ng harus dikerjakannya
untuk
kebesaran Islam di negaranya masing-masing. Mereka secara tidak
tertulis
mengadakan koordinasi di antara negara-negara Islam. Terbentuklah
satu kekhalifahan Islam yang luas, yang dipimpin oleh khalifah yang
mengurusi/menguasai
w:st="on">kota
> suci Mekkah.
Semangat Pan Islamisme dari ummat Islam --- yang merasa
kedaulatannya terusik oleh kolonialis --- sedang tumbuh dengan
suburnya.
Dalam
masa pemerintahan Sultan Abdul Kadir, antara tahun 1633 atau 1634,diutuslah beberapa pembesar istana ke Mekkah. Utusan ini dipimpin
oleh Labe Panji,
Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran
Pekik,
sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji.
Sekitar
tanggal 21 April dan 4 Desember 1638, rombongan yang diutus ke
Mekkah
sampai kembali di Banten. Mereka disambut dengan upacara
kebesaran kenegaraan.
Diceritakan upacara penyambutan ini dalam Sajarah Banten sebagai
berikut: "Di Banten, Sultan memerintahkan kepada Tumenggung Wira
Utama
untuk membuat persiapan secukupnya bagi keperluan penyambutan
itu. Pada
hari yang ditentukan, semua persiapan telah sempurna. Setiap orang
telah
siap di tempatnya masing-masing. Sultan duduk bersama pengiringnya
di srimanganti.
Yang menerima surat dari khalifah Mekkah adalah Ki Pekih, di atas
kapal. Ketika kapal akan
merapat, dari atas kapal ditembakkan meriam sebelas kali, yang
kemudian
dibalas dengan jumlah yang sama dari perbentengan. Gemelan ditabuh
dan
sekali lagi meriam ditembakkan sebagai penghormatan. Bendera dari
Mekkah
dibawa oleh Kiyai Rangga Paman, sedangkan hadiah-hadiah lainnya
dibawa oleh
Tumenggung Indrasupati". Dari Mekkah Sultan mendapat gelar
kebesaran Sultan
Abdulmafakhir Mahmud Abdul Kadir sedangkan Pangeran Pekik
mendapat
gelar Sultan Ma'ali Akhmad. Untuk utusan yang baru datang dari
Mekkah itu, Sultan memberi hadiah dan gelar kebangsawanan.
Demang Tisnajaya
mendapat gelar Haji Wangsaraja (Djajadiningrat, 1983:53 dan 193 -
196). Labe Panji, kepala rombongan yang pertama meninggal dunia
dalam
perjalanan ke Mekkah.
Tidak
lama setelah kedatangan rombongan dari Mekkah itu, ibunda Sultan
yakni Nyai
Gede Wanagiri meninggal dunia. Dan atas perintah Sultan, ibundanya
dikuburkan di Desa Kenari, karena di tempat itulah Nyai Gede
Wanagiri
senang beristirahat menenangkan hati. Di Desa Kenari ini, Sultan
memerintahkan untuk dibuatkan taman yang indah dengan rusa-rusa
dan
binatang peliharaan lainnya, dan Sultan sering beristirahat di taman ini
setelah berziarah ke makam ibundanya.
Apabila
Sultan sedang berada di istana setelah selesai penghadapan para
ponggawa,
baginda duduk dengan muka menghadap ke selatan dengan sebuah
kitab di
sampingnya. Sultan mengajarkan ilmu agama kepada para istrinya,
pedekan
tundan, pedekan jawi, para nyai dan istri-istri para ponggawa dan para
istri mentri[15]. Sedangkan di ruang lain berkumpul pula para nyai sambil mengajar
mengaji al-Qur'an kepada
para pangeran kecil dan putri-putri istana. Nyai-nyai ini dipimpin oleh
Nyai Mas Eyang.
Memang
dalam Sejarah Banten, Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai seorang
ulama
yang saleh. Sultan mengarang beberapa kitab ilmu agama yang
kemudian
disebarkan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Salah satu kitab
karangannya
“Insan Kamil” yang kemudian diambil Dr. Snuock Hurgronje,
pegawai pemerintah Hindia Belanda (Roesjan, 1950:29). Sultan sering
memeriksa kompleks istana dan keadaan rakyatnya pada malam hari
dengan
ditemani oleh Ki Cili Duhung. Apabila ditemukan rakyat yang sakit
atau
penderitaan lainnya, maka keesokan harinya Sultan memerintahkan Ki
Gula
Geseng dan Ki Gula Ngemu (nama orang) untuk memberikan bantuan.
Sultan pun
sering seserangan yaitu mengontrol sawah-sawah kerajaan yang
terletak di daerah Serang sekarang (Djajadiningrat, 1983: 58-61). Hasil
sawah ini di samping untuk memenuhi kebutuhan istana juga sewaktuwaktu
dijual untuk pengontrol harga beras di pasaran. Dengan demikian
kebutuhan
rakyat akan beras dapat dipenuhi (Lombart, 1986:97).
Sultan
Abulma'ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut: Dari perkawinan
dengan
Ratu Martakusuma (Putri Pangeran Jayakarta), dikaruniai 5 orang anak
: Ratu
Kulon (Ratu Pembayun), Pangeran Surya, Pangeran Arya Kulon,
Pangeran Lor,
dan Pangeran Raja. Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah (Ratu
Wetan),
mempunyai anak: Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten dan
Ratu
Tinumpuk. Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra:
Ratu
Petenggak, Ratu Tengah, Ratu Wijil, Ratu Pusmita, Pangeran Arya
Dipanegara
atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara, Pangeran
Aryadikusuma
atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru (Djajadiningrat,atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru (Djajadiningrat,
1983:59).
Dalam
pada itu, Cirebon biar pun tidak pernah diserang Mataram, tapi pada
tahun
1619 keadaannya sudah seperti jajahan Mataram saja (Djajadiningrat,
1983:200). Sehingga atas desakan Mataram, Sultan Cirebon
mengancam Banten
agar supaya mengakui kuasa Mataram; dan apabila tidak maka Banten
akan
diperanginya. Peringatan seperti ini ditegaskan lagi pada tahun 1637.
Karena desakan dan ancaman dari Mataram pula, maka pada tahun
1650 yakni
setelah Pangeran Girilaya menjadi Sultan Cirebon menggantikan
ayahnya,
Penembahan Ratu, karena Banten tidak mau tunduk pada ancaman
Cirebon,
Sultan merencanakan penyerbuan ke Banten.
Dengan
menggunakan 60 buah kapal, berangkatlah pasukan
w:st="on">Cirebon
> ke Banten dipimpin oleh Senopati
Ngabehi Panjangjiwa. Setelah sampai diperairan Sumur Angsana,
mereka
memutuskan berlayar ke hulu sungai untuk membakar Tanahara.
Rencana
penyerangan pasukan ini sudah didengar Sultan Abdul Kadir. Maka
dikirimnya
satu pasukan yang dipimpin oleh Lurah Astrasusila, Demang
Narapaksa dan
Demang Wirapaksa. Mereka berangkat dengan menggunakan 50 buah
kapal perang.
Sultan menjanjikan hadiah sebanyak 2000 real dan baju kebesaran
kepada
siapa saja yang sangat berjasa dalam peperangan itu.
Sesampainya
di Tanahara, pasukan dibagi tiga bagian. Pasukan pertama dipimpin
oleh
Lurah Astrasusila, bersembunyi di Tanjung Gede. Sedangkan pasukan
kedua dan
ketiga masing-masing dipimpin oleh Demang Narapaksa dan Demang
Wirapaksa,
menanti di Muara Pasilian.
Pagi-pagi
sekali pasukan Cirebon sudah mendarat di Pelabuhan Tanahara.
Senopati Panjangjiwa bersama sebagian
kecil pasukannya berlayar masuk ke hulu sungai untuk menyelidiki
keadaan.
Tapi karena sebab yang belum jelas, Senopati Panjangjiwa meletakkan
senjatanya dan menyerahkan diri kepada Demang Wirapaksa, diikuti
olehpasukannya. Selanjutnya, Senopati Panjangjiwa dibawa menghadap
Sultan di
Surosowan; karena tindakannya itu Sultan memberi ampun dan
hadiah-hadiah
kepada mereka semua.
Sedangkan
pasukan Cirebon yang lain --- yang sedang menunggu kabar dari
Senopati Panjangjiwa di hilir
--- melihat banyak senjata yang hanyut di sungai. Mereka menyangka
di hulu
sungai sedang terjadi pertempuran hebat antara pasukan Panjangjiwa
dengan
pasukan Banten. Dengan segera mereka berlayar ke hulu untuk
membantu
temannya. Secara tiba-tiba Lurah Astrasusila dan pasukannya
menyergap
pasukan Cirebon itu. Serangan mendadak ini tidaklah mereka duga
sama sekali. Pertempuran
ini berlangsung dengan hebat. Tapi akhirnya dari 60 buah kapal
tinggal satu
kapal yang dapat melarikan diri dan kembali ke
w:st="on">Cirebon
>, sedangkan yang lainnya dapat
ditawan atau gugur. Tentara Cirebon yang menyerah dan ditawan
semuanya
dibunuh tanpa
dibunuh tanpa terkecuali.
Kejadian
ini diberitakan kepada Sultan yang baru selesai khutbah hari raya di
Banten. Betapa marahnya Sultan mendengar berita pembantaian
tersebut.
Sultan menginginkan semua yang sudah menyerah tidak boleh
dibunuh. Karena
kejadian itu, hadiah yang sudah dijanjikan ditarik kembali dan Lurah
Astrasusila diusir dari istana. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal
dengan Peristiwa Pagarage atau Pacerebonan, yang terjadi pada
tahun 1650 (Djajadiningrat, 1983: 68-69 dan 205).
Untuk
memperingati kemenangan pasukan Banten dalam peristiwa Pagarage
tersebut, diadakan upacara sasapton. Jalannya pesta kemenangan ini
diceritakan sebagai berikut :
Sepanjang
tepi sungai rakyat dan ponggawa ditempatkan dalam kemah-kemah
yang berjajar
rapi. Sebagai tanda pengenal, mereka menggunakan bendera-bendera
yang
berbeda yang berwarna-warni. Para ponggawa
duduk di bawah pohon beringin dekat srimanganti, menghadap candi
rasmi menantikan sultan keluar dari istana. Sepanjang jalan yang akan
dilalui sultan, berjejer menyambut para priyayi: di mande mundu
ditempatkan priyayi medang sebanyak dua puluh orang, di made
gayam ditempatkan priyayi parasara empat puluh orang dan
panyendekan ada priyayi kalamisani dengan kereta-keretanya.
