Para sejarawan hingga kini masih
belum menemukan kata sepakat tentang
kapan sebenarnya Islam masuk ke
wilayah Nusantara. Jika dihitung sejak
datangnya orang beragama Islam,
misalnya orang Arab maka Islam telah
masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 M,
tetapi jika dihitung sejak Islam dianut
oleh warga asli Nusantara sebagai
agama mayoritas maka hal itu terjadi
pasca abad ke-10 M.
Selain perdebatan tentang masuk
dan berkembangnya Islam ke wilayah
Nusantara yang begitu luas, masuk dan
berkembangnya Islam ke wilayah-
wilayah di Nusantara juga masih
diperdebatkan, khususnya sejak kapan
dan siapa yang membawanya. Salah
satunya yaitu Islam di Maluku.
Sebagian menyebutkan masuk dan
berkembang sejak abad ke-9 M dibawa
oleh orang-orang Timur Tengah,
sebagian lagi mengatakan bahwa orang
Melayu dan Jawa pada abad ke-13 M.2
Terlepas dari perdebatan itu,
ada sebuah keserupaan terntang
proses perkembangan Islam di berbagai
wilayah Nusantara, sehingga diterima
oleh mayoritas masyarakat. Keserupaan
itu ialah: penganut Islam pertama selalu
dimulai oleh kalangan elit atau kerajaan,
selanjutnya, para pendakwah Islam di
Nusantara selalu menggunakan
pendekatan budaya dalam syiar Islam,
sehingga Islam mudah diterima.
Pernyataan John Crawfort seorang
orientalis berikut ini menjadi sebuah
argumen menarik untuk menjelaskan
mengapa Islam dapat diterima secara
mayoritas oleh masyarakat Nusantara:
“yaitu tidak sulit untuk
menentukan sebab yang
sebenarnya, kenapa kaum dai
muslimin berhasil dalam
hubungannya, dan kaum misionaris
Kristen gagal. Para dai dari Arab
dan para dai muslimin lainnya
menyelaraskan diri dengan rakyat
pribumi, belajar bahasanya,
mengikuti adat-istiadatnya, kawin
dengan mereka, dan menyatukan
diri dengan rakyat banyak, tanpa
meningkatkan dirinya sebagai
golongan yang berstatus istimewa.
Kelebihan mereka dalam intelek dan
peradaban hanya digunakan untuk
mendidik dan mengarahkan alam
pikiran keagamaan rakyat pribumi
ke dalam saluran-saluran yang
memang diingini, dengan cara yang
sangat pandai sekali. Mereka yaitu
pedagang seperti orang-orang
Eropa itu, namun mereka tidak
pernah berpikiran untuk merampok
rakyat pribumi dari hasil tanah dan
hasil kerajinannya dengan cara cara
yang kasar dan kejam...”
Pendekatan itu, sekalipun tidak
disebut secara eksplisit tentang teori
budaya apa yang digunakan, namun
dalam tiap paparan kronologisnya
menampilkan pendekatan itu, terutama
dalam pembahasan tentang bagaiamana
para Sultan-Sultan di Maluku
menyisipkan pengaruh Islam secara
perlahan, tetapi tidak serta merta
menghapus semua budaya lokal.
Keterbatasan sumber yang penulis
dapatkan, menjadikan paper ini
memiliki banyak kekurangan yang
memungkinkan dikoreksi oleh siapapun
yang ingin mendalami tentang Islam di
Maluku.
Kesultanan Islam di Maluku
Islam masuk ke daerah Maluku
secara resmi pada abad IX, pada waktu
itu dibawa oleh orang-orang Arab,
Persia dan juga Melayu yang
berdatangan sejak antara abad V–XI M.4
Maluku terkenal dengan semerbak
bunga cengkehnya, banyak orang asing
tertarik datang ke sana untuk
berdagang. Bahkan orang-orang Eropa
berdatangan ingin menguasai wilayah
tersebut. Selain itu, Maluku juga dikenal
dengan julukan Negeri Seribu Pulau dan
Jazirah al-Mulk (wilayah raja-raja)
Akses ke Maluku sangat mudah
dijangkau, sebab Maluku merupakan
salah satu pusat lalu lintas pelayaran
Internasional di Nusantara, selain
Malaka dan Jawa.
