Rabu, 19 Juli 2023

raja majapahit 1




pelaut-pelaut Nusantara telah menguasai perairan dan tampil sebagai penjelajah samudera sejak 1.500 tahun 
lampau. Ini jauh sebelum Cheng Ho dan Colombus membuat sejarah pelayaran fenomenal. Para penjelajah 
laut Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia, bahkan sebelum kedatangan orang-orang Eropa ke 
tanah air pada paruh pertama abad 16.
Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia yang dikenal sebagai penjelajah Nusantara telah berlayar 
mengarungi lautan ke barat Samudera Hindia hingga Madagaskar dan ke timur hingga Pulau Paskah. Ini menjadi 
bukti bahwa masyarakat Indonesia memiliki peradaban dan budaya maritim yang maju sejak dulu kala. Seiring 
semakin ramainya aktivitas melalui laut, lahirlah kerajaan-kerajaan bercorak maritim dan memiliki armada laut besar. 
Perkembangan budaya maritim pun membentuk peradaban bangsa yang maju di zamannya.
Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit 
(1293-1478).Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, 
Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya 
bahkan sampai ke negara-negara asing, seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa 
(Kamboja), Anam, India, Filipina, China.Di jaman Majapahit dulu, Hayam Wuruk, ‘Ayam yang pandai’, berhasil memerintah dan menguasai seluruh 
Nusantara, dari Sabang sampai Merauke, sebagai bangsa yang berdaulat. Majapahit di bawah Hayam Wuruk adalah 
kerajaan maritim yang jaya, merupakan kekuasaan besar di Asia Tenggara, sekaligus pengganti dua kerajaan besar 
sebelumnya, Mataram – kerajaan pertanian, dan Sriwijaya – kerajaan maritim. 
Keberhasilan Majapahit dalam mengembangkan teknologi bahari dengan membangun kapal bercadik menjadi 
tumpuan utama kekuatan armada lautnya. Di relief candi Borobudur kita dapat melihat pahatan kapal ini yang 
dibangun dengan pasak kayu, tanpa menggunakan paku. Layarnya terbuat dari tanaman yang dianyam yang mudah 
digerakkan sesuai arah angin, sehingga laju kapal dapat bergerak lincah sesuai tujuan.Armada laut Majapahit juga 
didukung oleh persenjataan meriam 
hasil rampasan dari bala tentara 
Kubilai Khan ketika menyerang 
Kediri. Kapal-kapal Jawa berukuran 
raksasa dengan tiga-empat layar ini 
dikagumi dan dipuji kehebatannya 
oleh para penjelajah dunia di abad 
ke-14. Kapal raksasa dengan panjang 
70 meter dan berat lebih dari 500 ton 
ini mampu memuat 600 penumpang. 
Jumlah armada ketika itu mencapai 
angka yang fantastis, 400 kapal. Bisa 
dibayangkan betapa sudah majunya 
teknologi perkapalan waktu itu. 
Nusantara di bawah Majapahit tujuh 
abad yang lalu!
Dalam buku Da Asia yang ditulis 
oleh Diego de Couto disebutkan 
bahwa orang Jawalah yang terlebih 
dulu berlayar sampai ke Tanjung 
Harapan, Afrika, dan Madagaskar. 
Banyak penduduk keturunan Jawa 
yang tinggal di Tanjung Harapan di 
awal abad ke-16, sampai sekarangDi tahun 1500, pelaut Portugis juga menemukan Kapal dagang milik 
orang Jawa di perairan Asia Tenggara. Kota pelabuhan Malaka pada waktu 
itu praktis menjadi kota orang Jawa. Banyak tukang kayu Jawa yang terampil 
membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara. Juga 
banyak saudagar dan nakoda kapal Jawa yang menetap di sana. Merekalah 
yang menguasai jalur rempah-rempah yang sangat vital antara Maluku, Jawa, 
dan Malaka, sekaligus mengendalikan perdagangan internasional.Hubungan dagang yang telah terajut pada abad ke-13 antara Kerajaan Ryu 
Kyu yang terletak di Pulau Okinawa, Jepang bagian selatan dengan Kerajaan 
Majapahit dibuktikan dengan penemuan sebilah keris purba di sebuah kuil 
purba “Enkakuji Temple”di dasar lautan Pulau Okinawa.
Hubungan lainnya juga terjalin antara Kerajaan Majapahit dengan masyarakat Okinawa, Jepang, yang dahulu 
bernama Ryukyu, pada abad ke 15. Diketahui, Masyarakat Okinawa melakukan kunjungan ke Majapahit sebanyak 
sembilan kali. Sementara Majapahit berkunjung ke Jepang sebanyak lima kali.
Saat itu hubungan dagang Kerajaan Majapahit dan masyarakat Okinawa sangat baik. Masyarakat Okinawa membeli 
rempah-rempah dari Majapahit, sementara masyarakat kerajaan Majapahit membeli barang barang seperti keramik dari 
Okinawa.•
L
etak geografis Indonesia sangat strategis, karena diapit dua benua 
dan dua samudera. Sebagian besar luas wilayah Indonesia terdiri 
dari lautan, perbandingannya adalah duapertiga berupa lautan dan 
hanya sepertiga wilayah yang berbentuk daratan. Dengan kondisi 
geografis seperti ini, maka sudah sepantasnya bagi Indonesia 
berfokus pada pengembangan wilayah maritim ketimbang daratan.
Atas alasan itu juga, Presiden Joko Widodo mengeluarkan doktrin 
mengenai peran Indonesia sebagai poros maritim dunia. Lima pilar utama 
poros maritim itu bahkan secara gamblang beliau beberkan dalam pidato di 
forum Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Naypyidaw, Myanmar, pada 
November 2014 lalu. 
Berikut uraian agenda Presiden Jokowi yang akan menjadi fokus Indonesia 
di abad ke-21. Dengan agenda ini, diharapkan Indonesia akan menjadi Poros 
Maritim Dunia, kekuatan yang mengarungi dua samudera, sebagai bangsa 
bahari yang sejahtera dan berwibawa. 
1. Membangun Kembali Budaya Maritim Indonesia
Membangun kembali budaya maritim Indonesia berangkat dari kesadaran 
bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17 ribu 
pulau. Artinya, penanaman identitas sebagai negara maritim perlu dilakukan 
agar setiap generasi bangsa sadar bahwa maritim adalah identitas bangsa. 
Sehingga alur pikiran masyarakat tertanam bahwa kemakmuran bangsa sangat 
bergantung dengan pengelolaan samudera yang mengapit negeri. 
2. Menjaga Dan Mengelola Sumber Daya Laut
Kedaulatan pangan dari hasil laut menjadi fokus agenda ini. Industri sektor 
perikanan menjadi penting untuk dimaksimalkan demi kemakmuran rakyat, 
tapi di satu sisi tetap menjadikan nelayan sebagai pilar utama dalam agenda. 
Dalam agenda ini, Jokowi menggarisbawahi agar kekayaan maritim digunakan 
sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia
3. Pengembangan Infrastruktur Dan Konektivitas Maritim
Konektivitas antar pulau menjadi fokus dalam visi negara maritim. Namun konektivitas ini bukan berarti setiap 
pulau harus terhubung dengan jembatan. Tapi dengan infrastruktur yang menunjang bagi berlabuhnya kapal-kapal ke 
semua pulau yang ada di Indonesia. Tidak hanya itu, konektivitas dan infrastruktur juga diharapkan bisa menambah 
devisa bagi daerah-daerah di kepulauan.
Sehingga, pembangunan tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim menjadi 
prioritas agenda ini.
E
kspedisi Spirit of Majapahit secara resmi diluncurkan pada 
tanggal 2 Mei 2016. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman 
Rizal Ramli secara resmi meluncurkan ekspedisi kapal replika 
Majapahit itu berlayar ke Okinawa, Jepang. Acara peluncuran 
ekspedisi itu turut dihadiri oleh Duta Besar Jepang untuk 
Indonesia Tanizaki Yasuaki, serta General Secretary Majapahit Admiration 
Community Takajo Yoshiaki. 
Dalam sambutan pelepasan tersebut, Menko Rizal mengatakan 
bahwa ‘Ekspedisi Spirit of Majapahit 2016’ merupakan bagian dari misi 
untuk mengangkat serta melestarikan nilai- nilai sejarah dan budaya 
maritim Indonesia. Melalui Ekspedisi Spirit of Majapahit, Menko Rizal 
siap membuktikan bahwa Indonesia pernah berjaya di masa lalu melalui 
penguasaan laut
S
ebelum membahas Napak Tilas Spirit of Majapahit 2016 menuju Jepang, ada baiknya kita ketahui terlebih 
dahulu, di mana kapal Spirit of Majapahit dibuat dan bagaimana proses pembuatannya.
