Rabu, 09 Juli 2025

masa lalu banten. 7

 



ngan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak dihuni,

sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya

sehingga angka kematian anak tinggi sekali. Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan

do'a.

Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat

Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), ─ yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter

melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih,

Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu

gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.

Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak

luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan

keagamaan. Meski pun kehidupan sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahunkemudian, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan.

Sementara itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru,

sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi.

Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran,

semakin menambah penderitaan rakyat.

Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung rakyat Banten,

setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f. 125.000,- Pada

tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri dinaikkan,

sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar jumlahnya dari jumlah

pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk turun ± 100.000

(Kartodirdjo, 1988:55). Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada

penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, pajak perdagangan,

pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa ─ yang besarnya

kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak mengenal

keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut ─

menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada

penjajah.

Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke

klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat dari

pada mohon pertolongan Allah. Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon

kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana

dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon itu.

Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan

meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi

penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak

diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan

satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha mencegah.

Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada

malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan

pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan

melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden

(Hamka, 1982:144). Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini,

menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan

pengikutnya.

Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara langgar

(musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels.Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan

setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat" kerena

kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen

menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya

supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras,

karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem

ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial

Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak

tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata.

2. Jalannya "Pemberontakan"

Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju "pemberontakan" di

Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:

1)

4 Pebruari ─ 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki di Tanara dihadiri

oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang; yang kedua di Terate di rumah H. Asngari

dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya

di rumah H. Iskak di Saneja.

2)

Maret ─ April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di rumah H.M. Sadeli di

Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di Tanara, akhirnya kembali pertemuan di rumah

K.H. Wasid.

3)

23 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H. Marjuki, H. Wasid dan H.

Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat

persenjataan, pembagian tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara lain

pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri tarekat Kadiriyah; peringatan

tersebut antara lain ditandai dengan kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day

pemberontakan pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9 Juli

1888.

Koinsidensi sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain (1) akhir Juni berlangsung

perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra bupati Pandeglang dan putri bupati Serang, di

mana banyak hadir para pejabat, (2) awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai

bawahan Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer, (3) adanya desas-desus

munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di kalangan penduduk, (4) dalam waktumunculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di kalangan penduduk, (4) dalam waktu

dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara, (5) beredarnya

desas-desus larangan berdo'a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta perkawinan dan

khitanan.

Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk persiapan

terakhir/pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan.

Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa'id dari Jaha, Haji

Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari

Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji

Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen

(penghulu di Cilegon).

Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu

kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak,

memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin

bertemu dengan para kiyai yang hadir. Maka setelah lewat tengah malam

para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan

kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir pula Haji

Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung,

dan Haji Akhmad, penghulu Tanara.

Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam

pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai

pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk

mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari

sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal

sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan

dengan murid-muridnya yang lain. Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid ─

di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari

Arjawinangun dan Gulacir ─ yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara

Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim

dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir

pemberontakan.

Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad

Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara,

Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji

Abdulgani ke Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di

Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang dariAnyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di Cilegon.

Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di

rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan

sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang

Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan murid￾murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil

membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang bergerak dari

Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ─ yang

kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan.

Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari

Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat

pemerintah kolonial. Pada hari Senin malam tanggal 9

Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail

dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari

arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid,

Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji

Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara. Dengan

memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di

Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama

dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk

membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji

Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu

kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail

dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen.

Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang

Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo, 1984:301-

303).

Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat

dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan

Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan

Ulric Bachet, kepala penjualan garam ─ semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi

rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos

dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu. Tokoh fenomenal yang menjadi salah

seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA.

Djajadiningrat "tempat kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah atau di

dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain" (1936:55), sehingga

ia termasuk "orang yang tidak berdosa" (1936:56)[4].

Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, dibeberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak,

Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji

Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan

Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang,

Kaloran dan Keganteran.

Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan

"pemberontak". Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke

Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang

serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran

hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik,

sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan.

Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung,

sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji

Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji

Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke

Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang

ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua

pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.

Kejadian "Geger Cilegon" itu mempunyai arti penting dalam sejarah

pergerakan nasional, karena setelah kejadian itu Belanda

menginstruksikan supaya semua peraturan-peraturan yang akan

dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat

jajahan. Walau pun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan

secara fisik, namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa

ketidakpuasan dan kebencian seluruh rakyat terhadap penjajah. Rakyat

kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan

aspirasinya sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam

bentuk pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada

pemimpin kharismatik yakni para kiyai dan ulama. Dalam tahun-tahun

berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini cukup

mendalam di kedua belah pihak.

Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja

yang menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah juga menaruh

kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat

militan itu.Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga kaitannya dengan

politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di samping mereka terlalu meng-eksploitir

tanah jajahan tanpa dibatasi rasa kemanusiaan, juga pemerintah kolonial "merambah" dalam

kehidupan keagamaan

masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam kehidupan

manusia.

Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama pengembaraan orang-orang

Eropa, di samping untuk mencari keuntungan perdagangan juga

dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada orang-orang yang

beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi Portugis

harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib. VOC, sebagai

perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas

penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada

penduduk di Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat

juga pada abad ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan

pelaksanaan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda. Partai-partai di

parlemen Belanda dapat dikelompokkan kepada partai agama dan non

agama. Kedua golongan ini saling berebut mempengaruhi semua

keputusan parlemen, yang selanjutnya dilaksanakan pemerintah Belanda.

Pada dasawarsa terakhir abad ke-19

kelompok non agama memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun

pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada kelompok agama.

Dengan keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung

sebanyak mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi

swasta. Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas

sejalan dengan “politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi organisasi

zending Kristen mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk

sedikit demi sedikit melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih

kepada agama Kristen.

Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah menghadapi

pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan mengkristenkan sebanyak mungkin

penduduk di Nusantara maka pemberontakan akan semakin berkurang. Karena itulah "zending

Kristen harus dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial

dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang"

(Suminto, 1985:18). Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila

bangsa Indonesiaini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan

penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi

pemerintahan Belanda.

Tetapi dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran agama Kristen yang

menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat Indonesia

> makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga orang

Indonesia

> dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai "setan", "kapir

landa" ─ sebutan yang di samping menggambarkan kebencian

mendalam juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan

kaum muslimin. Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang

mengirimkan anaknya untuk belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah

Jawa/Melayu yang didirikan Belanda, sering dituduh menyuruh anak￾anaknya masuk agama Kristen.

Maka tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji

mengeluarkan fatwa bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah

haram, atau sekurang-kurangnya menyalahi Islam. Bahkan beredar fatwa

yang menyatakan bahwa berpakaian ala Eropa ─ lebih-lebih memakai

dasi, celana

pantalon dan topi ala Eropa ─ dihukumi haram, dan pemakainya

dikatakan kafir. Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja

menjadi pegawai di kantor pemerintah Belanda, misalnya sebagai

pamongpraja, masyarakat mencemooh mereka sebagai "anjing belanda".

Keyakinan yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa penduduk asli

Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa pemerintahan Hindia Belanda

sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan

mengangkat pejabat pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah

Belanda). Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja ini, pemerintah

kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal dari Priyangan, seperti dari Bogor

> dan Bandung.

Hal demikian sering menimbulkan konflik tertentu yang salingmencurigai satu sama lain; yang pada hakekatnya berawal mungkin dari

perasaan irihati para pamongpraja asli daerah Banten terhadap para

pamongpraja pendatang.

Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan

banyaknya pegawai asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika

pasukan Jepang keluar dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa

sampai pasca kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan

rakyat Banten bukan orang yang mempunyai pemahaman mendalam

tentang keislaman, bahkan mungkin bukan termasuk orang yang taat

menjalankan agamanya, namun dalam hal rasa sentimen keagamaan

mereka cukup tinggi.

C. GERAKAN POLITIK

MENENTANG PENJAJAH

Pada akhir abad ke-19 permulaan abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan

"malaise"?. Sekali pun telah mengeruk kekayaan alam Indonesia

> melalui peraturan tanam paksa, tetapi masih diperlukan banyak uang

untuk membiayai peperangan menumpas pemberontakan yang terjadi

silih berganti di seluruh nusantara, terutama perang Aceh (1876 - 1904).

Dalam usaha mengakiri keadaan tidak menentu ini pemerintah penjajah melakukan dua macam

tindakan:

1.

Para sultan/raja (kecuali Solo dan Yogya) dipaksa untuk menandatangani korte verklaring dengan

maksud agar penguasa-penguasa daerah mau mengakui kekuasaan pemerintah penjajah Belanda.

2.

