aruna mengamati semua
mahkluk dari tempatnya yang tinggi, dimana matahari diyakini sebagai
istana-Nya. Beliau digambarkan sebagai laki-laki yang tampan berkulit
putih mengendarai monster laut yang disebut Makara (Gajahmina)
berupa binatang laut yang pada bagian depannya berwujud seekor
kijang, sedangkan bagian belakangnya berwujud seekor ikan. Istri
Waruna bernama Waruni yang tinggal di istana mutiara. Dewa Waruna
adalah penguasa hukum alam yang disebut Rta. Nama lain dari Dewa
Waruna adalah Pracheta (yang bijaksana), Jalapati (raja air), Yadapati
(raja binatang laut), Ambhuraja (raja air), Pasi (yang membawa jaring).
Berikut ini adalah mantra yang termuat dalam kitab suci weda untuk
memuliakan Dewa Waruna;
”Agam su tubhayam varuna svadhavo, hdri stoma upasritas cid astu,
sam nah kseme sam u yoge no astu, yuyam pata svastibhih sada nah”.
Terjemahannya;
Semoga pujaan ini berkenan pada hatimu. Oh Waruna yang bebas.
Semoga kami selamat dalam istirahat, selamat dari kerja. Lindungilah
kami selalu dengan berkahmu.
”Prece tad eno varuna didrksu po emi cikituse viprccham, Samanam in
me kanvayas cid ahur, ayam ha tubhyam varuno hrnite”.
Terjemahannya;
Kami bertanya tentang dosa itu dengan maksud ingin mengetahuinya.
Kami mendekati dia yang arif untuk bertanya. Sang Pendeta mengatakan
satu dan hal yang sejenis kepada kami. Waruna ini marah kepadamu.
74 Kelas XII SMA/SMK
Pada zaman weda ajaran agama Hindu lebih menonjolkan pembacaan
ayat-ayat mantra yang tertulis dalam berbagai kitab suci weda. Para
Dewa dipuja dengan khusyuknya. Pemujaan terhadap para dewa pada
masa ini ditujukan kehadapan Dewa; Agni, Indra, Rudra dan Waruna.
Demikianlah sejarah perkembangan agama Hindu pada zaman weda,
sebagaimana tersurat dan tersirat dalam kitab suci weda.
2. Zaman Brahmana.
Kata Brahmana berarti penjelasan atau ekspresi dari seorang pendeta yang
cerdas dan bijaksana dalam hal ilmu upacara. Brahmana dapat diartikan
kumpulan pertanyaan-pertanyaan dan diskusi-diskusi mengenai ilmu
upacara. Munculnya zaman Brahmana ditandai dengan terbitnya kitab
Brahmana. Kitab brahmana banyak memuat tentang upacara dan tata cara
melaksanakan upacara keagamaan. Materi pokok yang dibicarakan dalam
kitab brahmana adalah tentang upacara yadnya yang meliputi; arti yadnya,
persyaratan yadnya, dan kekuatan gaib yang ada dalam upacara itu. Pada
zaman brahmana pelaksanaan upacara yadnya dipandang sebagai sesuatu
yang amat penting, sehingga kehidupan keagamaan pada waktu itu sangat
didominasi oleh pelakasanaan upacara. Setiap pelaksanaan upacara
keagamaan wajib mengikuti aturan-aturan yang telah ada dan setiap
penyimpangan dari peraturan itu berarti batalnya upacara itu.
Unsur-unsur upacara yang ada dalam
kitab weda dikembangkan secara luas
di dalam kitab Brahmana. Bila di zaman
weda pelaksanaan upacara keagamaan
memiliki arti untuk memohon
waranugraha dari para dewata,
sedangkan pada zaman brahmana para
dewata dipandang memiliki kedudukan
yang sangat penting terutama dalam
sistem upacara. Menurut para ahli,
menyatakan bahwa kitab-kitab
brahmana juga berisi mitologi tentang;
kejadian alam atau kosmologi, legenda-
legenda atau dongeng-dongeng, namun
tema-temanya tetap utuh mengenai upacara yang merupakan titik awal dari
setiap diskusi dan pemecahannya.
Adanya kehidupan bermasyarakat yang bersifat ritualistis pada zaman
brahmana itu, merupakan dasar untuk menuju pada tingkat kehidupan
spiritual berikutnya yaitu ajaran karma dan jnana. Dengan demikian
maka pelaksanaan upacara, karma, dan jnana dapat berjalan sebagaimana
mestinya pada zaman itu. Untuk memudahkan pelaksanaan upacara
yadnya, maka dibuatlah kitab-kitab penuntun yang disebut Kalpasutra.
Kitab kalpasutra bersumber pada kitab brahmana, dan dimaksudkan dapat
dipergunakan sebagai pedoman bagi setiap orang yang telah berumah tangga
dan bermasyarakat. Menurut isinya, kitab kalpasutra dapat diklasifikasikan
menjadi empat jenis antara lain:
a. Srautasutra.
Kitab ini memuat tentang penjelasan tata cara persembahyangan
agnihotra dan tata cara persembahyangan dasa purnamas, yaitu
persembahyangan yang dilakukan pada hari purnama dan tilem atau
bulan mati. Selain itu juga ada kitab penuntun upacara-upacara besar
dalam lingkungan keluarga raja dan negara, misalnya upacara Rajasuya
dan Aswaweda. Rajasuya adalah upacara penobatan seseorang untuk
menjadi raja, sedangkan Aswaweda upacara pelepasan kuda yang diikuti
oleh sepasukan tentara untuk menentukan wilayah suatu kerajaan.
b. Grhyasutra.
Kitab ini memuat tentang pokok-pokok ajaran tata upacara penyucian
atau sangaskara yang wajib dilakukan oleh mereka yang telah berumah
tangga, mulai dari upacara garbhasadhana samskara (Upacara bayi
dalam kandungan) sampai dengan upacara Antyesti samskara (upacara
kematian). Sesungguhnya kitab Grhyasutra merupakan kitab penuntun
melaksanakan upacara yadnya yang kanista dalam lingkungan keluarga,
dan dapat dilakukan setiap hari atau berkala.
Upacara yang dilaksanakan setiap hari seperti; persembahyangan Tri
Sandhya, mengaturkan canang, mesegeh untuk para mahkluk halus dan
sebagainya (disesuaikan dengan tempat). Sedangkan upacara yadnya
dilakukan secara berkala, misalnya upacara ulang otonan, potong
gigi, perkawinan, piodalan di Merajan, upacara pitra yadnya, dan lain
sebagainya.
c. Dharmasastra.
Kitab ini memuat tentang pokok-pokok ajaran agama Hindu yang
berhubungan dengan; hukum, adat kebiasaan, hak dan kewajiban,
sosial-politik, ekonomi, dan upacara agama lainnya dengan penekanan
pada pelaksanaannya.
d. Sulwasutra.
Kitab ini memuat penjelasan tentang pokok-pokok aturan tata bangunan.
Disamping itu juga memuat tentang ukuran membuat altar yang ada
kaitannya dengan kebutuhan upacara sebagaimana termuat dalam kitab
Srautasutra.
Dari beberapa penjelaskan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan agama Hindu pada zaman brahmana telah sampai ke India
bagian tengah, yaitu di dataran tinggi Dekan disekitar lembah sungai
Yamuna. Ditempat inilah ditulis peraturan-peraturan mengenai tuntunan
upacara dan tata susila. Dasar penyusunannya adalah berdasarkan pada
kitab weda, dengan demikian kebenaran isinya tidak perlu diragukan lagi.
Pelaksanaan upacara yadnya pada zaman Brahmana selalu disertai dengan
mantra-mantra catur weda sruti yang dirapalkan oleh para pendeta. Pendeta
yang khusus bertugas merafalkan Rg.Weda disebut dengan nama Hotri,
untuk Sama Weda disebut dengan Udgatri, untuk Yajur Weda disebut
dengan Adwaryu, sedangkan pendeta yang merapalkan kitab Atharwa
Weda disebut dengan nama Brahmana.
Mengingat betapa pentingnya upacara yadnya yang dilakukan pada waktu
itu, maka rapalan-rapalan mantra weda sruti pun harus menyertai dan
diucapkan dengan baik dan benar. Oleh sebab itu, ke empat bagian dari
weda sruti harus dipelajari secara baik oleh para pendeta yang membacanya
pada waktu upacara berlangsung.
Sedangkan kehidupan masyarakat pada zaman brahmana terbagi menjadi
empat kelompok yang disebut dengan istilah Catur Asrama yaitu
(Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta, Samyasin). Keempat system inilah
yang dipergunakan sebagai penuntun umat untuk mencapai kesempurnaan
hidup di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya pemikiran yang ada pada
zaman brahmana merupakan pendahuluan dari pemikiran yang bersifat
metafisik. Pemikiran semacam ini pada dasarnya sudah ada di zaman weda,
hanya saja pada zaman Brahmana pemikiran itu diperluas dengan bentuk
yang abstrak dan sistematis.
Konsep ketuhanan pada zaman brahmana bersifat satu kesatuan dalam arti
bahwa keberadaan para dewa yang banyak itu pada hakekatnya berasal
dari dewa yang dipandang sebagai asal mula semua yang ada. Semua yang
ada di alam semesta ini dipandang sebagai perwujudan dari dewa yang
satu, yang disebut Brahman atau Prajapati. Beliau adalah maha kuasa,
adi kodrati, kekal, dan yang dipandang sebagai Tuhan Yang Maha Esa,
pencipta alam semesta beserta dengan isinya.
Manusia pada zaman Brahmana dipandang sebagai mahkluk yang paling
utama di Bumi, yang terdiri dari dua bagian, yaitu ”nama” dan ”rupa”. Yang
dimaksud dengan ”Nama” adalah unsur-unsur rohani yang menentukan
proses hidup, terdiri dari; citta, budhi, ahamkara, manas, indriya-indriya,
dan atman. Diantara semua unsur-unsur rohani ini atman dipandang paling
menentukan hidup manusia di dunia ini.
