru sejak 1961, Jakarta ditetapkan sebagai 
Ibu Kota Negara Republik Indonesia berdasarkan Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1961 jo. UU PNPS No. 2 Tahun 1961. Setelah 
itu, berturut-turut, berbagai Undang-Undang kembali menetapkan 
Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), mulai dari UU No. 
11 Tahun 1990, UU No. 34 Tahun 1999, hingga terakhir, yang 
masih berlaku hingga saat ini, diatur melalui UU No. No. 29 Tahun 
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Namun demikian, hingga kini, belum ada satupun undang￾undang yang secara khusus mengatur tentang Ibu Kota Negara. 
Undang-Undang yang disahkan sejak 1961 hingga 2007 adalah 
Undang-Undang yang menetapkan Jakarta sebagai Ibu Kota 
Negara, yang kemudian di dalamnya diatur tentang berbagai hal 
mengenai tata kelola, bentuk, dan susunan pemerintahan di 
Jakarta sebagai penyesuaian dari penetapan ini . Sehubungan 
dengan itu, belakangan ini Kementerian Dalam Negeri dan 
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menyusun Naskah 
Akademik untuk Perubahan UU No. 29 Tahun 2007 dalam rangka 
mengadakan harmonisasi dan penyesuaian mengenai beberapa hal 
terkait urusan pemerintahan yang pada praktiknya memunculkan 
akibat peran ganda Jakarta, yakni sebagai daerah otonom khusus 
Ibu Kota dan juga sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. 
Keperluan menyusun undang-undang yang mengatur secara 
spesifik tentang Ibu Kota Negara ("IKN") juga bersesuaian dengan
momentum Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam Sidang 
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 
pada 16 Agustus 2019 dan disusul dengan Pengumuman 
Pemindahan Ibu Kota Negara oleh Presiden pada 26 Agustus 2019 
di Istana Negara. Pemindahan itu didasarkan pada Kajian yang 
telah dilakukan Bappenas, yang menyimpulkan bahwa performa 
Provinsi DKI Jakarta sebagai IKN, DKI Jakarta sudah tidak lagi 
dapat mengemban peran sebagai IKN dengan optimal dengan 
semakin pesatnya pertambahan penduduk yang tidak terkendali, 
penurunan kondisi dan fungsi lingkungan, dan tingkat 
kenyamanan hidup yang semakin menurun, dan ketidakmerataan 
persebaran pertumbuhan ekonomi di luar DKI Jakarta dan Pulau 
Jawa dengan wilayah lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, Naskah Akademik ini sangat mendesak 
untuk disusun sebagai acuan untuk pembentukan Rancangan 
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara ("RUU IKN"), sebagai 
Undang-Undang yang menjadi landasan hukum awal dari usaha  
pemindahan Ibu Kota Negara. Naskah Akademik ini juga diperlukan 
untuk menjelaskan dengan runut dari rinci mengenai argumentasi 
pilihan kebijakan menjadi norma di dalam materi muatan pasal.
Pilihan kebijakan dan materi muatan pasal itu dijelaskan secara 
rasional dengan prosedur yang ilmiah. Penjelasan itu harus dimulai 
dari kajian teoritis, kajian terhadap Asas/Prinsip, kajian terhadap 
praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, pemasalahan yang 
dihadapi, serta perbandingan negara lain, kajian terhadap implikasi 
terhadap sistem aru yang akan diatur dalam RUU terhadap aspek 
beban keuangan negara dan kemanfaatan negara, 
Selanjutnya, perlu ada evaluasi dan analisis peraturan 
perundang-undangan terkait, mulai dari peraturan perundang￾undangan terkait Kegiatan pemindahan dan pembangunan Ibu 
Kota Negara, peraturan perundang-undangan terkait bentuk dan 
susunan pemerintahan Ibu Kota Negara, peraturan perundang-undangan terkait tata Ruang, infrastruktur, dan lingkungan hidup 
Ibu Kota Negara, dan peraturan perundang-undangan terkait 
keuangan IKN, dan peraturan perundang-undangan terkait 
kegiatan pemindahan IKN. Selanjutnya, sebagai basis legitimasi 
dari sebuah Undang-Undang, perlu ada penjelasan tentang 
landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis dari RUU tentang Ibu 
Kota Negara, sehingga sasaran, arah, jangkauan pengaturan, dan 
materi muatan pasal dapat dirumuskan dengan efektif, efisien, 
harmonis dengan berbagai peraturan perundang-undangan, serta 
dapat dilaksanakan dengan baik. 
B. Identifikasi Masalah 
Berdasarkan Latar Belakang di atas, di dalam penyusunan 
Naskah Akademik mengemuka 4 (empat) pokok masalah yang 
harus terjawab pada keseluruhan BAB, yaitu:
1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan 
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat terkait Ibu 
Kota Negara serta bagaimana permasalahan ini  
dapat diatasi?
2. Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang tentang Ibu 
Kota Negara sebagai dasar pemecahan masalah ini 
– yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam 
penyelesaian masalah ini ?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, 
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang￾Undang tentang Ibu Kota Negara?
4. Apa saja sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup 
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dari 
Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara?
C. Tujuan dan Kegunaan 
Berdasarkan Latar belakang dan Tujuan di atas, Naskah 
Akademik ini bertujuan untuk:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam 
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat 
terkait Ibu Kota Negara serta cara-cara mengatasi 
permasalahan ini ;
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi 
sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang￾Undang tentang Ibu Kota Negara sebagai dasar hukum 
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam 
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; 
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, 
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang￾Undang tentang Ibu Kota Negara;
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang 
lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan 
dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota 
Negara.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah 
sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan 
Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara.
D. Metode
Pendekatan penyusunan Naskah Akademik ini menggunakan 
pendekatan yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 12 
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 
("UU No. 12/2011") tentang Pembentukan Peraturan Perundang￾undangan. Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya 
merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode 
penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian

hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan 
melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode 
yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. 
Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka 
yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan 
Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, 
atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil 
pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat 
dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan 
rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal 
adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau 
penelaahan terhadap Peraturan Perundang- undangan (normatif) 
yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta 
penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor 
nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap 
penyusunan RUU IKN.
A. Kajian Teoritis
Ibu kota, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 
didefinisikan sebagai kota tempat kedudukan pusat pemerintahan 
suatu negara atau tempat dihimpun unsur administratif eksekutif, 
legislatif, dan yudikatif. Keberadaan ibu kota dalam suatu negara 
biasanya menjadi simbol identitas bangsa yang membentuk negara 
ini . Bartolini (2005) mengatakan bahwa ibu kota negara 
merupakan komponen yang signifikan menggambarkan identitas 
nasional, sebagai lokasi kekuasaan suatu negara atau 
merepresentasikan besarnya kuasa suatu negara, dan juga sebagai 
titik fokus dari keberadaan kelompok pendukung, konflik serta 
kohesi antar kelompok yang membentuk suatu negara/bangsa. Ibu 
kota negara juga merupakan pusat politik, memiliki fungsi penting 
dalam perdebatan kekuasaan guna melegitimasi kekuasaan 
ini . 
Rossman (2017) menyatakan bahwa konsep ‘nation states’ 
kembali berkembang saat ini, dilihat dari usaha  pemindahan Ibu 
Kota di 40 negara yang menggambarkan masih kuatnya keterkaitan 
antara negara dan rasa nasionalisme. Untuk negara-negara maju 
khususnya di Barat, keberadaan ibu kota lebih dipandang sebagai 
kebutuhan pengaturan administratif dan tata kelola negara. Namun 
untuk negara-negara seperti Afrika, Asia, dan Amerika Latin, yang 
sedang dalam proses pembangunan bangsa dan negara, 
keberadaan ibu kota menjadi hal yang sensitif dan dianggap sebagai
penguat bagi simbol-simbol kebangsaan, pemersatu, serta 
pemerataan pembangunan fisik dan ekonomi wilayah suatu negara. 
Pertimbangan lokasi dalam pemilihan suatu ibu kota secara 
tidak langsung mencerminkan pola pikir para pengelola (atau 
pendiri) negara. Spanyol memiliki Madrid yang terletak di tengah 
negara, dimana pertimbangannya antara lain untuk kemudahan 
kontrol wilayah negaranya. Nigeria membangun ibu kota baru pada 
tahun 1991 di Abuja yang berada di tengah negara ini untuk 
menggantikan Lagos yang berada di garis pantai ujung Barat Daya, 
dengan alasan untuk menekankan persatuan negara yang memiliki 
keragaman etnis dan agama ini . Brazil juga memindahkan ibu 
kotanya dari kawasan pantai di Rio de Janeiro ke bagian tengah 
benua Amerika pada tahun 1961, menjadi Ibu kota baru yang 
disebut Brasilia, yang menurut sang perancang ibu kota, Oscar 
Niemeyer, dibangun dengan tema "membawa kemajuan ke kawasan 
pedalaman Brazil".
Ada juga pertimbangan kompromi politik yang mendasari 
pemilihan suatu ibu kota negara. Amerika Serikat menetapkan 
Washington DC sebagai ibu kotanya pada tahun 1790 sesuai 
dengan hasil kompromi politik. Perbedaan pandangan mengenai 
lokasi yang tepat antara negara-negara bagian di Utara dengan 
negara-negara bagian di Selatan pada akhirnya diselesaikan oleh 
George Washington yang memilih lokasi di sekitar perbatasan 
negara- negara bagian yang terletak di tepi Sungai Potomac 
sebagaimana dikenal sekarang.
Ibu Kota Negara Republik Indonesia yang diharapkan adalah 
Ibu Kota yang mencerminkan identitas bangsa Indonesia. Negara 
Indonesia yang berpenduduk sekitar 237 juta jiwa, memiliki 
warisan kekayaan sekitar 1100 suku bangsa, 700 bahasa lokal, 300 
gaya seni tari, 400 lagu daerah, dan 23 lingkungan adat, hidup 
sebagai bangsa dan negara dalam berbagai keragaman dan 
perbedaan yang berjalan baik selama ini, sebab didasari oleh 
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, dan dibingkai 
melalui Bhinneka Tunggal Ika.
Identitas dan karakter bangsa Indonesia telah ditorehkan 
para bapak bangsa berdasarkan pemahaman sejarah panjang 
bangsa Nusantara dalam membangun karakter Indonesia. Dalam 
amanat Proklamasi, 17 Agustus 1956, Bung Karno mengingatkan 
pentingnya bangsa yang berkarakter memiliki kepercayaan pada 
nilai-nilai kepribadian dan kemandirian bangsa sendiri. Dimensi 
moral sebagai tumpuan karakter kolektif yang dapat menopang 
kemajuan peradaban bangsa ini  adalah Pancasila. Kelima sila 
yang menyatukan bangsa Indonesia, adalah yang memandu 
perkembangan bangsa ke depan (Soekarno, 1958). Peran Pancasila 
sebagai ideologi negara mampu menjadi payung pemersatu bagi 
warganya yang majemuk. Makna Bhinneka Tunggal Ika bukan 
hanya dimaknai mewakili keberagaman agama, tapi suku, bahasa 
dan semua keberagaman di Indonesia.
Memperhatikan pentingnya aspek simbolisasi negara melalui 
ibu kota ini, memunculkan kebutuhan rancangan Ibu Kota Negara 
Republik Indonesia yang dapat merepresentasikan identitas dan 
persatuan bangsa dalam kerangka nation and state building; 
merefleksikan kebhinnekaan Indonesia; dan meningkatkan 
penghayatan terhadap Pancasila.
Membangun dan menata kembali Ibu Kota Negara tentunya 
memerlukan konsep yang matang dan didasari pada visi jangka 
panjang suatu bangsa. Pengembangan ibu kota baru biasanya 
dikaitkan dengan perkembangan isu-isu pembangunan kota dan 
kebutuhan bangsa yang mendasari pertimbangan pemindahan ibu 
kota ini . Paradigma perencanaan dan pengembangan kota 
baru selanjutnya hadir sebagai salah satu pertimbangan penting 
dalam pengembangan ibu kota negara di lokasi yang baru. 
Paradigma pembangunan kota baru yang berkembang pada abad
ini adalah kota modern dan berkelanjutan. Keduanya dapat 
memiliki makna yang saling melengkapi.
A.1. Kota Modern
Konsep modern diartikan oleh berbagai ahli seperti Webber, 
Harrod dan Domar, Rostow, Hoselitz, hingga Inkeles dan Smith, 
sebagai suatu karakteristik yang lebih maju, berkembang, tidak 
tradisional, maupun bentuk transisi: dari perdesaan ke perkotaan 
dan dari pertanian ke industri1. Kota modern merupakan kota yang 
secara sosiologis berkembang lebih maju, yang mendorong 
warganya untuk turut berkembang lebih modern, global, dengan 
suatu cita-cita bersama. 
Karakteristik kota modern (modern city) adalah adanya 
masyarakat modern di suatu kota yang memiliki tujuan masa depan 
bersama yang berpikir jauh ke depan (forward thinking), yang 
ditindak lanjuti dengan usaha -usaha  inovatif melalui pemanfaatan 
teknologi dalam perencanaan dan pengelolaan kota, perancangan 
dan penataan bangunan, serta dalam mengatasi permasalahan 
sosial perkotaan. Kota modern juga memiliki karakteristik sebagai 
kota yang terencana, yang terukur dalam setiap tahap 
pengembangan dan target pencapaiannya.

