Kamis, 22 Februari 2024

ternate tidore

 



Para sejarawan hingga kini masih 

belum menemukan kata sepakat tentang 

kapan sebenarnya Islam masuk ke 

wilayah Nusantara. Jika dihitung sejak 

datangnya orang beragama Islam, 

misalnya orang Arab maka Islam telah 

masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 M, 

tetapi jika dihitung sejak Islam dianut 

oleh warga asli Nusantara sebagai 

agama mayoritas maka hal itu terjadi 

pasca abad ke-10 M. 

Selain perdebatan tentang masuk 

dan berkembangnya Islam ke wilayah 

Nusantara yang begitu luas, masuk dan 

berkembangnya Islam ke wilayah-

wilayah di Nusantara juga masih 

diperdebatkan, khususnya sejak kapan 

dan siapa yang membawanya. Salah 

satunya yaitu  Islam di Maluku.

Sebagian menyebutkan masuk dan 

berkembang sejak abad ke-9 M dibawa 

oleh orang-orang Timur Tengah, 

sebagian lagi mengatakan bahwa orang 

Melayu dan Jawa pada abad ke-13 M.2 

Terlepas dari perdebatan itu, 

ada  sebuah keserupaan terntang 

proses perkembangan Islam di berbagai 

wilayah Nusantara, sehingga diterima 

oleh mayoritas masyarakat. Keserupaan 

itu ialah: penganut Islam pertama selalu 

dimulai oleh kalangan elit atau kerajaan,  

selanjutnya, para pendakwah Islam di 

Nusantara selalu menggunakan 

pendekatan budaya dalam syiar Islam, 

sehingga Islam mudah diterima. 

Pernyataan John Crawfort seorang 

orientalis berikut ini menjadi sebuah 

argumen menarik untuk menjelaskan 

mengapa Islam dapat diterima secara 

mayoritas oleh masyarakat Nusantara: 

“yaitu  tidak sulit untuk 

menentukan sebab yang 

sebenarnya, kenapa kaum dai 

muslimin berhasil dalam 

hubungannya, dan kaum misionaris 

Kristen gagal. Para dai dari Arab 

dan para dai muslimin lainnya 

menyelaraskan diri dengan rakyat 

pribumi, belajar bahasanya, 

mengikuti adat-istiadatnya, kawin 

dengan mereka, dan menyatukan 

diri dengan rakyat banyak, tanpa 

meningkatkan dirinya sebagai 

golongan yang berstatus istimewa. 

Kelebihan mereka dalam intelek dan 

peradaban hanya digunakan untuk 

mendidik dan mengarahkan alam 

pikiran keagamaan rakyat pribumi 

ke dalam saluran-saluran yang 

memang diingini, dengan cara yang 

sangat pandai sekali. Mereka yaitu  

pedagang seperti orang-orang 

Eropa itu, namun mereka tidak 

pernah berpikiran untuk merampok 

rakyat pribumi dari hasil tanah dan 

hasil kerajinannya dengan cara cara 

yang kasar dan kejam...” 

Pendekatan itu, sekalipun tidak 

disebut secara eksplisit tentang teori 

budaya apa yang digunakan, namun 

dalam tiap paparan kronologisnya 

menampilkan pendekatan itu, terutama 

dalam pembahasan tentang bagaiamana 

para Sultan-Sultan di Maluku 

menyisipkan pengaruh Islam secara 

perlahan, tetapi tidak serta merta 

menghapus semua budaya lokal. 

Keterbatasan sumber yang penulis 

dapatkan, menjadikan paper ini 

memiliki banyak kekurangan yang 

memungkinkan dikoreksi oleh siapapun 

yang ingin mendalami tentang Islam di 

Maluku. 