Dalam buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17 yang ditulis oleh sejarawan maritim 
Indonesia, Adrian B. Lapian dijelaskan “Galangan kapal di Jawa juga terkenal di Asia Tenggara, khususnya 
pada abad ke-16 M. Keahlian arsitek kapal di Jawa begitu tersohor sehingga Alfonso D’ Albuquerque, 
seorang pelaut Portugis, membawa 60 tukang yang cakap pada waktu ia meninggalkan Malaka pada tahun 1512 M 
(Alfonso D’ Albuquerque bersama pasukan Portugis berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511 M). Pada jaman 
Kerajaan Majapahit, Tuban menjadi salah satu pelabuhan ramai. Pasukan Angkatan Laut Kerajaan Majapahit juga 
dipusatkan di Tuban. Hal ini dikarenakan posisi Tuban, dekat dengan Lasem tempat para arsitek dan pembuat kapal 
yang hebat saat itu. Di samping itu kayu jati yang dimiliki Rembang (dekat dengan Lasem), memudahkan tersedianya 
bahan material untuk membuat kapal atau memperbaiki kapal-kapal yang rusak.

bangunan yang disucikan oleh masyarakat kabuyutan atau 
dusun yang mendapatkan hak istimewa berupa 
pengurangan pajak ,
4 Suatu daerah yang mendapatkan status sima atau otonomi 
mendapatkan hak istimewa berupa pengurangan jumlah 
pajak atau bahkan bebas untuk tidak membayar pajak 

Majapahit! Siapa yang tidak mengenal kata itu? 
Sebagian besar masyarakat Indonesia tentu mengenal kata 
Majapahit. Di dalam pelajaran-pelajaran sejak tingkat SD 
diajarkan tentang Kerajaan Majapahit yang berpusat di 
Trowulan, Kabupaten Mojokerto sekarang, Majapahit 
merupakan kerajaan yang pernah menguasai Nusantara, 
bahkan juga dikenal di banyak wilayah di Asia Tenggara. 
Banyak kearifan yang dapat dipetik dari keberadaan 
Majapahit, aspek sosio-politik, budaya, ekonomi, bahkan 
hubungan luar negeri. 
Selama ini sudah banyak artikel, makalah, dan buku 
tentang berbagai aspek kehidupan pada masa naik-puncak￾surut Kerajaan Majapahit, namun terbitan yang 
memaparkan dan mengupas aspek-aspek tersebut di atas 
dalam satu buku yang kompak, menyatu. Dapat dicatat di 
antaranya: 700 Tahun Majapahit terbit tahun 1993, 
Majapahit. Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota terbit 
tahun 2014, Inspirasi Majapahit terbit tahun 2014. 
Meskipun demikian masih banyak aspek terkait dengan 
Majapahit yang belum digali, apalagi penelitian-penelitian 
tentang Majapahit masih terus dilakukan. 
Oleh karena itu, buku yang diterbitkan oleh Dinas 
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur bekerja 
sama dengan Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian, 
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga 
dengan judul Sandhyakala ning Majapahit: Pembelajaran 
dari pasang surut Kerajaan Majapahit ini menjadi kajian yang penuh makna, mengemukakan yang belum terungkap 
mengenai Majapahit. Buku ini terdiri atas empat bagian. 
Bagian pertama mengenai “Kejayaan Majapahit”, bagian 
kedua mengenai “Pasca Hayam Wuruk”, bagian ketiga 
mengenai “Majapahit dari Perspektif Geologi”, dan bagian 
keempat mengenai “Bukti Bioarkeologi”. Keempat bagian 
tersebut memuat makalah-makalah yang ditulis oleh 14 
orang ahli di bidang-bidang tersebut, yang semua 
mengungkap aspek-aspek terkait dengan Majapahit. 
Makalah-makalah tersebut disajikan dan didiskusikan 
dalam Seminar Sandhyakala ning Majapahit pada tanggal 16 
November 2019 di Surabaya, yang diselenggarakan oleh 
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur 
bekerjasama dengan Museum Etnografi dan Pusat Kajian 
Kematian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 
Airlangga. 
Bagian pertama mengenai “Kejayaan Majapahit” 
memuat tiga makalah yang ditulis oleh Mimi Savitri dan 
Adrian Perkasa serta Sambit Datta. Makalah Mimi Savitri 
yang berjudul “Musyawarah pada Masa Majapahit Abad 
XIII–XIV M: Bukti Kehidupan Demokratis pada Kerjaan 
Jawa” mengemukakan bahwa sejak awal berdiri sampai 
menjelang kemunduran Majapahit musyawarah digunakan 
oleh raja untuk menyelesaikan berbagai masalah. Hal ini 
diperoleh Mimi Savitri, setelah ia mengkaji beberapa 
prasasti masa Majapahit di antaranya prasasti Kudadu, 
prasasti Hamad, dan prasasti Bendosari; beberapa naskah 
seperti Nagarakertagama, Pararaton, dan Manawa 
dharmaçāstra; serta relief pada candi Ampel Gading yang 
menggambarkan dewa-dewa bermusyawarah. Data dari berbagai sumber tersebut menurut Mimi Savitri 
membuktikan adanya kepemimpinan yang demokratis 
pada Kerajaan Majapahit. Pada tataran yang tinggi 
musyawarah dipimpin oleh raja, namun semua lapisan 
masyarakat dapat melaksanakan musyawarah secara aktif. 
Tulisan mengenai sejarah pengungkapan kejayaan 
Majapahit dikemukakan oleh Adrian Perkasa dengan judul 
“Majapahit di antara Dua Penguasa Kolonial: Inggris dan 
Belanda”. Dalam makalah tersebut ia menyajikan sejarah 
pengungkapan kejayaan Majapahit, yang diawali oleh 
Thomas Stanford Raffles dan dituliskan dalam History of 
Java. Sejak diungkap oleh Raffles, Kerajaan Majapahit lalu 
mendapat tempat penting dalam pandangan orang-orang 
Eropa. Adrian Perkasa juga menggambarkan peran R.T. Ario 
Kromo Adinegoro dalam upaya menyingkap sejarah 
Majapahit. Diungkap juga tentang Schnitger yang menduga 
fragmen arca terakota sebagai potret wajah Gajah Mada. 
Menurut pendapatnya karakter wajah arca tersebut penuh 
kuasa. 
Makalah yang ditulis oleh Sambit Datta dengan 
judul ”Evolution and Interconnection: Geometry in Early 
Temple Architecture” mengungkap evolusi serta hubungan 
antara tradisi membangun kuil/candi di Asia Selatan dan 
Asia Tenggara, dengan meneliti candi-candi yang sudah 
rusak di India, Kamboja, dan Jawa. Ia mengambil data dari 
beberapa kuil/candi, antara lain: kuil-kuil masa Gupta di 
India, candi-candi di Dieng dan Gedong Sanga di Jawa, serta 
kuil Sambor Prei Kuk di Kamboja. Penelitiannya dilakukan 
dengan rekonstruksi digital 3D, menggunakan metode 
analisis image based dengan teknik generative modelling. Di sisi lain, dalam teks-teks tentang kuil-kuil India kuno 
didapatkan prinsip-prinsip geometris yang didasarkan 
pada kitab-kitab suci. Sementara itu, Datta menemukan 
bahwa arsitektur candi/kuil di Asia Tenggara 
memperlihatkan hubungan inter-Asia, lintas benua, dalam 
hal lay-out bentuk, aspek geometri denah, penggunaan atap 
bertingkat, elemen-elemen pada pintu masuk candi/kuil, 
serta penggunaan ragam-ragam hias yang khas. 
Bagian kedua yang diberi judul “Pasca Hayam 
Wuruk” berisi empat makalah yang ditulis oleh Edi 
Triharyantoro, Agus Aris Munandar, John N.Miksic, dan Sri 
Margana. Tulisan Edi Triharyantoro yang berjudul 
“Tinggalan Arkeologi. Bukti Kegoncangan Politik Majapahit” 
menguraikan artefak-artefak yang berhubungan dengan 
keguncangan politik Majapahit. Bangunan-bangunan suci 
berundak dan arca-arca dari abad XIII–XIV M yang 
menyimpang dari tradisi arsitektur dan ikonografi Hindu￾Jawa menurut pendapat Edi membuktikan terjadinya 
keguncangan politik, dan memunculkan kembali 
kepercayaan asli. Berarti hal tersebut menunjukkan 
terjadinya kontra akulturasi dan dinamika keudayaan pada 
masa itu. 
Agus Aris Munandar dalam makalahnya yang 
berjudul “Beberapa Proposisi Keruntuhan Kerajaan 
Majapahit” menguraikan perihal keruntuhan Majapahit, 
sebab musababnya, dan apa yang dapat dipetik dari 
keruntuhan tersebut. Pemakalah menggunakan sumber 
terutama berupa karya sastra, karena data arkeologi hanya 
berupa sisa kota Majapahit di Trowulan yang sampai 
sekarang pun belum dikaji secara komprehensif. Karya sastra yang ditelaahnya adalah: Babad Tanah Jawi karya 
R.Ng. Yasadipura, Babad Tanah Galuh–Mataram, Babad 
Dalêm Bali, Sêrat Darmogandul, Babad Arung Bondan, dan 
Carita Lasêm. Sesudah meninggalnya Rajasanagara (Hayam 
Wuruk), Majapahit mengalami kegoncangan-kegoncangan 
politik, sampai kehilangan kekuasaan pada tahun 1519 TU, 
meskipun ada prasasti dari tahun 1541 fi TU yang 
menyebut nama Majapahit. Kerajaan Majapahit runtuh 
melalui proses yang panjang, tidak serta merta karena 
diserang bala tentara Demak. Ada perang perebutan 
kekuasaan yang berkepanjangan, terakhir adalah serangan 
Girindrawardana kepada Bhre Kertabumi. Pelajaran yang 
dapat dipetik dari keruntuhan Majapahit: negara dapat 
bertahan apabila ada dukungan rakyat. 