Sedangkan yang dimaksud dengan ”Rupa” adalah bagian yang bersifat fisik,
yaitu daging, tulang, sumsum, rambut kulit dan sebagainya. Jika seorang
meninggal dunia, maka unsur-unsur rohani itu meninggalkan unsur-unsur
fisik, dan kemudian unsur-unsur fisik itu kembali ke asalnya, yaitu alam
Panca Maha Bhuta. Mengenai hubungan manusia dengan alam semesta
pada zaman brahmana dinyatakan sebagai sesuatu yang bersifat pararel atau
sejajar, dengan demikian terjadi hubungan yang harmonis dalam kehidupan
ini. Dalam kenyataan hidup ini dikemukakan dengan beberapa contoh
sebagai berikut; wajah disamakan dengan bumi, suara disamakan dengan
aapi, mata disamakan dengan matahari, telinga disamakan dengan penjuru
alam, nafas disamakan dengan bulan. Sebagai asas alam disamakan dengan
angin, dan akal disamakan dengan bulan. Alam semesta dipandang sebagai
Brahman/Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan yang dipandang sebagai asas
manusia adalah Atman. Kedua azas yang ada pada zaman Brahmana ini,
kemudian disatukan pada zaman Upanisad.
Kehidupan alam akhirat pada zaman Brahmana dikatakan ada dua macam,
yaitu alam nenek moyang atau alam pitara dan alam para dewa yang disebut
dengan surga. Bagi mereka yang berbuat baik dan melakukan yadnya
sesuai dengan kitab suci setelah mereka meninggal dunia mencapai surga.
Sedangkan mereka yang perbuatan baik dan perbuatan buruknya seimbang
dilahirkan kembali ke dunia ini. Kelahiran kembali ke dunia sebagai
manusia dipandang sebagai suatu anugrah dari Brahman. Sehubungan
dengan itu, maka nasib manusia di dunia sangat dipengaruhi oleh karma
wasana masing-masing.
Demikianlah ajaran keyakinan mengenai adanya Brahman, atman, karma,
punarbhawa, dan moksa, sesungguhnya telah ada pada zaman Brahmana
dan kemudian mendapat penyempurnaan pada zaman berikutnya, yaitu
pada zaman Upanisad.
3. Zaman Upanisad.
Sejalan berkembangnya zaman, agama Hindu pun terus berkembang
seiring dengan kemajuan zaman yang dilaluinya. Pada zaman upanisad
perkembangan agama kita dimulai dari daratan tinggi Dekan di lembah
7
sungai Yamuna terus meluas sampai ke lembah sungai Gangga yang
penduduknya bermata pencahariaan sebagai pedagang. Sehubungan
dengan itu maka kehidupan mereka beragama lebih menekankan pada hal-
hal yang bersifat filosofis dari pada pelaksanaan upacara. Dengan demikian
munculah diskusi-diskusi keagamaan antara para Maha Rsi sebagai guru
dengan para siswanya. Dari para siswanya yang selalu aktif mendalami
agama dengan metode diskusi akhirnya menimbulkan perkembangan
filsafat Hindu yang lebih menekankan pada aspek jnana.
Dalam diskusi para siswa duduk dibawah dekat kaki guru kerohanian atau
para Maha Rsi. Para Maha Rsi memberikan jawaban dari permasalahan
yang disampaikan oleh para siswanya dengan tetap berpedoman pada
ajaran kitab suci Weda. Dengan demikian kebenaran yang didapat oleh
para siswa kerohanian itu tidak perlu diragukan. Cara pendalaman
ajaran agama dengan berdiskusi seperti itu disebut Upanisad. Periode ini
dikatakan berkembang ± tahun 800 – 300 SM (Team Penyusun ”Buku
Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi” Anuman Sakti, 1996).
Fase perkembangan fisafat Hindu pada masa itu disebut dengan zaman
Upanisad. Pada masa ini pulalah bermunculan berbagai macam kitab-kitab
upanisad.
Kitab Upanisad merupakan bagian Jnana kanda dari kitab weda sruti, yang
isinya bersifat ilmiah, spekulatif, tetapi tetap pada ruang lingkup keagamaan.
Pada umumnya kitab-kitab upanisad berisi pembahasan tentang hakekat
Brahman, atman, hubungan Brahman dengan atman, hakikat maya, hakikat
widya, serta mengenai moksa atau kelepasan. Pandangan yang menonjol
dalam ajaran upanisad adalah mengajarkan bahwa segala sesuatu yang
bermacam-macam ini dialirkan dari satu azas, satu realitias tertinggi yang
tidak dapat dilihat, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat ditangkap oleh akal
manusia, tetapi melingkupi segala yang ada di alam semesta ini. Itulah
yang disebut dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Brahman itulah
yang dipandang sebagai pusat, awal, dan berakhirnya segala sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada, serta bersifat transenden dan imanen.
Transenden berarti Brahman ada di luar batas alam pikir manusia,
sedangkan imanen berarti Brahman ada di dalam batas pikir manusia.
Dalam kitab Brhad Aranyaka Upanisad disebutkan Brahman itu bersifat
Neti-neti, artinya bukan kasar, bukan pendek, bukan panjang, bukan
bayangan, bukan kegelapan, bukan hawa, tanpa ukuran, tanpa lahir, tanpa
bhatin, dan sejenisnya. Dari pernyataan ini dapatlah dikemukakan bahwa
Brahman bukanlah suatu substansi dan bukan tidak memiliki sifat-sifat.
Brahman memiliki sifat Sat Cit Ananda, yang artinya keberadaan,
kesadaran, dan kebahagiaan. Dari ungkapan ini memberikan petunjuk
kepada kita bahwa Brahman adalah satu-satunya realitas yang bersifat
mutlak yang meliputi segala yang ada, yang sadar, dan bersifat rohani.
Dengan demikian Brahman dipandang sebagai sumber alam semesta,
sumber semua mahkluk, dan penguasa segala yang ada.
Pada zaman Upanisad keberadaan atman disebutkan meliputi segala
sesuatu yang ada ini. Dan Atman berada dalam lubuk hati manusia. Atman
yang ada dalam tubuh manusia dilapisi oleh lapisan zat yang disebut Panca
Maya Kosa. Adapun unsur-unsur dari adalah;
a. Anamaya kosa = lapisan badan jasmani yang berasal dari makanan.
b. Pranamaya kosa = lapisan badan yang berasal dari prana atau energi.
c. Manomaya kosa = lapisan yang berasal dari alam rasa dan pikiran.
d. Wijnanamaya kosa = lapisan badan yang berasal dari alam kesadaran.
e. Anandamaya kosa = lapisan badan yang berasal dari kesadaran yang
membahagiakan.
Semua lapisan itu dapat berubah-ubah, sedangkan atman adalah subyek
yang tetap ada diantara semua yang berubah-ubah itu. Atman bebas dari
dosa-dosa, umur, tua, maut, rasa lapar, dahaga, dan kesusahan. Atman
berada dalam keadaan yang bermacam-macam. Misalnya seperti dalam
keadaan terjaga atau jagrapada, dalam mimpi atau svapnapada, dalam tidur
nyenyak atau susuptipada, dalam keadaan turya, yakni atman berada dalam
kesadaran yang intuitif, dimana tidak ada lagi pengetahuan akan obyek-
obyek baik yang ada diluar maupun yang di dalam.
Disinilah atman dinyatakan berada dalam alam yang sejati, yang penuh
dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dalam zaman Upanisad selanjutnya
dinyatakan bahwa atman itu sesungguhnya adalah Brahman yang dibatasi
oleh sarana tambahan, berupa tubuh. Orang yang mengetahui atman
mengetahui pula Brahman yang merupakan inti segala yang ada dan
yang mesti ada di alam semesta ini. Mengenai ajaran Karma pada zaman
Upanisad dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang selalu diikuti oleh
pahala atau akibatnya. Sesungguhnya ajaran karma berakar pada ajaran
Rta yang ada pada zaman weda. Rta adalah hukum alam semesta. Pada
zaman brahmana, Rta disamakan artinya dengan yadnya. Setiap upacara
yadnya yang dilakukan oleh umat pada zaman itu mendapat pahala yang
baik. Demikian pula sebaliknya, siapa saja yang berani berbuat buruk pasti
menerima pahala yang buruk juga. Ajaran karma bukan saja berlaku pada
kehidupan sekarang tetapi juga berlaku pada masa kehidupan yang datang.
8
Sehubungan dengan itu, maka timbulah ajaran tentang kelahiran kembali
”punarbhawa”, yang sudah dikenal pada zaman weda dan zaman brahmana.
Ajaran tentang kelahiran kembali atau punarbhawa pada zaman brahmana
dipandang sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Pada zaman
Upanisad sudah muncul suatu persoalan dan pertanyaan, seperti; mengapa
kehidupan seseorang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada orang yang
dilahirkan sebagai orang yang miskin, ada orang yang dilahirkan sebagai
orang yang kaya, orang cacat, ada yang cantik, ada yang tampan, namun
ada pula orang yang dilahirkan sebagai penjahat. Semua permasalah dan
persoalan itu dalam zaman Upanisad dijelaskan karena ada karma sebagai
suatu mata rantai kehidupan yang amat panjang. Karma bukan saja
menguasai kehidupan yang datang, juga kehidupan yang telah lalu serta
kehidupan pada masa sekarang. Kehidupan pada masa sekarang ditentukan
oleh kehidupan masa lalu, kehidupan masa sekarang menentukan kehidupan
masa yang datang.
