Rabu, 12 Februari 2025

kepribadian ganda 2


 ris yang sangat canggih dan berpendidikan, ahli sains 

dan kedokteran, konservatif dan fasih menulis dan berbahasa Arab. 

3. Ragen Vadascovinich (Penjaga Kebencian): berbahasa Serbo-Kroasia, 

ahli senjata dan peluru, seorang karateka, dan mengakui telah melakukan 

perampokan namun ia tidak mengetahui tentang kasus pemerkosaan, 

mampu mengendalikan hormon adrenalin dalam tubuh, seorang komunis 

dan ateis, melindungi anak-anak dan wanita, seorang yang buta warna. 

4. Allen: seorang penipu dan manipulator, pemain drum, perokok dan satu-

satunya kepribadian yang tidak kidal. 

5. Tommy: seniman pelarian, pemain saksofon tenor, ahli eletronik, seorang 

pelukis spesialis lanskap. 

6. Danny: takut pada orang khususnya laki-laki, rambut pirang sebahu, mata 

biru, perawakan pendek langsing. 

                                                 


7. David (Penjaga Rasa Sakit): usia 8 tahun, penuh intuisi, sering 

kebingungan, rambut cokelat tua kemerahan, tubuh agak kecil. 

8. Christene: usia 3 tahun, disleksia tapi Arthur mengajarinya membaca dan 

menulis, memiliki ikatan khusus dengan Ragen. 

9. Christopher (saudara Christene): pemain harmonika, berbicara dengan 

aksen Inggris, penurut, rambut cokelat agak pirang seperti Christene tapi 

dengan poni yang agak pendek. 

10. Adalana: seorang lesbian, memasak dan membersihkan rumah untuk yang 

lain, penulis puisi, dan mengakui telah melakukan pemerkosaan tanpa 

sepengatahuan Billy atau yang lainnya. 

b. Kepribadian-kepribadian yang tidak diinginkan: 

11. Phill: seorang preman, memiliki aksen Brooklyn, rambut cokelat keriting, 

mata cokelat terang dan berhidung bengkok. 

12. Kevin: seorang kriminal, merupakan perencana pidana, senang menulis, 

berambut pirang dan bermata hijau. 

13. Walter: orang Australia, seorang pemburu binatang, pandai menentukan 

arah. 

14. April: berbicara dengan aksen Boston, memiliki dendam terhadap ayah 

tiri Billy, suka menjahit dan mengurus rumah tangga, rambut hitam dan 

mata cokelat. 

15. Samuel: beraga Yahudi dan satu-satunya yang percaya kepada Tuhan, 

seorang pemahat kayu, rambut dan janggutnya keriting, mata cokelat. 

16. Mark: pekerja keras, sering disebut zombie karena ia tidak melakukan apa 

pun kecuali disuruh dan akan menatap tembok ketika bosan. 


17. Steve: peniru gelagat orang untuk komedi, suka mengejek orang. 

18. Lee: seorang pelawak dan sering bertindak nakal. 

19. Jason: sering membuat banyak masalah. 

20. Bobby: seorang pemimpi dan senang berkhayal, tidak berambisi dan tidak 

berminat pada intelektual. 

21. Shawn: seorang tunarungu, sering dianggap terbelakang, sering 

mengeluarkan suara dengungan untuk merasakan getaran di kepalanya. 

22. Martin: seorang yang sombong dari New York, suka pamer kemewahan 

serta senang berlagak, ingin memiliki segala hal tanpa bekerja, rambut 

pirang dan mata kelabu. 

23. Timothy: bekerja di sebuah toko bunga sampai dia bertemu dengan 

seorang pria homo yang menggodanya dan setelah itu dia pergi ke 

dunianya sendiri. 

24. The Teacher (Sang Guru): merupakan perpaduan dari ke 23 kepribadian 

lainnya, sangat peka dan punya selera humor yang bagus, dan dia 

memiliki semua ingatan tentang semua kejadian yang dialami oleh semua 

kepribadian Billy.26 

4. Anastasia Wella 

Seorang wanita asal Indonesia yang lahir sekitar 27 tahun silam ini pada tahun 

2009 didiagnosis mengidap Dissociative Identity Disorder (DID) atau gangguan 

identitas disosiatif. Anastasia Wella menjadi pasien pengidap gangguan identitas 

disosiatif pertama yang diketahui di Indonesia. 

                                                 

  

Gangguan yang muncul pada dirinya disebabkan oleh trauma parah yang 

dialami akibat perlakuan kasar dari orang tuanya. Selain itu, Anastasia Wella atau 

yang akrab disapa Wella yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara ini 

sering mengalami tekanan dari lingkungan sekolah. Wella sering dikucilkan, 

dianggap culun hingga dibuat merasa minder, dibully dan sering merasa sendiri 

sehingga merasakan takut yang berlebihan. Semua pengalaman buruk yang menimpa 

Wella terjadi ketika Wella masih berusia sekitar 9 tahun dan kejadian-kejadian 

ini  terjadi secara berulang. Pengalaman buruk itulah yang memaksakan 

kepribadian Wella terpecah menjadi 9 kepribadian. 

Switching atau penggantian kepribadian pada diri Wella akan terjadi jika  

dia menghadapi masalah, merasa terancam atau berada dalam pilihan yang sulit. Jika 

Wella sudah mulai panik, kepalanya terasa migrain dan muncul rasa cemas, itu 

merupakan pertanda akan terjadi penggantian kepribadian dalam dirinya. 

Wella memiliki 9 kepribadian dengan nama dan karakter yang berbeda. 

Berikut ini kepribadian-kepribadian dari Wella, yakni: 

a. Anastasia Wella: kepribadian tuan rumah atau kepribadian inti, susah marah, 

agak penakut, lemah berhitung, hobi membaca, beragama Katolik. 

b. Naura: berkarakter tempramen. 

c. Paula: seorang yang ahli berhitung. 

d. Saraswati: seorang model dan penari. 

e. Atin: seorang anak-anak berumur sekitar 8 atau 10 tahun. 

f. Andreas: seorang laki-laki yang suka melakukan kekerasan. 

g. Ravelin: seorang dengan gaya hidup hedonis. 

h. Ayu: seorang yang pandai menulis sastra. 

 

 

 

i. Bilqis: beragama Islam, seorang yang pandai baca tulis Alquran.27 

Wella saat ini masih dalam penanganan psikiater. Dia ditangani sejak Maret 

2015 oleh dr. Ni Wayan Ani Purnamawati. Wella masih rutin melakukan konsultasi 

dan beberapa kali melakukan psikoterapi. Dokter yang menangani Wella pun rutin 

memberi obat anti depresi agar bisa meminimalisir rasa emosi sehingga penggantian 

kepribadian (switching) bisa ikut terminimalisir. 

 

                                                 


Menurut Abdul Qadir Audah, jinayah secara etimologi adalah nama (sebutan) 

orang yang berbuat tindak pidana (delik) atau orang yang berbuat kejahatan. Dalam 

definisi lain ia mengemukakan jinayah adalah nama perbuatan yang diharamkan 

berdasarkan syariat baik perbuatan yang mengenai jiwa orang, harta atau lainnya. 

Sedangkan Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah yaitu setiap perbuatan yang 

diharamkan, dan perbuatan yang diharamkan adalah setiap perbuatan yang dilarang 

oleh Allah. swt. ( ), karena ada bahaya yang menimpa agama, jiwa, akal,

kehormatan dan harta.1

Sementara pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar dari 

yang berarti membunuh.2 Sedangkan secara terminologi, pembunuhan 

adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan/atau beberapa orang yang 

mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang meninggal dunia.3 Pembunuhan 

merupakan suatu perbuatan yang sangat dimurkai oleh Allah. swt. karena 

                                                  


menyebabkan hilangnya nyawa manusia.4 Dalam kitab

disebutkan bahwa pembunuhan adalah aktivitas menghilangkan nyawa. Sedangkan 

dalam kitab disebutkan bahwa pembunuhan adalah pekerjaan 

seorang hamba Allah yang melenyapkan kehidupan.5

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud 

dengan tindak pidana pembunuhan menurut hukum Islam adalah perbuatan haram 

yakni menghilangkan nyawa yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain.