Dalam makalah John N. Miksic yang berjudul 
“Majapahit after Hayam Wuruk. Decline or 
Transformation?”, ia memulai pembicaraan dengan 
menyampaikan bahwa historiografi tradisional Indonesia 
menyebutkan bahwa Majapahit runtuh oleh Demak pada 
tahun 1400 Ç = 1478 TU. Tetapi Miksic menulis bahwa hal 
tersebut tidak sejalan dengan data epigrafi dan beberapa 
sumber lain, bahkan potensi Arkeologi tentang hal tersebut 
belum digunakan sepenuhnya. Digambarkannya bahwa 
kehidupan politik Majapahit memang kacau, tetapi 
kehidupan ekonominya masih berjalan lancar, terbukti dari 
temuan-temuan keramik impor dari Cina, juga dari 
Thailand, Vietnam. Kuantitas dan kualitas keramik Vietnam 
dan Thailand yang ditemukan di Trowulan menunjukkan 
bahwa Majapahit masih jaya. Fragmen keramik Vietnam, 
Cina, bahkan Persia, yang ditemukan menggambarkan relasi yang erat dengan erajaan-kerajaan di wilayah￾wilayah terseut pada abad XIII – XV M. Miksic juga 
menyatakan bahwa raja-raja Majapahit biasa mengirim 
utusan kepada kaisar Cina, bahkan sampai tahun 1499 M. 
Dalam makalah yang berjudul “Sandhyakala ning 
Majapahit. Menurut Babad Jawa” Sri Margana menguraikan 
tentang jattuhnya Majapahit, khususnya peran orang-orang 
Islam, berdasarkan sumber-sumber utama historiografi 
tradisional Jawa. Sumber-sumber yang ditelaahnya adalah 
“Babad Tanah Jawi” dari istana Surakarta dan Yogyakarta, 
serta ‘Babad Kraton”. Dengan membandingkan narasi 
dalam naskah-naskah tersebut, Sri Margana menyampaikan 
bahwa naskah-naskah tersebut mempunyai narasi yang 
sama tentang latar belakang runtuhnya kerajaan Majapahit, 
yaitu lahirnya Patah dan Husen. Namun, setelah itu 
narasinya berbeda, sehingga menimbulkan penafsiran yang 
berbeda pula. 
Bagian ketiga mengenai “Majapahit dari Perspektif 
Geologi” berisi dua makalah yang ditulis oleh Amin Widodo 
bersama Firman Syaifudin, dan Yahdi Zaim. “Rekonstruksi 
Digital Pantai Zaman Majapahit” adalah judul makalah yang 
ditulis oleh Amin Widodo bersama Firman Syaifudin. 
Mereka menguraikan bahwa suatu kerajaan akan menjadi 
kuat dan ideal apabila dapat menguasai seluruh aliran 
sungai, sehingga akan menguasai pertanian di pedalaman 
dan perdagangan maritime di wilayah muara. Struktur 
sedemikian pernah terjadi pada masa pemerintahan 
Airlangga, Kertanegara, dan Hayam Wuruk. Pelabuhan 
untuk Majapahit diperkirakan berada di area muara Kali 
Mas / Kali Surabaya. Pada masa itu sungai tersebut dapat dilayari sampai mendekati pusat kerajaan, yakni di 
daerahJapanan. Majapahit sukses dalam memadukan 
keunggulan agraris dan memperkuat kekuatan maritime 
dengan memanfaatkan sungai Brantas. Para pemakalah 
juga mengusulkan ada kolaborasi riset antara Arkeologi 
dengan bidang-bidang ilmu lain untuk menentukan garis 
pantai pada masa Majapahit. 
Pemakalah berikutnya adalah Yahdi Zaim yang 
menyampaikan “Adakah Kejayaan Majapahit Pudar Karena 
Bencana Alam?” Dalam pemikirannya wilayah Tarik tepat 
dipilih sebagai pemukiman pusat pemerintahan Majapahit 
karena secara morfologis merupakan dataran yang luas, 
dekat aliran Sungai Brantas, sehingga subur. Di samping itu, 
juga dekat dengan jalur transportasi air. Kemudian pusat 
pemerintahan pindah dari Tarik ke wilayah Trowulan 
sekarang. Akan tetapi daerah yang datar, dekat sungai 
besar, juga rentan bencana banjir. Di selatan wilayah Tarik￾Trowulan terdapat Gunung Wilis dan Kompleks Kelud yang 
berpotensi Meletus dalam kurun waktu Majapahit. 
Bencana-bencana alam tersebut berdampak pada 
kesejahteraan, kehidupan sosial-ekonomi-psikologi 
masyarakat, juga pada keamanan negeri. Hal-hal tersebut 
ikut memicu terjadinya gejolak politik yang pada gilirannya 
menyebabkan lemahnya Majapahit. 
Bagian keempat diberi judul “Bukti Bioarkeologi” 
berisi dua makalah, yakni” ditulis oleh Yusuf Bilal Abdillah, 
bersama Delta Bayu Murti dan Toetik Koesbardiati; dan 
“Kondisi Kesehatan Penduduk Pesisir pada Sekitar Akhir 
Masa Majapahit di Caruban, Lasem, Rembang: Bukti-Bukti 
Bioarkeologi Maritim” dikemukakan oleh Rusyad Adi Suriyanto dan Ashwin Prayudi. Makalah yang ditulis oleh 
Yusuf Bilal Abdillah dengan judul “Similaritas DNA 
Mitochondria Masyarakat Tengger dengan Temuan Rangka 
Kedaton, Trowulan” tersebut diatas mengemukakan bahwa 
sampai sekarang asal usul masyarakat Tengger belum 
diketahui. Di sisi lain masyarakat Tengger percaya bahwa 
mereka adalah keturunan masyarakat Majapahit yang 
terdesak Ketika masa akhir Majapahit, dan mengungsi ke 
wilayah Tengger. Tetapi menurut penelitian Glinka dan 
Koesbardiati, masyarakat Tengger memiliki ciri 
protomalayid yang besar. Oleh karena itu perlu diketahui 
similaritas antara variasi haplotype masyarakat Tengger 
dengan temuan rangka di Kedaton, Trowulan. Penelitian 
tentang hal tersebut dilakukan dengan metode komparatif. 
Adapun tujuannya adalah membuktikan asal usul 
masyarakat Tengger yang dianggap berasal dari Majapahit. 
Perbandingan data sekuens masyarakat Tengger di 
Wonokitri dengan temuan rangka di Kedaton menunjukkan 
similaritas di antara keduanya. Maka mungkin masyarakat 
Majapahit di masa akhirnya bercampur dengan penduduk 
asli Tengger. 
Makalah berjudul “Kondisi Kesehatan Penduduk 
Pesisir pada Sekitar Masa Akhir Majapahit di Caruban, 
Lasem, Rembang: Bukti-Bukti Bioarkeologis Maritim” yang 
ditulis oleh Rusyad Adi Suriyanto et.al. mengemukakan 
bahwa di situs Caruban, Lasem, Rembang. Pada masa 
Majapahit, Lasem yang ditetapkan sebagai tanah lungguh 
Majapahit juga merupakan bandar yang ramai, serta tempat 
membuat kapal-kapal dagang dan kapal perang. Setelah 
runtuhnya Majapahit, Lasem berada dalam kekuasaankerajaan Demak. Di situs Caruban yang merupakan situs 
peralihan dari masa Klasik menuju masa Islam, ditemukan 
tiga rangka manusia. Berdasarkan temuan tersebut, para 
penulis meneliti tentang penyakit dan kelainan fisik, serta 
pengaruh aktivitas sosial-budaya pada masanya. Rangka I 
berjenis kelamin perempuan, berumur sekitar 17 tahun; 
rangka II berjenis kelamin laki-laki berumur sekitar 25–30 
tahun; rangka III berjenis kelamin perempuan, berumur 
sekitar 20 tahun. Ketiganya berafinitas Mongoloid, dan pada 
rangka II serta III terdapat jejak mutilasi gigi. Rangka￾rangka tersebut menunjukkan adanya karies pada gigi 
mereka, dan jejak pangur pada gigi. Selain itu, rangka II dan 
III menunjukkan adanya tumor jinak. Mereka meninggal 
dalam usia remaja awal sampai dewasa tengah, karena 
terpapar beragam penyakit. Hal tersebut terkait dengan 
dinamika lingkungan dan kebudayaan. Juga karena 
persebaran penyakit serta kontak di antara populasi di 
wilayah tersebut. 


-----



Musyawarah sebagai cara untuk memutuskan 
masalah telah dikenal sejak masa awal berdirinya Kerajaan 
Majapahit pada abad ke-13. Pada masa itu musyawarah 
telah menjadi sebuah cara yang dilakukan oleh menantu 
raja untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Hal ini 
menarik untuk diteliti, karena pada masa selanjutnya ketika 
Kerajaan Majapahit telah berdiri, musyawarah masih tetap 
digunakan oleh raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi 
untuk menyelesaikan permasalahan (Kartodirdjo 1993:37). 