Rakyat Indonesia dibuat tenang dengan cara menjalankan “politik etika”, yaitu suatu

kebijaksanaan berkedok "memperhatikan dan memajukan rakyat". Cara yang

digunakan adalah membuka lebih banyak sekolah-sekolah rendah,

mendirikan rumah-rumah sakit serta membuat jalan-jalan kereta api, dan

sebagainya.Pada awal awad ke-20, terjadi perang antara Jepang dengan Rusia (1904 - 1905) yang akhirnya

dimenangkan oleh pasukan Jepang. Peristiwa penting ini memberi dorongan semangat bangsa

Asia, khususnya Indonesia

>, untuk bangkit

merebut kembali kemerdekaannya dari para penjajah Eropa. Para

pemimpin pergerakan perjuangan rakyat, yang tadinya hanya bersifat

lokal kedaerahan, mulai mengadakan koordinasi dalam kesamaan cita￾cita untuk memerdekakan diri secara nasional.

Pada tanggal 20 Mei 1908 berdirilah Budi Utomo, perkumpulan pelajar sekolah dokter pribumi

STOVIA di Jakarta oleh Wahidin Sudirohusodo, Satiman Wiryosanjoyo, dan lain-lain. Walaupun

anggota dan cita-cita perkumpulan ini masih bersifat kedaerahan, Jawa dan Madura saja, namun

berdirinya Budi Utomo merupakan tonggak sejarah pergerakan nasional menuju kemerdekaan

Indonesia

>.

Pelajar-pelajar dari daerah pun kemudian membentuk perkumpulan

kedaerahan, seperti: Jong Java, Jong Sumantranen Bond, Jong Celebes,

Jong Ambon, Jong Timor, Sekar Rukun, dan sebagainya.

Pada tanggal 11 Nopember 1912, sudah lahir di Solo satu organisasi yang bersifat "gerakan",

yaitu Sarikat Dagang Islam (SDI) di bawah pimpinan

Haji Samanhudi[5]. Kebangkitan itu timbul karena sebagian pengusaha pribumi merasa

"dianaktirikan" oleh pemerintah penjajah Belanda dalam menghadapi pengusaha non-pribumi

(baca: orang Cina) yang mendapat dorongan bantuan pemerintah kolonial. Gerakan ini mendapat

sambutan rakyat banyak, sehingga oleh pihak penjajah dilokalisir jangan sampai merembes ke

kota lain. Gerakan inilah yang menjelma menjadi satu partai politik dengan nama Sarikat Islam

(SI), yang dengan cepat berkembang ke seluruh pulau Jawa.

Anggota SI tidak terbatas hanya pedagang, tetapi semua orang Islam

yang setuju dengan dasar dan tujuan organisasi. Tokoh-tokohnya antara

lain H.O.S. Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Suryopranoto, dan lain￾lain.

Pada tahun 1912 berdirilah Muhammadiyah di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan, suatu

organisasi sosial pertama yang bersendikan keagamaan. Amal usaha Muhammadiyah ini antara

lain mendirikan

sekolah-sekolah, rumah sakit yang dalam waktu singkat berkembang kesekolah-sekolah, rumah sakit yang dalam waktu singkat berkembang ke

seluruh tanah air. Organisasi ini, di samping untuk memajukan

kecerdasan dan kesejahteraan ummat, juga sebagai antisipasi kristenisasi

yang dibawa penjajah Belanda. Setelah itu tumbuh organisasi keagamaan

lainnya seperti NU, Perti, Persis, dan lain-lain.

Sekedar untuk memenuhi permintaan beberapa organisasi politik itu, pemerintah Hindia Belanda

mendirikan Dewan Rakyat (Volksraad) semacam parlemen pada tahun 1917. Walaupun

Volksraad ini belum merupakan Parlemen yang sebenarnya, bahkan dianggap sebagai

"sandiwara", namun

banyak manfaatnya; antara lain mendidik putra-putra Indonesia menjadi

lebih pandai berpolitik, seperti dr. Tjipto Mangunkusumo, Mohamad

Husni Thamrin dan sebagainya yang ditunjuk sebagai anggota.

H.F.J.M.

Sneevliet, seorang sosialis radikal berkebangsaan Belanda, datang ke

Indonesia

> pada tahun 1913. Bersama dengan J.A.Brandsteder, H.W. Dekker, P.

Bergsma dan A. Baars, pada bulan Mei 1914, ia mendirikan Indishce

Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV) sebagai organisasi

berhaluan Marxis pertama di Asia Tenggara. Sneevliet sangat tertarik

dengan Serikat Islam (SI) ─ yang pada waktu itu telah mempunyai

anggota lebih dari 1,5 juta yang tersebar sampai ke peloksok-peloksok ─

dan berusaha menginfiltrasinya. Ia berhasil menarik Semaun dan

Darsono, yang keduanya adalah ketua dan sekretaris SI cabang

Semarang, dan kemudian Tan Malaka, sebagai kader komunis pertama.

Akibat infiltrasi komunis ini maka dalam tubuh Serikat Islam terjadi

keretakan di antara pengurus dan anggotanya (Soerojo, 1988:34). Pada

tanggal 23 Mei 1920, nama ISDV diubah menjadi PKI (Perserikatan

Komunis Indie) dengan Semaun sebagai ketua dan Darsono sebagai

wakil ketua, yang

saat itu keduanya masih menjabat sebagai ketua dan sekretaris di Sarikat

Islam cabang Semarang.

Pada tanggal 24 Desember 1920 setelah PKI diakui sebagai anggota

Komunis Internasional (Komintern), nama Persarikatan diganti dengan

Partai Komunis Indonesia> (PKI). Dalam kongres Komintern ini Tan Malaka diangkat sebagai

Wakil Komintern untuk Asia Tenggara dan Australia yang

berkedudukan di Manila.

Karena adanya infiltrasi komunis itu maka Sarikat Islam pun terpecah

dua.

Semaun, Darsono, Tan Malaka, Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo

memisahkan diri membentuk Sarikat Islam (Merah) yang kemudian

menjadi Sarikat Rakyat (SR), organisasi bagian di bawah PKI.

Sedangkan yang tetap di Sarikat Islam (Putih) adalah H.O.S.

Tjokroaminoto, H.A. Salim dan H. Abdul Muis; yang pada tahun 1923

membentuk Partai Sarikat Islam (PSI) dan tahun 1930 bernama Partai

Sarikat Islam Indonesia (PSII) (Soerojo, 1988: 40 dan Panitia, 1985: 33).

Di daerah Banten, yang dikenal dengan "fanatik" kepada ajaran Islam dengan cepat Sarikat Islam

(SI) mendapat sambutan baik. Hampir semua ulama di Banten bergabung dalam persyarikatan.

Tapi bagi ulama/rakyat Banten, yang memang bertemperamen keras dan radikal dalam

menghadapi penjajah, kepemimpinan Sarikat Islam itu dianggap "kurang berani". Rakyat Banten

menghendaki kepemimpinan yang lebih "tegas"; kebencian

yang mendalam kepada pemerintah kolonial Belanda mendorong

semangat keradikalan ulama. Keadaan demikian dimanfaatkan oleh PKI

melalui cara infiltrasi keanggotaan ganda untuk mengajak para ulama itu

bergabung dengan PKI. "Kelihaian permainan politik" PKI itu membuat

demikian

banyak tokoh-tokoh agama di daerah Banten, yang di samping sebagai

tokoh Sarikat Islam juga menjadi pengurus organisasi PKI. Misalnya

K.H. Asnawi Caringin, di samping sebagai Ketua SI Cabang Caringin

juga menjadi Ketua PKI cabang Caringin? ─ setelah tokoh ini meninggal

dunia, jabatan rangkap organisasi di "serahkan" kepada mantunya, K.H.

Ahmad

Chatib.

Para pemimpin PKI menjadi semakin radikal. Alimin dan Muso merencanakan menggerakkan

kaum buruh untuk mengadakan pemogokan di seluruh Jawa dan pemberontakan bersenjata di

Jawa dan Sumatra.

Untuk melaporkan rencana pemberontakan itu kepada Stalin, ketua

Komintern, pada bulan Maret 1926 Alimin dan Muso berangkat keMoskow. Rencana PKI ini sebenarnya tidak mendapat restu Stalin dan

Tan Malaka, karena dianggapnya kekuatan PKI belum memungkinkan;

Alimin dan Muso diperintahkan untuk segera menyetopnya. Tetapi

sepulangnya dari Moskow, Alimin ditangkap pemerintah Inggris di

Singapura dan dilarang masuk ke Indonesia, karenanya ia pergi ke Cina,

sehingga berita tersebut tidak sampai diterima di tanah air.

Dalam pada itu di Indonesia, persiapan pemberontakan PKI ini terus berjalan. Markas Besar

partai telah dipindahkan dari Batavia ke Bandung

>. Tanggal 13 Nopember 1926, pukul

12 malam, pasukan bersenjata mulai mengadakan pemberontakan,

dengan merebut kantor telepon dan telegrap di Batavia.