Demikianlah manusia dilahirkan secara berulang-ulang, dalam ajaran
Agama Hindu yang disebut Punarbhawa. Bila seorang meninggal dunia,
badan halusnya terpisah dengan badan kasarnya, semua karma wesana
yang ada di badannya melekat pada badan halusnya. Badan halus hidup
bersama atman yang kemudian menjelma mengambil badan baru. Proses
punarbhawa ini sangat sulit diketahui oleh orang biasa, kecuali oleh para
maharsi karena semua itu kehendak dari Brahman itu sendiri. Tujuan hidup
tertinggi umat Hindu adalah dapat mencapai moksa atau kelepasan yakni
bersatunya atman dengan Brahman. Pada zaman Upanisad, jalan untuk
mencapai moksa dapat dilalui dengan jalan berbuat baik, bakti, tapa, brata,
dan yoga, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kitab-kitab upanisad.
Pemikiran yang ada dalam kitab Upanisad sangat berpengaruh dalam tata
pikir ajaran agama Hindu yang sangat toleran terhadap berbagai macam
perbedaan yang ada. Oleh karena itu terjemahan kitab upanisad sebagai
satu kesatuan pemikiran untuk mendapatkan pandangan dan pegangan yang
lebih luas dan sempurna tentang weda sangat diperlukan. Secara historis
dapat diakui bahwa proses perkembangan agama Hindu pada hakekatnya
dimulai dari penafsiran otentik. Cara-cara itu telah dituliskan dalam kitab
Upanisad dan dalam kitab-kitab Brahmana. Tanpa memahami dasar-dasar
pengertian yang ada dalam kitab Upanisad, sulitlah memahami kedalaman
ajaran agama Hindu secara lebih baik.
Secara tradisi dalam kitab Muktika Upanisad disebutkan jumlah kitab
Upanisad itu ada seratus delapan (108) buah buku. Dari seratus delapan
buah buku itu dapat dikelompokan menurut weda sruti, sebagai berikut;
a. Upanisad yang tergolong kelompok Rg. weda, berjumlah 10 buah buku
terdiri dari; Aitarya, Kausitaki, Nada-Bindu, Nirwana, Atmaprabodha,
Mudgala, Aksamalika, Tripura, Sambhagya, dan Bahwrca Upanisad.
b. Upanisad yang tergolong kelompok Samaweda, berjumlah 16 buah
buku, terdiri dari; Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Maitreyi,
Wajrasucika, Yogacudamani, Wasudewa, Mahat, Sanyasa, Awyakta,
Kandika, Sawitri, Rudaksa-Jabala, Darsana, dan Jabali Upanisad.
c. Upanisad yang tergolong kelompok Yajurweda, terdiri dari dua bagian
besar, yaitu:
1). Upanisad yang tergolong dalam kelompok Yajurweda Hitam,
berjumlah 32 buah buku antara lain; Kathawali, Taittiriyaka,
Brahma, Kaiwalya, Swetaswatara, Gharba, Narayana, Amrtabhindu,
Asartanada, Katagnirudra, Kansikasi, Sarwasara, Sukharahasya,
Tejobhindu, Dhyanabhindu, Brahmawidya, Yogatattwa,
Daksinamurti, Skanda, Sariraka, Yogasikha, Ekaksara, Aksi,
Awadhuta, Katha, Rudrahrdaya, Yogakundalini, Pancabrahma,
Paramagnihotra, Waraha, Kalisandarana, dan Saraswatirahasya
Upanisad.
2). Upanisad yang tergolong Yajurweda Putih, terdiri dari 19 buah
buku yaitu; Isawasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paraahamsa,
Subaia, Mantraika, Niralamba, Trisihibrahmana, Mandalabrahma,
Adwanyataraka, Pingalu-bhiksu, Turiyatika, Adhyatma, Tarasara,
Yajnyawalkya, Satyayani, dan Muktita Upanisad.
d. Upanisad yang tergolong kelompok Atharwaweda, terdiri dari 31 buah
buku Upanisad, antara lain; Prasna, Munduka, Mandukya, Atharwasira,
Atharwasikha, Brhadjabala, Narasimhatapini, Naradapariwrajaka, Sita,
Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya, Parahamsapari,
Warajaka, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahmana, Tripura
tapini, Dewi, Bhawana, Brahma, Ganapati, Mahawakya, Gopalatapini,
Kresna, Hayagriwa, Dattatreya, dan Garuda Upanisad. Di antara
semua kitab Upanisad itu, menurut Maharsi Sankaracharya ada 11
kitab Upanisad yang dipandang utama, yaitu: Isa, Kena, Katha, Prasna,
Mudaka, Mandukya, Taittriya, Aitareya, Candhogya, Brhadaranyaka,
dan Swetaswatara Upanisad.
Materi pokok-pokok yang dibicarakan pada kitab-kitab Upanisad secara
umum adalah mengenai hakekat metafisika tanpa mengadakan penekanan
pada aspek ritualnya. Demikian pula mengenai tata kemasyarakatan yang
menyangkut sistem warna hampir tidak dibicarakan. Sehubungan dengan
8
itu, maka isi pokok Upanisad lebih banyak merupakan ajaran filsafat
dengan penekanan pada aspek kerohaniaan yang meliputi Brahman,
Atman, Maya, Widya-Awidya, Etika, Karma, Samsara, dan Moksa.
Pada zaman Upanisad sistem hidup kerohanian masyarakat tumbuh dan
berkembang dengan subur, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya
berbagai macam aliran filsafat keagamaan. Seluruh aliran filsafat itu
dikelompokkan menjadi 9 yang disebut ”Nawa Darsana” terdiri dari;
Astika atau Sad Darsana, yang meliputi; Nyaya, Waesiseka, Mimamsa,
Samkhya, Yoga, dan Wedanta. Sedangkan Nastika, meliputi; Budha,
Carwaka, dan Jaina.
Demikian uraian singkat sejarah perkembangan agama Hindu di India
yang dihubungkan dengan adanya zaman weda, brahmana, dan zaman
upanisad. Pada hakikatnya satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan, karena semuanya menjadi fondasi dari sejarah perkembangan
agama Hindu selanjutnya.
Beragama ”meyakini ajaran Tuhan” adalah instingtif bagi manusia, karena
titik tolak kehidupan manusia dimulai dari suatu kepercayaan. Untuk dapat
menyelami keagungan Tuhan sebagai jiwa agama kita harus meng-aproach
agama dengan seluruh kemampuan kita. Bila kita mau memandang agama
dari sejarah maka dapat kita katakan bahwa agama itu muncul bersamaan
dengan lahirnya peradaban manusia. India adalah sebuah negara yang
disebut-sebut sebagai negara yang bangsanya memiliki peradaban sangat
tinggi. India juga diyakini sebagai pusat pewahyuan ajaran Hindu ”weda”
sebelum menyebar keseluruh jagat raya ini. Sejarah menuliskan bahwa pada
awalnya agama Hindu berkembang di India. Berbagai fakta sejarah yang
ada dapat kita pergunakan sebagai reprensi untuk menyatakan agama Hindu
adalah agama yang besar. Hindu disebut-sebut sebagai agama yang pernah
memiliki pengaruh di seluruh dunia. Pengaruh yang besar itu karena kurang
terkoordinasi maka lama-kelamaan menjadi potongan-potongan kepercayaan
yang lupa induknya. Walaupun demikian pengaruh Hindu yang luas itu masih
dapat dirasakan nafasnya sampai sekarang. Hal itu dapat kita ketahui dari
adanya beberapa bukti peninggalah sejarah dan kepercayaan masyarakat yang
masih terpelihara sampai saat ini.
Bagaimana Perkembangan agama Hindu di Dunia? Simaklah uraian berikut ini!
Beberapa bukti peninggalan sejarah dan kepercayaan masyarakat dunia dapat
kita pergunakan sebagai dasar untuk menyatakan dan mempelajari bahwa
agama Hindu pernah berkembang di negara-negara lain selain India, adapun
negara-negara yang dimaksud adalah sebagai berikut;
1. Mesir (Afrika).
Sebuah prasasti dalam bentuk inkripsi yang berhasil digali di Mesir
berangka tahun 1280 S.M. Isinya memuat tentang perjanjian antara raja
Ramases II dengan bangsa Hittite. Dalam perjanjian yang dilaksanakan
oleh Raja Ramases II dengan bangsa Hittite tersebut, Maitravaruna
sebagai dewa kembar dalam weda telah dinyatakan sebagai saksi (H.R.
Hall ”Ancient History of the New East”, hal 364). Maitravaruna adalah
sebutan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam konsep ketuhanan agama
Hindu. Raja-raja Mesir dijaman purbakala mempergunakan nama-nama
seperti; Ramesee I, Rameses II, Rameses III dan seterusanya. Tentang
kata Rameses, mengingatkan kita kepada Rama yang terdapat dalam kitab
Ramayana. Rama, oleh umat Hindu diyakini sebagai penjelmaan atau
awatara Vishnu, yaitu manifestasi dari Tuhan sebagai pemelihara. Vishnu-
lah yang menyelamatkan dunia ini dari ancaman keangkara-murkaan.
2. Madagaskar.
Madagaskar adalah sebuah pulau yang terletak agak jauh dari pantai timur
Afrika selatan. Dinyatakan kebanyakan nama-nama tempat yang ada disana
mempergunakan kata yang memiliki hubungan dengan sebutan Rama.
3. Afrika utara.
Mengenai istilah gurun Sahara, para ahli geologi mengemukakan suatu teori
yang menyatakan bahwa gurun itu adalah sebuah samudra yang mengering.
Samudra dalam bahasa sanskerta disebut Sagara. Ada kemungkinan bahwa
kata Sahara yang ada sekarang merupakan salah ucapan dari kata Sagara
dalam bahasa sanskerta. Dikatakan juga bahwa ketika Sahara masih ada
di bawah air, masyarakat yang hidup disekelilingnya kebanyakan diantara
mereka mempergunakan nama-nama yang ada hubungannya dengan bahasa
sanskerta. Beberapa diantara mereka dinyatakan mempunyai hubungan
keluarga dengan negeri Kosala (Ensiklopedia Brittannica Jilid XXIII, di
bawah kata Sahara).