Kesultanan Islam di Maluku 

Islam masuk ke daerah Maluku 

secara resmi pada abad IX, pada waktu 

itu dibawa oleh orang-orang Arab, 

Persia dan juga Melayu yang 

berdatangan sejak antara abad V–XI M.4 

Maluku terkenal dengan semerbak 

bunga cengkehnya, banyak orang asing 

tertarik datang ke sana untuk 

berdagang. Bahkan orang-orang Eropa 

berdatangan ingin menguasai wilayah 

tersebut. Selain itu, Maluku juga dikenal 

dengan julukan Negeri Seribu Pulau dan 

Jazirah al-Mulk (wilayah raja-raja) 

Akses ke Maluku sangat mudah 

dijangkau, sebab  Maluku merupakan 

salah satu pusat lalu lintas pelayaran 

Internasional di Nusantara, selain 

Malaka dan Jawa. 

Pada awalnya yang disebut dengan 

Maluku meliputi Ternate, Tidore, 

Makian, dan Moti. Secara keseluruhan, 

keempat wilayah itu disebut dengan 

“Moloku Kie Raha”, artinya “persatuan 

empat Kolano (Kerajaan).”

Pada abad ke-13 M, di Maluku 

sudah muncul beberapa kolano

(kerajaan) yang memainkan penting 

dalam bidang perdagangan, yaitu: 

Ternate, Tidore, Makian dan Moti. Pada 

perjalanan selanjutnya, sesudah terjadi 

perjanjian Moti pada abad ke-14 M, 

Kolano Makian pidah ke Bacan, dan 

Kolano Moti pindah ke Jailolo.

Sejak itulah, empat kolano di 

Maluku berubah nama menjadi: Ternate, 

Tidore, Bacan, dan Jailolo, dan dari 

keempat itu, Kolono Ternate dan Tidore lah yang banyak mendapat perhatian 

dalam liputan sejarah Islam di Maluku. 

Berbagai sumber menyebutkan, 

raja pertama dari empat kerajaan itu 

yaitu  bersaudara, yaitu: Sahajati di 

kerajaan Tidore, Masyhur Malamo di 

kerajaan Ternate, Kaicil Buka di 

kerajaan Bacan, dan Darajati di kerajaan  

Jailolo. Keempat raja itu merupakan 

putra dari Ja’far Shadiq, yang ditengarai 

putra Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali 

bin Abi Thalib.8 Hal inilah yang menjadi 

awal sejarah kesultanan Islam di 

Maluku. 

1. Kesultanan Ternate 

Masyhur Mulamo yaitu  raja 

Ternate pertama yang memerintah pada 

tahun 1257-1272 M.9 Sekalipun 

diberbagai literatur disebutkan bahwa 

ia yaitu  putra Ja’far Shadiq, tidak ada 

keterangan jelas yang menyebutkan 

bahwa ia beragama Islam, begitupun 

dengan beberapa raja-raja penerusnya 

di antaranya Kaicil Yamin (1272-1284 

M), Kaicil Siale (1284-1298 M), Kamalu 

(1298-1304 M), Kaicil Ngara Lamu 

(1304-1317 M), Patsyaranya Malamo 

(1317-1322 M), Sida Arif Malamo (1322-

1331 M). 

Pasca Sida Arif Molamo, 

kepemimpinan Ternate dilanjutkan oleh 

Bayanullah (1350-1375) dan Marhum 

(1465-1489 M).10 Marhum yaitu  

Kolono Ternate yang pertama kali masuk 

Islam, sesudah  mendapat seruah dakwah 

dari pedagang asal Minangkabau yang 

juga murid Sunan Giri, yaitu Datu 

Maulana Husein yang datang ke 

Ternater pada tahun 1465M 

Jika keterangan ini dijadikan 

patokan masuknya Islam di Ternate, 

maka Islam di Ternate ini dibawa dan 

disebarkan oleh ulama Melayu-Jawa. 

Tetapi, menurut M. Shaleh Putuhena, 

yang didasarkan pada tradisi lisan 

masyarakat, pedagang Arablah yang 

pertama kali memperkenalkan Islam di 

kawasan Maluku, mereka yaitu  Syeikh 

Mansur, Syekih Yakub, Syeikh Amin dan 

Syeikh Umar.

sesudah  Kolano Marhum Wafat pada 

tahun 1486, putranya Zanal Abidin 

menggantikannya (1486-1500 M). 

Zainal Abidin, yaitu  murid Sunan 

Ampel dan jebolan sekolah agama Islam 

Gresik asuhan Sunan Ampel.

