Rabu, 09 Juli 2025

masa lalu banten. 5

 



ng harus dikerjakannya

untuk

kebesaran Islam di negaranya masing-masing. Mereka secara tidak

tertulis

mengadakan koordinasi di antara negara-negara Islam. Terbentuklah

satu kekhalifahan Islam yang luas, yang dipimpin oleh khalifah yang

mengurusi/menguasai

w:st="on">kota

> suci Mekkah.

Semangat Pan Islamisme dari ummat Islam --- yang merasa

kedaulatannya terusik oleh kolonialis --- sedang tumbuh dengan

suburnya.

Dalam

masa pemerintahan Sultan Abdul Kadir, antara tahun 1633 atau 1634,diutuslah beberapa pembesar istana ke Mekkah. Utusan ini dipimpin

oleh Labe Panji,

Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran

Pekik,

sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji.

Sekitar

tanggal 21 April dan 4 Desember 1638, rombongan yang diutus ke

Mekkah

sampai kembali di Banten. Mereka disambut dengan upacara

kebesaran kenegaraan.

Diceritakan upacara penyambutan ini dalam Sajarah Banten sebagai

berikut: "Di Banten, Sultan memerintahkan kepada Tumenggung Wira

Utama

untuk membuat persiapan secukupnya bagi keperluan penyambutan

itu. Pada

hari yang ditentukan, semua persiapan telah sempurna. Setiap orang

telah

siap di tempatnya masing-masing. Sultan duduk bersama pengiringnya

di srimanganti.

Yang menerima surat dari khalifah Mekkah adalah Ki Pekih, di atas

kapal. Ketika kapal akan

merapat, dari atas kapal ditembakkan meriam sebelas kali, yang

kemudian

dibalas dengan jumlah yang sama dari perbentengan. Gemelan ditabuh

dan

sekali lagi meriam ditembakkan sebagai penghormatan. Bendera dari

Mekkah

dibawa oleh Kiyai Rangga Paman, sedangkan hadiah-hadiah lainnya

dibawa oleh

Tumenggung Indrasupati". Dari Mekkah Sultan mendapat gelar

kebesaran Sultan

Abdulmafakhir Mahmud Abdul Kadir sedangkan Pangeran Pekik

mendapat

gelar Sultan Ma'ali Akhmad. Untuk utusan yang baru datang dari

Mekkah itu, Sultan memberi hadiah dan gelar kebangsawanan.

Demang Tisnajaya

mendapat gelar Haji Wangsaraja (Djajadiningrat, 1983:53 dan 193 -

196). Labe Panji, kepala rombongan yang pertama meninggal dunia

dalam

perjalanan ke Mekkah.

Tidak

lama setelah kedatangan rombongan dari Mekkah itu, ibunda Sultan

yakni Nyai

Gede Wanagiri meninggal dunia. Dan atas perintah Sultan, ibundanya

dikuburkan di Desa Kenari, karena di tempat itulah Nyai Gede

Wanagiri

senang beristirahat menenangkan hati. Di Desa Kenari ini, Sultan

memerintahkan untuk dibuatkan taman yang indah dengan rusa-rusa

dan

binatang peliharaan lainnya, dan Sultan sering beristirahat di taman ini

setelah berziarah ke makam ibundanya.

Apabila


Sultan sedang berada di istana setelah selesai penghadapan para

ponggawa,

baginda duduk dengan muka menghadap ke selatan dengan sebuah

kitab di

sampingnya. Sultan mengajarkan ilmu agama kepada para istrinya,

pedekan

tundan, pedekan jawi, para nyai dan istri-istri para ponggawa dan para

istri mentri[15]. Sedangkan di ruang lain berkumpul pula para nyai sambil mengajar

mengaji al-Qur'an kepada

para pangeran kecil dan putri-putri istana. Nyai-nyai ini dipimpin oleh

Nyai Mas Eyang.

Memang

dalam Sejarah Banten, Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai seorang

ulama

yang saleh. Sultan mengarang beberapa kitab ilmu agama yang

kemudian

disebarkan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Salah satu kitab

karangannya

“Insan Kamil” yang kemudian diambil Dr. Snuock Hurgronje,

pegawai pemerintah Hindia Belanda (Roesjan, 1950:29). Sultan sering

memeriksa kompleks istana dan keadaan rakyatnya pada malam hari

dengan

ditemani oleh Ki Cili Duhung. Apabila ditemukan rakyat yang sakit

atau

penderitaan lainnya, maka keesokan harinya Sultan memerintahkan Ki

Gula

Geseng dan Ki Gula Ngemu (nama orang) untuk memberikan bantuan.

Sultan pun

sering seserangan yaitu mengontrol sawah-sawah kerajaan yang

terletak di daerah Serang sekarang (Djajadiningrat, 1983: 58-61). Hasil

sawah ini di samping untuk memenuhi kebutuhan istana juga sewaktu￾waktu

dijual untuk pengontrol harga beras di pasaran. Dengan demikian

kebutuhan

rakyat akan beras dapat dipenuhi (Lombart, 1986:97).

Sultan

Abulma'ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut: Dari perkawinan

dengan

Ratu Martakusuma (Putri Pangeran Jayakarta), dikaruniai 5 orang anak

: Ratu

Kulon (Ratu Pembayun), Pangeran Surya, Pangeran Arya Kulon,

Pangeran Lor,

dan Pangeran Raja. Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah (Ratu

Wetan),

mempunyai anak: Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten dan

Ratu

Tinumpuk. Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra:

Ratu

Petenggak, Ratu Tengah, Ratu Wijil, Ratu Pusmita, Pangeran Arya

Dipanegara

atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara, Pangeran

Aryadikusuma

atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru (Djajadiningrat,atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru (Djajadiningrat,

1983:59).

Dalam

pada itu, Cirebon biar pun tidak pernah diserang Mataram, tapi pada

tahun

1619 keadaannya sudah seperti jajahan Mataram saja (Djajadiningrat,

1983:200). Sehingga atas desakan Mataram, Sultan Cirebon

mengancam Banten

agar supaya mengakui kuasa Mataram; dan apabila tidak maka Banten

akan

diperanginya. Peringatan seperti ini ditegaskan lagi pada tahun 1637.

Karena desakan dan ancaman dari Mataram pula, maka pada tahun

1650 yakni

setelah Pangeran Girilaya menjadi Sultan Cirebon menggantikan

ayahnya,

Penembahan Ratu, karena Banten tidak mau tunduk pada ancaman

Cirebon,

Sultan merencanakan penyerbuan ke Banten.

Dengan

menggunakan 60 buah kapal, berangkatlah pasukan

w:st="on">Cirebon

> ke Banten dipimpin oleh Senopati

Ngabehi Panjangjiwa. Setelah sampai diperairan Sumur Angsana,

mereka

memutuskan berlayar ke hulu sungai untuk membakar Tanahara.

Rencana

penyerangan pasukan ini sudah didengar Sultan Abdul Kadir. Maka

dikirimnya

satu pasukan yang dipimpin oleh Lurah Astrasusila, Demang

Narapaksa dan

Demang Wirapaksa. Mereka berangkat dengan menggunakan 50 buah

kapal perang.

Sultan menjanjikan hadiah sebanyak 2000 real dan baju kebesaran

kepada

siapa saja yang sangat berjasa dalam peperangan itu.

Sesampainya

di Tanahara, pasukan dibagi tiga bagian. Pasukan pertama dipimpin

oleh

Lurah Astrasusila, bersembunyi di Tanjung Gede. Sedangkan pasukan

kedua dan

ketiga masing-masing dipimpin oleh Demang Narapaksa dan Demang

Wirapaksa,

menanti di Muara Pasilian.

Pagi-pagi

sekali pasukan Cirebon sudah mendarat di Pelabuhan Tanahara.

Senopati Panjangjiwa bersama sebagian

kecil pasukannya berlayar masuk ke hulu sungai untuk menyelidiki

keadaan.

Tapi karena sebab yang belum jelas, Senopati Panjangjiwa meletakkan

senjatanya dan menyerahkan diri kepada Demang Wirapaksa, diikuti

olehpasukannya. Selanjutnya, Senopati Panjangjiwa dibawa menghadap

Sultan di

Surosowan; karena tindakannya itu Sultan memberi ampun dan

hadiah-hadiah

kepada mereka semua.

Sedangkan

pasukan Cirebon yang lain --- yang sedang menunggu kabar dari

Senopati Panjangjiwa di hilir

--- melihat banyak senjata yang hanyut di sungai. Mereka menyangka

di hulu

sungai sedang terjadi pertempuran hebat antara pasukan Panjangjiwa

dengan

pasukan Banten. Dengan segera mereka berlayar ke hulu untuk

membantu

temannya. Secara tiba-tiba Lurah Astrasusila dan pasukannya

menyergap

pasukan Cirebon itu. Serangan mendadak ini tidaklah mereka duga

sama sekali. Pertempuran

ini berlangsung dengan hebat. Tapi akhirnya dari 60 buah kapal

tinggal satu

kapal yang dapat melarikan diri dan kembali ke

w:st="on">Cirebon

>, sedangkan yang lainnya dapat

ditawan atau gugur. Tentara Cirebon yang menyerah dan ditawan

semuanya

dibunuh tanpa


dibunuh tanpa terkecuali.

Kejadian

ini diberitakan kepada Sultan yang baru selesai khutbah hari raya di

Banten. Betapa marahnya Sultan mendengar berita pembantaian

tersebut.

Sultan menginginkan semua yang sudah menyerah tidak boleh

dibunuh. Karena

kejadian itu, hadiah yang sudah dijanjikan ditarik kembali dan Lurah

Astrasusila diusir dari istana. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal

dengan Peristiwa Pagarage atau Pacerebonan, yang terjadi pada

tahun 1650 (Djajadiningrat, 1983: 68-69 dan 205).

Untuk

memperingati kemenangan pasukan Banten dalam peristiwa Pagarage

tersebut, diadakan upacara sasapton. Jalannya pesta kemenangan ini

diceritakan sebagai berikut :

Sepanjang

tepi sungai rakyat dan ponggawa ditempatkan dalam kemah-kemah

yang berjajar

rapi. Sebagai tanda pengenal, mereka menggunakan bendera-bendera

yang

berbeda yang berwarna-warni. Para ponggawa

duduk di bawah pohon beringin dekat srimanganti, menghadap candi

rasmi menantikan sultan keluar dari istana. Sepanjang jalan yang akan

dilalui sultan, berjejer menyambut para priyayi: di mande mundu


ditempatkan priyayi medang sebanyak dua puluh orang, di made

gayam ditempatkan priyayi parasara empat puluh orang dan

panyendekan ada priyayi kalamisani dengan kereta-keretanya.