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan 

diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang 

bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga 

perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh 

hukum).6 Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari , di dalam 

Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa 

sebenarnya yang dimaksud dengan itu sendiri.7 Sedangkan Van Hamel 

mengatakan bahwa adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam 

undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan 

kesalahan.8 Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku 

                                                  


Hukum Pidana

Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya

2. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Nasional

dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal ini  terdapat juga seseorang untuk 

tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak 

pidana

Secara etimologi, pembunuhan berasal dari kata “bunuh” yang dalam kamus 

bahasa Indonesia berarti menghilangkan nyawa; mematikan.10 Dengan imbuhan pem-

di depan kata bunuh, maka akan menjadi kata pembunuh yang berarti orang yang 

membunuh; alat untuk membunuh. Sedangkan jika  ada imbuhan –an di belakang

kata pembunuh, maka akan menjadi kata pembunuhan yang berarti proses, cara, 

perbuatan membunuh

Secara terminologi pembunuhan adalah perkara membunuh atau perbuatan 

membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan 

menghilangkan nyawa orang lain.13 Tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai 

delik material bila delik ini  selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya 

akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud 

dengan tindak pidana pembunuhan menurut hukum nasional ialah perbuatan 

                                                  


menghilangkan nyawa orang lain yang oleh aturan hukum hal itu jelas dilarang dan 

diancam dengan pidana.

Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana pembunuhan diklasifikasikan 

menjadi tiga kategori, yakni:

a. Pembunuhan sengaja ( )

Pembunuhan sengaja adalah suatu perbuatan penganiayaan terhadap 

seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya.15 Kesengajaan di sini 

berupa kesengajaan bertindak, kesengajaan dalam sasaran dan kesengajaan dalam hal 

alat yang digunakan.16 Sehingga menurut hemat peneliti bahwa pelaku memang 

sudah memiliki niat dan tujuan dari awal hingga selesainya perbuatan. Adapun unsur-

unsur yang harus dipenuhi agar suatu pembunuhan dapat dikategorikan sebagai 

pembunuhan sengaja, antara lain:

1) korban adalah orang yang hidup sebelum pembunuhan dilakukan. 

Maksudnya sebelum pelaku melakukan pembunuhan, korban masih dalam 

keadaan hidup, 

2) perbuatan pelaku yang mengakibatkan kematian korban, yakni pelaku 

memakai  alat yang dipandang lazim untuk membunuh seperti benda-

benda tajam, senjata api dan lain sebagainya, dan

                                                  

1. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Islam

Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan

amd

Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat Islam dalam Wacana 

dan Negara

Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer 

3) ada niat pelaku untuk menghilangkan nyawa korban. Karena tanpa adanya 

niat dari pelaku, maka pelaku tidak akan melakukan perencanaan dengan 

menyiapkan alat untuk membunuh serta perbuatan tidak akan selesai 

bahkan mungkin tidak akan terjadi.

Selain itu, syarat-syarat suatu pembunuhan dikategorikan sebagai 

pembunuhan sengaja jika :

1) pembunuh adalah orang yang berakal, balig dan sengaja membunuh,

2) korban merupakan manusia yang darahnya dilindungi, dan

3) alat yang digunakan membunuh merupakan alat yang pada kebiasaannya 

dapat mematikan.17

b. Pembunuhan tidak disengaja ( )

Pembunuhan tidak disengaja adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang 

dengan tidak ada unsur kesengajaan dan memakai  alat yang dipandang secara 

lazim tidak mematikan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.18 Sebagai 

contoh dapat dikemukakan bahwa seseorang melakukan penebangan pohon yang 

kemudian pohon yang ditebang itu, tiba-tiba tumbang dan menimpa orang yang lewat 

lalu meninggal dunia. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu 

pembunuhuan dapat dikategorikan sebagai pembunuhan tidak disengaja antara lain:

1) perbuatan pelaku murni tanpa ada niat dan kesengajaan,

2) kematian korban karena kesalahan pelaku, dan

                                                 

3) adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan pelaku dengan 

kematian korban.

c. Pembunuhan tidak ada unsur membunuh atau pembunuhan semi sengaja (

)

Pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh ialah perbuatan yang tidak 

ditujukan kepada seseorang tetapi seseorang mati karena perbuatannya.Ada pula 

pendapat lain yang mengatakan bahwa pembunhan semi sengaja adalah perbuatan 

yang sengaja dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan mendidik.

Misalnya orang melempar baru ke hutan tiba-tiba orang mati terkena batu ini ; 

seorang guru yang memukul muridnya, namun tiba-tiba murid yang dipukul ini  

meninggal.  Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu pembunuhan dapat 

dikategorikan sebagai pembunuhan semi sengaja antara lain:

1) pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian,

2) ada maksud penganiayaan atau permusuhan, dan

3) ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian 

korban.

Bentuk kesalahan ( ) tindak pidana (delik) pembunuhan dapat berupa 

kesengajaan ( ) dan ketidaksengajaan ( ). Menurut Teguh Prasetyo,  delik 

adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan itu 

mungkin dengan kata-kata yang tegas “… dengan sengaja”, tetapi mungkin juga 

dengan kata-kata lain yang senada, seperti “… diketahuinya”, dan sebagainya. 

                                                  

Hukum Pidana Islam

2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Nasional

Selanjutnya beliau menerangkan bahwa delik di dalam rumusannya memuat 

unsur kealpaan, dengan kata “… karena kealpaannya”, misalnya pada Pasal 359, 360, 

195. Di dalam beberapa terjemahan kadang-kadang dipakai istilah “… karena 

kesalahannya”. Berdasarkan unsur kesalahan, tindak pidana pembunuhan dapat 

dibedakan menjadi:

a. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja

1) Pembunuhan biasa

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana 

dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan 

semua unsur-unsurnya.Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu 

pembunuhan dapat dikategorikan sebagai pembunuhan biasa antara lain:

a) Unsur subjektif: perbuatan dengan sengaja

Dengan sengaja artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu 

harus timbul seketika itu juga, karena sengaja ( ) yang dimaksud dalam 

Pasal 338 KUHP adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan 

terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 KUHP adalah 

suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang 

terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu.

b) Unsur objektif: perbuatan menghilangkan nyawa orang lain atau 

mengakibatkan matinya orang.

                                                  


Delik-delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan

Unsur objektif yang pertama dari tindak pidana pembunuhan, yaitu 

“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus 

menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan ini  dan 

dia pun harus mengetahui bahwa tindakannya itu betujuan untuk menghilangkan 

nyawa orang lain.24

2) Pembunuhan dengan pemberatan

Hal ini diatur Pasal 339 KUHP. Perbedaannya dengan pembunuhan biasa 

yang terdapat pada Pasal 338 KUHP ialah pembunuhan itu dimaksudkan untuk 

mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain. Adapun unsur-unsur yang harus 

dipenuhi agar suatu pembunuhan dapat dikategorikan sebagai pembunuhan dengan 

pemberatan antara lain:

a) unsur subjektif:

(i) dengan sengaja,

(ii) dengan maksud, dan

b) unsur objektif:

(i) menghilangkan nyawa orang lain,

(ii) diikuti, disertai dan didahului dengan tindak pidana lain

(iii) untuk menyiapkan atau memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana 

yang akan, sedang atau telah dilakukan,

(iv) untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya 

(peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan,

                                                  


Delik-delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan


(v) untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah 

diperoleh secara melawan hukum, dalam dia atau mereka terpergok 

pada waktu melaksanakan tindak pidana.25

3) Pembunuhan berencana

Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP. Menurut Chidir Ali yang dimaksud 

dengan direncanakan lebih dahulu adalah suatu saat untuk menimbang-nimbang 

dengan tenang untuk memikirkan dengan tenang. Selanjutnya juga bersalah 

melakukan perbuatannya dengan hati tenang.26 Adapun unsur-unsur yang harus 

dipenuhi agar suatu pembunuhan dapat dikategorikan sebagai pembunuhan berencana 

antara lain:

a) unsur subjektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih 

dahulu, dan

b) unsur objektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.27

Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi dan seorang pelaku sadar dan sengaja 

akan timbulnya suatu akibat tetapi pelaku tidak membatalkan niatnya, maka pelaku 

dapat dikenakan Pasal 340 KUHP.