A.2. Kota Berkelanjutan
Paradigma kota modern memiliki keterkaitan yang erat 
dengan paradigma kota berkelanjutan (sustainable city). Brundtland 
Report dalam sidang PBB tahun 1987 mendefinisikan 
pembangunan berkelanjutan sebagai proses pembangunan yang 
berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan 
kebutuhan generasi yang akan datang. Kota Berkelanjutan juga 
didefinisikan sebagai kota yang didesain, dibangun, dan dikelola 
untuk memenuhi kebutuhan warga kota dari aspek lingkungan, 
sosial, ekonomi, tanpa mengancam keberlanjutan sistem 
lingkungan alami, terbangun, dan sosial (European Commission, 
1996). 
Agenda pembangunan berkelanjutan untuk perkotaan telah 
dicanangkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals) 2030. Agenda pembangunan kota 
dan permukiman dalam SDGs, bertujuan mewujudkan perkotaan 
dan permukiman yang inklusif, aman, berketahanan, dan 
berkelanjutan pada tahun 2030. SDGs untuk pembangunan kota 
yang berkelanjutan, meliputi pembangunan perumahan, 
mengedepankan transportasi umum, permukiman, perlindungan 
warisan alam dan budaya, peningkatan mitigasi dan adaptasi 
terhadap kebencanaan, membangun lingkungan kota yang bersih, 
dan membangun ruang publik yang aman, inklusif, terjangkau. 
Agenda Perkotaan Baru/New Urban Agenda (NUA), 
merupakan agenda perkotaan yang melengkapi Tujuan 
Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals 
(SDGs), merupakan kesepakatan kota-kota di dunia yang bertujuan 
untuk mewujudkan perkotaan dan permukiman yang memberikan 
hak dan kesempatan yang sama, mendorong inklusivitas dan 
memastikan setiap penduduk tanpa diskriminasi mampu 
menempati dan menciptakan kota dan permukiman yang

berkeadilan, aman, sehat, mudah diakses, terjangkau, 
berketahanan, dan berkelanjutan. Agenda Perkotaan Baru fokus 
pada (1) Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan Untuk Kohesi 
Sosial, Inklusif, dan Mengakhiri Kemiskinan melalui penyediaan 
perumahan, air bersih dan pengolahan limbah serta ruang-ruang 
publik; (2) Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Kota dan Peluang 
Peningkatan Kesejahteraan Secara Inklusif dan Berkelanjutan 
melalui transportasi terpadu dan terintegrasi, listrik dan teknologi 
telekomunikasi, energi terbarukan, serta (3) Pembangunan 
lingkungan berkelanjutan dan kota yang berketahanan melalui 
ruang terbuka hijau yang memiliki  ketahanan terhadap 
bencana, pengelolaan sumber daya air, limbah dan sampah yang 
ramah lingkungan dan berjangka panjang, pelayanan dan 
pemanfaatan energi terbarukan pada infrastruktur, permukiman, 
industri, dan komersial, serta pengembangan teknologi untuk 
mendukung semuanya
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 
tahun 2015-2019, arahan kebijakan sangat jelas untuk
membangun Kota Berkelanjutan dan berdaya saing, dengan lima 
kebijakan utamanya, yaitu: (1) perwujudan Sistem Perkotaan 
Nasional (SPN), dengan kawasan metropolitan baru di luar Jawa 
yang didorong sebagai pusat pertumbuhan melayani Kawasan 
Timur Indonesia, dan kawasan metropolitan yang sudah ada untuk 
menjadi pusat berskala global; (2) Percepatan pemenuhan Standar 
Pelayanan Perkotaan (SPP) untuk kota aman, nyaman, layak huni, 
dengan menyediakan sarana prasarana dasar, ekonomi, kesehatan 
dan pendidikan, permukiman dan transportasi publik; (3) 
perwujudan kota hijau yang berketahanan iklim dan bencana, 
dengan penataan ruang, penyediaan sarana prasarana berkonsep
hijau dan berketahanan; (4) Pengembangan kota cerdas yang 
berdaya saing, berbasis teknologi, dan budaya lokal; serta (5) 
peningkatan kapasitas tata kelola kota. Dengan misi pembangunan 
perlunya pengurangan kesenjangan dan usaha  pemerataan keluar 
Jawa, maka Ibu Kota baru sebagai salah satu pusat pertumbuhan 
baru diharapkan dapat membawa misi sebagai kota masa depan 
yang berkelanjutan.
A.3. Kota Berkelas Internasional
Seiring dengan perkembangan paradigma kota modern dan 
berkelanjutan, globalisasi juga telah menunjukkan adanya 
paradigma kota-kota dunia untuk berkembang menjadi kota 
berkelas internasional. Kota berkelas internasional adalah kota 
yang memiliki infrastruktur dengan standar global dan terkoneksi 
dengan kota-kota lain di dunia yang menjadi pusat bisnis, budaya, 
teknologi, maupun politik secara global. Kota berkelas internasional 
adalah kota yang memiliki peran yang berarti di dunia 
internasional, sehingga kota-kota di negara lain memiliki keinginan 
untuk terkoneksi dengannya. 
Sedangkan Ibu Kota berkelas internasional pada umumnya 
meliputi infrastruktur transportasi, taman dan ruang terbuka atau

taman hutan kota, kegiatan-kegiatan kebudayaan, obyek wisata, 
monumen-monumen bersejarah dan museum, hotel dan akomodasi 
berkelas internasional, kenyamanan sebuah kota yang 
berkelanjutan, keterjangkauan ‘cost of living’, infrastruktur dan 
kegiatan olahraga internasional, pusat-pusat konvensi dan 
pameran berkelas internasional, dan lainnya.
Keanggotaan Indonesia dalam organisasi-organisasi 
internasional dan regional, seperti anggota berbagai organisasi PBB, 
anggota G-20, anggota Kerjasama Ekonomi Negara-negara Asia 
Pasifik (APEC), anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dan 
ASEAN; serta keikutsertaan Indonesia secara aktif dalam berbagai
perjanjian dan konferensi internasional dan regional, menuntut 
Indonesia untuk memiliki Ibu Kota yang selalu siap dalam 
penyelenggaraan berbagai even internasional. 
B. Kajian terhadap Asas/Prinsip
Asas/Prinsip dalam pembentukan norma untuk mengatur 
Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia di masa depan 
bersumber dari 1) asas pembentukan peraturan perundang￾undangan sebagaimana yang tercantum di dalam UU 12/2011 dan 
juga 2) asas perencanaan perkotaan yang bersumber dari berbagai 
best practices pengembangan Ibu Kota Negara di berbagai belahan 
dunia. Beberapa best practices pengembangan Ibu Kota yang 
mengadopsi konsep pembangunan Ibu Kota tertentu, yang dapat 
dipelajari di berbagai belahan dunia. Konsep-konsep itu antara lain 
Beautiful City (Washington D.C), Radiant City (Brasilia), Garden City 
(Canberra dan Abuja), Green City (Gaborono and New Kabul), serta 
penerapan konsep Intelligent City (Putrajaya), Eco-city (Sejong), dan 
Smart City (Rencana Ibu Kota Mesir). 
B.1. Asas/Prinsip Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011, seluruh peraturan 
perundang-undangan, termasuk RUU IKN, harus dibentuk dengan 
berdasarkan pada asas:
1. kejelasan tujuan; 
2. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; 
3. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; 
4. dapat dilaksanakan; 
5. kedayagunaan dan kehasilgunaan; 
6. kejelasan rumusan; dan 
7. keterbukaan. 
Di samping itu, berdasarkan Pasal 6 UU yang sama, materi muatan 
di dalam RUU IKN harus mencerminkan asas:
1. pengayoman; 
2. kemanusiaan; 
3. kebangsaan; 
4. kekeluargaan; 
5. kenusantaraan; 
6. bhinneka tunggal ika; 
7. keadilan; 
8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 
9. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 
10.keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 
B.2. Asas/Prinsip Perencanaan Kota
B.2.1.Beautiful City
Konsep Beautiful City lebih dikenal dengan istilah City 
Beautiful Movement, merupakan filosofi reformasi kota yang 
berkembang di dunia arsitektur dan perencanaan kota
sebagaimana dikemukakan Daniel H. Burnham (1910) yang 
menekankan pada perbaikan kota dengan mempercantiknya 
(beautification). Perbaikan ditekankan pada sektor sanitasi, estetika 
lingkungan, pembangunan civic centre, dan desain bangunan.
Burham dan Benetts (1909) menerapkan konsep ini di kota Chicago. 
Sistem jaringan jalan dibangun secara diagonal dan melingkar yang 
dirancang untuk memudahkan pengendara menghindar dari 
kemacetan. Contoh penerapan konsep beautification pada 
pengembangan ibu kota negara dapat dilihat di Amerika Serikat, 
yang terjadi pada ibu kota Washington D.C3. Penekanan pada 
keindahan kota adalah untuk membangun standar moral 
masyarakat perkotaan melalui harmoni sosial dan kualitas hidup 
masyarakat. Namun, dikritik sebab dianggap mengesampingkan 
usaha  reformasi sosial yang sesungguhnya. 
B.2.2.Radiant City
Radiant City dikembangkan melalui pemikiran Le Corbusier 
(1924) yang mengkombinasikan desain geometris dan efisiensi 
ruang guna mewujudkan kota kompak yang terbagi/terseparasikan 
secara tersusun dengan pola yang simpel dan rasional. Konsep ini 
menekankan usaha  untuk melakukan efisiensi ruang dan 
pemanfaatan energi.
Contoh ibu kota negara yang menggunakan konsep ini adalah 
Brasilia di Brasil, yang termasuk dalam daftar World Heritage dari 
UNESCO. Brasilia dibangun dalam tempo 41 bulan sejak tahun 
1956 hingga peresmian pada tahun 1960. Lokasinya di wilayah 
relatif kosong dan dikembangkan untuk mendorong pengisian 
ruang di bagian wilayah Brasil yang masih kosong (pemerataan 
penduduk dan ekonomi). Desain kota dibentuk oleh struktur 
jaringan jalan dan pengaturan lahan yang menyerupai pesawat 
terbang. Pusat kota terdiri dari sejumlah blok dan sektor kegiatan 
yang berbaur dan menciptakan efisiensi transportasi antar kawasan 
fungsional. Konsep ini dikritik sebab lebih terfokus pada kawasan 
pusat kota dan pertimbangan fisiknya, melupakan dampak 
perkembangan perkotaan yang terjadi di kawasan pinggiran.