Sebagai
kepala penjaga ialah Ki Suraita. Sedangkan sitinggil diurus oleh Ki
Naraita yang juga menjadi kepala penyimpanan senjata dan kuda.
Empat ekor
kuda telah disiapkan namanya Sekardiyu, Kalisahak, Sumayuda, dan
Layarwaring. Pembawa tanda kebesaran istana berjalan di muka,
barulah
sultan keluar dengan diiringi tabuhan gemelan sekati.
Sultan
duduk di lampit yang digelar di tanah dikelilingi para mentri. Gamelan
mesa
patra ditabuh dan menperdengarkan lagu-lagunya. Para ponggawa
telah siap di tempatnya masing-masing dan bersamaan dengan itu
terdengar pula gamelan dari kemah-kemah. Pangeran Adipati Anom
mengendarai
kuda diiringi oleh para ponggawa dengan kudanya pula. Dan sasapton
pun dimulai.
Yang
menjadi bintang pada sasapton itu ialah Ratu Bagus Komala yang
menunggang kuda Sekar Tinggal, demikian juga saudaranya Ratu
Bagus Kencana;
keduanya anak Pangeran Upapati. Mereka itu lawan Pangeran Adipati
Anom yang
menunggang kuda Layarwaring, kuda dari Bali.
Menjelang
malam hari, sasapton itu berhenti dan sultan pun kembali ke keraton
dengan diiringi lagu gemelan sekati. Ratu Bagus Kencana kemudian
mendapat gelar Tubagus Singawangi dan Ratu Bagus Komala bergelar
Tubagus Ewaraja (Djajadiningrat, 1983:70).
Tidak
lama setelah Peristiwa Pagarage ini, Putra Mahkota Pangeran Pekik
atau Sultan Abulma'ali Ahmad meninggal dunia, setelah ia menderita
sakit
yang cukup lama (1650). Putra Mahkota dimakamkan di pekuburan
Kenari
(Ismail, 1980:18). Sebagai penggantinya, jabatan Putra Mahkota
diserahkan
kepada anaknya Sultan Abulma'ali Ahmad, yakni Pangeran Surya,
dengan gelar Pangeran Adipati Anom[16] (Tjandrasasmita, 1975: 269).
Tidak
lama setelah itu yakni pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan
Abumafakhir
Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia. Jenazahnya dikuburkan di
Kenari,
berdekatan dengan makam ibundanya dan putra kesayangannya,
Sultan
Abulma'ali Akhmad (Ismail, 1980:18 dan Djajadiningrat, 1983:199).
Sebagai
penggantinya diangkatlah Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya
penggantinya diangkatlah Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya
menjadi
Sultan Banten ke-5.
E. SULTAN
AGENG TIRTAYASA (1651 - 1672)
Setelah kegagalan Sultan Agung menduduki
w:st="on">Batavia
>, keadaan
Mataram tidak lagi sekuat semula. Banyak dana, perbekalan, dan
prajurit
yang dikorbankan dalam pertempuran itu. Kemunduran ini ditambah
lagi dengan
kelesuan di bidang perdagangan, terutama perdagangan antar negara,
Malaka
sudah dikuasai kompeni Belanda pada tahun 1641, demikian juga
daerah-daerah
Indonesia Timur seperti Ambon, Maluku, kepulauan Saparua, dan
sebagainya.
Sedangkan daerah bagian barat seperti Banten, Lampung dan
Bengkulu --- yang
masuk kuasa Banten --- sedang bermusuhan dengan Mataram, dan
juga Laut Jawa
hampir sudah dikuasai oleh kompeni, sehingga hubungan dagang
Mataram dengan
Palembang dan Jambi pun otomatis terhenti.
Dalam
keadaan demikian, Sultan Agung pun wafat, tahun 1645 dan
dikuburkan
dipemakaman Imogiri. Penggantinya Pangeran Aryo Prabu Adi
Mataram yang
bergelar Amangkurat I tidak sekuat Sultan Agung, sehingga banyak
daerah
yang memberontak melepaskan diri dari Mataram. Situasi yang kacau
ini
memaksa Amangkurat I mengadakan perjanjian persahabatan dengan
kompeni
Belanda pada tahun 1647, yang isinya sebagai berikut (Sanusi Pane,
1950:
206-207):
1)
Belanda akan mengirimkan utusan ke Mataram setiap tahun.
2)
Orang-orang Mataram harus memakai kapal kompeni apabila
hendak keluar negeri.
3)
Orang-orang mataram boleh berdagang bebas kecuali dengan
daerah Ternate, Ambon dan Banda.
4)
Orang-orang Mataram yang akan berlayar dan melalui Selat
Malaka harus mendapat izin terlebih dahulu dari kompeni.Dengan
perjanjian ini konfrontasi antara Belanda dengan Mataram berakhir,
namun,
akhirnya Mataram sangat bergantung dengan Kompeni. Bandar-bandar
Mataram menjadi sepi karena kapal mereka sukar sekali mendapat izin
untuk melintasi Malaka,
sedangkan rempah-rempah yang sangat digemari orang-orang asing
tidak mereka
miliki karena mereka dilarang berdagang di Maluku. Di lain pihak
Kompeni
mendapat banyak keuntungan karena dengan perjanjian ini kompeni
dapat
mengontrol segala kegiatan Mataram; dan yang lebih penting lagi,
Kompeni
dapat beristirahat, menyatukan kekuatannya untuk menghadapi
perlawanan di
daerah lain.
Di
Maluku, Belanda pun mendapat keuntungan besar, karena sejak tahun
1605
Kompeni merebut Ambon dan Tidore dari tangan Portugis, demikian
juga Banda
(1609) dan akhirnya Ternate pun dapat dikuasainya sehingga di
daerah-daerah
itu Belanda dapat memonopoli perdagangan lada dan cengkeh. Untuk
menjaga
harga cengkeh tetap tinggi, maka Kompeni menghancurkan kebunkebun cengkehkebun cengkeh
di kepulauan Ambon dan sekitarnya. Usaha
penghancuran inilah yang dikenal dengan Pelayaran Hongi yang
banyak
merugikan rakyat di daerah itu (Burger, 1962:53).
Daerah
rempah-rempah yang masih bebas dari pengaruh Kompeni hanyalah
Makasar.
Orang-orang Makasar menjual rempah-rempah pada siapa saja yang
datang ke sana
>, seperti orang
w:st="on">Portugis
>, Denmark,
Belanda, Perancis dan Inggris. Hal ini dianggap oleh kompeni sangat
merugikannya, karena itu Makasar pun harus diperangi. Diadakanlah
blokade
di sekitar perairan Makasar pada tahun 1633. Baru pada tahun 1636
diadakan
perjanjian perdamaian, tapi pada tahun 1640 kembali terjadi
pertempuran.
Prajurit Makasar yang dipimpin rajanya Sultan Hasanuddin berperang
dengan
gagah berani. Peperangan ini berlangsung lama, baru pada tahun 1655
diadakan perdamaian, tapi karena saling berbeda kepentingan akhirnya
kembali terjadi perang hingga tahun 1660 dan pada tahun 1666.Karena
penghianatan Aru Palaka, anak Raja Sopeng, akhirnya kompeni dapat
menguasai
Makasar, dan diadakan perjanjian di Bongaya pada tahun 1667 (Sanusi
Pane,
1950: 207-210) :
1)
Makasar melepaskan kuasanya atas Negeri Bugis (Bone,
Luwu, dan Gowa) serta Bima dan Sumbawa.
2)
Perahu Makasar hanya boleh berlayar dengan
w:st="on">surat
> izin kompeni.
3)
Makasar tidak boleh berdagang dengan bangsa lainya
kecuali dengan Belanda.
4)
Hanya kompeni saja yang boleh memasukkan kain-kain dan
barang-barang dari Cina.
5)
Makasar harus membayar semua biaya perang, menyerahkan
salah satu bentengnya dan mengirim tawanan ke
w:st="on">Bataviasebagai jaminan.
Meskipun perjanjian Bongaya telah ditandatangani,
perlawanan bersenjata kepada kompeni berlangsung terus. Baru
setelah
benteng Sombaopu dikuasai kompeni tahun 1669, Makasar
sepenuhnya di tangan
kompeni. Dengan kekalahan Makasar ini banyak patriot dari Bugis
yang pergi
ke Banten dan Jawa Timur untuk melanjutkan perjuangannya melawan
Belanda
(Sagimun, 1975:259).
Pada
abad ke-17 ini, Belanda telah menguasai beberapa daerah kerajaan
besar
seperti: Mataram, Maluku, Batavia dan Makasar. Sedangkan dalam
bidang ekonomi, Belanda telah memegang
monopoli perdagangan rempah-rempah secara luas, bahkan Belanda
pun berhasil
memperoleh monopoli di Sumatera Tengah yakni di
w:st="on">Palembang
> (1642) dan Jambi (1643)
(Burger, 1962:60). Di pihak lain, rakyat nusantara sebagian besar
berada
dalam kemiskinan dan penindasan akibat keserakahan Belanda ini.Setelah
Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir wafat, Pangeran Adipati
Anom
dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-5 pada tanggal 10 Maret 1651
(Djajadiningrat, 1983:205). Untuk memperlancar sistem
pemerintahannya
Sultan mengangkat beberapa orang yang dianggap cakap sebagai
pembantunya.
Jabatan Patih atau Mangkubumi dipercayakan kepada Pangeran
Mandura dan
wakilnya Tubagus Wiratmaja, sebagai Kadhi atau Hakim Agung
diserahkan
kepada Pangeran Jayasentika, tapi karena Pangeran Jayasentika
meninggal
tidak lama setelah pengangkatan itu dalam perjalanan menunaikan
ibadah
haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol Kawista yang
kemudian dikenal
dengan nama Faqih Najmuddin. Pangeran Mandura dan Pangeran
Jayasentika adalah Putra Sultan 'Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir,
jadi
masih terhitung paman, sedangkan Faqih Najmuddin adalah menantu
Sultan
Abulmufakhir yang menikah dengan Ratu Lor.
Untuk memudahkan
pengawasan daerah-daerah yang tersebar luas seperti Lampung,
Solebar,Solebar,
Bengkulu, dan lainnya, diangkatlah ponggawa-ponggawa dan nayakanayaka di bawah pengawasan dan tanggung jawab Mangkubumi.
Dalam waktu-waktu
tertentu nayaka-nayaka ini diharuskan datang ke Banten dan
berkumpul
di kediaman Mangkubumi di Kemuning, di seberang sungai, untuk
melaporkan
keadaan daerahnya masing-masing. Biasanya setelah itu para
ponggawa dan nayaka ini dibawa menghadap Sultan di istana
Surosowan, untuk menerima petunjuk-petunjuk
dan pesan-pesan yang harus disampaikan kepada rakyat di daerahnya
masing-masing (Djajadiningrat, 1983:71).