Sebagai

kepala penjaga ialah Ki Suraita. Sedangkan sitinggil diurus oleh Ki

Naraita yang juga menjadi kepala penyimpanan senjata dan kuda.

Empat ekor

kuda telah disiapkan namanya Sekardiyu, Kalisahak, Sumayuda, dan

Layarwaring. Pembawa tanda kebesaran istana berjalan di muka,

barulah

sultan keluar dengan diiringi tabuhan gemelan sekati.

Sultan

duduk di lampit yang digelar di tanah dikelilingi para mentri. Gamelan

mesa

patra ditabuh dan menperdengarkan lagu-lagunya. Para ponggawa

telah siap di tempatnya masing-masing dan bersamaan dengan itu

terdengar pula gamelan dari kemah-kemah. Pangeran Adipati Anom

mengendarai

kuda diiringi oleh para ponggawa dengan kudanya pula. Dan sasapton

pun dimulai.

Yang

menjadi bintang pada sasapton itu ialah Ratu Bagus Komala yang

menunggang kuda Sekar Tinggal, demikian juga saudaranya Ratu

Bagus Kencana;

keduanya anak Pangeran Upapati. Mereka itu lawan Pangeran Adipati

Anom yang

menunggang kuda Layarwaring, kuda dari Bali.

Menjelang

malam hari, sasapton itu berhenti dan sultan pun kembali ke keraton

dengan diiringi lagu gemelan sekati. Ratu Bagus Kencana kemudian

mendapat gelar Tubagus Singawangi dan Ratu Bagus Komala bergelar

Tubagus Ewaraja (Djajadiningrat, 1983:70).

Tidak

lama setelah Peristiwa Pagarage ini, Putra Mahkota Pangeran Pekik

atau Sultan Abulma'ali Ahmad meninggal dunia, setelah ia menderita

sakit

yang cukup lama (1650). Putra Mahkota dimakamkan di pekuburan

Kenari

(Ismail, 1980:18). Sebagai penggantinya, jabatan Putra Mahkota

diserahkan

kepada anaknya Sultan Abulma'ali Ahmad, yakni Pangeran Surya,

dengan gelar Pangeran Adipati Anom[16] (Tjandrasasmita, 1975: 269).

Tidak

lama setelah itu yakni pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan

Abumafakhir

Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia. Jenazahnya dikuburkan di

Kenari,

berdekatan dengan makam ibundanya dan putra kesayangannya,

Sultan

Abulma'ali Akhmad (Ismail, 1980:18 dan Djajadiningrat, 1983:199).

Sebagai

penggantinya diangkatlah Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya

penggantinya diangkatlah Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya

menjadi

Sultan Banten ke-5.

E. SULTAN

AGENG TIRTAYASA (1651 - 1672)

Setelah kegagalan Sultan Agung menduduki

w:st="on">Batavia

>, keadaan

Mataram tidak lagi sekuat semula. Banyak dana, perbekalan, dan

prajurit

yang dikorbankan dalam pertempuran itu. Kemunduran ini ditambah

lagi dengan

kelesuan di bidang perdagangan, terutama perdagangan antar negara,

Malaka

sudah dikuasai kompeni Belanda pada tahun 1641, demikian juga

daerah-daerah

Indonesia Timur seperti Ambon, Maluku, kepulauan Saparua, dan

sebagainya.

Sedangkan daerah bagian barat seperti Banten, Lampung dan

Bengkulu --- yang

masuk kuasa Banten --- sedang bermusuhan dengan Mataram, dan

juga Laut Jawa

hampir sudah dikuasai oleh kompeni, sehingga hubungan dagang

Mataram dengan

Palembang dan Jambi pun otomatis terhenti.

Dalam

keadaan demikian, Sultan Agung pun wafat, tahun 1645 dan

dikuburkan

dipemakaman Imogiri. Penggantinya Pangeran Aryo Prabu Adi

Mataram yang

bergelar Amangkurat I tidak sekuat Sultan Agung, sehingga banyak

daerah

yang memberontak melepaskan diri dari Mataram. Situasi yang kacau

ini

memaksa Amangkurat I mengadakan perjanjian persahabatan dengan

kompeni

Belanda pada tahun 1647, yang isinya sebagai berikut (Sanusi Pane,

1950:

206-207):

1)

Belanda akan mengirimkan utusan ke Mataram setiap tahun.

2)

Orang-orang Mataram harus memakai kapal kompeni apabila

hendak keluar negeri.

3)

Orang-orang mataram boleh berdagang bebas kecuali dengan

daerah Ternate, Ambon dan Banda.

4)

Orang-orang Mataram yang akan berlayar dan melalui Selat

Malaka harus mendapat izin terlebih dahulu dari kompeni.Dengan

perjanjian ini konfrontasi antara Belanda dengan Mataram berakhir,

namun,

akhirnya Mataram sangat bergantung dengan Kompeni. Bandar-bandar

Mataram menjadi sepi karena kapal mereka sukar sekali mendapat izin

untuk melintasi Malaka,

sedangkan rempah-rempah yang sangat digemari orang-orang asing

tidak mereka

miliki karena mereka dilarang berdagang di Maluku. Di lain pihak

Kompeni

mendapat banyak keuntungan karena dengan perjanjian ini kompeni

dapat

mengontrol segala kegiatan Mataram; dan yang lebih penting lagi,

Kompeni

dapat beristirahat, menyatukan kekuatannya untuk menghadapi

perlawanan di

daerah lain.

Di

Maluku, Belanda pun mendapat keuntungan besar, karena sejak tahun

1605

Kompeni merebut Ambon dan Tidore dari tangan Portugis, demikian

juga Banda

(1609) dan akhirnya Ternate pun dapat dikuasainya sehingga di

daerah-daerah

itu Belanda dapat memonopoli perdagangan lada dan cengkeh. Untuk

menjaga

harga cengkeh tetap tinggi, maka Kompeni menghancurkan kebun￾kebun cengkehkebun cengkeh

di kepulauan Ambon dan sekitarnya. Usaha

penghancuran inilah yang dikenal dengan Pelayaran Hongi yang

banyak

merugikan rakyat di daerah itu (Burger, 1962:53).

Daerah

rempah-rempah yang masih bebas dari pengaruh Kompeni hanyalah

Makasar.

Orang-orang Makasar menjual rempah-rempah pada siapa saja yang

datang ke sana

>, seperti orang

w:st="on">Portugis

>, Denmark,

Belanda, Perancis dan Inggris. Hal ini dianggap oleh kompeni sangat

merugikannya, karena itu Makasar pun harus diperangi. Diadakanlah

blokade

di sekitar perairan Makasar pada tahun 1633. Baru pada tahun 1636

diadakan

perjanjian perdamaian, tapi pada tahun 1640 kembali terjadi

pertempuran.

Prajurit Makasar yang dipimpin rajanya Sultan Hasanuddin berperang

dengan

gagah berani. Peperangan ini berlangsung lama, baru pada tahun 1655

diadakan perdamaian, tapi karena saling berbeda kepentingan akhirnya

kembali terjadi perang hingga tahun 1660 dan pada tahun 1666.Karena

penghianatan Aru Palaka, anak Raja Sopeng, akhirnya kompeni dapat

menguasai

Makasar, dan diadakan perjanjian di Bongaya pada tahun 1667 (Sanusi

Pane,

1950: 207-210) :

1)

Makasar melepaskan kuasanya atas Negeri Bugis (Bone,

Luwu, dan Gowa) serta Bima dan Sumbawa.

2)

Perahu Makasar hanya boleh berlayar dengan

w:st="on">surat

> izin kompeni.

3)

Makasar tidak boleh berdagang dengan bangsa lainya

kecuali dengan Belanda.

4)

Hanya kompeni saja yang boleh memasukkan kain-kain dan

barang-barang dari Cina.

5)

Makasar harus membayar semua biaya perang, menyerahkan

salah satu bentengnya dan mengirim tawanan ke

w:st="on">Bataviasebagai jaminan.

Meskipun perjanjian Bongaya telah ditandatangani,

perlawanan bersenjata kepada kompeni berlangsung terus. Baru

setelah

benteng Sombaopu dikuasai kompeni tahun 1669, Makasar

sepenuhnya di tangan

kompeni. Dengan kekalahan Makasar ini banyak patriot dari Bugis

yang pergi

ke Banten dan Jawa Timur untuk melanjutkan perjuangannya melawan

Belanda

(Sagimun, 1975:259).

Pada

abad ke-17 ini, Belanda telah menguasai beberapa daerah kerajaan

besar

seperti: Mataram, Maluku, Batavia dan Makasar. Sedangkan dalam

bidang ekonomi, Belanda telah memegang

monopoli perdagangan rempah-rempah secara luas, bahkan Belanda

pun berhasil

memperoleh monopoli di Sumatera Tengah yakni di

w:st="on">Palembang

> (1642) dan Jambi (1643)

(Burger, 1962:60). Di pihak lain, rakyat nusantara sebagian besar

berada

dalam kemiskinan dan penindasan akibat keserakahan Belanda ini.Setelah

Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir wafat, Pangeran Adipati

Anom

dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-5 pada tanggal 10 Maret 1651

(Djajadiningrat, 1983:205). Untuk memperlancar sistem

pemerintahannya

Sultan mengangkat beberapa orang yang dianggap cakap sebagai

pembantunya.

Jabatan Patih atau Mangkubumi dipercayakan kepada Pangeran

Mandura dan

wakilnya Tubagus Wiratmaja, sebagai Kadhi atau Hakim Agung

diserahkan

kepada Pangeran Jayasentika, tapi karena Pangeran Jayasentika

meninggal

tidak lama setelah pengangkatan itu dalam perjalanan menunaikan

ibadah

haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol Kawista yang

kemudian dikenal

dengan nama Faqih Najmuddin. Pangeran Mandura dan Pangeran

Jayasentika adalah Putra Sultan 'Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir,

jadi

masih terhitung paman, sedangkan Faqih Najmuddin adalah menantu

Sultan

Abulmufakhir yang menikah dengan Ratu Lor.

Untuk memudahkan

pengawasan daerah-daerah yang tersebar luas seperti Lampung,

Solebar,Solebar,

Bengkulu, dan lainnya, diangkatlah ponggawa-ponggawa dan nayaka￾nayaka di bawah pengawasan dan tanggung jawab Mangkubumi.