B.2.3. Gardern City
Konsep Garden City yang dirumuskan oleh Ebenezer Howard 
(1876) memiliki prinsip yang sejalan dengan konsep sebelumnya, 
yaitu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar 
tempat tinggalnya. Prinsip utama konsep Garden City adalah 
merancang sebuah kawasan menjadi kota yang hidup, energik dan 
aktif, dihiasi oleh keindahan dan suasana kawasan desa (atau 
pinggiran kota). Perbedaannya dengan konsep beautiful city dan 
radiant city, konsep garden city mempertimbangkan pengembangan 
wilayah pinggiran kota. Howard mencoba mengkombinasikan unsur 
kota yang energik dengan unsur permukiman desa yang sehat dan
tentram. Tujuan utama perancangan adalah untuk memberi 
kesempatan yang sama pada setiap penduduk kota untuk 
mendapatkan tempat tinggal yang layak dan sehat.
Konsep Garden City dalam pengembangan ibu kota telah 
diterapkan antara lain di ibu kota Australia – Canberra. Rancang 
kota Canberra mengarah pada penataan lingkungan dan akses 
warga untuk dapat menikmati pergerakan dengan berjalan kaki 
menuju pusat-pusat aktivitas, termasuk pusat pemerintahan. Tata 
bangunan dan lingkungan sangat diperhatikan untuk menciptakan 
visual kawasan yang menarik sekaligus memaksimalkan 
pemanfaatan energi terbarukan seperti matahari dan udara untuk 
pencahayaan dan meningkatkan kenyamanan penghuni. Seiring 
perkembangan kota, pada era modern 1990-an dilakukan 
intensifikasi lahan, dengan arah pengembangan kota difokuskan ke 
pinggiran kota sebagai bentuk pemanfaatan lahan secara 
berkelanjutan dan terencana.
Ibu kota Abuja di Nigeria adalah salah satu kota di dunia yang 
mengembangkan planned city, atas dasar konsep garden city. 
Perkembangan ibu kota yang terdiri dari fungsi-fungsi kegiatan 
ditunjang oleh fasilitas ruang terbuka hijau (green area) dan fasilitas 
rekreasi di setiap lingkungan (neighbourhood). Namun dalam

kenyataannya sebab kurangnya penegakan hukum, terjadi 
konversi lahan dan pelanggaran penggunaan lahan yang 
memicu  rancangan garden city tidak tercapai.
B.2.4. Green City
Green city atau kota hijau merupakan suatu konsep 
penerapan prinsip-prinsip berkelanjutan dengan pengembangan 
kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya 
air dan energi secara efisien, mengurangi limbah, menerapkan 
sistem transportasi terpadu yang lebih efisien, menjamin kesehatan 
lingkungan, serta mensinergikan lingkungan alami dan buatan. 
Pembangunan kota diarahkan untuk meningkatkan kemampuan 
kota dan warga kota dalam melakukan mitigasi dan adaptasi 
terhadap ancaman bencana melalui keseimbangan aktivitas sosial 
warga, pemenuhan kebutuhan ekonomi, serta keberlanjutan 
lingkungan alami. Green City dikenal juga sebagai konsep kota 
ekologis (Eco City) dan kota sehat.
Contoh pengembangan ibu kota negara dengan konsep green 
city terdapat di New Kabul (Kabul Baru) di Afghanistan. Prinsip￾prinsip pembangunan berkelanjutannya berusaha  
menyeimbangkan aktivitas sosial dengan kebutuhan pelestarian 
lingkungan melalui suatu proses adaptasi perilaku dalam 
pemanfaatan energi dan penataan bangunan. Penerapan konsep ini 
membutuhkan perencanaan dan manajemen pelaksanaan yang 
tinggi, jauh di atas standar manajemen perkotaan yang umumnya 
ada di negara berkembang.
B.2.5. Eco-City
Konsep eco-city dibangun dari prinsip hidup dalam 
lingkungan alami. Tujuan utama dari pengembangan eco-city 
adalah untuk mengurangi segala jenis polusi buangan gas karbon 
(zero carbon activity), memproduksi energi sepenuhnya melalui
sumber energi terbarukan, dan untuk mempersatukan harmonisasi 
kota dengan lingkungan alami. Eco-city juga memiliki tujuan untuk 
mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan, mengurangi 
kemiskinan, dan meningkatkan efisiensi serta peningkatan 
kesehatan. Konsep ini memiliki prinsip yang sejenis dengan green 
city.
Contoh ibu kota baru yang dikembangkan dengan konsep 
eco-city adalah calon ibu kota Sejong di Korea Selatan. 
Pembangunan kota baru Sejong seluas 73 km2 (7.300 ha), yang 
diproyeksikan untuk menampung sekitar 500 ribu penduduk, 
terletak di area yang sangat strategis di tengah Semenanjung Korea, 
menghubungkan Seoul di Utara, Busan di Tenggara dan Gwangju 
di bagian Selatan. Konsep kota ini modern dan berkelanjutan, 
merupakan bentuk rancangan kota ideal di masa datang, terencana 
dengan pertumbuhan yang terukur dan bertahap sehingga 
mempermudah antisipasi perkembangan.
Namun demikian, kota Sejong dianggap sebagai kota yang terpisah 
dari wilayah sekitarnya, menjadi kurang menarik untuk ditinggali, 
serta dianggap memboroskan anggaran pembangunan di Korea 
sebab ketergantungannya pada teknologi tinggi yang cukup mahal.
B.2.6. Smart City
Smart city atau kota cerdas merupakan konsep 
pembangunan kota yang berusaha  mengelola sumber daya dengan 
efisien dan memberi pelayanan secara efektif melalui informasi yang 
akurat dan dukungan infrastruktur yang dapat diakses 
masyarakat. Secara umum smart city lebih dikenal sebagai konsep 
pengembangan dan pengelolaan kota dengan pemanfaatan 
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk menghubungkan, 
memonitor, dan mengendalikan berbagai sumber daya yang ada di 
dalam kota dengan lebih efektif dan efisien untuk memaksimalkan 
pelayanan kepada warganya serta mendukung pembangunan yang
berkelanjutan. Konsep smart city ini masih terus berkembang 
seiring dengan perkembangan pola pikir manusia terhadap 
pengembangan kota yang semakin terintegrasi dengan pemanfaatan 
teknologi.
Contoh ibu kota negara yang dikembangkan dengan konsep 
ini adalah Ibu Kota baru untuk menggantikan Kairo. Diperkirakan 
biaya pembangunannya akan menelan dana sebesar 90 miliar Dolar 
AS. Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait masing-masing siap 
menyediakan dana lima miliar Dolar AS buat membiayai rencana 
ini.
Ibu kota baru akan menjadi pusat administratif Mesir, yang 
terdiri dari kantor-kantor pemerintah, kantor diplomatik, 
perumahan, universitas dan taman, serta jalan raya sepanjang 10 
ribu kilometer. Jika ibu kota dipindahkan dari Kairo, semua gedung 
pemerintahan Mesir dan kedutaan asing akan turut hijrah. Selain 
menampung gedung-gedung pemerintahan, ibu kota baru ini  
akan memuat sedikitnya 2.000 sekolah, kampus, dan 600 fasilitas 
kesehatan.
B.2.7. Intelligent City
Intelligent city merupakan konsep smart city yang 
ditambahkan dengan usaha  untuk mengubah / mentransformasi 
komunitas untuk menjadi lebih baik, lebih kreatif, dan terlibat 
dalam proyek-proyek pengembangan komunitas pintar yang dapat 
mendorong terciptanya suasana kota yang saling terkoneksi melalui 
dukungan teknologi.
Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah dalam 
pengembangan ibu kota Malaysia di Putrajaya. Pembangunan kota 
Putrajaya mengadopsi prinsip Islam terkait keseimbangan 
hubungan manusia, yaitu: hubungan manusia dengan Tuhan, 
manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan manusia. 
Karenanya, setiap segmen kawasan ibu kota dibangun dengan
pertimbangan kebutuhan yang saling melengkapi. Sebagai contoh, 
pembangunan fasilitas perkantoran diimbangi dengan penyediaan 
hunian baik dalam bentuk apartemen, townhouse, serta 
kondominium yang diperuntukkan hanya untuk pegawai-pegawai 
negeri mereka dengan fasilitas peminjaman yang sangat murah. 
Pembangunan juga memperhatikan konsep pelestarian alam yang 
terlihat dari banyaknya areal terbuka termasuk danau buatan yang 
terintegrasi dengan lingkungan sekitarnya, menghasilkan visual 
kawasan yang menarik sekaligus memberi kenyamanan pada 
lingkungan sekitar.
B.3. Asas/Prinsip Kelembagaan IKN
Aspek Kelembagaan yang perlu dipertimbangkan dalam 
menyusun tata kelola, bentuk, dan susunan pemerintahan Ibu Kota 
Negara antara lain:
Aspek Pendekatan Pembangunan
§ Pembangunan ibukota baru tidak dapat secara efektif 
dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah dengan 
pendekatan sektor semata;
§ Bila pembangunan ibukota baru dilakukan secara sektoral 
(seperti oleh Kementerian Pekerjaan Umum, atau
kementerian yang lain) akan memberikan beban koordinasi 
sangat besar dan risiko tatap muka sangat tinggi 
Aspek Cross Cutting Dan Kapabilitas
§ Ibukota baru merupakan wilayah kebijakan yang memiliki 
Cross cutting issues sebab menyangkut lintas batas-batas 
hukum, tugas dan fungsi Kementerian, Lembaga dan Daerah
§ Pengalaman ibukota baru merupakan pengalaman yang 
langka bagi Indonesia, dan kapabilitas penggunaan 
sumberdaya yang relatif besar.
Aspek Keunikan Nilai (Unique Value)
§ Pemindahan ibukota baru merupakan program unik terkait 
infrastruktur , ekonomi, politik, birokrasi dan lain sebagainya 
yang harus mampu mewujudkan nilai unik sebagai suatu 
ibukota baru
§ Sumber daya pembangunan ibukota baru akan bersumber 
dari cross funding antara nilai ( seperti nilai sosial , politik, 
dan komersil, dll) dalam satu siklus manajemen.
Aspek Complex Public Financing
§ Pembangunan ibukota melibatkan skema pembiayaan yang 
sangat kompleks dan rantai jenjang yang panjang dalam 
jangka waktu yang cukup panjang.
§ Pengelolaan ibukota baru yang modern dan efektif 
membutuhkan tata kelola pembiayaan yang memberikan 
kepastian, fleksibilitas, dan menjamin tata kelola keuangan 
yang baik.
Aspek Pengelolaan Aset Dan Resiko
§ Pengelolaan ibukota baru yang modern melibatkan 
pengelolaan aset jangka panjang sesuai dengan siklus
organisasi dan kebijakan
§ Perlunya integrasi manajemen antara keuangan, pengaturan 
kelembagaan pembangunan dan pengelolaan, teknis dan 
kinerja masa depan berkaitan dengan risiko
Aspek Complex Organization
§ Pengelolaan ibukota baru membutuhkan organisasi publik 
yang berotoritas khusus yang memiliki mandat dan 
kewenangan tertentu.
§ Pengelolaan ibukota baru membutuhkan organisasi publik 
yang mampu melakukan kerja sama dengan swasta, dan 
berbagai pihak terkait.
Aspek Multiwindow Policy
§ Pengelolaan ibukota akan memproduksi kebijakan yang 
melibatkan banyak pintu , banyak organisasi.