Mangkubumi
Pangeran Mandura diserahi tugas mengatur dan mengawasi
kesejahteraan
prajurit karajaan, baik tentang perumahannya di Kanari maupun
tentang
persenjataannya. Rumah-rumah senopati dan ponggawa ditempatkan
sedemikian
rupa sehingga, di samping mereka dapat cepat mengetahui keadaan
prajurit-prajuritnya, tetapi dengan mudah mereka pun dapat segera
menerima
instruksi sultan (Djajadiningrat, 1983:71 dan Tjandrasasmita,
1967:11).
Memang
Pangeran Surya yang bergelar Pangeran Ratu Ing Banten adalah
seorang
ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Hal ini dibuktikan sewaktu
masih menjabat Putra Mahkota, Pangeran Surya-lah yang mengatur
gerilya
terhadap pendudukan Belanda di Batavia.
Seperti
juga kakeknya, Pangeran Ratu tidaklah melepaskan jalur hubungan
dengan
kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekkah, yang biasanya dilakukan
sambil
menunaikan ibadah haji. Persiapan untuk mengadakan pertemuan
dengan pusat
kekhalifahan di Mekah itu, Sultan mengadakan musyawarah dengan
beberapa
pembesar kerajaan yang antara lain: Pangeran Mandura, Pangeran
Mangunjaya
dan Mas Dipaningrat; yang selanjutnya diputuskan supaya Santri Betot
beserta tujuh orang lainnya diutus ke Mekah. Delegasi ini ditugaskan
untuk
melaporkan penggantian sultan di Banten, juga menceritakan keadaan
nusantara dan Kesultanan Banten khususnya dalam hubungannya
dengan kompeni
Belanda. Di samping itu pula, untuk memperdalam pengetahuan
rakyat Banten
kepada agama Islam, dimintakan supaya Khalifah mengirimkan guru
agama ke
Banten.
Setiba
kembali utusan ini dari Mekkah, Khalifah Makkah menyampaikan
sepucuk
w:st="on">surat
> untuk Sultan
bersama tiga orang utusan yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, dan
Haji Salim.
Dari khalifah Makkah pula Pangeran Ratu Ing Banten mendapat gelar
Sultan
'Abulfath Abdulfattah. Santri Betot kemudian diberi nama Haji Fattah
dan mendapat hadiah-hadiah dari sultan, demikian juga ketujuh orang
pengiringnya.
1. Perang
Melawan Kompeni Belanda
Dalam
masalah politik kenegaraan, Sultan 'Abulfath Abdulfattah dengan tegas
menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya.
Mengembalikan
Jayakarta ke pangkuan Banten merupakan cita-cita utama dan
karenanya Sultan
tidak akan pernah mau berbaikan dengan kompeni Belanda. Sultan
melihat
bahwa perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni
bahwa perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni
pada tahun
1645 sudah tidak lagi dipatuhi kompeni. Kompeni Belanda masih
selalu
mencegat kapal-kapal dagang asing yang hendak berlabuh dan
mengadakan
transaksi dagang di bandar Banten, sehingga pelabuhan Banten
mengalami
banyak penurunan, karena pedagang-pedagang asing segan berlabuh di
Banten
takut diserang kapal-kapal kompeni, baik waktu datang maupun
setelah mereka
meninggalkan Banten. Membalas tindakan kompeni ini Sultan pun
memerintahkan
tentaranya untuk selalu mengadakan perusuhan pada intalasi milik
kompeni,
di mana saja; diharapkan orang-orang Belanda itu segera
meninggalkan
Banten. Sultan pun memperkuat pasukannya di Tangerang dan Angke,
yang telah
lama dijadikan benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi
kompeni
Belanda. Dari daerah ini pulalah pada tahun 1652 pasukan Banten
mengadakan
penyerangan ke Batavia (Tjandrasasmita, 1967:12).
Melihat
situasi yang semakin panas itu, kompeni mengirimkan utusan ke
Banten untuk
Banten untuk
menyampaikan usulan pembaharuan perjanjian tahun 1645.
Dibawanya
hadiah-hadiah yang menarik untuk melunakkan hati Sultan, tapi Sultan
'Abulfath menolak usulan tersebut. Utusan kedua dikirimnya pula pada
bulan
Agustus 1655, tapi seperti utusan yang pertama, Sultan pun
menolaknya;
Banten bertekad hendak meleyapkan penjajah Belanda walau apapun
resikonya.
Pada
tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke dan Tangerang
mengadakan
gerilya besar-besaran, dengan mengadakan pengrusakan kebun-kebun
tebu dan
penggilingan-penggilingannya, pencegatan serdadu-serdadu patroli
Belanda,
pembakaran markas patroli, dan beberapa pembunuhan orang-orang
Belanda,
yang semuanya dilakukan pada malam hari. Di samping itu perahuperahu
ramping prajurit Banten sering mencegat kapal kompeni, dan
membunuh semua
tentara Belanda dan merampas semua senjata serta kapalnya. Sehingga
kapal
kompeni yang hendak melewati perairan Banten haruslah dikawal
pasukan yangkuat.
Untuk
menghadapi kompeni dalam pertempuran yang lebih besar, Sultan
'Abulfath
memperkuat pertahanannya baik dalam jumlah maupun kwalitasnya.
Diadakanlah hubungan yang lebih baik dengan negara-negara lain
seperti Cirebon
>, Mataram dan lain-lain
(Tjandrasasmita, 1967:13). Bahkan dari Kerajaan Turki, Inggris,
Perancis,
dan Denmark, banyak didapatkan bantuan berupa senjata-senjata api
yang sangat dibutuhkan
(Chijs, 1881: 58-59). Diadakanlah kesatuan langkah dan penyatuan
pasukan di
daerah kuasa Banten; Lampung, Bangka,
Solebar, Indragiri, dan daerah lainnya mengirimkan pasukan
perangnya untuk
bergabung dengan pasukan Surosowan.
Demikian
juga keadaan kompeni di Batavia, pasukan
perang kompeni diperkuat dengan serdadu-serdadu sewaan dari
Kalasi,
Ternate, Bandan, Kejawan, Melayu, Bali,
Makasar dan Bugis. Memang serdadu yang berasal negeri Belanda
sendiri
sangat sedikit, mereka sengaja mengambil penduduk pribumi untuk
sangat sedikit, mereka sengaja mengambil penduduk pribumi untuk
menghadapi
orang pribumi lainnya; dalam pertempuran pun, orang Belanda selalu
berada
di belakang sedangkan yang maju perang selalu serdadu pribumi.
Diperkuatnya
penjagaan-penjagaan dan benteng-benteng di perbatasan Angke,
Pesing,
Tangerang; tapi karena kompeni sedang sibuk berperang dengan
Makasar,
mereka tidak bisa banyak menyiapkan pasukan.
Setelah
terjadi beberapa kali pertempuran yang banyak merugikan kedua belah
pihak,
maka sekitar bulan Nopember atau Desember 1657 Kompeni
mengajukan usul
gencatan senjata. Perjanjian gencatan senjata ini tidak segera dapat
disepati, karena syarat-syarat perjanjian itu belum semuanya
disepakati;
kepentingan Belanda dan kepentingan Banten selalu berbeda. Tanggal
29 April
1658 datanglah utusan Belanda ke Banten membawa
w:st="on">surat
> dari Gubernur Jendral Kompeni yang
berisi rangcangan perjanjian persahabatan. Usul perdamaian ini terdiri
dari
10 pasal:
1)
Kedua belah pihak harus mengembalikan tawanan perangnya
masing-masing.
2)
Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor
kerbau dan 1500 ekor sapi.
3)
Blokade Belanda atas Banten akan dihentikan setelah
Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.
4)
Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki
atas biaya dari Banten.
5)
Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan
perwakilan kompeni di Banten.
6)
Karena banyaknya barang-barang kompeni dicuri dan
digelapkan oleh orang Banten, maka kapal-kapal kompeni yang datang
di
Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
7)
Setiap orang Banten yang ada di Batavia
harus dikembalikan ke Banten,
demikian juga sebaliknya.
8)
Kapal-kapal kompeni yang datang ke pelabuhan Banten
dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.
9)
Perbatasan Banten dan
w:st="on">Batavia
> ialah garis lurus dari Untung
Jawa hingga ke pedalaman dan pegunungan.
10)
Untuk menjaga hal-hal yang tidak diingini, warga kedua
belah pihak dilarang meliwati batas daerahnya masing-masing.
Dari
rancangan naskah perjanjian yang diajukan kompeni ini Sultan
'Abulfath
dapat melihat kecurangan dan ketidaksung-guhan kompeni atas
pedamaian;
kompeni hanya mengharapkan keuntungan sendiri tanpa
memperhatikan
kepentingan rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658,
Sultan
mengirimkan utusan ke Batavia untuk mengajukan perubahan atas
rancangan naskah perjanjian itu :
1)
Rakyat Banten dibolehkan datang ke Batavia
> setahun sekali untuk membeli
senjata, meriam, peluru, mesiu, besi, cengkeh dan pala.
2)
Rakyat Banten dibebaskan berdagang di Ambon dan Perak tanpa dikenakan pajak dan cukai.
Usul
Sultan ini dengan serta merta ditolaknya, kompeni hanya
menginginkan
supanya orang Banten membeli rempah-rempah dari kompeni dengan
harga yang
ditentukan dan harus membayar pajak. Monopoli rempah-rempah di
Ambon dan
Maluku adalah suatu yang sangat menguntungkan kompeni, sehingga
apabila
Banten dibolehkan berdagang di sana,
hapuslah monopoli ini. Demikian juga apabila orang Banten
dibolehkan
membeli alat-alat perang, ini akan memungkinkan Banten memperkuat
diri dan
dengan mudah akan merebut kembali Batavia.
Penolakan
Gubernur Kompeni atas usul ini membuat Sultan sadar bahwa tidaklah
mungkinakan ada persesuaian pendapat antara dua musuh yang berbeda
kepentingan
ini, bahkan dengan perdamaian ini kompeni berkesempatan untuk
menyusun
kekuatan. Karena berpikiran demikian maka pada tanggal 11 Mei 1658
dikirimnya surat balasan yang menyatakan bahwa Banten dan
kompeni Belanda tidak akan mungkin
bisa berdamai. Tiada jalan lain yang harus ditempuh kecuali perang.
