ris yang sangat canggih dan berpendidikan, ahli sains
dan kedokteran, konservatif dan fasih menulis dan berbahasa Arab.
3. Ragen Vadascovinich (Penjaga Kebencian): berbahasa Serbo-Kroasia,
ahli senjata dan peluru, seorang karateka, dan mengakui telah melakukan
perampokan namun ia tidak mengetahui tentang kasus pemerkosaan,
mampu mengendalikan hormon adrenalin dalam tubuh, seorang komunis
dan ateis, melindungi anak-anak dan wanita, seorang yang buta warna.
4. Allen: seorang penipu dan manipulator, pemain drum, perokok dan satu-
satunya kepribadian yang tidak kidal.
5. Tommy: seniman pelarian, pemain saksofon tenor, ahli eletronik, seorang
pelukis spesialis lanskap.
6. Danny: takut pada orang khususnya laki-laki, rambut pirang sebahu, mata
biru, perawakan pendek langsing.
7. David (Penjaga Rasa Sakit): usia 8 tahun, penuh intuisi, sering
kebingungan, rambut cokelat tua kemerahan, tubuh agak kecil.
8. Christene: usia 3 tahun, disleksia tapi Arthur mengajarinya membaca dan
menulis, memiliki ikatan khusus dengan Ragen.
9. Christopher (saudara Christene): pemain harmonika, berbicara dengan
aksen Inggris, penurut, rambut cokelat agak pirang seperti Christene tapi
dengan poni yang agak pendek.
10. Adalana: seorang lesbian, memasak dan membersihkan rumah untuk yang
lain, penulis puisi, dan mengakui telah melakukan pemerkosaan tanpa
sepengatahuan Billy atau yang lainnya.
b. Kepribadian-kepribadian yang tidak diinginkan:
11. Phill: seorang preman, memiliki aksen Brooklyn, rambut cokelat keriting,
mata cokelat terang dan berhidung bengkok.
12. Kevin: seorang kriminal, merupakan perencana pidana, senang menulis,
berambut pirang dan bermata hijau.
13. Walter: orang Australia, seorang pemburu binatang, pandai menentukan
arah.
14. April: berbicara dengan aksen Boston, memiliki dendam terhadap ayah
tiri Billy, suka menjahit dan mengurus rumah tangga, rambut hitam dan
mata cokelat.
15. Samuel: beraga Yahudi dan satu-satunya yang percaya kepada Tuhan,
seorang pemahat kayu, rambut dan janggutnya keriting, mata cokelat.
16. Mark: pekerja keras, sering disebut zombie karena ia tidak melakukan apa
pun kecuali disuruh dan akan menatap tembok ketika bosan.
17. Steve: peniru gelagat orang untuk komedi, suka mengejek orang.
18. Lee: seorang pelawak dan sering bertindak nakal.
19. Jason: sering membuat banyak masalah.
20. Bobby: seorang pemimpi dan senang berkhayal, tidak berambisi dan tidak
berminat pada intelektual.
21. Shawn: seorang tunarungu, sering dianggap terbelakang, sering
mengeluarkan suara dengungan untuk merasakan getaran di kepalanya.
22. Martin: seorang yang sombong dari New York, suka pamer kemewahan
serta senang berlagak, ingin memiliki segala hal tanpa bekerja, rambut
pirang dan mata kelabu.
23. Timothy: bekerja di sebuah toko bunga sampai dia bertemu dengan
seorang pria homo yang menggodanya dan setelah itu dia pergi ke
dunianya sendiri.
24. The Teacher (Sang Guru): merupakan perpaduan dari ke 23 kepribadian
lainnya, sangat peka dan punya selera humor yang bagus, dan dia
memiliki semua ingatan tentang semua kejadian yang dialami oleh semua
kepribadian Billy.26
4. Anastasia Wella
Seorang wanita asal Indonesia yang lahir sekitar 27 tahun silam ini pada tahun
2009 didiagnosis mengidap Dissociative Identity Disorder (DID) atau gangguan
identitas disosiatif. Anastasia Wella menjadi pasien pengidap gangguan identitas
disosiatif pertama yang diketahui di Indonesia.
Gangguan yang muncul pada dirinya disebabkan oleh trauma parah yang
dialami akibat perlakuan kasar dari orang tuanya. Selain itu, Anastasia Wella atau
yang akrab disapa Wella yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara ini
sering mengalami tekanan dari lingkungan sekolah. Wella sering dikucilkan,
dianggap culun hingga dibuat merasa minder, dibully dan sering merasa sendiri
sehingga merasakan takut yang berlebihan. Semua pengalaman buruk yang menimpa
Wella terjadi ketika Wella masih berusia sekitar 9 tahun dan kejadian-kejadian
ini terjadi secara berulang. Pengalaman buruk itulah yang memaksakan
kepribadian Wella terpecah menjadi 9 kepribadian.
Switching atau penggantian kepribadian pada diri Wella akan terjadi jika
dia menghadapi masalah, merasa terancam atau berada dalam pilihan yang sulit. Jika
Wella sudah mulai panik, kepalanya terasa migrain dan muncul rasa cemas, itu
merupakan pertanda akan terjadi penggantian kepribadian dalam dirinya.
Wella memiliki 9 kepribadian dengan nama dan karakter yang berbeda.
Berikut ini kepribadian-kepribadian dari Wella, yakni:
a. Anastasia Wella: kepribadian tuan rumah atau kepribadian inti, susah marah,
agak penakut, lemah berhitung, hobi membaca, beragama Katolik.
b. Naura: berkarakter tempramen.
c. Paula: seorang yang ahli berhitung.
d. Saraswati: seorang model dan penari.
e. Atin: seorang anak-anak berumur sekitar 8 atau 10 tahun.
f. Andreas: seorang laki-laki yang suka melakukan kekerasan.
g. Ravelin: seorang dengan gaya hidup hedonis.
h. Ayu: seorang yang pandai menulis sastra.
i. Bilqis: beragama Islam, seorang yang pandai baca tulis Alquran.27
Wella saat ini masih dalam penanganan psikiater. Dia ditangani sejak Maret
2015 oleh dr. Ni Wayan Ani Purnamawati. Wella masih rutin melakukan konsultasi
dan beberapa kali melakukan psikoterapi. Dokter yang menangani Wella pun rutin
memberi obat anti depresi agar bisa meminimalisir rasa emosi sehingga penggantian
kepribadian (switching) bisa ikut terminimalisir.
Menurut Abdul Qadir Audah, jinayah secara etimologi adalah nama (sebutan)
orang yang berbuat tindak pidana (delik) atau orang yang berbuat kejahatan. Dalam
definisi lain ia mengemukakan jinayah adalah nama perbuatan yang diharamkan
berdasarkan syariat baik perbuatan yang mengenai jiwa orang, harta atau lainnya.
Sedangkan Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah yaitu setiap perbuatan yang
diharamkan, dan perbuatan yang diharamkan adalah setiap perbuatan yang dilarang
oleh Allah. swt. ( ), karena ada bahaya yang menimpa agama, jiwa, akal,
kehormatan dan harta.1
Sementara pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar dari
yang berarti membunuh.2 Sedangkan secara terminologi, pembunuhan
adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan/atau beberapa orang yang
mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang meninggal dunia.3 Pembunuhan
merupakan suatu perbuatan yang sangat dimurkai oleh Allah. swt. karena
menyebabkan hilangnya nyawa manusia.4 Dalam kitab
disebutkan bahwa pembunuhan adalah aktivitas menghilangkan nyawa. Sedangkan
dalam kitab disebutkan bahwa pembunuhan adalah pekerjaan
seorang hamba Allah yang melenyapkan kehidupan.5
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan tindak pidana pembunuhan menurut hukum Islam adalah perbuatan haram
yakni menghilangkan nyawa yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain.