Pada awalnya yang disebut dengan
Maluku meliputi Ternate, Tidore,
Makian, dan Moti. Secara keseluruhan,
keempat wilayah itu disebut dengan
“Moloku Kie Raha”, artinya “persatuan
empat Kolano (Kerajaan).”
Pada abad ke-13 M, di Maluku
sudah muncul beberapa kolano
(kerajaan) yang memainkan penting
dalam bidang perdagangan, yaitu:
Ternate, Tidore, Makian dan Moti. Pada
perjalanan selanjutnya, sesudah terjadi
perjanjian Moti pada abad ke-14 M,
Kolano Makian pidah ke Bacan, dan
Kolano Moti pindah ke Jailolo.
Sejak itulah, empat kolano di
Maluku berubah nama menjadi: Ternate,
Tidore, Bacan, dan Jailolo, dan dari
keempat itu, Kolono Ternate dan Tidore lah yang banyak mendapat perhatian
dalam liputan sejarah Islam di Maluku.
Berbagai sumber menyebutkan,
raja pertama dari empat kerajaan itu
yaitu bersaudara, yaitu: Sahajati di
kerajaan Tidore, Masyhur Malamo di
kerajaan Ternate, Kaicil Buka di
kerajaan Bacan, dan Darajati di kerajaan
Jailolo. Keempat raja itu merupakan
putra dari Ja’far Shadiq, yang ditengarai
putra Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali
bin Abi Thalib.8 Hal inilah yang menjadi
awal sejarah kesultanan Islam di
Maluku.
1. Kesultanan Ternate
Masyhur Mulamo yaitu raja
Ternate pertama yang memerintah pada
tahun 1257-1272 M.9 Sekalipun
diberbagai literatur disebutkan bahwa
ia yaitu putra Ja’far Shadiq, tidak ada
keterangan jelas yang menyebutkan
bahwa ia beragama Islam, begitupun
dengan beberapa raja-raja penerusnya
di antaranya Kaicil Yamin (1272-1284
M), Kaicil Siale (1284-1298 M), Kamalu
(1298-1304 M), Kaicil Ngara Lamu
(1304-1317 M), Patsyaranya Malamo
(1317-1322 M), Sida Arif Malamo (1322-
1331 M).
Pasca Sida Arif Molamo,
kepemimpinan Ternate dilanjutkan oleh
Bayanullah (1350-1375) dan Marhum
(1465-1489 M).10 Marhum yaitu
Kolono Ternate yang pertama kali masuk
Islam, sesudah mendapat seruah dakwah
dari pedagang asal Minangkabau yang
juga murid Sunan Giri, yaitu Datu
Maulana Husein yang datang ke
Ternater pada tahun 1465M
Jika keterangan ini dijadikan
patokan masuknya Islam di Ternate,
maka Islam di Ternate ini dibawa dan
disebarkan oleh ulama Melayu-Jawa.
Tetapi, menurut M. Shaleh Putuhena,
yang didasarkan pada tradisi lisan
masyarakat, pedagang Arablah yang
pertama kali memperkenalkan Islam di
kawasan Maluku, mereka yaitu Syeikh
Mansur, Syekih Yakub, Syeikh Amin dan
Syeikh Umar.
sesudah Kolano Marhum Wafat pada
tahun 1486, putranya Zanal Abidin
menggantikannya (1486-1500 M).
Zainal Abidin, yaitu murid Sunan
Ampel dan jebolan sekolah agama Islam
Gresik asuhan Sunan Ampel.