4. Mesiko.
Mesiko terbilang negeri yang sangat jauh dari India. Masyarakat negeri ini
dikatakan telah terbiasa merayakan sebuah hari raya pesta-ria yang disebut
dengan hari Rama-Sita. Waktu hari pesta-ria ini memiliki hubungan erat
84 Kelas XII SMA/SMK
dengan waktu hari suci Dussara atau Navaratri dalam agama Hindu ”India”
(T.W.F. Gann ”The Maya Indians of Southerm Yucatan, North and British
Honduras” halaman 56). Penggalian-penggalian peninggalan bersejarah
yang dilakukan di negeri Mesiko telah menghasilkan penemuan beberapa
patung Ganesa (Baron Humbolt dan Harlas Sanda ”Hindu Superiority”
halaman 151).
Penduduk zaman purbakala yang ada di daerah-daerah ”Mesiko” adalah
orang-orang Astika yaitu orang-orang yang percaya dengan keberadaan
weda-weda. Kata Astika adalah sebuah istilah yang sampai saat ini masih
terdengar oleh kita dipergunakan oleh masyarakat disana, sebagai salah
ucapan dari kata Aztec.
Festival Rama-Sita yang dirayakan oleh masyarakat Mesiko dapat
disamakan dengan perayaan hari Dussara atau Navaratri. Penemuan patung
Ganesa kita hubungkan dengan arca Ganesa sebagai putra Dewa Siwa
dalam mithologi Hindu. Masyarakat Astika adalah suku bangsa Aztec itu
sendiri yang kebanyakan diantara mereka memiliki kepercayaan memuja
Dewa Siwa.
5. Peru.
Disebelah barat-daya Amerika Latin terdapat negeri yang disebut dengan
Peru. Penduduknya melakukan pemujaan terhadap Dewa Matahari. Hari-
hari raya tahunan masyarakat ini jatuh pada hari-hari Soltis. Masyarakat
negeri Peru dikenal dengan bangsa Inca. Kata Inca berasal dari kata Ina
yang berarti matahari (Asiatic Researches, Jilid I halaman 426).
Soltis jatuh pada tanggal 21 Juni dan 22 Desember, yaitu pada hari-hari
dimana matahari telah sampai pada titik deklanasinya di sebelah selatan dan
di sebelah utara untuk kembali lagi pada peredarannya. Sebagaimana biasa
mulai tanggal 21 Juni matahari ada dititik bumi belahan utara ”Utarayana”,
waktu yang dipandang baik untuk melaksanakan upacara yang berkaitan
dengan Dewa Yajna. Sedangkan tanggal 22 Desember matahari berada
di titik bumi belahan selatan ”Daksinayana” dimana waktu ini dipandang
baik untuk melaksanakan upacara yang berhubungan dengan Bhuta Yajna.
Dewa Matahari menurut keyakinan umat Hindu Indonesia ”Bali” menyebut
Siwa Raditya = Surya = Matahari. Pemujaan kehadapan Dewa Matahari
”Surya Raditya” terbiasa dilakukan oleh umat Hindu kita, sebagaimana
juga dilaksanakan oleh bangsa Inca sebagai penduduk negeri Peru.
6. Kota California.
California adalah sebuah Kota yang terdapat di Amerika. Nama Kota ini
diperkirakan memiliki hubungan dengan kata Kapila Aranya. Di Kota
California terdapat Cagar Alam Taman Gunung Abu ”Ash Mountain Park”
dan sebuah Pulau Kuda ”Horse Island” di Alaska–Amerika Utara.
Kita mengenal kisah dalam kitab Purana tentang keberadaan Raja Sagara
dan enam puluh ribu (60.000) putra-putranya yang dibakar habis hingga
menjadi abu oleh Maha Rsi Kapila. Raja Sagara memerintahkan kepada
putra-putranya untuk menggali bumi menuju ke Patala-loka dalam rangka
kepergian mereka mencari kuda untuk persembahan. Oleh putra-putra
Raja Sagara, kuda yang dicari itu diketemukan di lokasi Maha Rsi Kapila
mengadakan tapabrata. Oleh karena kedatangan mereka ”putra araja
sagara” mengganggu proses tapabrata beliau, akhirnya Maha Rsi Kapila
memandang putra-putra raja itu dengan pandangan amarah sampai mereka
musnah menjadi abu.
Kata Patala-loka memiliki arti negeri dibalik India, yaitu benua Amerika.
Kata California memiliki kedekatan dengan kata Kapila Aranya. Kondisi
ini memungkinkan sekali karena secara nyata dapat kita ketahui bahwa di
Amerika terdapat cagar alam Taman Gunung Abu yang kemungkinan sekali
berasal dari abunya putra-putra raja Sagara yang berjumlah enampuluh
ribu dan nama pulau kuda yang diambil dari nama kuda persembahan raja
sagara.
7. Australia.
Penduduk negeri Kangguru ini memiliki jenis tarian tradisional yang
disebut dengan ”Siwa Dance” atau ”Tari Siwa”. Siwa Dance adalah
semacam tarian yang umum berlaku diantara penduduk asli Australia
(Spencer dan Gillen ”The Native Tribes of Central Australia” halaman
621. Macmillan, 1899). Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa para penari
”Siwa Dance” menghiasi dahinya dengan hiasan mata yang ke tiga. Hal ini
merupakan suatu bukti yang dapat dijadikan sumber memberikan informasi
kepada kita bahwa penduduk asli negeri Kangguru ”Australia” ini telah
mengenal atau mendengar dongeng-dongeng weda dan nama-nama Dewa
dalam kitab suci weda.
Sejak kapan dan bagaimana ajaran agama Hindu masuk ke Indonesia?
Carilah artikel yang menguraikan tentang proses masuknya agama Hindu
ke Indonesia! Selanjutnya diskusikanlah!
8. Agama Hindu di Indonesia.
Di Indonesia, banyak ditemukan berbagai bentuk peninggalan sejarah
bercorak Hindu. Agama Hindu disebut-sebut sebagai agama yang tertua
dalam sejarah peradaban manusia. Agama Hindu pertama kali tumbuh dan
berkembang dengan subur di negara India. Disana agama Hindu berkembang
pesat. Setelah di India, barulah agama Hindu merambah ke negara-negara
lainnya. Peninggalan sejarah agama Hindu pun sangat banyak dan beragam
serta tersebar di berbagai negara. Perkembangan ajaran agama Hindu
berawal sekitar tahun 1500 sebelum Masehi (SM).
Ditandai dengan datangnya
bangsa Yunani. Mereka memasuki
wilayah Nusantara dengan perahu
layar. Kelompok ini datang dari
Kampuchea (Kamboja). Mereka
mendirikan rumah dan hidup
secara berkelompok dalam
masyarakat desa dan menetap di
Nusantara. Kebudayaan mereka
sudah cukup maju. Mereka sudah
mengenal bercocok tanam. Mereka
juga berdagang dan membuat
peralatan dari tanah liat serta
logam. Kepercayaan yang mereka anut adalah animisme dan dinamisme.
Animisme adalah kepercayaan yang memuja roh nenek moyang atau roh
halus. Dinamisme adalah pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap
memiliki kekuatan gaib. Misalnya keris, tombak, batu akik, dan patung.
Ajaran Hindu masuk ke Indonesia sejak permulaan masehi. Agama Hindu
dikenal oleh penduduk Indonesia melalui hubungan dagang dengan India.
Kitab suci agama Hindu yaitu Weda. Ajaran Hindu merupakan ajaran yang
memuja banyak Dewa. Dewa-Dewa yang dianggap menempati posisi paling
tinggi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Ketiga Dewa
itu disebut Trimurti (tiga Dewa yang bersatu). Trimurti diwujudkan dalam
bentuk patung. Tentang tata kemasyarakatan dalam ajaran agama Hindu
mengenal adanya varna. Varna adalah susunan kelompok masyarakat Hindu
sesuai dengan tingkat keahlian atau profesi yang dimiliki oleh individu
umat bersangkutan, yang terdiri dari varna; brahmana, ksatriya, wesya, dan
sudra. Siapakah yang menyebarkan pengaruh Hindu ke Indonesia?
Dalam beberapa prasasti yang terdapat di pulau Jawa dan lontar-lontar
yang terdapat di pulau Bali menjelaskan bahwa ”Maha Rsi Agastya”
yang menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Menurut data
peninggalan sejarah yang ada dinyatakan bahwa Maha Rsi Agastya
menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia melalui Sungai Gangga,
Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Karena begitu besar jasa-jasa
beliau dalam penyebaran ajaran Agama Hindu, maka namanya disucikan
di dalam prasasti ‘Dinaya’. Prasasti ‘Dinaya’ diketemukan di Jawa Timur
yang ditulis dengan berangka tahun Saka 682 (760 M), menjelaskan bahwa
seorang raja yang bernama Gaja Yana membuatkan pura suci untuk Rsi
Agastya, dengan maksud untuk memohon kekuatan suci dari Rsi Agastya
(Shastri, N.D. Pandit, 1963:21). Prasasti Porong yang ditemukan di Jawa
Tengah berangka tahun Saka 785 (863 M) juga menyebutkan keagungan
serta kemuliaan jasa-jasa Maha Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Maha
Rsi Agastya, maka beliau diberi julukan ‘Agastya Yatra’ artinya perjalanan
suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya
untuk Dharma. Oleh karena itu beliau juga diberi julukan ‘Pita Segara’,
artinya ”Bapak dari Lautan” karena beliau yang mengarungi lautan luas
demi untuk Dharma.
Diperkirakan pada abad ke-4 Masehi (di Kutai-Kalimantan Timur), agama
Hindu di Indonesia sudah berkembang dengan subur. Disinyalir agama
Hindu dibawa dari India ke Indonesia dengan perantara para pedagang.