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang
bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga
perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh
hukum).6 Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari , di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan itu sendiri.7 Sedangkan Van Hamel
mengatakan bahwa adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam
undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan.8 Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku
Hukum Pidana
Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya
2. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Nasional
dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal ini terdapat juga seseorang untuk
tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak
pidana
Secara etimologi, pembunuhan berasal dari kata “bunuh” yang dalam kamus
bahasa Indonesia berarti menghilangkan nyawa; mematikan.10 Dengan imbuhan pem-
di depan kata bunuh, maka akan menjadi kata pembunuh yang berarti orang yang
membunuh; alat untuk membunuh. Sedangkan jika ada imbuhan –an di belakang
kata pembunuh, maka akan menjadi kata pembunuhan yang berarti proses, cara,
perbuatan membunuh
Secara terminologi pembunuhan adalah perkara membunuh atau perbuatan
membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain.13 Tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai
delik material bila delik ini selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya
akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan tindak pidana pembunuhan menurut hukum nasional ialah perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain yang oleh aturan hukum hal itu jelas dilarang dan
diancam dengan pidana.
Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana pembunuhan diklasifikasikan
menjadi tiga kategori, yakni:
a. Pembunuhan sengaja ( )
Pembunuhan sengaja adalah suatu perbuatan penganiayaan terhadap
seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya.15 Kesengajaan di sini
berupa kesengajaan bertindak, kesengajaan dalam sasaran dan kesengajaan dalam hal
alat yang digunakan.16 Sehingga menurut hemat peneliti bahwa pelaku memang
sudah memiliki niat dan tujuan dari awal hingga selesainya perbuatan. Adapun unsur-
unsur yang harus dipenuhi agar suatu pembunuhan dapat dikategorikan sebagai
pembunuhan sengaja, antara lain:
1) korban adalah orang yang hidup sebelum pembunuhan dilakukan.
Maksudnya sebelum pelaku melakukan pembunuhan, korban masih dalam
keadaan hidup,
2) perbuatan pelaku yang mengakibatkan kematian korban, yakni pelaku
memakai alat yang dipandang lazim untuk membunuh seperti benda-
benda tajam, senjata api dan lain sebagainya, dan
1. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Islam
Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan
amd
Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat Islam dalam Wacana
dan Negara
Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer
3) ada niat pelaku untuk menghilangkan nyawa korban. Karena tanpa adanya
niat dari pelaku, maka pelaku tidak akan melakukan perencanaan dengan
menyiapkan alat untuk membunuh serta perbuatan tidak akan selesai
bahkan mungkin tidak akan terjadi.
Selain itu, syarat-syarat suatu pembunuhan dikategorikan sebagai
pembunuhan sengaja jika :
1) pembunuh adalah orang yang berakal, balig dan sengaja membunuh,
2) korban merupakan manusia yang darahnya dilindungi, dan
3) alat yang digunakan membunuh merupakan alat yang pada kebiasaannya
dapat mematikan.17
b. Pembunuhan tidak disengaja ( )
Pembunuhan tidak disengaja adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
dengan tidak ada unsur kesengajaan dan memakai alat yang dipandang secara
lazim tidak mematikan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.18 Sebagai
contoh dapat dikemukakan bahwa seseorang melakukan penebangan pohon yang
kemudian pohon yang ditebang itu, tiba-tiba tumbang dan menimpa orang yang lewat
lalu meninggal dunia. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu
pembunuhuan dapat dikategorikan sebagai pembunuhan tidak disengaja antara lain:
1) perbuatan pelaku murni tanpa ada niat dan kesengajaan,
2) kematian korban karena kesalahan pelaku, dan
3) adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan pelaku dengan
kematian korban.
c. Pembunuhan tidak ada unsur membunuh atau pembunuhan semi sengaja (
)
Pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh ialah perbuatan yang tidak
ditujukan kepada seseorang tetapi seseorang mati karena perbuatannya.Ada pula
pendapat lain yang mengatakan bahwa pembunhan semi sengaja adalah perbuatan
yang sengaja dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan mendidik.
Misalnya orang melempar baru ke hutan tiba-tiba orang mati terkena batu ini ;
seorang guru yang memukul muridnya, namun tiba-tiba murid yang dipukul ini
meninggal. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu pembunuhan dapat
dikategorikan sebagai pembunuhan semi sengaja antara lain:
1) pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian,
2) ada maksud penganiayaan atau permusuhan, dan
3) ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian
korban.
Bentuk kesalahan ( ) tindak pidana (delik) pembunuhan dapat berupa
kesengajaan ( ) dan ketidaksengajaan ( ). Menurut Teguh Prasetyo, delik
adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan itu
mungkin dengan kata-kata yang tegas “… dengan sengaja”, tetapi mungkin juga
dengan kata-kata lain yang senada, seperti “… diketahuinya”, dan sebagainya.
Hukum Pidana Islam
2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Nasional
Selanjutnya beliau menerangkan bahwa delik di dalam rumusannya memuat
unsur kealpaan, dengan kata “… karena kealpaannya”, misalnya pada Pasal 359, 360,
195. Di dalam beberapa terjemahan kadang-kadang dipakai istilah “… karena
kesalahannya”. Berdasarkan unsur kesalahan, tindak pidana pembunuhan dapat
dibedakan menjadi:
a. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja
1) Pembunuhan biasa
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana
dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan
semua unsur-unsurnya.Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu
pembunuhan dapat dikategorikan sebagai pembunuhan biasa antara lain:
a) Unsur subjektif: perbuatan dengan sengaja
Dengan sengaja artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu
harus timbul seketika itu juga, karena sengaja ( ) yang dimaksud dalam
Pasal 338 KUHP adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan
terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 KUHP adalah
suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang
terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu.
b) Unsur objektif: perbuatan menghilangkan nyawa orang lain atau
mengakibatkan matinya orang.
Delik-delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan
Unsur objektif yang pertama dari tindak pidana pembunuhan, yaitu
“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus
menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan ini dan
dia pun harus mengetahui bahwa tindakannya itu betujuan untuk menghilangkan
nyawa orang lain.24
2) Pembunuhan dengan pemberatan
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP. Perbedaannya dengan pembunuhan biasa
yang terdapat pada Pasal 338 KUHP ialah pembunuhan itu dimaksudkan untuk
mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain. Adapun unsur-unsur yang harus
dipenuhi agar suatu pembunuhan dapat dikategorikan sebagai pembunuhan dengan
pemberatan antara lain:
a) unsur subjektif:
(i) dengan sengaja,
(ii) dengan maksud, dan
b) unsur objektif:
(i) menghilangkan nyawa orang lain,
(ii) diikuti, disertai dan didahului dengan tindak pidana lain
(iii) untuk menyiapkan atau memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana
yang akan, sedang atau telah dilakukan,
(iv) untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya
(peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan,
Delik-delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan
(v) untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah
diperoleh secara melawan hukum, dalam dia atau mereka terpergok
pada waktu melaksanakan tindak pidana.25
3) Pembunuhan berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP. Menurut Chidir Ali yang dimaksud
dengan direncanakan lebih dahulu adalah suatu saat untuk menimbang-nimbang
dengan tenang untuk memikirkan dengan tenang. Selanjutnya juga bersalah
melakukan perbuatannya dengan hati tenang.26 Adapun unsur-unsur yang harus
dipenuhi agar suatu pembunuhan dapat dikategorikan sebagai pembunuhan berencana
antara lain:
a) unsur subjektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih
dahulu, dan
b) unsur objektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.27
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi dan seorang pelaku sadar dan sengaja
akan timbulnya suatu akibat tetapi pelaku tidak membatalkan niatnya, maka pelaku
dapat dikenakan Pasal 340 KUHP.