Pada masa Zainal Abidin inilah, 

gelar kolano diganti menjadi Sultan, 

dengan begitu, Zainal Abidin merupakan 

penguasa Ternate pertama yang 

memakai gelar Sultan. Selain perubahan 

gelar, ada  perubahan lain masa ini, 

yaitu14: pertama, menjadikan Islam 

sebagai agama resmi kerajaan dan sejak 

itu menjadi kesultanan. Kedua, 

membentuk lembaga kesultanan yang 

baru, yaitu Jolebe atau Bobato Akhirat.

Ketiga, menempatkan seorang sultan 

sebagai pembina agama Islam atau 

“Amir ad-Din” yang membawai Jobele.  

Perubahan yang dilakukan Sultan Zainal 

Abidin ini berikutnya juga diikuti oleh 

kesultanan-kesultanan lain yang ada di 

“Moloku Kie Raha”.

Dengan demikian, pengaruh Islam 

sudah sangat kuat pada masa Sultan 

Zainal Abidin. Di pusat kekuasaan 

maupun pada struktur sosial politik 

kerajaan, Islam telah memainkan peran 

penting dalam mewujudkan loyalitas 

bobato dengan melakukan sumpah setia 

kepada sultan menurut tata cara Islam, 

di sisi lain, Islam juga memberikan 

keuntungan komersial kepada kerajaan 

sejak pedagang-pedagang muslim 

Nusantara dan Arab serta Gujarat di 

Maluku memainkan peran, khususnya di 

Ternate dan daerah seberang lautnya.

sesudah  berjuang 

mengembangkan Ternate sebagai 

sebuah kesultanan yang sangat 

memperhatikan ajaran Islam, pada 

tahun 1500 M, Sultan Zainal Abidin 

wafat, kemudian Kesultanan Ternate 

dipimpin oleh putranya Sultan 

Bayanullah (1500-1522 M),17 atau juga 

disebut Sultan Bayan Sirrullah.18 Sultan 

Bayanullah dikenal sebagai sultan yang 

pandai, terpelajar, ksatria dan pedagang 

ulung 

Pada masa ini, ada  beberapa 

hal yang dilakukan dalam rangka 

melanjutkan usaha ayahnya untuk 

menonjolkan bahwa Ternate 

merupakan kerajaan Islam, 

kebijakannya dikenal dengan sivilisasi 

Islam yang terdiri atas tiga bentuk, yaitu: 

Pertama, pembatasan poligami. Kedua, 

larangan kumpul kebo dan pergundilan. 

Ketiga, wanita diwajibkan berpakaian 

secara pantas dan memakai cidaku

(cawat) bagi laki-laki terlarang.

Selain itu, Sultan Bayanullah juga 

menerapka hukum perkawinan Islam, 

meringankan biasa dalam perkawinan, 

dan mensyaratkan bobato harus 

beragama Islam, baik di pusat maupun di 

daerah-daerah.

Di masa Sultan Bayanullah ini, 

bangsa potrtugis untuak pertama 

kalinya menginjakkan kaki di kawasan 

Maluku, tahun 1512 M, armada Portugis 

sudah tiba di perairan Banda dengan 

kapten Antonio de Abreu. Sultan lalu 

mengutus adiknya dan beberapa pejabat 

kesultanan untuk melakukan 

pembicaraan dan akhirnya berhasil 

mengajak Fransisco Serrao, salah 

seorang yang ikut ekspedisi Portugis.

Dalam perbincangannya dengan 

Fransisco, ada  beberapa kebijakan 

Sultan, yang pada perkembangannya 

melemahkan posisi kesultana Ternate, 

yaitu; pendatang dari Portugis itu 

diizinkan untuk membangun benteng di 

Ternate pada tahun 1522 M, Portugis 

pun membangun benteng pertamanya 

bernama benteng Toloko. 