Dalam waktu-waktu

tertentu nayaka-nayaka ini diharuskan datang ke Banten dan

berkumpul

di kediaman Mangkubumi di Kemuning, di seberang sungai, untuk

melaporkan

keadaan daerahnya masing-masing. Biasanya setelah itu para

ponggawa dan nayaka ini dibawa menghadap Sultan di istana

Surosowan, untuk menerima petunjuk-petunjuk

dan pesan-pesan yang harus disampaikan kepada rakyat di daerahnya

masing-masing (Djajadiningrat, 1983:71).

Mangkubumi

Pangeran Mandura diserahi tugas mengatur dan mengawasi

kesejahteraan

prajurit karajaan, baik tentang perumahannya di Kanari maupun

tentang

persenjataannya. Rumah-rumah senopati dan ponggawa ditempatkan

sedemikian

rupa sehingga, di samping mereka dapat cepat mengetahui keadaan

prajurit-prajuritnya, tetapi dengan mudah mereka pun dapat segera

menerima

instruksi sultan (Djajadiningrat, 1983:71 dan Tjandrasasmita,

1967:11).

Memang

Pangeran Surya yang bergelar Pangeran Ratu Ing Banten adalah

seorang

ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Hal ini dibuktikan sewaktu

masih menjabat Putra Mahkota, Pangeran Surya-lah yang mengatur

gerilya

terhadap pendudukan Belanda di Batavia.

Seperti

juga kakeknya, Pangeran Ratu tidaklah melepaskan jalur hubungan

dengan

kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekkah, yang biasanya dilakukan

sambil

menunaikan ibadah haji. Persiapan untuk mengadakan pertemuan

dengan pusat

kekhalifahan di Mekah itu, Sultan mengadakan musyawarah dengan

beberapa

pembesar kerajaan yang antara lain: Pangeran Mandura, Pangeran

Mangunjaya

dan Mas Dipaningrat; yang selanjutnya diputuskan supaya Santri Betot

beserta tujuh orang lainnya diutus ke Mekah. Delegasi ini ditugaskan

untuk

melaporkan penggantian sultan di Banten, juga menceritakan keadaan

nusantara dan Kesultanan Banten khususnya dalam hubungannya

dengan kompeni

Belanda. Di samping itu pula, untuk memperdalam pengetahuan

rakyat Banten

kepada agama Islam, dimintakan supaya Khalifah mengirimkan guru

agama ke

Banten.

Setiba

kembali utusan ini dari Mekkah, Khalifah Makkah menyampaikan

sepucuk

w:st="on">surat

> untuk Sultan

bersama tiga orang utusan yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, dan

Haji Salim.

Dari khalifah Makkah pula Pangeran Ratu Ing Banten mendapat gelar

Sultan

'Abulfath Abdulfattah. Santri Betot kemudian diberi nama Haji Fattah

dan mendapat hadiah-hadiah dari sultan, demikian juga ketujuh orang

pengiringnya.

1. Perang

Melawan Kompeni Belanda

Dalam

masalah politik kenegaraan, Sultan 'Abulfath Abdulfattah dengan tegas

menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya.

Mengembalikan

Jayakarta ke pangkuan Banten merupakan cita-cita utama dan

karenanya Sultan

tidak akan pernah mau berbaikan dengan kompeni Belanda. Sultan

melihat

bahwa perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni

bahwa perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni

pada tahun

1645 sudah tidak lagi dipatuhi kompeni. Kompeni Belanda masih

selalu

mencegat kapal-kapal dagang asing yang hendak berlabuh dan

mengadakan

transaksi dagang di bandar Banten, sehingga pelabuhan Banten

mengalami

banyak penurunan, karena pedagang-pedagang asing segan berlabuh di

Banten

takut diserang kapal-kapal kompeni, baik waktu datang maupun

setelah mereka

meninggalkan Banten. Membalas tindakan kompeni ini Sultan pun

memerintahkan

tentaranya untuk selalu mengadakan perusuhan pada intalasi milik

kompeni,

di mana saja; diharapkan orang-orang Belanda itu segera

meninggalkan

Banten. Sultan pun memperkuat pasukannya di Tangerang dan Angke,

yang telah

lama dijadikan benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi

kompeni

Belanda. Dari daerah ini pulalah pada tahun 1652 pasukan Banten

mengadakan

penyerangan ke Batavia (Tjandrasasmita, 1967:12).

Melihat

situasi yang semakin panas itu, kompeni mengirimkan utusan ke

Banten untuk

Banten untuk

menyampaikan usulan pembaharuan perjanjian tahun 1645.

Dibawanya

hadiah-hadiah yang menarik untuk melunakkan hati Sultan, tapi Sultan

'Abulfath menolak usulan tersebut. Utusan kedua dikirimnya pula pada

bulan

Agustus 1655, tapi seperti utusan yang pertama, Sultan pun

menolaknya;

Banten bertekad hendak meleyapkan penjajah Belanda walau apapun

resikonya.

Pada

tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke dan Tangerang

mengadakan

gerilya besar-besaran, dengan mengadakan pengrusakan kebun-kebun

tebu dan

penggilingan-penggilingannya, pencegatan serdadu-serdadu patroli

Belanda,

pembakaran markas patroli, dan beberapa pembunuhan orang-orang

Belanda,

yang semuanya dilakukan pada malam hari. Di samping itu perahu￾perahu

ramping prajurit Banten sering mencegat kapal kompeni, dan

membunuh semua

tentara Belanda dan merampas semua senjata serta kapalnya. Sehingga

kapal

kompeni yang hendak melewati perairan Banten haruslah dikawal

pasukan yangkuat.

Untuk

menghadapi kompeni dalam pertempuran yang lebih besar, Sultan

'Abulfath

memperkuat pertahanannya baik dalam jumlah maupun kwalitasnya.

Diadakanlah hubungan yang lebih baik dengan negara-negara lain

seperti Cirebon

>, Mataram dan lain-lain

(Tjandrasasmita, 1967:13). Bahkan dari Kerajaan Turki, Inggris,

Perancis,

dan Denmark, banyak didapatkan bantuan berupa senjata-senjata api

yang sangat dibutuhkan

(Chijs, 1881: 58-59). Diadakanlah kesatuan langkah dan penyatuan

pasukan di

daerah kuasa Banten; Lampung, Bangka,

Solebar, Indragiri, dan daerah lainnya mengirimkan pasukan

perangnya untuk

bergabung dengan pasukan Surosowan.

Demikian

juga keadaan kompeni di Batavia, pasukan

perang kompeni diperkuat dengan serdadu-serdadu sewaan dari

Kalasi,

Ternate, Bandan, Kejawan, Melayu, Bali,

Makasar dan Bugis. Memang serdadu yang berasal negeri Belanda

sendiri

sangat sedikit, mereka sengaja mengambil penduduk pribumi untuk

sangat sedikit, mereka sengaja mengambil penduduk pribumi untuk

menghadapi

orang pribumi lainnya; dalam pertempuran pun, orang Belanda selalu

berada

di belakang sedangkan yang maju perang selalu serdadu pribumi.

Diperkuatnya

penjagaan-penjagaan dan benteng-benteng di perbatasan Angke,

Pesing,

Tangerang; tapi karena kompeni sedang sibuk berperang dengan

Makasar,

mereka tidak bisa banyak menyiapkan pasukan.

Setelah

terjadi beberapa kali pertempuran yang banyak merugikan kedua belah

pihak,

maka sekitar bulan Nopember atau Desember 1657 Kompeni

mengajukan usul

gencatan senjata. Perjanjian gencatan senjata ini tidak segera dapat

disepati, karena syarat-syarat perjanjian itu belum semuanya

disepakati;

kepentingan Belanda dan kepentingan Banten selalu berbeda. Tanggal

29 April

1658 datanglah utusan Belanda ke Banten membawa

w:st="on">surat

> dari Gubernur Jendral Kompeni yang

berisi rangcangan perjanjian persahabatan. Usul perdamaian ini terdiri

dari


10 pasal:

1)

Kedua belah pihak harus mengembalikan tawanan perangnya

masing-masing.

2)

Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor

kerbau dan 1500 ekor sapi.

3)

Blokade Belanda atas Banten akan dihentikan setelah

Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.

4)

Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki

atas biaya dari Banten.

5)

Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan

perwakilan kompeni di Banten.

6)

Karena banyaknya barang-barang kompeni dicuri dan

digelapkan oleh orang Banten, maka kapal-kapal kompeni yang datang

di

Banten dibebaskan dari pemeriksaan.

7)

Setiap orang Banten yang ada di Batavia


harus dikembalikan ke Banten,

demikian juga sebaliknya.

8)

Kapal-kapal kompeni yang datang ke pelabuhan Banten

dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.

9)

Perbatasan Banten dan

w:st="on">Batavia

> ialah garis lurus dari Untung

Jawa hingga ke pedalaman dan pegunungan.

10)

Untuk menjaga hal-hal yang tidak diingini, warga kedua

belah pihak dilarang meliwati batas daerahnya masing-masing.

Dari

rancangan naskah perjanjian yang diajukan kompeni ini Sultan

'Abulfath

dapat melihat kecurangan dan ketidaksung-guhan kompeni atas

pedamaian;

kompeni hanya mengharapkan keuntungan sendiri tanpa

memperhatikan

kepentingan rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658,

Sultan

mengirimkan utusan ke Batavia untuk mengajukan perubahan atas

rancangan naskah perjanjian itu :

1)

Rakyat Banten dibolehkan datang ke Batavia

> setahun sekali untuk membeli

senjata, meriam, peluru, mesiu, besi, cengkeh dan pala.

2)

Rakyat Banten dibebaskan berdagang di Ambon dan Perak tanpa dikenakan pajak dan cukai.

Usul

Sultan ini dengan serta merta ditolaknya, kompeni hanya

menginginkan

supanya orang Banten membeli rempah-rempah dari kompeni dengan

harga yang

ditentukan dan harus membayar pajak. Monopoli rempah-rempah di

Ambon dan

Maluku adalah suatu yang sangat menguntungkan kompeni, sehingga

apabila

Banten dibolehkan berdagang di sana,

hapuslah monopoli ini. Demikian juga apabila orang Banten

dibolehkan

membeli alat-alat perang, ini akan memungkinkan Banten memperkuat

diri dan

dengan mudah akan merebut kembali Batavia.

Penolakan

Gubernur Kompeni atas usul ini membuat Sultan sadar bahwa tidaklah

mungkinakan ada persesuaian pendapat antara dua musuh yang berbeda

kepentingan

ini, bahkan dengan perdamaian ini kompeni berkesempatan untuk

menyusun

kekuatan. Karena berpikiran demikian maka pada tanggal 11 Mei 1658

dikirimnya surat balasan yang menyatakan bahwa Banten dan

kompeni Belanda tidak akan mungkin

bisa berdamai. Tiada jalan lain yang harus ditempuh kecuali perang.