4) Pembunuhan atas permintaan sendiri

Hal ini diatur dalam Pasal 344 KUHP. Dalam pasal ini membicarakan 

mengenai pembunuhan atas permintaan dari yang bersangkutan. Unsur khususnya 

                                                  


Delik-delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan

Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana

Delik-delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan

yaitu permintaan yang tegas dan sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta 

dibunuh itu permintaannya tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan 

saja, maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344 KUHP karena belum 

memenuhi perumusan dari Pasal 344 KUHP, akan tetapi memenuhi perumusan Pasal 

338 KUHP tentang pembunuhan biasa.28

b. Pembunuhan tidak sengaja

Tindak pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja merupakan bentuk 

kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Hal ini diatur dalam Pasal 

359 KUHP, yang di mana inti dari Pasal ini ialah kealpaan atau kelalaian yang 

menyebabkan kematian orang lain.

Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat 

(rumit), yang di satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan 

seseorang secara harfiah dan di sisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu. 

Dengan pengertian demikian, maka di dalam kealpaan ( ) terkandung makna 

kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara 

kesengajaan dan kealpaan, di mana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat positif, 

yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan 

yang dilarang. Sedangkan dalam kealpaan sifat positif ini tidak ditemukan.29

Pendapat lain mengatakan bahwa kealpaan ( ) adalah keadaan batin 

pelaku perbuatan pidana bersifat ceroboh, teledor atau kurang hati-hati sehingga 

                                                  

perbuatan dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi.30 Bentuk dari kealpaan ini 

dapat berupa perbuatan pasif maupun aktif. Contoh perbuatan yang pasif misalnya 

penjaga palang pintu kereta api karena tertidur pada waktu ada kereta yang melintas 

dia tidak menutup palang pintu sehingga mengakibatkan tertabraknya kendaraan lain 

yang sedang melintas. Sedangkan contoh perbuatan yang aktif misalnya seseorang 

yang sedang menebang pohon ternyata menimpa orang lain sehingga matinya orang 

itu karena tertimpa pohon. Jadi dalam kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali 

memang tidak ada niat kesengajaan sedikitpun untuk melakukan suatu perbuatan 

pidana yang dilarang hukum.31

Dalil hukum yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan menurut 

hukum Islam terdapat di dalam Alquran di antaranya sebagai berikut:

a. QS. Al-Baqarah/2:178-179.

Terjemahannya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berkenaan 

dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba 

                                                  

1. Dasar Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Islam

Dasar Hukum Tindak Pidana Pembunuhan

qi?a?

Dasar-dasar Hukum Pidana

Dasar-dasar Hukum Pidana

sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa 

yang memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan 

baik, dan membayar (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang 

demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa 

melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. 

Dan dalam itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang 

berakal, agar kamu bertakwa”.32

b. QS. An-Nisa’/4:92-93.

Terjemahannya:

“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman 

(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh 

seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang 

hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada 

keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) 

membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, 

padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan 

hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang 

ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si 

pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si 

terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak 

mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua 

bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, 

Maha Bijaksana. Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan 

sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allah 

murka kepadanya, maka Melaknatnya serta Menyediakan azab yang besar 

baginya”.

c. QS. Al-Maidah/5:45.

Terjamahannya:

“Dan Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa 

(dibalas) nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan 

telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada nya (balasan yang sama). 

Barangsiapa melepaskan (hak )nya, maka itu (menjadi) penebus dosa 

baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang Diturunkan 

Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim”.34

d. QS. Al-Maidah/5:32.

Terjemahannya:

“Oleh karena itu Kami Tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa 

barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, 

atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah 

membunuh semua manusia. Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang 

manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. 

Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) 

keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka 

setelah itu melapaui batas di bumi”.

                                                  


e. QS. Al-Furqan/25:68.

Terjemahannya:

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain 

dan tidak membunuh orang yang Diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) 

yang benar, dan tidak berzina; dan barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya 

dia mendapat hukuma yang berat”.36

f. QS. Al-An’an/6:151.

Terjemahannya:

“Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan yang Diharamkan Tuhan 

kepadamu. Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik 

kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kami-lah 

yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati 

perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah 

kamu membunuh orang yang Diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang 

benar. Demikianlah Dia Memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti”.37

Dalam konteks sumber hukum pidana nasional, Kitab Undang-undang Hukum 

Pidana (KUHP) menjadi sumber utama. Hingga saat ini KUHP sendiri masih 

dijadikan sebagai kitab induk semua peraturan perundang-undangan hukum pidana. 

Semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan mengenai perbuatan 

                                                  

yang dilarang disertai ancaman sanksi pidananya harus mendasarkan dirinya pada 

KUHP terutama mengenai prinsip-prinsip dan asas-asas yang terkandung di dalam 

buku kesatu KUHP.38

Ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa 

orang lain diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) buku II bab 

XIX tentang kejahatan terhadap nyawa, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni mulai dari

Pasal 338 yang mengatur tentang jenis pembunuhan biasa sampai Pasal 350 yang 

mengatur tentang jenis pembunuhan pengguguran kandungan dengan izin perempuan 

yang mengandungnya.

Namun dalam hal ini hanya beberapa dari Pasal-pasal ini  yang berkaitan 

dengan pokok penelitian ini yakni pada Pasal 338, 339, 340, 344 dan 359 KUHP. 

Maka peneliti akan membahas Pasal-pasal ini  satu persatu.

a. Pasal 338 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, 

diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun”.39

Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata 

atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:

1) barang siapa,

2) dengan sengaja,

3) menghilangkan, dan

4) nyawa orang lain.

                                                  

Kalimat “Barang siapa” dan “dengan sengaja” cukup untuk mewakili unsur 

subjektif yakni perbuatan ini  dilakukan dengan sengaja. Sementara kalimat 

“menghilangkan” dan “nyawa orang lain” cukup untuk mewakili unsur objektif yakni 

perbuatan ini  menghilangkan nyawa orang lain atau dengan kata lain 

mengakibatkan kematian. Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan 

sanksi dari perbuatan ini  yakni “dengan pidana penjara paling lama lima belas 

tahun”.

b. Pasal 339 KUHP, ”Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu 

perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau 

mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun 

peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk 

memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, 

diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling 

lama dua puluh tahun”.41

Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata 

atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:

1) pembunuhan biasa,

2) diikuti, disertai, atau didahului,

3) tindak pidana,

4) dengan maksud untuk,

5) menyiapkan atau memudahkan perbuatan itu,

6) atau jika tertangkap tangan,

                                                  

7) melindungi dirinya atau kawan-kawannya, dan

8) atau akan mempertahankan barang yang didapat dengan melawan hak.42

Secara umun Pasal ini tidak berbeda dengan Pasal 338 KUHP. Namun yang 

menjadi perbedaan ialah dalam Pasal ini terdapat rumusan kalimat yakni “diikuti, 

disertai, atau didahului oleh suatu perbuatan pidana”. Kata “diikuti” dimaksudkan 

diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan 

dilakukannya kejahatan lain. Kata “disertai” dimaksudkan disertai kejahatan lain. 

Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu. 