Kedekatan Sultan dengan orang orang Portugis pada tahap selanjutnya 

memunculkan keresahan dan 

kekecewaan dikalangan rakyat atau 

orang-orang pribumi sesudah  Portugis 

ikut campur tangan dalam urusan urusan dalam negeri Kesultanan 

Ternate, terutama dalam masalah 

pengangkatan dan pewarisan tahta 

kerajaan. Kekecewaan itu 

mengakibatkan Sultan Bayanullah 

diracuni oleh rakyatnya sendiri hingga 

meninggal.

sesudah  wafatnya Sultan 

Bayanullah, pergantian sultan diwarnai 

dengan intrik Portugis, sehingga 

pergantiannya tidak berlaksung stabil. 

ada  beberapa sultan yang hanya 

memerintah dalam waktu singkat pasca 

Sultan Bayanullah, yaitu: Deyalo (1522-

1529 M), lalu saudaranya Boheyat 

(1529-1532 M), dan saudara bungsu 

mereka bernama Tabariji (1532-1535 

M), kemudian mulai stabil lagi pada 

masa Khairun Jamil (1535-1570 M) 

dengan agenda utamanya menjaga 

kembali aqidah Islam. 

Sultan Khairun ini yaitu  salat satu 

dari empat Sultan Ternate25 yang 

berhasil membawa kebesaran Ternate, 

tetapi kemudian ia dikhianati oleh orang 

Portugis yaitu Lopez de Mesquita, yang 

mana pada sebuah kesempatan Sultan 

diudang untuk menghadiri penjamuan 

besar, kesempatan itu dimanfaatkan 

Portugis untuk membunuh Sultan, 

ketika Sultan hendak masuk gerbang, ia 

ditikam oleh Antonio Pimental atas 

perintah Lopes, dan janazahnya  

dicincang-oleh orang Portugis dan 

dilemparkan ke Laut. 

sesudah  itu, Putranya Sultan 

Babullah menggantikannya sebaga 

penerus Sultan Ternate, pada masa 

pemerintahannya Sultan Babullah tak 

hanya berhasil mengusir Portugis dari 

Ternate, tetapi juga berhasil membawa 

kesultanan Ternate pada masa 

keemasaanya, wilayah kekuasaannya 

pada waktu itu sampai Kepulauan Sulu, 

Filipina.

Dalam sejarah Nusantara, 

penguasa dari Kesultanan Ternate pada 

abad ke-16, seperti Sultan Khairun dan 

Sultan Babullah dapat disejajarkan 

dengan para penguasa besar daerah lain 

di Nusantara seperti Sultan Trenggono 

di Kesultanan Demak, Fatahillah di 

Kesultanan Banten, Sultan Alauddin di 

Aceh, dan Sultan Abdul Jalil di Johor. 

Kesultanan Ternate (1570-1610 

M) juga menjadi salah satu kerajaan 

Islam terbesar di Kepulauan Nusantara. 

Pada waktu itu guru-guru agama banyak 

yang didatangkan dari Makkah dan telah 

menjalin erat dengan kerajaan Islam lain 

terutama dengan Demak, Banten, dan 

Melayu.

2. Kesultanan Tidore 

Berdasarkan silsilah raja 

pertamanya, Sahajati merupakan 

saudara Mayshur Malamo, raja pertama 

kerajaan Ternate. Mereka yaitu  putra 

dari Ja’far Shadiq. Sebagaimana Masyhur 

Malamo, tidak ada keterangan yang 

menyebutkan bahwa Sahajati menganut 

agama Islam. 

Berbagai sumber justru 

menyebutkan bahwa raja Ciriati atau 

Ciriliyati-lah yang pertama kali masuk  

Islam, sedangkan pendahulunya secara 

turun-temurun menganut kepercayaan 

yang dikenal dengan Symman yaitu 

memuja roh-roh leluhur nenek moyang 

mereka.

Raja Ciriliyati sesudah  masuk Islam 

diberi gelar Sultan Jamaluddin. 

Keislaman raja ini mempercepat proses 

islamsasi di kalangan rakyat Tidore, dan 

juga didukung oleh aktivas internal 

kerajaan yang lebih difokuskan untuk 

membangun madrasah-madrasah dan 

masjid-masjid sebagai sarana 

pendidikan dan ibadah rakyat.29

sesudah  Sultan Jamaluddin wafat, 

jabatannya sebagai sultan Tidore 

digantikan oleh putra sulungnya, yaitu 

sultan Mansyur (1512-1526). Pada masa 

ini, Tidore kedatangan orang Spanyol, 

dan diterima oleh Sultan Mansyur. 