Sejak

itulah Sultan Abulfath Abdulfattah mengumumkan "perang sabil"

menghadapi kompeni Belanda. Seluruh kekuatan angkatan perang

Banten

dikerahkan ke daerah-daerah perbatasan, maka terjadilah pertempuran

besar

di darat dan laut. Pertempuran ini berlangsung tanpa henti-hentinya

sejak

bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659 (Djajadiningrat,

1983:71

dan Tjandrasasmita, 1967: 12-16).

Satu

peristiwa yang mempercepat meletusnya perang antara Banten dan

kompeni

Belanda, dalam situasi yang demikian panas, adalah peristiwa

dibunuhnya

Lurah Astrasusila oleh patroli Belanda; Lurah Astrasusila adalah salah

seorang ponggawa Banten yang kena marah Sultan karena peristiwapagarage di Sumur Angsana. Karena perbuatannya itu ia merasa

bersalah dan berdosa

kepada Allah, maka untuk menebus dosanya ini dia ingin ikut

berperang dan

mati sahid, dengan cara demikian mudah-mudahan Sultan pun akan

memaafkannya.

Suatu

hari, seusai shalat Magrib, Astrasusila berlayar dengan sebuah kuting

ke arah timur menuju Tanjung Kahit, dan berusaha mencegat kapal

Belanda

yang biasa berlayar dari Tong-Jawa atau Batavia. Ia melihat sebuah

selup kompeni, dan bersama dua orang temannya ia berpura-pura

menjadi penjual

kelapa yang dengan mudah dinaikkan ke atas selup kompeni. Di atas

selup,

Lurah Astrasusila dan kedua temannya mengamuk hingga banyak

serdadu Belanda

yang dibunuhnya, tapi akhirnya ketiga orang itupun gugur. Peristiwa

terbunuhnya

Luruh Astrasusila ini disampaikan kepada Sultan 'Abulfath. Sultan

merasa

terharu bercampur marah atas pengorbanan punggawanya itu,

demikian juga

dengan para pembesar lainnya. Sejak saat itulah Sultan menyatakan

perang

kepada kompeni (Djajadiningrat, 1983:73).

Untuklebih jelasnya tentang persiapan prajurit Banten dalam menghadapi

perang

ini, "Sajarah Banten" menceritakan:

a. Angkatan laut

(1) Armada laut yang menjaga perairan

Karawang dipimpin oleh Pangeran Tumenggung Wirajurit.

(2) Armada laut yang berkedudukan di

dekat pelabuhan Untung Jawa dipimpin oleh Aria Suranata.

(3) Armada laut yang berkedudukan di

dekat Tanahara dipimpin oleh Pangeran Ratu Bagus Singandaru.

(4) Armada laut yang bertugas di dekat

perairan Tanjung Pontang dipimpin oleh Ratu Bagus Wiratpada.

(5) Armada laut yang berkedudukan di

dekat Pelabuhan Ratu dipimpin oleh Tumenggung Saranubaya.

b. Angkatan darat

(1) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi

Wirasaba dan Ngabehi Purwakarti dikirim ke Caringin untuk menjaga

musuh

yang masuk dari daerah selatan.

(2) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi

Tanuita ditempatkan di kota Surosowan sebagai penjaga ibukota

Kesultanan.

(3) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi

Tanujiwa ditugaskan sebagai pasukan penghubung antara garis depan


Angke dan

Tangerang dengan kota Surosowan.

(4) Pasukan yang dipimpin oleh Raden

Senopati Ing Ngalaga (Panglima Perang) dan Rangga Wirapatra

ditugaskan

menjadi pasukan penyerang dan menjadi pasukan induk dengan

kekuatan 5000

prajurit pilihan.

c. Pasukan meriam

Pasukan

meriam ini ditempatkan di pantai sekitar ibukota Kesultanan, untuk

menjaga

musuh yang datang dari Teluk Banten. Tiap meriam dipercayakan

kepada 10

orang prajurit khusus dengan seorang pimpinan kelompok. Sejarah

Banten

mencatat nama-nama meriam itu dengan pimpinan kelompoknya

sebagai berikut: Jajaka tua dipercayakan kepada Pangeran Upapatih,

Jaka Pekik kepada

Pangeran Kidul, Kalantaka kepada Pangeran Lor, Nilantaka kepada

Pangeran Kulon, Kalajaya kepada Pangeran Wetan, Ki Muntab kepada

Tubagus Suradinata, Urangayu kepada Pangeran Wirasuta,

Pranggisela kepada Pangeran Prabangsa, Danamarga kepada

Pangeran Sutamanggala, Jaka

Dalem kepada Pangeran Gusti; sedangkan lima puluh buah meriam

lagi

dipercayakan kepada ponggawa lainnya. Disusunnya meriam-meriam

itu dari

itu dari

Sunya Gagak, Kuta Karang hingga tepi sungai. Dari Pabean Barat

hingga

Pabean Timur, dari Kuta Jagabaya sampai Kadongkalan dan

Kapatihan.

Pada

hari yang sudah ditentukan, yaitu pada hari Senin tahun kadi ula

pandawa

iku atau tahun 1580 Saka atau tahun 1657/1658 M (Djajadiningrat,

1983:73 dan 212), pasukan perang Banten itu berangkat ke pos

penyerangannya

masing-masing seperti yang sudah diintruksikan. Pada hari

pemberangkatan

itu Sultan menyuruh membagi-bagikan hadiah berupa uang dan

pakaian kepada

prajurit serta keluarganya sebagai tanda kenang-kenangan dan penguat

tekad.

Pembesar

kerajaan yang ikut dalam pasukan perang itu antara lain: Kartiduta,

Haji

Wangsaraja, Demang Narapaksa, dan Kanduruhan Wadoaji. Ki Haji

Wangsaraja

dan Raden Senopati Ing Ngalaga duduk dalam sebuah tandu.

Demikian banyak

pasukan yang berangkat pada hari itu, sehingga barisan terdepan sudah

sampai di Pangapon sedangkan barisan belakang masih berada di alun￾alun

Surosowan.

Setelah

berjalan delapan hari sampailah mereka di Tangerang dan bergabung

dengan

pasukan yang sudah berada di sana.

Untuk tempat peristirahatan, dibuatlah barak-barak baru di Tangerang

dan

Angke sebagai pusat pertahanan dan basis penyerangan.

Mendengar

pemberangkatan pasukan Banten ini, kompeni segera mempersiapkan

pasukan

yang dibagi menurut asal daerah masing-masing, orang Ternate

dipimpin oleh

orang Ternate, begitu juga orang Kalasi, Kejawan, Bandan, Bali dan

Ambon.

Dan setelah berjalan kaki selama satu hari pasukan kompeni ini

sampai di

Angke, berhadapan dengan pasukan Banten.

Tujuh

hari tujuh malam kedua pasukan yang bermusuhan itu saling

berhadap-hadapan

tanpa ada salah satu yang mendahului menyerbu. Baru setelah

Senopati Ing

Ngalaga memberikan aba-aba untuk menyerang, bersiap-siagalah

semuanya.

Raden Senapati Ing Ngalaga naik kuda berkeliling sambil menantangmusuh,

sedangkan Ki Rangga Wirapatra berjalan di barisan terdepan. Setelah

Haji

Wangsaraja berdo'a mohon perlindungan Allah untuk menghancurkan

orang kafir

penindas, berangkatlah pasukan ke medan laga.

Sepanjang

hari pertempuran berlangsung hebat tanpa henti-hentinya. Tidak dapat

dipastikan siapa yang paling hebat. Baru setelah hari senja,

pertempuran

itu mulai reda, dan kedua belah pihak menarik diri dari garis perang,

kembali ke kubunya masing-masing.

Selama

tiga hari tidak terjadi pertempuran, masing-masing pihak beristirahat

sambil mengatur taktik penyerangan selanjutnya. Raden Senopati Ing

Ngalaga

memanggil para ponggawa untuk merundingkan taktik dan strategi

perang serta

memberi instruksi lainnya. Kemudian ditetapkan supaya penyerangan

dilakukan

dengan formasi burung dadali (format penyerangan menyebar), karena

musuh memakai formasi papak (saff tempur melingkar disatukan).

Untuk

mengacaukan mental pasukan kompeni dan menghancurkan tempat￾tempatpersem-bunyian mereka, Ngabehi Wira Angun-angun dan Prayakarti

ditugaskan

untuk membakar desa di sekeliling kubu musuh dan juga membakari

tanaman

tebu milik kompeni. Dan nanti, bersamaan dengan pembakaran￾pembakaran itu,

Senopati Ing Ngalaga dengan 500 prajurit pilihan bergerak melingkar

dan

menyerang musuh dari belakang.

Keesokan

harinya, setelah tanda penyerangan dibunyikan mulailah mereka

menjalankan

tugasnya masing-masing. Ngabehi Wira Angun-angun, Prayakarti dan

beberapa

serdadu pilihan secara diam-diam membakar kampung-kampung,

tanaman tebu dan

pabrik penggilingan tebu serta menghancurkan segala tempat yang

mungkin

menjadi sarang musuh. Sedangkan Raden Senopati Ing Ngalaga

dengan 500

tentaranya bergerak ke arah timur dengan tujuan menyerang musuh

dari

belakang. Adapun prajurit lainnya dipimpin oleh ponggawa dan

senopati yang

gagah berani menyerang dari depan dengan penyerangan diatur

sedemikian rupa

sehingga memungkinkan tiap prajurit berperang satu lawan satu.Pasukan

yang dipimpin oleh Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa

banyak menimbulkan

kerugian jiwa di pihak kompeni. Banyak pimpinan mereka yang dapat

dibinasakan, di antaranya Kapiten Drasti, Kapiten Perancis, Kapiten

Terus,

dan Kapiten Darus. Pertempuran pada hari itu berlangsung hebat,

sehingga

banyak mengambil korban dari kedua pihak, dan baru setelah senja

tiba

pertempuran pun dihentikan.

Hari

berikutnya Raden Senopati memanggil Prayakarti untuk

menyampaikan berita

tentang keadaan medan perang, sambil menyerahkan barang-barang

rampasan perang kepada Sultan di

Surosowan. Bersama empat puluh orang pengawal berangkatlah

Prayakarti ke

ibukota Banten. Membaca surat dari Raden Senopati, terlihat wajah

Sultan mencerminkan perasaan gembira

bercampur sedih dan gemas. Sultan sangat mengharapkan kehancuran

kompeni

secepatnya. Kemudian Sultan berdiri dan memberikan maklumat:

"Barang

siapa yang dapat menyerahkan satu kepala kompeni Belanda akan

diberikan

hadiah 10 real dan barang siapa yang dapat menyerahkan satu telingahadiah 10 real dan barang siapa yang dapat menyerahkan satu telinga

Belanda

akan diberi hadiah 5 real." Kepada Prayakarti atas jasa-jasanya Sultan

menghadiahkan sebuah desa serta sebuah lampit dengan kotaknya,

demikian juga keempat puluh pengawalnya semua mendapat hadiah

(Djajadiningrat, 1983: 73-75).