Sebelum masuknya agama Hindu, Indonesia masih dalam masa pra-sejarah
atau masa di mana masih belum mengenal tulisan. Dengan masuknya agama
Hindu perubahan besar pun terjadi di Indonesia. Zaman prasejarah berganti
dengan zaman sejarah di mana tulisan mulai diperkenalkan melalui ukiran-
ukiran yang terdapat pada yupa. Kehidupan politik kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga
Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif.
Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula
sistem barter hingga sistem nilai tukar uang. Agama Hindu masuk ke
Indonesia dinyatakan terjadi pada awal tahun Masehi, hal ini dapat diketahui
dengan adanya bukti tertulis dari benda-benda purbakala pada abad ke 4
Masehi yakni diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai
di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan
tentang kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa:
88 Kelas XII SMA/SMK
”Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh
Raja Mulawarman”. Pada keterangan yang lain menyatakan bahwa Raja
Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja
Dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan ”Vaprakeswara”.
Dari berbagai peninggalan yang ditemukan, diketahui bahwa kehidupan
masyarakat Kutai sudah cukup teratur. Walau tidak secara jelas
diungkapkan, diperkirakan masyarakat Kutai sudah terbagi dalam beberapa
penggolongan meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Dari penggunaan
bahasa Sanskerta dan pemberian hadiah sapi, dapat disimpulkan bahwa
dalam masyarakat Kutai terdapat golongan brahmana, golongan yang
sebagaimana juga di India memegang monopoli penyebaran dan upacara
keagamaan. Di samping golongan brahmana, terdapat pula kaum ksatria.
Golongan ini terdiri dari kerabat dekat raja. Di luar kedua golongan
ini, sebagian besar masyarakat Kutai masih menjalankan adat-istiadat
dan kepercayaan asli mereka. Walaupun Hindu telah menjadi agama
resmi kerajaan, namun masih terdapat kebebasan bagi masyarakat untuk
menjalankan kepercayaan aslinya.
Diperkirakan bahwa lahan pertanian, baik di sawah maupun di ladang adalah
merupakan mata pencarian utama masyarakat Kutai. Melihat letaknya di
sekitar Sungai Mahakam sebagai jalur transportasi laut, mengantarkan
perdagangan masyarakat Kutai berjalan cukup ramai. Bagi pedagang luar
yang ingin berjualan di Kutai, mereka harus memberikan ‘hadiah’ kepada
raja agar diizinkan berdagang. Pemberian ‘hadiah’ ini biasanya berupa
barang dagangan yang cukup mahal harganya; dan pemberian ini dianggap
sebagai upeti atau pajak kepada pihak Kerajaan. Melalui hubungan dagang
tersebut, baik melalui jalur transportasi sungai-laut maupan transportasi
darat, berkembanglah hubungan agama dan kebudayaan dengan wilayah-
wilayah sekitarnya. Banyak pendeta yang diundang datang ke Kutai.
Banyak pula orang Kutai yang berkunjung ke daerah asal para pendeta
tersebut.
Selanjutnya, agama Hindu berkembang pesat di Indonesia melalui
kerajaan-kerajaan yang berdiri pada waktu itu, baik di Jawa maupun luar
Jawa. Kehadiran agama Hindu di Indonesia, menimbulkan pembaharuan
yang besar, seperti berakhirnya zaman pra-sejarah Indonesia. Perubahan
dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama dengan memuja Tuhan
Yang Maha Esa berdasarkan kitab Suci Weda dan juga munculnya kerajaan
yang mengatur kehidupan suatu wilayah.
Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang
di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti,
yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten,
Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sanskerta dan
memakai huruf Pallawa. Bersumberkan prasasti-prasasti itu didapatkan
keterangan yang menyebutkkan bahwa ”Raja Purnawarman dari kerajaan
Tarumanegara menganut agama Hindu. Beliau adalah raja yang gagah
berani yang dilukiskan dengan tapak kakinya yang disamakan dengan
tapak kaki Dewa Wisnu”. Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah
adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan
diperkirakan dibuat pada masa kerajaan Tarumanegara. Berdasarkan data
tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama
Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Kehidupan masyarakat Tarumanegara tak jauh beda dengan Kutai.
Menurut sebuah prasastinya, kehidupan social masyarakatnya telah
berkembang baik, terlihat dari penggalian kanal (sungai yang digali)
Gomati dan Candrabhaga secara gotong-royong. Tenaga kerja yang
diperintah menggali kanal tersebut biasanya dari golongan budak dan
kaum sudra. Pembangunan kanal Gomati dan Candrabaga begitu bermakna
bagi perekonomian Tarumanegara. Selain sebagai sarana pencegah banjir,
juga dapat dipergunakan sebagai sarana transportasi (lalu lintas) air dan
perdagangan antara pedagang Tarumanegara dengan pedagang daerah
lain. Hasil bumi merupakan komoditas utama. Melalui perdagangan,
masyarakat Tarumanegara dapat memperoleh barang yang tidak dihasilkan
di kerajaannya. Kehidupan ekonomi Tarumanegara bertumpu pada hasil
ladang dan kebun. Barang yang ditawarkan adalah beras dan kayu jati.
Mayoritas rakyat Tarumanegara adalah peladang. Karena masyarakat
peladang selalu berpindah-pindah tempat. Ini berbeda dengan masyarakat
petani yang selalu menetap di satu tempat, misalnya seperti di Jawa Tengah
dan Timur.
Kehidupan sosial-ekonomi Kendan-Galuh tidak jauh beda dengan
Tarumanegara. Masyarakatnya berprofesi sebagai peladang. Agama yang
dianut bangsawan adalah Hindu-Wisnu, sedangkan rakyatnya mayoritas
menganut animisme dan dinamisme. Sementara itu, sistem transportasi pada
masa Kendan dan Galuh diperkirakan dilakukan melalui Sungai Cimanuk
dan pelabuhan tua di pesisir pantai utara, contohnya di sekitar Indramayu
dan Cirebon. Sementara itu mengenai masalah tenaga kerja, baik pegawai
istana maupun tentara, biasanya berasal dari golongan bangsawan kerabat
raja. Mengenai sistem perpajakan biasanya pedagang mengirim hadiah
berupa benda-benda langka dan mahal. Sedangkan bagi wilayah yang
berada di bawah kerajaan mereka harus mengirim upeti berupa emas atau
benda-benda berharga lain, sebagai tanda kesetiaannya terhadap atasan.
Kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Pakwan Pajajaran secara garis
besar dapat digolongkan ke dalam golongan seniman, peladang (pecocok
tanam), pedagang. Dari bukti-bukti sejarah diketahui, umumnya masyarakat
Pajajaran hidup dari hasil perladangan. Seperti masyarakat Tarumanegara
dan Galuh, mereka umumnya selalu berpindah pindah. Hal ini berpengaruh
pada bentuk rumah tempat tinggal mereka yang sederhana. Dalam hal tenaga
kerja, yang menjadi anggota militer diambil dari rakyat jelata dan sebagian
anak bangsawan. Mereka dibiayai oleh negara. Dalam bidang ekonomi,
Kerajaan Sunda dan Pajajaran telah lebih maju dari masa Tarumanegara.
Kerajaan Sunda-Pajajaran memiliki setidaknya enam pelabuhan penting:
Banten, Pontang, Cigede, Tarumanegara, Sunda Kelapa, dan Cimanuk.
Setiap pelabuhan ini dikepalai oleh seorang syahbandar yang bertanggung
jawab kepada raja. Para syahbandar ini bertindak sebagai wakil raja di
pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya, sekaligus menarik pajak dari
para pedagang yang ingin berjualan di daerah ini, pajak tersebut berupa
kiriman upeti berwujud barang dagangan yang mahal atau uang. Dalam hal
transportasi air, selain melalui laut, dilakukan pula melalui sungai-sungai
besar seperi Citarum dan Cimanuk, sebagai jalur perairan dalam negeri.
Melalui pelabuhan ini, Pajajaran melakukan aktivitas perdagangan dengan
negara lain. Dalam berbagai peninggalan sejarah diketahui, masyarakat
Pajajaran telah berlayar hingga ke Malaka bahkan ke Kepulauan MalaDeva
yang kecil di sebelah selatan India. Barang barang dagangan mereka
umumnya bahan makanan dan lada. Di samping itu, ada jenis bahan
pakaian yang didatangkan dari Kamboja (India). Sementara mata uang
yang dipakai sebagai alat tukar adalah mata uang Cina.
Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang
dibuktikan adanya prasasti Tukmas yang ditemukan di lereng gunung
Merbabu. Prasasti ini berbahasa sanskerta memakai huruf Pallawa dan
bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Dalam prasasti inilah
dituliskan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak
dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Keyakinan memuja Tri Murti juga disebutkan dalam prasasti Canggal,
yang berbahasa sanskerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal
dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan
Candra Sengkala berbunyi: ”Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang
pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai
Tri Murti. Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran
tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan
yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi,
merupakan bukti bahwa adanya perkembangan Agama Hindu yang sangat
pesat terjadi di Jawa Tengah.
Sumber-sumber berita Cina mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram
dari abad ke-7 sampai ke-10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun
luar negeri berlangsung ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-
barang keramik dari Vietnam dan Cina. Kenyataan ini dikuatkan lagi
dengan berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah
kerajaan dari Jawa, dalam hal ini Mataram. Dari Prasasti Warudu Kidul
diperoleh informasi adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di
Mataram. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk
pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih
mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu
adalah para saudagar dari luar negeri. Namun, sumber sumber lokal tidak
memperinci lebih lanjut tentang orang-orang asing ini. Kemungkinan besar
mereka adalah kaum migran dari Cina.
Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota kerajaan terdapat istana raja
yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana,
berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di
dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi
kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam
perkampungan khusus di mana para hamba dan budak yang dipekerjakan
di istana juga tinggal sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus
ini sampai sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta.
Di luar tembok kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar.