Sementara kata “didahului” dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin 

agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari 

kejahatan.43 Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan sanksi dari 

perbuatan ini  yakni “dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu 

tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

c. Pasal 340 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih 

dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan 

rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama 

waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun“.44

Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata 

atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:

1) barang siapa,

                                                  

2) dengan sengaja,

3) direncanakan terlebih dahulu, dan

4) menghilangkan nyawa orang lain.45

Kalimat “Barang siapa”, “dengan sengaja” dan “direncanakan lebih dulu” 

cukup untuk mewakili unsur subjektif yakni perbuatan ini  dilakukan dengan 

sengaja dan telah direncanakan lebih dahulu. Sementara kalimat “menghilangkan 

nyawa orang lain” cukup untuk mewakili unsur objektif yakni perbuatan ini  

menghilangkan nyawa orang lain atau dengan kata lain mengakibatkan kematian. 

Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan sanksi dari perbuatan ini  

yakni “dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu 

tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

d. Pasal 344 KUHP, “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan 

orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam 

dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.46

Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata 

atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:

1) barang siapa,

2) menghilangkan nyawa orang lain,

3) atas permintaan orang itu sendiri, dan

4) yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh.47

                                                  

Kalimat “Barang siapa”, “atas permintaan orang itu sendiri” dan “yang 

disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh” cukup untuk mewakili unsur 

subjektif yakni perbuatan ini  dilakukan dengan sengaja, meskipun dalam 

ketentuan Pasal ini  tidak ada kalimat yang merumuskan suatu kesengajaan atau 

dengan sengaja, namun perbuatan pelaku yang melaksanakan permintaan korban 

dianggap sebagai kesengajaan (melaksanakan permintaan korban). Sementara kalimat 

“menghilangkan nyawa orang lain” cukup untuk mewakili unsur objektif yakni 

perbuatan ini  menghilangkan nyawa orang lain atau dengan kata lain 

mengakibatkan kematian. Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan 

sanksi dari perbuatan ini  yakni “dengan pidana penjara paling lama dua belas 

tahun”.

e. Pasal 359 KUHP, “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) 

menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima 

tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.48

Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata 

atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:

1) barang siapa,

2) karena kesalahan (kealpaannya), dan

3) menyebabkan orang lain mati.

Kalimat “Barang siapa” dan “karena kesalahan (kealpaannya)” cukup untuk 

mewakili unsur subjektif yakni perbuatan ini  dilakukan dengan kesalahan. 

Sementara kalimat “menyebabkan orang lain mati” cukup untuk mewakili unsur 

                                                 

objektif yakni perbuatan ini  menghilangkan nyawa orang lain atau dengan kata 

lain mengakibatkan kematian. Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan 

sanksi dari perbuatan ini  yakni “dengan pidana penjara paling lama lima tahun 

atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Dalam hukum Islam sanksi atau hukuman dapat dibagi menjadi beberapa 

penggolongan menurut segi tinjauannya. Dalam hal ini ada empat penggolongan.49

Namun peneliti hanya akan membahas penggolongan yang berkaitan dengan pokok 

penelitian yakni penggolongan pertama.

Penggolongan pertama ini didasarkan atas pertaliannya satu hukuman dengan 

hukuman lainnya, dan dalam hal ini ada empat macam hukuman, yaitu:

a. Hukuman pokok ( ), seperti hukuman untuk jarimah 

pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.

b. Hukuman pengganti ( ), yaitu yang menggantikan hukuman 

pokok, jika  hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, 

seperti hukuman sebagai pengganti hukuman , atau hukuman sebagai 

pengganti hukuman had atau hukuman yang tidak bisa dijalankan. Sebenarnya 

hukuman itu sendiri adalah hukuman pokok, yaitu untuk pembunuhan semi 

sengaja, akan tetapi menjadi pengganti pula bagi hukuman . Demikian pula 

hukuman juga merupakan hukuman pokok bagi jarimah-jarimah sendiri, 

                                                  


tetapi menjadi hukuman pengganti pula bagi jarimah-jarimah hudud atau 

yang tidak mendapat hukuman yang sebenarnya karena adanya alasan-alasan tertentu.

c. Hukuman tambahan ( ), yaitu hukuman yang mengikuti 

hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri seperti larangan 

menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga, 

sebagai tambahan hukuman (mati), atau hukuman dicabutnya hak sebagai 

sanksi yang dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarimah (memfitnah 

orang lain berbuat zina) di samping hukuman pokoknya, yaitu jilid delapan puluh 

kali.

d. Hukuman pelengkap ( ), yaitu hukuman yang mengikuti 

hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah 

yang menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contoh hukuman 

pelengkap ialah mengalungkan tangan pencuri yang telah di lehernya.50

Sementara sanksi hukum atas tindak pidana pembunuhan menurut hukum 

pidana Islam adalah sebagai berikut:

1) Pelaku pembunuhan yang disengaja, pihak keluarga korban dapat 

memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu:

a) , yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan korbannya,

b) yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau 

200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk lain seperti uang yang 

senilai harganya. ini  diserahkan kepada pihak keluarga korban,dan

c) pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat.

                                                  


2) Pelaku pembunuhan yang tidak sengaja, pihak keluarga diberikan pilihan, 

yaitu:

a) pelaku membayar ,

b) membayar (memerdekakan budak mukmin), dan

c) jika tidak mampu maka pelaku pembunuhan diberi hukuman moral, yaitu 

berpuasa selama dua bulan berturut-turut. 51

Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP terdapat beberapa jenis hukuman yang 

dapat dijatuhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jenis-jenis 

pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan 

undang-undang itu menyimpang.52 Jenis-jenisnya dibedakan antara pidana pokok dan 

pidana tambahan.

a. Pidana pokok ( ) terdiri dari lima jenis pidana, yakni:

1) Pidana mati

Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang paling tua, setua umat 

manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik 

dikaji oleh para ahli karena memiliki nilai kontradiksi atau pertengangan 

yang tinggi antara yang setuju dan tidak setuju.53 Beberapa Negara telah 

mencabut pidana mati.54 Namun terlepas dari semakin banyaknya negara 

                                                 

yang tidak lagi memberlakukan pidana mati dalam sistem hukum 

pidananya, Indonesia menjadi salah satu negara yang masih tetap 

memberlakukan pidana mati. Pelaksanaan pidana mati di Indonesia 

dilakukan dengan ditembak sampai mati.55

2) Pidana penjara

Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang 

terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang ini  di dalam 

sebuah Lembaga Permasyarakatan (LP) yang menyebabkan orang ini  

harus menaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang melanggar.

Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan 

kemerdekaan. 

3) Pidana kurungan

Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama, sebagai 

untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, 

yaitu delik-delik dan beberapa delik . Kedua, sebagai 

, yaitu suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.57

Pidana kurungan dapat sebagai pengganti pidana denda, jika seseorang 

ini  tidak dapat atau tidak mampu membayar denda yang harus 

dibayar, dala hal perkaranya tidak begitu berat.58

4) Pidana denda

                                                  

Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk 

mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya dengan 

pembayaran sejumlah uang tertentu.59 Pidana denda dijatuhkan terhadap

delik-delik ringan seperti pelanggaran atau kejahatan ringan.