Dalam

pada itu, pertempuran di laut pun telah terjadi dengan hebat.

Diceritakan,

Ratu Bagus Wangsakusuma ketika sedang melakukan patroli di

perairan dekat

Pontang, dilihatnya sebuah kapal besar milik kompeni di Selat Pulo

Pemujan

yang sedang menurunkan sebuah slup penuh berisi senjata menuju ke

pantai. Ratu Bagus Wangsakusuma dan prajuritnya bersembunyi di

belakang

Pulau Dua dan menyergap kapal kompeni itu, sehingga semua serdadu

kompeni

dapat dibinasakan dan senjatanya dapat dirampas. Berita keberhasilan

ini

disampaikan kepada Sultan berikut semua senjata rampasannya.

Sarantaka

dan Sacantaka bersama dua pacalang berhasil menghancurkan sebuah

kapal kompeni di Tanjung Balukbuk. Pangeran Ratu Bagus

Singandaru dapatmenghancurkan sebuah kapal jung besar milik kompeni yang baru

datang

dari Malaka di dekat Tanjung Barangbang. Demikian juga dengan

pasukan Kyai

Haji Abbas, mereka dapat menghancurkan kapal kompeni di dekat

perairan

Gosong Bugang, semua barang rampasan diserahkan kepada Sultan.

Armada-armada

Banten di perairan jauh pun mencatat kemenangan yang

menggembirakan.

Pasukan yang dipimpin oleh Rangga Natajiwa, Surantaka dan

Wiraprana dapat

menghancurkan armada kompeni di Krawang yang mengangkut

pasukan dari Jawa

Timur. Sedangkan di perairan Pelabuhan Ratu, pasukan Saranurbaya

dapat

menghancurkan kapal kompeni, walaupun Saranurbaya sendiri luka

parah yang

mengakibatkan ia meninggal dunia lima hari kemudian.

Di

perairan Teluk Banten, di depan kota Surosowan, datang 11 kapal

perang

kompeni, dalam formasi mengepung dari Pulau Lima di timur sampai

ke Pulau

Dua. Di Surosowan, pasukan meriam yang sudah disiapkan, segera

mengarahkan

sasarannya ke kapal-kapal itu, maka terjadilah tembak menembaksasarannya ke kapal-kapal itu, maka terjadilah tembak menembak

yang seru

dari kedua pasukan (Djajadiningrat, 1983: 75-76). Beberapa meriam

Banten

banyak yang tepat mengenai sasaran; si Jaka Pekik, si Muntab dan si

Kalantaka

selalu tepat mengenai kapal-kapal kompeni itu, sehingga armada

penyerang

melarikan diri dan kembali ke Batavia dengan meninggalkan kapal￾kapal yang

rusak dan tenggelam (Tjandrasasmita, 1967:21). Pertempuran hebat di

darat

dan di laut ini terus menerus berlangsung sampai tujuh belas bulan

lamanya

(Djajadiningrat, 1983:76).

Pada

suatu malam yang sunyi tapi tegang itu Arya Mangunjaya, salah

seorang

ponggawa yang memimpin pasukan perang di front Tangerang -

Angke, menghadap

Sultan tanpa melalui prosedur biasa, melaporkan tentang keadaan

w:st="on">medan

> perang.

Dilaporkan bahwa keadaan prajurit dan ponggawa-ponggawanya

masih dalam

kondisi baik dan mereka siap untuk bertempur, tapi keadaan mereka

pun perlupun perlu

diperhatikan karena sudah lebih satu tahun mereka berperang tanpa

henti;

maka alangkah lebih baik lagi apabila Sultan mengganti mereka

dengan

pasukan yang lebih segar. Setelah Sultan berunding dengan pembesar

lainnya,

diperintahkannya Mangkubumi untuk menyiapkan pasukan pengganti.

Maka keesokan

harinya, Mangkubumi dan Pangeran Mandura menyiapkan prajurit￾prajurit

Banten di Surosowan untuk diberangkatkan ke Tangerang dan Angke.

Arya

Mangunjaya diangkat sebagai panglima perang dengan Arya

Wiratmaja sebagai

wakilnya. Pasukan pengganti ini diberangkatkan pada tahun mantri

kunjara

tataning jurit atau pada tahun 1581 Saka/1659 M. Bersama pasukan

itu

ikut pula Sayyid Ali, utusan dari Mekkah, untuk menggantikan Kyai

Haji

Wangsaraja yang bertugas untuk memelihara semangat juang dan

keyakinan

agama prajurit. Sedangkan Pangeran Senopati bersama seluruh

pasukannya

dipanggil pulang kembali ke Surosowan (Tjandrasasmita, 1967:22).

Kedatanganpasukan pengganti ini diketahui oleh kompeni Belanda. Maka untuk

mengimbangi kekuatan pasukan Banten itu, dikirimnya lagi pasukan

tambahan

dari Batavia.

Setelah

kedua pasukan itu saling berhadapan, diadakan perang tanding antara

pemimpin kedua pasukan. Arya Mangunjaya ditantang oleh seorang

Kapten

Belanda, yang kemudian dapat dibunuhnya. Prayakarti ketika hendak

memenggal

kepala kapten musuh yang sudah dibunuhnya, tiba-tiba dibokong oleh

empat

orang musuh sehingga ia gugur. Maka serentak kedua pasukan itu

mengadakan

serangan, dan perang besar dimulai, sampai senja hari. Keesokan

harinya

Arya Mangunjaya memerintahkan beberapa orang prajurit untuk pergi

ke

Surosowan melaporkan jalannya perang, sambil membawa prajurit￾prajurit yang

terluka, tawanan perang dan juga harta rampasan.

Pertempuran

baru dilanjutkan selang beberapa hari kemudian. Banyak prajurit dari

kedua

pihak yang gugur dan terluka. Prajurit Banten yang terluka segera

dikirimke Surosowan, tapi banyak pula yang meninggal di perjalanan karena

lukanya

yang parah.

Karena

penyerangan pasukan Banten ini dilakukan terus menerus dan tanpa

mengenal

takut, akhirnya kedudukan kompeni semakin terdesak sampai

mendekati batas kota

> Batavia.

Penduduk dan pejabat kompeni segera mengungsi ke daerah lain,

khawatir

kalau-kalau pasukan Banten dapat menembus benteng pertahanan

w:st="on">kota

>; tambahan

tentara tidak mungkin diharapkan, karena pada waktu itu kompeni pun

sedang

sibuk berperang dengan Makasar. Karena keadaan terdesak inilah

kompeni

berusaha mengadakan perdamaian dengan Sultan 'Abulfath di

Surasowan, dan

sudah tentu Sultan menolak usul perdamaian tersebut. Untuk

melunakkan hati

Sultan, kompeni minta tolong kepada Sultan Jambi untuk tercapainya

perjanjian persahabatan itu. Sultan Jambi mengirimkan utusannya

Kiyai

Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana ke Surosowan.

Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana ke Surosowan.

Akhirnya

pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian damai antara

Sultan

'Abulfath Abdulfattah dengan Gubernur Jendral Joan Matsuiyker.

Dengan

ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata ini, maka berakhirlah

untuk

sementara perang besar antara Banten dan kompeni Belanda.

Perjanjian

gencatan senjata tanggal 10 Juli 1659 itu, dijadikan kesempatan yang

baik

oleh Sultan Abulfath untuk membenahi diri guna persiapan

menghadapi kompeni

selanjutnya. Untuk tujuan itulah, Sultan mulai mengadakan

pembangunan-pembangunan dalam segala bidang yang pada waktu

sebelumnya

tertunda karena perang.

Guna

memenuhi kebutuhan senjata api dan senjata berat lainnya, Sultan

mengadakan

hubungan dengan negara Inggris, Portugis dan Perancis yang bersedia

menjual

senjata-senjata yang dibutuhkan Banten --- pada waktu itu antara

Belanda,

Inggris, Portugis dan Perancis sedang terjadi persaingan dagang yang

keras.Dalam pada itu, hubungan Banten dengan kerajaan Islam di Turki

berjalan

baik, sehingga orang-orang Banten yang pergi haji, pulangnya dapat

membawa

senjata-senjata yang dibelinya dari Turki.

Senjata-senjata

perang ini, selain diperoleh dengan cara membeli dari luar negeri,

Banten

pun sebenarnya sudah mampu membuatnya sendiri. Hal ini terbukti

dari hasil

penggalian di situs Kampung Sukadiri dan Kepandean, di sana

> ditemukan seperangkat alat-alat

pengecoran logam dan juga wadah pencetak senjata (Mundardjito,

1977:546).

Itulah sebabnya mengapa Banten pun mampu mengirimkan meriam

dan senjata api

lainnya, lengkap dengan peluru serta mesiunya sebanyak beberapa

kapal

kepada pasukan Trunojoyo di Jawa Timur (Sanusi Pane, 1950:212).

Dalam

pengadaan kapal perang, Sultan memesan dari beberapa galangan

kapal di

Jawa, seperti di Jepara dan Gresik. Sedangkan kapal perang yang besar

dan

khusus, dibuat sendiri di galangan kapal di Banten dengan bantuanorang-orang Portugis dan Belanda yang sudah Islam (Tjandrasasmita,

1975:17).

Untuk

memperkuat ketahanan angkatan perangnya, Sultan juga mengangkat

prajurit-prajurit muda yang kesemuanya dilatih guna menghadapi

w:st="on">medan

> perang yang

berat. Mereka dipersiapkan untuk menempati pos terdepan di

Tangerang dan

Angke, karenanya pada tahun 1660 Sultan pun memerintahkan

membuat

perkampungan prajurit di sebelah barat Untung Jawa, yang

diperkirakan mampu

menampung 5000 sampai 6000 prajurit (Tjandrasasmita, 1967:28).

Kemudian

untuk tempat pengungsian bagi kaum wanita apabila terjadi

peperangan,

terutama untuk wanita kraton, Sultan membuat tempat perlindungan di

Banten

Girang (Djajadiningrat, 1983: 125).