Pada masa Zainal Abidin inilah,
gelar kolano diganti menjadi Sultan,
dengan begitu, Zainal Abidin merupakan
penguasa Ternate pertama yang
memakai gelar Sultan. Selain perubahan
gelar, ada perubahan lain masa ini,
yaitu14: pertama, menjadikan Islam
sebagai agama resmi kerajaan dan sejak
itu menjadi kesultanan. Kedua,
membentuk lembaga kesultanan yang
baru, yaitu Jolebe atau Bobato Akhirat.
Ketiga, menempatkan seorang sultan
sebagai pembina agama Islam atau
“Amir ad-Din” yang membawai Jobele.
Perubahan yang dilakukan Sultan Zainal
Abidin ini berikutnya juga diikuti oleh
kesultanan-kesultanan lain yang ada di
“Moloku Kie Raha”.
Dengan demikian, pengaruh Islam
sudah sangat kuat pada masa Sultan
Zainal Abidin. Di pusat kekuasaan
maupun pada struktur sosial politik
kerajaan, Islam telah memainkan peran
penting dalam mewujudkan loyalitas
bobato dengan melakukan sumpah setia
kepada sultan menurut tata cara Islam,
di sisi lain, Islam juga memberikan
keuntungan komersial kepada kerajaan
sejak pedagang-pedagang muslim
Nusantara dan Arab serta Gujarat di
Maluku memainkan peran, khususnya di
Ternate dan daerah seberang lautnya.
sesudah berjuang
mengembangkan Ternate sebagai
sebuah kesultanan yang sangat
memperhatikan ajaran Islam, pada
tahun 1500 M, Sultan Zainal Abidin
wafat, kemudian Kesultanan Ternate
dipimpin oleh putranya Sultan
Bayanullah (1500-1522 M),17 atau juga
disebut Sultan Bayan Sirrullah.18 Sultan
Bayanullah dikenal sebagai sultan yang
pandai, terpelajar, ksatria dan pedagang
ulung
Pada masa ini, ada beberapa
hal yang dilakukan dalam rangka
melanjutkan usaha ayahnya untuk
menonjolkan bahwa Ternate
merupakan kerajaan Islam,
kebijakannya dikenal dengan sivilisasi
Islam yang terdiri atas tiga bentuk, yaitu:
Pertama, pembatasan poligami. Kedua,
larangan kumpul kebo dan pergundilan.
Ketiga, wanita diwajibkan berpakaian
secara pantas dan memakai cidaku
(cawat) bagi laki-laki terlarang.
Selain itu, Sultan Bayanullah juga
menerapka hukum perkawinan Islam,
meringankan biasa dalam perkawinan,
dan mensyaratkan bobato harus
beragama Islam, baik di pusat maupun di
daerah-daerah.
Di masa Sultan Bayanullah ini,
bangsa potrtugis untuak pertama
kalinya menginjakkan kaki di kawasan
Maluku, tahun 1512 M, armada Portugis
sudah tiba di perairan Banda dengan
kapten Antonio de Abreu. Sultan lalu
mengutus adiknya dan beberapa pejabat
kesultanan untuk melakukan
pembicaraan dan akhirnya berhasil
mengajak Fransisco Serrao, salah
seorang yang ikut ekspedisi Portugis.
Dalam perbincangannya dengan
Fransisco, ada beberapa kebijakan
Sultan, yang pada perkembangannya
melemahkan posisi kesultana Ternate,
yaitu; pendatang dari Portugis itu
diizinkan untuk membangun benteng di
Ternate pada tahun 1522 M, Portugis
pun membangun benteng pertamanya
bernama benteng Toloko.