§ Pengelolaan ibukota membutuhkan mandat organisasi jangka 
panjang dan status hukum yang jelas dan transparan.
Dari berbagai aspek pertimbangan diatas, maka kelembagaan 
pembangunan ibukota yang baru membutuhkan kelembagaan yang 
memiliki prinsip: 
1. SATU GRAND DESIGN. Satu grand design untuk memastikan 
interkonektivitas dari seluruh sistem pembangunan dan 
pengelolaan ibukota baru. 
2. SATU ORGANISASI. Satu organisasi untuk mempersiapkan 
dan melaksanakan semua komponen proyek dan pengelolaan 
ibukota baru. 
3. SATU JADWAL PELAKSANAAN. Satu jadwal perencanaan, 
dan pelaksanaan, untuk menghindari ketidaksesuaian dan 
ketidaksinkronan antar kegiatan dan antara perencanaan 
dan pelaksanaan. 
4. TRANSAKSI FLEKSIBILITAS. Transaksi fleksibilitas untuk 
memungkinkan pelayanan publik yang fleksibel, mudah 
terjangkau, dan aliran dana antar proyek dan 
menggabungkan skema pelibatan pemerintah pusat, daerah, 
BUMN dan sektor swasta di bawah satu payung.

Adapun sifat kelembagaan pembangunan dan pengelolaan 
Ibu Kota Negara Republik Indonesia adalah: (1) Berstatus lembaga 
pemerintah non-kementerian (LPNK) untuk persiapan dan eksekusi 
pembangunannya (2) Daerah otonomnya dikelola gubernur dan 
Kawasan Khusus Pusat Pemerintahannya dikelola oleh wakil 
Pemerintah Pusat (3) Memisahkan regulasi dan eksekusi, (4) 
Memiliki tugas unik, dan khusus/diskresi, dan bersifat multisektor 
(kolaboratif). 
Sementara itu, peran dan kerangka struktur kelembagaan 
dalam rangka persiapan, pembangunan dan pemindahan IKN 
tergambarkan dibawah ini: 
Gambar diatas menunjukkan bahwa kelembagaan 
pembangunan dan pengelolaan ibukota baru akan terdiri dari (1) 
Steering Committee yang berperan sebagai pengarah dan 
pengawasan, dan (2) Impementing Body yang berperan sebagai 
regulator, perencana, penganggar, pendelegasi, dan pengendali, 
disamping berfungsi antar lembaga seperti koordinasi, perijinan, 
pendanaan, hubungan antar kelembagaan. Disamping organisasi 
yang berfungsi sebagai Steering Committee, dan Implementing Body,
kelembagaan pembangunan dan pengelolaan ibukota juga 
dilengkapi dengan Advisor (penasihat) kepada Implementing Body, 
dan dilengkapi project implementation bila dibutuhkan, dan dapat 
membentuk Special Purpose Company (SPC) untuk melakukan 
kerjasama dengan pihak swasta dalam skema Public Private 
Partnership (PPP). 
Analisa tentang kebutuhan, tugas dan peran kelembagaan 
pembangunan dan pengelolaan ibukota baru sebagaimana 
diuraikan diatas akan mengarahkan pada pilihan jenis 
kelembagaan yang layak sebagai pilihan. Bila memilah beberapa 
alternatif lembaga yang didasarkan pada tingkat kewenangan akan 
ada 4 alternatif lembaga. Alternatif lembaga ini  adalah (1) 
lembaga yang berbentuk badan otonomi yang disebut Badan Otorita 
Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibukota Negara, (2) 
lembaga yang berbentuk badan koordinasi dan pengendalian 
strategis, (3) menjadikan kementerian / lembaga tertentu sebagai 
koordinator pengembangan ibukota baru, dan (4) pengembangan 
ibukota baru dilakukan dengan cara mengoptimalkan fungsi 
kementerian / lembaga yang ada selama ini. 
Bila beberapa alternatif lembaga ini  dikaji dari aspek 
implikasi, keunggulan dan kelemahannya maka perbandingan 
antar lembaga ini  dapat diuraikan oleh gambar dibawah ini:

Dari gambar ini  pilihan lembaga yang sesuai dengan 
kebutuhan, tugas dan peran kelembagaan pembangunan dan 
pemindahan ibukota baru adalah lembaga yang berbentuk Badan 
Otorita.
Badan Otorita adalah badan otonom yang memiliki 
keunggulan untuk kemampuan bertindak cepat, dan kemampuan 
mengintegrasikan permasalahan lintas sektor. Hal ini sesuai 
dengan kebutuhan, tugas dan peran dimana lembaga dapat 
mengelola anggaran secara penuh secara otonom, dan memiliki 
kewenangan mengonsistenkan antara perencanaan, penganggaran 
dan pelaksanaan. 
Untuk pembagian tugas dan tanggung jawab dalam otoritas 
badan ini  maka pembagian tugas dalam Badan Otorita akan 
tergambarkan dalam struktur organisasi sebagai berikut:

Struktur badan otoritas akan dipimpin oleh seorang ketua 
badan, dan dibantu oleh 8 wakil ketua badan yang masing- masing 
1 untuk sekretaris korporat, 1 untuk departemen audit, dan 6 
untuk pelayanan operasional. Bila mengacu pada struktur ini , 
maka pengelolaan ibukota dikelola oleh lembaga yang profilnya 
berbeda dengan profil pemerintah daerah pada umumnya bahkan 
pemerintahan DKI Jakarta saat ini. Untuk itu struktur 
kelembagaan pembangunan dan pengelolaan membutuhkan dasar 
hukum berupa UU yang memberikan diskresi pada pemerintahan 
daerah bentuk khusus. Adapun tujuan dari BO IKN adalah: 
1. Melakukan pengelolaan ibukota negara yang maju, profesional, 
modern, cerdas, dan inovatif, 
2. Menjalankan fungsi otoritas dalam wilayah ibukota negara yang 
diatur oleh UU khusus ibukota baru 
3. Merencanakan, menyiapkan, melaksanakan, mengendalikan dan 
mengelola serta mengadministrasikan 
wilayah ibukota negara 
Adapun fungsi BO IKN: 
1. Mengoptimalkan sumber-sumber pendanaan & pengusahaan di 
daerah ini  
2. Mempromosikan, menstimulasi, memfasilitasi dan melakukan 
pembangunan komersial, infrastruktur dan 
perumahan di daerah ini  
3. Mempromosikan, menstimulasi dan melakukan pembangunan 
ekonomi dan sosial di daerah ini  
4. Mengendalikan dan mengkoordinasikan kinerja kegiatan di daerah 
ini .
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang 
ada, pemasalahan yang dihadapi, serta perbandingan 
negara lain
Bagian ini akan menguraikan tentang praktik 
penyelenggaraan IKN yang hingga sebelum RUU IKN berlaku 
dijalankan oleh Provinsi DKI Jakarta. Dari uraian tentang 
penyelenggaraan existing ini, diharapkan penyusunan materi 
muata RUU IKN dapat mengambil pelajaran sehingga dapat 
mengatur dengan lebih baik. Di dalam uraian ini  juga akan 
dibahas kondisi yang dihadapi oleh Provinsi DKI Jakarta selama ini. 
Dengan begitu, pada bagian berikutnya, dapat diadakan 
perbandingan bagaimana membangun dan mengelola IKN di 
berbagai negara.
C.1. Praktik Penyelenggaraan, Kondisi, dan Permasalahan 
yang Dihadapi oleh Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota 
Negara
Bagian ini akan mengkaji bagaimana sejauh ini praktik 
penyelenggaraan, kondisi yang ada, dan permasalahan yang 
dihadapi oleh Ibu Kota Negara yang hingga saat ini diemban oleh 
Jakarta pada sektor penataan ruang, penatagunaan tanah, 
pengendalian bencana, pengendalian penduduk, isu lingkungan 
hidup, manajemen pengairan, serta birokrasi, tata pemerintahan, 
dan mengenai sumber daya manusia. 
Undang-Undang No. 29 tahun 2007 menetapkan bahwa 
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara 
Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi DKI Jakarta dalam 
kedudukannya sebagai Ibu Kota NKRI dan sekaligus berfungsi 
sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi selalu berhadapan 
dengan berbagai permasalahan diantaranya urbanisasi, keamanan, 
transportasi, lingkungan, pengelolaan kawasan khusus, dan 
masalah sosial kemasyarakatan lain yang memerlukan pemecahan
masalah secara sinergis melalui berbagai instrumen. Permasalahan 
ini  muncul sebab Jakarta tidak hanya menjadi pusat 
pemerintahan akan namun juga menjadi pusat semua aktivitas 
antara lain pusat perdagangan, pusat jasa keuangan, pusat jasa 
perusahaan, pusat jasa pendidikan, dan apabila dilihat melalui 
konteks Wilayah Metropolitan Jakarta (Jabodetabek) menjadi pusat 
industri pengolahan.
Posisi Kota Jakarta saat ini sebagai pusat segalanya menjadi 
daya tarik yang begitu besar bagi masyarakat dari seluruh 
Indonesia. Kesempatan mendapatkan lapangan pekerjaan, 
pendidikan dan berbagai fasilitas lengkap lainnya menjadi magnet 
yang kuat bagi masyarakat luar kota untuk datang ke Jakarta. 
Akibatnya, jumlah penduduk Wilayah Metropolitan Jakarta 
(Jabodetabekpunjur) terus mengalami peningkatan setiap 
tahunnya, baik dipicu  pertumbuhan alami maupun faktor 
migrasi.
Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2017 
telah mencapai 10.277.628 jiwa, dan jumlah penduduk dalam 
kawasan metropolitan Jabodetabekpunjur mencapai 32.775.966 
jiwa, menunjukkan dominasi penduduk di Jakarta dan kawasan 
metropolitan Jabodetabekpunjur terhadap kota-kota lain (Gambar 
1.2). Berdasarkan data United Nations tahun 2013, jumlah 
penduduk Kota Jakarta menempati ranking ke 10 kota terpadat di 
dunia (Gambar 1.3), yang kemudian pada tahun 2017 meningkat 
menjadi kota terpadat ke 9 di dunia (WEF, 2017).
Dengan tingginya tarikan faktor pemerintahan, ekonomi, dan 
politik memicu  tingginya urbanisasi yang perlu diimbangi 
dengan kemampuan kota dalam memfasilitasi kebutuhan semua 
penduduknya. Seiring bertambahnya penduduk berarti bertambah 
pula kebutuhan akan ruang dan sarana prasarana. Kebutuhan 
akan tempat tinggal, prasarana dan sarana seperti transportasi dan 
air bersih merupakan kebutuhan yang semakin sulit dipenuhi di 
Jakarta, dan pencemaran dan kerusakan lingkungan semakin tidak 
terbendung.
Bertambahnya jumlah penduduk di kawasan 
Jabodetabekpunjur, dan bertambahnya jumlah kendaraan di DKI 
Jakarta, maupun di kawasan permukiman di sekitar kota inti DKI 
Jakarta yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek), 
meningkatkan tekanan pergerakan ke kota inti DKI jakarta dari 
kawasan di sekitarnya seperti yang ditunjukkan pada gambar 
berikut ini.