4) Pembunuhan atas permintaan sendiri
Hal ini diatur dalam Pasal 344 KUHP. Dalam pasal ini membicarakan
mengenai pembunuhan atas permintaan dari yang bersangkutan. Unsur khususnya
Delik-delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan
Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana
Delik-delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan
yaitu permintaan yang tegas dan sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta
dibunuh itu permintaannya tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan
saja, maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344 KUHP karena belum
memenuhi perumusan dari Pasal 344 KUHP, akan tetapi memenuhi perumusan Pasal
338 KUHP tentang pembunuhan biasa.28
b. Pembunuhan tidak sengaja
Tindak pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja merupakan bentuk
kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Hal ini diatur dalam Pasal
359 KUHP, yang di mana inti dari Pasal ini ialah kealpaan atau kelalaian yang
menyebabkan kematian orang lain.
Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat
(rumit), yang di satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan
seseorang secara harfiah dan di sisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu.
Dengan pengertian demikian, maka di dalam kealpaan ( ) terkandung makna
kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara
kesengajaan dan kealpaan, di mana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat positif,
yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan
yang dilarang. Sedangkan dalam kealpaan sifat positif ini tidak ditemukan.29
Pendapat lain mengatakan bahwa kealpaan ( ) adalah keadaan batin
pelaku perbuatan pidana bersifat ceroboh, teledor atau kurang hati-hati sehingga
perbuatan dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi.30 Bentuk dari kealpaan ini
dapat berupa perbuatan pasif maupun aktif. Contoh perbuatan yang pasif misalnya
penjaga palang pintu kereta api karena tertidur pada waktu ada kereta yang melintas
dia tidak menutup palang pintu sehingga mengakibatkan tertabraknya kendaraan lain
yang sedang melintas. Sedangkan contoh perbuatan yang aktif misalnya seseorang
yang sedang menebang pohon ternyata menimpa orang lain sehingga matinya orang
itu karena tertimpa pohon. Jadi dalam kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali
memang tidak ada niat kesengajaan sedikitpun untuk melakukan suatu perbuatan
pidana yang dilarang hukum.31
Dalil hukum yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan menurut
hukum Islam terdapat di dalam Alquran di antaranya sebagai berikut:
a. QS. Al-Baqarah/2:178-179.
Terjemahannya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berkenaan
dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
1. Dasar Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Islam
Dasar Hukum Tindak Pidana Pembunuhan
qi?a?
Dasar-dasar Hukum Pidana
Dasar-dasar Hukum Pidana
sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa
yang memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan
baik, dan membayar (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang
demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa
melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.
Dan dalam itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang
berakal, agar kamu bertakwa”.32
b. QS. An-Nisa’/4:92-93.
Terjemahannya:
“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh
seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu,
padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan
hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang
ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak
mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana. Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan
sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allah
murka kepadanya, maka Melaknatnya serta Menyediakan azab yang besar
baginya”.
c. QS. Al-Maidah/5:45.
Terjamahannya:
“Dan Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa
(dibalas) nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada nya (balasan yang sama).
Barangsiapa melepaskan (hak )nya, maka itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang Diturunkan
Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim”.34
d. QS. Al-Maidah/5:32.
Terjemahannya:
“Oleh karena itu Kami Tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa
barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain,
atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh semua manusia. Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.
Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka
setelah itu melapaui batas di bumi”.
e. QS. Al-Furqan/25:68.
Terjemahannya:
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain
dan tidak membunuh orang yang Diharamkan Allah kecuali dengan (alasan)
yang benar, dan tidak berzina; dan barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya
dia mendapat hukuma yang berat”.36
f. QS. Al-An’an/6:151.
Terjemahannya:
“Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan yang Diharamkan Tuhan
kepadamu. Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik
kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kami-lah
yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati
perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah
kamu membunuh orang yang Diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang
benar. Demikianlah Dia Memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti”.37
Dalam konteks sumber hukum pidana nasional, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) menjadi sumber utama. Hingga saat ini KUHP sendiri masih
dijadikan sebagai kitab induk semua peraturan perundang-undangan hukum pidana.
Semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan mengenai perbuatan
yang dilarang disertai ancaman sanksi pidananya harus mendasarkan dirinya pada
KUHP terutama mengenai prinsip-prinsip dan asas-asas yang terkandung di dalam
buku kesatu KUHP.38
Ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa
orang lain diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) buku II bab
XIX tentang kejahatan terhadap nyawa, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni mulai dari
Pasal 338 yang mengatur tentang jenis pembunuhan biasa sampai Pasal 350 yang
mengatur tentang jenis pembunuhan pengguguran kandungan dengan izin perempuan
yang mengandungnya.
Namun dalam hal ini hanya beberapa dari Pasal-pasal ini yang berkaitan
dengan pokok penelitian ini yakni pada Pasal 338, 339, 340, 344 dan 359 KUHP.
Maka peneliti akan membahas Pasal-pasal ini satu persatu.
a. Pasal 338 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun”.39
Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata
atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:
1) barang siapa,
2) dengan sengaja,
3) menghilangkan, dan
4) nyawa orang lain.
Kalimat “Barang siapa” dan “dengan sengaja” cukup untuk mewakili unsur
subjektif yakni perbuatan ini dilakukan dengan sengaja. Sementara kalimat
“menghilangkan” dan “nyawa orang lain” cukup untuk mewakili unsur objektif yakni
perbuatan ini menghilangkan nyawa orang lain atau dengan kata lain
mengakibatkan kematian. Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan
sanksi dari perbuatan ini yakni “dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”.
b. Pasal 339 KUHP, ”Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu
perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun
peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk
memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun”.41
Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata
atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:
1) pembunuhan biasa,
2) diikuti, disertai, atau didahului,
3) tindak pidana,
4) dengan maksud untuk,
5) menyiapkan atau memudahkan perbuatan itu,
6) atau jika tertangkap tangan,
7) melindungi dirinya atau kawan-kawannya, dan
8) atau akan mempertahankan barang yang didapat dengan melawan hak.42
Secara umun Pasal ini tidak berbeda dengan Pasal 338 KUHP. Namun yang
menjadi perbedaan ialah dalam Pasal ini terdapat rumusan kalimat yakni “diikuti,
disertai, atau didahului oleh suatu perbuatan pidana”. Kata “diikuti” dimaksudkan
diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan
dilakukannya kejahatan lain. Kata “disertai” dimaksudkan disertai kejahatan lain.
Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu.