Demikian juga di Banten, rel kereta api dibongkar dan jalan-jalan

dibarikade; serentak pula di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur

terjadi pemberontakan. Karena kurangnya persiapan matang, dengan

mudah revolusi komunis ini dapat dihancurkan Belanda. Sehingga di

antara pemberontak ini 9

orang digantung, 1300 dipenjarakan, 5000 dilepas kembali, 5000 lainnya

diberi hukuman ringan dan 823 orang dibuang ke Tanah Merah, Digul

(Soerojo, 1988:35).

Dalam pemberontakan komunis 1926 - 1927 ini, banyak terdapat orang-orang Islam dan bahkan

ulama dan kiyai yang ikut terlibat di dalamnya. Sehingga banyak ulama dari Banten ─

kebanyakan anggota Sarikat Islam ─

ditangkap dan dibuang ke Digul[6]. Karena pemberontakan itu, Partai Komunis

Indonesia dibubarkan. Beberapa pemimpinnya seperti Tan Malaka, Semaun, Alimin melarikan

diri ke luar negeri. Tan Malaka sendiri, karena merasa dikhianati Alimin, akhirnya mendirikan

Partai Republik Indonesia (PARI).

Pergerakan kebangsaan kaum terpelajar di Indonesia

> semakin marak.

Beberapa perserikatan kemudian menjadi partai politik yang memiliki

cita-cita kebangsaan menuju kesatuan Indonesia

>. Pada tanggal 4 Juli1927, lahirlah Partai Nasional Indonesia (PNI) atas prakarsa Ir. Sukarno,

dibantu oleh Mr. Sartono, Mr. Iskak hadisurja, Ir. Anwari, dan lain-lain.

Untuk menyatukan pandangan dan langkah dari beberapa partai yang

banyak haluan itu, Ir. Sukarno berhasil membentuk suatu federasi yang

dinamakan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia

(PPPKI), yang terdiri dari PNI, PSI, Budi Utomo, Kaum Betawi, Sarekat

Sumatra, Sarekat Sunda, dan sebagainya; dengan Ir. Sukarno sebagai

ketuanya.

Dalam pada itu, pada tanggal 7 Pebruari 1927 perkumpulan-perkumpulan pelajar seperti Jong

Java, Jong Sumantranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Timor, Sekar Rukun, Tirtayasa,

dan lain-lain sepakat mengadakan fusi, menjadi satu wadah pemuda Indonesia. Dalam Kongres

Pemuda Indonesia ke-2

yang diadakan pada tanggal 26 - 28 Oktober 1928 di Jakarta dicetuskan

Sumpah Pemuda dimana diikrarkan satu bangsa, satu bahasa, dan satu

tanah air; Lagu Indonesia Raya untuk pertama kali diperdengarkan oleh

Wage Rudolf Supratman. Sedangkan bendera merah putih belum dapat

dipasang, karena dilarang pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian

terbentuklah embrio nasionalis Indonesia.

Sejak saat itu perjuangan pemuda diteruskan dengan kegiatan politik.

Pengaruh semangat Sumpah Pemuda membawa perkumpulan￾perkumpulan pemuda tersebut pada tanggal 31 Desember 1930 melebur

diri menjadi Indonesia Muda (IM).

Partai Sarikat Islam berganti nama menjadi Partai Sarikat Islam

Indonesia

>.

Budi Utomo dan Sarikat Madura bersatu menjadi Partai Bangsa

Indonesia

> yang kemudian menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra).

Timbulnya beberapa partai politik, yang diantaranya berhaluan non-kooperatif, membuat

khawatir pemerintah Hindia Belanda. Dikeluarkanlah pasal tambahan pada Buku Hukum Pidana

(Wetboek van Strafrecht) dengan pasal 153, yang memberi hak kepada pemerintah Belanda

menangkap dan menghukum mereka yang dianggap berbahaya terhadap ketertiban danketentraman umum. Pasal ini dapat ditafsirkan seluas-luasnya. Dengan pasal ini beberapa

pimpinan partai yang tidak "disenangi" pemerintah kolonial langsung ditangkap. Drs.

Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir diasingkan ke Digul, sedangkan Ir.

Sukarno diasingkan ke Endeh, Flores. PNI pun

dilarang karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Bulan Mei 1931, Mr. Sartono mendirikan Partai Indonesia

> (Partindo) dan pada

bulan Desember 1931, di Yogyakarta, Drs. Moh. Hatta dan Sutan

Syahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru). Partindo

bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka dengan memperluas hak￾hak berpolitik, memperbaiki ekonomi rakyat, serta berkeyakinan bahwa

perjuangan kemerdekaan hanya dapat dicapai dengan persatuan seluruh

kekuatan rakyat Indonesia

>. Berdasar keyakinan

itu, para pemimpin rakyat merencanakan untuk menyelenggarakan

Kongres Indonesia Raya pada tanggal 20 Mei 1933. Di saat itu

rencananya akan diadakan aksi serentak di seluruh Indonesia

>, sambil memperingati

ulang tahun Budi Utomo ke-25. Tapi karena tidak diizinkan oleh Residen

Sala, maka acara besar ini pun tidak dapat dilaksanakan.

Karena terbukti bahwa PPPKI tidak dapat mempersatukan partai-partai, maka PPPKI dibubarkan.

Pada tahun 1939 partai-partai politik ini bergabung lagi dalam Gabungan Politik Indonesia

(Gapi), dengan pimpinan antara lain: Mohamad Husni Thamrin, Abikusno, dan Amir

Syarifuddin. Pada tahun itu pula Gapi mengadakan Kongres Rakyat Indonesia

> yang dihadiri oleh 90 perkumpulan politik dan serikat kerja dan badan￾badan sosial. Dalam kongres itu dibicarakan tentang “Indonesia

Berparlemen”, artinya supaya pemerintah Hindia Belanda mendirikan

Dewan Perwakilan Rakyat yang bertanggung jawab bagi bangsa

Indonesia

>. Dalam kongres inipun Merah Putih diterima sebagai bendera kebangsaan, Indonesia Raya

sebagai lagu kebangsaan dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan

(Darmodirdjo., 1982: 29)

Karena cita-cita mendirikan pemerintahan sendiri tidak mungkin akan dipenuhi oleh Belanda,

atas usul Soetardjo Kartohadikoesoemo dan kawan-kawannya di Dewan Rakyat (Volksraad) pada

tahun 1937 memajukan “Petisi Sutarjo”.

Petisi ini minta Dominion Status kepada Indonesia

> dari pemerintah

Belanda. Usul ini pun ditolak, dengan alasan Indonesia

> belum masak

(Wirjosuparto, 1961:112). Barulah setelah Belanda mengalami tekanan

hebat dalam perang Pasifik dengan Jepang, pada tahun 1942 Wilhelmina,

Ratu Belanda, menjanjikan akan mengabulkan Petisi Sutarjo, apabila

rakyat Indonesia membantu Belanda dalam menghadapi serangan tentara

Jepang.

Tawaran ini ditolak oleh Ir. Sukarno dan pemimpin pergerakan lainnya.

D. MASA PENDUDUKAN TENTARA JEPANG DI INDONESIA

Salah satu faktor yang menarik dari Hindia Belanda (Indonesia

>) di mata Jepang

adalah minyak, khususnya dalam melancarkan perangnya di Asia

Pasifik;[7] oleh sebab itulah Jepang berusaha menguasai daerah ini. Pihak Belanda sudah

merasa curiga terhadap tuntutan Jepang untuk penambahan kuota eksport minyak dari Indonesia

> yang dianggap sebagai langkah awal untuk memperluas wilayah.

Apalagi Jepang juga terikat perjanjian dengan Jerman dan Itali, yang saat

itu telah melancarkan serangan di Eropa, termasuk penyerangan ke

negeri Belanda pada tanggal 10 Mei 1940. Kecurigaan ini bertambahnegeri Belanda pada tanggal 10 Mei 1940. Kecurigaan ini bertambah

setelah menyaksikan politik ekspansi Jepang, berupa pernyataan akan

dibentuknya “Lingkungan Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya”,?

yang meliputi Indochina, Thailand, Hindia Belanda, Selandia Baru,

Australia dengan Jepang, dengan China dan Manchukuo sebagai tulang

punggungnya (Williard, 1977:16).

Kecurigaan itu terbukti setelah secara tiba-tiba, pada tanggal 18 Desember 1941, Jepang

mengadakan pemboman terhadap Pearl Harbour, Hawaii, pangkalan Angkatan Laut Amerika

Serikat di Pasifik. Reaksi pemerintah Hindia Belanda terhadap pemboman itu adalah berupa

pernyataan perang terhadap Jepang; yang diumumkan oleh Gubernur Jendralnya, Tjarda van

Strarkenborg Stachouwer.