5) Pidana tutupan

Pidana tutupan merupakan jenis pidana yang tercantum dalam KUHP 

sebagai pidana pokok berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946. Menurut Andi 

Hamzah bahwa pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang 

melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya.60

b. Pidana tambahan ( ) terdiri dari tiga jenis pidana, yakni:

1) Pencabutan hak-hak tertentu

Pencabutan hak-hak tertentu tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan 

dan juga hak-hak sipil dan hak ketatanegaraan. Pencabutan hak-hak 

tertentu itu adalah suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua 

cara, yaitu (1) tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan 

putusan hakim; dan (2) tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka 

waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.61

2) Perampasan barang-barang tertentu

Pidana tambahan ini merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya 

dengan pidana denda. Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu 

barang-barang yang didapat karena kejahatan dan barang-barang yang 

                                                  


dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Dalam hal ini 

berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah kepunyaan terpidana, kecuali 

terhadap kejahatan mata uang, di mana pidana perampasan menjadi 

imperatif.62

3) Pengumuman putusan hakim

Menurut Andi Hamzah, jika diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi 

tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka dapat disimpulkan 

bahwa tujuan pidana tambahan ini adalah agar masyarakat waspada 

terhadap kejahatan-kejahatan seperti penggelapan, perbuatan curang dan 

lainnya.63

Sementara sanksi hukum atas tindak pidana pembunuhan menurut hukum 

pidana nasional adalah sebagai berikut:

1) Pelaku pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja

a) untuk tindak pidana pembunuhan biasa telah diatur dalam Pasal 338 KUHP 

yakni dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama lima belas tahun.

b) untuk tindak pidana pembunuhan dengan pemberatan telah diatur dalam Pasal 

339 KUHP yakni dengan sanksi berupa pidana penjara seumur hidup atau 

selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

                                                  

62Mahrus Ali, , Edisi I, h. 201

63Andi Hamzah, 

(Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), h. 53.

Dasar-dasar Hukum Pidana

Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi

63

c) untuk tindak pidana pembunuhan berencana telah diatur dalam Pasal 340 

KUHP yakni dengan sanksi berupa pidana mati atau pidana penjara seumur 

hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

d) untuk tindak pidana pembunuhan atas permintaan sendiri telah diatur dalam 

Pasal 344 KUHP yakni dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama dua 

belas tahun.

2) Pembunuhan tidak sengaja telah diatur dalam Pasal 359 KUHP yakni 

dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana 

kurungan paling lama satu tahun.


TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH PENDERITA GANGGUAN 

IDENTITAS DISOSIATIF, ANALISIS KOMPARATIF ANTARA HUKUM 

ISLAM DAN HUKUM NASIONAL 

 

A. Pembunuhan Oleh Penderita Gangguan Identitas Disosiatif dalam Pandangan 

Hukum Islam 

1. Penjelasan Umum 

Pada dasarnya, Islam telah melarang seseorang melakukan pembunuhan tanpa 

ada alasan yang dapat dibenarkan oleh syariat. Karena pembunuhan merupakan suatu 

perbuatan haram yang sangat dimurkai oleh Allah. swt. Selain itu, Islam juga sangat 

menghargai nyawa manusia. Bukan hanya nyawa milik kaum muslim saja, tapi juga 

nyawa para pemeluk agama lain. Karena syariat Islam ditetapkan untuk menjaga dan 

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang di mana kelima hal ini 

dikenal dengan istilah dharūriyyātul khams. Sehingga barang siapa yang melanggar 

salah satu dari kelima hal ini  maka harus mendapatkan sanksi atau hukuman 

berdasarkan syariat Islam yang disesuaikan dengan pelanggaran ini . 

Dalam hal perbuatan menghilangkan nyawa atau melakukan pembunuhan, 

Islam telah mengatur sanksi atau hukuman bagi pelaku yang melanggar. Sanksi bagi 

orang yang membunuh diserahkan kepada manusia, dalam arti manusia sebagai 

subjek hukum diberikan kewenangan untuk memilih sanksi hukum dari dua alternatif, 

yaitu; (a) pembunuh itu diqiṣāṣ atau diberikan hukuman yang setimpal, yaitu dibunuh 


 

bagi pembunuhan yang disengaja, dan (b) pembunuh membayar diyat kepada 

keluarga korban bagi pembunuhan yang tidak disengaja.1 

Namun, dalam pemberian sanksi kepada pelaku pembunuhan, tidak serta 

merta langsung dilakukan. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan 

sebelumnya bahwa untuk memberikan hukuman qiṣāṣ kepada pelaku, ada beberapa 

syarat yang harus dipenuhi.2 Namun, dari syarat-syarat ini  peneliti akan lebih 

menyoroti syarat yang mengatakan bahwa pelaku harus berakal atau waras. 

Dalam Islam, orang yang berakal adalah orang yang mampu mengikat atau 

mengendalikan hawa nafsunya. Alquran memakai nya bagi sesuatu yang 

mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa. Selain 

itu menurut Al-Jurjani, akal ialah substansi jiwa yang diciptakan Allah. swt., yang 

berhubungan dengan badan manusia, akal juga berarti cahaya (nur) dalam hati untuk 

mengetahui kebenaran dan kebaikan.3 Sedangkan orang gila menurut Islam ialah 

bukan orang yang hilang akalnya, tetapi orang yang akalnya tidak mampu menerangi 

kegelapannya atau ketertutupannya dari cahaya Ilahi. Dengan demikian gila adalah 

setiap orang yang cenderung menuruti hawa nafsunya, sehingga akalnya tertutup dan 

tidak berfungsi.4 

Adapun beberapa bentuk yang termasuk dalam pengertian gila dan keadaan-keadaan 

lain yang sejenis antara lain: 

                                                 


a. Gila terus-menerus 

Gila terus-menerus adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat 

berpikir sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang datang 

kemudian. Di kalangan fuqaha gila semacam ini disebut dengan al-junūn al-

mutbaq.5 

b. Gila berselang 

Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berpikir, tetapi tidak 

terus-menerus. jika  keaadaan ini  menimpanya maka ia kehilangan 

pikirannya sama sekali dan jika  keadaan ini  berlalu (hilang) maka ia 

dapat berpikir kembali seperti biasa. Pertanggungjawaban pidana pada gila 

terus-menerus hilang sama sekali, sedangkan pada gila berselang ia tetap 

dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.6 

c. Gila sebagian 

Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam perkara-

perkara tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap 

dapat bepikir. Dalam kondisi di mana ia masih dapat berpikir, ia tetap 

dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia 

bebas dari pertanggungjawaban pidana.7 

d. Dungu 

Para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan 

definisi orang dungu sebagai berikut: 

                                                 

 

Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya 

bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau 

timbul kemudian karena suatu pernyakit.8 

Jika dikaitkan antara keadaan ini  di atas dengan penderita gangguan 

identitas disosiatif, maka menurut peneliti bahwa gangguan identitas disosiatif ini 

bisa dikategorikan sebagai gila sebagian dalam pandangan Islam. Dengan alasan 

bahwa pada dasarnya penderita gangguan identitas disosiatif dalam melakukan segala 

kegiatannya itu dilakukan dengan sadar (oleh kepribadian yang sedang memegang 

kendali atas tubuh penderita). Setiap kepribadian yang ada sadar dan ingat akan 

segala kegiatan yang telah dilakukan. Karena setiap kepribadian memiliki ingatannya 

masing-masing dan setiap kepribadian saling tidak tahu-menahu atau pun tidak 

mengingat akan kegiatan yang dilakukan oleh kepribadian lainnya. Sehingga secara 

fisik penderita gangguan identitas disosiatif bisa dikatakan waras, karena tetap 

memiliki kesadaran akan segala perbuatannya. Namun, secara mental penderita 

gangguan identitas disosiatif memang dikategorikan memiliki gangguan kejiwaan, 

karena penderita mengalami gangguan psikologis yang melibatkan kehilangan 

memori atau perubahan identitas secara mendadak. Dalam kondisi stres yang amat 

berat atau keterkejutan, kesadaran individu menjadi terdisosiasi (terpisah atau 

terpecah) dari pengalaman-pengalaman dan ingatan sebelumnya.9 

jika  kedua hal di atas kita kaitkan menjadi tindak pidana pembunuhan 

oleh penderita gangguan identitas disosiatif dalam pandangan hukum Islam, maka 

bisa disamakan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh orang dengan gangguan 

kejiwaan. Dalam hukum Islam pembunuhan oleh orang dengan gangguan kejiwaan 

                                                 

 

tidak wajib dikenakan hukuman qiṣāṣ, karena perbuatannya tidak dikenai taklif. 