Sejak
itulah Sultan Abulfath Abdulfattah mengumumkan "perang sabil"
menghadapi kompeni Belanda. Seluruh kekuatan angkatan perang
Banten
dikerahkan ke daerah-daerah perbatasan, maka terjadilah pertempuran
besar
di darat dan laut. Pertempuran ini berlangsung tanpa henti-hentinya
sejak
bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659 (Djajadiningrat,
1983:71
dan Tjandrasasmita, 1967: 12-16).
Satu
peristiwa yang mempercepat meletusnya perang antara Banten dan
kompeni
Belanda, dalam situasi yang demikian panas, adalah peristiwa
dibunuhnya
Lurah Astrasusila oleh patroli Belanda; Lurah Astrasusila adalah salah
seorang ponggawa Banten yang kena marah Sultan karena peristiwapagarage di Sumur Angsana. Karena perbuatannya itu ia merasa
bersalah dan berdosa
kepada Allah, maka untuk menebus dosanya ini dia ingin ikut
berperang dan
mati sahid, dengan cara demikian mudah-mudahan Sultan pun akan
memaafkannya.
Suatu
hari, seusai shalat Magrib, Astrasusila berlayar dengan sebuah kuting
ke arah timur menuju Tanjung Kahit, dan berusaha mencegat kapal
Belanda
yang biasa berlayar dari Tong-Jawa atau Batavia. Ia melihat sebuah
selup kompeni, dan bersama dua orang temannya ia berpura-pura
menjadi penjual
kelapa yang dengan mudah dinaikkan ke atas selup kompeni. Di atas
selup,
Lurah Astrasusila dan kedua temannya mengamuk hingga banyak
serdadu Belanda
yang dibunuhnya, tapi akhirnya ketiga orang itupun gugur. Peristiwa
terbunuhnya
Luruh Astrasusila ini disampaikan kepada Sultan 'Abulfath. Sultan
merasa
terharu bercampur marah atas pengorbanan punggawanya itu,
demikian juga
dengan para pembesar lainnya. Sejak saat itulah Sultan menyatakan
perang
kepada kompeni (Djajadiningrat, 1983:73).
Untuklebih jelasnya tentang persiapan prajurit Banten dalam menghadapi
perang
ini, "Sajarah Banten" menceritakan:
a. Angkatan laut
(1) Armada laut yang menjaga perairan
Karawang dipimpin oleh Pangeran Tumenggung Wirajurit.
(2) Armada laut yang berkedudukan di
dekat pelabuhan Untung Jawa dipimpin oleh Aria Suranata.
(3) Armada laut yang berkedudukan di
dekat Tanahara dipimpin oleh Pangeran Ratu Bagus Singandaru.
(4) Armada laut yang bertugas di dekat
perairan Tanjung Pontang dipimpin oleh Ratu Bagus Wiratpada.
(5) Armada laut yang berkedudukan di
dekat Pelabuhan Ratu dipimpin oleh Tumenggung Saranubaya.
b. Angkatan darat
(1) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi
Wirasaba dan Ngabehi Purwakarti dikirim ke Caringin untuk menjaga
musuh
yang masuk dari daerah selatan.
(2) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi
Tanuita ditempatkan di kota Surosowan sebagai penjaga ibukota
Kesultanan.
(3) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi
Tanujiwa ditugaskan sebagai pasukan penghubung antara garis depan
Angke dan
Tangerang dengan kota Surosowan.
(4) Pasukan yang dipimpin oleh Raden
Senopati Ing Ngalaga (Panglima Perang) dan Rangga Wirapatra
ditugaskan
menjadi pasukan penyerang dan menjadi pasukan induk dengan
kekuatan 5000
prajurit pilihan.
c. Pasukan meriam
Pasukan
meriam ini ditempatkan di pantai sekitar ibukota Kesultanan, untuk
menjaga
musuh yang datang dari Teluk Banten. Tiap meriam dipercayakan
kepada 10
orang prajurit khusus dengan seorang pimpinan kelompok. Sejarah
Banten
mencatat nama-nama meriam itu dengan pimpinan kelompoknya
sebagai berikut: Jajaka tua dipercayakan kepada Pangeran Upapatih,
Jaka Pekik kepada
Pangeran Kidul, Kalantaka kepada Pangeran Lor, Nilantaka kepada
Pangeran Kulon, Kalajaya kepada Pangeran Wetan, Ki Muntab kepada
Tubagus Suradinata, Urangayu kepada Pangeran Wirasuta,
Pranggisela kepada Pangeran Prabangsa, Danamarga kepada
Pangeran Sutamanggala, Jaka
Dalem kepada Pangeran Gusti; sedangkan lima puluh buah meriam
lagi
dipercayakan kepada ponggawa lainnya. Disusunnya meriam-meriam
itu dari
itu dari
Sunya Gagak, Kuta Karang hingga tepi sungai. Dari Pabean Barat
hingga
Pabean Timur, dari Kuta Jagabaya sampai Kadongkalan dan
Kapatihan.
Pada
hari yang sudah ditentukan, yaitu pada hari Senin tahun kadi ula
pandawa
iku atau tahun 1580 Saka atau tahun 1657/1658 M (Djajadiningrat,
1983:73 dan 212), pasukan perang Banten itu berangkat ke pos
penyerangannya
masing-masing seperti yang sudah diintruksikan. Pada hari
pemberangkatan
itu Sultan menyuruh membagi-bagikan hadiah berupa uang dan
pakaian kepada
prajurit serta keluarganya sebagai tanda kenang-kenangan dan penguat
tekad.
Pembesar
kerajaan yang ikut dalam pasukan perang itu antara lain: Kartiduta,
Haji
Wangsaraja, Demang Narapaksa, dan Kanduruhan Wadoaji. Ki Haji
Wangsaraja
dan Raden Senopati Ing Ngalaga duduk dalam sebuah tandu.
Demikian banyak
pasukan yang berangkat pada hari itu, sehingga barisan terdepan sudah
sampai di Pangapon sedangkan barisan belakang masih berada di alunalun
Surosowan.
Setelah
berjalan delapan hari sampailah mereka di Tangerang dan bergabung
dengan
pasukan yang sudah berada di sana.
Untuk tempat peristirahatan, dibuatlah barak-barak baru di Tangerang
dan
Angke sebagai pusat pertahanan dan basis penyerangan.
Mendengar
pemberangkatan pasukan Banten ini, kompeni segera mempersiapkan
pasukan
yang dibagi menurut asal daerah masing-masing, orang Ternate
dipimpin oleh
orang Ternate, begitu juga orang Kalasi, Kejawan, Bandan, Bali dan
Ambon.
Dan setelah berjalan kaki selama satu hari pasukan kompeni ini
sampai di
Angke, berhadapan dengan pasukan Banten.
Tujuh
hari tujuh malam kedua pasukan yang bermusuhan itu saling
berhadap-hadapan
tanpa ada salah satu yang mendahului menyerbu. Baru setelah
Senopati Ing
Ngalaga memberikan aba-aba untuk menyerang, bersiap-siagalah
semuanya.
Raden Senapati Ing Ngalaga naik kuda berkeliling sambil menantangmusuh,
sedangkan Ki Rangga Wirapatra berjalan di barisan terdepan. Setelah
Haji
Wangsaraja berdo'a mohon perlindungan Allah untuk menghancurkan
orang kafir
penindas, berangkatlah pasukan ke medan laga.
Sepanjang
hari pertempuran berlangsung hebat tanpa henti-hentinya. Tidak dapat
dipastikan siapa yang paling hebat. Baru setelah hari senja,
pertempuran
itu mulai reda, dan kedua belah pihak menarik diri dari garis perang,
kembali ke kubunya masing-masing.
Selama
tiga hari tidak terjadi pertempuran, masing-masing pihak beristirahat
sambil mengatur taktik penyerangan selanjutnya. Raden Senopati Ing
Ngalaga
memanggil para ponggawa untuk merundingkan taktik dan strategi
perang serta
memberi instruksi lainnya. Kemudian ditetapkan supaya penyerangan
dilakukan
dengan formasi burung dadali (format penyerangan menyebar), karena
musuh memakai formasi papak (saff tempur melingkar disatukan).
Untuk
mengacaukan mental pasukan kompeni dan menghancurkan tempattempatpersem-bunyian mereka, Ngabehi Wira Angun-angun dan Prayakarti
ditugaskan
untuk membakar desa di sekeliling kubu musuh dan juga membakari
tanaman
tebu milik kompeni. Dan nanti, bersamaan dengan pembakaranpembakaran itu,
Senopati Ing Ngalaga dengan 500 prajurit pilihan bergerak melingkar
dan
menyerang musuh dari belakang.
Keesokan
harinya, setelah tanda penyerangan dibunyikan mulailah mereka
menjalankan
tugasnya masing-masing. Ngabehi Wira Angun-angun, Prayakarti dan
beberapa
serdadu pilihan secara diam-diam membakar kampung-kampung,
tanaman tebu dan
pabrik penggilingan tebu serta menghancurkan segala tempat yang
mungkin
menjadi sarang musuh. Sedangkan Raden Senopati Ing Ngalaga
dengan 500
tentaranya bergerak ke arah timur dengan tujuan menyerang musuh
dari
belakang. Adapun prajurit lainnya dipimpin oleh ponggawa dan
senopati yang
gagah berani menyerang dari depan dengan penyerangan diatur
sedemikian rupa
sehingga memungkinkan tiap prajurit berperang satu lawan satu.Pasukan
yang dipimpin oleh Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa
banyak menimbulkan
kerugian jiwa di pihak kompeni. Banyak pimpinan mereka yang dapat
dibinasakan, di antaranya Kapiten Drasti, Kapiten Perancis, Kapiten
Terus,
dan Kapiten Darus. Pertempuran pada hari itu berlangsung hebat,
sehingga
banyak mengambil korban dari kedua pihak, dan baru setelah senja
tiba
pertempuran pun dihentikan.
Hari
berikutnya Raden Senopati memanggil Prayakarti untuk
menyampaikan berita
tentang keadaan medan perang, sambil menyerahkan barang-barang
rampasan perang kepada Sultan di
Surosowan. Bersama empat puluh orang pengawal berangkatlah
Prayakarti ke
ibukota Banten. Membaca surat dari Raden Senopati, terlihat wajah
Sultan mencerminkan perasaan gembira
bercampur sedih dan gemas. Sultan sangat mengharapkan kehancuran
kompeni
secepatnya. Kemudian Sultan berdiri dan memberikan maklumat:
"Barang
siapa yang dapat menyerahkan satu kepala kompeni Belanda akan
diberikan
hadiah 10 real dan barang siapa yang dapat menyerahkan satu telingahadiah 10 real dan barang siapa yang dapat menyerahkan satu telinga
Belanda
akan diberi hadiah 5 real." Kepada Prayakarti atas jasa-jasanya Sultan
menghadiahkan sebuah desa serta sebuah lampit dengan kotaknya,
demikian juga keempat puluh pengawalnya semua mendapat hadiah
(Djajadiningrat, 1983: 73-75).