1. Masuknya Tentara Jepang di Indonesia

Awal tahun 1942, pasukan Jepang bergerak ke selatan dan menyerang beberapa wilayah Hindia

Belanda. Tarakan, Kalimantan Timur pada tanggal 10 Januari 1942 dapat dikuasai tentara Jepang

dengan mudah. Kemudian pada tanggal 20

Januari 1942 secara berturut-turut Jepang menduduki kota-kota di

Kalimantan, yaitu Pontianak, Martapura dan Banjarmasin. Dan pada

bulan Pebruari mereka pun telah menguasai kota Palembang

>. Dengan

jatuhnya daerah-daerah ini maka terbukalah Pulau Jawa bagi tentara

Jepang.

Setelah perang Pasifik berjalan tiga bulan, pada tanggal 1 Maret 1942

tentara Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura

telah berada di Teluk Banten yang kemudian mengadakan pendaratan di

dekat Merak dan di Bojonegara ─ tempat pendaratan lainnya: Eretan

Wetan

(Indramayu) dan Kranggan (Rembang) (Nasution, 1977:18).

Untuk menyerang Batavia,

pasukan Jepang, yang diperkirakan berjumlah 30.000 personil, dibagi

dalam dua kolone. Kolone pertama yang langsung dipimpin olehImamura, berangkat melalui arah Serang - Balaraja - Tangerang menuju

Batavia; sedangkan kolone kedua melalui arah Serang - Rangkasbitung -

Leuwiliang menuju Bogor.

Tanggal 5 Maret 1942, kolone pertama sampai ke Batavia yang dengan

leluasa dapat menguasai kota, karena sehari sebelumnya tentara Belanda

mundur menuju Bandung melalui Bogor dan Sukabumi; dan menyatakan

'Batavia kota terbuka untuk menerima kedatangan serdadu utusan

Tenno'. Pada hari yang sama kolone kedua telah memasuki kota Bogor

>, dan berhasil

mencerai-beraikan perlawanan Belanda (Pemda Jabar, 1972: 222).

Penyerahan kota Batavia ini diselenggarakan di lapangan gedung kantor Residen Batavia

>, pada awal Maret 1942 disaksikan

ribuan rakyat setempat (Malik, 1975:17). Dengan didudukinya Batavia

>, maka secara simbolis Hindia Belanda telah

jatuh ke tangan Jepang; tetapi secara formal, Jepang harus merebut

pemerintahan Hindia Belanda yang telah mengungsi ke Bandung

>. Tanggal 7 Maret 1942, tentara

Jepang telah berhasil mendesak pasukan KNIL (Koninklijks Nederlands

Indies Leger = tentara Hindia Belanda) yang ada di Lembang, Jawa

Barat, dan akhirnya, pada tanggal 8 Maret pemerintah Hindia Belanda

menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Perundingan penyerahan ini

dilangsungkan di Kalijati Jawa Barat, antara Letnan Jendral Immamura

dari pihak Jepang dengan Jendral Ter Poorten, panglima tentara Belanda

dan sekaligus panglima ABDACOM (American British Dutch Australian

Command). Dan sejak saat itu pemerintah Jepang mengambil alih

kekuasaan Hindia Belanda (Kartodirdjo, 1977:4 - 5).

Ada beberapa faktor yang mempermudah Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda, antara lain

Secara militer Jepang lebih unggul dalam jumlah personil maupun persenjataan. Sebagai perban￾dingan, kekuatan Hindia Belanda di pulau Jawa pada waktu itu seluruhnya berjumlah sekitar

40.000 orang (kurang lebih 4 devisi). Sedangkan kekuatan invasi Jepang ke pulau Jawa

seluruhnya terdiri kurang lebih 6 sampai 8 devisi (sekitar 100 sampai 120 ribu orang).

2)

Tidak ada dukungan dari penduduk bumi putra terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini

terutama ditunjukkan oleh kaum pergerakan yang sering dikecewakan oleh pemerintah Hindia

Belanda.

3)

Adanya kepercayaan sebagian masyarakat bumi putra kepada ramalan Joyoboyo, yang

menyatakan bahwa bangsa kulit kuning dari utara akan datang ke Nusantara dan akan berkuasa

seumur jagung; setelah itu Nusantara akan mengalami jaman keemasan yang diperintah oleh Ratu

Adil; sehingga masyarakat enggan membantu Belanda bahkan merasa gembira dan berharap

besar kepada kemerdekaan.

Khususnya karena percaya akan ramalan Joyoboyo tersebut, maka penduduk pulau Jawa,

termasuk penduduk Banten, menyambut kedatangan orang Jepang dengan gembira, dan dianggap

sebagai pembebasan dari penjajahan Belanda. Kekalahan Hindia Belanda tersebut menimbulkan

dua persepsi bagi para pemuda: pertama, martabat Belanda di mata rakyat menjadi turun, dan

kedua, menimbulkan kepercayaan akan kekuatan diri sendiri. Para pemuda ini yakin jika mereka

diberi senjata, akan mampu berbuat seperti Jepang (Kahin, 1970:102).

Semboyan "Asia untuk bangsa Asia", "Kemakmuran bersama di Asia Timur

Raya" betul-betul memikat hati, sehingga di antara pemimpin-pemimpin

Indonesia

> ada yang bersedia bekerja sama dengan Jepang. Mereka percaya

dengan propaganda Jepang yang mengadakan "perang suci" untuk

kejayaan Asia ─ di balik tujuan sebenarnya yaitu menguasai bahan￾bahan mentah, terutama minyak bumi yang banyak terdapat di Indonesia

>. Jepang juga berbuat

seolah-olah memperhatikan tuntutan bangsa Indonesia, seperti

pelarangan memakai bahasa Belanda dalam kegiatan sehari-hari, dan

digantikan perannya oleh bahasa Indonesia

>. Di sekolah-sekolah,

bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar, demikian juga dikantor pemerintahan. Nama-nama kota yang pada masa Belanda diberi

nama Belanda, diganti lagi dengan nama Indonesia

>; misalnya Batavia diubah kembali menjadi Jakarta.

Pe-ngibaran bendera merah-putih, sebagai lambang kemerdekaan

Indonesia

> pun pada awalnya tidak dilarang oleh tentara Jepang. Bahkan sebelum

tentara Jepang mendarat di Indonesia, lagu Indonesia Raya sering

dikumandangkan lewat Nihon Hosyo Kyoku (siaran radio Jepang).

Tindakan pemerintah Jepang menghargai tiga atribut kebangsaan

Indonesia itu sangat menggembirakan rakyat.

Segera setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia, dibentuklah suatu pemerintahan militer

yang bersifat sementara sesuai dengan Undang-undang No. 1/1942 yang dikeluarkan oleh

Panglima Tentara Keenambelas pada tanggal 7 Maret 1942.

Pada dasarnya, susunan pemerintahan masa pendudukan Jepang tetap

mempertahankan sistem lama. Pada masa penjajahan Belanda, sejak

tahun 1834, daerah kesultanan Banten dijadikan sebagai satu

karesidenan, meliputi kabupaten Serang, kabupaten Pandeglang dan

kabupaten Lebak. Jabatan mulai dari residen sampai dengan kontrolir

selalu dipegang orang Belanda; sedangkan jabatan mulai dari bupati ke

bawah barulah diserahkan kepada orang bumiputera. Penguasa tertinggi

di karesidenan (residentie) adalah residen yang dalam menjalankan tugas

sehari-hari dibantu oleh sekretaris residen, asisten residen, dan kontrolir.

Asisten residen dan kontrolir biasanya ditempatkan di setiap kabupaten

yang berfungsi sebagai pembantu residen dalam menangani masalah

pemerintahan di wilayah kabupaten.

Penguasa tertinggi di kabupaten adalah bupati, yang bertanggung jawab

langsung kepada residen. Dalam melaksanakan tugasnya, bupati dibantu

oleh patih, wedana, asisten wedana atau camat, dan lurah atau jaro.

Pada masa kekuasaan pemerintah Jepang, administrasi pemerintahan ini diadakan perubahan￾perubahan dengan beberapa undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah

Jepang disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di negara Jepang. Berdasarkan UU No. 27

tanggal 5 Agustus 1942 (tentang aturan pemerintahan daerah) dan UU No. 28 tanggal 7 Agustus

1942 (tentang aturan pemerintahan shu dan tokobetsusyi). Pulau Jawa, kecuali Surakarta> dan Jogjakarta,

dibagi atas daerah-daerah yang disebut: shu, shi, ken, gun, son, dan ku.