Rombongan Spanyol ini memberi 

hadiah kepada sultan berupa:jubah, 

kursi Eropa, kain linen halus, sutra 

brokat, beberapa potong kain India yang 

dibordir dengan emas dan perak, 

berbagai rantai kalung dan manik manik, 

tiga cermin besar, cangkir 

minum, sejumlah gunting, sisir, pisau 

serta berbagai benda berharga lainnya. 

Sultan Mansyur pun menyambut dengan 

senang hati, bahkan ia bilang kepada 

orang-orang Spanyol untuk menganggap 

Tidore sebagai wilayahnya sendiri. 

Dua hari sesudah  kedatangan, 

orang-orang Spanyol itu diundang oleh 

sultan ke istana Mareku untuk 

menghadiri jamuan makan siang. 

Kemudian, Sultan Mansyur memberikan 

izin kepada orang-orang Spanyol untuk 

menggelar dagangan mereka di pasar, 

bahkan Sultan ikut membantu 

mendirikan tempat-tempat berdagang 

dari bambu, sehigga terejadilah 

perdagangan secara barter. 

Hubungan yang erat ini, membuat 

orang-orang Portugis marah, yang 

akhirnya mereka yang berkedudukan di 

Ternate pada tahun 1524 melakukan 

penyerangan terhadap kesultanan 

Tidore, tujuannya untuk merebut Tidore 

dari pengaruh Spanyol.

Tahun 1526 Sultan Mansyur wafat, 

dan baru pada tahun 1529 putra 

bungsunya, Amiruddin Iskandar 

Zulkarnain dilantik menjadi Sultan 

Tidore, pada usia yang masih muda, 

sehingga diangkatlah Kaicil Rade, 

seorang bangsawan terpelajar, 

negosiator ulung, sekaligus seotang 

prakjurit handal dan pemberani sebagai 

Mangkubumi. 

Pada masa ini terjadi beberapa kali 

peperangan dengan Portugis dan 

Ternate yang berakhir dengan 

perjanjian damai berisi dua pasal pokok 

yaitu: 1. Semua rempah-rempah hanya 

boleh dijual kepada Portugis dengan 

harga yang sama yang dibayarkan 

Portugis kepada Ternate. 2. Portugis 

akan menarik armadanya dari Tidore.

Pasca meninggalnya Sultan 

Amiruddin Iskandar Zulkarnain pada 

tahun 1547 terjadi masa transisi dimana 

ada  tiga orang Sultan, yaitu Kie 

Mansur, Iskandar Sani, dan Gapi Baguna. 

Barulah pada tahun 1657 Sultan 

Saifuddin dilantik dan berkuasa sampai 

dengan tahun 1689, sultan Saifudidin 

merupakan salah salah satu Sultan 

Tidore yang berhasil membawa 

kemajuan di Tidore, dan membawa 

Tidore disegani. 

sesudah  itu, pergolakan demi 

pergolakan mulai terjadi, terutama di 

daerah-daerah seberang laut,yang harus 

dihaapi oleh sultan-sultan pengganti  

Sultan Saifuddin, antara lain Sultan 

Hamzah Fahruddin. 

Barulah satu abad kemudian, 

kesultanan Tidore diperhitungkan 

kembali dalam sejarah Nusantara, ketika 

Sultan Nuku (Jamaluddin) dari Tidore 

bangkit melawan Belanda, perlawanan 

ini mengakibatkan Sultan ditangkap 

oleh Belanda beserta keluarganya pada 

tahun 1780 M lalu dibuang ke Batavia 

dan kemudian ke Sri Langka. 

Sultan Nuku ini wafat dalam 

pembuangan di Sri Langka. Sebagaimana 

yang terjadi pada kesultanan Ternate, 

campur tangan asing, khusunya Belanda 

terhadap urusan internal kekuasaan, 

mebuat rakyat Tidore tidak senang, 

sehingga pada tahun 1983, rakyat 

Tidore menyerbu Istana Tidore. 