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris karena pusat
Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan
sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di samping itu, penduduk
di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi,
ayam, babi, dan itik. Sebagai tenaga kerja, mereka juga berdagang dan
menjadi pengrajin. Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi
tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap
hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender
Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari
Manis atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking
(Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar
diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa
sebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa-desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai
didatangi pembeli dan penjual dari desa-desa lain. Mereka datang dengan
berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa
barang dagangannya seperti beras, buah-buahan, dan ternak untuk dibarter
dengan kebutuhan yang lain. Selain pertanian, industri rumah tangga
juga sudah berkembang. Beberapa hasil industri ini antara lain anyaman
seperti keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian,
gula kelapa, arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat
diperoleh di pasar-pasar yang ada. Sementara itu, bila seseorang berjasa
(biasanya pejabat militer atau kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang
bersangkutan akan diberi hak memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya
tempat itu adalah hutan yang kemudian dibuka menjadi pemukiman baru.
Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi penguasa tempat yang
baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepala desa),
senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan
kepada kaum brahmana untuk dijadikan asrama sebagai tempat tinggal
mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau wihara.
Setelah di Jawa Tengah, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, hal
ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat
Kota Malang. Prasasti ‘Dinaya’ berbahasa sanskerta dan ditulis memakai
huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang
diadakan oleh Raja Dewa Simha pada tahun 760 Masehi yang dilaksanakan
oleh para ahli Weda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk
negeri. Dewa Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi
Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai
peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 muncullah Empu Sendok dari dinasti
Isana Wamsa dan bergelar Sri IsanottunggaDeva, yang artinya raja yang
sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Sebagai pengganti
Empu Sendok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga
(yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga
adalah penganut Hindu yang setia. Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa
Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengembang
agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu,
misalnya Kitab Smaradahana, Bharatayudha, Lubdhaka, Wrtasancaya dan
kitab Kresnayana.
Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada zaman
kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi
Singosari sebagai peninggalan keHinduan pada zaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan
Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan
masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan
Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran,
yaitu bangunan suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga
munculnya buku Negarakertagama.
Di Jawa Timur berkembang aliran Tantrayana seperti yang dilakukan
Kertanegara dari Singasari yang dipandang merupakan penjelmaaan Siwa.
Kepercayaan terhadap roh leluhur masih terwujud dalam upacara kematian
dengan mengadakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun,
2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak hal-hal yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa.
Menurut berita Cina, Kediri terkenal dengan kehidupan masyarakatnya
yang damai, masyarakat Kediri hidup berkecukupan. Penduduk wanitanya
memakai kain sarung sampai bawah lutut dan rambutnya terurai. Rumah
mereka bersih dan rapi, lantainya dari ubin berwarna hijau dan kuning.
Dalam upacara perkawinan mereka memakai maskawin dari emas dan
perak. Masyarakatnya sering mengadakan pesta air (sungai atau laut)
maupun pesta gunung sebagai ungkapan terima kasih kepada para Dewa
dan leluhur mereka. Kehidupan perekonomian Kediri berpusat pada
bidang pertanian dan perdagangan. Hasil pertanian masyarakat Kediri
umumnya beras. Sementara barang-barang yang diperdagangkan antara
lain emas, kayu cendana, dan pinang. Walaupun terletak di pedalaman,
jalur perdagangan dan pelayaran maju pesat melalui Sungai Brantas yang
dapat dilayari sampai ke pedalaman wilayah Kediri dan bermuara di Laut
Selatan (Samudra Indonesia). Masyarakat Kediri juga sudah mempunyai
kesadaran tinggi dalam membayar pajak. Mereka membayar pajak dalam
bentuk natura yang diambil dari sebagian hasil bumi mereka.
Sementara itu, kehidupan sosial Singasari dapat diketahui dari
Negarakretagama dan Pararaton serta kronik Cina. Disebutkan, masyarakat
Singasari terbagi dalam kelas atas, yaitu keluarga raja dan kaum bangsawan,
dan kelas bawah yang terdiri dari rakyat umum. Selain itu, ada kelompok
agama, pendeta Hindu maupun Buddha. Namun pembagian atas golongan
ini tidak seketat pengkastaan seperti di India. Ini membuktikan, sekali lagi,
kearifan lokal yang dimiliki masyarakat pribumi. Dari Negarakretagama
dan Pararaton diperoleh gambaran tentang kehidupan perekonomian di Jawa
9
pada masa Singasari. Di desa pada umumnya penduduk hidup dari bertani,
berdagang, dan kerajinan tangan. Tidak sedikit pula yang bekerja sebagai
buruh atau pelayanan. Kegiatan berdagang dilakukan dalam 5 (Lima) hari
pasaran pada tempat yang berbeda (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon).
Oleh karena itu, sarana transportasi darat memegang peranan penting.
Beberapa prasasti melukiskan bagaimana para pedagang, pengrajin, dan
petani membawa barang dagangannya. Mereka digambarkan melakukan
perjalanan sambil memikul barang dagangannya atau mengendarai
pedati-kuda. Ada pula yang melakukan perjalanan melalui sungai dengan
menggunakan perahu.
Dengan disebutnya alat angkut pedati dan perahu, dapatlah disimpulkan
bahwa perdagangan antar desa cukup ramai. Apalagi di wilayah Singasari
terdapat dua sungai besar, Bengawan Solo dan Kali Brantas yang
dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian dan lalu lintas perdagangan
air. Perdagangan mulai mendapatkan perhatian cukup besar semasa
Kertanegara memerintah. Kertanegara mengirimkan ekspedisi militer ke
Melayu (Pamalayu) untuk merebut kendali perdagangan di sekitar Selat
Malaka. Pada masa ini memang Selat Malaka merupakan jalur sutera yang
dilalui oleh para pedagang asing.
Dalam hal kepemilikan tanah, transportasi, perpajakan, dan tenaga kerja;
kehidupan rakyat Medang Kamulan menyerupai Mataram, karena Medang
Kamulan tak lain adalah kelanjutan Mataram. Yang berbeda adalah hanya
nama dinastinya dan perpindahan wilayah kekuasaan dari barat ke timur.
Masa pemerintahan Empu Sendok yang bergelar Sri Isana Tunggawijaya,
merupakan masa yang damai. Namun, sejak pemerintahan Dharmawangsa
Teguh, politik Kerajaan cenderung mengarah ke luar negeri. Tujuannya
adalah untuk merebut dominasi perdagangan di perairan Jawa, Sumatera,
dan Kalimantan, yang ketika itu dikuasai Sriwijaya. Untuk keperluan
itu, Dharmawangsa Teguh membangun armada militer yang tangguh.
Dengan kekuatan militernya, Medang Kamulan menaklukkan Bali, lalu
mendirikan semacam koloni di Kalimantan Barat. Medang Kamulan
kemudian menyerang Sriwijaya, walaupun tidak menang. Dharmawangsa
pun mengembangkan pelabuhan Hujung Galuh di selatan Surabaya
dan Kembang Putih (Tuban) sebagai tempat para pedagang bertemu.
Ketika Airlangga berkuasa, kerajaan menjaga hubungan damai dengan
kerajaan-kerajaan tetangga demi kesejahteraan rakyat. Ini diperlihatkan
dengan mengadakan perjanjian damai dengan Sriwijaya. Kerajaan pun
memperlakukan umat Hindu dan Buddha sederajat.
Dari peninggalan sejarah diketahui bahwa masyarakat Majapahit relatif
hidup rukun, aman, dan tenteram. Majapahit menjalin hubungan baik
dan bersahabat dengan Negara tetangga, di antaranya dengan Syangka
(Muangthai), Dharma Negara, Kalingga (Raja Putera), Singhanagari
(Singapura), Campa dan Annam (Vietnam), serta Kamboja. Negara-
negara sahabat ini disebut dengan Mitreka Satata. Disebutkan bahwa pada
masa Hayam Wuruk, penganut agama Hindu Siwa dan Buddha dapat
bekerjasama. Hal ini diungkapkan oleh Empu Tantular dalam Sutasoma
atau Purusadashanta yang berbunyi ”bhinneka tunggal ika tan hana
dharma mangrawa” yang artinya: ”di antara pusparagam agama adalah
kesatuan pada agama yang mendua.” Rakyat Majapahit terbagi dalam
kelompok masyarakat berdasarkan pekerjaan. Pada umumnya, rakyat
Majapahit adalah petani, sisanya pedagang dan pengrajin. Selain pertanian,
Majapahit juga mengembangkan perdagangan dan pelayaran. Hal ini dapat
simpulkan dari wilayah kekuasaan Majapahit yang meliputi Nusantara
bahkan Asia Tenggara. Barang utama yang diperdagangkan antara lain
rempah-rempah, beras, gading, timah, besi, intan, dan kayu cendana.
Sejumlah pelabuhan terpenting pada masa itu adalah Hujung Galuh,
Tuban, dan Gresik. Majapahit memegang dua peranan penting dalam dunia
perdagangan. Pertama, Majapahit adalah sebagai kerajaan produsen yang
menghasilkan barang-barang yang laku di pasaran. Hal ini bisa dilihat
dari wilayah Majapahit yang demikian luas dan meliputi daerah-daerah
yang subur. Kedua, peranan Majapahit adalah sebagai perantara dalam
membawa hasil bumi dari daerah satu ke daerah yang lain. Perkembangan
perdagangan Majapahit didukung pula oleh hubungan baik yang dibangun
penguasa Majapahit dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Barang-barang
dari luar negeri dapat dipasarkan di pelabuhan-pelabuhan Majapahit. Dan
sebaliknya, barang-barang Majapahit dapat diperdagangkan di negara-
negara tetangga. Hubungan sedemikian tentu sangat menguntungkan
perekonomian Majapahit. Dalam hal kepemilikan tanah di Majapahit
memiliki kesamaan dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan sebelumnya.
Begitu pula mengenai perpajakan dan tenaga kerja. Para petani selalu
bergotong royong dalam hal bercocok tanam dan mengairi sawahnya.