Dalam
pada itu, pertempuran di laut pun telah terjadi dengan hebat.
Diceritakan,
Ratu Bagus Wangsakusuma ketika sedang melakukan patroli di
perairan dekat
Pontang, dilihatnya sebuah kapal besar milik kompeni di Selat Pulo
Pemujan
yang sedang menurunkan sebuah slup penuh berisi senjata menuju ke
pantai. Ratu Bagus Wangsakusuma dan prajuritnya bersembunyi di
belakang
Pulau Dua dan menyergap kapal kompeni itu, sehingga semua serdadu
kompeni
dapat dibinasakan dan senjatanya dapat dirampas. Berita keberhasilan
ini
disampaikan kepada Sultan berikut semua senjata rampasannya.
Sarantaka
dan Sacantaka bersama dua pacalang berhasil menghancurkan sebuah
kapal kompeni di Tanjung Balukbuk. Pangeran Ratu Bagus
Singandaru dapatmenghancurkan sebuah kapal jung besar milik kompeni yang baru
datang
dari Malaka di dekat Tanjung Barangbang. Demikian juga dengan
pasukan Kyai
Haji Abbas, mereka dapat menghancurkan kapal kompeni di dekat
perairan
Gosong Bugang, semua barang rampasan diserahkan kepada Sultan.
Armada-armada
Banten di perairan jauh pun mencatat kemenangan yang
menggembirakan.
Pasukan yang dipimpin oleh Rangga Natajiwa, Surantaka dan
Wiraprana dapat
menghancurkan armada kompeni di Krawang yang mengangkut
pasukan dari Jawa
Timur. Sedangkan di perairan Pelabuhan Ratu, pasukan Saranurbaya
dapat
menghancurkan kapal kompeni, walaupun Saranurbaya sendiri luka
parah yang
mengakibatkan ia meninggal dunia lima hari kemudian.
Di
perairan Teluk Banten, di depan kota Surosowan, datang 11 kapal
perang
kompeni, dalam formasi mengepung dari Pulau Lima di timur sampai
ke Pulau
Dua. Di Surosowan, pasukan meriam yang sudah disiapkan, segera
mengarahkan
sasarannya ke kapal-kapal itu, maka terjadilah tembak menembaksasarannya ke kapal-kapal itu, maka terjadilah tembak menembak
yang seru
dari kedua pasukan (Djajadiningrat, 1983: 75-76). Beberapa meriam
Banten
banyak yang tepat mengenai sasaran; si Jaka Pekik, si Muntab dan si
Kalantaka
selalu tepat mengenai kapal-kapal kompeni itu, sehingga armada
penyerang
melarikan diri dan kembali ke Batavia dengan meninggalkan kapalkapal yang
rusak dan tenggelam (Tjandrasasmita, 1967:21). Pertempuran hebat di
darat
dan di laut ini terus menerus berlangsung sampai tujuh belas bulan
lamanya
(Djajadiningrat, 1983:76).
Pada
suatu malam yang sunyi tapi tegang itu Arya Mangunjaya, salah
seorang
ponggawa yang memimpin pasukan perang di front Tangerang -
Angke, menghadap
Sultan tanpa melalui prosedur biasa, melaporkan tentang keadaan
w:st="on">medan
> perang.
Dilaporkan bahwa keadaan prajurit dan ponggawa-ponggawanya
masih dalam
kondisi baik dan mereka siap untuk bertempur, tapi keadaan mereka
pun perlupun perlu
diperhatikan karena sudah lebih satu tahun mereka berperang tanpa
henti;
maka alangkah lebih baik lagi apabila Sultan mengganti mereka
dengan
pasukan yang lebih segar. Setelah Sultan berunding dengan pembesar
lainnya,
diperintahkannya Mangkubumi untuk menyiapkan pasukan pengganti.
Maka keesokan
harinya, Mangkubumi dan Pangeran Mandura menyiapkan prajuritprajurit
Banten di Surosowan untuk diberangkatkan ke Tangerang dan Angke.
Arya
Mangunjaya diangkat sebagai panglima perang dengan Arya
Wiratmaja sebagai
wakilnya. Pasukan pengganti ini diberangkatkan pada tahun mantri
kunjara
tataning jurit atau pada tahun 1581 Saka/1659 M. Bersama pasukan
itu
ikut pula Sayyid Ali, utusan dari Mekkah, untuk menggantikan Kyai
Haji
Wangsaraja yang bertugas untuk memelihara semangat juang dan
keyakinan
agama prajurit. Sedangkan Pangeran Senopati bersama seluruh
pasukannya
dipanggil pulang kembali ke Surosowan (Tjandrasasmita, 1967:22).
Kedatanganpasukan pengganti ini diketahui oleh kompeni Belanda. Maka untuk
mengimbangi kekuatan pasukan Banten itu, dikirimnya lagi pasukan
tambahan
dari Batavia.
Setelah
kedua pasukan itu saling berhadapan, diadakan perang tanding antara
pemimpin kedua pasukan. Arya Mangunjaya ditantang oleh seorang
Kapten
Belanda, yang kemudian dapat dibunuhnya. Prayakarti ketika hendak
memenggal
kepala kapten musuh yang sudah dibunuhnya, tiba-tiba dibokong oleh
empat
orang musuh sehingga ia gugur. Maka serentak kedua pasukan itu
mengadakan
serangan, dan perang besar dimulai, sampai senja hari. Keesokan
harinya
Arya Mangunjaya memerintahkan beberapa orang prajurit untuk pergi
ke
Surosowan melaporkan jalannya perang, sambil membawa prajuritprajurit yang
terluka, tawanan perang dan juga harta rampasan.
Pertempuran
baru dilanjutkan selang beberapa hari kemudian. Banyak prajurit dari
kedua
pihak yang gugur dan terluka. Prajurit Banten yang terluka segera
dikirimke Surosowan, tapi banyak pula yang meninggal di perjalanan karena
lukanya
yang parah.
Karena
penyerangan pasukan Banten ini dilakukan terus menerus dan tanpa
mengenal
takut, akhirnya kedudukan kompeni semakin terdesak sampai
mendekati batas kota
> Batavia.
Penduduk dan pejabat kompeni segera mengungsi ke daerah lain,
khawatir
kalau-kalau pasukan Banten dapat menembus benteng pertahanan
w:st="on">kota
>; tambahan
tentara tidak mungkin diharapkan, karena pada waktu itu kompeni pun
sedang
sibuk berperang dengan Makasar. Karena keadaan terdesak inilah
kompeni
berusaha mengadakan perdamaian dengan Sultan 'Abulfath di
Surasowan, dan
sudah tentu Sultan menolak usul perdamaian tersebut. Untuk
melunakkan hati
Sultan, kompeni minta tolong kepada Sultan Jambi untuk tercapainya
perjanjian persahabatan itu. Sultan Jambi mengirimkan utusannya
Kiyai
Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana ke Surosowan.
Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana ke Surosowan.
Akhirnya
pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian damai antara
Sultan
'Abulfath Abdulfattah dengan Gubernur Jendral Joan Matsuiyker.
Dengan
ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata ini, maka berakhirlah
untuk
sementara perang besar antara Banten dan kompeni Belanda.
Perjanjian
gencatan senjata tanggal 10 Juli 1659 itu, dijadikan kesempatan yang
baik
oleh Sultan Abulfath untuk membenahi diri guna persiapan
menghadapi kompeni
selanjutnya. Untuk tujuan itulah, Sultan mulai mengadakan
pembangunan-pembangunan dalam segala bidang yang pada waktu
sebelumnya
tertunda karena perang.
Guna
memenuhi kebutuhan senjata api dan senjata berat lainnya, Sultan
mengadakan
hubungan dengan negara Inggris, Portugis dan Perancis yang bersedia
menjual
senjata-senjata yang dibutuhkan Banten --- pada waktu itu antara
Belanda,
Inggris, Portugis dan Perancis sedang terjadi persaingan dagang yang
keras.Dalam pada itu, hubungan Banten dengan kerajaan Islam di Turki
berjalan
baik, sehingga orang-orang Banten yang pergi haji, pulangnya dapat
membawa
senjata-senjata yang dibelinya dari Turki.
Senjata-senjata
perang ini, selain diperoleh dengan cara membeli dari luar negeri,
Banten
pun sebenarnya sudah mampu membuatnya sendiri. Hal ini terbukti
dari hasil
penggalian di situs Kampung Sukadiri dan Kepandean, di sana
> ditemukan seperangkat alat-alat
pengecoran logam dan juga wadah pencetak senjata (Mundardjito,
1977:546).
Itulah sebabnya mengapa Banten pun mampu mengirimkan meriam
dan senjata api
lainnya, lengkap dengan peluru serta mesiunya sebanyak beberapa
kapal
kepada pasukan Trunojoyo di Jawa Timur (Sanusi Pane, 1950:212).
Dalam
pengadaan kapal perang, Sultan memesan dari beberapa galangan
kapal di
Jawa, seperti di Jepara dan Gresik. Sedangkan kapal perang yang besar
dan
khusus, dibuat sendiri di galangan kapal di Banten dengan bantuanorang-orang Portugis dan Belanda yang sudah Islam (Tjandrasasmita,
1975:17).
Untuk
memperkuat ketahanan angkatan perangnya, Sultan juga mengangkat
prajurit-prajurit muda yang kesemuanya dilatih guna menghadapi
w:st="on">medan
> perang yang
berat. Mereka dipersiapkan untuk menempati pos terdepan di
Tangerang dan
Angke, karenanya pada tahun 1660 Sultan pun memerintahkan
membuat
perkampungan prajurit di sebelah barat Untung Jawa, yang
diperkirakan mampu
menampung 5000 sampai 6000 prajurit (Tjandrasasmita, 1967:28).
Kemudian
untuk tempat pengungsian bagi kaum wanita apabila terjadi
peperangan,
terutama untuk wanita kraton, Sultan membuat tempat perlindungan di
Banten
Girang (Djajadiningrat, 1983: 125).