Selain

di Tangerang, Sultan juga membuat perkampungan prajurit pilihan di

Pontang,

bahkan akhirnya Sultan menyuruh membuat istana yang nantinya

digunakansebagai pusat pengontrol kegiatan di Tangerang dan Batavia

>, di samping untuk tempat

peristirahatan. Maka dengan demikian Pontang dijadikan penghubung

antara

Surosowan dan benteng pertahanan di Tangerang, yang juga

mempersingkat

jalur komunikasi dari medan perang. Untuk menghubungkan

Surosowan, Pontang dan Tangerang, digunakan dua

jalur, di samping jalan darat yang sudah ada dari Surosowan ke

Pontang,

juga dibuat saluran tembus yang digali sepanjang jalan kuno, yakni

dari

sungai Untung Jawa (Cisadane), Tanahara hingga ke Pontang --- dari

Tanahara, dengan menyusuri sungai Cisadane sampailah ke pantai

Pasilian.

Saluran tembus antara Pontang dan Tanahara ini dibuat cukup lebar,

sehingga

dapat dilayari kapal perang ukuran sedang. Proyek pembuatan saluran

ini

dimulai pada tahun 1660 dan selesai sekitar tahun 1678. Melalui

sungai

buatan ini, Sultan dapat segera mengirimkan bantuan ke Tangerang

baik dari

pos Pontang maupun dari Surosowan (Tjandrasasmita, 1967:27).

Sungai

buatan ini --- yang pasti dikerjakan dengan kemauan dan biaya raksasa

bukan saja dimaksudkan untuk kepentingan militer tetapi juga untuk

pertanian. Sehingga dengan dibangunnya saluran tembus itu berarti

daerah sekitarnya menjadi daerah subur, maka tumbuhlah daerah

sekitar Pontang sebagai daerah

penghasil padi yang dapat diandalkan untuk Banten. Rupanya inilah

yang

dituju oleh Sultan, yaitu mempersiapkan daerah strategis untuk pos

pembantu

penyerangan ke Batavia, di samping juga menjadi "daerah kantong"

atau penyedia bahan makanan bagi prajurit di medan perang.

Selain

itu, Sultan pun berusaha menyempurnakan dan memperbaiki keadaan

di dalam

ibukota kerajaan. Dengan bantuan ahli bangunan dari Portugis dan

Belanda,

yang sudah masuk Islam, di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel,

diperbaiki

pula bangunan-bangunan istana Surosowan. Benteng istana diperkuat

dan

diberi bastion, bangunan berbentuk setengah lingkaran di setiap mata

angin, yang dilengkapi dengan 66 buah meriam diarahkan ke segenap

penjuru

(Chijs, 1881:39)[17]. Sungai di sekeliling benteng dan irigasi di sekitar ibukota pun

diperlebar dan ditingkatkan daya

jangkaunya, sehingga areal sawah yang mendapat pengairan semakin

luas.Daerah yang tadinya selalu kekurangan air menjadi subur; padi dan

tanaman

produksi lainnya sangat menunjang kemakmuran rakyat Banten,

diperkirakan

produksi merica rata-rata 3.375.000 pon pada tahun 1680 - 1780

(Chijs,

1881:70).

Dengan

ditandatanganinya gencatan senjata antara Banten dan Batavia

>, berarti blokade Kompeni atas

pelabuhan Banten pun berakhir. Kapal-kapal dagang asing yang

tadinya takut

berlabuh di Banten, sekarang mereka dapat berniaga dengan aman dan

bebas.

Maka ramailah pelabuhan Banten dengan kapal-kapal dagang dari

berbagai

negara, seperti dari Manila, Jepang, Cina, India, Persia dan Arab,

bahkan

pedagang-pedagang dari Ingris, Perancis, Denmark, Belanda dan

Portugis pun

membuka kantor perwakilannya di Banten. Karena Mataram dalam

situasi perang

dengan kompeni, maka pusat perdagangan di bagian timur pun beralih

ke

Banten; otomatis wilayah dagang Banten ini meliputi hampir seluruh

daerah

nusantara. Sehingga dapat dikatakan bahwa Banten mencapai puncak

kejayaannya --- dan pada masa itu pun dikeluarkan uang emas

Kesultanan

Banten (Burger, 1962:63).

Dalam

masa itu pula perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan

pesat. Di

komplek Masjid Agung dibangun sebuah madrasah yang dimaksudkan

untuk

mencetak pemimpin rakyat yang saleh dan taat beragama, demikian

juga di

beberapa daerah lainnya. Untuk mempertinggi ilmu keagamaan dan

membina

mental rakyat serta prajurit Banten didatangkan guru-guru dari Aceh,

Arab

dan daerah lainnya. Salah satunya adalah seorang ulama dari Makasar,

Syekh

Yusuf Taju'l Khalwati, yang kemudian dijadikan Mufti Agung, guru

dan mantu

Sultan Abulfath (Hamka, 1982:38).

Sultan

membina hubungan baik dengan beberapa negara Islam seperti dengan

Aceh dan

Makasar, demikian juga dengan negara Islam di India

>, Mongol, Turki dan

Mekkah. Sultan menyadari bahwa, untuk menghadapi kompeni yangMekkah. Sultan menyadari bahwa, untuk menghadapi kompeni yang

kuat dan

penuh dengan taktik licik tidaklah mungkin dihadapi oleh Banten

sendiri.

Dalam kegiatan diplomatik, Sultan pernah mengirimkan utusan ke

Ingris yang

terdiri dari 31 orang dipimpin oleh Naya Wipraya dan Jaya Sedana

pada

tanggal 10 Nopember 1681. Utusan ini bukan saja sebagai kunjungan

persahabatan tetapi juga sebagai upaya mencari bantuan persenjataan

(Russel

Jones, 1982).

#Demikian

pesatnya usaha yang dilakukan Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dalam

membangun

kemakmuran Banten, sebagai persiapan mengusir penjajah Belanda,

sehingga

Gubernur Jendral Ryklop van Goens, pengganti Gubernur Jendral Joan

Matsuiyker, menulis dalam suratnya yang ditujukan kepada

Pemerintah

Kerajaan Belanda tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Yang amat perlu

untuk

pembinaan negeri kita adalah penghancuran dan penghapusan Banten.

Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur leburkan, atau kompeni

yang

lenyap" (Tjandrasasmita, 1967:35).Politik

Adu-domba Belanda

Dari

perkawinannya Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dikaruniai anak:

1)

Dari istri Ratu Adi Kasum, puteri Pangeran Arya

Iwardaya, dikarunia anak seorang yaitu Abdul Kohar.

2)

Dari istri Ratu Ayu Gede, berputera: Pangeran Arya Abdul

'Alim, Pangeran Arya Ingayuja Pura dan Pangeran Arya Purbaya.

3)

Dari istri Ratu Siti, berputera: Pangeran Sugiri.

4)

Dari istri yang tidak disebut namanya. berputra: Tubagus

Raja Suta, Tubagus Rajaputra, Tubagus Husen, Raden Mandaraka,

Raden Saleh,

Raden Arum, Raden Mesir, Raden Muhammad, Tubagus Muhasim,

Tubagus Wetan,

Tubagus Muhammad 'Arif, Tubagus Abdul, Ratu Jamiroh, Ratu Ayu,

Ratu Kidul,

Ratu Marta, Ratu Adi, Ratu Ummu, Ratu Majidah, Ratu Habibah, Ratu

Fatimah,

Ratu Asyithoh, dan Ratu Nasibah.Seperti

kebiasaan yang dilakukan sultan-sultan sebelumnya, Sultan 'Abulfath

Abdul

Fattah mengangkat putra pertamanya menjadi putra mahkota. Jabatan

ini

biasanya dikaitkan sebagai Mangkubumi pembantu atau Mangkubumi

kedua

dalam struktur pemerintahan. Wewenang putra mahkota rupanya

cukup besar,

sehingga semua kebijaksanaan Sultan haruslah hasil musyawarah

antara

sultan, mangkubumi dan putra mahkota. Oleh karenanya putra

mahkota pun

mempunyai pembantu-pembantunya sendiri, seperti juga mempunyai

pasukan dan

sebagainya. Pengangkatan Abdul Kohar menjadi Pangeran Gusti

(Putra Mahkota)

terjadi pada tanggal 16 Pebruari 1671, bertepatan dengan datangnya

w:st="on">surat

> dari Syarif

Mekkah, yang isinya antara lain bahwa Pangeran Gusti diberi gelar

Sultan

Abu'n Nasr Abdul Kohar (Djajadiningrat, 1983: 55, 208).

Putra

Mahkota Sultan Abu'n Nasr Abdul Kohar diberi kuasa untuk mengatur

semua

urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri masih sepenuhnya

wewenang

Sultan Abdul Fattah. Semenjak itu Sultan 'Abulfath Abdul Fattah

pindah ke

istana yang baru di Pontang (kira-kira 13 km ke arah timur Surosowan,

yang

sekarang desa Tirtayasa) --- karena itu diberi sebutan Sultan Ageng

Tirtayasa. Keputusan ini diambil (mungkin) Sultan ingin memusatkan

perhatian pada bidang pertahanan di Tangerang dan Angke; karena

dari

Tirtayasa keadaan di garis depan akan lebih mudah dikontrol,

demikian juga

keadaan di Surosowan pun akan cepat diketahui karena perhubungan

antara

kedua daerah sudah cukup baik. Tapi dengan pindahnya Sultan

'Abdulfath ke

Tirtayasa ini, Belanda semakin mendapat kesempatan baik, karena

sewaktu beliau

masih di Surosowan, kompeni tidak dapat berbuat banyak karena

memang Sultan

dikenal dengan keteguhan sikapnya; Sultan ingin supaya kompeni

Belanda

hancur dan enyah dari bumi nusantara.

Dengan segala

rayuan dan bujukan halus, kompeni berusaha mendekati Putra

Mahkota, dan

akhirnya, Putra Mahkota pun dapat dipengaruhinya. kompeni Belanda

akhirnya, Putra Mahkota pun dapat dipengaruhinya. kompeni Belanda

mendapat

banyak kemudahan, baik dalam bidang perdagangan maupun bidang

lainnya.

Bahkan dalam setiap acara penting di istana Surosowan, wakil

kompeni selalu

diundang hadir. Kedekatan hubungan dengan kompeni ini sampai￾sampai

mempengaruhi cara pikir dan tingkah laku Putra Mahkota. Dalam

kehidupan

sehari-hari, cara berpakaian, makanan dan sebagainya, Putra Mahkota

banyak

meniru kebiasaan-kebiasaan orang Belanda, yang dirasa asing oleh

rakyat

Banten. Sehingga tidaklah aneh apabila sebagian besar rakyat dan

pembesar

kerajaan tidak menyenanginya (Tjandrasasmita, 1967 : 35).

Melihat

keadaan demikian itu, Sultan Ageng Tirtayasa sangatlah prihatin.