Selanjutnya agama Hindu berkembang di Bali. Kedatangan agama Hindu
di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini dibuktikan dengan adanya
prasasti-prasasti, Arca Siwa yang bertipe sama dengan Arca Siwa di
Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8. Menurut uraian lontar-
lontar di Bali, bahwa Empu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di
Bali. Pengaruh Empu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte
yang hidup pada zaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan
9
melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah
Kemulan sebagaimana termuat dalam Usana Dewa. Mulai abad inilah
dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga.
Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan
Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke
Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam
teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong,
kehidupan agama Hindu mencapai zaman keemasan dengan datangnya
Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau
sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang
bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem
Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali
pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran.
Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita
Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar,
Surya kanta tahun1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durgha
Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Pinandita tahun
1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha
Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari
1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23
November tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma
Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam
Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu.
Pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali
dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali yang
selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Perkembangan
dan kemajuan selanjutnya tentu terjadi, seirama dengan perkembangan
atau kemajuan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dunia
pada umumnya.
Uji Kompetensi:
1. Setelah anda membaca teks kebudayaan prasejarah dan sejarah
agama Hindu, apakah yang anda ketahui tentang agama Hindu?
Jelaskan dan tuliskanlah!
B. Teori-Teori Masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Perenungan.
”Prajà pate na tvad età ny anyo
viúvà jà tà ni pari tà babhùva,
yatkà màs te juhumas tan no astu
vayam syà ma patayo rayinà m.
Terjemahan:
‘Om Hyang Prajapati, pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha
kuasa, mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita-
cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada
kami’ (Ã…gveda X.121.10).
2. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan materi penerapan
kebudayaan prasejarah dan sejarah agama Hindu, guna
mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, dari
berbagai sumber media pendidikan dan sosial yang anda ketahui!
Tuliskan dan laksanakanlah sesuai dengan petunjuk dari bapak/
ibu guru yang mengajar di kelasmu!
3. Apakah yang anda ketahui tentang kebudayaan prasejarah dan
sejarah agama Hindu? Jelaskanlah!
4. Bagaimana cara kita untuk mengendalikan diri baik itu dari unsur
jasmani maupun rohani menurut petunjuk kitab suci yang pernah
anda baca? Jelaskan dan tuliskanlah pengalamannya!
5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha
dan upaya untuk mewujudkan kebudayaan prasejarah dan sejarah
agama Hindu”? Tuliskanlah pengalaman anda!
6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan penerapan
kebudayaan prasejarah dan sejarah agama Hindu guna mewujudkan
tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, buatlah catatan
seperlunya dan diskusikanlah dengan orang tuanya! Apakah yang
terjadi? Buatlah narasinya 1–3 halaman diketik dengan huruf
Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kwarto; 4-3-
3-4!
9
Dari lembah Sungai Sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh
pelosok dunia, seperti ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang
dan akhirnya sampai ke Indonesia. Di Indonesia banyak ditemukan berbagai
bentuk peninggalan sejarah bercorak ke-‘Hindu’-an.
Kehadiran budaya Hindu di Indonesia menyebabkan terjadinya akulturasi dan
perubahan tatanan sosial sistem religius dari bangsa Indonesia. Akulturasi
merupakan perpaduan beberapa budaya, dimana unsur-unsur kebudayaan itu
menyatu dan hidup berdampingan saling mengisi serta tidak menghilangkan
unsur-unsur asli dari kebudayaan aslinya. Kebudayaan Hindu masuk ke
Indonesia diterima dengan tidak begitu saja melainkan dengan melalui proses
pengolahan dan penyesuaian kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa
menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena;
1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup
tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah
perbendaharaan kebudayaan aslinya.
2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau lokal genius
merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur
kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan
kepribadian bangsanya.
3. Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang
telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu melahirkan akulturasi
yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan
hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing ”India” sesuai dengan
kebudayaan Indonesia.
Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia, terjadi perubahan dalam tatanan
sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dengan dikenalnya pembagian
masyarakat atas Varna ”profesi” atau yang lebih dikenal dengan sebutan
wangsa. Perubahan yang terjadi tidak begitu berpengaruh besar terhadap
ekonomi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat
Indonesia telah mengenal sistem pelayaran dan perdagangan tersendiri jauh
sebelum masuknya pengaruh tersebut. Sebelum masuknya pengaruh Hindu di
Indonesia, sistem pemerintahan dipimpin oleh kepala suku yang dipilih karena
Kita semua patut bersyukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas kehadiran agama Hindu bangsa Indonesia mengenal sejarahnya.
Bagaimana ajaran agama Hindu masuk ke Indonesia? Diskusikanlah,
sesuai dengan petunjuk Bapak/Ibu Guru yang mengajar di kelas-mu!
yang bersangkutan dipandang memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan
anggota masyarakat/kelompok lainnya. Setelah pengaruh Hindu masuk maka
berdirilah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara
turun-temurun. Raja dianggap sebagai keturuanan dari Dewa yang memiliki
kekuatan, dihormati, dan dipuja, sehingga memperkuat kedudukannya untuk
memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun serta meninggalkan sistem
pemerintahan kepala suku.
Agama Hindu dinyatakan masuk ke Indonesia
pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui
dengan adanya bukti tertulis dari benda-benda
purbakala pada zaman abad ke 4 Masehi dengan
diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan
kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh
buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai
kehidupan keagamaan pada waktu itu yang
menyatakan bahwa: Yupa itu didirikan untuk
memperingati dan melaksanakan yajña oleh Raja
Mulawarman”. Sang Mulawarman adalah raja
yang berperadaban tinggi, kuat, dan berkuasa
merupakan putra dari Sang Aúwawarman, dan
sebagai cucu dari Sang Maharaja Kundungga.
Keterangan yang lain menyebutkan bahwa Raja
Mulawarman melakukan yajña (Kenduri) pada
suatu tempat suci untuk memuja Dewa Siwa.
Tempat itu disebut dengan ”Vaprakeswara”.
Kehadiran agama Hindu di Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang
besar, seperti berakhirnya zaman prasejarah Indonesia. Perubahan dari religi
kuno ke dalam kehidupan beragama dengan memuja Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan kitab Suci Weda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur
kehidupan suatu wilayah. Mengenai masuknya agama Hindu ke Indonesia,
ada beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut. Teori-teori yang dimaksud
antara lain:
1. Teori Brahmana;
Dikemukakan oleh J.C. Van Leur,
berisi bahwa kebudayaan Hindu
dibawa oleh para brahmana yang
diundang oleh para kepala suku
agar mereka dapat mensahkan/
melegitimasi (investitur) kekuasaan
mereka sebagai kepala suku di
Indonesia sehingga setaraf dengan
raja-raja di India. Teori ini pun dapat
disanggah karena raja di Indonesia
akan sangat sulit mempelajari kitab
Weda dan ada pula aturan bahwa
kaum Brahmana tidak diperbolehkan
menyebrangi lautan, apalagi
meninggalkan tanah kelahirannya
2. Teori Ksatriya;
Dikemukakan oleh F.D.K Bosch dan C.C. Berg,
berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh kaum kasta
Ksatria (raja, pangeran) yang melarikan diri ke
Indonesia karena kalah perang/ kekacauan politik
di India. Di Indonesia sendiri, mereka mendirikan
kerajaan sendiri dengan bantuan masyarakat sekitar
dan karena kedudukannya sebagai raja, maka
penduduk pun akan pula menganut agama Hindu.
Teori ini pun juga memiliki kelemahan yaitu;
a. Kalangan ksatria tidak mengerti agama dan
hanya mengurusi pemerintahan.
b. Adanya ketidak-mungkinan seorang pelarian mendapat kepercayaan
dan kedudukan mulia sebagai raja.
c. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa raja di Indonesia adalah raja asli
Indonesia, bukan orang India.
3. Teori Wesya;
Dikemukakan oleh N. J. Kroom,
berisi bahwa agama Hindu dibawa
oleh para pedagang India yang
singgah dan menetap di Indonesia
ataupun bahkan menikah dengan
wanita Indonesia. Merekalah yang
mengajarkan kepada masyarakat
dimana mereka singgah. Teori ini
pun dapat dibantah dimana hanyalah
Varna Brahmana yang mampu dan
bebas mengetahui isi dari kitab suci
agama Hindu, Weda. Ini disebabkan
bahasa yang dipakai adalah bahasa
kitab, Sanskerta, bukan bahasa sehari-
hari, Pali
4. Teori Sudra;
Dikemukakan oleh Van Faber berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh
para orang buangan berkasta Sudra (tawanan perang) yang dibuang dari
India ke Nusantara. Teori ini lemah karena pada dasarnya kebudayaan
Hindu bukanlah milik dan cakupan varna mereka sebab kebudayaan Hindu
dianggap terlalu tinggi untuk mereka
5. Teori Arus Balik
Teori ini berisi dua cara bagaimana Agama
Hindu masuk ke Indonesia, antara lain;
a. Para Brahmana diundang kepala suku di
Indonesia untuk memberikan ajaran Hindu
dan juga melakukan upacara Vratyastoma,
yaitu upacara khusus untuk meng-Hindu-
kan seseorang.
b. Para raja di Indonesia pergi ke India
untuk mempelajari agama Hindu. Setelah
menguasai agama Hindu, mereka kembali
ke Indonesia, memiliki kasta Brahmana,
lalu mengajarkan agama Hindu kepada
masyarakatnya.
c. Dari seluruh teori yang telah disebutkan di atas, teori Brahmana adalah
teori yang paling dapat diterima karena yaitu.
d. Agama Hindu dalam kehidupan di masyarakat segala upacara
keagamaan cenderung dimonopoli oleh kaum Brahmana sehingga
hanyalah Brahmana yang mungkin menyebarkan agama Hindu.
e. Prasasti yang ditemukan di Indonesia berbahasa Sanskerta yang
merupakan bahasa kitab suci dan upacara keagamaan, bukan bahasa
sehari-hari sehingga hanya dimengerti oleh Kaum Brahmana.