Selain
di Tangerang, Sultan juga membuat perkampungan prajurit pilihan di
Pontang,
bahkan akhirnya Sultan menyuruh membuat istana yang nantinya
digunakansebagai pusat pengontrol kegiatan di Tangerang dan Batavia
>, di samping untuk tempat
peristirahatan. Maka dengan demikian Pontang dijadikan penghubung
antara
Surosowan dan benteng pertahanan di Tangerang, yang juga
mempersingkat
jalur komunikasi dari medan perang. Untuk menghubungkan
Surosowan, Pontang dan Tangerang, digunakan dua
jalur, di samping jalan darat yang sudah ada dari Surosowan ke
Pontang,
juga dibuat saluran tembus yang digali sepanjang jalan kuno, yakni
dari
sungai Untung Jawa (Cisadane), Tanahara hingga ke Pontang --- dari
Tanahara, dengan menyusuri sungai Cisadane sampailah ke pantai
Pasilian.
Saluran tembus antara Pontang dan Tanahara ini dibuat cukup lebar,
sehingga
dapat dilayari kapal perang ukuran sedang. Proyek pembuatan saluran
ini
dimulai pada tahun 1660 dan selesai sekitar tahun 1678. Melalui
sungai
buatan ini, Sultan dapat segera mengirimkan bantuan ke Tangerang
baik dari
pos Pontang maupun dari Surosowan (Tjandrasasmita, 1967:27).
Sungai
buatan ini --- yang pasti dikerjakan dengan kemauan dan biaya raksasa
bukan saja dimaksudkan untuk kepentingan militer tetapi juga untuk
pertanian. Sehingga dengan dibangunnya saluran tembus itu berarti
daerah sekitarnya menjadi daerah subur, maka tumbuhlah daerah
sekitar Pontang sebagai daerah
penghasil padi yang dapat diandalkan untuk Banten. Rupanya inilah
yang
dituju oleh Sultan, yaitu mempersiapkan daerah strategis untuk pos
pembantu
penyerangan ke Batavia, di samping juga menjadi "daerah kantong"
atau penyedia bahan makanan bagi prajurit di medan perang.
Selain
itu, Sultan pun berusaha menyempurnakan dan memperbaiki keadaan
di dalam
ibukota kerajaan. Dengan bantuan ahli bangunan dari Portugis dan
Belanda,
yang sudah masuk Islam, di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel,
diperbaiki
pula bangunan-bangunan istana Surosowan. Benteng istana diperkuat
dan
diberi bastion, bangunan berbentuk setengah lingkaran di setiap mata
angin, yang dilengkapi dengan 66 buah meriam diarahkan ke segenap
penjuru
(Chijs, 1881:39)[17]. Sungai di sekeliling benteng dan irigasi di sekitar ibukota pun
diperlebar dan ditingkatkan daya
jangkaunya, sehingga areal sawah yang mendapat pengairan semakin
luas.Daerah yang tadinya selalu kekurangan air menjadi subur; padi dan
tanaman
produksi lainnya sangat menunjang kemakmuran rakyat Banten,
diperkirakan
produksi merica rata-rata 3.375.000 pon pada tahun 1680 - 1780
(Chijs,
1881:70).
Dengan
ditandatanganinya gencatan senjata antara Banten dan Batavia
>, berarti blokade Kompeni atas
pelabuhan Banten pun berakhir. Kapal-kapal dagang asing yang
tadinya takut
berlabuh di Banten, sekarang mereka dapat berniaga dengan aman dan
bebas.
Maka ramailah pelabuhan Banten dengan kapal-kapal dagang dari
berbagai
negara, seperti dari Manila, Jepang, Cina, India, Persia dan Arab,
bahkan
pedagang-pedagang dari Ingris, Perancis, Denmark, Belanda dan
Portugis pun
membuka kantor perwakilannya di Banten. Karena Mataram dalam
situasi perang
dengan kompeni, maka pusat perdagangan di bagian timur pun beralih
ke
Banten; otomatis wilayah dagang Banten ini meliputi hampir seluruh
daerah
nusantara. Sehingga dapat dikatakan bahwa Banten mencapai puncak
kejayaannya --- dan pada masa itu pun dikeluarkan uang emas
Kesultanan
Banten (Burger, 1962:63).
Dalam
masa itu pula perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan
pesat. Di
komplek Masjid Agung dibangun sebuah madrasah yang dimaksudkan
untuk
mencetak pemimpin rakyat yang saleh dan taat beragama, demikian
juga di
beberapa daerah lainnya. Untuk mempertinggi ilmu keagamaan dan
membina
mental rakyat serta prajurit Banten didatangkan guru-guru dari Aceh,
Arab
dan daerah lainnya. Salah satunya adalah seorang ulama dari Makasar,
Syekh
Yusuf Taju'l Khalwati, yang kemudian dijadikan Mufti Agung, guru
dan mantu
Sultan Abulfath (Hamka, 1982:38).
Sultan
membina hubungan baik dengan beberapa negara Islam seperti dengan
Aceh dan
Makasar, demikian juga dengan negara Islam di India
>, Mongol, Turki dan
Mekkah. Sultan menyadari bahwa, untuk menghadapi kompeni yangMekkah. Sultan menyadari bahwa, untuk menghadapi kompeni yang
kuat dan
penuh dengan taktik licik tidaklah mungkin dihadapi oleh Banten
sendiri.
Dalam kegiatan diplomatik, Sultan pernah mengirimkan utusan ke
Ingris yang
terdiri dari 31 orang dipimpin oleh Naya Wipraya dan Jaya Sedana
pada
tanggal 10 Nopember 1681. Utusan ini bukan saja sebagai kunjungan
persahabatan tetapi juga sebagai upaya mencari bantuan persenjataan
(Russel
Jones, 1982).
#Demikian
pesatnya usaha yang dilakukan Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dalam
membangun
kemakmuran Banten, sebagai persiapan mengusir penjajah Belanda,
sehingga
Gubernur Jendral Ryklop van Goens, pengganti Gubernur Jendral Joan
Matsuiyker, menulis dalam suratnya yang ditujukan kepada
Pemerintah
Kerajaan Belanda tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Yang amat perlu
untuk
pembinaan negeri kita adalah penghancuran dan penghapusan Banten.
…
Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur leburkan, atau kompeni
yang
lenyap" (Tjandrasasmita, 1967:35).Politik
Adu-domba Belanda
Dari
perkawinannya Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dikaruniai anak:
1)
Dari istri Ratu Adi Kasum, puteri Pangeran Arya
Iwardaya, dikarunia anak seorang yaitu Abdul Kohar.
2)
Dari istri Ratu Ayu Gede, berputera: Pangeran Arya Abdul
'Alim, Pangeran Arya Ingayuja Pura dan Pangeran Arya Purbaya.
3)
Dari istri Ratu Siti, berputera: Pangeran Sugiri.
4)
Dari istri yang tidak disebut namanya. berputra: Tubagus
Raja Suta, Tubagus Rajaputra, Tubagus Husen, Raden Mandaraka,
Raden Saleh,
Raden Arum, Raden Mesir, Raden Muhammad, Tubagus Muhasim,
Tubagus Wetan,
Tubagus Muhammad 'Arif, Tubagus Abdul, Ratu Jamiroh, Ratu Ayu,
Ratu Kidul,
Ratu Marta, Ratu Adi, Ratu Ummu, Ratu Majidah, Ratu Habibah, Ratu
Fatimah,
Ratu Asyithoh, dan Ratu Nasibah.Seperti
kebiasaan yang dilakukan sultan-sultan sebelumnya, Sultan 'Abulfath
Abdul
Fattah mengangkat putra pertamanya menjadi putra mahkota. Jabatan
ini
biasanya dikaitkan sebagai Mangkubumi pembantu atau Mangkubumi
kedua
dalam struktur pemerintahan. Wewenang putra mahkota rupanya
cukup besar,
sehingga semua kebijaksanaan Sultan haruslah hasil musyawarah
antara
sultan, mangkubumi dan putra mahkota. Oleh karenanya putra
mahkota pun
mempunyai pembantu-pembantunya sendiri, seperti juga mempunyai
pasukan dan
sebagainya. Pengangkatan Abdul Kohar menjadi Pangeran Gusti
(Putra Mahkota)
terjadi pada tanggal 16 Pebruari 1671, bertepatan dengan datangnya
w:st="on">surat
> dari Syarif
Mekkah, yang isinya antara lain bahwa Pangeran Gusti diberi gelar
Sultan
Abu'n Nasr Abdul Kohar (Djajadiningrat, 1983: 55, 208).
Putra
Mahkota Sultan Abu'n Nasr Abdul Kohar diberi kuasa untuk mengatur
semua
urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri masih sepenuhnya
wewenang
Sultan Abdul Fattah. Semenjak itu Sultan 'Abulfath Abdul Fattah
pindah ke
istana yang baru di Pontang (kira-kira 13 km ke arah timur Surosowan,
yang
sekarang desa Tirtayasa) --- karena itu diberi sebutan Sultan Ageng
Tirtayasa. Keputusan ini diambil (mungkin) Sultan ingin memusatkan
perhatian pada bidang pertahanan di Tangerang dan Angke; karena
dari
Tirtayasa keadaan di garis depan akan lebih mudah dikontrol,
demikian juga
keadaan di Surosowan pun akan cepat diketahui karena perhubungan
antara
kedua daerah sudah cukup baik. Tapi dengan pindahnya Sultan
'Abdulfath ke
Tirtayasa ini, Belanda semakin mendapat kesempatan baik, karena
sewaktu beliau
masih di Surosowan, kompeni tidak dapat berbuat banyak karena
memang Sultan
dikenal dengan keteguhan sikapnya; Sultan ingin supaya kompeni
Belanda
hancur dan enyah dari bumi nusantara.
Dengan segala
rayuan dan bujukan halus, kompeni berusaha mendekati Putra
Mahkota, dan
akhirnya, Putra Mahkota pun dapat dipengaruhinya. kompeni Belanda
akhirnya, Putra Mahkota pun dapat dipengaruhinya. kompeni Belanda
mendapat
banyak kemudahan, baik dalam bidang perdagangan maupun bidang
lainnya.
Bahkan dalam setiap acara penting di istana Surosowan, wakil
kompeni selalu
diundang hadir. Kedekatan hubungan dengan kompeni ini sampaisampai
mempengaruhi cara pikir dan tingkah laku Putra Mahkota. Dalam
kehidupan
sehari-hari, cara berpakaian, makanan dan sebagainya, Putra Mahkota
banyak
meniru kebiasaan-kebiasaan orang Belanda, yang dirasa asing oleh
rakyat
Banten. Sehingga tidaklah aneh apabila sebagian besar rakyat dan
pembesar
kerajaan tidak menyenanginya (Tjandrasasmita, 1967 : 35).
Melihat
keadaan demikian itu, Sultan Ageng Tirtayasa sangatlah prihatin.