Kedekatan Sultan dengan orang orang Portugis pada tahap selanjutnya
memunculkan keresahan dan
kekecewaan dikalangan rakyat atau
orang-orang pribumi sesudah Portugis
ikut campur tangan dalam urusan urusan dalam negeri Kesultanan
Ternate, terutama dalam masalah
pengangkatan dan pewarisan tahta
kerajaan. Kekecewaan itu
mengakibatkan Sultan Bayanullah
diracuni oleh rakyatnya sendiri hingga
meninggal.
sesudah wafatnya Sultan
Bayanullah, pergantian sultan diwarnai
dengan intrik Portugis, sehingga
pergantiannya tidak berlaksung stabil.
ada beberapa sultan yang hanya
memerintah dalam waktu singkat pasca
Sultan Bayanullah, yaitu: Deyalo (1522-
1529 M), lalu saudaranya Boheyat
(1529-1532 M), dan saudara bungsu
mereka bernama Tabariji (1532-1535
M), kemudian mulai stabil lagi pada
masa Khairun Jamil (1535-1570 M)
dengan agenda utamanya menjaga
kembali aqidah Islam.
Sultan Khairun ini yaitu salat satu
dari empat Sultan Ternate25 yang
berhasil membawa kebesaran Ternate,
tetapi kemudian ia dikhianati oleh orang
Portugis yaitu Lopez de Mesquita, yang
mana pada sebuah kesempatan Sultan
diudang untuk menghadiri penjamuan
besar, kesempatan itu dimanfaatkan
Portugis untuk membunuh Sultan,
ketika Sultan hendak masuk gerbang, ia
ditikam oleh Antonio Pimental atas
perintah Lopes, dan janazahnya
dicincang-oleh orang Portugis dan
dilemparkan ke Laut.
sesudah itu, Putranya Sultan
Babullah menggantikannya sebaga
penerus Sultan Ternate, pada masa
pemerintahannya Sultan Babullah tak
hanya berhasil mengusir Portugis dari
Ternate, tetapi juga berhasil membawa
kesultanan Ternate pada masa
keemasaanya, wilayah kekuasaannya
pada waktu itu sampai Kepulauan Sulu,
Filipina.
Dalam sejarah Nusantara,
penguasa dari Kesultanan Ternate pada
abad ke-16, seperti Sultan Khairun dan
Sultan Babullah dapat disejajarkan
dengan para penguasa besar daerah lain
di Nusantara seperti Sultan Trenggono
di Kesultanan Demak, Fatahillah di
Kesultanan Banten, Sultan Alauddin di
Aceh, dan Sultan Abdul Jalil di Johor.
Kesultanan Ternate (1570-1610
M) juga menjadi salah satu kerajaan
Islam terbesar di Kepulauan Nusantara.
Pada waktu itu guru-guru agama banyak
yang didatangkan dari Makkah dan telah
menjalin erat dengan kerajaan Islam lain
terutama dengan Demak, Banten, dan
Melayu.
2. Kesultanan Tidore
Berdasarkan silsilah raja
pertamanya, Sahajati merupakan
saudara Mayshur Malamo, raja pertama
kerajaan Ternate. Mereka yaitu putra
dari Ja’far Shadiq. Sebagaimana Masyhur
Malamo, tidak ada keterangan yang
menyebutkan bahwa Sahajati menganut
agama Islam.
Berbagai sumber justru
menyebutkan bahwa raja Ciriati atau
Ciriliyati-lah yang pertama kali masuk
Islam, sedangkan pendahulunya secara
turun-temurun menganut kepercayaan
yang dikenal dengan Symman yaitu
memuja roh-roh leluhur nenek moyang
mereka.
Raja Ciriliyati sesudah masuk Islam
diberi gelar Sultan Jamaluddin.
Keislaman raja ini mempercepat proses
islamsasi di kalangan rakyat Tidore, dan
juga didukung oleh aktivas internal
kerajaan yang lebih difokuskan untuk
membangun madrasah-madrasah dan
masjid-masjid sebagai sarana
pendidikan dan ibadah rakyat.29
sesudah Sultan Jamaluddin wafat,
jabatannya sebagai sultan Tidore
digantikan oleh putra sulungnya, yaitu
sultan Mansyur (1512-1526). Pada masa
ini, Tidore kedatangan orang Spanyol,
dan diterima oleh Sultan Mansyur.