Sementara kata “didahului” dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin
agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari
kejahatan.43 Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan sanksi dari
perbuatan ini yakni “dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
c. Pasal 340 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun“.44
Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata
atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:
1) barang siapa,
2) dengan sengaja,
3) direncanakan terlebih dahulu, dan
4) menghilangkan nyawa orang lain.45
Kalimat “Barang siapa”, “dengan sengaja” dan “direncanakan lebih dulu”
cukup untuk mewakili unsur subjektif yakni perbuatan ini dilakukan dengan
sengaja dan telah direncanakan lebih dahulu. Sementara kalimat “menghilangkan
nyawa orang lain” cukup untuk mewakili unsur objektif yakni perbuatan ini
menghilangkan nyawa orang lain atau dengan kata lain mengakibatkan kematian.
Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan sanksi dari perbuatan ini
yakni “dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
d. Pasal 344 KUHP, “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.46
Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata
atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:
1) barang siapa,
2) menghilangkan nyawa orang lain,
3) atas permintaan orang itu sendiri, dan
4) yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh.47
Kalimat “Barang siapa”, “atas permintaan orang itu sendiri” dan “yang
disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh” cukup untuk mewakili unsur
subjektif yakni perbuatan ini dilakukan dengan sengaja, meskipun dalam
ketentuan Pasal ini tidak ada kalimat yang merumuskan suatu kesengajaan atau
dengan sengaja, namun perbuatan pelaku yang melaksanakan permintaan korban
dianggap sebagai kesengajaan (melaksanakan permintaan korban). Sementara kalimat
“menghilangkan nyawa orang lain” cukup untuk mewakili unsur objektif yakni
perbuatan ini menghilangkan nyawa orang lain atau dengan kata lain
mengakibatkan kematian. Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan
sanksi dari perbuatan ini yakni “dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”.
e. Pasal 359 KUHP, “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.48
Dari ketentuan Pasal ini , maka dapat ditemukan beberapa rumusan kata
atau kalimat yang dapat memenuhi unsur-unsur subjektif maupun objektifnya, yakni:
1) barang siapa,
2) karena kesalahan (kealpaannya), dan
3) menyebabkan orang lain mati.
Kalimat “Barang siapa” dan “karena kesalahan (kealpaannya)” cukup untuk
mewakili unsur subjektif yakni perbuatan ini dilakukan dengan kesalahan.
Sementara kalimat “menyebabkan orang lain mati” cukup untuk mewakili unsur
objektif yakni perbuatan ini menghilangkan nyawa orang lain atau dengan kata
lain mengakibatkan kematian. Sedangkan rumusan kalimat yang dapat menunjukkan
sanksi dari perbuatan ini yakni “dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Dalam hukum Islam sanksi atau hukuman dapat dibagi menjadi beberapa
penggolongan menurut segi tinjauannya. Dalam hal ini ada empat penggolongan.49
Namun peneliti hanya akan membahas penggolongan yang berkaitan dengan pokok
penelitian yakni penggolongan pertama.
Penggolongan pertama ini didasarkan atas pertaliannya satu hukuman dengan
hukuman lainnya, dan dalam hal ini ada empat macam hukuman, yaitu:
a. Hukuman pokok ( ), seperti hukuman untuk jarimah
pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti ( ), yaitu yang menggantikan hukuman
pokok, jika hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah,
seperti hukuman sebagai pengganti hukuman , atau hukuman sebagai
pengganti hukuman had atau hukuman yang tidak bisa dijalankan. Sebenarnya
hukuman itu sendiri adalah hukuman pokok, yaitu untuk pembunuhan semi
sengaja, akan tetapi menjadi pengganti pula bagi hukuman . Demikian pula
hukuman juga merupakan hukuman pokok bagi jarimah-jarimah sendiri,
tetapi menjadi hukuman pengganti pula bagi jarimah-jarimah hudud atau
yang tidak mendapat hukuman yang sebenarnya karena adanya alasan-alasan tertentu.
c. Hukuman tambahan ( ), yaitu hukuman yang mengikuti
hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri seperti larangan
menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga,
sebagai tambahan hukuman (mati), atau hukuman dicabutnya hak sebagai
sanksi yang dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarimah (memfitnah
orang lain berbuat zina) di samping hukuman pokoknya, yaitu jilid delapan puluh
kali.
d. Hukuman pelengkap ( ), yaitu hukuman yang mengikuti
hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah
yang menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contoh hukuman
pelengkap ialah mengalungkan tangan pencuri yang telah di lehernya.50
Sementara sanksi hukum atas tindak pidana pembunuhan menurut hukum
pidana Islam adalah sebagai berikut:
1) Pelaku pembunuhan yang disengaja, pihak keluarga korban dapat
memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu:
a) , yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan korbannya,
b) yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau
200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk lain seperti uang yang
senilai harganya. ini diserahkan kepada pihak keluarga korban,dan
c) pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat.
2) Pelaku pembunuhan yang tidak sengaja, pihak keluarga diberikan pilihan,
yaitu:
a) pelaku membayar ,
b) membayar (memerdekakan budak mukmin), dan
c) jika tidak mampu maka pelaku pembunuhan diberi hukuman moral, yaitu
berpuasa selama dua bulan berturut-turut. 51
Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP terdapat beberapa jenis hukuman yang
dapat dijatuhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jenis-jenis
pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan
undang-undang itu menyimpang.52 Jenis-jenisnya dibedakan antara pidana pokok dan
pidana tambahan.
a. Pidana pokok ( ) terdiri dari lima jenis pidana, yakni:
1) Pidana mati
Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang paling tua, setua umat
manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik
dikaji oleh para ahli karena memiliki nilai kontradiksi atau pertengangan
yang tinggi antara yang setuju dan tidak setuju.53 Beberapa Negara telah
mencabut pidana mati.54 Namun terlepas dari semakin banyaknya negara
yang tidak lagi memberlakukan pidana mati dalam sistem hukum
pidananya, Indonesia menjadi salah satu negara yang masih tetap
memberlakukan pidana mati. Pelaksanaan pidana mati di Indonesia
dilakukan dengan ditembak sampai mati.55
2) Pidana penjara
Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang
terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang ini di dalam
sebuah Lembaga Permasyarakatan (LP) yang menyebabkan orang ini
harus menaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang melanggar.
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan
kemerdekaan.
3) Pidana kurungan
Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama, sebagai
untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan,
yaitu delik-delik dan beberapa delik . Kedua, sebagai
, yaitu suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.57
Pidana kurungan dapat sebagai pengganti pidana denda, jika seseorang
ini tidak dapat atau tidak mampu membayar denda yang harus
dibayar, dala hal perkaranya tidak begitu berat.58
4) Pidana denda
Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk
mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya dengan
pembayaran sejumlah uang tertentu.59 Pidana denda dijatuhkan terhadap
delik-delik ringan seperti pelanggaran atau kejahatan ringan.
5) Pidana tutupan
Pidana tutupan merupakan jenis pidana yang tercantum dalam KUHP
sebagai pidana pokok berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946. Menurut Andi
Hamzah bahwa pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang
melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya.60
b. Pidana tambahan ( ) terdiri dari tiga jenis pidana, yakni:
1) Pencabutan hak-hak tertentu
Pencabutan hak-hak tertentu tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan
dan juga hak-hak sipil dan hak ketatanegaraan. Pencabutan hak-hak
tertentu itu adalah suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua
cara, yaitu (1) tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan
putusan hakim; dan (2) tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka
waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.61
2) Perampasan barang-barang tertentu
Pidana tambahan ini merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya
dengan pidana denda. Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu
barang-barang yang didapat karena kejahatan dan barang-barang yang
dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Dalam hal ini
berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah kepunyaan terpidana, kecuali
terhadap kejahatan mata uang, di mana pidana perampasan menjadi
imperatif.62
3) Pengumuman putusan hakim
Menurut Andi Hamzah, jika diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi
tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka dapat disimpulkan
bahwa tujuan pidana tambahan ini adalah agar masyarakat waspada
terhadap kejahatan-kejahatan seperti penggelapan, perbuatan curang dan
lainnya.63
Sementara sanksi hukum atas tindak pidana pembunuhan menurut hukum
pidana nasional adalah sebagai berikut:
1) Pelaku pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja
a) untuk tindak pidana pembunuhan biasa telah diatur dalam Pasal 338 KUHP
yakni dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b) untuk tindak pidana pembunuhan dengan pemberatan telah diatur dalam Pasal
339 KUHP yakni dengan sanksi berupa pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
62Mahrus Ali, , Edisi I, h. 201
63Andi Hamzah,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), h. 53.
Dasar-dasar Hukum Pidana
Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi
63
c) untuk tindak pidana pembunuhan berencana telah diatur dalam Pasal 340
KUHP yakni dengan sanksi berupa pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
d) untuk tindak pidana pembunuhan atas permintaan sendiri telah diatur dalam
Pasal 344 KUHP yakni dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
2) Pembunuhan tidak sengaja telah diatur dalam Pasal 359 KUHP yakni
dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH PENDERITA GANGGUAN
IDENTITAS DISOSIATIF, ANALISIS KOMPARATIF ANTARA HUKUM
ISLAM DAN HUKUM NASIONAL
A. Pembunuhan Oleh Penderita Gangguan Identitas Disosiatif dalam Pandangan
Hukum Islam
1. Penjelasan Umum
Pada dasarnya, Islam telah melarang seseorang melakukan pembunuhan tanpa
ada alasan yang dapat dibenarkan oleh syariat. Karena pembunuhan merupakan suatu
perbuatan haram yang sangat dimurkai oleh Allah. swt. Selain itu, Islam juga sangat
menghargai nyawa manusia. Bukan hanya nyawa milik kaum muslim saja, tapi juga
nyawa para pemeluk agama lain. Karena syariat Islam ditetapkan untuk menjaga dan
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang di mana kelima hal ini
dikenal dengan istilah dharūriyyātul khams. Sehingga barang siapa yang melanggar
salah satu dari kelima hal ini maka harus mendapatkan sanksi atau hukuman
berdasarkan syariat Islam yang disesuaikan dengan pelanggaran ini .
Dalam hal perbuatan menghilangkan nyawa atau melakukan pembunuhan,
Islam telah mengatur sanksi atau hukuman bagi pelaku yang melanggar. Sanksi bagi
orang yang membunuh diserahkan kepada manusia, dalam arti manusia sebagai
subjek hukum diberikan kewenangan untuk memilih sanksi hukum dari dua alternatif,
yaitu; (a) pembunuh itu diqiṣāṣ atau diberikan hukuman yang setimpal, yaitu dibunuh
bagi pembunuhan yang disengaja, dan (b) pembunuh membayar diyat kepada
keluarga korban bagi pembunuhan yang tidak disengaja.1
Namun, dalam pemberian sanksi kepada pelaku pembunuhan, tidak serta
merta langsung dilakukan. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya bahwa untuk memberikan hukuman qiṣāṣ kepada pelaku, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi.2 Namun, dari syarat-syarat ini peneliti akan lebih
menyoroti syarat yang mengatakan bahwa pelaku harus berakal atau waras.
Dalam Islam, orang yang berakal adalah orang yang mampu mengikat atau
mengendalikan hawa nafsunya. Alquran memakai nya bagi sesuatu yang
mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa. Selain
itu menurut Al-Jurjani, akal ialah substansi jiwa yang diciptakan Allah. swt., yang
berhubungan dengan badan manusia, akal juga berarti cahaya (nur) dalam hati untuk
mengetahui kebenaran dan kebaikan.3 Sedangkan orang gila menurut Islam ialah
bukan orang yang hilang akalnya, tetapi orang yang akalnya tidak mampu menerangi
kegelapannya atau ketertutupannya dari cahaya Ilahi. Dengan demikian gila adalah
setiap orang yang cenderung menuruti hawa nafsunya, sehingga akalnya tertutup dan
tidak berfungsi.4
Adapun beberapa bentuk yang termasuk dalam pengertian gila dan keadaan-keadaan
lain yang sejenis antara lain:
a. Gila terus-menerus
Gila terus-menerus adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat
berpikir sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang datang
kemudian. Di kalangan fuqaha gila semacam ini disebut dengan al-junūn al-
mutbaq.5
b. Gila berselang
Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berpikir, tetapi tidak
terus-menerus. jika keaadaan ini menimpanya maka ia kehilangan
pikirannya sama sekali dan jika keadaan ini berlalu (hilang) maka ia
dapat berpikir kembali seperti biasa. Pertanggungjawaban pidana pada gila
terus-menerus hilang sama sekali, sedangkan pada gila berselang ia tetap
dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.6
c. Gila sebagian
Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam perkara-
perkara tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap
dapat bepikir. Dalam kondisi di mana ia masih dapat berpikir, ia tetap
dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia
bebas dari pertanggungjawaban pidana.7
d. Dungu
Para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan
definisi orang dungu sebagai berikut:
Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya
bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau
timbul kemudian karena suatu pernyakit.8
Jika dikaitkan antara keadaan ini di atas dengan penderita gangguan
identitas disosiatif, maka menurut peneliti bahwa gangguan identitas disosiatif ini
bisa dikategorikan sebagai gila sebagian dalam pandangan Islam. Dengan alasan
bahwa pada dasarnya penderita gangguan identitas disosiatif dalam melakukan segala
kegiatannya itu dilakukan dengan sadar (oleh kepribadian yang sedang memegang
kendali atas tubuh penderita). Setiap kepribadian yang ada sadar dan ingat akan
segala kegiatan yang telah dilakukan. Karena setiap kepribadian memiliki ingatannya
masing-masing dan setiap kepribadian saling tidak tahu-menahu atau pun tidak
mengingat akan kegiatan yang dilakukan oleh kepribadian lainnya. Sehingga secara
fisik penderita gangguan identitas disosiatif bisa dikatakan waras, karena tetap
memiliki kesadaran akan segala perbuatannya. Namun, secara mental penderita
gangguan identitas disosiatif memang dikategorikan memiliki gangguan kejiwaan,
karena penderita mengalami gangguan psikologis yang melibatkan kehilangan
memori atau perubahan identitas secara mendadak. Dalam kondisi stres yang amat
berat atau keterkejutan, kesadaran individu menjadi terdisosiasi (terpisah atau
terpecah) dari pengalaman-pengalaman dan ingatan sebelumnya.9
jika kedua hal di atas kita kaitkan menjadi tindak pidana pembunuhan
oleh penderita gangguan identitas disosiatif dalam pandangan hukum Islam, maka
bisa disamakan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh orang dengan gangguan
kejiwaan. Dalam hukum Islam pembunuhan oleh orang dengan gangguan kejiwaan
tidak wajib dikenakan hukuman qiṣāṣ, karena perbuatannya tidak dikenai taklif.
Namun, bukan berarti pelaku terbebas dari hukuman atau tidak dimintai
pertanggungjawaban pidana. Pelaku akan tetap dikenakan sanksi namun tidak juga
diwajibkan qiṣāṣ.