Berdasarkan kajian Badan Pengelola Transportasi 
Jabodetabek tahun 2015, total jumlah perjalanan di wilayah 
Jabodetabek tahun 2015 mencapai 47,5 juta perjalanan orang per 
hari, yang terdiri dari pergerakan dalam kota DKI sebesar 23,42 juta 
orang per hari, pergerakan komuter sejumlah 4,06 juta orang per 
hari, sementara pergerakan yang melintas DKI Jakarta atau 
internal Bodetabek mencapai 20,02 juta orang per hari. Tingginya 
mobilitas penduduk dan barang di ibukota ini  belum 
diimbangi dengan ketersediaan transportasi umum yang aman, 
nyaman dan memadai. 
Rasio infrastruktur jalan di wilayah DKI Jakarta hanya 5,42% 
dari luas wilayah, sementara yang ideal seharusnya 15% dari luas 
wilayah. Kapasitas jalan yang tidak mampu menampung beban lalu 
lintas dari wilayah Bodetabek ke pusat kota, menimbulkan 
kemacetan sangat tinggi, memicukecepatan rata-rata hanya
mencapai 10-20 km per jam dalam wilayah Jakarta atau 16 km per 
jam pada jam sibuk (peak hour), dan hanya 19 km per jam dalam 
wilayah Jabodetabek
Kemacetan di Jakarta menempati ranking ke 4 sebagai kota 
terpadat didunia pada tahun 2017. Pada tahun 2018 Jakarta masih 
menempati peringkat ke 7 sebagai kota dengan tingkat kemacetan 
tertinggi di dunia, dengan tingkat kemacetan sebesar 53% (Hasil 
Survei Tomtom Traffic Index, 2018)
Kondisi kemacetan (gridlocks) Kota Jakarta merupakan yang 
terburuk dengan 33.240 stop start index (Pantazi, 2015). Dampak 
kemacetan di Jabodetabek saat ini menimbulkan kerugian 
ekonomi, lingkungan, dan sosial yang tidak sedikit. Kerugian 
ekonomi akibat kemacetan di Jakarta pada tahun 2013 sebesar Rp
56 Triliun (PUSTRAL UGM 2013). Sedangkan pada tahun 2017 
kerugian akibat kemacetan di Kota Jakarta mencapai Rp 65 Triliun 
(World Bank, 2017). 
Tingkat kemacetan yang tinggi di Kota Jakarta menimbulkan 
pencemaran udara akibat kendaraan bermotor. Tercatat bahwa 
Jakarta berada pada rangking 1 sebagai kota dengan kualitas udara 
terburuk di dunia berdasarkan Air Quality Index Value (AirVisual, 
2019). Kualitas udara yang tidak sehat ini  berpotensi 
memberikan dampak berupa peningkatan penyakit ISPA, mata, 
bahkan jantung dan stroke. Masalah depresi, stress dan gangguan 
kesehatan juga meningkat sebagai akibat kemacetan dalam 
komuting yang dapat berakibat pada tingkat produktivitas yang 
menurun. 
Keterbatasan Suplai Air Baku dan Penurunan Muka Tanah. 
Kondisi sumber air baku yang tercemar di Jakarta memicu
terbatasnya suplai air baku untuk berbagai aktivitas masyarakat. 
Diketahui bahwa 61% air sungai, 57% air waduk dan 12% air tanah 
sudah tercemar berat sehingga berbahaya bagi kesehatan 
masyarakat. Keterbatasan suplai air baku di Jakarta memicu  
sebanyak 40% masyarakat Jakarta menggunakan sumur bor untuk 
mendapatkan air baku.
Pengambilan air tanah yang dilakukan sebagian besar 
penduduk Kota Jakarta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari 
memicu  terjadinya penurunan tanah di daerah utara Kota 
Jakarta sebesar rata-rata 7,5 hingga 10 cm per tahun. Dalam kurun 
waktu tahun 2007 sampai tahun 2017 total terjadi penurunan 
tanah sebesar 35 hingga 50 cm. Titik terparah penurunan tanah 
terdapat di wilayah Cengkareng sebesar 69 cm dan Penjaringan 
(Pluit) sebesar 94 cm.

Jakarta sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim 
dipicu  posisi geografisnya pada bagian utara pantai Jawa, 
sehingga rawan terpapar banjir dan naiknya muka air laut. Kondisi 
ini  di perburuk dengan pengambilan air tanah secara 
berlebihan dan pencemarannya.
Jakarta merupakan muara dari 2 kanal utama yaitu Kanal 
Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur serta 13 sungai, dan hampir 
73% kelurahan di Jakarta dilalui sungai, memicu nya potensi
tinggi terhadap banjir. Banjir hampir selalu terjadi pada musim 
penghujan, dan banjir besar terjadi pada tahun 2002, 2007 dan 
2013 . Banjir terbesar tahun 2007 menenggelamkan 40% kota, 
membunuh 80 orang, dan mengungsikan sekitar 350.000 orang

(Brinkman and Hartman, 2010). Sekitar 50% wilayah Jakarta 
memiliki tingkat keamanan banjir di bawah 10 tahunan, jauh dari 
kondisi ideal untuk kota besar yaitu minimum 50 tahunan.
Wilayah Jakarta yang rawan banjir sebagian besar terletak 
pada bagian utara yang merupakan pesisir Kota Jakarta. Daerah 
yang rawan banjir ini  tergolong ke dalam klasifikasi rawan 
banjir tinggi dengan jumlah rata-rata pengungsi lebih dari 500 jiwa. 
Selain daerah yang berada di pesisir, daerah lainnya yang tergolong 
ke dalam daerah rawan banjir adalah pada sekitar Daerah Aliran 
Sungai

Salah satu faktor penyebab banjir di Jakarta adalah 
penurunan tanah, yang memicumuka air laut lebih tinggi 
daripada muka air aliran sungai. Berdasarkan studi penurunan
permukaan tanah yang telah dilakukan ITB (2016), menurunnya 
permukaan tanah khususnya di kawasan pesisir Jakarta telah 
terjadi sejak tahun 1975, dan secara signifikan pada tahun 2010–
2016 penurunan tanah sudah terjadi sebanyak 3–18 cm/tahun, 
dan khususnya di Jakarta Utara penurunan muka tanah telah 
terjadi rata-rata 7,5 cm/tahun. Pada tahun 2016, lebih dari 70% 
lahan di Jakarta Utara sudah berada di bawah permukaan laut, 
termasuk tanggul laut dan sungai. Pengambilan air tanah yang 
berlebihan dipicu  pesatnya pembangunan permukiman, 
gedung tinggi serta kawasan industri, dan memicu  ekstraksi 
air tanah secara besar–besaran, menjadi penyebab utama dari 
penurunan tanah ini .

Potensi Ancaman Gempa di Jakarta. Potensi gempa di 
Indonesia berasal dari 2 sumber antara lain gempa yang dipicu  
oleh oleh aktivitas tektonik dan gempa bumi yang dipicu  oleh 
aktivitas vulkanik. Sebagai daerah “Ring of Fire”, Indonesia memiliki 
banyak gunung berapi. Di dekat Kota Jakarta terdapat ancaman 
aktifitas Gunung Api Krakatau dan Gunung Gede yang dapat 
memicu  gempa vulkanik. Kedua gunung berapi ini  saat
ini statusnya masih aktif, dan yang terbaru meletus adalah Gunung 
Anak Krakatau pada tahun 2018. Kota Jakarta juga memiliki 
potensi gempa tektonik dan Tsunami Megathrust selatan Jawa 
Barat dan Selat Sunda. Selain gempa akibat aktivitas tektonik di 
laut, Jakarta juga berpotensi mengalami gempa aktivitas tektonik 
di daratan yaitu sesar baribis, sesar lembang, dan sesar cimandiri.
Berdasarkan permasalahan dihadapi DKI Jakarta dan 
Wilayah Jabodetabek yaitu seperti laju urbanisasi yang tinggi, 
kemacetan tinggi yang berimplikasi pada kualitas udara yang tidak 
sehat, keterbatasan suplai air baku, banjir tahunan, dan 
penurunan muka tanah serta ancaman potensi gempa. 
Sehunbungan dengan hal itu, dapat disimpulkan bahwa daya 
tampung, daya dukung lingkungan sudah sangat berat serta 
adanya keterbatasan pengembangan lahan maka tidak 
memungkinkan lagi wilayah DKI Jakarta menjadi Ibu Kota Negara 
yang efisien dan efektif serta dapat bersaing dengan Ibu Kota negara