Rombongan Spanyol ini memberi
hadiah kepada sultan berupa:jubah,
kursi Eropa, kain linen halus, sutra
brokat, beberapa potong kain India yang
dibordir dengan emas dan perak,
berbagai rantai kalung dan manik manik,
tiga cermin besar, cangkir
minum, sejumlah gunting, sisir, pisau
serta berbagai benda berharga lainnya.
Sultan Mansyur pun menyambut dengan
senang hati, bahkan ia bilang kepada
orang-orang Spanyol untuk menganggap
Tidore sebagai wilayahnya sendiri.
Dua hari sesudah kedatangan,
orang-orang Spanyol itu diundang oleh
sultan ke istana Mareku untuk
menghadiri jamuan makan siang.
Kemudian, Sultan Mansyur memberikan
izin kepada orang-orang Spanyol untuk
menggelar dagangan mereka di pasar,
bahkan Sultan ikut membantu
mendirikan tempat-tempat berdagang
dari bambu, sehigga terejadilah
perdagangan secara barter.
Hubungan yang erat ini, membuat
orang-orang Portugis marah, yang
akhirnya mereka yang berkedudukan di
Ternate pada tahun 1524 melakukan
penyerangan terhadap kesultanan
Tidore, tujuannya untuk merebut Tidore
dari pengaruh Spanyol.
Tahun 1526 Sultan Mansyur wafat,
dan baru pada tahun 1529 putra
bungsunya, Amiruddin Iskandar
Zulkarnain dilantik menjadi Sultan
Tidore, pada usia yang masih muda,
sehingga diangkatlah Kaicil Rade,
seorang bangsawan terpelajar,
negosiator ulung, sekaligus seotang
prakjurit handal dan pemberani sebagai
Mangkubumi.
Pada masa ini terjadi beberapa kali
peperangan dengan Portugis dan
Ternate yang berakhir dengan
perjanjian damai berisi dua pasal pokok
yaitu: 1. Semua rempah-rempah hanya
boleh dijual kepada Portugis dengan
harga yang sama yang dibayarkan
Portugis kepada Ternate. 2. Portugis
akan menarik armadanya dari Tidore.
Pasca meninggalnya Sultan
Amiruddin Iskandar Zulkarnain pada
tahun 1547 terjadi masa transisi dimana
ada tiga orang Sultan, yaitu Kie
Mansur, Iskandar Sani, dan Gapi Baguna.
Barulah pada tahun 1657 Sultan
Saifuddin dilantik dan berkuasa sampai
dengan tahun 1689, sultan Saifudidin
merupakan salah salah satu Sultan
Tidore yang berhasil membawa
kemajuan di Tidore, dan membawa
Tidore disegani.
sesudah itu, pergolakan demi
pergolakan mulai terjadi, terutama di
daerah-daerah seberang laut,yang harus
dihaapi oleh sultan-sultan pengganti
Sultan Saifuddin, antara lain Sultan
Hamzah Fahruddin.
Barulah satu abad kemudian,
kesultanan Tidore diperhitungkan
kembali dalam sejarah Nusantara, ketika
Sultan Nuku (Jamaluddin) dari Tidore
bangkit melawan Belanda, perlawanan
ini mengakibatkan Sultan ditangkap
oleh Belanda beserta keluarganya pada
tahun 1780 M lalu dibuang ke Batavia
dan kemudian ke Sri Langka.
Sultan Nuku ini wafat dalam
pembuangan di Sri Langka. Sebagaimana
yang terjadi pada kesultanan Ternate,
campur tangan asing, khusunya Belanda
terhadap urusan internal kekuasaan,
mebuat rakyat Tidore tidak senang,
sehingga pada tahun 1983, rakyat
Tidore menyerbu Istana Tidore.