2. Penjatuhan Sanksi
Dalam hukum Islam, terdapat pembahasan mengenai pertanggungjawaban
pidana. Menurut Ahmad Hanafi, pertanggungjawaban pidana dalam Islam diartikan
sebagai pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud dan
akibat dari perbuatannya itu.10 Pertanggungjawaban pidana ini ditegakkan atas 3
dasar, yaitu:
a. adanya perbuatan yang dilarang;
b. perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri; dan
c. pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.11
jika ketiga hal di atas terpenuhi, maka pertanggungjawaban pidana itu ada pada
pelaku. Namun, jika ada satu hal dari ketiga hal ini yang tidak terpenuhi,
maka dianggap tidak ada perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, jika kita kaitkan dengan pertanggungjawaban
pidana atas tindak pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas disosiatif,
dengan keadaan pelaku yang merupakan seorang mukallaf, pelaku tahu dan sadar
akan perbuatannya, serta pembunuhan ini merupakan pembunuhan murni
sengaja, maka peneliti berpendapat bahwa ada pertanggungjawaban pidana atas
pelaku. Dengan alasan bahwa 3 hal dasar untuk penegakan pertanggungjawaban
pidana telah terpenuhi. Jika kita tinjau kembali, pelaku yang merupakan seorang
penderita gangguan identitas disosiatif, tahu dan sadar bahwa perbuatannya
(pembunuhan) ini adalah perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam. Selain itu,
perbuatan ini dilakukan atas kemauan pelaku sendiri, dalam hal ini perbuatan
ini dilakukan atas kemauan dari kepribadian yang sedang memegang kendali
pada saat dilakukannya perbuatan ini . Di samping itu, pelaku yang notabene
adalah seorang mukallaf, maka telah dianggap tahu atas akibat dari perbuatannya
ini .
Jika pelaku telah ditetapkan bahwa ada pertanggungjawaban pidana atas
perbutannya, maka selanjutnya adalah pemberian hukuman atau penjatuhan sanksi.
Pada pembahasan sebelumnya telah dikatakan bahwa pembunuhan oleh penderita
gangguan identias disosiatif ini sama dengan pembunuhan yang dilakukan oleh orang
dengan gangguan kejiwaan, maka pelaku tidak wajib dikenakan qiṣāṣ. Namun, bukan
berati pelaku juga terlepas dari pertanggungjawaban pidana. Pelaku tetap harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga berdasarkan dari pembahasan
ini , maka terlepas dari pelaku yang memiliki gangguan kejiwaan, penjatuhan
hukuman atau sanksi tetap diserahkan kepada keluarga korban untuk memilih salah
satu dari beberapa alternatif hukuman yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Hal
ini mempunyai relevansi yang kuat dengan pertimbangan psikologi keluarga. Betapa
penderitaan pihak keluarga lantaran salah satu anggotanya meninggal, lebih-lebih
karena dibunuh oleh seseorang.
Namun, pihak berwenang atau pun orang-orang yang tahu akan keadaan
pelaku juga wajib menjelaskan kepada keluarga korban mengenai keadaan pelaku
yang memiliki gangguan kejiwaan. Karena sebagai pelaku yang memiliki gangguan
kejiwaan, pelaku bisa saja tidak dikenakan hukuman qiṣāṣ, jika keluarga memilih
hukuman qiṣāṣ untuk pelaku. Sebagaimana yang tercantum dalam hadis:
Diriwayatkan dari Ali, bahwa Nabi SAW bersabda dimaafkan kesalahan dari
tiga hal dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia dewasa,
dari orang gila hingga ia waras.
Selain itu, jika soal sanksi apa yang tepat dijatuhkan terhadap pelaku, maka
menurut penulis pribadi ialah hukuman diyat yang merupakan hukuman pengganti
dari qiṣāṣ. Namun, hukuman ini hanya akan berlaku jika ada pengampunan dari
keluarga korban, maka hukuman qiṣāṣ menjadi gugur dan diganti dengan hukuman
diyat.13 Menurut H. Sulaiman Rasyid, diyat ada 2 macam, yakni:
a. Diyat berat, yaitu 100 ekor unta, dengan perincian: 30 ekor unta betina umur 3
tahun masuk 4 tahun, 30 ekor unta betina dengan umur 4 tahun masuk 5
tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting. Diwajibkan diyat berat karena:
1) sebagai ganti hukuman bunuh (qiṣāṣ) yang dimaafkan pada pembunuhan
yang betul-betul sengaja. Diyat ini wajib dibayar tunai oleh yang
membunuh sendiri.
2) melakukan pembunuhan seperti sengaja. Diyat ini wajib dibayarkan oleh
keluarganya, diangsur dalam waktu 3 tahun, tiap-tiap akhir tahun wajib
dibayar sepertiganya.
b. Diyat ringan, banyaknya 100 ekor unta juga, tetapi dibagi 5 dengan perincian:
20 ekor unta betina umur 1 tahun masuk 2 tahun, 20 ekor unta betina umur 2
tahun masuk 3 tahun, 20 ekor unta jantan umur 2 tahun masuk 3 tahun, 20
ekor unta umur 3 tahun masuk 4 tahun dan 20 ekor unta betina umur 4 tahun
masuk 5 tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang membunuh
dengan masa 3 tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Jika diyat tidak dapat dibayarkan dengan unta wajib dibayar dengan uang
sebanyak harga unta. Ini pendapat sebagian ulama. Pendapat ulama lain, boleh
dibayar dengan uang sebanyak 12.000 dirham (sekitar 37,44 kg perak). Kalau diyat
berat, maka ditambah sepertiganya. Selain itu, diyat perepmpuan (jika yang terbunuh
perempuan) adalah seperdua dari denda laki-laki. Diyat orang yang beragama Yahudi
atau Nasrani adalah sepertiga dari diyat orang Islam.
Jadi, kesimpulannya ialah pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita
gangguan identitas disosiatif dalam hukum Islam tetap dikenakan
pertanggungjawaban pidana dan mengenai penjatuhan saksinya, hal itu merupakan
hak otonomi sepenuhnya bagi keluarga korban untuk menentukan salah satu dari
beberapa alternatif pilihan sanksi yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
B. Pembunuhan Oleh Penderita Gangguan Identitas Disosiatif dalam Pandangan
Hukum Nasional
1. Penjelasan Umum
Tindak pidana pembunuhan merupakan jenis kejahatan (rechtdelict) atau delik
hukum, yang mana pelaku telah melakukan pelanggaran hukum yang melanggar rasa
keadilan.15 Di mana pelaku dengan sengaja melakukan perbuatan yang berakibat
hilangnya nyawa orang lain, atau dengan kata lain pelaku secara tidak adil merampas
hak hidup orang lain. Selain itu, tindak pidana pembunuhan juga dikategorikan
sebagai delik material (materiil) yaitu delik yang dianggap selesai jika akibat dari
perbuatan sudah terjadi atau dengan kata lain delik ini menitik beratkan pada akibat
yang dilarang dari perbuatan ini . Di samping itu, tindak pidana pembunuhan
juga termasuk delik dolus (kesengajaan) yakni suatu delik yang memuat unsur
kesengajaan, dalam hal ini pelaku dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.