lain baik saat ini maupun masa depan. Untuk itu pemindahan Ibu 
Kota Negara ke wilayah lain menjadi keniscayaan. 
Birokrasi dan Penataan Aparatur Sipil Negara. Dalam hal 
penataan aparatur sipil negara, dasar kebijakan terkait dengan 
organisasi pengelolaan aparatur sipil negara yang tersedia saat ini 
adalah: 1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 
2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 –2025; dan
2) peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 
Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Regulasi ini  memberikan landasan terbentuknya 
organisasi aparatur sipil negara yang profesional dalam 
memberikan pelayanan publik, birokrasi yang bersih dan bebas 
korupsi, kolusi dan nepotisme, dan Peningkatan kapasitas dan 
akuntabilitas kinerja birokrasi. Untuk menuju pemerintahan yang 
efektif, perintah Indonesia terus mendorong reformasi birokrasi 
untuk mewujudkan organisasi pemerintahan yang efektif.
Berkaitan dengan hal ini , maka bila memakai 
pengukuran Government Effectiveness Index, Pemerintah Indonesia 
masih perlu usaha  keras untuk memperbaiki efektivitas kinerja 
pemerintah. hal ini bisa dilihat dari gambar grafik yang 
membandingkan indeks efektivitas pemerintah diantara negara￾negara Asia Pasifik. Grafik ini , menempatkan bahwa indeks 
efektivitas pemerintahan Indonesia masih dibawah negara 
Singapura, Malaysia, China, dan Thailand. Pemindahan Ibu Kota
dapat menjadi momentum untuk perbaikan kinerja pemerintahan 
yang diawali dari pemerintah pusat.
Pemindahan dan pembangunan Ibu Kota negara baru 
diharapkan dapat memberikan dampak terhadap (1) perbaikan 
kinerja ekonomi, seperti tumbuhnya pusat pertumbuhan ekonomi 
baru, node baru pusat infrastruktur, dan mengurangi kesenjangan 
pembangunan wilayah, dan (2) meningkatkan perbaikan fungsi 
administrasi pemerintah dengan mewujudkan sistem administrasi
pemerintahan yang lebih efektif. Berkaitan dengan hal ini  
maka bab ini akan fokus membahas aspek perbaikan fungsi 
administrasi pemerintah.
Sebuah institusi birokrasi yang mematuhi peraturan dan 
kebiasaan yang ketat dalam melakukan sesuatu dianggap bukan 
pemerintah yang modern. Administrasi birokratisnya tidak memiliki 
prasyarat untuk inovasi, yaitu pemikiran kreatif, eksperimen 
gagasan dan kreativitas1. Menanggapi berbagai tuntutan ekonomi, 
politik dan ideologis, maka struktur dan proses pemerintahan 
berubah dan dimodernisasi. Pelayanan publik tradisional 
seharusnya mengembangkan cara-cara kreatif untuk mengatasi 
hambatan fiskal dan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan 
yang efisien. Administrasi publik yang berorientasi proses 
konvensional seharusnya memberi jalan kepada manajemen publik 
berfokus pada hasil; dan pemerintah daerah berkolaborasi dan 
bekerja secara horizontal untuk mengatasi hegemoni lembaga 
pusat. Mengingat perkembangan ini , maka inovasi dan 
perubahan sistem yang lebih baik telah menjadi tantangan di 
pemerintahan.
Keberhasilan pemerataan pembangunan regional (balanced 
regional development) melalui pembangunan Ibu Kota negara baru 
tergantung pada dukungan kebijakan pemerintah yang dapat 
menangani dan mengakomodasi perubahan dalam sistem 
pembangunan daerah (Lee, Choi, Park, 2005). Untuk itu model 
sistem administrasi baru merupakan salah satu bagian kebijakan 
pemerintah untuk meningkatkan fungsi administrasi pemerintah 
dalam rangka optimalisasi peran pemerintah pusat di Ibu Kota
negara baru. Model sistem administrasi baru akan mendorong 
kebijakan pengelolaan aparatur sipil negara nanti di Ibu Kota
negara baru. Sehingga kebijakan sistem administrasi baru dapat 
mendukung Ibu Kota Negara yang berciri smart city, green city, dan 
bertaraf internasional (smart-green-international). Ciri utama smart
city adalah transportasi antar moda terintegrasi dengan baik (smart 
mobility), tata bangunan terencana secara efisien dan efektif (smart 
building), dan teknologi komunikasi/internet tersedia dengan 
kecepatan tinggi.
Pengembangan administrasi baru merupakan bagian dari 
intervensi yang dilakukan para pimpinan diantaranya adalah 
melakukan strategi penyehatan lembaga atau sering disebut 
turnaround strategy atau corporate recovery (lihat misalnya: 
Chowdhury, 2002; Hofer, 1986; Slater, 1974; Suwarsono, 2007). 
Sementara itu usaha  yang lebih operasional bisa dilakukan melalui 
beberapa tindakan seperti: reengineering (Hammer and Champy, 
1993); business process reengineering (Davenport and Short, 1990); 
organization restructuring (Tomasko, 1992); reorganizing (Marshall 
and Yorks, 1994);` resizing (Koys et.al, 1990); rejuvenating (Stopford 
& Baden-Fuller, 1990); downsizing (Budros, 1999; Freeman, 1994) 
atau rightsizing (Ziffane and Mayo, 1994, 1995; Davison, 2002).
Model sistem administrasi baru yang akan dibahas lebih 
menekankan pada hard factors terutama aspek sistem yang akan 
menjadi dasar penentuan strategi, struktur dan sistem yang akan 
dibangun untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sebagai ibu kota 
baru. Aspek struktur akan dibahas didalam penentuan struktur 
lembaga pengelola Ibu Kota. Sedangkan Soft Factors akan menjadi 
pembahasan di aspek aparatur sipil negara.
Pengembangan sistem administrasi baru akan banyak 
dipengaruhi oleh pergeseran paradigma pemerintah dan 
manajemen publik. Benington dan Hartley (2001) telah mencirikan 
tiga paradigma pemerintahan dan manajemen publik yang 
menerapkan pelayanan dan melaksanakan perubahan. Masing￾masing paradigma berisi konsepsi dan asumsi tertentu tentang sifat 
permasalahan, dan peran politisi, manajer dan struktur penduduk. 
Tiga paradigma ditunjukkan pada gambar di bawah. Dua 
paradigma yang pertama mungkin akrab dengan administrasi
publik 'tradisional' dan 'New Public Management' (NPM), sementara 
paradigma ketiga didasarkan pada bukti pola pemerintahan dan 
pemberian layanan yang muncul, yang mana kita sebut 
'pemerintahan yang berpusat pada warga' (citizen-centred 
governance), atau 'pemerintahan berbasis pada jaringan' 
(Networked Government).
Salah satu pelajaran yang paling konsisten dari proyek 
pengembangan ibu kota baru adalah kecenderungan untuk 
menghabiskan biaya yang jauh lebih besar daripada anggaran yang 
telah direncanakan. Tabel berikut memperlihatkan biaya besar yang 
dihadapi enam contoh kasus pengembangan ibu kota negara.
Terdapat banyak variasi waktu yang diperlukan dalam proses 
pemindahan ibu kota baru, mulai dari 134 tahun seperti di 
Washington DC hingga hanya 12 tahun di Putrajaya Malaysia. Tabel 
berikut memperlihatkan variasi waktu yang diperlukan untuk 
menyelesaikan suatu usaha  pemindahan ibu kota baru dari mulai 
break-down project hingga operasional penuh ibu kota pusat 
pemerintahan.
Beberapa aspek yang mempengaruhi jangka waktu pemindahan ibu 
kota negara adalah:
a. Dukungan dan niat politik dari para pemangku 
kepentingan, sehingga dalam beberapa kasus, 
pengembangan ibu kota baru menjadi berlarut-larut.
b. Aspek eksternal yang mempengaruhi implementasi 
perencanaan, seperti kasus depresi ekonomi di 
Canberra dan perang sipil Amerika di Washington DC.
c. Hambatan fisik antara lokasi ibu kota baru dengan 
pusat ekonomi eksisting. Kondisi ini terjadi di 
Washington DC., Canberra, dan Brasilia. Contoh kasus 
dengan jangka waktu yang paling singkat di Putrajaya 
terjadi sebab lokasi yang berdekatan dengan 
Kualalumpur sebagai Ibu Kota lama sekaligus pusat 
ekonomi negara.

Strategi pemindahan ibu kota dengan membangun ibu kota 
baru dapat menunjukkan keberhasilan dalam mendukung 
pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional yang lebih baik. 
Beberapa catatan dari keberhasilan perkembangan negara setelah 
pemindahan ibu kota baru antara lain terciptanya negara yang 
memiliki kekuatan sosial dan simbol kebangsaan yang kuat dalam 
jangka panjang dan mengurangi tensi konflik sosial yang terjadi 
pada beberapa kasus ketegangan kekuatan politis dan ekonomi di 
negara studi kasus.
Di sisi lain, terjadinya kegagalan atau kurang berhasilnya 
pemindahan ibu kota baru dalam mendorong negara ke arah 
pembangunan yang lebih baik, yaitu antara lain tidak berhasil 
mengatasi masalah kepadatan penduduk akibat lemahnya 
manajemen penduduk dan lahan di wilayah yang sudah terlanjur 
berkembang; kegagalan dalam mewujudkan pemerataan 
pembangunan ekonomi di wilayah yang sebelumnya kurang 
terbangun, akibat ketergantungan ekonomi yang terlanjut 
mengakar; serta kegagalan dalam mengalihkan kecepatan 
pertumbuhan perkotaan dari wilayah ibu kota lama ke ibu kota 
baru dan wilayah sekitarnya.
C.2. Perbandingan dengan Negara Lain
Pemindahan, pembangunan, dan penataan ulang tata kelola
Ibu Kota Negara adalah fenomena umum yang telah dilaksanakan 
oleh banyak negara. Dalam 100 tahun terakhir, tercatat lebih dari 
31 Negara sukses memindahkan Ibu Kota negaranya.Selain itu, 
tercatat lebih dari 35 negara di berbagai wilayah berbeda telah aktif 
membahas rencana untuk memindahkan Ibu Kota 
negaranya.Sejarah mencatat, pemindahan Ibu Kota Negara terjadi 
setiap 2-3 tahun terjadi. Bahkan, akhir-akhir ini berlangsung setiap 
2 tahun sekali. Berikut daftar negara yang telah sukses
memindahkan Ibu Kota Negaranya dan Negara-negara yang masih 
dalam tahap pembahasan untuk memindahkan Ibu Kota.
Motivasi negara untuk memindahkan Ibu Kota Negaranya 
sangat beragam.Namun, secara garis besar keputusan untuk 
memindahkan Ibu Kota diambil untuk mengatasi permasalahan 
politik, ekonomi, maupun budaya di negara ini .Terdapat 
empat motivasi utama yang memicu pemindahan Ibu Kota di 
banyak negara.Berikut kumpulan motivasi beberapa Negara yang 
telah berhasil memindahkan Ibu Kota negaranya.