Namun, bukan berarti pelaku terbebas dari hukuman atau tidak dimintai 

pertanggungjawaban pidana. Pelaku akan tetap dikenakan sanksi namun tidak juga 

diwajibkan qiṣāṣ.  

2. Penjatuhan Sanksi 

Dalam hukum Islam, terdapat pembahasan mengenai pertanggungjawaban 

pidana. Menurut Ahmad Hanafi, pertanggungjawaban pidana dalam Islam diartikan 

sebagai pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan 

yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud dan 

akibat dari perbuatannya itu.10 Pertanggungjawaban pidana ini  ditegakkan atas 3 

dasar, yaitu: 

a. adanya perbuatan yang dilarang; 

b. perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri; dan 

c. pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.11 

jika  ketiga hal di atas terpenuhi, maka pertanggungjawaban pidana itu ada pada 

pelaku. Namun, jika  ada satu hal dari ketiga hal ini  yang tidak terpenuhi, 

maka dianggap tidak ada perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Berdasarkan penjelasan di atas, jika kita kaitkan dengan pertanggungjawaban 

pidana atas tindak pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas disosiatif, 

dengan keadaan pelaku yang merupakan seorang mukallaf, pelaku tahu dan sadar 

akan perbuatannya, serta pembunuhan ini  merupakan pembunuhan murni 

                                                 

sengaja, maka peneliti berpendapat bahwa ada pertanggungjawaban pidana atas 

pelaku. Dengan alasan bahwa 3 hal dasar untuk penegakan pertanggungjawaban 

pidana telah terpenuhi. Jika kita tinjau kembali, pelaku yang merupakan seorang 

penderita gangguan identitas disosiatif, tahu dan sadar bahwa perbuatannya 

(pembunuhan) ini  adalah perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam. Selain itu, 

perbuatan ini  dilakukan atas kemauan pelaku sendiri, dalam hal ini perbuatan 

ini  dilakukan atas kemauan dari kepribadian yang sedang memegang kendali 

pada saat dilakukannya perbuatan ini . Di samping itu, pelaku yang notabene 

adalah seorang mukallaf, maka telah dianggap tahu atas akibat dari perbuatannya 

ini . 

Jika pelaku telah ditetapkan bahwa ada pertanggungjawaban pidana atas 

perbutannya, maka selanjutnya adalah pemberian hukuman atau penjatuhan sanksi. 

Pada pembahasan sebelumnya telah dikatakan bahwa pembunuhan oleh penderita 

gangguan identias disosiatif ini sama dengan pembunuhan yang dilakukan oleh orang 

dengan gangguan kejiwaan, maka pelaku tidak wajib dikenakan qiṣāṣ. Namun, bukan 

berati pelaku juga terlepas dari pertanggungjawaban pidana. Pelaku tetap harus 

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga berdasarkan dari pembahasan 

ini , maka terlepas dari pelaku yang memiliki gangguan kejiwaan, penjatuhan 

hukuman atau sanksi tetap diserahkan kepada keluarga korban untuk memilih salah 

satu dari beberapa alternatif hukuman yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Hal 

ini mempunyai relevansi yang kuat dengan pertimbangan psikologi keluarga. Betapa 

penderitaan pihak keluarga lantaran salah satu anggotanya meninggal, lebih-lebih 

karena dibunuh oleh seseorang.

 

Namun, pihak berwenang atau pun orang-orang yang tahu akan keadaan 

pelaku juga wajib menjelaskan kepada keluarga korban mengenai keadaan pelaku 

yang memiliki gangguan kejiwaan. Karena sebagai pelaku yang memiliki gangguan 

kejiwaan, pelaku bisa saja tidak dikenakan hukuman qiṣāṣ, jika keluarga memilih 

hukuman qiṣāṣ untuk pelaku. Sebagaimana yang tercantum dalam hadis: 

Diriwayatkan dari Ali, bahwa Nabi SAW bersabda dimaafkan kesalahan dari 

tiga hal dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia dewasa, 

dari orang gila hingga ia waras. 

Selain itu, jika soal sanksi apa yang tepat dijatuhkan terhadap pelaku, maka 

menurut penulis pribadi ialah hukuman diyat yang merupakan hukuman pengganti 

dari qiṣāṣ. Namun, hukuman ini hanya akan berlaku jika  ada pengampunan dari 

keluarga korban, maka hukuman qiṣāṣ menjadi gugur dan diganti dengan hukuman 

diyat.13 Menurut H. Sulaiman Rasyid, diyat ada 2 macam, yakni: 

a. Diyat berat, yaitu 100 ekor unta, dengan perincian: 30 ekor unta betina umur 3 

tahun masuk 4 tahun, 30 ekor unta betina dengan umur 4 tahun masuk 5 

tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting. Diwajibkan diyat berat karena: 

1) sebagai ganti hukuman bunuh (qiṣāṣ) yang dimaafkan pada pembunuhan 

yang betul-betul sengaja. Diyat ini wajib dibayar tunai oleh yang 

membunuh sendiri.  

2) melakukan pembunuhan seperti sengaja. Diyat ini wajib dibayarkan oleh 

keluarganya, diangsur dalam waktu 3 tahun, tiap-tiap akhir tahun wajib 

dibayar sepertiganya. 

b. Diyat ringan, banyaknya 100 ekor unta juga, tetapi dibagi 5 dengan perincian: 

20 ekor unta betina umur 1 tahun masuk 2 tahun, 20 ekor unta betina umur 2 

                                                

tahun masuk 3 tahun, 20 ekor unta jantan umur 2 tahun masuk 3 tahun, 20 

ekor unta umur 3 tahun masuk 4 tahun dan 20 ekor unta betina umur 4 tahun 

masuk 5 tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang membunuh 

dengan masa 3 tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya. 

Jika diyat tidak dapat dibayarkan dengan unta wajib dibayar dengan uang 

sebanyak harga unta. Ini pendapat sebagian ulama. Pendapat ulama lain, boleh 

dibayar dengan uang sebanyak 12.000 dirham (sekitar 37,44 kg perak). Kalau diyat 

berat, maka ditambah sepertiganya. Selain itu, diyat perepmpuan (jika yang terbunuh 

perempuan) adalah seperdua dari denda laki-laki. Diyat orang yang beragama Yahudi 

atau Nasrani adalah sepertiga dari diyat orang Islam.

Jadi, kesimpulannya ialah pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita 

gangguan identitas disosiatif dalam hukum Islam tetap dikenakan 

pertanggungjawaban pidana dan mengenai penjatuhan saksinya, hal itu merupakan 

hak otonomi sepenuhnya bagi keluarga korban untuk menentukan salah satu dari 

beberapa alternatif pilihan sanksi yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. 

B. Pembunuhan Oleh Penderita Gangguan Identitas Disosiatif dalam Pandangan 

Hukum Nasional 

1. Penjelasan Umum 

Tindak pidana pembunuhan merupakan jenis kejahatan (rechtdelict) atau delik 

hukum, yang mana pelaku telah melakukan pelanggaran hukum yang melanggar rasa 

keadilan.15 Di mana pelaku dengan sengaja melakukan perbuatan yang berakibat 

hilangnya nyawa orang lain, atau dengan kata lain pelaku secara tidak adil merampas 

                                                 

 

hak hidup orang lain. Selain itu, tindak pidana pembunuhan juga dikategorikan 

sebagai delik material (materiil) yaitu delik yang dianggap selesai jika  akibat dari 

perbuatan sudah terjadi atau dengan kata lain delik ini menitik beratkan pada akibat 

yang dilarang dari perbuatan ini . Di samping itu, tindak pidana pembunuhan 

juga termasuk delik dolus (kesengajaan) yakni suatu delik yang memuat unsur 

kesengajaan, dalam hal ini pelaku dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain. 