Tidore bangkit kembali pada masa
Sultan Kaicil Nuku yang mendapat gelar
kehormatan “Sri Maha Tuan Sultan
Syaidul Jihad Amiruddin Syaifuddin
Syah Muhammad El Mabus Kaicil
Paparangan Jou Barakati”, pada masa ini
wilayah kekuasaan Tidore sampai di
Papuan bagian Barat, kepualauan Kei,
kepulauan Aru, bahkan sampai di
kepulauan Pasifik.
Selama masa pemerintahannya
Sultan ini berusaha mewujudkan empat
cita-cita politiknya yaitu: Pertama,
mempersatukan seluruh kesultanan
Tidore sebagai suatu kebulatan yang
utuh. Kedua, memulihkan kembali
empat pilar kekuasaan Kesultanan
Maluku. Ketiga, mengupayakan sebuah
persekutuan antara keempat kesultanan
Maluku. Keempat, mengenyahkan
kekuasaan dan penjajahan asing dari
Maluku. Keempat cita-cita itu walaupun
tidak sepenuhnya berhasil diwujudkan
oleh Sultan Kaicil Nuku ini.
Tahun 14 November 1805 Sultan
Kaicil Nuku wafat dalam usia 67 tahun,
sepeinggalnya sultan-sultan penerusnya
sering terlibat konflik dalam
memperebutkan kekuasaan, hal itu
diperparah dengan adanya intervensi
Belanda dalam setiap proses peralihan
kepemimpinan di Kesultanan Tidore.
Kesimpulan
Penjelasan di atas tentang dua
kesultanan Islam di Maluku yaitu
Ternate dan Tidore memberikan
gambaran umum tentang bagaimana
proses isalamisasi dan
perkembangannya di Maluku yang tidak
memicu konflik apapun, kalaupun
ada konflik itu terjadi justru sesudah
kedatangan orang-orang Eropa yang
kemudian ikut campur terhadap urusan
internal kesultanan.
Sebagaimana di wilayah Nusantara
yang lain, jalur budaya menjadi cara
yang efektif dalam proses islamisasi itu,
dari proses itu terlihat bahwa Islam
dihadirikan dengan posisi dipadukan
dengan budaya setempat yang ada di
Maluku. Oleh sebab itu, sekalipun
istilah-istilah lokal masih melekat di
sana sekalipun sudah menjadi
kesultanan Islam, misalnya;
kolano,bobato, begitupun dengan
nama nama Sultannya, mereka memiliki dua
nama sekaligus yaitu lokal dan nama
yang bercorak Islam.
Semua kesultanan di Maluku Utara,
termasuk Ternate maupun di Tidore
secara silsilah merupakan kesultanan
yang bersaudara, sebab masing-masing
dari generasi pertama mereka yaitu
keturunan dari Ja’far Shadiq. Pada
bagian ini, bagi penulis menyisakan
sebuah pertanyaan yang belum dijawab,
yaitu “mengapa putra-putra Ja’far
Shadiq itu tidak beragama Islam, jika
benar Ja’far Shadiq yang dimaksud
yaitu cucu Ali bin Abi Thalib
Sebagai wilayah yang strategis,
Maluku dengan kekayaan sumber daya
alamnya mengundang orang- orang dari
berbagai penjuru untuk mendatanginya,
dalam catatan sejarah yang di dapat,
tidak ada laporan yang menyebutkan
bahwa saudagar-saudagar muslim yang
datang ke sana yang sampai mencoba
memonopoli sebagaimana yang
dilakukan orang-orang Eropa. Hal ini,
menunjukkan bahwa selain berniat
berniaga saudagar-saudagar muslim itu
juga punya misi lain yaitu melakukan
syiar Islam