Shu adalah pemerintahan tertinggi yang berotonomi di bawah seorang

shucokan yang kedudukannya sama dengan karesidenan (residentie); shi

sama dengan stadsgemeente; ken sama dengan kabupaten

(regentschaap); gun sama dengan kawedanaan (district); son sama

dengan kecamatan (onder-district), dan ku sama dengan desa.

Untuk jabatan-jabatan di wilayah seperti shi, ken, gun, son, dan ku, masing-masing diangkat

sityoo, kentyoo, guntyoo, sontyoo, dan kutyoo.

Aturan pada jaman Hindia Belanda yang dulu berlaku untuk

stadsgemeente, kabupaten (regentshap), kawedanaan (district), dan

kecamatan (onder-district) serta desa; berlaku juga untuk shi, ken, gun,

son, dan ku; kecuali ada peraturan istimewa yang dikeluarkan

pemerintah pendudukan Jepang. Akan tetapi kekuasaan otonomi yang

dahulu diberikan mulai dari bupati sampai ke lurah dalam menangani

urusan pemerintahan, kecuali untuk tingkat ken dan shi, ditarik menjadi

wewenang sityoo; dengan demikian semua otonomi yang ada pada

tingkat residentie dihapuskan. Segala kekuasaan yang dahulu di tangan

Gubernur Jenderal kini dipegang oleh Panglima Tentara Jepang (Saiko

Shikikan), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Kepala

Pemerintahan (Gunseikan).

Begitu pula pemerintahan di daerah-daerah dipegang oleh tentara Jepang

(Surianingrat, 1981: 72-75).

Pada tanggal 29 April 1942, bersamaan dengan pengangkatan wakil gubernur dan pembantu

wakil gubernur Jawa Barat, R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat diangkat sebagai residen

Banten (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984: 8). Wilayah karesidenan Banten ─- di

bawah koordinator Gunseibu Jawa Barat ─ meliputi 4 ken, yaitu: Serang, Pandeglang, Lebak dan

Tangerang. Karena koondisi geografis ─ sebagai daerah ujung barat pulau Jawa, keletakan

Banten merupakan pintu masuk yang sangat strategis ─

serta atas dasar pertimbangan ideologi, politik, sosial ekonomi dan

strategi militer, Banten dijadikan benteng pertahanan wilayah

pendudukan Jepang di pulau Jawa bagian barat. Basis-basis pertahanan

yang terpenting dengan kesatuan tempur cukup besar ditempatkan di

Pulau Sangiang, sebagai pangkalan Angkatan Laut (Kaigun) di Selat

Sunda, dengan markas komando di Anyer; kekuatan Angkatan Udara(Kidobutai) di Gorda, menghadap ke pantai Laut Jawa; kesatuan

Angkatan Darat (Rikugun) di tempatkan di Sajira (Rangkasbitung). Di

Serang ditempatkan satu Sub Detasemen Kempetai (Polisi Militer),

untuk meliputi seluruh daeran Banten. Dengan dalih untuk memulihkan

ketertiban dan keamanan umum, ─

di balik tujuan Jepang untuk mengontrol dan memperkuat kedudukannya

di Indonesia, dikeluarkan Undang-Undang No. 3 tanggal 30 Maret 1942

dan Undang-undang No. 23 tanggal 15 Juli 1942. Undang-undang yang

disebutkan pertama adalah larangan untuk berkumpul lebih dari 2 orang

dan larangan mendengarkan siaran radio asing. Sedangkan Undang￾undang kedua mengenai peraturan pembubaran semua organisasi sosial

politik yang ada ─

kecuali NO (Nahdatul Oelama) dan MIAI (Majlis Islam 'Ala Indonesia)

(Adam Malik, 1975: 18).

Setelah kehidupan organisasi sosial-politik bangsa Indonesia dimatikan dengan diberlakukannya

peraturan-peraturan yang disebutkan di atas, pemerintah pendudukan Jepang membentuk

organisasi baru yang merupakan organisasi propaganda perang Jepang, yaitu: “Gerakan Tiga-A”

dengan slogannya: ‘Nipon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia dan Nippon cahaya Asia

>.’

Organisasi ini dibentuk pada tanggal 29 April 1942 ─ dengan Mr. Samsudin

ditunjuk sebagai ketuanya. Tapi baru berusia delapan bulan organisasi

ini dibubarkan kembali, karena dianggap gagal dalam missinya oleh

pemerintah Jepang, yaitu menarik simpati rakyat Indonesia

>. Salah satu sebab

kegagalan organisasi ini karena pemimpin yang dipilih bukanlah tokoh

nasional yang populer di mata rakyat. Di samping itu kalangan militer

Jepang sendiri nampaknya merasa khawatir kalau-kalau organisasi ini

dipakai oleh golongan nasionalis untuk menyebarkan ide-ide

kemerdekaan (Berita Oemoem, 2 April 1943; dan Kahin, 1970: 103-

104).

Sebagai gantinya pemerintah Jepang membentuk Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) pada tanggal 9

Maret 1943 dimana para pemimpinnya diambil dari tokoh-tokoh nasional yang populer dan

berpengaruh di kalangan rakyat Indonesia, antara lain Ir.Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan K. H. Mas Mansur;

yang keempatnya dikenal sebagai “Empat

Serangkai”. Dengan menempatkan orang-orang tersebut sebagai

pimpinan Poetera, Jepang berharap dapat menggunakan pengaruh

mereka untuk mengerahkan potensi rakyat guna memenangkan perang di

Asia Pasifik; karena diperhitungkan, perang dengan pasukan sekutu akan

segera mendekati Pulau Jawa (Kahin, 1970:106). Tapi tidak lama

kemudian, Poetera pun bubarkan dan digantikan dengan Jawa

Hookookai (Gerakan Kebaktian Rakyat Jawa).

Untuk mengambil hati rakyat, Jepang melakukan berbagai cara pendekatan, misalnya: memberi

pelajaran baris berbaris kepada para pemuda, dengan membentuk sainendan dan keibodan. Di

samping itu juga pemerintah pendudukan Jepang membangun beberapa gedung sekolah ─ antara

lain di kota Serang dibangun sebuah Chugakko (SMP), di Pandeglang dibangun sebuah Sihan

gakko (Sekolah Guru) dan sebuah Nogyo gakko (Sekolah Menengah Pertanian Pertama) (Asia

Raya, 20 Oktober 1942 dan Djajamihardja: Wawancara).

Program pendidikan yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang

bagi penduduk di Banten ─ sebagai usaha men-Jepang-kan penduduk ─

dilakukan lewat sekolah-sekolah yang para gurunya telah dipersiapkan

melalui kursus pendidikan guru yang "dipola" sesuai dengan

propaganda Jepang. Kursus untuk guru-guru ini diselenggarakan di

Jatinegara, Jakarta,

yang berlangsung selama dua sampai tiga bulan; gelombang pertamanya

mulai diselenggarakan pada bulan April 1942. Dalam kursus ini para

guru di samping mendapat pelajaran kependidikan juga diajarkan bahasa

Jepang, adat istiadat Jepang dan taiso (semacam senam pagi). Dari

karesidenan Banten di antaranya yang pernah mengikuti kursus guru

tersebut adalah: Sumintapura dari Pandeglang, Suwardilangi dari Serang

dan R.

Djajaroekmantara dari Lebak.

Untuk membantu pasukan-pasukan Jepang di medan pertempuran dibentuk Heiho, sebagai

prajurit pembantu. Dalam prakteknya, untuk mencari pemuda-pemuda yang akan dijadikan Heiho

ini, pemerintah pendudukan Jepang pun tidak jarang menggunakan cara paksaan. Pemuda￾pemuda Heiho ini dilatih secara kemiliteran dan ditempatkan dalam barak khusus yang diawasi

ketat oleh tentara Jepang. Paraheiho ini dikirim ke front-front

pertempuran di luar tanah air, sehingga banyak pemuda Banten, yang

ikut dalam barisan heiho gugur dalam pertempuran di kepulauan

Salomon melawan tentara Sekutu.

Perubahan sosial politik mulai terasa setelah Jepang berkuasa selama satu tahun.

Sikap mereka yang semula ramah dan simpati berubah kejam, menekan

rakyat dengan berbagai peraturan ketat. Pemerintah melarang rakyat

mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya

dan berkumpul lebih dari dua orang. Semua rakyat yang mempunyai

radio harus mendaftarkan di tempat-tempat dan waktu yang ditentukan

dalam Maklumat Kantor Besar Pemerintah Dai Nippon. Radio tersebut

harus dibawa ke kantor wedana setempat untuk dilak/disegel. Tujuannya

agar rakyat tidak mendengarkan berita dari luar negeri, terutama berita

yang menyangkut kedudukan Jepang dalam perang. Di antara peraturan￾peraturan itu, ada satu ketentuan yang sangat ditentang oleh para ulama,

yaitu kewajiban untuk melakukan seikerei yaitu membungkuk ke arah

timur untuk memberi hormat kepada Kaisar Jepang, yang dianggap dewa

matahari. Sikap tersebut oleh para ulama diartikan sebagai penyembahan

kepada selain Allah yang termasuk syirik (mempersekutukan Allah).