Dibujuknya
Putra Mahkota untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah, yang nanti
pulangnya
meninjau beberapa negara Islam. Diharapkan dengan cara demikian,
kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak selaras dengan adat keislaman
sedikit
banyak dapat dihilangkan. Di samping itu pula Putra Mahkota dapat
memperluas wawasan berpikirnya, demi kemajuan Kesultanan Banten
memperluas wawasan berpikirnya, demi kemajuan Kesultanan Banten
(Hamka,
1976: 303). Maka pada tahun 1674 berangkatlah Putra Mahkota Sultan
Abu'nasr
Abdul Kahar beserta rombongannya ke Mekkah, sekalian melawat ke
negeri-negeri Islam lainnya. Perjalanan ini memakan waktu dua tahun
pulang
pergi.
Selama
Putra Mahkota pergi ke Mekkah, pemerintahan di Surosowan
dipercayakan
kepada adiknya, Pangeran Purbaya. Mengingat sifat Pangeran Purbaya
yang
jauh lebih baik dari kakaknya, Sultan Ageng Tirtayasa banyak
menyerahkan
tanggung jawab kerajaan ke pundaknya. Sehingga begitu Putra
Mahkota pulang
dari Mekkah, didapatinya Pangeran Purbaya lebih banyak
mendapatkan
kekuasaan dari ayahnya. Karena itulah terjadi adanya ketegangan
hubungan
antara Putra Mahkota --- yang kemudian dikenal dengan sebutan
Sultan Haji
--- dengan Pangeran Purbaya. Demikian juga antara Sultan Haji
dengan
ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Keadaan
demikian dimanfaatkan oleh kompeni untuk menghasut Sultan Haji
dan berusaha
mengadu-dombakan antara ayah dan anak. Sehingga timbullah
keberanian Sultan
Haji untuk menentang kebijaksanan ayahnya. Dan karena dianggapnya
semua
orang di istana memusuhinya, Sultan Haji lebih percaya kepada
kompeni yang
dianggapnya sebagai kawan sejati, dan dijadikannya orang-orang
Belanda itu
sebagai penasehatnya.
Dalam
situasi yang demikian itu, datanglah tiga orang pangeran dari
w:st="on">Cirebon
>. Mereka
adalah Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya dan Pangeran
Wangsakerta[18]. Ketiganya diterima baik oleh Sultan dan dijanjikan untuk menjadikan
mereka sultan di
w:st="on">Cirebon
> yang merdeka atas jaminan Banten.
Dengan bantuan beberapa prajurit pilihan dari Banten, mereka
ditugaskan
untuk menyusun kekuatan rakyat Cirebon yang nanti disiapkan
menyerang kompeni dari arah timur[19]. Tindakan Sultan membantu ketiga
pangeran Cirebon itu ditentang oleh Sultan Haji, yang dianggapnya mencampuri urusan
kompeni,
dan ini berbahaya bagi rakyat Banten.
Biar pun
perjanjian persahabatan telah ditandatangani, Sultan masih melihat
adanya
usaha kompeni untuk memak-sakan monopoli perdagangan di Banten;
bahkan
mereka pun berusaha mengadu-domba antara rakyat dan pembesar
istana. Karena
itulah, secara diam-diam, Sultan membantu perlawanan rakyat
terhadap
kompeni Belanda. Sultan membina hubungan baik dengan Trunojoyo
di Jawa
Timur dan Sultan Hasanuddin di Makasar[20]. Dan, setelah perlawanan
Trunojoyo dan Hasanuddin dapat dikalahkan Belanda, Sultan menerima
prajurit-prajurit mereka bergabung untuk bersama-sama memerangi
kompeni.
Sultan membantu mereka dalam mengadakan kekacauan-kekacauan di
perbatasan Batavia
>. Pasukan ini
pun berkali-kali mengadakan serangan gerilya pada pos-pos kompeni
antara Cirebon
> dan Citarum,
bahkan juga menyerang benteng kompeni di Tanjung Pura dekat
Krawang (Sanusi
Pane, 1950:216).
3. Tahap Akhir Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa
Hubungan
Sultan Haji dengan kompeni Belanda sudah sedemikian dekatnya
sehingga dalam
pasukan pertahanan Surosowan pun ditempatkan satu barisan pasukan
kompeni
sebagai pasukan tambahan, yang pada hakekatnya mereka adalah
mata-mata yang
ditanam kompeni di Banten (Chijs, 1881 : 38). Memang inilah yang
dituju
kompeni, Sultan Haji sudah terbiasa dengan segala yang berbau
Belanda. Ia
lebih percaya kepada kata-kata kompeni dari pada petuah-petuah
ayahnya.
Karena hasutan kompeni ini pulalah maka hubungan Sultan Haji
dengan ayahnya
semakin renggang, bahkan kedua sultan ini saling curiga mencurigai.
Sehingga
pada diri Sultan Haji tumbuh keinginan yang kuat untuk segera
memegang
kekuasaan penuh di Kesultanan Banten, tanpa adanya campur tangan
ayahnya.
Keinginan
demikian terlihat dari tindakan Sultan Haji yang pada bulan Mei 1680
mengirimkan utusan ke Gubernur Jendral VOC di Batavia untuk
menawarkan
perdamaian sambil menegaskan bahwa yang berkuasa di Banten
sekarang adalah
dirinya. Ia menyatakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa sudah
menyerahkan
seluruh kekuasaannya. Sudah tentu tawaran itu ditolak, kompeni tahu
bahwa
Sultan Ageng Tirtayasa belum meletakkan jabatannya. Keadaan ini
dijadikan
senjata oleh kompeni mendorong Sultan Haji untuk segera
memperoleh kuasa
penuh di Banten.
Satu hal
lagi yang mengecewakan Sultan Ageng Tirtayasa, adalah surat ucapan
selamat
yang dikirimkan Sultan Haji atas diangkatnya Speelman menjadi
Gubernur
Jendral VOC menggantikan Rijklof van Goens pada tanggal 25
November 1680,
padahal saat itu kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya
Banten di
Cirebon yang kemudian dapat menguasai Cirebon seluruhnya. Melihat
keadaan
anaknya yang sudah sedemikian keadaannya, Sultan Ageng Tirtayasa
memobilisasikan pasukan perangnya untuk digunakan sewaktu-waktu.
Rakyat
dari daerah Tanahara, Pontang, Tirtayasa, Caringin, Carita dan
sebagainya
banyak yang mendaftarkan diri untuk menjadi prajurit. Demikian juga
tentarapelarian dari Makasar, Jawa Timur, Lampung, Solebar, Bengkulu dan
w:st="on">Cirebon
> bergabung
dengan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan sudah tidak peduli
lagi
dengan tentara dan bangsawan yang berpihak kepada Sultan Haji yang
dianggap
berpindah adat dan berbeda haluan.
Dalam
suasana yang sudah demikian panas, Sultan Ageng mendengar khabar
bahwa
beberapa kapal Banten yang pulang dari Jawa Timur ditahan kompeni
kerena
dianggap kapal perompak. Tuntutan Sultan supaya mereka dibebaskan
tidak
dihiraukan kompeni. Hal ini membuat kemarahan Sultan menjadi-jadi.
Rasa
harga dirinya sebagai Sultan dari suatu negara merdeka terasa
diremehkan.
Maka diumumkannya bahwa Banten dan kompeni Belanda dalam
situasi perang.
Pernyataan
perang Sultan Ageng Tirtayasa kepada kompeni ini ditentang oleh
anaknya,
Sultan Haji. Sultan Haji menyatakan bahwa keputusan itu terlalu
ceroboh,dan, karena tidak dimusyawarahkan dahulu dengannya maka
keputusan itu tidak
syah. Bahkan dengan bermodalkan bantuan pasukan kompeni, yang
dijanjikan
kepadanya, Sultan Haji memak-zulkan ayahnya, dengan alasan bahwa
ayahnya,
Sultan Ageng Tirtayasa, sudah terlalu tua dan sudah mulai pikun
sehingga
mulai saat ini kekuasaan Banten seluruhnya dipegang oleh Sultan Haji.
Melihat
tingkah laku anaknya yang sudah keterlaluan ini, habislah sudah
kesabaran
Sultan Ageng Tirtayasa. Musuh besarnya adalah kompeni Belanda,
tapi untuk
menggem-purnya harus ada kesatuan kata dari semua rakyat Banten.
Oleh
karenanya sebelum menyerang Batavia,
terlebih dahulu harus menyatukan Banten, yaitu mengganti Sultan
Haji.
Sultan Ageng bukanlah akan berperang dengan anaknya, tetapi yang
diperangi
adalah antek penjajah.
Pada
tanggal 26 malam 27 Pebuari 1682, dengan dipimpin sendiri oleh
Sultan Ageng
Tirtayasa, mulailah diadakan penyerbuan mendadak ke Surosowan,
yangyang
berhasil mematahkan perlawanan Surosowan, sehingga dalam waktu
singkat,
pasukan Sultan Ageng dapat menguasai istana. Sultan Haji melarikan
diri dan
minta perlindungan kepada Jacob de Roy, bekas pegawai kompeni
(Tjandrasasmita, 1967 : 41).
Keadaan
Surosowan ini segera dapat diketahui Batavia, maka pada tanggal 6
Maret
1682 dipimpin oleh Saint Martin kompeni mengirimkan dua kapal
perang
lengkap pasukan tempurnya. Pasukan ini tidak segera dapat mendarat
di
pelabuhan Banten, karena hebatnya perlawanan pasukan Banten. Maka
Kapten
Sloot dan W. Caeff, wakil kompeni di Banten, segera mengirim utusan
ke Batavia
> agar kompeni
mengirimkan pasukan darat yang lebih banyak lagi.
Setelah
mempelajari keadaan medan perang, kompeni segera mengirim
pasukan bantuan dari darat dan laut.
Penyerangan dari laut dipimpin oleh Kapten Francois Tack yang, nanti
bersama-sama dengan pasukan Saint Martin mengadakan serangan di
depan pelabuhan Banten. Sedangkan pasukan darat
dipimpin Kapten Hartsinck, berkekuatan 1000 orang, mengadakan
penyerangan
dari arah Tangerang; nanti dalam serbuan ke Tirtayasa, pasukan ini
bergabung dengan pasukan laut, sehingga Tirtayasa diserang dari dua
arah,
demikian taktik kompeni.
Melalui
pertempuran yang banyak memakan korban, akhirnya pasukan Kapten
Tack dan Saint Martin
> dapat menguasai Surosowan. Sultan Ageng
Tirtayasa dan pasukannya mundur ke arah barat sungai Ciujung.