Tidore bangkit kembali pada masa 

Sultan Kaicil Nuku yang mendapat gelar 

kehormatan “Sri Maha Tuan Sultan 

Syaidul Jihad Amiruddin Syaifuddin 

Syah Muhammad El Mabus Kaicil 

Paparangan Jou Barakati”, pada masa ini 

wilayah kekuasaan Tidore sampai di 

Papuan bagian Barat, kepualauan Kei, 

kepulauan Aru, bahkan sampai di 

kepulauan Pasifik. 

Selama masa pemerintahannya 

Sultan ini berusaha mewujudkan empat 

cita-cita politiknya yaitu: Pertama, 

mempersatukan seluruh kesultanan 

Tidore sebagai suatu kebulatan yang 

utuh. Kedua, memulihkan kembali 

empat pilar kekuasaan Kesultanan 

Maluku. Ketiga, mengupayakan sebuah 

persekutuan antara keempat kesultanan 

Maluku. Keempat, mengenyahkan 

kekuasaan dan penjajahan asing dari 

Maluku. Keempat cita-cita itu walaupun 

tidak sepenuhnya berhasil diwujudkan 

oleh Sultan Kaicil Nuku ini. 

Tahun 14 November 1805 Sultan 

Kaicil Nuku wafat dalam usia 67 tahun, 

sepeinggalnya sultan-sultan penerusnya 

sering terlibat konflik dalam 

memperebutkan kekuasaan, hal itu 

diperparah dengan adanya intervensi 

Belanda dalam setiap proses peralihan 

kepemimpinan di Kesultanan Tidore. 

Kesimpulan 

Penjelasan di atas tentang dua 

kesultanan Islam di Maluku yaitu 

Ternate dan Tidore memberikan 

gambaran umum tentang bagaimana 

proses isalamisasi dan 

perkembangannya di Maluku yang tidak 

memicu  konflik apapun, kalaupun 

ada konflik itu terjadi justru sesudah  

kedatangan orang-orang Eropa yang 

kemudian ikut campur terhadap urusan 

internal kesultanan. 

Sebagaimana di wilayah Nusantara 

yang lain, jalur budaya menjadi cara 

yang efektif dalam proses islamisasi itu, 

dari proses itu terlihat bahwa Islam 

dihadirikan dengan posisi dipadukan 

dengan budaya setempat yang ada di 

Maluku. Oleh sebab  itu, sekalipun 

istilah-istilah lokal masih melekat di 

sana sekalipun sudah menjadi 

kesultanan Islam, misalnya; 

kolano,bobato, begitupun dengan

 nama nama Sultannya, mereka memiliki dua 

nama sekaligus yaitu lokal dan nama 

yang bercorak Islam. 

Semua kesultanan di Maluku Utara, 

termasuk Ternate maupun di Tidore 

secara silsilah merupakan kesultanan 

yang bersaudara, sebab  masing-masing 

dari generasi pertama mereka yaitu  

keturunan dari Ja’far Shadiq. Pada 

bagian ini, bagi penulis menyisakan 

sebuah pertanyaan yang belum dijawab, 

yaitu “mengapa putra-putra Ja’far 

Shadiq itu tidak beragama Islam, jika 

benar Ja’far Shadiq yang dimaksud 

yaitu  cucu Ali bin Abi Thalib 

Sebagai wilayah yang strategis, 

Maluku dengan kekayaan sumber daya 

alamnya mengundang orang- orang dari 

berbagai penjuru untuk mendatanginya, 

dalam catatan sejarah yang di dapat, 

tidak ada laporan yang menyebutkan 

bahwa saudagar-saudagar muslim yang 

datang ke sana yang sampai mencoba 

memonopoli sebagaimana yang 

dilakukan orang-orang Eropa. Hal ini, 

menunjukkan bahwa selain berniat 

berniaga saudagar-saudagar muslim itu 

juga punya misi lain yaitu melakukan 

syiar Islam 


Related Posts:

  • ternate tidore Para sejarawan hingga kini masih belum menemukan kata sepakat tentang kapan sebenarnya Islam masuk ke wilayah Nusantara. Jika dih… Read More