Dibujuknya

Putra Mahkota untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah, yang nanti

pulangnya

meninjau beberapa negara Islam. Diharapkan dengan cara demikian,

kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak selaras dengan adat keislaman

sedikit

banyak dapat dihilangkan. Di samping itu pula Putra Mahkota dapat

memperluas wawasan berpikirnya, demi kemajuan Kesultanan Banten

memperluas wawasan berpikirnya, demi kemajuan Kesultanan Banten

(Hamka,

1976: 303). Maka pada tahun 1674 berangkatlah Putra Mahkota Sultan

Abu'nasr

Abdul Kahar beserta rombongannya ke Mekkah, sekalian melawat ke

negeri-negeri Islam lainnya. Perjalanan ini memakan waktu dua tahun

pulang

pergi.

Selama

Putra Mahkota pergi ke Mekkah, pemerintahan di Surosowan

dipercayakan

kepada adiknya, Pangeran Purbaya. Mengingat sifat Pangeran Purbaya

yang

jauh lebih baik dari kakaknya, Sultan Ageng Tirtayasa banyak

menyerahkan

tanggung jawab kerajaan ke pundaknya. Sehingga begitu Putra

Mahkota pulang

dari Mekkah, didapatinya Pangeran Purbaya lebih banyak

mendapatkan

kekuasaan dari ayahnya. Karena itulah terjadi adanya ketegangan

hubungan

antara Putra Mahkota --- yang kemudian dikenal dengan sebutan

Sultan Haji

--- dengan Pangeran Purbaya. Demikian juga antara Sultan Haji

dengan

ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.

Keadaan

demikian dimanfaatkan oleh kompeni untuk menghasut Sultan Haji

dan berusaha

mengadu-dombakan antara ayah dan anak. Sehingga timbullah

keberanian Sultan

Haji untuk menentang kebijaksanan ayahnya. Dan karena dianggapnya

semua

orang di istana memusuhinya, Sultan Haji lebih percaya kepada

kompeni yang

dianggapnya sebagai kawan sejati, dan dijadikannya orang-orang

Belanda itu

sebagai penasehatnya.

Dalam

situasi yang demikian itu, datanglah tiga orang pangeran dari

w:st="on">Cirebon

>. Mereka

adalah Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya dan Pangeran

Wangsakerta[18]. Ketiganya diterima baik oleh Sultan dan dijanjikan untuk menjadikan

mereka sultan di

w:st="on">Cirebon

> yang merdeka atas jaminan Banten.

Dengan bantuan beberapa prajurit pilihan dari Banten, mereka

ditugaskan

untuk menyusun kekuatan rakyat Cirebon yang nanti disiapkan

menyerang kompeni dari arah timur[19]. Tindakan Sultan membantu ketiga

pangeran Cirebon itu ditentang oleh Sultan Haji, yang dianggapnya mencampuri urusan

kompeni,

dan ini berbahaya bagi rakyat Banten.

Biar pun

perjanjian persahabatan telah ditandatangani, Sultan masih melihat

adanya

usaha kompeni untuk memak-sakan monopoli perdagangan di Banten;

bahkan

mereka pun berusaha mengadu-domba antara rakyat dan pembesar

istana. Karena

itulah, secara diam-diam, Sultan membantu perlawanan rakyat

terhadap

kompeni Belanda. Sultan membina hubungan baik dengan Trunojoyo

di Jawa

Timur dan Sultan Hasanuddin di Makasar[20]. Dan, setelah perlawanan

Trunojoyo dan Hasanuddin dapat dikalahkan Belanda, Sultan menerima

prajurit-prajurit mereka bergabung untuk bersama-sama memerangi

kompeni.

Sultan membantu mereka dalam mengadakan kekacauan-kekacauan di

perbatasan Batavia

>. Pasukan ini

pun berkali-kali mengadakan serangan gerilya pada pos-pos kompeni

antara Cirebon

> dan Citarum,

bahkan juga menyerang benteng kompeni di Tanjung Pura dekat

Krawang (Sanusi

Pane, 1950:216).

3. Tahap Akhir Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa

Hubungan

Sultan Haji dengan kompeni Belanda sudah sedemikian dekatnya

sehingga dalam

pasukan pertahanan Surosowan pun ditempatkan satu barisan pasukan

kompeni

sebagai pasukan tambahan, yang pada hakekatnya mereka adalah

mata-mata yang

ditanam kompeni di Banten (Chijs, 1881 : 38). Memang inilah yang

dituju

kompeni, Sultan Haji sudah terbiasa dengan segala yang berbau

Belanda. Ia

lebih percaya kepada kata-kata kompeni dari pada petuah-petuah

ayahnya.

Karena hasutan kompeni ini pulalah maka hubungan Sultan Haji

dengan ayahnya

semakin renggang, bahkan kedua sultan ini saling curiga mencurigai.

Sehingga

pada diri Sultan Haji tumbuh keinginan yang kuat untuk segera

memegang

kekuasaan penuh di Kesultanan Banten, tanpa adanya campur tangan

ayahnya.

Keinginan

demikian terlihat dari tindakan Sultan Haji yang pada bulan Mei 1680

mengirimkan utusan ke Gubernur Jendral VOC di Batavia untuk

menawarkan

perdamaian sambil menegaskan bahwa yang berkuasa di Banten

sekarang adalah

dirinya. Ia menyatakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa sudah

menyerahkan

seluruh kekuasaannya. Sudah tentu tawaran itu ditolak, kompeni tahu

bahwa

Sultan Ageng Tirtayasa belum meletakkan jabatannya. Keadaan ini

dijadikan

senjata oleh kompeni mendorong Sultan Haji untuk segera

memperoleh kuasa

penuh di Banten.

Satu hal

lagi yang mengecewakan Sultan Ageng Tirtayasa, adalah surat ucapan

selamat

yang dikirimkan Sultan Haji atas diangkatnya Speelman menjadi

Gubernur

Jendral VOC menggantikan Rijklof van Goens pada tanggal 25

November 1680,

padahal saat itu kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya

Banten di

Cirebon yang kemudian dapat menguasai Cirebon seluruhnya. Melihat

keadaan

anaknya yang sudah sedemikian keadaannya, Sultan Ageng Tirtayasa

memobilisasikan pasukan perangnya untuk digunakan sewaktu-waktu.

Rakyat

dari daerah Tanahara, Pontang, Tirtayasa, Caringin, Carita dan

sebagainya

banyak yang mendaftarkan diri untuk menjadi prajurit. Demikian juga

tentarapelarian dari Makasar, Jawa Timur, Lampung, Solebar, Bengkulu dan

w:st="on">Cirebon

> bergabung

dengan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan sudah tidak peduli

lagi

dengan tentara dan bangsawan yang berpihak kepada Sultan Haji yang

dianggap

berpindah adat dan berbeda haluan.

Dalam

suasana yang sudah demikian panas, Sultan Ageng mendengar khabar

bahwa

beberapa kapal Banten yang pulang dari Jawa Timur ditahan kompeni

kerena

dianggap kapal perompak. Tuntutan Sultan supaya mereka dibebaskan

tidak

dihiraukan kompeni. Hal ini membuat kemarahan Sultan menjadi-jadi.

Rasa

harga dirinya sebagai Sultan dari suatu negara merdeka terasa

diremehkan.

Maka diumumkannya bahwa Banten dan kompeni Belanda dalam

situasi perang.

Pernyataan

perang Sultan Ageng Tirtayasa kepada kompeni ini ditentang oleh

anaknya,

Sultan Haji. Sultan Haji menyatakan bahwa keputusan itu terlalu

ceroboh,dan, karena tidak dimusyawarahkan dahulu dengannya maka

keputusan itu tidak

syah. Bahkan dengan bermodalkan bantuan pasukan kompeni, yang

dijanjikan

kepadanya, Sultan Haji memak-zulkan ayahnya, dengan alasan bahwa

ayahnya,

Sultan Ageng Tirtayasa, sudah terlalu tua dan sudah mulai pikun

sehingga

mulai saat ini kekuasaan Banten seluruhnya dipegang oleh Sultan Haji.

Melihat

tingkah laku anaknya yang sudah keterlaluan ini, habislah sudah

kesabaran

Sultan Ageng Tirtayasa. Musuh besarnya adalah kompeni Belanda,

tapi untuk

menggem-purnya harus ada kesatuan kata dari semua rakyat Banten.

Oleh

karenanya sebelum menyerang Batavia,

terlebih dahulu harus menyatukan Banten, yaitu mengganti Sultan

Haji.

Sultan Ageng bukanlah akan berperang dengan anaknya, tetapi yang

diperangi

adalah antek penjajah.

Pada

tanggal 26 malam 27 Pebuari 1682, dengan dipimpin sendiri oleh

Sultan Ageng

Tirtayasa, mulailah diadakan penyerbuan mendadak ke Surosowan,

yangyang

berhasil mematahkan perlawanan Surosowan, sehingga dalam waktu

singkat,

pasukan Sultan Ageng dapat menguasai istana. Sultan Haji melarikan

diri dan

minta perlindungan kepada Jacob de Roy, bekas pegawai kompeni

(Tjandrasasmita, 1967 : 41).

Keadaan

Surosowan ini segera dapat diketahui Batavia, maka pada tanggal 6

Maret

1682 dipimpin oleh Saint Martin kompeni mengirimkan dua kapal

perang

lengkap pasukan tempurnya. Pasukan ini tidak segera dapat mendarat

di

pelabuhan Banten, karena hebatnya perlawanan pasukan Banten. Maka

Kapten

Sloot dan W. Caeff, wakil kompeni di Banten, segera mengirim utusan

ke Batavia

> agar kompeni

mengirimkan pasukan darat yang lebih banyak lagi.

Setelah

mempelajari keadaan medan perang, kompeni segera mengirim

pasukan bantuan dari darat dan laut.

Penyerangan dari laut dipimpin oleh Kapten Francois Tack yang, nanti

bersama-sama dengan pasukan Saint Martin mengadakan serangan di

depan pelabuhan Banten. Sedangkan pasukan darat

dipimpin Kapten Hartsinck, berkekuatan 1000 orang, mengadakan

penyerangan

dari arah Tangerang; nanti dalam serbuan ke Tirtayasa, pasukan ini

bergabung dengan pasukan laut, sehingga Tirtayasa diserang dari dua

arah,

demikian taktik kompeni.

Melalui

pertempuran yang banyak memakan korban, akhirnya pasukan Kapten

Tack dan Saint Martin

> dapat menguasai Surosowan. Sultan Ageng

Tirtayasa dan pasukannya mundur ke arah barat sungai Ciujung.