Dalam hukum pidana nasional Indonesia dikenal istilah pertanggungjawaban 

pidana. Pertanggungjawaban pidana menurut hukum nasional adalah mengenakan 

celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau 

menimbulkan keadaan yang terlarang. Selanjutnya Chairul Huda menyatakan bahwa 

pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada 

pada titik pidana kepada pembuatnya.16 Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas 

legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya perbuatan adalah asas kesalahan.17 

Pertanggungjawaban pidana timbul sebagai akibat dari suatu perbuatan pidana atau 

tindak pidana yang dilakukan tanpa adanya alasan pemaaf. 

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme 

yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas 

‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.18 Lebih lanjut, Roeslan Saleh 

berpendapat bahwa untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan pidananya terdakwa 

(dipertangggungjawabkan) maka terdakwa harus: 

                                                 

 

a. melakukan perbuatan pidana; 

b. mampu bertanggungjawab; 

c. dengan sengaja atau alpa; dan 

d. tidak ada alasan pemaaf. 

Jika hal di atas kita kaitkan dengan tindak pidana pembunuhan oleh penderita 

gangguan identitas disosiatif menurut hukum nasional, maka sebelumnya perlu kita 

tinjau dulu bagaimana kemampuan bertanggungjawab atau pertanggungjawaban 

pidana seorang pelaku dengan gangguan identitas disosiatif yang mekakukan tindak 

pidana. 

Sebelumnya telah dipaparkan bahwa pertanggungjawaban pidana timbul 

sebagai akibat dari tindak pidana tanpa adanya alasan pemaaf. Dapat 

dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat 

untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada pertanggungjawaban pidana 

tanpa kesalahan’ maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai 

kesalahan.19 Di sini sudah sangat jelas bahwa kesalahan yang dilakukan oleh pelaku 

yang menderita gangguan identitas disosiatif ialah melakukan perbuatan pidana 

berupa dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang, yang merupakan suatu 

pelanggaran hukum yang berat dengan dasar hukum Pasal 338 KUHP. Dengan 

demikian syarat pertama untuk suatu kesalahan yang dapat dipertanggungjawabakan 

terpenuhi.  

Selanjutanya, mengenai kemampuan bertanggungjawab. Kemampuan 

bertanggungjawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan 

mempunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang 

                                                

 

buruk,20 atau dengan kata lain , mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya 

suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan 

kehendaknya.21 Pada intinya, akal dan kehendak menjadi faktor penentu utama 

kondisi batin seseorang, sehat atau tidak. Jika kita kaitkan dengan pelaku yang 

menderita gangguan identitas disosiatif, pada dasarnya penderita memiliki akal yang 

normal dan mampu berkehendak, dalam hal ini ia tahu dan sadar akan perbuatan dan 

akibat dari perbuatannya ini . Sehingga pelaku dianggap memiliki kemampuan 

bertanggungjawab. 

Selain itu, mengenai dilakukan dengan sengaja atau alpa, maka pelaku sudah 

jelas melakukan perbuatannya dengan sengaja. Terbukti dengan selesainya perbuatan 

yang dilakukan pelaku. Dan untuk tidak ada alasan pemaaf, tidak terdapat alasan 

yang dapat menghapuskan kesalahan pelaku. Sehingga syarat ketiga dan keempat 

untuk suatu kesalahan yang dapat dipertanggungjawabakan terpenuhi. Maka secara 

garis besar, pelaku yang menderita gangguan identitas disosiatif dianggap dapat 

dikenakan pertanggungjawaban pidana. 

2. Penjatuhan Sanksi 

Terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas 

disosiatif yang dikenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak berlaku baginya 

alasan pemaaf. Jika pelaku telah ditetapkan bahwa ada pertanggungjawaban pidana 

atas perbuatannya, maka selanjutnya adalah penjatuhan sanksi. 

                                                

Mengenai sanksi, sesuai dengan pemaparan di bab sebelumnya, bahwa sanksi 

yang dikenakan terhadap pelaku dapat disesuaikan dengan jenis pembunuhan yang 

dilakukan oleh pelaku, dalam hal ini pelaku melakukan jenis pembunuhan sengaja 

dengan dasar hukum Pasal 338 KUHP dengan sanksi berupa pidana penjara paling 

lama lima belas tahun. Namun, menurut peneliti secara pribadi memiliki pandangan 

yang sedikit berbeda. Dalam hal ini menurut peneliti, ada 2 keadaan penting yang 

perlu diperhatikan, yakni: 

a. jika perbuatan pidana ini  (pembunuhan) dilakukan oleh kepribadian 

pengganti (alter) dari penderita gangguan identitas disosiatif, maka pelaku 

tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, dengan alasan yang 

menjadi subjek atau pelaku utama dari perbuatan ini  ialah kepribadian 

pengganti yang notabene merupakan bagian dari gangguan psikologis atau 

gangguan kejiwaan yang diderita oleh pelaku; 

b. jika perbuatan pidana ini  dilakukan oleh kepribadian tuan rumah atau 

kepribadian asli, maka pelaku dikenakan pertanggungjawaban pidana, dengan 

alasan yang menjadi subjek atau pelaku utama dari perbuatan ini  ialah 

kepribadian asli yang notabene bukan merupakan bagian dari gangguan 

psikologis atau gangguan kejiwaan yang diderita oleh pelaku. Dalam artian, 

pelaku utama merupakan kepribadian asli yang dibawa sejak lahir dan bukan 

merupakan kepribadian yang terbentuk akibat dari gangguan psikologis atau 

gangguan kejiwaan yang dialaminya. Karena pelaku dikenakan 

pertanggungjawaban pidana, maka ada sanksi yang harus diterima oleh 

pelaku. Sanksi-sanksi ini  bermacam-macam sesuai dengan jenis 

pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku. 

 

 

Namun, pada intinya untuk membuktikan 2 keadaan ini  di atas, dalam proses 

penyidikan, penyidik membutuhkan bantuan dari psikolog atau psikiater. Pendapat 

penulis di atas diperkuat dengan adanya pendapat dari seorang dokter spesialis 

kejiwaan. Menurut dr. Venny Pungus, Sp.KJ. penderita gangguan identitas disosiatif 

dapat dipidana. Karena penderita gangguan identitas disosiatif bukan merupakan 

gangguan mental yang berat. Sehingga dia masih dapat dimintai pertanggungjawaban 

pidana.22 

Namun, terlepas dari pendapat peneliti di atas, yang perlu dijadikan simpulan 

ialah pendapat yang memiliki dasar hukum, yakni pelaku tindak pidana pembunuhan 

oleh penderita gangguan identitas disosiatif dalam hukum nasional dapat dikenakan 

pertanggungjawaban pidana, dengan alasan penderita dianggap memiliki kemampuan 

untuk mempertanggungjawabkan kesalahan atau perbuatannya. Sanksi yang 

dikenakan, disesuaikan dengan jenis pembunuhan yang dilakukan yakni jenis 

pembunuhan sengaja dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama lima belas 

tahun berdasarkan pasal 338 KUHP. Pada intinya, dijatuhkannya sanksi atau tidak 

terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas 

disosiatif sepenuhnya merupakan keputusan hakim. Penulis hanya memaparkan 

beberapa teori-teori yang dianggap relevan dengan pokok persoalan ini . 

  

                                    

C. Analisis Komparatif Antara Hukum Islam dan Hukum Nasional 

 1. Pandangan Terhadap Pembunuhan oleh Penderita Gangguan 

Identitas Disosiatif 

 Dalam hukum Islam, penderita gangguan identitas disosiatif dikategorikan 

sebagai gila sebagian, di mana penderita tidak dapat berpikir dalam perkara-perkara 

tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap dapat bepikir. 

Untuk pembunuhan oleh penderita gangguan identitas disosiatif dalam hukum Islam, 

dianggap dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana dengan alasan bahwa 3 hal 

dasar untuk penegakan pertanggungjawaban pidana telah terpenuhi yakni adanya 

perbuatan yang dilarang; perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri; dan 

pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu. 