Dalam hukum pidana nasional Indonesia dikenal istilah pertanggungjawaban
pidana. Pertanggungjawaban pidana menurut hukum nasional adalah mengenakan
celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau
menimbulkan keadaan yang terlarang. Selanjutnya Chairul Huda menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada
pada titik pidana kepada pembuatnya.16 Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas
legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya perbuatan adalah asas kesalahan.17
Pertanggungjawaban pidana timbul sebagai akibat dari suatu perbuatan pidana atau
tindak pidana yang dilakukan tanpa adanya alasan pemaaf.
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme
yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.18 Lebih lanjut, Roeslan Saleh
berpendapat bahwa untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan pidananya terdakwa
(dipertangggungjawabkan) maka terdakwa harus:
a. melakukan perbuatan pidana;
b. mampu bertanggungjawab;
c. dengan sengaja atau alpa; dan
d. tidak ada alasan pemaaf.
Jika hal di atas kita kaitkan dengan tindak pidana pembunuhan oleh penderita
gangguan identitas disosiatif menurut hukum nasional, maka sebelumnya perlu kita
tinjau dulu bagaimana kemampuan bertanggungjawab atau pertanggungjawaban
pidana seorang pelaku dengan gangguan identitas disosiatif yang mekakukan tindak
pidana.
Sebelumnya telah dipaparkan bahwa pertanggungjawaban pidana timbul
sebagai akibat dari tindak pidana tanpa adanya alasan pemaaf. Dapat
dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat
untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada pertanggungjawaban pidana
tanpa kesalahan’ maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai
kesalahan.19 Di sini sudah sangat jelas bahwa kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
yang menderita gangguan identitas disosiatif ialah melakukan perbuatan pidana
berupa dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang, yang merupakan suatu
pelanggaran hukum yang berat dengan dasar hukum Pasal 338 KUHP. Dengan
demikian syarat pertama untuk suatu kesalahan yang dapat dipertanggungjawabakan
terpenuhi.
Selanjutanya, mengenai kemampuan bertanggungjawab. Kemampuan
bertanggungjawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan
mempunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang
buruk,20 atau dengan kata lain , mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya
suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan
kehendaknya.21 Pada intinya, akal dan kehendak menjadi faktor penentu utama
kondisi batin seseorang, sehat atau tidak. Jika kita kaitkan dengan pelaku yang
menderita gangguan identitas disosiatif, pada dasarnya penderita memiliki akal yang
normal dan mampu berkehendak, dalam hal ini ia tahu dan sadar akan perbuatan dan
akibat dari perbuatannya ini . Sehingga pelaku dianggap memiliki kemampuan
bertanggungjawab.
Selain itu, mengenai dilakukan dengan sengaja atau alpa, maka pelaku sudah
jelas melakukan perbuatannya dengan sengaja. Terbukti dengan selesainya perbuatan
yang dilakukan pelaku. Dan untuk tidak ada alasan pemaaf, tidak terdapat alasan
yang dapat menghapuskan kesalahan pelaku. Sehingga syarat ketiga dan keempat
untuk suatu kesalahan yang dapat dipertanggungjawabakan terpenuhi. Maka secara
garis besar, pelaku yang menderita gangguan identitas disosiatif dianggap dapat
dikenakan pertanggungjawaban pidana.
2. Penjatuhan Sanksi
Terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas
disosiatif yang dikenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak berlaku baginya
alasan pemaaf. Jika pelaku telah ditetapkan bahwa ada pertanggungjawaban pidana
atas perbuatannya, maka selanjutnya adalah penjatuhan sanksi.
Mengenai sanksi, sesuai dengan pemaparan di bab sebelumnya, bahwa sanksi
yang dikenakan terhadap pelaku dapat disesuaikan dengan jenis pembunuhan yang
dilakukan oleh pelaku, dalam hal ini pelaku melakukan jenis pembunuhan sengaja
dengan dasar hukum Pasal 338 KUHP dengan sanksi berupa pidana penjara paling
lama lima belas tahun. Namun, menurut peneliti secara pribadi memiliki pandangan
yang sedikit berbeda. Dalam hal ini menurut peneliti, ada 2 keadaan penting yang
perlu diperhatikan, yakni:
a. jika perbuatan pidana ini (pembunuhan) dilakukan oleh kepribadian
pengganti (alter) dari penderita gangguan identitas disosiatif, maka pelaku
tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, dengan alasan yang
menjadi subjek atau pelaku utama dari perbuatan ini ialah kepribadian
pengganti yang notabene merupakan bagian dari gangguan psikologis atau
gangguan kejiwaan yang diderita oleh pelaku;
b. jika perbuatan pidana ini dilakukan oleh kepribadian tuan rumah atau
kepribadian asli, maka pelaku dikenakan pertanggungjawaban pidana, dengan
alasan yang menjadi subjek atau pelaku utama dari perbuatan ini ialah
kepribadian asli yang notabene bukan merupakan bagian dari gangguan
psikologis atau gangguan kejiwaan yang diderita oleh pelaku. Dalam artian,
pelaku utama merupakan kepribadian asli yang dibawa sejak lahir dan bukan
merupakan kepribadian yang terbentuk akibat dari gangguan psikologis atau
gangguan kejiwaan yang dialaminya. Karena pelaku dikenakan
pertanggungjawaban pidana, maka ada sanksi yang harus diterima oleh
pelaku. Sanksi-sanksi ini bermacam-macam sesuai dengan jenis
pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku.
Namun, pada intinya untuk membuktikan 2 keadaan ini di atas, dalam proses
penyidikan, penyidik membutuhkan bantuan dari psikolog atau psikiater. Pendapat
penulis di atas diperkuat dengan adanya pendapat dari seorang dokter spesialis
kejiwaan. Menurut dr. Venny Pungus, Sp.KJ. penderita gangguan identitas disosiatif
dapat dipidana. Karena penderita gangguan identitas disosiatif bukan merupakan
gangguan mental yang berat. Sehingga dia masih dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana.22
Namun, terlepas dari pendapat peneliti di atas, yang perlu dijadikan simpulan
ialah pendapat yang memiliki dasar hukum, yakni pelaku tindak pidana pembunuhan
oleh penderita gangguan identitas disosiatif dalam hukum nasional dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana, dengan alasan penderita dianggap memiliki kemampuan
untuk mempertanggungjawabkan kesalahan atau perbuatannya. Sanksi yang
dikenakan, disesuaikan dengan jenis pembunuhan yang dilakukan yakni jenis
pembunuhan sengaja dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama lima belas
tahun berdasarkan pasal 338 KUHP. Pada intinya, dijatuhkannya sanksi atau tidak
terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas
disosiatif sepenuhnya merupakan keputusan hakim. Penulis hanya memaparkan
beberapa teori-teori yang dianggap relevan dengan pokok persoalan ini .
C. Analisis Komparatif Antara Hukum Islam dan Hukum Nasional
1. Pandangan Terhadap Pembunuhan oleh Penderita Gangguan
Identitas Disosiatif
Dalam hukum Islam, penderita gangguan identitas disosiatif dikategorikan
sebagai gila sebagian, di mana penderita tidak dapat berpikir dalam perkara-perkara
tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap dapat bepikir.
Untuk pembunuhan oleh penderita gangguan identitas disosiatif dalam hukum Islam,
dianggap dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana dengan alasan bahwa 3 hal
dasar untuk penegakan pertanggungjawaban pidana telah terpenuhi yakni adanya
perbuatan yang dilarang; perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri; dan
pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.