Penyembahan hanyalah kepada Allah, bukan kepada yang lain; apabila

sikap itu dilakukan kepada selain Allah maka termasuk syirik, dosa yang

terbesar dalam Islam.

2. Pembela Tanah Air (PETA)

Sejak Agustus 1943, inisiatif pertempuran Pasifik beralih ke pihak Sekutu. Di Pasifik Utara pihak

Sekutu telah mengusir tentara Jepang dari kepulauan Aleuten; di Pasifik Tengah armada Amerika

telah siap mendekati Philipina; di Pasifik Selatan pulau-pulau Guadalcanal dan New Georgia di

kepulauan Salomon telah dikuasai Sekutu; di Pasifik Barat, pulau Papua juga telah didarati

pasukan Sekutu; bahkan beberapa pulau di Indonesia Timur telah mengalami serangan udara

Sekutu. Sehingga otomatis kedudukan Jepang di Indonesia terancam, sedangkan kekuatan tentara

Jepang sudah mengalami kemunduran, sehingga diperlukan tambahan tenaga Heiho yang sudah

tidak mencukupi lagi. Dalam pada itu, semangat patriotisme pemuda Indonesia yang sudah dapat

bersatu, menginginkan adanya "pasukan" yang

menguasai bidang kemiliteran, dan semua anggotanya berasal dari orangIndonesia sendiri, dengan harapan dapat memperoleh kemerdekaan

Indonesia.

Melihat situasi yang dialami tentara Jepang yang dalam keadaan terdesak itu, Gatot

Mangkuprojo, salah seorang aktifis pergerakan, pada tanggal 7 September 1943 mengirimkan

surat kepada Saiko Sakikan (panglima tertinggi) dan Gunseikan (kepala pemerintahan militer)

Jepang, yang isinya tentang permohonan pembentukan Jawa kyodo bo ei gyugun (pasukan

sukarela untuk membela tanah Jawa); dengan alasan untuk membantu tentara Jepang dalam

mempertahankan pulau Jawa dari serangan pasukan Sekutu. Pada tanggal 3 Oktober 1943

permohonan dikabulkan oleh pemerintah militer Jepang.

Demikianlah pada tanggal tersebut Gunsireikan (Panglima Tentara XVI)

Letjen Kumakici Harada mengeluarkan sebuah peraturan yang dikenal

dengan nama Osamu Seirei no. 44, yang berjudul "Pembentukan pasukan

sukarela untuk membela tanah Jawa"; yang selanjutnya disebut Pembela

Tanah Air (PETA) (Panitia, 1985: 55).

Pembentukan PETA dimulai dengan memilih calon-calon perwira, yakni calon untuk

shoodancho (komandan peleton), cudancho (komandan kompi), dan daidancho (komandan

batalyon).

a. Untuk calon shodancho umumnya diambil pemuda-pemuda yang baru saja selesai

sekolah dan belum bekerja.

b. Untuk calon cudancho diambil dari masyarakat yang sudah mempunyai kedudukan,

seperti guru, pegawai pamongpraja, dan pegawai lain.

c. Untuk calon daidancho umumnya dipilih dari tokoh masyarakat yang mempunyai

pengaruh luas di daerah setempat.

Untuk calon perwira PETA ini didirikan tempat-tempat pelatihan yang disebut Jawa bo ei

gyugun kanbu rensentai (korps latihan pemimpin tentara sukarela pembela tanah air di Jawa),

disingkat rensentai, dan kemudian berganti nama menjadi Jawa bo ei gyugun kanbu kyoikutai

disingkat kyoikutai.

Pemusatan pelatihan untuk perwira wilayah Jawa dan Madura terletak di

Bogor

>, sedangkan untuk tingkat budancho (bintara) diselenggarakan di

Cimahi, Jawa Barat, dan Magelang, Jawa Tengah; dengan lama latihan

antara dua bulan sampai lima

> bulan, sesuai dengan kepangkatannya.Untuk membantu dan mengawasi keadaan gerakan PETA, di setiap

daidan ditempatkan beberapa orang perwira, bintara, dan tamtama

Jepang, sebagai penasihat dan pengawas. Dalam waktu singkat,

berdirilah di daerah-daerah kesatuan PETA di bawah pimpinan perwira￾perwira muda. Hal ini menambah rasa harga diri dan kebanggaan rakyat

yang menginginkan mempunyai angkatan perang sendiri. Hal lain yang

perlu dicatat adalah bahwa dalam organisasi PETA tidak ada "jenjang

karir", seperti pada ketentaraan

layaknya. Tidak ada persyaratan ijazah, kontrak kerja, bayangan gaji,

ataupun kenaikan pangkat. Motivasi pemuda waktu itu hanyalah

"semangat keinginan membela tanah air" dan "memperoleh keterampilan

kemiliteran" untuk nanti melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

Tingkat kepangkatan dalam PETA ini terdiri dari: (1) Daidancho (komandan batalyon), (2)

Chudancho (komandan kompi), (3) Shodancho (komandan peleton), (4) Budancho (komandan

regu), dan (5) Giyuhei (prajurit sukarela).

Tentara PETA di Jawa secara organisatoris di bawah koordinasi 3 orang Ciku bo ei sireikan

(setingkat Kodam): (1) untuk wilayah Jawa Barat di bawah pimpinan Mayjen Mabuci dan

berkedudukan di Bandung, (2) wilayah Jawa Tengah dipimpin oleh Mayjen Nakamura

berkedudukan di Magelang, dan (3) wilayah Jawa Timur dipimpin oleh Mayjen Iwabe dan

berkedudukan di Surabaya (Nasution, 1982: 65-67).

Di wilayah Banten terbentuk 4 daidan, yang terdiri:

a. Dai ichi Daidan (batalyon I), dipimpin oleh K.H.

Tb. Ahmad Chatib, yang berkedudukan di Labuan.

b. Dai ni Daidan (batalyon II), dipimpin oleh Entol Oyong Ternaya, berkedudukan di

Kandangsapi, Malimping.

c. Dai san Daidan (batalyon III), dipimpin oleh K.H.

Syam'un, berkedudukan di Serang, dengan kompi-kompinya di Merak

dan Anyar.

d. Dai yon Daidan (batalyon IV), dipimpin oleh Uding Suriatmadja, berkedudukan di

Pandeglang ─ sebagai daidan cadangan (Panitia ... Naskah).

Di Serang dibentuk pula Yugeki tai (pasukan bawah tanah) merupakan pasukan khusus yang

tidak berseragam tentara, dan secara organisatoris berdiri sendiri. Anggotanya ada sekitar 27orang yang dipimpin oleh Ali Amangku (shodancho), Umar Syarif (shodancho) dan

Kamaruzaman (shodancho). Tugas resmi mereka itu sebenarnya adalah untuk meneliti sikap

masyarakat terutama tokoh-tokohnya terhadap pemerintah Jepang. Tapi dalam prakteknya, para

yugeki inilah yang secara diam-diam mendekati para pelajar di sekolah untuk menumbuhkan rasa

kebangsaan kepada mereka, sehingga dari mereka itulah kemudian tumbuh TRIP (Tentara

Republik Indonesia Pelajar) (Djadjamihardja, Wawancara, 11 Nopember 1992).

3. Penderitaan Rakyat Selama Penjajahan Jepang

Setelah pasukan Jepang mengalami kekalahan terus-menerus dalam medan

> perang di Pasifik, pemenuhan

kebutuhan logistik tentara di garis belakang pun banyak mendapat

kesulitan.

Untuk mengatasi hal tersebut, Jepang berusaha merekrut penduduk dari

daerah-daerah kuasanya untuk dikerahkan dalam segala kegiatan

ekonomi dan perang. Rakyat. Melalui unit-unit desa terkecil masyarakat

diwajibkan mengumpulkan dan menyerahkan hasil bumi berupa padi,

karet dan sebagainya; dan juga barang-barang berharga lainnya seperti

emas, perak, intan, sampai dengan besi tua. Petani dipaksa untuk

menyerahkan hampir seluruh hasil panennya, di samping dibebani

kewajiban untuk menanam pohon jarak ─

yang dipakai sebagai bahan baku membuat minyak pelumas mesin. Padi

untuk persediaan makan habis dan beras sudah lama menghilang dari

pasaran. Akibat tindakan tentara Jepang semacam itu, penghidupan

rakyat menjadi semakin sengsara. Untuk memperoleh makanan pokok

seperti beras dan jagung saja mereka harus mempunyai "kartu tanda beli"

dari lurah. Penduduk harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan

satu liter beras. Para pegawai pemerintah (dari bangsa Indonesia

>)

saja hanya dapat jatah dua kilogram untuk kebutuhan keluarganya

selama satu minggu. Sehingga untuk mengatasi kelaparan ini orang

terpaksa makan umbi-umbian seperti umbi jalar, ketela pohon dan talas,

bahkan tidak jarang ada yang makan pokok batang pisang (gedebong)

atau umbut batang nipah. Kerena keadaan kurangnya persedian pangandan kondisi yang sangat menyedihkan ini, banyak penduduk yang sakit

berat dan meninggal disebabkan kelaparan dan kekurangan gizi.