Pertempuran

ini berlangsung terus menerus sampai akhirnya pasukan Sultan Ageng

hanya

dapat bertahan di benteng Kedemangan.

Dalam

pada itu, pasukan Banten di Tangerang dan Angke berusaha menahan

serangan

pasukan Kapten Hartsink. Di sebelah timur Sungai Angke, kompeni

hanya dapat

bertahan di bentengnya saja, sedangkan benteng di sebelah baratnya,

pada

tanggal 30 Maret 1682, sudah dapat dikuasai pasukan Banten yang

dipimpin

Pangeran Dipati. Tapi setelah melalui pertempuran yang lama, pada

tanggal 8Desember 1682 kubu pertahanan Banten di Tangerang dan Angke

dapat dikuasai

kompeni. Benteng di Kedemangan pun akhirnya dapat dihancurkan

pasukan

Kapten Tack pada tanggal 2 Desember 1682. Dengan demikian ruang

gerak

prajurit Sultan Ageng Tirtayasa semakin kecil. Di sebelah barat

pasukan

kompeni yang dibantu pasukan Sultan Haji menguasai sampai

Kademangan,

sedangkan dari arah timur pasukan Kapten Hartsinck sudah sampai di

perbatasan daerah Tanahara. Sehingga daerah induk yang masih

dikuasai

Sultan Ageng hanyalah Tanahara, Tirtayasa dan Kademangan saja

(Sanusi Pane,

1950:216).

Untuk

mempertahankan Tirtayasa, benteng di Kademangan dan Tanahara

merupakan kubu

pertahanan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang terkuat. Di

Tanahara, Sultan

Ageng menempatkan pasukan darat yang dipusatkan di benteng

Tanahara, dan

juga pasukan lautnya di Pulau Cangkir. Karena kuatnya pertahanan di

Tanahara ini, maka kompeni menambah lagi pasukan tempurnya dari

w:st="on">Batavia> dipimpin

Kapten Jonker. Setelah mengerahkan pasukan penyerang dari darat

dan laut,

barulah pada tanggal 28-29 Desember 1682 Tanahara pun dapat

direbut

kompeni.

Dalam

usaha untuk menguasai daerah Tirtayasa, kompeni melakukan

penyerangan

serentak dari dua jurusan: pasukan Kapten Tack dan Sultan Haji

menyerang

dari Pontang, sedangkan pasukan Hartsinck dan Kapten Jonker

menyerang dari

Tanahara. Seluruh barisan pertahanan Sultan Ageng dikerahkan untuk

melawan

kekuatan kompeni ini. Sultan Ageng, Pangeran Purbaya, Syekh Yusuf

dan

seluruh pembesar negeri semuanya turut berperang memimpin

pasukan.

Pertempuran berlangsung hebat, tapi akhirnya pasukan Sultan Ageng

sedikit

demi sedikit dapat dipukul mundur. Karena Sultan memperkirakan

bahwa

pasukannya tidak akan mampu mempertahankan Tirtayasa lebih lama

lagi, maka

diperintahkan pasukannya untuk segera mengundurkan diri,

meninggalkanTirtayasa dan mundur ke arah selatan yaitu hutan Keranggan. Tapi

sebelumnya, Sultan memerintahkan supaya istana dan bangunan

lainnya

dibakar. Sultan tidak rela bangunan-bangunannya itu diinjak oleh

orang

kafir dan pendurhaka. Memang, akhirnya kompeni dan Sultan Haji

dapat menduduki

Tirtayasa, tetapi di sana mereka hanya mendapati puing-puing bekas

istana saja, bahkan penduduknya

pun banyak yang ikut Sultannya ke hutan (Tjandrasasmita, 1976:44).

Dari

hutan Keranggan, Sultan Ageng Tirtayasa dan seluruh pasukannya

melanjutkan

perjalanan ke Lebak. Satu tahun mereka melakukan perang gerilya

dari

w:st="on">sana

>. Tapi akhirnya,

Lebak pun dapat dikepung pasukan kompeni, sehingga pasukan Sultan

Ageng

terpecah menjadi dua bagian: Pangeran Purbaya dan sejumlah

tentaranya

bergerak ke sekitar Parijan, di pedalaman Tangerang. Sedangkan

Sultan

Ageng, Pangeran Kidul, Pangeran Kulon, Syekh Yusuf beserta sisa

pasukannya

bergerak ke daerah Sajira, di perbatasan Bogor.

Sultan

Haji berusaha keras agar ayahnya dapat kembali ke Surosowan.

Dengan

petunjuk serta nasehat kompeni, yang ingin melakukan tipu daya

halus, maka

Sultan Haji mengirimkan surat kepada Sultan Ageng Tirtayasa di

Sajira.

w:st="on">Surat

> itu berisikan ajakan Sultan Haji

supaya ayahnya kembali ke Surosowan dan hidup bersama dengan

damai, di

samping itu dapatlah dirundingkan kedudukan prajurit dan rakyat

Banten yang

mendukung perjuangan Sultan Ageng. Tanpa perasaan curiga sedikit

pun,

Sultan yang kala itu usianya sudah lanjut, --- ditambah pula kesedihan

atas

gugurnya Pangeran Kulon pada tanggal 7 Maret 1683 --- maka pada

tanggal 14

Maret 1683 tengah malam, Sultan Ageng datang ke Surosowan setelah

lama

bertahan di hutan.

Sultan

Ageng Tirtayasa dengan beberapa pengawalnya sampailah di

Surosowan dan

langsung menemui putranya yang telah menantikan kedatangan sang

ayah.


ayah.

Penerimaan Sultan Haji sangat baik meski pun di belakangnya telah

ada

maksud tertentu atas bujukan kompeni. Tetapi setelah beberapa saat

lamanya

tinggal di istana Surosowan ia ditangkap oleh kompeni dan segera

dibawa ke Batavia

>. Memang

itulah maksud dan tipudaya kompeni atas kerja sama dengan Sultan

Haji. Jika

Sultan Ageng Tirtayasa dibiarkan berada di Surosowan maka

dikhawatirkan

oleh kompeni akan dapat mempengaruhi Sultan Haji, yang sudah erat

bekerjasama dengan kompeni.

Sultan

Ageng Tirtayasa dimasukkan ke dalam penjara berbenteng di Batavia

> dengan penjagaan ketat serdadu

kompeni hingga meninggalnya di penjara pada tahun 1692

(Tjandrasasmita,

1967:46). Jenazahnya oleh Sultan Abdulmahasin Zainul Abidin,

anaknya Sultan

Haji, dan terutama oleh rakyat Banten yang amat mencintainya

dimintakan

kepada pemerintah tinggi kompeni Belanda untuk dikirim kembali ke

Banten.

Kemudian dengan upacara keagamaan yang amat mengesankan ia

dimakamkan di

samping sultan-sultan pendahulunya, di sebelah utara Masjid Agung

Banten[21].

4. Perjuangan Gerilya Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf

Ketika

Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap atas tipu daya Belanda dan kerja

sama Sultan

Haji, serta gugurnya Pangeran Kulon, semangat perjuangan menentang

dominasi

Belanda tidaklah berkurang. Hal mana menjadikan motivasi pejuang

yang pro

Sultan Ageng Tirtayasa semakin meningkat karena kekuasaan Banten

di bawah

Sultan Haji telah ada dalam pengaruh politik Belanda. Jajaran

penjuang

terdiri dari keluarga kerajaan, para ulama dan sebagian besar rakyat

Banten. Mereka masih terus berjuang di hutan-hutan menentang

kolonialisme

Belanda. Tokoh gerilya itu di antaranya adalah Syekh Yusuf, Pangeran

Purbaya dan Pangeran Kulon. Syekh Yusuf adalah seorang ulama

Banten asal

Makasar yang diangkat mufti kerajaan Banten semasa Sultan Ageng

Tirtayasa.

Walaupun

Sultan Ageng Tirtayasa sudah dapat ditangkap dan dipenjarakan

kompeni,

Syekh Yusuf dan pasukannya tetap meneruskan perjuangan di sekitar

Tangerang. Bersama pasukan Banten lainnya mereka menyusuri hutan

dan tepi

sungai dengan tujuan ke Cirebon, dengan

harapan di sana ia mendapat bantuan dari Sultan Cirebon yang pernah

jadi sahabat Banten.

Dalam pada itu kompeni segera mengetahui tentang rencana Syekh

Yusuf itu,

maka dikirimkannya sejumlah pasukan kompeni yang dipimpin oleh

Van Happel

ke Cirebon.

Kompeni khawatir kalau-kalau Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan

Pangeran

Kidul serta tentaranya ini akan terus ke Jawa Tengah dan bergabung

dengan

pasukan Kartasura.

Sampai

di Cikaniki, pasukan Syekh Yusuf selanjutnya menuju Cianten lewat

jalan

Cisarua dan Jampang, sedangkan pasukan Pangeran Purbaya

melanjutkan

perjalanannya ke daerah Galunggung untuk bergabung dengan

Tumenggung

Tanubaya. Pasukan gerilya Banten ini berjumlah kira-kira 4000 orang

atau

5000 orang, termasuk 1000 orang Makasar, Bugis dan Melayu. Dari

Jampang,

Syekh Yusuf dan pasukannya terus menuju ke Pamotan yang

kemudian ke Cilacap

dengan menggunakan perahu. Tapi karena tentara kompeni yang

dipimpin oleh

De Ruys dan Eigel berada di sana,

Syekh Yusuf pun pergi ke Padaherang dengan menyusuri sungai

Citandui. Dari

daerah inilah Syekh Yusuf kemudian mengadakan serbuan-serbuan ke

benteng

pertahanan Belanda. Tapi tidak lama kemudian, tanggal 25 September

1683,

Belanda mengadakan serangan besar-besaran terhadap Padaherang,

sehingga

dalam pertempuran itu Pangeran Kidul gugur demikian juga banyak

pembesar

Banten dan Makasar yang gugur, dan istri Syekh Yusuf ditawan

musuh,

sedangkan Syekh Yusuf beserta sisa pasukannya dapat meloloskan diri

dan

pergi hingga sampai di Mandala, daerah Sukapura.

Karena

kompeni sudah merasa kesulitan untuk menangkap Syekh Yusuf,

maka diaturlah

strategi penipuan untuk dapat memperdayakan Syekh Yusuf. Mula-strategi penipuan untuk dapat memperdayakan Syekh Yusuf. Mula￾mula, kompeni

menangkap anak perempuan Syekh Yusuf, yang bernama Asma,

kemudian dengan

menggunakan putrinya itu, Van Happel pergi ke Mandala untuk minta

supaya

Syekh Yusuf menjemput putrinya dan berunding dengan kompeni.