 Sedangkan dalam hukum nasional, penderita gangguan identitas disosiatif 

dipandang sebagai suatu gangguan psikologis atau gangguan kejiwaan, bukan suatu 

penyakit kejiwaan seperti yang terdapat dalam pasal 44 KUHP. Perlu diketahui 

bahwa dalam kamus bahasa Indonesia, gangguan berarti hal yang menyebabkan 

ketidakwarasan atau ketidaknormalan (tentang jiwa, kesehatan, pikiran),23 sementara 

penyakit berarti gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau 

kelainan sistem (pada makhluk hidup).24 Selain itu, penyakit merupakan suatu hal 

yang dapat disembuhkan sedangkan gangguan merupakan hal yang terus ada, tidak 

dapat disembuhkan dan hanya dapat diminimalisir. Untuk pembunuhan oleh 

penderita gangguan identitas disosiatif dalam hukum nasional dianggap dapat 

                                                

dikenakan pertanggungjawaban pidana dengan alasan bahwa 4 hal dasar untuk 

penegakan pertanggungjawaban pidana telah terpenuhi yakni melakukan perbuatan 

pidana; mampu bertanggungjawab; dengan sengaja atau alpa; dan tidak ada alasan 

pemaaf. 

 2. Penjatuhan Sanksi Terhadap Pelaku 

 Dalam hukum Islam, pembunuhan oleh penderita gangguan identitas 

disosiatif tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana dan mengenai penjatuhan 

saksinya, hal itu merupakan hak otonomi sepenuhnya bagi keluarga korban untuk 

menentukan salah satu dari beberapa alternatif pilihan sanksi yang telah ditetapkan 

oleh syariat Islam. Namun, secara pribadi penulis berpendapat bahwa pelaku tidak 

wajib dikenakan hukuman qiṣāṣ dikarenakan pelaku merupakan seorang yang 

memiliki gangguan kejiwaan, sehingga hukuman yang pantas dikenakan ialah 

hukuman diyat berat. 

 Sedangkan dalam hukum nasional, pembunuhan oleh penderita gangguan 

identitas disosiatif tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana dan mengenai 

penjatuhan sanksinya, pelaku dikenai pasal sesuai dengan jenis pembunuhan yang 

dilakukan, dalam hal ini pelaku melakukan jenis pembunuhan sengaja dengan dasar 

hukum Pasal 338 KUHP dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama lima belas 

tahun. 

 3. Perbandingan Hukum 

 Jika berbicara mengenai perbandingan hukum antara hukum Islam dan hukum 

nasional, mana yang lebih baik dan efisien untuk ditegakkan dalam perkara ini, akan 

lumayan sulit ditentukan. Pada dasarnya kedua hukum ini  memiliki beberapa 

kesamaan. Kedua hukum ini  menganggap bahwa gangguan identitas disosiatif 

merupakan suatu gangguan psikologis atau gangguan kejiwaan. Selain itu, kedua 

hukum ini  juga sama-sama mengenakan pertanggungjawaban pidana terhadap 

pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas disosiatif. 

 Namun, menurut penulis pribadi berpendapat bahwa hukum Islam lebih rinci 

dan efisien dibanding hukum nasional. Salah satunya terbukti dengan adanya 

pembagian beberapa jenis gila dalam Islam. Sehingga gila tidak hanya disatu jeniskan 

atau disamaratakan tingkat kegilaannya. Selain itu, dengan adanya pembagian 

ini  penulis dapat terbantu dalam menentukan termasuk ke dalam jenis gila 

apakah ganguan identitas disosiatif itu. Sehingga penulis juga dapat menentukan 

apakah pelaku dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atau tidak. Sedangkan 

dalam hukum nasional, penulis tidak menemukan jenis-jenis gila atau gangguan 

kejiwaan dalam hukum nasional. Penulis tidak menemukan gangguan jiwa apa saja 

yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atau tidak. Sehingga penulis sedikit 

kesulitan dalam menentukan apakah pelaku penderita gangguan identitas disosiatif 

dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atau tidak. 

 Di samping itu, dalam sistem penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak 

pidana pembunuhan, hukum Islam menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada 

keluarga korban untuk menentukan hukuman apa yang ingin diberikan kepada pelaku 

dari beberapa alternatif pilihan hukuman yang ditetapkan oleh syariat Islam. Hal ini 

memiliki relevansi yang kuat dengan pertimbangan psikologi keluarga korban. 

Sementara hukum nasional, mengenai penjatuhan hukuman hal itu sepenuhnya 

menjadi otoritas hakim untuk menentukan hukuman apa yang akan diberikan kepada 

pelaku tindak pidana pembunuhan. 


1. Pada hakikatnya, gangguan identitas disosiatif merupakan suatu gangguan 

psikologis atau gangguan kejiwaan yang sebagian besar diakibatkan oleh 

trauma parah pada masa kanak-kanak yang terjadi secara berulang.  

2. Gangguan identitas disosiatif dalam Islam merupakan sakit mental yang 

bersifat duniawi yang disebabkan oleh konflik bawah sadar yang biasanya 

berawal dari masa kanak-kanak awal dan pemakaian mekanisme pertahanan 

yang ditimbulkan oleh impuls dan emosi yang depresi. 

Sedangkan gangguan identitas disosiatif dalam psikologi nasional 

merupakan suatu gangguan disosiatif yang paling dramatis namun paling 

jarang ditemukan, di mana individu yang menderita gangguan ini memiliki 

dua kepribadian atau lebih di dalam tubuhnya. Gangguan ini disebabkan 

oleh; trauma parah yang dialami pada masa kanak-kanak awal yang terjadi 

secara berulang, kurang atau bahkan tidak adanya orang yang mau 

melindungi atau pun menghibur individu dari pengalaman buruk yang 

dialami, gangguan identitas disosiatif ini berkembang akibat pengaruh dari 

anggota keluarga lain yang memiliki gangguan psikologis. Selain itu, 

penderita gangguan identitas disosiatif memiliki ciri-ciri, yakni; memiliki 

dua atau lebih kepribadian yang berbeda, kepribadian-kepribadian ini  

mengambil alih perilaku penderita secara bergantian, mengalami amnesia 

dalam artian tidak mengingat apa yang telah dilakukan, dan gangguan 

ini  bukan disebabkan oleh efek psikologi langsung dari suatu zat. 

3. Dalam hukum Islam, pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita 

gangguan identitas disosiatif tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana 

dan mengenai penjatuhan saksinya, hal itu merupakan hak otonomi 

sepenuhnya bagi keluarga korban untuk menentukan salah satu dari beberapa 

alternatif pilihan sanksi yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. 

Sedangkan dalam hukum nasional, pelaku tindak pidana pembunuhan oleh 

penderita gangguan identitas disosiatif dikenai pertanggungjawaban pidana 

dan mengenai penjatuhan sanksinya, pelaku dikenai pasal sesuai dengan 

jenis pembunuhan yang dilakukan, dalam hal ini pelaku melakukan jenis 

pembunuhan sengaja dengan dasar hukum Pasal 338 KUHP dengan sanksi 

berupa pidana penjara paling lama lima belas tahun. 

B. Implikasi Penelitian 

Implikasi dari penelitian ini adalah: 1) perlunya perhatian lebih terhadap 

penderita gangguan identias disosiatif, mengingat penyebab dari gangguan ini ialah 

kurangnya perhatian terhadap penderita, 2) hukum pidana nasional perlu membuat 

aturan yang lebih spesifik mengenai gangguan kejiwaan apa saja yang dapat 

dikenakan pertanggungjawaban pidana, 3) hasil dari penelitian ini dapat dijadikan 

bahan pertimbangan atau bahan acuan untuk memutuskan perkara yang sama dengan 

pokok penelitian ini. 



Related Posts:

  • kepribadian ganda 2 ris yang sangat canggih dan berpendidikan, ahli sains dan kedokteran, konservatif dan fasih menulis dan berbahasa Arab. 3. Ragen Vadas… Read More