Penyakit kolera, malaria, busung lapar dan penyakit cacar mewabah serta

banyak menelan korban (Soeara Merdeka, 28

Oktober 1945).

Bahan pakaian pun sulit diperoleh, sehingga penduduk terpaksa memanfaatkan bahan kelambu,

seprei atau gorden yang masih dapat dipakai. Bahkan di pedesaan keadaannya lebih sulit lagi,

banyak penduduk desa yang mengunakan bahan bekas karung goni atau lembaran karet sebagai

bahan penutup tubuh.

Akibatnya banyak yang menderita penyakit borok karena gigitan kutu

atau karena lekatnya baju karet itu dengan kulit tubuh si pemakai.

Yang paling mengenaskan bagi penduduk adalah kewajiban untuk menjadi romusha, yaitu

pekerja kasar yang bekerja untuk kepentingan perang dan tidak mendapat bayaran ─ semacam

pekerja rodi pada masa Belanda. Di samping kekurangan makanan, penginapan dan kebebasan,

para romusha ini diperintahkan untuk bekerja keras tanpa henti, seperti layaknya budak belian.

Tragisnya, oleh pemerintah Jepang, para romusha itu dijuluki "pahlawan ekonomi".

Para romusha inilah yang dikerahkan untuk pembuatan jalan kereta api dari Seketi ke Bayah,

pembuatan lapangan terbang Gorda, pembuatan basis pertahanan di Pulau Panaitan, penggalian

batu bara di Bayah, Banten Selatan. Untuk menggambarkan bagaimana keadaan para "pahlawan

ekonomi" ini, dapat dilihat dari keadaan para romusha di pertambangan batubara di Bayah

Kozan. Tenaga mereka diperas

habis-habisan, sementara kesejahteraannya tidak diperhatikan

pemerintah.

Mereka ditempatkan di bedeng-bedeng kecil yang tidak berdinding dan

hanya beratapkan daun kirai (sejenis daun enau atau aren) sebagai

penahan air hujan dan segatan matahari. Makanan yang disediakan

dijatah sangat terbatas, masing-masing mereka hanya mendapat 2 ons

beras per hari setiap orang (Tan Malaka t.t. :53). Karena tindakan tentara

pendudukan Jepang di luar batas nilai-nilai kemanusiaan itu, beribu-ribu

romusha meninggal di tempat mereka bekerja. Sepanjang jalan antara

Saketi dan Bayah ditemui banyak mayat para romusha yang tergeletak

begitu saja di pinggir jalan. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi

sepanjang jalan kereta api dari Saketi sampai Bayah, atau dalam

pembuatan lapangan udara di Gorda, Cikande (Sudiro, 1979:).

Disamping itu, untuk keperluan memelihara "semangat bertempur" di kalangan tentara Jepang,lebih tepat disebut rumah bordil ─ yang didirikan di beberapa kota

>. Di

tempat-tempat semacam itulah disediakan jugun ianfu, yaitu wanita

penghibur yang mengikuti tentara Jepang; atau dalam arti yang

sebenarnya adalah wanita-wanita pelacur, yang disiapkan untuk

penghibur dan pemuas seks tentara Jepang. Untuk mendapatkan jugun

ianfu ini ditempuh dengan berbagai cara, baik dengan tipuan halus ─

misalnya dengan bujukan untuk disekolahkan di Singapura, dan lain-lain

─ ataupun dengan kekerasan; misalnya ancaman keluarganya akan

dijadikan romusha.

Beribu-ribu gadis muda Indonesia dipaksa untuk melayani kebutuhan

seksual tentara Jepang ini, seperti layaknya budak seks. Sebagai

gambaran yang jelas tentang banyaknya jugun ianfu ini, gadis-gadis

Korea yang dipaksa untuk pekerjaan itu diperkirakan lebih dari 200.000

orang. Dan tidak jarang terjadi kekerasan bagi gadis yang menolak

melayani tentara Jepang itu; ia dihukum dengan cara mengikatkan leher

dan keempat anggota tubuhnya ke lima ekor kuda yang menariknya ke

arah yang berlawanan. Malahan bagi jugun ianfu yang ketahuan telah

mengidap penyakit kotor dibakar hidup-hidup atau diledakkan dengan

granat. Para wanita ini dibawa kemana tentara Jepang itu dikirim,

berkeliling sampai ke Cina, Asia Tenggara, bahkan sampai ke Rabaul di

Papua Nugini, salah satu pangkalan militer Jepang. Di antara para jugun

ianfu yang selamat dari kekejaman tentara Jepang pun banyak yang

akhirnya bernasib sangat mengenaskan: mati bunuh diri atau menjadi

gila (Tempo, No. 21/XXII, 25 Juli 1992).

Di Serang, para jugun ianfu itu ─ oleh penduduk setempat disebut "jobong jepang" ─

ditempatkan di beberapa hotel, bar, rumah

peristirahatan perwira, dan di dekat tangsi militer Jepang; misalnya di

perumahan perwira di Cirendong, di Kantin atau di tempat perisrahatan

tamu penting (sekarang rumah dinas Danrem). Biasanya, untuk

menghindari timbulnya emosi masyarakat, para jugun ianfu tidak

ditempatkan di daerah asalnya, melainkan ditukar-tempat; misalnya

gadis asal Serang ditempatkan di Bogor, demikian juga sebaliknya.Anak-anak pelajar Sekolah Rakyat (SR), setiap hari sebelum masuk kelas, diharuskan melakukan

sinkerei yang dilanjutkan dengan taiso. Kemudian setiap hari Senin, sambil mengibarkan bendera

Jepang mereka menyanyikan lagu Kimigayo. Hari-hari berikutnya, para siswa ini diharuskan

mencari bebangah dan menanam pohon jarak, yang hasilnya nanti dikumpulkan di tiap-tiap

sekolah untuk keperluan Jepang. Orang-orang kampung diintruksikan untuk membuat lobang￾lobang perlindungan, misalnya di pinggir Kalibanten (Cibanten), berupa gua-gua sedalam 2

meter lebar dan tinggi 1 meter. Gua-gua perlindungan ini digunakan sebagai tempat

perlindungan, dimana anak-anak dibekali karet untuk digigit bilamana sirine dibunyikan.

Begitulah gambaran suasana yang mencengkam dalam saat transisi selama 3,5 tahun.

4. Reaksi Rakyat Terhadap Pemerintah Pendudukan Jepang

Karena tindakan kejam dari pemerintah pendudukan Jepang yang di luar batas kemanusiaan itu,

kepercayaan bangsa Indonesia

> kepada “niat baik”

Jepang, dengan semboyan "Perang Suci di Asia Timur Raya", mulai

sirna. Perlawanan bersenjata timbul di beberapa daerah; baik secara

terang-terangan seperti yang dilakukan oleh Kiyai Zaenal Mustafa di

Singaparna ─ karena menentang upacara sinkerei ─ dan

pemberontakan PETA di Blitar, ataupun perlawanan di bawah tanah

seperti yang dilakukan oleh kelompok pemuda perjuangan (Kahin, 1970:

11-112).

Rakyat di Caringin, sebuah desa di dekat Labuan, dengan dipimpin kyai-kyai dan pemuka

masyarakat merencanakan mengadakan pemberontakan kepada penguasa militer Jepang.

Rencana itu sempat tercium oleh kempetai, sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan. Para

> kyai dan pemimpin perencana pemberontakan itu

ditumpas secara kejam sampai ke akar-akarnya.

Di daerah Serang, sejak awal pendudukan Jepang sudah ada gerakan bawah tanah yang

menentang fasisme ini, yaitu Gerakan Djojobojo yang dibentuk pada tahun 1941. Organisasi ini

berpusat di Jalan Semar, Bandung

>, yang dipimpin oleh seorang tokoh

komunis Mr. Muhammad Yusuf. Cabangnya yang ada di Serang

dipimpin oleh Ce Mamat yang sekaligus mendapat wewenang untukmenangani masalah di karesidenan Banten, Tangerang dan Jakarta.