Tabel diatas menunjukan bahwa sebagian besar pemindahan 
Ibu Kota negara didasari oleh permasalahan di Ibu Kota 
sebelumnya.Permasalahan ini  dapat berupa kemacetan, 
banjir, kepadatan penduduk, dll.Motivasi lainnya yang mendasari 
pemindahan Ibu Kota adalah usaha  untuk memeratakan 
pebangunan nasional, penguatan identitas bangsa, dan isu sosial 
politik/ketahanan. Secara lebih rinci, dibawah ini akan membahas 
best practice negara yang telah berhasil memindahkan Ibu Kota 
Negaranya, serta pelajaran yang dapat diambil untuk pemindahan 
Ibu Kota Negara di Indonesia. 
BRASILIA, BRAZIL
Overview
Pemindahan Ibu Kota Negara ke Brasilia adalah usaha  untuk 
menciptakan kebanggaan nasional masyarakat Brasil dengan cara 
membangun Ibu Kota Negara yang modern di abad 21. Konsep ibu 
kota baru di pedalaman Brasil telah dipertimbangkan pada akhir 
abad ke-18 oleh para pejuang kemerdekaan negara. Ibu kota-kota
brazil sebelumnya terletak di pantai Atlantik di tempat konsentrasi 
kegiatan ekonomi yang berorientasi ekspor dan ditandai oleh 
dominasi Portugis. Terdapat beberapa hal penting dalam memulai 
project ini, salah satunya adalah keinginan untuk 
mengintegrasikan negara secara ekonomi, politik, dan 
sosial.29Pembangunan Ibu Kota Negara baru juga merupakan salah 
satu dari rencana untuk membangun interior wilayah yang 
dinamakan cerrado di wilayah Amazon untuk membangun 
interkonektivitas antar wilayah dan untuk memindahkan pusat 
gravitasi ekonomi dan politik dari wilayah pesisir ke tengah wilayah 
Brasilia.30Tujuan utama pemindahan Ibu Kota adalah untuk 
mengintegrasikan negara dalam hal ekonomi dan spolitik dan 
menciptakan pusat pertumbuhan di tengah wilayah negara. 
Ide dan realisasi. Pembangunan tahap awal Brasilia 
dilaksanakan dengan relatif cepat sebab adanya desakan politik 
untuk memindahkan Ibu Kota Negara dalam satu periode 
pemerintahan Presiden (5 tahun), yang pada saat itu berada 
dibawah pemerintahan Presiden Juscelino Kubitschek. Lokasi Ibu 
Kota baru berjarak 600 mil atau 934 km sebelah barat dari Rio de 
Janeiro dengan luas: 5,814 km2 atau 581.400 Ha. Lokasi Brasilia 
dipilih sebab wilayah ini  relatif aman dari bencana alam, 
tidak ada polusi, dan memiliki iklim yang cukup baik. Aspek 
perencanan kota dibuat oleh Lucio Costa, dan desain kota dibuat 
oleh arsitek bernama Oscar Niemeyer. Konsep Brasilia dibuat 
berdasarkan ide modernis dari Le Corbusier tentang potensi 
transformasi sosial yang terkandung di konsep kota. Kota terencana 
harus harus menjadi blueprits bagi transformasi sosial dan katalis 
pembangunan negara.Fungsi Kota Brasilia direncanakan sebagai 
pusat administrasi pemerintahan yang inklusif dan terbuka bagi 
seluruh lapisan masyarakat. Namun, realisasi nya kota ini tidak 
dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah
Brasilia dianggap sebagai deklarasi kemerdekaan budaya di Brazil 
yang menegaskan elemen khas Brazilia kedalam gaya arsitektur 
kota. Arsitektur di desain melengkung dan ruang terbuka yang 
menghasilkan feeling of freedom, flight, and suppleness. Ikonografi 
(ilmu tentang seni dan membuat arca) dan topografi dibuat dengan 
menegaskan dekolonisasi dan moderenitas. Master Plan kota ini 
dibuat dengan bentuk pesawat terbang yang melambangkan 
representasi Brasilia sebagai “the capital of the airplane”, Brasilia 
merupakan tempat pertama yang dibangun dengan akses Jet, hal 
ini kontras dengan Ibu Kota terdahulu yang lebih menekankan 
akses kapal laut yang merupakan Ibu Kota peninggalan.
Pemindahan Ibu Kota adalah misi untuk menyusun dan 
menstimulasi teknologi dan inovasi.
Banyak pengamat yang melihat bahwa permasalahan￾permasalahan di Brasilia yang ada saat awal pemindahan telah 
diselesaikan dan diperbaiki. Brasilia berhasil menyeimbangkan 
kehidupan ekonomi dan politik dan telah berhasil mencapai misi 
untuk membangun pedalaman di Negara Brazil. Pembangunan di 
cerrado telah mengubah Brazil dari negara pengimpor makanan 
menjadi salah satu negara “breadbasket” terbaik di dunia.
Pembangunan di Brasilia juga telah meningkatkan konektivitas 
transportasi dan mendorong munculnya pusat ekonomi sekunder 
di bagian utara yang kurang berkembang. Program jalan nasional 
sukses menghubungkan Ibu Kota baru dengan Ibu Kota negara 
bagian dan pusat penduduk dan ekonomi lainnya. Pemindahan Ibu 
Kota ke Brasilia dikenal sebagai proyek yang terorganisir dengan 
sangat baik. Pembangunan kota menghadirkan semangat
eksperimental, spontanius, dan improvisasi.
Perkembangan Kota Brasilia saat ini terlihat dari 
pertumbuhan penduduk dan tingkat GDP per kapitanya, sebagai 
berikut:

a. Populasi terus meningkat dari awal pemindahan. Tahun 
1960: 136.643 orang; Tahun 2000: 2.931.823 orang; 
Tahun 2019: 4.558.991 orang
b. Brasilia menjadi kota terbesar ketiga di Brazil setelah Rio 
de Janeiro dan Sao Paulo
c. GDP per capita tertinggi di Brazil R$ 64.653, sebagai 
perbandingan Rio de Janeiro hanya R$ 31.064
Durasi Pembangunan. Periode pembangunan selama 5 tahun 
dimulai pada akhir tahun 1956 hingga tahun 1961. Tema 
pembangunan Kota Brasilia adalah Modernist City, dengan 
infrastruktur yang dibangun meliputi fungsi pemerintahan, 
perumahan, sport center, taman, botanical garden, kebun binatang, 
bioskop, teater, restoran, pusat kebudayaan, perbankan, industri 
lokal kecil. Konsep perencanaan memiliki dua sumbu utama 
berpotongan sumbu dan sumbu perumahan. Pada titik temu antar 
sumbu terdapat area komersial dan pusat kebudayaan.
Biaya. Skema Pembiayaan konstruksi awal pembangunan 
Brasilia menggunakan biaya APBN sebesar $8.1 Milyar untuk 
infrastruktur dasar dan bangunan- bangunan penunjang penting 
seperti pemerintahan dan tempat tinggal pegawai. Selanjutnya, 
pada tahap pengembangan skema pembiayaan menggunakan Land 
Value Capture dengan cara menjual tanah di Brasilia dengan tetap 
ditopang oleh APBN.
Lesson Learned. Terdapat beberapa catatan penting yang 
dapat menjadi pembelajaran dari pemindahan Ibu Kota Negara di 
Brazil, antara lain:
• Ruang terbuka hijauyang luas dapat menjadi acuan pembangunan 
IKN baru. Lebih dari 50% wilayah Brasilia merupakan ruang 
terbuka hijau meliputi: Park, Green Spaces, Zoo, Botanical Garden, 
dan Sport Complex. Proporsi ruang Terbuka Hijau yang besar serta 
konsep pengembangan kota yang hijau, ramah lingkungan dan

berkelanjutan penting mengingat pembangunan Brasilia di wilayah 
hutan Amazon yang menjadi paru-paru dunia.
• Perlunya perencanaan yang matang terkait infrastruktur, dan 
intergrasinya terhadap konsep pembangunan yang diharapkan. 
Jarak antar zona peruntukan di Brasilia terlalu jauh, dan desain 
kota berfokus pada kendaraan pribadi sehingga tidak ramah 
terhadap pejalan kaki.
• Pembangunan Ibu Kota baru tidak boleh meremehkan risiko politik 
– pemindahan Ibu Kota membutuhkan kepastian hukum untuk 
meminimalisir risiko politik kedepannya.
• Proses pembangunan awal relatif singkat selama 5 tahun (1956-
1961), menjadikan Brasilia sebagai katalis pertumbuhan ekonomi. 
• Pentingnya investasi di infrastruktur nasional – infrastruktur dapat 
memberikan dampak positif terhadap pemerataan pembangunan 
dan mempercepat arus ekonomi.
CANBERRA, AUSTRALIA
Overview
Keputusan untuk memindahkan Ibu Kota di Australia dibuat 
pada tahun 1908.Tantangan saat itu adalah bagaimana mencari 
lokasi yang yang bersifat netral dan tidak memberikan special 
privilege terhadap daerah manapun. Pada saat itu, keputusan yang 
diambil adalah memindahkan Ibu Kota ke lokasi yang berjarak 
sama ke kedua kota terbesar di Australia yaitu Sydney dan 
Melbourne. Pembangunan Ibu Kota yang baru dimulai pada tahun 
1913, namun sempat ditunda sebab perang dunia I dan masalah 
keuangan di Australia.
Desain Ibu Kota dikompetisikan secara internasional pada 
tahun 1911 dan menghasilkan 137 skema yang diajukan.Desain 
yangmemenangkan kompetisi saat itu adalah desain Walter Burley 
Griffin dariyang berasal dari Amerika.Desain Griffin menggunakan 
bentuk segitiga sebagai struktur kunci desain perkotaan. Segitiga 
parliamenter dibentuk dengan tiga poros yang membentuk 
segitiga.Kota ini dibangun di tiga bukit yang membentuk struktur 
kunci dari rencana arsitektur perkotaannya. Gedung pemerintahan 
terletak di sekitar danau buatan, dan pemukiman memiliki area