Pertempuran
ini berlangsung terus menerus sampai akhirnya pasukan Sultan Ageng
hanya
dapat bertahan di benteng Kedemangan.
Dalam
pada itu, pasukan Banten di Tangerang dan Angke berusaha menahan
serangan
pasukan Kapten Hartsink. Di sebelah timur Sungai Angke, kompeni
hanya dapat
bertahan di bentengnya saja, sedangkan benteng di sebelah baratnya,
pada
tanggal 30 Maret 1682, sudah dapat dikuasai pasukan Banten yang
dipimpin
Pangeran Dipati. Tapi setelah melalui pertempuran yang lama, pada
tanggal 8Desember 1682 kubu pertahanan Banten di Tangerang dan Angke
dapat dikuasai
kompeni. Benteng di Kedemangan pun akhirnya dapat dihancurkan
pasukan
Kapten Tack pada tanggal 2 Desember 1682. Dengan demikian ruang
gerak
prajurit Sultan Ageng Tirtayasa semakin kecil. Di sebelah barat
pasukan
kompeni yang dibantu pasukan Sultan Haji menguasai sampai
Kademangan,
sedangkan dari arah timur pasukan Kapten Hartsinck sudah sampai di
perbatasan daerah Tanahara. Sehingga daerah induk yang masih
dikuasai
Sultan Ageng hanyalah Tanahara, Tirtayasa dan Kademangan saja
(Sanusi Pane,
1950:216).
Untuk
mempertahankan Tirtayasa, benteng di Kademangan dan Tanahara
merupakan kubu
pertahanan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang terkuat. Di
Tanahara, Sultan
Ageng menempatkan pasukan darat yang dipusatkan di benteng
Tanahara, dan
juga pasukan lautnya di Pulau Cangkir. Karena kuatnya pertahanan di
Tanahara ini, maka kompeni menambah lagi pasukan tempurnya dari
w:st="on">Batavia> dipimpin
Kapten Jonker. Setelah mengerahkan pasukan penyerang dari darat
dan laut,
barulah pada tanggal 28-29 Desember 1682 Tanahara pun dapat
direbut
kompeni.
Dalam
usaha untuk menguasai daerah Tirtayasa, kompeni melakukan
penyerangan
serentak dari dua jurusan: pasukan Kapten Tack dan Sultan Haji
menyerang
dari Pontang, sedangkan pasukan Hartsinck dan Kapten Jonker
menyerang dari
Tanahara. Seluruh barisan pertahanan Sultan Ageng dikerahkan untuk
melawan
kekuatan kompeni ini. Sultan Ageng, Pangeran Purbaya, Syekh Yusuf
dan
seluruh pembesar negeri semuanya turut berperang memimpin
pasukan.
Pertempuran berlangsung hebat, tapi akhirnya pasukan Sultan Ageng
sedikit
demi sedikit dapat dipukul mundur. Karena Sultan memperkirakan
bahwa
pasukannya tidak akan mampu mempertahankan Tirtayasa lebih lama
lagi, maka
diperintahkan pasukannya untuk segera mengundurkan diri,
meninggalkanTirtayasa dan mundur ke arah selatan yaitu hutan Keranggan. Tapi
sebelumnya, Sultan memerintahkan supaya istana dan bangunan
lainnya
dibakar. Sultan tidak rela bangunan-bangunannya itu diinjak oleh
orang
kafir dan pendurhaka. Memang, akhirnya kompeni dan Sultan Haji
dapat menduduki
Tirtayasa, tetapi di sana mereka hanya mendapati puing-puing bekas
istana saja, bahkan penduduknya
pun banyak yang ikut Sultannya ke hutan (Tjandrasasmita, 1976:44).
Dari
hutan Keranggan, Sultan Ageng Tirtayasa dan seluruh pasukannya
melanjutkan
perjalanan ke Lebak. Satu tahun mereka melakukan perang gerilya
dari
w:st="on">sana
>. Tapi akhirnya,
Lebak pun dapat dikepung pasukan kompeni, sehingga pasukan Sultan
Ageng
terpecah menjadi dua bagian: Pangeran Purbaya dan sejumlah
tentaranya
bergerak ke sekitar Parijan, di pedalaman Tangerang. Sedangkan
Sultan
Ageng, Pangeran Kidul, Pangeran Kulon, Syekh Yusuf beserta sisa
pasukannya
bergerak ke daerah Sajira, di perbatasan Bogor.
Sultan
Haji berusaha keras agar ayahnya dapat kembali ke Surosowan.
Dengan
petunjuk serta nasehat kompeni, yang ingin melakukan tipu daya
halus, maka
Sultan Haji mengirimkan surat kepada Sultan Ageng Tirtayasa di
Sajira.
w:st="on">Surat
> itu berisikan ajakan Sultan Haji
supaya ayahnya kembali ke Surosowan dan hidup bersama dengan
damai, di
samping itu dapatlah dirundingkan kedudukan prajurit dan rakyat
Banten yang
mendukung perjuangan Sultan Ageng. Tanpa perasaan curiga sedikit
pun,
Sultan yang kala itu usianya sudah lanjut, --- ditambah pula kesedihan
atas
gugurnya Pangeran Kulon pada tanggal 7 Maret 1683 --- maka pada
tanggal 14
Maret 1683 tengah malam, Sultan Ageng datang ke Surosowan setelah
lama
bertahan di hutan.
Sultan
Ageng Tirtayasa dengan beberapa pengawalnya sampailah di
Surosowan dan
langsung menemui putranya yang telah menantikan kedatangan sang
ayah.
ayah.
Penerimaan Sultan Haji sangat baik meski pun di belakangnya telah
ada
maksud tertentu atas bujukan kompeni. Tetapi setelah beberapa saat
lamanya
tinggal di istana Surosowan ia ditangkap oleh kompeni dan segera
dibawa ke Batavia
>. Memang
itulah maksud dan tipudaya kompeni atas kerja sama dengan Sultan
Haji. Jika
Sultan Ageng Tirtayasa dibiarkan berada di Surosowan maka
dikhawatirkan
oleh kompeni akan dapat mempengaruhi Sultan Haji, yang sudah erat
bekerjasama dengan kompeni.
Sultan
Ageng Tirtayasa dimasukkan ke dalam penjara berbenteng di Batavia
> dengan penjagaan ketat serdadu
kompeni hingga meninggalnya di penjara pada tahun 1692
(Tjandrasasmita,
1967:46). Jenazahnya oleh Sultan Abdulmahasin Zainul Abidin,
anaknya Sultan
Haji, dan terutama oleh rakyat Banten yang amat mencintainya
dimintakan
kepada pemerintah tinggi kompeni Belanda untuk dikirim kembali ke
Banten.
Kemudian dengan upacara keagamaan yang amat mengesankan ia
dimakamkan di
samping sultan-sultan pendahulunya, di sebelah utara Masjid Agung
Banten[21].
4. Perjuangan Gerilya Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf
Ketika
Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap atas tipu daya Belanda dan kerja
sama Sultan
Haji, serta gugurnya Pangeran Kulon, semangat perjuangan menentang
dominasi
Belanda tidaklah berkurang. Hal mana menjadikan motivasi pejuang
yang pro
Sultan Ageng Tirtayasa semakin meningkat karena kekuasaan Banten
di bawah
Sultan Haji telah ada dalam pengaruh politik Belanda. Jajaran
penjuang
terdiri dari keluarga kerajaan, para ulama dan sebagian besar rakyat
Banten. Mereka masih terus berjuang di hutan-hutan menentang
kolonialisme
Belanda. Tokoh gerilya itu di antaranya adalah Syekh Yusuf, Pangeran
Purbaya dan Pangeran Kulon. Syekh Yusuf adalah seorang ulama
Banten asal
Makasar yang diangkat mufti kerajaan Banten semasa Sultan Ageng
Tirtayasa.
Walaupun
Sultan Ageng Tirtayasa sudah dapat ditangkap dan dipenjarakan
kompeni,
Syekh Yusuf dan pasukannya tetap meneruskan perjuangan di sekitar
Tangerang. Bersama pasukan Banten lainnya mereka menyusuri hutan
dan tepi
sungai dengan tujuan ke Cirebon, dengan
harapan di sana ia mendapat bantuan dari Sultan Cirebon yang pernah
jadi sahabat Banten.
Dalam pada itu kompeni segera mengetahui tentang rencana Syekh
Yusuf itu,
maka dikirimkannya sejumlah pasukan kompeni yang dipimpin oleh
Van Happel
ke Cirebon.
Kompeni khawatir kalau-kalau Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan
Pangeran
Kidul serta tentaranya ini akan terus ke Jawa Tengah dan bergabung
dengan
pasukan Kartasura.
Sampai
di Cikaniki, pasukan Syekh Yusuf selanjutnya menuju Cianten lewat
jalan
Cisarua dan Jampang, sedangkan pasukan Pangeran Purbaya
melanjutkan
perjalanannya ke daerah Galunggung untuk bergabung dengan
Tumenggung
Tanubaya. Pasukan gerilya Banten ini berjumlah kira-kira 4000 orang
atau
5000 orang, termasuk 1000 orang Makasar, Bugis dan Melayu. Dari
Jampang,
Syekh Yusuf dan pasukannya terus menuju ke Pamotan yang
kemudian ke Cilacap
dengan menggunakan perahu. Tapi karena tentara kompeni yang
dipimpin oleh
De Ruys dan Eigel berada di sana,
Syekh Yusuf pun pergi ke Padaherang dengan menyusuri sungai
Citandui. Dari
daerah inilah Syekh Yusuf kemudian mengadakan serbuan-serbuan ke
benteng
pertahanan Belanda. Tapi tidak lama kemudian, tanggal 25 September
1683,
Belanda mengadakan serangan besar-besaran terhadap Padaherang,
sehingga
dalam pertempuran itu Pangeran Kidul gugur demikian juga banyak
pembesar
Banten dan Makasar yang gugur, dan istri Syekh Yusuf ditawan
musuh,
sedangkan Syekh Yusuf beserta sisa pasukannya dapat meloloskan diri
dan
pergi hingga sampai di Mandala, daerah Sukapura.
Karena
kompeni sudah merasa kesulitan untuk menangkap Syekh Yusuf,
maka diaturlah
strategi penipuan untuk dapat memperdayakan Syekh Yusuf. Mula-strategi penipuan untuk dapat memperdayakan Syekh Yusuf. Mulamula, kompeni
menangkap anak perempuan Syekh Yusuf, yang bernama Asma,
kemudian dengan
menggunakan putrinya itu, Van Happel pergi ke Mandala untuk minta
supaya
Syekh Yusuf menjemput putrinya dan berunding dengan kompeni.