Kegiatan organisasi ini terutama banyak dilakukan di kalangan buruh

minyak dan buruh perkebunan, dimana mereka melakukan taktik

sabotase misalnya dengan membongkar rel kereta api antara Banjar dan

Pangandaran, yang mengakibatkan tergulingnya kereta api militer

Jepang pada awal tahun 1943

(Kertapati, 1961: 18-19).

Pada akhir tahun 1943, Gerakan Djojobojo tercium oleh pemerintah Jepang. Para

> tokohnya ditangkap dan bahkan ada yang dihukum

mati. Tokoh Haji Sinting dari Kaujon, Serang, tertangkap dan dijatuhi

hukuman tembak. Ce Mamat sendiri tertangkap di Serang kemudian

dibawa ke markas kempetai (polisi militer) Serang, kemudian

dipindahkan ke markas pusat kempetai di jalan Tanah Abang III, Jakarta

>, dan baru dibebaskan pada tanggal

19 Agustus 1945.

Pada tahun 1944 bermunculan organisasi pemuda, yang pada umumnya merupakan cabang yang

berpusat di Jakarta; misalnya Hizbullah, Sabilillah, Lasykar Wanita Indonesia, Barisan Pelopor,

Barisan Banteng dan Barisan Indonesia Merdeka (Bima). Organisasi yang disebut terakhir ini

merupakan kegiatan di bawah tanah, yang dalam menyampaikan informasi kepada anggotanya

dilakukan secara berantai semacam sel sistem. Menurut Ayip Dzuhri, bekas tokoh pemuda di

Serang, kegiatan Bima ini sebenarnya diujudkan untuk merongrong pemerintah pendudukan

Jepang, misalnya melakukan sabotase dan lain-lain.

Sedangkan Barisan Pelopor, merupakan organisasi bentukan Jepang, yang didirikan pada tanggal

1 Maret 1944. Cabangnya di Serang diketuai oleh Ayip Dzuhri ─

yang juga menjadi anggota Bima. Menurut Sudiro (1979:4) tujuan utama

dari Barisan Pelopor ini adalah sebagai kaderisasi pemuda dan aksi

massa

>. Dalam waktu

yang hampir bersamaan, didirikan pula organisasi Barisan Banteng ─

cabangnya di Serang dipimpin Ayip Dzuhri dan Abduhadi. Organisasiini bertujuan untuk menanamkan semangat kebangsaan. Dalam waktu

yang relatif singkat Barisan Banteng ini banyak mendapat simpati

masyarakat terutama dari kalangan pemuda. Gambar kepala banteng

yang mereka pakai di ikat kepala, baju atau senjata (berupa tombak),

adalah sebagai lambang menolak kerja sama dengan Jepang (Rasyidi,

1979:15). Karena Barisan Banteng menunjukkan sikap yang menentang

pemerintahan Jepang, maka organisasi ini pernah dibubarkan. Tapi sejak

tanggal 3 Nigatsu 2603 (1943) latihan-latihan dibolehkan lagi dengan

beberapa syarat. Walaupun Barisan Pelopor dan Barisan Banteng

merupakan organisasi di bawah naungan pemerintah pendudukan

Jepang, namun dalam kegiatannya tidak luput dari hasrat menanamkan

dan mengobarkan semangat kebangsaan yang dilakukan secara

sembunyi-sembunyi oleh para pemimpinnya.

Organisasi pemuda lain yang juga berperan dalam menyambut kemerdekaan Indonesia adalah

Angkatan Pemuda Indonesia (API) yaitu badan perjuangan yang bernaung di bawah Komite van

Aksi yang bermarkas di Menteng Raya 31, Jakarta, dipimpin oleh tokoh-tokoh pemuda seperti

Adam Malik, Sukarni, M. Nitimiharjo, dan lain-lain. Di Serang, organisasi perjuangan API ini

dipimpin oleh Ali Amangku, yang juga sebagai pimpinan Yugekitai. Organisasi inilah yang

kemudian menggerakkan pemuda-pemuda Serang untuk mempersiapkan dirinya dalam merebut

markas kempetai di Serang pada tanggal 10 Oktober 1945

Walaupun VOC adalah suatu perkumpulan dagang, namun pada tahun

1602 pemerintah Belanda mewajibkan untuk menyebarkan agama Kristen

kepada penduduk bumi putera, meski pun dengan cara pemaksaan ─

seperti juga Portugis dan Spanyol. Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya

larangan melaksanakan ibadah haji bagi penduduk Nusantara pada tahun 1662

oleh Gubernur Jendral VOC. Penyebaran agama Kristen di kawasan ini berjalan

seiring dengan perluasan penjajahan, karena "zending Kristen harus dianggap




seiring dengan perluasan penjajahan, karena "zending Kristen harus dianggap

sebagai faktor penting bagi proses penjajahan", bahkan "perluasan

kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang paling

menunjang" (Suminto, 1985:17 dan 18).

[2] Menurut Ketetapan Umum

Perundang-undangan (Algemeene Bepaling van Welgeving) tahun 1849,

golongan Kristen termasuk kategori Eropa, penduduk pribumi yang beragama

Kristen menikmati hak hukum yang sama dengan saudara-saudara mereka

seagama di kalangan bangsa Eropa. Di samping itu bumiputra pemeluk agama

Kristen menikmati beberapa keuntungan dari pemerintah kolonial, umpamanya

dalam mencari lapangan kerja serta dalam memperoleh kenaikan pangkat, atau

mudahnya memasuki sekolah Eropa bagi anak-anaknya. Untuk lebih mengetahui

tentang politik Kristenisasi kolonial Belanda, terdapat dalam Suminto (1985),

Natsir (1973), Noer (1982).

[3] Untuk menangkap Mas Jakaria ini, pemerintah kolonial menjanjikan hadiah

seribu piaster Spanyol kepada siapa saja yang dapat menangkapnya hidup atau

mati. Beberapa bulan setelah mengadakan serbuan ke Pandeglang itu, Mas

Jakaria dapat ditangkap dan dihukum mati dengan dipenggal kepalanya dan

mayatnya dibakar. Dalam tradisi sejarah Banten, Mas Jakaria ─ yang dihormati

dan dikeramatkan penduduk setempat ─

adalah masih keturunan dari Kiyai Santri, yang kuburannya di Kolle, dan dari

anak keturunan Mas Jakaria ini muncul pemimpin-pemimpin

"pemberontakan" yang banyak merepotkan penjajah.

[4] Menurut rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden

Tjakradiningrat itu, adalah ketika ia akan mencoba bermusyawarah dengan para

pejuang (peroesoeh). Namun di antara mereka terdapat seorang tahanan-titipan

kasus pencurian ─ hasil tangkapan Wedana

Tjangradiningrat ─ yang sedang menunggu putusan perkara, yang bernama

Kasidin. Kasidin keluar penjara ketika penjara dijebol para pejuang. Ketika

Tjakradiningrat mendatangi tempat kerusuhan dan dikepung oleh para pejuang

terdengar suara: ' ... djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !', tapi

Kasidin yang ada pada kerumunan tersebut, melompat ke muka sambil berkata:


Kasidin yang ada pada kerumunan tersebut, melompat ke muka sambil berkata: '

... ini jang mesti didahoeloekan !' dan pada saat berikutnya Kasidin memarang

leher Wedana Tjakradiningrat (PPA. Djajadiningrat. 1936:56).

[5] K.H. Samanhoeddi, pendiri organisasi ini dan Tamar Djaja (dalam Deliar

Noer, 1985:115) menyatakan bahwa permulaan lahirnya Sarikat Dagang Islam

(SDI) terjadi tujuh tahun sebelumnya, yakni tanggal 16 Oktober 1905.

[6] Kebencian yang mendalam pada para ulama Islam kepada penjajah

Belanda di samping faktor penderitaan rakyat akibat penjajahan juga karena

politik pemurtadan ummat dan pembatasan keleluasaan untuk mengamalkan

ajaran agama Islam bagi pemeluknya. Sehingga setiap tumbuh gerakan yang

menentang pemerintahan penjajah, para ulama beserta pengikutnya akan

membantu pemberontakan itu. Rencana pemberontakan PKI terhadap kolonial

Belanda ini dijadikan "moment" penting pelampiasan kebencian ulama kepada

pemerintah, tanpa melihat ideologi atheis yang lekat pada PKI ─

bukan berarti para ulama itu juga berideologikan komunis.

[7] Walaupun minyak dianggap sebagai faktor yang menentukan bagi

keputusan Jepang untuk melancarkan perang pada akhir tahun 1941, namun

Nugroho Notosusanto (1977:17) mengatakan bahwa motivasi "ideologi" lebih

besar dari pada hanya usaha memperoleh minyak.




MASA AWAL

KEMERDEKAA