terbuka yang luas.Konsep garden-city dipilih untuk 
diimplementasikan di Canberra sehingga masyarakat Australia 
menyebut Ibu Kota baru sebagai “the bush capital”.
Nama dan lokasi yang dipilih memiliki  arti khusus.Lokasi 
Canberra mengutamakan keserasian lansekap, topografi, dan 
keindahan alam.Nama Canberra diserap dari lokal “Kambera” yang 
memiliki arti “tempat berkumpul (the meeting place)”. Pada zaman 
dahulu, lokasi ini merupakan tempat berkumpul orang aborigin 
dari berbagai suku untuk pertemuan seremonial. Banyak nama 
jalan di Canberra diambil dari Aborigin, dan Museum Nasional 
Australia memamerkan koleksi artefak kebudayaan Aborigin. 
Lokasi Canberra berada di wilayah inland 280 Km selatan barat 
daya Sydney dengan luas 814 km2. Konstruksi Canberra dimulai 
pada tahun 1911 dan membutuhkan waktu pembangunan selama 
50 tahun sampai benar-benar selesai.
Durasi Pembangunan
Pembangunan Infrastruktur Dasar
• 1920 – 1930: Jalan dan sewerage dibangun, penanaman 
pohon dimulai, dan - 59 - Parlemen dibangun. Pertokoan, 
kantor, hotel, dan perumahan diselesaikan untuk 1,100 
orang pegawai. 
• 1927: - 59 - legislatif pindah ke Canberra. 
• 1935 – 1945: Pembangunan terhambat akibat great 
depression dan WWII
Percepatan Pembangunan dan perkembangan daerah satelit 
melalui Y Plan 
• 1960an: Canberra tumbuh cepat sesuai pemindahan fungsi 
pemerintahan dan permukiman baru. 
• 1962: pertumbuhan kota satelit Woden Weston Creek 
berjarak 12 km dari pusat perkantoran.
• 1967: Y Plan menjadi dasar perkembangan kota satelit 
sebagai kota, namun tetap terhubung melalui sistem 
transportasi yang komprehensiE. 
• 1971: Kebijakan pemilikan lahan untuk dikuasai pemerintah 
memicupemerintah membayar ganti rugi sebesar 
USD 1,8 miliar kepada swasta. 
Kemandirian kota dan Perkembangan Kapital pada era 100 
tahun Canberra. 1989: Struktur baru pemerintah, melibatkan dua 
tingkat sistem perencanaan yaitu Australian Capital Territory (ACT) 
dan pusat yang bertanggung jawab untuk - 60 - strategis untuk 
pemerintahan pusat. 
Biaya. Tabel dibawah ini merupakan estimasi biaya konstruksi dan 
pengambilalihan lahan dari periode 1954 sampai 1987. Estimasi ini 
tidak termasuk kategori lain seperti gaji National Capital 
Development Commision (NCDC) atau yang sekarang disebut 
National Capital Authority (NCA), subsidi bagi penduduk Canberra, 
atau pengeluaran lain dari periode 1911 sampai 1953.
• Waktu implementasi yang panjang rentan terhadap risiko 
internal
• dan eksternal. Proses konstruksi infrastruktur dasar 
terhambat oleh proses politik dan birokrasi serta faktor 
sosial-ekonomi secara eksternal (Great Depression dan WWII).
• Penguasaan lahan oleh pemerintah memudahkan koordinasi 
rencana dan pembangunan pada tahap selanjutnya.
• Pentingnya membentuk Badan Otorita. Tahapan akhir 
pembangunan Canberra berhasil setelah dikelola oleh Komisi 
independenNational Capital Development Commission 
(NCDP) untuk mengelola perencanaan, pengembangan, dan 
konstruksi mampu mempercepat proses pembangunan 
dengan tetap berpedoman pada “Y Plan”
• Perencanaan konsep Garden City di Canberra dapat menjadi 
contoh konsep pembangunan IKN dengan konsep forest city 
dengan mengintegrasikan bentang alam yang terdiri dari 
kawasan berbukit dan Daerah Aliran Sungai (DAS), dan 
struktur topografi.

WASHINGTON DC, USA
Overview. Pemindahan Ibu Kota ke Washington.D.C., adalah 
produk dari kompromi politik sebagai solusi untuk mendapatkan 
tempat permanen bagi Pemerintah Federal AS. Sebagai bagian dari 
kebijakan keuangan pada era Hamilton (Sekertaris 
pembendaharaan pertama AS era Presiden George Washington), 
Kongres mendukung Bank Amerika Serikat untuk bertempat di 
Philadelphia, dan sebagai gantinya, the special District of Columbia 
diberikan ke Kongres (Pemerintah) untuk dibangun pusat 
pemerintahan di sekitar Sungai Potomac. Kebijakan Hamilton 
mendorong konsolidasi kekuatan ekonomi di tangan para, investor, 
dan pedagang yang mendominasi di timur laut perkotaan, Ibu Kota 
sebagai kekuatan politik harus berada di wilayah pertanian yang 
lebih ke selatan dan terpisah dari para elit ekonomi.
Ide dan realisasi. Setelah lokasi untuk Ibu Kota seluas 177 
km2 dipilih pada 1790, Presiden Washington menunjuk Pierre 
Charles L’enfant, seorang insinyur Prancis dan mantan perwira
Angkatan Darat Kontinental untuk merancang dan merencanakan 
Ibu Kota baru. Konsep Master Plan yang dibuat saat itu adalah 
magnificent city, worthy of the nation, free of its colonial origins, and 
bold in its assertion of a new identity. Rencana besarnya adalah 
untuk memberi pride pada Capitol yang akan dibangun di sebuah 
bukit yang menghadap dataran datar di sekitar Potomac. Sebuah 
National Mall yang menghubungkan legislatif ke sungai dan akan 
dibatasi oleh berbagai bangunan megah. Diluar wilayah dirancang 
sejumlah jalan luas yang salah satunya akan terhubung dengan 
rumah presiden. Banyak dari visi besar L’Enfant diabaikan selama 
abad ke-19, namun mulai tahun 1922 desain nya mulai 
diimplementasikan. 
Durasi Pembangunan. Pembangunan Ibu Kota baru 
membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama untuk menjadi 
kota yang sukses dan mandiri. Desain DC dirancang pada tahun 
1791, namun baru diimplementasikan pada tahun 1922. Pada 
tahap awal pemindahan, DC sangat bergantung pada dana dari 
pemerintah federal selama 40 tahun, terlebih pembangunan DC 
sempat terhambat sebab adanya perang tahun 1812 dan 
kebakaran the White House, the Capitol Building, dan the Library 
of Congress pada tahun 1814. Masalah sosial juga timbul dari 
banyaknya budak dan meningkatnya angka populasi pada tahun 
1960an. Tahun 1872 pemerintah distrik bangkrut sesaat setelah 
runtuhnya Jay Cooke and Company (Perusahaan induk Bank 
nasional pertama di New York dan pemegang 100% obligasi untuk 
pekerjaan umum). Namun, setelah lebih dari 200 tahun 
pembangunan, DC mulai menjadi pusat pemerintahan dengan GDP 
yang tinggi dan populasi penduduk yang terus meningkat
Biaya. Untuk mengestimasi biaya pembangunan Ibu Kota 
baru di AS cukup sulit karena:

a. Saat awal kemerdekaan AS posisi pemerintah negara bagian 
lebih kuat dari pemerintah federal, dan negara-negara bagian 
masih mengeluarkan mata uang sendiri.
b. Tanah yang digunakan diberikan oleh negara bagian 
Maryland dan Virginia ke pemerintah federal tanpa biaya.
c. Tenaga kerja untuk awal pembangunan dilakukan oleh 
budak. Diperkirakan biaya pembangunan Ibu Kota pada 
tahap awal adalah 3 kali lipat dari Anggaran Pemerintah 
Federal selama lebih dari 10 tahun pertama.
Lesson Learned. Pembangunan Ibu Kota negara baru 
membutuhan waktu puluhan bahkan ratusan tahun, untuk 
menjadi mandiri. Washington membutuhkan waktu 60 tahun 
untuk menjadi pusat populasi yang berkembang, dan hingga saat 
ini masih berusaha untuk menghasilkan sumber pendapatan 
secara mandiri. 
Pusat administrasi yang megah dan monumental 
membutuhkan investasi secara bertahap. Rencana awal 
pembangunan taman, dan di Washington belum rampung hingga 
lebih dari 100 tahun, hingga diperlukan alokasi dana yang cukup 
besar dari Kongres.

SEJONG, KOREA SELATAN
Overview. Pemerintah Korea Selatan menetapkan Sejong 
sebagai Ibu Kota Negara pada tahun 2005 melalui Undang-undang 
khusus.Pemindahan Ibu Kota Negara ini bertujuan untuk 
merelokasi 2/3 instansi pemerintah dari Seoul.Kota Sejong berada
120 Km dari Seoul yang merupakan pusat perekonomian.Letaknya 
yang berada di tengah wilayah Korea Selatan menjadikan Sejong 
dipilih sebagai Ibu Kota untuk melaksanakan pemerataan 
pembangunan dan mengurangi beban Seoul.
Kota Sejong dibangun sebagai pusat pemerintahan Korea 
Selatan dan juga sebagai pusat riset dan high-tech industri. 
Konstruksi pembangunan Kota Sejong dilakukan mulai tahun 2007 
hingga pada tahun 2017, dalam kurun waktu 10 tahun ini  
telah terbangun 40 instansi pemerintahan dan 15 lembaga 
penelitian.
Rencana pembangunan Sejong mengedepankan 
pengalokasian ruang terbuka hijau hingga seluas 50% dari total 
luas area. Perwujudan konsep green city ini juga dilakukan dengan 
pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan memperbanyak 
penggunaan transportasi publik. Hal ini  juga didorong oleh 
Penanaman 40 juta pohon serta pembangunan jalur sepeda 
sepanjang 350 Km. Desain Kota Sejong berbasis pada
pengembangan transportasi publik dan pedestrian dimaksudkan 
untuk mengakomodasi kebutuhan publik. Pengembangan 
transportasi publik ini  menjadikan Kota Sejong menjadi pusat 
sistem transportasi nasional yang terhubung dengan kota-kota 
besar lainnya dalam waktu yang relatif singkat. 
Durasi Pembangunan. Untuk mengelola pembangunan dan 
pengembangan Kota Sejong, pemerintah membentuk Multi￾Functional Administrative City Construction Agency 
(MACCA).Badan ini  memiliki wewenang untuk implementasi, 
perizinan, perencanaan, dan konstruksi pada area pusat Kota 
Sejong.Target pembangunan Kota Sejong bertujuan untuk 
mencapai jumlah penduduk hingga setengah juta penduduk dalam 
rentang waktu kurang dari 25 tahun.Pada tahun 2016, populasi 
Kota Sejong sudah mencapai 250.000 jiwa dan pemindahan - 67 -
pemerintah hampir selesai.45Berikut merupakan alur perencanaan 
dan pembangunan Kota Sejong.

Biaya. Perkiraan biaya pembangunan awal pada tahun 2005 
sekitar $8 miliar namun pengembangan secara menyeluruh Kota 
Sejong saat ini diperkirakan akan menelan biaya pemerintah 
sebesar $22 miliar selama 30 tahun. Pembebasan lahan untuk kota 
baru dilakukan melalui proses partisipasi publik yang melibatkan 
pemilik tanah yang ada di pedesaan tempat Sejong akan dibangun. 
Pemilik tanah bersedia untuk bernegosiasi, sebab telah 
mendukung rencana pengembangan kota baru sejak awal.
Lesson Learned
• Pentingnya kesepakatan politik dari berbagai pihak. Pada 
awal perencanaan, Sejong perlu mengkompromikan berbagai 
hal dalam menghadapi oposisi politik. Perdebatan terus 
berlanjut terkait bagaimana tentang mengatasi 
ketidakefisienan pemerintahan yang terpisah antara Seoul 
dan Sejong.
• Perekonomian kota membutuhkan waktu puluhan tahun 
untuk berkembang secara keseluruhan. Jarak yang terlalu 
dekat membuat Sejong lebih lama untuk berkemban se

Related Posts:

  • jakarta 1 Penetapan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia pada awalnya merupakan penetapan yang bersumb… Read More