Di Jawa, termasuk di Kerajaan Majapahit, raja memiliki 
kekuasaan tertinggi dan disamakan dengan dewa. Sebagai 
contoh, naskah kesastraan Nagarakertagama pupuh I:3 
menyebut Hayam Wuruk sebagai penjelmaan dewa; 
prasasti Bendosari atau Manah i Manuk menyebut raja 
mereka, Hayam Wuruk, sebagai Iswarapratiwimba atau 
penjelmaan Siwa (Savitri 1993:65). Kekuasaan raja yang 
sangat tinggi dalam sebuah pemerintahan itu dapat 
menjadikan seorang raja memerintah secara mutlak dan 
otoriter sebagaimana dijumpai pada negara-negara 
kerajaan di Eropa (Moedjanto 1990:5). Namun, hal itu tidak 
terjadi pada Kerajaan Majapahit yang ada di Jawa. Data 
prasasti dan naskah kesastraan yang menginformasikan 
tentang adanya musyawarah membuktikan bahwa 
pemerintahan pada masa Majapahit tidak dijalankan secara mutlak dan otoriter, namun secara demokratis.
Musyawarah sebagai salah satu cara untuk 
menyelesaikan masalah pada masa lampau merupakan 
topik yang menarik untuk diteliti. Akan tetapi, penelitian 
dengan topik musyawarah pada kerajaan-kerajaan di 
nusantara tidak banyak dilakukan. Hanya dua peneliti yang 
melakukan penelitian dengan topik tersebut. Sebagai 
contoh, Ardika (1985:584) melakukan penelitian tentang 
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh raja-raja Bali 
pada abad X-XI M. Selanjutnya, Savitri (1993) melakukan 
penelitian terkait dengan musyawarah yang dilakukan oleh 
Raja Hayam Wuruk di Jawa. Skripsi tersebut membahas 
fungsi dan peran musyawarah serta hubungannya dengan 
kekuasaan Raja Hayam Wuruk. 
Penelitian tentang musyawarah yang dilakukan 
oleh Savitri ini diperluas masa kajiannya, ruang lingkup 
serta data yang digunakan. Perluasan fokus penelitian ini 
tidak hanya pada masa Hayam Wuruk saja, namun juga 
pada masa Majapahit sejak awal berdirinya kerajaan 
tersebut pada abad 13 hingga abad 14 M atau masa 
menjelang kemunduran Kerajaan Majapahit. Kemunduran 
Majapahit dimulai pada abad 14 ketika pemerintahan 
Kerajaan Majapahit ditinggalkan oleh patih atau menteri 
tertingginya yang bernama Gajah Mada. Gajah Mada 
memiliki keahlian yang luar biasa dalam menjalankan roda 
pemerintahan. 
Dalam hal ruang lingkup serta data yang digunakan. 
Lingkup penelitian tidak hanya pada raja saja, namun juga 
kerabat raja, bawahan raja, serta masyarakat yang tinggal di 
pedesaan. Data yang digunakan tidak hanya berupa prasasti dan naskah kesastraan, namun juga relief yang ada pada 
candi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui 
pelaksanaan musyawarah pada Kerajaan Majapahit pada 
abad ke 13 hingga 14 M dari tingkat pusat pemerintahan 
hingga masyarakat pedesaan. Hal tersebut berusaha 
diungkap untuk membuktikan bahwa walaupun kerajaan 
Majapahit bersifat otokratis, raja Majapahit tidak 
memerintah secara otoriter; raja Majapahit memimpin 
kerajaannya secara demokratis karena memberikan 
kebebasan pada bawahannya maupun rakyatnya untuk 
mengemukakan pendapat mereka melalui musyawarah. 
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi sejarah 
Indonesia kuno terutama terkait dengan sejarah sosial dan 
politik masa Majapahit.
Metode yang dilakukan untuk melakukan penelitian 
ini adalah melalui studi pustaka, dengan cara 
mengumpulkan data berupa alih aksara prasasti dari masa 
Majapahit serta naskah kesastraan berupa 
Nagarakertagama dan Pararaton yang mengindikasikan 
adanya pelaksanaan musyawarah. Naskah lain yang 
digunakan adalah Amertamathana sebagaimana terdapat 
pada Mahabharata dan Kitab Mãnawa Dharmaçãstra. 
Naskah-naskah ini merupakan naskah yang digunakan oleh 
umat Hindu termasuk Kerajaan Majapahit sebagai salah 
satu pedoman hidup mereka. Data lain yang digunakan 
adalah yang ada pada miniatur candi yang ditemukan di 
Ampel, Gading. Miniatur candi ini kini berada di Museum 
Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Mojokerto. 
Tahap selanjutnya dalam penelitian ini adalah analisis terhadap prasasti-prasasti serta naskah kesastraan 
yang menceritakan tentang adanya proses pelaksanaan 
musyawarah. Hal yang dianalisis adalah jenjang 
pelaksanaan musyawarah, dari tingkat pusat kerajaan 
hingga pedesaan, siapa saja yang berperan dalam 
musyawarah serta hal apa saja yang dibahas pada saat 
pelaksanaan musyawarah. Setelah dilakukakan analisis, 
maka tahap berikutnya adalah interpretasi pelaksanaan 
musyawarah di Kerajaan Majapahit abad ke-13-14 M untuk 
membuktikan bahwa raja Majapahit memerintah 
kerajaannya secara demokratis.
Pelaksanaan musyawarah pada prasasti dan naskah 
kesastraan 
Ada tiga prasasti yang mengindikasikan 
pelaksanaan musyawarah pada masa Majapahit. Prasasti 
yang menginformasikan tentang musyawarah sebagai 
bentuk perundingan pada masa itu dapat ditemukan pada 
prasasti Kudadu, Himad, dan Bendosari/Manah i Manuk. 
Naskah kesastraan yang menyebutkan tentang pelaksanaan 
musyawarah adalah Pararaton dan Nagarakertagama. 
Musyawarah pada prasasti Kudadu, Himdad, dan 
Bendosari/Manah i Manuk 
Prasasti Kudadu 
Prasasti Kudadu ditulis pada tahun 1216 Ç atau 
1294 M. Prasasti ini menceritakan perjalanan Dyah Wijaya 
atau Raden Wijaya ketika melarikan diri ke Desa Kudadu 
serta menyusun strategi untuk merebut kembali kekuasaan 
Kertanegara, raja Singhasari yang juga ayah mertua Dyah Wijaya, yang direbut oleh Jayakatwang (Yamin 1962:222). 
Prasasti Kudadu menceritakan bagaimana Dyah Wijaya dan 
Wiraraja berunding mengatur strategi untuk mendirikan 
kerajaan baru (Yamin 1962:221). Bentuk solidaritas 
Wiraraja yang lain kepada Dyah Wijaya adalah dengan 
mengirimkan orang-orang Madura untuk menebang hutan 
Tarik. 
Prasasti Himad 
Prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar tahun 
1331 hingga 1364 M. Dasar perkiraan tersebut adalah 
pengangkatan Gajah Mada sebagai Patih Mangkubumi 
Majapahit hingga meninggal sebagaimana diberitakan pada 
Nagarakertagama. 
Prasasti Himad sebenarnya merupakan prasasti 
peradilan, sebab prasasti tersebut berisi ketetapan dari 
para pejabat kerajaan terkait dengan perselisihan antara 
para rãma1
 di Walandit dengan para dapur2
 Himad. Hal yang 
diperselisihkan adalah kedudukan Sang Hyang Dharmma 
Kabuyutan3
 dan status desa Walandit terhadap Himad. 
1 Kata rãma merupakan Bahasa Jawa Kuno yang mengacu 
pada sekumpulan pejabat desa (Permana 2016:297). 
2 Kata dapur berasal dari Bahasa Jawa Kuno dan mengacu 
pada wilayah dusun saat ini. Sebuah dapur dipimpin oleh 
seorang tetua desa yang disebut dengan buyut.
3 Kabuyutan merupakan Bahasa Jawa Kuno yang mengacu 
pada wilayah terkecil pada Kerajaan Majapahit (Suhadi 
1993:114). Wilayah terkecil ini dapat disetarakan dengan 
dusun, sebab wilayah yang lebih besar dari kabuyutan
adalah wanua/desa/thani. Dengan demikian maka Sang 
Hyang Dharmma Kabuyutan dapat dikatakan sebagai Perselisihan yang terjadi itu bermula dari timbulnya 
kesadaran para rãma Walandit yang menuntut hak mereka 
terhadap Sang Hyang Dharmma Kabuyutan. Para rãma
Walandit memiliki bukti berupa prasasti dari zaman Sindok 
yang menetapkan bahwa Sang Hyang Dharmma Kabuyutan 
berstatus sīma4
. Berdasarkan bukti tersebut, para rãma
Walandit mengemukakan bahwa Sang Hyang Dharmma 
Kabuyutan bukan merupakan daerah kekuasaan Himad, 
melainkan berstatus swatantra. Desa Walandit mendapat 
kewajiban untuk melakukan pemujaan di Dharmma 
Kabuyutan dan memeliharanya serta mengawasi orang￾orang yang mandi dan mengambil air suci di tempat 
tersebut. 
Kejadian di atas menunjukkan bagaimana para 
rãma Walandit mengajukan gugatannya. Oleh karena 
masalah tersebut adalah masalah bersama dari para rãma, 
maka dapat dipastikan bahwa ada proses musyawarah 
sebelum gugatan diajukan. 
Prasasti Bendosari/Manah i Manuk 
Prasasti Bendosari/Manah i Manuk merupakan 
prasasti peradilan yang dikeluarkan pada masa Majapahit
(Nastiti 1985:564). Penanggalan prasasti ini tidak diketahui 
secara pasti karena tidak dicantumkan pada prasasti 
tersebut. Hanya saja, berdasarkan nama Hayam Wuruk dan 
gelar yang digunakan oleh para pejabatnya, maka prasasti 
tersebut kemungkinan ditulis pada tahun 1272-1287 Ç atau 
sekitar tahun 1350-1365 M 
Prasasti Bendosari/Manah i Manuk memberikan 
informasi mengenai adanya sengketa yang ada di desa 
Manah i Manuk. Sebelum sengketa diajukan pada 
pengadilan, maka orang-orang yang bersengketa seperti 
Aki Santana Mapañji Sarana dan kawan-kawannya yaitu Ki 
Karnna Mapañji Manakara, Ajaran Reka, Ki Siran, dan Ki 
Jumput tentunya berunding atau bermusyawarah terlebih 
dahulu. Mereka bermusyawarah tentang hal-hal yang 
mereka tuntut kepada samasanak dari Sima Tiga dengan 
ketuanya Apañji Anawung Harsa. Aki Santana Mapanji 
Sarana dan kawan-kawannya menggugat samasanak dari 
Sima Tiga karena mereka merasa memiliki tanah di Manah 
i Manuk dan tempat lain seluas 67 lirih sejak tahun 919 Ç 
atau 997 M (Nastiti 1985:565). Selain itu, mereka juga 
menyatakan bahwa tidak ada sawah-sawah milik 
samasanak Sima Tiga yang terletak melewati batas desa 
Pakandanan. 
Musyawarah pada naskah kesastraan: Pararaton dan 
Nagarakertagama 
Musyawarah pada Pararaton 
Pararaton adalah naskah kesastraan berbentuk 
prosa yang ditulis pada abad ke-16. Naskah ini 
menceritakan peristiwa sejarah yang terjadi pada masa
Kerajaan Singhasari dan Majapahit (Hardjowardojo 
1965:5). Musyawarah yang diceritakan dalam naskah ini 
terkait dengan keinginan Raden Wijaya sebagai turunan 
laki laki paling akhir dari keluarga Rajasa dari Kerajaan 
Singhasari atau menantu Raja Kertanegara yang datang ke 
kediaman Adipati Wiraraja di Sungeneb. Sungeneb ini 
disamakan dengan Sumenep saat ini yang ada di Madura. 
Raden Wijaya dan Adipati Wiraraja pada waktu itu 
membahas strategi untuk membalas dendam terhadap Raja 
Jayakatwang. Jayakatwang adalah raja Kadiri yang telah 
mengalahkan ayah mertua Dyah Wijaya (Yamin 1962:222). 
 
Musyawarah pada Nagarakertagama 
Naskah kesastraan lain yang menginformasikan 
adanya musyawarah adalah Nagarakertagama yang 
dikarang oleh Prapanca. Nama sebenarnya dari naskah ini 
adalah Deçawarnana yang artinya uraian mengenai desa￾desa (Atmodjo 1979:5). Nama ini diberikan karena naskah 
tersebut banyak menceritakan perjalanan Hayam Wuruk 
dari desa ke desa ketika melakukan kunjungan ke 
pertapaan maupun candi-candi tempat persemayaman 
leluhur raja. Deçawarnana yang ditulis pada 1287 Ç atau 
1365 M ini menceritakan kehidupan sehari hari atau 
kejadian di sekeliling penulis naskah tersebut (Robson 
1995:8). Berbagai aspek kehidupan dari masa Majapahit 
diceritakan dalam naskah yang digubah dalam bentuk karya 
sastra, termasuk ketika menceritakan secara detail 
pelaksanaan musyawarah di kerajaan tersebut. Oleh karena 
itu, maka naskah kesastraan dari masa Majapahit ini 
dianggap sebagai sastra sejarah dan dapat dijadikan sebagai
sumber sejarah Kerajaan Majapahit yang penting (Sutjipto 
1977:120). 
Pelaksanaan musyawarah pada Nagarakertagama 
terdapat pada pupuh LXXI:2. Pupuh tersebut menceritakan 
bahwa raja bermusyawarah dengan kerabatnya untuk 
mencari pengganti patih atau perdana menteri Majapahit 
yang bernama Gajah Mada yang meninggal pada tahun 1286 
Ç. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan tidak 
akan mengganti posisi Patih Gajah Mada, sebab tidak ada 
seorang calonpun yang layak menggantikan kedudukan 
patih tersebut. Keputusan lain yang diambil adalah memilih 
enam orang menteri yang dianggap dapat menjalankan 
tugas-tugas kerajaan. 
Musyawarah tidak hanya dilaksanakan oleh raja 
beserta kerabatnya saja, namun juga dilakukan oleh para 
bawahan raja. Nagarakertagama pupuh VIII:3 menyatakan 
bahwa para bawahan raja yang bermusyawarah adalah 
para pendeta Siwa dan Buddha. Mereka bermusyawarah 
untuk membahas upacara gerhana bulan pada bulan 
Phalguna di sebelah timur Balai Wanguntur (Robson 1995: 
29). 
Pelaksanaan musyawarah tidak hanya terungkap 
dari keberadaan prasasti dan naskah kesastraan sejarah 
saja, namun juga dari cerita mitos sebagaimana terdapat 
pada relief Amertamathana sebagaimana terdapat pada 
miniatur candi di Ampel. 
Musyawarah pada Relief Amertamathana 
Relief Amertamathana yang dipahatkan pada bagian bawah miniatur Candi di Ampel, Gading5
 erat 
kaitannya dengan cerita tentang musyawarah yang 
dilakukan oleh para dewa. Amertamathana merupakan 
cerita Hindu tentang pencarian air kehidupan yang disebut 
dengan amerta. Air kehidupan tersebut apabila diminum 
oleh seseorang, maka ia dapat terhindar dari tua dan 
kematian (Soekmono 1985:43). 
Kitab Amertamathana menceritakan, pada zaman 
dahulu ketika dunia belum dihuni oleh manusia, hanya 
dihuni oleh para dewa dan daitya6
 (Soekmono 1985:43). 
Para dewa yang mewakili kebaikan berjumlah hanya 
sedikit dan mereka ini diceritakan tinggal di atas atau di 
kahyangan. Sebaliknya, para raksasa yang mewakili 
kejahatan jumlahnya sangat banyak dan mereka tinggal di 
dunia bawah. Dewa dan daitya tidak bisa hidup bersama 
secara damai. Mereka selalu bertengkar sehingga Dewa 
Brahma khawatir apabila dunia dikuasai oleh kejahatan 
maka dunia akan hancur. Untuk mengatasi hal tersebut, 
para dewa berunding di puncak Gunung Meru dan 
memutuskan melakukan pengadukan samudra supaya 
keluar amerta dari pusatnya sehingga para dewa akan 
terhindar dari kematian (Soekmono 1985:43). 
Aspek kesejarahan dari kejadian yang diuraikan di 
atas sulit untuk dicari, apakah dewa-dewa itu benar-benar 
ada atau benar-benar bermusyawarah. Fakta atau tidaknya 
cerita mitos tersebut tidak perlu diperdebatkan, sebabapabila itu merupakan kejadian fiktif, maka cerita itu 
diciptakan berdasarkan pola-pola pikiran dan perasaan 
yang hidup pada masyarakat yang ditulis oleh penulis 
naskah kesastraan (Sutjipto 1977:121). Dengan demikian, 
maka hal terpenting yang perlu dipahami dari cerita itu 
adalah bahwa raja yang diidentikkan dengan dewa juga 
bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang 
dihadapi pada waktu itu. 
Musyawarah pada masyarakat Majapahit: dari kaum 
elite kerajaan hingga masyarakat pedesaan 
Musyawarah dalam Bahasa Jawa Kuno disebut 
dengan istilah pulung tandas, pulung rahi dan höm
(Zoetmulder 2006:349). Musyawarah didefinisikan sebagai 
bentuk pembahasan bersama dengan maksud untuk 
mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama; 
perundingan; perembukan 
(https://kbbi.web.id/musyawarah diakses 27 Desember 
2019). Musyawarah dilaksanakan untuk memperoleh hasil 
keputusan yang disepakati bersama karena menyangkut 
kepentingan bersama (Savitri 1993:4). Musyawarah 
dilakukan agar keputusan yang diambil dapat diterima oleh 
semua pihak atau ada kompromi dalam pelaksanaannya 
(Budiardjo 1982:55). 
Hal yang menarik dari adanya musyawarah adalah 
adanya kerja sama dari orang-orang yang melakukan 
perundingan. Logsdon (1978:95) menyatakan bahwa 
pelaksanaan musyawarah menunjukkan adanya semangat 
kerja sama. Pelaksanaan musyawarah pada Kerajaan 
Majapahit ini menunjukkan bahwa kerjasama yang menjadi
salah satu ciri khas bangsa Indonesia ini telah ada sejak 
masa lampau. 
Berdasarkan data prasasti dan naskah kesastraan 
upaya untuk menyelesaikan masalah secara bersama 
berupa musyawarah pada masa Majapahit tidak hanya 
dilakukan di tingkat pusat pemerintahan oleh para kerabat 
raja saja, namun juga para tokoh agama, maupun 
masyarakat di pedesaan. 
Musyawarah pada kaum elite kerajaan di pusat 
pemerintahan 
Pelaksanaan musyawarah pada kalangan elite
kerajaan yang terdiri dari raja beserta kerabatnya telah 
dimulai pada saat pembentukan Kerajaan Majapahit. 
Berdasarkan prasasti Kudadu dan naskah Pararaton 
diketahui bahwa Raden Wijaya, menantu Raja Kertanagara 
dari Singhasari yang dikalahkan oleh Jayakatong atau 
Jayakatwang dari Daha, bermusyawarah dengan Arya 
Wiraraja, mantan pegawai Raja Kertanagara yang dijadikan 
bupati di Sungeneb yang terletak di Madura Timur 
(Hardjowardojo 1965:36). Mereka bermusyawarah untuk 
menghasilkan strategi yang tepat agar Raden Wijaya dapat 
naik tahta dan mendirikan kerajaan di Desa Tarik7
. Strategi 
tersebut berhasil diterapkan dengan baik oleh Raden 
Wijaya, sebab terbukti dapat memberikan kemenangan 
bagi Raden Wijaya hingga berhasil mendirikan kerajaan 
baru yang diberi nama Majapahit.
Selanjutnya, pada saat Kerajaan Majapahit telah 
berdiri, musyawarah tampaknya menjadi cara yang sering 
digunakan oleh masyarakat Majapahit untuk 
menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Sebagai contoh, 
pada kalangan elite kerajaan, musyawarah dilakukan oleh 
para kerabat raja yang tergabung dalam sebuah dewan yang 
disebut dengan Bhatara Sapta Prabhu. Keberadaan dewan 
ini diketahui dari Prasasti Singosari 1273 Çaka dan naskah 
kesastraan Nagarakertagama. Dewan yang bertugas 
menjadi penasihat dan pemberi pertimbangan kepada raja 
pada masa Majapahit ini mulai dikenal pada masa 
pemerintahan Tribhuwanottunggadewi (Savitri 1993:39). 
Pada musyawarah yang dilaksanakan para kerabat 
raja yang tergabung dalam Bhatara Sapta Prabhu ini, raja 
bertindak sebagai ketua atau pemimpin musyawarah. 
Sebagai contoh, Tribhuwanottunggadewi adalah raja 
Majapahit ke-3 setelah Jayanagara dan ibu dari Hayam 
Wuruk yang bertindak sebagai ketua Bhatara Sapta Prabhu. 
Hal itu disebutkan dalam prasasti Singosari (1273 Çaka atau 
1351 M). Prasasti tersebut menyebutkan bahwa 
Tribuwanottunggadewi yang menjadi raja pada waktu itu, 
juga bertindak sebagai ketua Bhatara Sapta Prabhu (Savitri 
1993:39). Pada masa berikutnya, ketika Hayam Wuruk 
menjadi raja, ketua Bhatara Sapta Prabhu berpindah tangan 
kepada Hayam Wuruk. Kedudukan raja sebagai ketua 
Bhatara Sapta Prabhu itu kemungkinan besar terkait 
dengan kedudukan raja sebagai penguasa tertinggi kerajaan 
dan konsep dewaraja yang dianut oleh Kerajaan Majapahit. 
 Terkait dengan jumlah anggota Bhatara Sapta 
Prabhu, jumlahnya bertambah pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk. Prasasti Prapancasarapura 
memberikan keterangan, pada mulanya ketika 
Tribhuwanottunggadewi menjadi raja, ada lima orang yang 
tergabung dalam Bhatara Sapta Prabhu; mereka itu adalah 
Raja Tribhuwanottunggadewi, suami raja yaitu Çrî 
Bhathara Kertawarddhana, dua orang saudara raja yang 
bernama Dyah Wiyat Rajadewi, dan Çrî Bhatara 
Wijayarajasa serta putra mahkota yang bernama Hayam 
Wuruk. 
Ketika Hayam Wuruk menjadi raja, jumlah para 
kerabat yang bermusyawarah pada waktu itu bertambah 
menjadi sembilan orang dan hal tersebut dapat diketahui 
dari Naskah Nagarakertagama pupuh LXXI:2 (Robson 
1995:77). Pupuh tersebut menjelaskan bahwa mereka itu 
adalah Raja Hayam Wuruk, Putri dari Pajang, Lasem, Daha, 
dan Jiwana dan suami-suami mereka yaitu Pangeran dari 
Paguhan, Matahun, Wengker, dan Singasari (Pigeaud 
1963:214). Bertambahnya jumlah anggota Bhatara Sapta 
Prabhu merupakan bukti semakin luasnya wilayah 
kekuasaan Majapahit dengan semakin banyaknya anggota 
keluarga yang menjadi penguasa di beberapa daerah di 
wilayah Majapahit. 
Hal yang dibahas atau dibicarakan pada 
musyawarah yang dilakukan oleh Bhatara Sapta Prabhu 
terkait dengan upaya mempertahankan kelangsungan 
pemerintahan kerajaan Majapahit. Hal ini dapat diketahui 
dari Nagarakertagama pupuh LXXI:2. Pupuh tersebut juga 
menjelaskan lebih lanjut bahwa musyawarah yang 
dilakukan tersebut untuk menentukan siapa yang akan 
menggantikan Patih Gajah Mada yang meninggal pada tahun 1364 M. Hal tersebut penting dibahas secara 
bersama, karena kepergian Patih Gajah Mada untuk 
selamanya itu sangat mempengaruhi kehidupan politik di 
Majapahit. Patih Gajah Mada adalah tokoh besar yang 
berkat kemampuannya Majapahit berhasil menjadi 
kerajaan yang besar dan kuat (Savitri 1993:38). 
Pelaksanaan musyawarah pada waktu itu tidak 
selalu berjalan lancar. Pupuh LXXI:2 menyatakan bahwa 
para kerabat raja berdebat lama untuk menghasilkan 
keputusan yang disetujui semua pihak. Namun, keputusan 
yang diharapkan oleh semua pihak tetap tidak dapat 
memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan 
karena adanya perbedaan pendapat diantara para kerabat 
raja yang bermusyawarah (Robson 1995:77). Perbedaan 
pendapat biasa terjadi pada sebuah musyawarah, oleh 
karena itu perlu adanya kesepakatan dari semua pihak yang 
bermusyawarah atau kompromi. 
Dalam sebuah musyawarah, aspek kompromi 
merupakan hal penting sebelum keputusan diambil. Hal itu 
sesuai dengan pendapat Logsdon (1978:95) yang 
menyatakan bahwa ada proses kompromi dalam 
bermusyawarah. Hal tersebut dapat terjadi karena ada 
kepentingan umum yang diperhatikan pada saat 
bermusyawarah (Logsdon 1978:95). Hal ini juga terjadi 
pada musyawarah yang dilakukan oleh raja Majapahit 
beserta para kerabatnya. Pada saat terjadi kemacetan pada 
pelaksanaan musyawarah, maka diperlukan adanya 
kompromi diantara peserta musyawarah. Akhirnya, dengan 
adanya kompromi itu maka dicapailah keputusan untuk 
tidak menetapkan pengganti Patih Gajah Mada. Mereka berpendapat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat 
menggantikan kedudukan Patih Gajah Mada (Robson 
1995:77). 
Ketika keputusan untuk tidak mengganti posisi 
Patih Gajah Mada ditetapkan, pimpinan musyawarah 
bertanggung jawab atas hasil musyawarah. Demikian pula 
yang terjadi pada Hayam Wuruk. Sebagai seorang raja dan 
pemimpin musyawarah, Hayam Wuruk menunjukkan rasa 
tanggung jawabnya terhadap keputusan yang telah diambil 
secara bersama itu. Hal tersebut ditegaskan pada Naskah 
Nagarakertagama pupuh LXXI:3 yang menyatakan bahwa 
raja bertanggung jawab apabila ada pihak pihak tertentu 
yang merasa keberatan atas hasil yang telah diputuskan 
secara bersama (Robson 1995:77). 
Musyawarah yang dilakukan oleh Bhatara Sapta 
Prabhu tersebut tidak hanya menyangkut pemilihan 
pengganti Patih Gajah Mada, namun juga lainnya. 
Nagarakertagama pupuh LXXII menyatakan bahwa pada 
waktu itu Bhatara Sapta Prabhu juga mengangkat Pu Tandi 
sebagai wrddamantri8
 Pu Nala sebagai tumenggung 
mancanegara dan Patih Dami sebagai yuwamantri9
 
(Robson 1995:77). 
Prosedur pelaksanaan musyawarah yang dilakukan oleh raja pada masa Majapahit dapat diketahui secara lebih 
jelas pada Kakawin Ramayana XIII: 20-9710. Dalam kakawin 
tersebut diceritakan tentang musyawarah yang dilakukan 
oleh Rawana. Mula-mula Rawana diceritakan 
mengumpulkan para patihnya untuk dimintai pendapatnya 
tentang cara melawan Rama. Rawana yang memimpin 
pertemuan tersebut juga menyampaikan beberapa 
tindakan Rama yang merugikan Rawana diantaranya 
membunuh perwira dan prajurit raksasa Kerajaan Lengka, 
membunuh Bali sahabat Rawana, dan membunuh anak 
kesayangan Rawana yang bernama Sang Aksa. Setelah 
Rawana mengemukakan masalahnya, para patih kemudian 
mengajukan pendapatnya masing-masing (Savitri 
1993:71). 
Musyawarah pada masa Majapahit tidak hanya 
dilakukan oleh kaum elite kerajaan saja, namun juga 
dilakukan oleh tokoh agama. Di bawah ini adalah 
pelaksanaan musyawarah yang dilakukan oleh para tokoh 
agama. 
Musyawarah yang dilakukan oleh tokoh agama 
Informasi mengenai musyawarah yang dilakukan 
oleh tokoh agama atau pendeta Siwa maupun Buddha 
diketahui dari naskah kesastraan Nagarakertagama. 
Naskah Nagarakertagama tersebut menceritakan bahwa 
musyawarah dilakukan oleh para pendeta tersebut di 
bangsal depan keraton (Robson 1995:29). Pada masa 
Hayam Wuruk, para pendeta Siwa dan Buddha 
bermusyawarah untuk membahas penyelenggaraan 
upacara gerhana bulan pada bulan Phalguna. Hal itu disebut 
dalam Nagarakertagama VIII:3 yang menyatakan: 
“…nggwan para sewa bodda mawiwada mucap aji 
sahopakara wki sok, prayascita ri kalaning grahana 
Phalguna makaphala haywaning sabhuwana…”
Upacara gerhana tersebut merupakan hal penting 
bagi kerajaan Majapahit dan hal itu ditunjukkan dengan 
besarnya perhatian Hayam Wuruk sebagai raja pada waktu 
itu. Kebesaran dan kemeriahan upacara tersebut sebagai 
upacara kerajaan perlu diselenggarakan sebagai salah satu 
bukti besarnya kekuasaan raja (Moedjanto 1990:104). 
Selain itu, upacara itu juga penting dilakukan untuk 
mencapai keselamatan seluruh dunia. Oleh karena itulah 
maka Hayam Wuruk memberikan kepercayaan kepada para 
pendeta Siwa dan Buddha, sebab mereka dianggap lebih 
memahami pelaksanaan ritual tersebut. Para pendeta Siwa 
dan Buddha melaksanakan perintah raja tersebut dengan 
baik dan hal itu dibuktikan dengan melaksanakan 
musyawarah untuk membahas segala hal terkait dengan 
pelaksanaan upacara tersebut (Savitri 1993:40). 
Musyawarah pada waktu itu dilaksanakan di wanguntur, 
halaman utama keraton, sebuah bangunan luas yang 
terletak di bagian depan keraton. Stutterheim dalam 
Pigeaud (1963:13) menyatakan bahwa wanguntur
sebagaimana halnya keraton-keraton Jawa lainnya 
dilengkapi dengan sitihinggil. Musyawarah yang dikenal dan dilaksanakan di 
Majapahit tidak hanya dikenal pada kalangan elite kerajaan 
dan para tokoh agama. Masyarakat pedesaan juga 
melaksanakan musyawarah diantara mereka. Berikut ini 
disampaikan beberapa hal terkait dengan pelaksanaan 
musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat di 
pedesaan. 
Musyawarah pada masyarakat desa 
Data prasasti secara implisit menunjukkan bahwa 
ada proses musyawarah pada masyarakat pedesaan. 
Indikasi adanya musyawarah pada masyarakat pedesaan di 
Majapahit terdapat pada prasasti Himad dan 
Bendosari/Manah I Manuk. 
Berdasarkan informasi pada prasasti Himad 
diketahui bahwa para rãma Walandit bermusyawarah 
terlebih dahulu sebelum mengajukan tuntutan kepada 
masyarakat desa Himad. Mereka bermusyawarah tentang 
hal-hal apa saja terkait dengan tuntutan yang akan diajukan 
kepada pihak lawan, para dapur Himad, terkait dengan 
status sīma atau swatantra desa mereka. 
Status sīma berupa anugerah istimewa dari raja 
membawa perubahan bagi masyarakat desa. Perubahan itu 
berupa kebebasan dalam hal pembayaran pajak atau 
pengurangan pajak (Suhadi 1993:3). Status istimewa 
tersebut tentu saja menggembirakan masyarakat desa, oleh 
karena itu mereka merasa perlu memperjuangkan status itu 
secara bersama (Suhadi 1993:3). 
Para dapur Himad tersebut kemudian melakukan 
musyawarah sebelum memberikan keterangan terkait dengan keberadaan Sang Hyang Dharmma Kabuyutan yang 
dipermasalahkan para rãma Walandit. Mereka 
menyatakan bahwa kundi thãni11 yang ditempatkan di 
Walandit berasal dari Himad. Para dapur Himad juga 
menyatakan bahwa bahkan merekalah yang memberi tahu 
para rãma Walandit tentang kerusakan yang ada pada Sang 
Hyang Dharmma Kabuyutan. 
Keputusan terhadap masalah yang menjadi 
sengketa masyarakat dua desa itu kemudian dikeluarkan 
oleh para pejabat kehakiman kerajaan seperti samget i 
jamba, samget i pamwatan, pu andawan, rakryan apatih 
mpu mada, dan sang aryya rajadhikara. Para pejabat 
kehakiman itu menetapkan keputusan setelah 
mendengarkan keterangan para saksi, mempelajari kasus￾kasus yang pernah terjadi sebelumnya serta kitab-kita 
hukum, berpegang teguh pada kita Kutaramanawadi, serta 
mengikuti kebiasaan sang pendeta dalam memutuskan 
suatu perkara (Nastiti 1985:564). Mereka memutuskan 
bahwa bukti-bukti yang dikemukakan oleh para rãma
Walandit dianggap lebih kuat sehingga akhirnya mereka 
memenangkan sengketa ini. Adapun pejabat kehakiman 
kerajaan yang mengesahkan keputusan tersebut adalah 
sang wangsadhipati pamget tiruan. Berdasarkan 
keterangan yang ada pada prasasti tersebut, maka prasasti 
Himad ini dapat pula dikatakan sebagai prasasti peradilan 
dari masa Majapahit. 
Contoh musyawarah lainnya yang melibatkanmasyarakat desa dapat dijumpai pada prasasti 
Bendosari/Manah i Manuk. Samasanak Sima Tiga yang 
digugat, sebagaimana diceritakan pada prasasti 
Bendosari/Manah i Manuk, tentu juga bermusyawarah 
terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Aki Santana 
Mapañji Sarana dan kawan kawannya karena hal yang 
digugat itu menyangkut kepentingan bersama. Para 
samasanak Sima Tiga ini bermusyawarah untuk 
mengajukan pembelaan dengan menyatakan bahwa tanah 
seluas 67 lirih itu dahulu digadaikan kepada canggahnya 
seharga satu setengah taker12 perak. 
Persengketaan itu akhirnya diselesaikan oleh 
pejabat kehakiman kerajaan yang tergabung dalam 
kelompok pejabat rakryan ring pakirakiran. Mereka 
menetapkan keputusan terhadap sengketa tersebut 
berdasarkan kitab-kitab hukum, pendapat umum, serta 
kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan 
pertimbangan tersebut, Aki Santana Mapanji Sarana 
dimenangkan dan mereka mendapat surat jayasong untuk 
melindungi hak mereka (Nastiti 1985:565). 
Musyawarah yang diselenggarakan oleh penduduk 
desa untuk menuntut hak mereka itu menunjukkan bahwa 
mekanisme jalannya pemerintahan masa Majapahit itu 
tidak hanya dari atas ke bawah saja, namun juga dari bawah 
ke atas (Savitri 1993:69). Mereka bermusyawarah diantara 
mereka terlebih dahulu sebelum mengajukan permohonan 
kepada pihak kerajaan. Apabila masalah yang dihadapi tidak juga dapat diselesaikan di tingkat desa, maka diajukan 
kepada tingkat pusat kerajaan. Pada tingkat yang lebih 
tinggi ini, masalah diselesaikan oleh raja beserta pejabat 
yang dianggap kompeten dalam bidangnya, misalnya 
pejabat kehakiman, atau raja beserta para kerabatnya yang 
tergabung pada dewan pertimbangan kerajaan yang 
disebut dengan Bhatara Sapta Prabhu. 
Berdasarkan interpretasi terhadap data prasasti 
maupun naskah kesastraan, terbukti bahwa pada masa 
Majapahit abad ke 13 hingga 14 M telah dikenal cara 
penyelesaian masalah dengan cara musyawarah. 
Musyawarah ini dilakukan dari kaum elite yang terdiri dari 
para kerabat raja, tokoh agama, serta penduduk desa. 
Musyawarah dilakukan untuk menyelesaikan masalah 
secara bersama dan kompromi. 
Musyawarah pada masa Majapahit: bukti adanya 
kepemimpinan demokratis pada sebuah kerajaan 
Dalam sebuah pemerintahan, ada tiga jenis 
kepemimpinan yang dikemukakan oleh Hargie, Saunders, 
dan Dickson (1994:309). Ketiga jenis pemimpin itu adalah 
otokratis, demokratis dan laissez faire. Diantara tiga jenis 
itu, dua jenis kepemimpinan yaitu otokratis dan demokratis 
yang dibahas dalam tulisan ini, karena jenis kepemimpinan 
tersebut yang sangat terkait dengan topik bahasan tulisan 
ini. Pada kepemimpinan otokratis atau kerajaan, 
pemimpinnya cenderung untuk memimpin secara otoriter. 
Hal ini dapat terjadi karena pemimpin tersebut memiliki 
wewenang dan kekuasaan yang terkonsentrasi dalam 
dirinya yang sangat besar. Masyarakat pada pemerintahan dengan jenis pemimpin otoriter cenderung bersifat 
pesimistis dan negatif karena pemimpinnya tidak 
mendukung masyarakat untuk berinisiatif dan maju. Para 
pemimpin jenis ini juga tidak mendukung komunikasi yang 
aktif diantara para anggotanya (Northouse 2021). Hal ini 
berbeda dengan yang terjadi pada pemimpin yang 
demokratis. Para pemimpin demokratis mendukung 
anggotanya untuk berinteraksi. Pemimpin yang demokratis 
memberikan efek positif pada masyarakat. Mereka memiliki 
inisiatif dan tanggung jawab atas kemajuan mereka (Hargie, 
Saunders, dan Dickson 1994:309). 
Pemimpin pada Kerajaan Majapahit adalah seorang 
raja yang tidak bertindak secara otoriter walaupun 
memiliki status sosial tertinggi di wilayah kekuasaannya 
(Savitri 2015:23). Status dan kekuasaan yang tinggi itu 
diperoleh karena raja dikultuskan sebagai dewa dengan 
cara menganggapnya sebagai titisan dewa atau bahkan 
dewa itu sendiri (von Heine-Geldern 1942:22; Kartodirdjo 
1969:18; Savitri 1993:3). Hal ini diperkuat dengan 
pernyataan pada Manawa Dharmmaçastra VII:13 dan 
Manawa Dharmaçastra VII:6 sebagai kitab undang-undang 
Majapahit terkait dengan perilaku raja. Undang-undang 
tersebut menyatakan bahwa raja berhak mengeluarkan 
undang-undang, menghukum orang yang melanggar 
undang-undang, dan berhak menghukum orang yang 
menentangnya. 
Kekuasaan raja yang sedemikian tinggi itu ternyata 
tidak menjadikan raja bertindak tak terbatas. Manawa 
Dharmmaçastra sebagai undang-undang Kerajaan 
Majapahit tidak hanya mencantumkan hak-hak seorang raja saja, namun juga kewajiban yang harus dilakukan oleh 
seorang raja. Kewajiban itu dituntut untuk dilakukan oleh 
seorang raja untuk mengimbangi dan membatasi 
kekuasaan raja yang begitu tinggi itu. Hal itu terbukti dari 
Manawa Dharmmacastra VII:140 yang menyatakan bahwa 
dalam menjalankan pemerintahan, seorang raja dituntut 
untuk mempertimbangkan setiap persoalan yang dihadapi 
dan hendaknya bertindak tegas dan bijaksana, karena raja 
yang bersikap demikian itu sangat disegani oleh semua 
orang. Pelaksanaan musyawarah pada Kerajaan Majapahit 
juga menjadi bukti bahwa raja Majapahit tidak 
menggunakan haknya tanpa batas. Raja Majapahit juga 
bertindak bijaksana dan demokratis karena bersedia 
mendengarkan orang lain sebelum menetapkan suatu 
keputusan. 
Sikap demokratis raja berimbas pada kebijakannya 
pada seluruh wilayah kerajaan, dari tingkat pusat hingga 
desa. Hal itu memberikan dampak positif pada rakyatnya. 
Rakyat bebas untuk menyatakan pendapatnya dalam 
sebuah musyawarah. Inisiatif masyarakat pedesaan untuk 
bermusyawarah ini sekaligus merupakan bukti bahwa 
masyarakat tidak bertindak secara pasif. Mereka aktif 
berkomunikasi dan berpendapat secara interaktif dalam 
sebuah musyawarah dengan pihak lain untuk kemajuan 
mereka. 
 
Musyawarah yang dilakukan oleh masyarakat 
Majapahit dari tingkat pusat hingga pedesaan menunjukkan 
bahwa Kerajaan Majapahit tidak dipimpin oleh raja yang otoriter, namun dipimpin oleh raja yang demokratis. Kitab 
Manawa Dharmmaçastra sebagai undang-undang pada 
Kerajaan Majapahit tampaknya efektif untuk membatasi 
kekuasaan raja yang tak terbatas sebagaimana terdapat 
pada konsep dewaraja yang menganggap rajansebagai 
titisan dewa. 
Pelaksanaan musyawarah pada segala lapisan 
masyarakat itu membuktikan bahwa musyawarah telah 
dilaksanakan secara aktif pada waktu itu. Hal ini sekaligus 
menegaskan sikap demokratis raja yang tidak mengekang 
rakyatnya untuk berpendapat. Kebebasan yang diberikan 
raja kepada para kerabat, bawahan, dan masyarakat di 
pedesaan untuk bermusyawarah itu menunjukkan bahwa 
raja memberikan semangat kepada rakyatnya untuk 
berkomunikasi secara aktif dan berinteraksi secara bebas 
dengan pihak lain. Hal inilah yang semakin menegaskan 
adanya pemerintahan demokratis dan tidak otoriter pada 
Kerajaan Majapahit.


Trowulan, sebuah kawasan yang secara geografis 
terletak di Jawa bagian timur, diyakini oleh banyak 
sejarawan, arkeolog, dan para sarjana pernah menjadi kota 
Raja Kerajaan Majapahit. Ketika Majapahit mencapai masa 
keemasannya, kota raja ini menjadi sebuah kota yang kaya 
dan makmur. Banyak pendatang dari luar daerah datang ke 
sini khususnya untuk urusan perdagangan dan diplomatik. 
Para pendatang tersebut misalnya dari daerah lain di Jawa, 
beberapa pulau di nusantara seperti Bali, Dompo, 
Suwarnadwipa, dan juga orang–orang dari daerah yang 
lebih jauh lainnya seperti Campa, Siam, Khmer, Birma dan 
tentu saja Cina. Kondisi ini direkam oleh Prapanca dengan 
baik dalam karyanya Desawarnnana atau yang lebih banyak 
dikenal dengan Nagarakretagama13
Keruntuhan Kerajaan Majapahit pada awal abad 
XVI, tidak serta merta menghilangkan memori kolektif 
masyarakat pulau Jawa dan sekitarnya atas kejayaan yang 
pernah dicapai beberapa abad sebelumnya tersebut. Hal ini 
dapat dilihat dari berbagai karya sastra yang diproduksi 
sejak abad XVII. Seperti dalam kitab Pararaton misalnya yang menjelaskan tentang para penguasa kerajaan tersebut 
berikut para leluhurnya. Selain itu, dijelaskan pula berbagai 
peristiwa yang terjadi sejak masa leluhur wangsa Rajasa 
yang memerintah kerajaan Majapahit hingga keruntuhan 
kerajaan tersebut. Naskah Pararaton yang tertua berasal 
dari tahun 1613 Masehi atau sekitar 100 tahun pasca 
keruntuhan Majapahit. 
 Selain Pararaton, berbagai karya sastra lainnya 
tentang kejayaan Majapahit terus diproduksi dan 
direproduksi khususnya dari kalangan istana baik di Jawa 
maupun Bali. Kondisi tersebut terjadi karena para penguasa 
mendapatkan manfaat baik dari ikatan darah dengan 
Majapahit maupun penguasaan atas berbagai peninggalan 
Majapahit. Memori masyarakat bumiputera tentang adanya 
suatu kerajaan besar di masa lalu, rupanya menarik minat 
dan perhatian bangsa Eropa untuk mengambil manfaat 
seperti halnya kalangan bangsawan dan penguasa Jawa. 
Meskipun demikian, pemanfaatan Majapahit dan 
peninggalannya oleh bangsa Eropa tetap memiliki 
perbedaan mendasar. 
Pada masa setelah Inggris angkat kaki, Majapahit 
dan warisannya kembali ke dalam kekuasaan Belanda. Pada 
masa inilah kemudian dikembangkan penelitian yang lebih 
memadai terkait bekas Kotaraja Majapahit di Trowulan, 
Jawa Timur. Tulisan ini akan mengeksplorasi beberapa 
sumber-sumber terkait khususnya bagaimana para 
penguasa kolonial baik Inggris maupun Belanda 
memandang dan memanfaatkan Majapahit beserta 
peninggalannya dimulai sejak masa Raffles berkuasa hingga 
awal abad keduapuluh. Beberapa temuan baru dari sumber-sumber ini antara lain peran dari Bupati Mojokerto R.T 
Kromo Adinegoro dalam pelestarian warisan Majapahit di 
wilayahnya yang kerap tertutupi oleh kontribusi besar 
pendahulunya. Selain itu, interpretasi arca terakota yang 
sering diidentifikasi sebagai Gajah Mada juga telah populer 
di masa tersebut, jauh sebelum Muhammad Yamin 
mengklaimnya.
Majapahit dalam Kekuasaan Inggris 
Meskipun telah ditinggalkan sejak keruntuhannya, 
kota Majapahit di Trowulan masih memiliki magnet bagi

Related Posts:

  • raja majapahit 1 pelaut-pelaut Nusantara telah menguasai perairan dan tampil sebagai penjelajah samudera sejak 1.500 ta… Read More