Sedangkan dalam hukum nasional, penderita gangguan identitas disosiatif
dipandang sebagai suatu gangguan psikologis atau gangguan kejiwaan, bukan suatu
penyakit kejiwaan seperti yang terdapat dalam pasal 44 KUHP. Perlu diketahui
bahwa dalam kamus bahasa Indonesia, gangguan berarti hal yang menyebabkan
ketidakwarasan atau ketidaknormalan (tentang jiwa, kesehatan, pikiran),23 sementara
penyakit berarti gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau
kelainan sistem (pada makhluk hidup).24 Selain itu, penyakit merupakan suatu hal
yang dapat disembuhkan sedangkan gangguan merupakan hal yang terus ada, tidak
dapat disembuhkan dan hanya dapat diminimalisir. Untuk pembunuhan oleh
penderita gangguan identitas disosiatif dalam hukum nasional dianggap dapat
dikenakan pertanggungjawaban pidana dengan alasan bahwa 4 hal dasar untuk
penegakan pertanggungjawaban pidana telah terpenuhi yakni melakukan perbuatan
pidana; mampu bertanggungjawab; dengan sengaja atau alpa; dan tidak ada alasan
pemaaf.
2. Penjatuhan Sanksi Terhadap Pelaku
Dalam hukum Islam, pembunuhan oleh penderita gangguan identitas
disosiatif tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana dan mengenai penjatuhan
saksinya, hal itu merupakan hak otonomi sepenuhnya bagi keluarga korban untuk
menentukan salah satu dari beberapa alternatif pilihan sanksi yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam. Namun, secara pribadi penulis berpendapat bahwa pelaku tidak
wajib dikenakan hukuman qiṣāṣ dikarenakan pelaku merupakan seorang yang
memiliki gangguan kejiwaan, sehingga hukuman yang pantas dikenakan ialah
hukuman diyat berat.
Sedangkan dalam hukum nasional, pembunuhan oleh penderita gangguan
identitas disosiatif tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana dan mengenai
penjatuhan sanksinya, pelaku dikenai pasal sesuai dengan jenis pembunuhan yang
dilakukan, dalam hal ini pelaku melakukan jenis pembunuhan sengaja dengan dasar
hukum Pasal 338 KUHP dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
3. Perbandingan Hukum
Jika berbicara mengenai perbandingan hukum antara hukum Islam dan hukum
nasional, mana yang lebih baik dan efisien untuk ditegakkan dalam perkara ini, akan
lumayan sulit ditentukan. Pada dasarnya kedua hukum ini memiliki beberapa
kesamaan. Kedua hukum ini menganggap bahwa gangguan identitas disosiatif
merupakan suatu gangguan psikologis atau gangguan kejiwaan. Selain itu, kedua
hukum ini juga sama-sama mengenakan pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita gangguan identitas disosiatif.
Namun, menurut penulis pribadi berpendapat bahwa hukum Islam lebih rinci
dan efisien dibanding hukum nasional. Salah satunya terbukti dengan adanya
pembagian beberapa jenis gila dalam Islam. Sehingga gila tidak hanya disatu jeniskan
atau disamaratakan tingkat kegilaannya. Selain itu, dengan adanya pembagian
ini penulis dapat terbantu dalam menentukan termasuk ke dalam jenis gila
apakah ganguan identitas disosiatif itu. Sehingga penulis juga dapat menentukan
apakah pelaku dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atau tidak. Sedangkan
dalam hukum nasional, penulis tidak menemukan jenis-jenis gila atau gangguan
kejiwaan dalam hukum nasional. Penulis tidak menemukan gangguan jiwa apa saja
yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atau tidak. Sehingga penulis sedikit
kesulitan dalam menentukan apakah pelaku penderita gangguan identitas disosiatif
dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atau tidak.
Di samping itu, dalam sistem penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak
pidana pembunuhan, hukum Islam menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada
keluarga korban untuk menentukan hukuman apa yang ingin diberikan kepada pelaku
dari beberapa alternatif pilihan hukuman yang ditetapkan oleh syariat Islam. Hal ini
memiliki relevansi yang kuat dengan pertimbangan psikologi keluarga korban.
Sementara hukum nasional, mengenai penjatuhan hukuman hal itu sepenuhnya
menjadi otoritas hakim untuk menentukan hukuman apa yang akan diberikan kepada
pelaku tindak pidana pembunuhan.
1. Pada hakikatnya, gangguan identitas disosiatif merupakan suatu gangguan
psikologis atau gangguan kejiwaan yang sebagian besar diakibatkan oleh
trauma parah pada masa kanak-kanak yang terjadi secara berulang.
2. Gangguan identitas disosiatif dalam Islam merupakan sakit mental yang
bersifat duniawi yang disebabkan oleh konflik bawah sadar yang biasanya
berawal dari masa kanak-kanak awal dan pemakaian mekanisme pertahanan
yang ditimbulkan oleh impuls dan emosi yang depresi.
Sedangkan gangguan identitas disosiatif dalam psikologi nasional
merupakan suatu gangguan disosiatif yang paling dramatis namun paling
jarang ditemukan, di mana individu yang menderita gangguan ini memiliki
dua kepribadian atau lebih di dalam tubuhnya. Gangguan ini disebabkan
oleh; trauma parah yang dialami pada masa kanak-kanak awal yang terjadi
secara berulang, kurang atau bahkan tidak adanya orang yang mau
melindungi atau pun menghibur individu dari pengalaman buruk yang
dialami, gangguan identitas disosiatif ini berkembang akibat pengaruh dari
anggota keluarga lain yang memiliki gangguan psikologis. Selain itu,
penderita gangguan identitas disosiatif memiliki ciri-ciri, yakni; memiliki
dua atau lebih kepribadian yang berbeda, kepribadian-kepribadian ini
mengambil alih perilaku penderita secara bergantian, mengalami amnesia
dalam artian tidak mengingat apa yang telah dilakukan, dan gangguan
ini bukan disebabkan oleh efek psikologi langsung dari suatu zat.
3. Dalam hukum Islam, pelaku tindak pidana pembunuhan oleh penderita
gangguan identitas disosiatif tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana
dan mengenai penjatuhan saksinya, hal itu merupakan hak otonomi
sepenuhnya bagi keluarga korban untuk menentukan salah satu dari beberapa
alternatif pilihan sanksi yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
Sedangkan dalam hukum nasional, pelaku tindak pidana pembunuhan oleh
penderita gangguan identitas disosiatif dikenai pertanggungjawaban pidana
dan mengenai penjatuhan sanksinya, pelaku dikenai pasal sesuai dengan
jenis pembunuhan yang dilakukan, dalam hal ini pelaku melakukan jenis
pembunuhan sengaja dengan dasar hukum Pasal 338 KUHP dengan sanksi
berupa pidana penjara paling lama lima belas tahun.
B. Implikasi Penelitian
Implikasi dari penelitian ini adalah: 1) perlunya perhatian lebih terhadap
penderita gangguan identias disosiatif, mengingat penyebab dari gangguan ini ialah
kurangnya perhatian terhadap penderita, 2) hukum pidana nasional perlu membuat
aturan yang lebih spesifik mengenai gangguan kejiwaan apa saja yang dapat
dikenakan pertanggungjawaban pidana, 3) hasil dari penelitian ini dapat dijadikan
bahan pertimbangan atau bahan acuan untuk memutuskan perkara yang sama dengan
pokok penelitian ini.