Diantara pendapat dan teori yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di
atas yang paling mendukung terkait dengan masuk dan diterimanya pengaruh
Hindu oleh bangsa Indonesia adalah teori Brahmana. Hal ini dilandasi dengan
asumsi dan pemikiran bahwa, yang paling banyak tahu tentang urusan agama
adalah golongan ”warna” brahmana. Warna brahmana dalam tata kehidupan
masyarakat Hindu disebut-sebut sebagai kelompok masyarakat yang ahli
agama.
Sedangkan teori-teori yang lainnya masing-masing memiliki kelemahan
tertentu dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang dituju serta
sifat-sifat Hindu itu sendiri. Demikianlah beberapa teori yang dikemukan oleh
para ahli tentang bagaimana pengaruh Hindu masuk ke Indonesia pada
zamannya.
Uji Kompetensi:
1. Setelah anda membaca tentang teks teori-teori masuknya agama
Hindu ke Indonesia, apakah yang sudah anda ketahui terkait
dengan keberadaan agama Hindu di tanah air? Jelaskan dan
tuliskanlah!
2. Buatlah ringkasan materi yang berhubungan dengan penerapan
teori-teori masuknya agama Hindu ke Indonesia, guna
mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, dari
berbagai sumber media pendidikan dan sosial yang anda ketahui!
Tuliskan dan laksanakanlah sesuai dengan petunjuk dari bapak/
ibu guru yang mengajar di kelasmu!
C. Bukti-Bukti Monumental Peninggalan Prasejarah
dan Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Dunia
Perenungan.
”Etadà khyà namà yuûyaý
paþhan rà mà yaóaý naraá,
saputrapautraá sagaóaá
pretya svage mahiyate.
Terjemahan:
‘Seseorang yang membaca cerita Rà mà yaóa ini akan memperoleh umur
panjang dan setelah meninggal akan memperoleh kebahagiaan di sorga
bersama putra-putranya, cucu-cucunya, dan pengikutnya (Úrimadvà lmikiya
Rà mà yaóa I.1).
Zaman Prasejarah tidak meninggalkan bukti-bukti berupa tulisan. Zaman
prasejarah hanya meninggalkan benda-benda atau alat-alat hasil kebudayaan
manusia. Peninggalan seperti itu disebut dengan artefak. Artefak dari zaman
prasejarah terbuat dari batu (zaman batu atau teknologi zaman batu) tanah liat
dan perunggu. Berikut ini peninggalan zaman prasejarah di Indonesia;
3. Apakah yang anda ketahui tentang teori-teori masuknya agama
Hindu ke Indonesia? Jelaskanlah!
4. Bagaimana cara-mu untuk mengetahui teori-teori masuknya agama
Hindu ke Indonesia? Jelaskan dan tuliskanlah pengalamannya!
5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari
mengetahui teori-teori masuknya agama Hindu ke Indonesia?
Tuliskanlah pengalaman anda!
6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan teori-teori
masuknya agama Hindu ke sekitar wilayah lingkungan-mu,
buatlah catatan seperlunya dan diskusikanlah dengan orang
tuanya! Apakah yang terjadi? Buatlah narasinya 1–3 halaman
diketik dengan huruf Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm,
ukuran kertas kwarto; 4-3-3-4!
1
1. Kapak genggam
Kapak gemgam juga disebut dengan nama kapak
perimbas. Alat ini berupa batu yang dibentuk
menjadi semacam kapak. Teknik pembuatannya
masih kasar, bagian tajam hanya pada satu sisi.
Alat tersebut belum bertangkai, dan digunakan
dengan cara digenggam. Daerah atau tempat
ditemukannya benda prasejarah ini adalah di
wilayah Indonesia, antara lain di; Lahat Sumsel,
Kalianda Lampung, Awangbangkal Kalsel,
Cabbenge Sulsel dan Trunyan Bali. Gambar:
2.16 ini adalah hasil temuannya.
2. Alat serpih.
Alat serpih adalah merupakan batu pecahan
sisa dari pembuatan kapak genggam yang
dibentuk menjadi tajam. Alat tersebut berfungsi
sebagai serut, gurdi, penusuk dan pisau. Daerah
atau tempat ditemukannya benda-benda pra-
sejarah ini adalah; di daerah Punung, Sangiran,
dan Ngandong (lembah Sungai Bengawan
Solo); Gombong Jateng; lahat; Cabbenge;
dan Mengeruda Flores NTT. Gambar: 2.17 ini
adalah hasil temuannya.
3. Sumatralith.
Sumatralith nama lainnya adalah Kapak
genggam Sumatera. Teknik atau cara
pembuatannya adalah lebih halus dari kapak
perimbas. Bagian tajam sudah ada pada di kedua
sisi. Cara menggunakannya masih digenggam.
Daerah tempat ditemukannya benda prasejarah
ini adalah bertempat di daerah Lhokseumawe
Aceh dan Binjai Sumut. Gambar: 2.18 ini
adalah hasil temuannya;
4. Beliung persegi
Beliung persegi adalah merupakan alat alat-
alat penemuan zaman prasejarah dengan
permukaan memanjang dan berbentuk persegi
empat. Seluruh permukaan alat tersebut telah
digosok halus. Sisi pangkal diikat pada tangkai,
sisi depan diasah sampai tajam. Beliung persegi
berukuran besar berfungsi sebagai cangkul.
Sedangkan yang berukuran kecil berfungsi
sebagai alat pengukir rumah atau pahat.
Daerah tempat ditemukan benda prasejarah ini
adalah di beberapa daerah Indonesia, seperti;
Sumatera, Jawa, Bali, Lombok dan Sulawesi.
Gambar: 2.19 ini adalah hasil temuannya;
5. Kapak Lonjong
Kapak Lonjong adalah merupakan alat
penemuan zaman prasejarah yang berbentuk
lonjong. Seluruh permukaan alat tersebut telah
digosok halus. Sisi pangkal agak runcing dan
diikat pada tangkai. Sisi depan lebih melebar
dan diasah sampai tajam. Alat ini dapat
digunakan untuk memotong kayu dan berburu.
Daerah ditemukan benda ini adalah di wilayah
Negara Kesatuan Republi Indonesia (NKRI)
seperti di; Sulawesi, Flores, Tanimbar, Maluku
dan Papua. Gambar: 2.20 ini adalah hasil
temuannya;
6. Mata panah
Mata panah adalah merupakan bendan prasejarah
berupa alat berburu yang sangat urgent. Sealin
untuk berburu, mata panah digunakan untuk
menangkap ikan, mata panah dibuat bergerigi.
Selain terbuat dari batu, mata panah juga terbuat
dari tulang. Daerah ditemukan benda prasejarah
adalah di; Gua Lawa, Gua Gede, Gua Petpuruh
(Jatim), Gua Cakondo, Gua Tomatoa Kacicang,
Gua Saripa (Sulsel).
7. Alat dari tanah liat
Alat dari tanah liat adalah peralatan zaman
prasejarah yang dibuat dari tanah liat. Benda-
benda tersebut antara lain; Gerabah, alat
ini dibuat secara sederhana, tapi pada masa
perundagian alat tersebut dibuat dengan teknik
yang lebih maju. Gambar: 2.22 ini adalah hasil
temuannya;
8. Bangunan megalitik
Bangunan megalitik adalah bangunan-
bangunan yang terbuat dari batu besar didirikan
untuk keperluan kepercayaan. Bentuk bangunan
ini biasanya tidak terlalu halus, hanya diratakan
secara sederhana untuk dapat dipergunakan
seperlunya. Adapun hasil-hasil terpenting dari
kebudayaan megalitik antara lain: Menhir,
Dolmen, Sarkopagus (kranda), Batu kubur,
dan Funden berundak-undak. Gambar: 2.23 ini
adalah hasil temuannya berupa kubur batu ;
9. Nekara dari perunggu
Nekara adalah semacam berumbung dari
perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya
dan sisi atasnya tertutup. Diantara nekara-
nekara yang ditemukan di negeri kita, sangat
sedikit yang masih utuh, kebanyakan
diantaranya sudah rusak dan yang tertinggal
hanya berupa pecahan-pecahan sangat kecil.
Adapun tempat ditemukannya Nekara perunggu
di negara kita antara lain seperti di; Sumatra,
Jawa, Bali, Pulau Sangean dekat Sumbawa,
Rote, Leti, Selayar dan Kepulauan Kei. Di Alor
juga terdapat Nekara, namun bentuknya lebih
kecil dan ramping, dibandingkan dengan nekara
yang terdapat di daerah lainnya. Gambar: 2.24 ini adalah hasil temuannya.
Peninggalan Sejarah Hindu di Indonesia. Sejarah menyatakan bahwa
”Maha Rsi Agastya” yang menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia.
Data ini ditemukan sebagai bukti yang terdapat pada beberapa prasasti
di pulau Jawa dan lontar-lontar di pulau Bali. Menurut data peninggalan
Gambar 2.25 Arca Maha Rsi
Agastya
sejarah tersebut dinyatakan bahwa Rsi Agastya
menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia
melalui Sungai Gangga, Yamuna, India Selatan
dan India Belakang. Karena begitu besar jasa-
jasa Rsi Agastya dalam penyebaran ajaran Agama
Hindu, maka namanya disucikan di dalam prasasti,
antara lain; Prasasti Dinoyo yang berada di Jawa
Timur dan bertahun Saka 682, dimana seorang
patih raja yang bernama Gaja Yana membuatkan
pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud untuk
memohon kekuatan suci dari beliau (Rsi Agastya).
Dan Prasasti Porong di Jawa Tengah bertahun Saka
785, juga menyebutkan keagungan serta kemuliaan
jasa-jasa Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi
Agastya, maka terdapat istilah atau julukan yang
diberikan untuk beliau, diantaranya Agastya Yatra
yang artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam