rpecahan politik pada masa Muluk al-
Thawa’if menjadi penyebab mundurnya pemerintahan
Islam Spanyol, walaupun tidak menjadi penyebab
mundurnya peradaban Islam Spanyol. Masa itu, setiap
daulah (raja) di beberapa daerah seperti di Malaga,
Toledo, Seville, Granada, dan lain-lannya berusaha
menyaingi Cordova (ibu kota Negara Islam). Padahal
sebelumnya, Cordova yaitu satu-satunya pusat
pemerintahan dan pusat ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam di Spanyol.
Hal ini memberikan dampak terhadap
keberadaan Islam di Spanyol, baik yang positif (baik)
maupun yang negatif (buruk). Dampak positifnya
yaitu memberi peluang terbukannya pusat-pusat
peradaban baru, di antaranya, justru ada yang lebih
maju dari peradaban Islam Cordova.220 namun dampak
negatifnya, sebab konflik antara sesama pemerintahan
Islam memicu kemunduran pemerintahan
Islam di Spanyol.
2. Konflik dengan Kristen.
Sangat disayangkan para penguasa dan
penakluk muslim ke Spanyol dahulu, tidak melakukan
islamisasi secara sempurna. Penguasa Islam Spanyol
membiarkan Kristen taklukannya mempertahankan
hukum dan adat istiadat mereka, asalkan tidak ada
perlawanan bersenjata. Padahal kehadiran Islam di
Spanyol memperkuat rasa kebangsaan orang-orang
Kristen Spanyol.
Akibatnya, kehidupan Negara Islam di Spanyol
tidak pernah berhenti dari pertentangan dan
perlawanan antara Islam dengan Kristen. Pada saat
umat Islam kuat dan memperoleh kemajuan, umat
Kristen diam dan ikut menikmati hasilnya, namun pada
saat umat Kristen memperoleh kemajuan pesat sejak
abad ke-11 M, sementara umat Islam mengalami
kemunduran, umat Islam diperangi, dihancurkan dan
diusir secara kejam dari Spanyol.
3. Kesulitan ekonomi
Dimana-mana Negara, termasuk Negara
Spanyol, bila mengalami kesulitan ekonomi dapat
memicu suatu kehancuran. Itulah yang dialami
pemerintahan Islam di Spanyol, pada masa
kemundurannya, dipicu sibuk dengan konflik
berkepanjangan antara sesama umat Islam dan antara
umat Islam dengan umat Kristen, memicu
mereka lalai membina perekonomian, akhirnya timbul
kesulitan ekonomi yang sangat memberatkan, hal itu
turut mempengaruhi kondisi politik dan militer.
Kekacauan politik itu dimanfaatkan orang Kristen
untuk memerangi umat Islam dan dengan mudah
dapat mereka kalahkan.
4. Letak geografis yang terpencil
Letak geografis Spanyol bagi dunia Islam
lainnya terpencil, sebab dia berada di belahan Eropa,
sementara Islam lainnya ada di belahan Asia dan
Afrika. Sehingga dia hanya berjuang sendirian, saat
mendapat serangan musuh dari utara Spanyol,
kalaupun ada bantuan hanya dapat dari Afrika Utara.
Maka di saat umat Islam Spanyol diganggu atau
diperangi oleh umat Kristen, maka negara Islam
lainnya tidak dapat memberikan bantuan mereka.
10. Pengaruh Peradaban Islam Spanyol bagi Kebangkitan
Eropa
Kemajuan Eropa saat ini tidak dapat dimungkiri
banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan
Islam yang berkembang di periode klasik, termasuk yang di
Baghdad dan terutama yang di Spanyol. Banyak saluran
peradaban Islam mempengaruhi kebangkitan Eropa, yang
terpenting di antaranya yaitu Spanyol Islam kemudian
Perang Salib.
Spanyol Islam merupakan tempat yang paling utama
bagi Eropa menyerap dan menyadap peradaban Islam.
Karena Orang Eropa menyaksikan secara nyata bahwa
Spanyol yang berada di bawah kekuasaan Islam jauh
meninggalkan negara-negara Eropa lainnya, termasuk
tetangganya, seperti Perancis, Jerman, Portugal dan lain-
lainnya, terutama dalam bidang pemikiran dan sains,
maupun bangunan fisik.
Pengaruh peradaban Islam yang terpenting, dari
Spanyol Islam yaitu ; pertama , pemikiran Ibn Rusyd (1120-
1198 M.). Pemikirannya dapat melepaskan orang Eropa dari
belenggu taklid yang sudah berurat berakar dan
menganjurkan kebebasan berpikir. Karena Ibn Rusyd
mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat,
sehingga mengundang minat orang banyak yang berpikiran
bebas. Ia mengedepankan pengertian sunnatullah menurut
Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme
Kristen.
Begitu besarnya pengaruh pemikiran Ibn Rusyd di
Eropa sehingga timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rusyd-isme)
yang menuntut kebebesan berpikir. namun pihak gereja
menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan
Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah kemudian
di Eropa melahirkan gerakan reformasi pada abad ke-16 M. dan
gerakan rasionalisme pada abad ke-17 M. melalui buku-buku
Ibn Rusyd yang dicetak di Venesia, tahun 1481,1482,1483,1489
dan 1500 M., edisi lengkapnya pada tahun 1553 dan 1557 M. Juga
di terbitkan pada abad ke-16 M. di Napoli, Bologna, Lyonms,
dan Strasbourg dan di awal abad ke-17 di Jenewa.
Kedua, saluran lainnya, yaitu melalui mahasiswa-
mahasiswa Kristen Eropa yang belajar di Universitas-
universitas Islam di Spanyol, seperti Universitas Cordova,
Seville, Malaga, Granada dan Salamanca. Selama belajar di
Spanyol mereka aktif menerjamahkan dan mempelajari buku-
buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Setelah pulang ke
negerinya, mereka mendirikan sekolah-sekolah dan
Universitas-universitas yang sama di Eropa.
Seperti Universitas Paris yang didirikan pada tahun
1231 M merupakan Universitas pertama di Eropa, dia
didirikan sesudah tiga puluh tahun Ibn Rusyd wafat. Dalam
perkembangannya, di akhir Periode Pertengahan telah berdiri
18 Universitas. Di dalam Universitas-universitas itu, mereka
ajarkan ilmu yang mereka peroleh dari Universitas-universitas
Islam, seperti ilmu pasti, ilmu kedokteran dan filsafat.
Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari yaitu
pemikiran al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.222
Maka pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa
yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M. hingga abad ke-
14 M. itu menimbulkan kembali gerakan kebangkitan
renaissance pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M.
Kebangkitan kembali pemikiran Yunani di Eropa kali ini
yaitu melalui terjamahan-terjamahan Arab, kemudian
diterjamahkan kembali ke dalam bahasa Latin.223
Dengan demikian, pengaruh peradaban Islam Spanyol
telah dapat melahirkan tiga gerakan penting bagi kebangkitan
Eropa. Pertama, gerakan kebangkitan kembali kebudayaan
Yunani kuno atau klasik (renaissance) pada abad ke-14 M.
bermula di Italia, Kedua, gerakan reformasi pada abad ke-16
M. Ketiga, gerakan rasionalisme pada abad ke-17 M.
Selanjutnya Eropa bangkit dari ketertidurannya selama ini.
Ketiga , Perang Salib, meskipun pihak Kristen Eropa
mengalami kekalahan dalam Perang Salib akan namun mereka
mendapatkan hikmah yang tidak ternilai harganya, sebab
mereka dapat menyaksikan dan berkenalan langsung dengan
peradaban Islam yang sudah maju memicu lahirnya
renaisans di Eropa.
Adapun peradaban yang mereka bawa ke Barat lewat
Perang Salib terdiri dari kemajuan peradaban Islam di bidang
militer, seni, perindustrian, pertanian, perdagangan,
astronomi, kesehatan dan sikap kepribadian umat Islam yang
luhur yang tidak mendapat perhatian di Barat sebelumnya.
DAFTAR NAMA PARA KHALIFAH
DAULAH UMAIYAH II DI SPANYOL
1. Abdurrahman I (756-788 M)
2. Hisyam I (788-796)
3. Hakam I (796-822)
4. Abdurrahman II (822-852)
5. Muhammad I (852-886 M)
6. Munzir (886-888 M)
7. Abdullah (888-912 M)
8. Abdurahman III (912-961 M)
9. Hakam II (961-976 M)
10. Hisyam II (976 M)
11. Muhammad II bin Abi Amir atau Hajib al-Mansur (976-
1009 M)
12. Sulaiman (1009-1010 M)
13. Hisyam II (1010-1013 M)
14. Sulaiman 1013-1016 M)
15. Abdurrahman IV (1018 M)
16. Abdurrahman V (1023 M)
17. Muhammad III (1023-1025 M)
18. Hisyam III (1027-1031 M)
SEJARAH DAULAH ABBASIYAH
DI BAGHDAD
1. Pembentukan Pemerintahan
Sejak Umar bin Abd. Aziz (717-720 M / 99-101 H) -
khalifah ke-8 dari Daulah Umayyah - naik tahta telah muncul
gerakan oposisi yang hendak menumbangkan Daulah ini
yang dipimpin oleh Ali bin Abdullah, cucu Abbas bin Abdul
Muthalib, paman Nabi dari kelompok Sunni. Kelompok Sunni
ini berhasil menjalin kerja sama dengan kelompok Syi’ah,
sebab mereka sama-sama keturunan Bani Hasyim.
Kedua kelompok di atas juga menjalin kerja sama
dengan orang-orang Persia, sebab orang-orang Persia
dianaktirikan oleh Daulah Umayyah, baik secara politik,
ekonomi maupun sosial. Padahal mereka sudah lebih dahulu
memiliki peradaban maju.
Tujuan aliansi yaitu menegakkan kepemimpinan
Bani Hasyim dengan merebutnya dari tangan Bani Umayyah.
Untuk mencapai tujuan itu berbagai kelemahan Daulah
Umayyah, mereka manfa’atkan sebaik-baiknya.
Mereka melantik dan menyebar para propagandis
terutama untuk daerah-daerah yang penduduknya mayoritas
bukan orang Arab. Tema propagandis ada dua. Pertama, al-
Musawah (persamaan kedudukan), dan kedua, al-Ishlah
(perbaikan) artinya kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Hadits.
Tema pertama amat menarik di kalangan muslim non-
Arab. Karena mereka selama ini dianaktirikan oleh Daulah
Umayyah, baik secara politik, sosial dan ekonomi. Sedangkan
tema kedua menarik di kalangan banyak ulama Sunni karena
mereka melihat para khalifah Daulah Umayyah telah
menyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pada mulanya mereka melakukan gerakan rahasia.
Akan namun saat aliansi dipimpin oleh Ibrahim bin
Muhammad, gerakan itu berubah menjadi terang-terangan.
Perubahan itu terjadi sesudah mereka mendapat sambutan luas,
terutama di wilayah Khurasan yang mayoritas penduduknya
muslim non Arab, dan sesudah masuknya seorang Jenderal
cekatan ke dalam gerakan ini, yaitu Abu Muslim al-Khurasany.
Dia yaitu seorang budak yang dibeli oleh
Muhammad, ayah Ibrahim. Dia yaitu kader yang dididik
oleh Muhammad dan tinggal bersama anaknya Ibrahim. Dia
dikirim Ibrahim sebagai propagandis ke tanah kelahirannya
dan mendapat sambutan yang baik dari penduduk. Dia
membentuk pasukan militer yang terdiri dari 2.200 orang
infantri dan 57 pasukan berkuda.
Pemimpin Daulah Umayyah berhasil menangkap
Ibrahim dan mereka membunuhnya. Pimpinan aliansi
dilanjutkan oleh saudaranya Abdul Abbas yang kelak menjadi
khalifah pertama Daulah Abbasiyah.
Abul Abbas memindahkan markasnya ke Kufah dan
bersembunyi di situ. Dalam pada itu Abu Muslim
memerintahkan panglimanya, Quthaibah bin Syahib untuk
merebut Kufah. Dalam gerakannya menuju Kufah, dia
dihadang oleh pasukan Daulah Umayyah di Karbela.
Pertempuran sengit pun terjadi. Dia memenangkan
peperangan itu. Akan namun dia tewas.
Anaknya Hasan memegang kendali selanjutnya dan
bergerak menuju Kufah, dan melalui pertempuran yang tidak
begitu berarti kota Kufah itu dapat ditaklukkan. Abul Abbas
keluar dari persembunyiannya dan memperoklamirkan dirinya
sebagai khalifah pertama, yang diberi nama dengan Daulah
Abbasiyah dan dibai’at oleh penduduk Kufah di mesjid Kufah.
Mendengar hal itu, khalifah Marwan menggerakkan
pasukan berkekuatan 120.000 orang tentara menuju Kufah.
Untuk itu, Abul Abbas memerintahkan pamannya Abdullah
bin Ali menyongsong musuh ini . Kedua pasukan itu
bertemu di pinggir sungai Zab, anak sungai Tigris. Pasukan
Umayyah berperang tanpa semangat dan menderita kekalahan.
Abdullah bin Ali melanjutkan serangan ke Syiria. Kota
demi kota berjatuhan. Terakhir Damaskus, ibu kota Daulah
Umayyah menyerah pada tanggal 26 April 750 M. namun
khalifah Marwan melarikan diri ke Mesir, dan dikejar oleh
pasukan Abdullah. Akhirnya dia tertangkap dan dibunuh
pada tanggal 5 Agustus 750 M.
Dengan demikian, sesudah Marwan bin Muhammad
terbunuh sebagai khalifah terakhir Daulah Umiayah, maka
resmilah berdiri Daulah Abbasiyah. Sementara orang-orang
Syi’ah tidak memperoleh keuntungan politik dari kerjasama
ini, dan mereka terpaksa memainkan peranan lagi sebagai
kelompok oposisi pada pemerintahan Daulah Abbasiyah.
2. Periodesasi Daulah Abbasiyah
Pemerintahan Daulah Abbasiyah mengalami dua
masa, yaitu masa integrasi dan masa disintegrasi, secara garis
besarnya terbagi kepada empat periode. Pertama, dikenal
dengan periode integrasi ditandai dengan besarnya pengaruh
Persia (750-847 M) sejak Khalifah pertama Abu Abbas al-Safah
(750-754 M) sampai berakhirnya pemerintahan al-Watsiq (842-
847 M), yang dikenal sebagai masa kejayaan Daulah Abbasiyah.
Kedua, sampai keempat yaitu periode disintegrasi
yang ditandai dengan besarnya tekanan Turki (847-932 M)
sejak khalifah al-Mutawakkil (847-861 M) sampai akhir
pemerintahan al-Mustaqi (940-944 M) pada periode kedua,
yang dikenal sebagai masa kemunduran Daulah Abbasiyah.
Ketiga, Bani Buawaihi (944-1075 M) sejak khalifah al-
Mustaqfi (944-946 M) sampai khalifah al-Kasim (1031-1075 M)
yang ditandai dengan adanya tekanan Bani Buwaihi tehadap
pemerintahan Daulah Abbasiyah pada masa kemundurannya.
Keempat, Turki Bani Saljuk (1075-1258 M) sejak dari
khalifah Al-Muktadi (1075-1084 M) sampai khalifah terakhir
khalifah al-Muktasim (1242-1258 M) yang ditandai dengan
kuatnya kekuasaan Turki Saljuk dalam pemerintahan dan
berakhir dengan serangan Mongol .225
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Daulah
Abbasiyah yang berkuasa selama lima ratus delapan tahun
dan diperintah oleh 37 khalifah telah mengalami pergeseran
peran kekuasaan dari satu bangsa ke bangsa lainnya.
I. Periode Integrasi
3. Masa Perkembangan Pemerintahan
3.1. Abul Abbas Al-Saffah (750-754 M/133-137 H)
Dengan berakhirnya pemerintahan Daulah Umayyah,
maka Daulah Abbasiyah mewarisi pemerintahan besar dari bani
Umayyah. Pergantian Umayyah ke Abbasiyah sebagai akibat
dari ketidakpuasan unsur-unsur penting dalam warga
terhadap Khalifah-khalifah Daulah Umayyah yang sedang
berkuasa.
Sebagai Khalifah pertama Daulah Abbasiyah,
melakukan tindakan, pertama; mengundang pemuka-pemuka
Daulah Umayyah untuk jamuan makan malam. Ketika
jamuan itu sedang berlangsung, sejumlah lebih kurang 80
orang dari Bani Umayyah itu dibunuh oleh Abul Abbas. sejak
itu dia terkenal sebagai al-Safah, yaitu Sang Penumpah Darah.
Kedua, dia memerintahkan untuk melakukan
pengejaran terhadap sisa-sisa orang bani Umayyah dengan
menyebar mata-mata. Namun seorang di antaranya yaitu
Abdul Rahman, berhasil melarikan diri sampai ke Spanyol,
dan kelak dia mendirikan Daulah Umayyah babak kedua di
sana.
Ketiga , membongkar semua kuburan Khalifah Daulah
Umayyah, kecuali kuburan Umar ibn Abd Aziz, kemudian
membakarnya. Dua yang pertama dilakukan Khalifah al-Safah
dalam rangka menghabisi semua akar tunjang pengaruh
keluarga bani Umayyah agar tidak mengganggu
pemerintahan Daulah Abbasiyah di belakang hari, sedangkan
satu yang terakhir sebab dendamnya kepada para Khalifah
Daulah Umayyah.
Dari 37 khalifah Daulah Abbasiyah yang memerintah
dunia Islam selama 5 abad, ada tiga orang khalifah yang paling
berjasa membangun Daulah Abbasiyah ini , yaitu Abu
Ja’far al-Mansur (754-775 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), dan
al-Makmun (813-833).
3.2. Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M/137-159 H)
Pemerintahan Daulah Abbasiyah berkembang dimulai
dari khalifah kedua, yaitu Abu Ja’far al-Mansur. Dia diangkat
menjadi khalifah sesudah saudaranya Abu Abbas al-Safah
meninggal dunia pada tahun 136 / 754 M. Beliau dikenal
sebagai seorang yang gagah perkasa, keras hati, kuat
keimanan, bijaksana, cerdas, pemberani, teliti, disiplin, kuat
beribadah dan sederhana.
Maka tidak mengherankan, bila dikatakan saat dia
memikul jabatan khalifah, kekuatan Daulah Abbasiyah belum
ada, tonggaknya masih goyah, kekuasaannya masih terancam,
akan namun sesudah beliau memerintah selama 22 tahun, dia
meninggalkan Daulah Abbasiyah dalam keadaan kokoh,
mantap, megah dan agung serta mempesona. Itulah sebabnya
di atas keberhasilan beliau membangun Daulah Abbasiyah dia
disebut sebagai seorang pembangun Imperium Abbasiyah
yang sebenarnya.
Abu Ja’far digelar dengan al-Mansur, artinya: yang
memperoleh pertolongan Allah Swt. sebab dia selalu menang
dalam menghadapi berbagai peperangan, baik ke dalam
menghadapi pemberontak, maupun ke luar mengatasi
serangan Byzantium.
Abu Jafar al-Mansur memiliki sikap yang
mengagumkan, yaitu hidupnya yang sederhana. Jika
kesederhanaannya nampak pada sepuluh tahun dari awal
pemerintahannya yang disibukkan dengan perjuangan
mengamankan dan menstabilkan pemerintahan, dapat
dimaklumi. Akan namun sekalipun beliau telah berhasil
membangun Imperium Daulah Abbasiyah menjadi megah dan
agung, namun dia tetap pada sikap sederhananya, hal ini
merupakan sesuatu hal yang luar biasa. Dia mampu
mempertahankan sikap sederhananya sekalipun dikelilingi
oleh kemegahan dan keagungan.
Langkah pertama yang dilakukan khalifah al-Mansur
sesudah diangkat menjadi khalifah yaitu menciptakan
stabilitas pemerintahannya. Sebab di atas pemerintahan yang
stabil lah pembangunan dapat dilaksanakan. Untuk
terciptanya stabilitas ini beliau menghadapi
pemberontakan-pemberontakan dan kerusuhan-kerusuhan.
1. Menghadapi Pemberontakan Abdullah bin Ali dan Shaleh
bin Ali
Pada waktu gerakan menumbangkan Daulah
Umayyah digalakkan, Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali
diperintahkan Abu Abbas untuk menghadapi perlawanan
khalifah Marwan II (khalifah terakhir Daulah Umayyah) yang
sedang menuju ke Kufah bersama tentaranya yang berjumlah
120.000 orang. Kedua pasukan itu bertemu dipinggir sungai
Zab, anak sungai Tigris. Pasukan Abdullah bin Ali dan dibantu
Shaleh bin Ali dapat menangkap dan membunuh Marwan II
yang melarikan diri ke Mesir.
Abu Abbas telah berjanji bahwa siapa yang mampu
mematahkan perlawanan khalifah Marwan II, akan diangkat
manjadi khalifah sepeninggalnya. Atas dasar janji itu, Abdullah
bin Ali dan Shaleh bin Ali melakukan perlawanan membunuh
Marwan II. Namun kini janji itu dikhianati oleh Abu Abbas.
Memang diakui bahwa andil Abdullah bin Ali dan Shaleh
bin Ali dalam gerakan mendirikan Daulah Abbasiyah sangat
besar, dibandingkan dengan Abu Ja’far al-mansur yang
memiliki tugas memadamkan pemberontakan di Kufah. Pada
masa pemerintahan Abu Abbas, Abdullah bin Ali diangkat
menjadi Raja Muda (gubernur) untuk wilayah Palestina dan
Syria, dan Shaleh bin Ali menjadi gubernur wilayah Mesir dan
Afrika Utara, sementara Abu Ja’far al-mansur tidak mendapat
jabatan.
Kini ternyata di penghujung pemerintahan Abu Abbas
(yang memerintah selama empat tahun, meninggal dalam usia
muda sebab serangan penyakit cacar), justru mengangkat
Abu Jafar Al-mansur (saudaranya) sebagai Khalifah, bukan
Abdullah bin Ali (pamannya). Pengangkatan itu nampaknya
didasarkan atas hubungan famili, lebih dekat dengan saudara
dibanding paman, bukan atas pertimbangan jasa dan
pengabdian. Maka wajar Abdullah bin Ali merasa dikhianati
dan melakukan pemberontakan.
Taktik yang dilakukan Abu Ja’far al-Mansur dalam
menghadapi serangan kedua pamannya yaitu dengan
mengadu kekuatan antara Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali
yang dikenal Singa Padang Pasir dengan Abu Muslim al-
Khurasani yang dikenal sebagai Jenderal yang beringas. Abu
Muslim diperintahkan khalifah al-Mansur untuk
menghacurkan pemberontakan kedua pamannya itu.
Abdullah bin Ali telah mengadakan pertemuan di
Damaskus dengan mengundang tokoh-tokoh terkemuka
dengan menyatakan kepada mereka bahwa dia telah dijanjikan
Abu Abbas sebagai khalifah atas jasanya membunuh Marwan
II, maka Palestina, Syria (wilayah kekuasannya ) dan Mesir,
Afrika Utara (wilayah kekuasaan saudaranya, Shaleh bin Ali),
menyatakan bai’at kepadanya dan menyusun kekuatan besar
untuk melawan al-Mansur.
Di Nasibin, kedua pasukan itu bertemu. Abu Muslim
menyatakan kedatangannya bukan untuk memerangi mereka,
namun bertujuan ke tanah Palestina dan Syiria, sebab dia
diangkat menjadi wali daerah itu. Dengan taktik ini banyak
pasukan Abdullah meninggalkan Nasibin kembali ke Palestina
dan Syiria, sebab untuk melindungi keluarga mereka yang
tinggal di wilayah itu.
Sekalipun Abdullah meyakinkan mereka bahwa hal itu
hanya taktik Abu Muslim belaka, mereka tetap pulang.
Akibatnya pasukan Abdullah mengalami kekalahan dan
beliau bersama saudaranya ditangkap dan dipenjarakan, dan
pada akhirnya mati dalam penjara tujuh tahun kemudian.
Kemudian pasukan Muslim kembali ke Khurasan.
2. Menghadapi Kekuatan Abu Muslim
Sekembalinya Abu Muslim dari Nasibin ke Khurasan,
kini namanya semakin populer. Kepopuleran itu membuat dia
lupa daratan. Dia lupa bahwa peranannya hanya sebagai
pelaksana dari sebuah kebijaksanaan. Sedang tampuknya ada
di tangan orang. Memang diakui bahwa Abu Muslim yang
sangat berperan dalam gerakan mendirikan gerakan Daulah
Abbasiyah lebih populer dibandingkan dengan khalifah
sendiri, terutama pada saat itu.
Tapi kini yang jelas kendali pemerintahan ada pada
al-Mansur. Dia pun memiliki perhitungan tersendiri
menghadapi Abu Muslim ini, sebab dia pun mempunyai
naluri politik tersendiri. Begitu dia diangkat menjadi khalifah,
ada tiga pihak yang ditakutinya dan harus disingkirkannya;
pertama, pamannya Abdullah bin Ali. kedua, Abu Muslim al-
Khurasani sendiri, dan ketiga golongan Syi’ah.
Abu Muslim kini sangat berkuasa di Khurasan, karena
itu khalifah al-Mansur sangat khawatir kalau kekuasaannya
dapat dipergunakannya untuk melumpuhkan pemerintahan
khalifah di pusat. Maka demi kelangsungan Daulah
Abbasiyah, Abu Muslim harus dibunuh. Untuk itu dia
diundang menghadap khalifah di istana.
Meskipun kepergiannya dicegah oleh orang yang
dekat dengan dia, mereka menasehati berkali-kali agar jangan
berangkat, namun al-Mansur tetap berkeras berangkat juga.
Kedatangannya disambut dengan penuh kehormatan untuk
kemudian diadili, dan dijatuhi hukuman mati.231
Pada saat Abu Muslim akan dibunuh, sempat terjadi
dialog antara beliau dengan khalifah. Kata Abu Muslim
“izinkanlah saya hidup bagi menghadapi musuh-musuh
tuanku! Ya Amirul Mukminin”. Jawab al-Mansur, “Siapakah
musuhku yang paling besar di luar engkau ya Abu Muslim”?
Khalifah al-Mansur memerintahkan para algojo yang
sudah dipersiapkan sebelumnya untuk membunuh Abu
Muslim di istana Khalifah.
Dua pihak, dari tiga pihak yang paling ditakuti al-
Mansur yang perlu disingkirkan sudah dapat terlaksana. Kini
tiba giliran ketiga, yaitu golongan Syi’ah.
3. Menghadapi Pemberontakan Golongan Syi’ah.
Ketika propaganda untuk menjatuhkan Daulah
Umayyah dilancarkan, golongan Syi’ah ikut serta di dalamnya.
Karena perjuangan mereka untuk membela keluarga Nabi,
sebab itu dianggap cukup tepat memperoleh peluang untuk
mendapat kekuasaan. berdasar hal itu, mereka
beranggapan lebih pantas menjabat khalifah itu dibandingkan
dengan Bani Abbas. itulah sebabnya golongan Syi’ah di bawah
pimpinan Muhammad bin Abdullah mengadakan
pemberontakan pada masa al-Mansur.
Khalifah al-Mansur telah sering berusaha menangkap
Muhammad bin Abdullah sebab menantang kekuasaan
Daulah Abbasiyah. Akan namun selalu gagal. Pada akhirnya
15 orang keluarga Syi’ah di Irak ditangkap dan dipenjarakan
khalifah.
Kematian mereka membangkitkan kemarahan
Muhammad bin Abdullah, dia pun menggerakkan
pemberotakan di tanah Hijaz bersama 30.000 pasukan di
bawah pimpinan saudaranya Ibrahim bin Abdullah. Mereka
menuju Basrah.
Pasukan al-Mansur segera menyusul pasukan mereka
itu. Dalam pertempuran itu Ibrahim gugur dan pasukannya
porak poranda. Muhammad bin Abdullah segera pula
menyusul dengan pasukan yang lebih besar, akan namun ia
pun tewas dan pasukannya hancur.232
Dengan demikian, tiga golongan yang sangat berjasa
dan mempunya andil dalam gerakan mendirikan Daulah
Abbasiyah, kini telah berakhir di tangan khalifah al-Mansur.
Sebenarnya kepergian mereka sangat menghimpit batin
khalifah, akan namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali hal
itu demi menyelamatkan Daulah Abbasiyah.233
Memang jika dilihat dari segi politik, tindakan al-
Mansur itu yaitu suatu keharusan yang harus dilaksanakan,
sebab jika mereka masih dibiarkan hidup akan terjadi
kerusuhan di mana-mana, dan itu akan mengancam kekuasaan
Khalifah dan kelangsungan Daulah Abbasiyah. Jadi jika ingin
menyelamatkan negara, hal itu harus dilakukan dan di sinilah
ketegasan khalifah mengambil sikap.
Menurut pengamatan penulis, di antara faktor yang
membuat al-Mansur dikatakan sebagai orang yang berperan
dalam menegakkan Daulah Abbasiyah, bahkan dikatakan
bahwa dialah pendiri yang sebenarnya dari Daulah Abbasiyah
itu yaitu kemampuannya menciptakan stabilitas
pemerintahan.
Pada waktu dia diangkat menjadi khalifah, kekuasaan
Daulah Abbasiyah masih goyah, sebab dilanda kemelut,
perebutan kekuasaan antara dia dengan pamannya Abdullah
bin Ali, pada saat itu sebagian besar penduduk wilayah
Palestina, Afrika Utara, Syria dan Mesir berpihak kepada
Abdullah.
Sementara wilayah timur (Persia) berpihak pada Abu
Muslim. Andai kata pasukan Abdullah bersekutu dengan
pasukan Abu Muslim, maka Abu Ja’far saat itu tidak ada apa-
apanya. Di sinilah nampaknya letak ketokohan al-Mansur
mampu meyakinkan Abu Muslim agar menyerang Abdullah.
Kemudian dia dengan mudah mematahkan perlawanan Abu
Muslim dan golongan Syi’ah. Maka kunci terciptanya stabilitas
yaitu mengakhiri riwayat tiga golongan itu.
Perlawanan dari tiga golongan ini telah dapat
ditumpas, kini situasi pemerintahan relatif aman. Maka situasi
aman itu dimanfaatkan oleh al-Mansur untuk melakukan
pembangunan dalam berbagai bidang, baik bersifat material
maupun inmaterial, di antaranya yang paling besar yaitu ;
4. Membangun Kota Baghdad
Sebelum membangun kota Baghdad ini , al-Mansur
telah mengadakan penelitian dengan seksama. Dia menugaskan
beberapa orang ahli untuk mempelajari dan meneliti lokasi.
Bahkan ada beberapa diantara mereka yang diperintahkan
tinggal beberapa hari di tempat itu pada musim yang berbeda,
kemudia para ahli itu melaporkan kepada khalifah tentang
keadaan udara, tanah, dan lingkungan. Diceritakan bahwa
daerah itu sebelumnya yaitu tempat peristirahatan Kisra
Anusyirwan, Raja Persia yang mashur di musim panas. namun
taman itu lenyap bersamaan dengan hancurnya kerajaan Persia.
Di dalam membangun kota itu, khalifah mempekerjakan
tidak kurang dari 100.000 orang pekerja yang didatangkan dari
berbagai daerah seperti Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah. Kota
Baghdad berbentuk bundar, di sekelilingnya dibangun tembok
tinggi, di luar tembok digali parit besar yang berfungsi selain
sebagai saluran air, sekaligus sebagai benteng pertahanan.
Selain itu untuk setiap orang yang ingin memasuki
kota, disediakan empat buah pintu gerbang. Keempat pintu
gerbang itu yaitu Bab al-Khufah (sebelah barat daya), Bab
al-Khurasan (timur laut), Bab al-Syam (barat laut), Bab al-
Basrah (sebelah tenggara). Diantara masing-masing pintu
gerbang itu dibangun 28 bendera sebagai tempat pengawal
negara yang bertugas memantau keadaan di luar.
Di atas tiap pintu dibangun tempat peristirahatan yang
dihiasi dengan ukiran-ukiran yang indah. Di tengah-tengah kota
terletak istana khalifah menurut seni arsitektur Persia, yang diberi
nama al-Qasru al-Zahabi, yang artinya istana emas. Istana ini
dilengkapi dengan bangunan mesjid, tempat pengawal istana,
polisi dan tempat tinggal putera-putera dan keluarga khalifah.
Di sekitar istana dibangun pasar tempat perbelanjaan.
Faktor lain, andil al-Mansur mengokohkan Daulah
Abbasiyah yaitu kelihaiannya, memilih letak ibu kota Daulah
Abbasiyah, menghindar dari ibu kota lama di Hasyimiyah, yang
dekat dengan Kufah, sarangnya orang plin-plan, sehingga dia
terbebas dari pembunuhan gelap. Sebab alasan pemindahan
kota ini pada dasarnya yaitu untuk menghindari situasi yang
tidak menentu di pusat ibu kota lama.
Hasan Ibrahim menyebutkan tiga alasan pemindahan
pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad, yaitu:
pertama, dinasti Umayyah dan para pendukungnya bermukim
di Damaskus (dekat Hasyimiyah),
Kedua, basis Daulah Abbasiyah yaitu orang Persia,
maka Baghdad lebih dekat dengan Persia. Sementara basis
kekuatan Daulah Umayyah orang Arab, sehingga
memindahkan ibu kota ke Baghdad menjauhkan diri dari
pendukung Daulah Abbasiyah.
Ketiga, Damaskus dengan perbatasan negara
Bizantium, maka pemindahan ke Baghdad menjauhkan diri
dari agresi pasukan Bizantium juga. Mengapa kota Baghdad
yang dijadikan pilihan sebagai pusat ibu kota? sebab memilki
udara yang bersih dan segar, berarti sehat lingkungan dan
memiliki sumber kehidupan yang mudah diperoleh
warga berarti memiliki potensi ekonomi.
Kota Baghdad didirikan di pinggir sebelah barat
sungai Tigris oleh khalifah al-Mansur yang dapat
menghubungkan kota ini dengan negeri-negeri lain, sampai
ke Tiongkok untuk ekspor barang dan dapat mendatangkan
segala sesuatu yang diperlukan, baik hasil lautan maupun
bahan makanan yang dihasilkan oleh Mesopotamia, Armenia
dan daerah-daerah sekitarnya sebagai bahan impor.
5. Memajukan Ekonomi
Di tinjau dari segi ekonomi letak kota ini sangat
menguntungkan, sebab di situ terletak sungai Tigris yang
dapat menghubungkan kota dengan negara lain. Sampai ke
Tiongkok untuk ekspor barang, dan dapat mendatangkan
segala sesuatu yang diperlukan baik hasil lautan, maupun
bahan makanan yang dihasilkan oleh Mesopotamia, Armenia,
dan daerah-daerah sekitarnya sebagai bahan impor. Dengan
adanya aktivitas ekspor-impor itu maka perekonomian
Daulah Abbasiyah dapat berkembang.
Pada waktu al-Mansur memerintah, keadaan ekonomi
Daulah Abbasiyah masih morat-marit, untuk itu al-Mansur
menata perekonomian pemerintahannya dengan
memperkembangkan melalui pelabuhan Baghdad, karena
letak kota Baghdad di pinggir sungai Tigris, memudahkan
berkembang perdagangan, impor-ekspor dapat digalakkan,
pada gilirannya ekonomi semakin berkembang sehingga
warga bisa hidup makmur.
6. Mendirikan Pusat Kajian Ilmu Pengetahuan
Sepuluh tahun terakhir dari pemerintahan al-Mansur
yaitu masa aman dan damai, masa kemakmuran yang
melimpah ruah sehingga seluruh perhatian telah dapat
sepenuhnya dicurahkan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, kesusasteraan dan kebudayaan.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat
peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam.
al-Mansur memerintahkan penerjemahan buku-buku ilmiah
dan kesusasteraan dari bahasa asing, yaitu India, Yunani Kuno,
Bizantium, Persia dan Syria ke dalam bahasa Arab. Para
peminat ilmu dan kesusasteraan segera berbondong-bondong
datang ke kota itu. Dari konteks ini dapat dipahami bahwa
urbanisasi merupakan suatu yang tidak dapat terelakkan.
Dukungan lain bagi maraknya perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa al-Mansur sebab keluarga Bermakid
(Barmakiyah) yang kepala keluarganya bernama Khalid bin
Barmak diangkat menjadi wazir oleh Khalifah. Mereka dikenal
memiliki perhatian besar pada ilmu pengetahuan. Dalam
hal ini al-Mansur mendirikan Departemen Study Ilmiah dan
penterjemahan di pusat ibu kota Baghdad.
Andil al-Mansur yang lain dalam meletakkan dasar yang
kokoh bagi aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan dengan
mendirikan Departemen Study Ilmiah dan Pernterjemahan, maka
aktivitas kegiatan di bidang penerjemahan sudah mulai
terlaksana pada masa khalifah al-Mansur dan mencapai puncak
kejayaannya pada masa cucunya khalifah al-Makmun.
Keberhasilan al-Mansur yang lain bagi pengokohan
Daulah Abbasiyah yaitu kerjasamanya yang baik dengan
golongan Mawali, dalam hal ini keluarga Barmaki. Sebagai
seorang Persia mereka pencinta ilmu pengetahuan dan
administrator yang baik, maka al-Mansur mengangkat mereka
sebagai pendukung utamanya, di antaranya diangkat sebagai
Wazir (Perdana Menteri). Maka jika Daulah Abbasiyah
mencapai puncak kejayaannya pada masa khalifah al-Makmun,
hal itu tidak dapat dilepaskan dari dukungan orang Persia ini.
7 . Masa Kejayaan Pemerintahan dan Kemajuan Ilmu
Pengetahuan
7.1. Harun al-Rasyid (786-809 M/170-194 H)
Dengan naiknya Harun menduduki jabatan Khalifah,
maka Daulah Abbasiyah memasuki era baru yang sangat
gemilang. Dia yaitu seorang penguasa yang paling cakap
dan paling mulia di antara Daulah Abbasiyah. Dia memerintah
selama 23 tahun.
Dalam sejarah, pada “abad kesembilan ada dua nama
Raja besar yang gemilang dalam urusan-urusan dunia;
Charlemagne di barat dan Harun al-Rasyid di timur”. Di
antara kedua raja itu, Harun meruupakan raja yang paling
gemilang dan paling berkuasa yang dapat mengembangkan
kebudayaan yang lebih tinggi. Kedua raja ini juga
mengadakan hubungan persahabatan yang didorong oleh
kepentingan masing-masing. Charles mengharapkan Harun
menjadi sekutunya menghadapi Bizantium yang juga
merupakan musuh Harun, juga Harun mengharapkan Charles
menjadi sekutunya menghadapi penguasa bani Umayyah di
Spanyol, juga musuh Charles.
7.2 Memperindah Kota Baghdad
Harun al-Rasyid memperindah dan mempercantik
kota Baghdad yang dibangun oleh kakeknya al-mansur
sebelumnya sehingga puncak keindahan, kemegahan dan
kecemerlangan kota Baghdad sebagai ibu kota Daulah
Abbasiyah terjadi pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid
sampai mencapai kota terindah di dunia di kala itu.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat
peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Itulah sebabnya Philip. K. Hitti menyebutnya sebagai kota
intelektual. Menurutnya di antara kota-kota di dunia, Baghdad
yaitu professor warga Islam. Para peminat ilmu
pengetahuan dan kesusasteraan secara berbondong-bondong
datang ke kota itu.
Sebagai gambaran, bahwa kota Baghdad muncul
sebagai kota yang terindah dan termegah di dunia waktu itu
dapat dilihat dari yang dilukiskan oleh penyair cemerlang
Anwari, di antaranya dia bersenandung:
Selamat, selamatlah kota Baghdad, kota ilmu dan seni.
Tiada kota lain menandinginya di seluruh dunia.
Iklimnya yang sehat menyamai hembusan angin.
Temboknya kemilau laksana permata dan batu delima.
Tanahnya subur berbaur ambar.
Taman-taman penuh bidadari, menari kemilau.
Laksana sinar mentari di angkasa.
Kota Baghdad menjadi lebih masyhur lagi, karena
perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan
kebudayaan Islam, sehingga banyak para ilmuwan dari berbagai
penjuru datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan
yang ingin mereka tuntut.
Pada masa puncak keemasan kota Baghdad di masa
pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (786 – 809 M), dan
anaknya al-Makmun (813 – 833 M), dari kota inilah memancar
sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia.
Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, namun meliputi
seluruh negeri Islam. Baghdad saat itu menjadi pusat
peradaban dan kebudayaan yang tertinggi di dunia.
Ada tiga keistimewaan kota ini, yaitu: pertama, prestise
politik, kedua, supremasi ekonomi, ketiga, aktivitas intelektual.
Tidak mengherankan jika ilmu pengetahuan dan sastra
berkembang sangat pesat di wilayah ini. Banyak buku filsafat
yang sebelumnya dipandang sudah “mati” dihidupkan
kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.246
Dari paparan di atas diketahui betapa indahnya kota
Baghdad yang dijadikan sebagai kota intelektual, maha guru
warga Islam, pusat perkembangan ilmu pengetahuan
yang diminati oleh para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kota ini memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban Islam
ke seluruh penjuru dunia.
Gambar kemegahan kota Baghdad dapat dilihat
saat khalifah Harun menerima duta Raja Konstantin VII
untuk membicarakan soal tawaran-tawaran perang.
Pengawal khalifah terdiri dari 16.000 orang pasukan
berjalan kaki dan berkuda, 7.000 orang pelayan, kurang
lebih seratus ekor Singa dan 700 orang pegawai istana. Di
dalam istana ada 38.000 buah tirai, di antaranya 12.000
bersadur benang emas, dan permadani sebanyak 22.000
helai. Juga dalam istana ada sebatang pohon yang
dibuat dari emas dan perak seberat 500.000 gram. Di atas
cabangnya bertengger berbagai burung yang dibuat dari
bahan emas yang juga dapat bernyanyi secara otomatis.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa perekonomian
Daulah Abbasiyah berkembang pesat bahkan mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid karena
dia mampu menjadikan kota Baghdad sebagai kota
perdagangan. Juga sebagai kota terindah dan termegah. Hal
itu dapat dilihat dari pembangunan sarana-prasarana yang
serba lux untuk ukuran saat itu.
Pada sisi lain khalifah Harun selalu berusaha dengan
gigih memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya. Dia
berkeliling ke sana-kemari menelusuri daerah kekuasaannya
untuk mengetahui keadaan warga yang sebenarnya. Mereka
diberi pelayanan yang semestinya, sehingga melalui kemajuan
ekonomi, rakyatnya pun merasakan kesejahteraan
sebagaimana mestinya.
7 . 3 Kota Baghdad Sebagai Pusat Perkembangan Ilmu
Pengetahuan
Kemajuan ekonomi Daulah Abbasiyah yang pesat
tidak saja berpengaruh besar terhadap pembangunan untuk
memperindah kota Baghdad, namun juga dipergunakan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan intelektual sekaligus.
Dapat lebih ditegaskan kemegahan kota Baghdad dan
kemewahan hidup di istana merupakan sumber inspirasi
tersendiri yang merangsang berkembangnya ilmu
pengetahuan dan intelektual di tangan para ilmuwan. Seni
tari dan seni suara di tangan penari-penari dan penyanyi-
penyanyi terkenal pada masa itu. Juga berkembang seni sajak
di tangan penyair-penyair yang sangat masyhur dalam
kesusasteraan Islam.248
Istana Harun al-Rasyid yang megah dijadikannya
sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dalam
berbagai cabang ilmu. Di situ berkumpul para ilmuwan dan
orang-orang terpelajar dari berbagai penjuru dunia. Dana besar
disumbangkan Harun untuk melayani mereka sekaligus
disumbangkannya untuk pengembangan berbagai cabang
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kesenian.249
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa bukan saja
kemegahan Baghdad yang menjadi perangsang bagi
pengembangan ilmu, intelektual dan seni, namun juga turut di
dalamnya istana khalifah yang dijadikan pusat perkumpulan
para cendikiawan dari berbagai penjuru dunia yang ditunjang
oleh dana besar.
Keluarga bangsawan Persia, yaitu Barmaki menjadi
penyokong utama bagi Harun, baik dalam mengelola urusan
pemerintahan maupun pengembangan ilmu pengetahuan.
Dalam mengelola urusan pemerintahan, Yahya bin Khalid (dari
keluarga Barmaki diangkat Harun menjadi Wazir dan
penasehatnya. Empat orang anaknya, yaitu: Fazal, Ja’far, Musa
dan Muhammad diangkat Harun menjadi pejabat negara.
Mereka sangat cekatan dan memiliki kemampuan administrasi
yang tinggi. Dalam memajukan ilmu pengetahuan, mereka ini
berlomba-lomba memberikan hadiah yang mahal kepada para
penyair dan pencipta karya.
Selain itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan
intelektual di Baghdad dapat ditunjang oleh kesejahteraan
hidup para cendikiawan. Kaum sarjana itu telah dapat berpola
hidup mewah. Pola hidup mereka sehari-hari pergi ke
pemandian umum. Para pelayan telah siap menimbakan air
untuk mereka. Selesai mandi, pergi minum, makan, dan
berleha-leha tidur. Habis istirahat dapat membakar wangi-
wangian untuk mengharumkan tubuh. Habis itu dapat
memesan makanan malam yang terdiri atas sup daging, roti
yang dilengkapi dengan beberapa gelas anggur tua dan buah-
buahan.
Hal di atas untuk ukuran saat itu sudah sangat mewah
sebagai gambaran betapa sejahteranya hidup para
cendikiawan dan para sarjana saat itu. Tidak mengherankan
di tangan merekalah berkembang berbagai cabang ilmu
pengetahuan, intelektual, seni, dan agama sekaligus.
7.4 Al-Makmun (813-833 M/198-218 H)
Di masa khalifah al-Makmun, pertemuan-pertemuan
ilmiah tidak lagi dilaksanakan di istana. namun dia
membangun tempat pertemuan yang dipusatkan di “Balai
Ilmu” atau “Baitul Hikmah”. Balai ilmu itu senantiasa ramai
dikunjungi oleh ahli-ahli ilmu, ahli-ahli hukum, ahli-ahli pikir,
sastra, ahli agama dan bahasa. Mereka memperbincangkan
dan bertukar pikiran dalam segala macam permasalahan ilmu
pengetahuan. Bahkan dalam bidang kesusasteraan, al-
Makmun sendiri yang memimpin pertemuan-pertemuannya
yang dihadiri oleh para ahli sastra. Hal itu berlangsung selama
masa pemerintahannya.
Untuk lebih pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan intelektual, dan sebagai perwujudan
kecintaan al-Makmun terhadap ilmu pengetahuan, dia
memfungsikan “balai ilmu” itu ke dalam tiga fungsi: Pertama,
sebagai akademi, kedua, sebagai perpustakaan, dan ketiga,
sebagai tempat penerjemahan berbagai macam ilmu
pengetahuan.
Sebagai akademi, “balai ilmu” itu dijadikan tempat
pertemuan diskusi-diskusi yang dihadiri berbagai kalangan.
Mereka itu yaitu ahli-ahli filsafat Yunani, aliran filsafat India,
tokoh Syi’ah, tokoh Khawarij, dan tokoh-tokoh Sunni,
termasuk juga dari non-muslim. Banyak diantara tokoh-tokoh
non-muslim itu sesudah mengadakan diskusi-diskusi dengan
sukarela mereka memeluk Islam.
Sebagai perpustakaan, dijadikan pertemuan berbagai
macam ilmu pengetahuan yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, yang lebih dikenal dengan “Perpustakaan
Baitul Hikmah”. Dan sebagai balai penerjemahan, khalifah
menggaji banyak ahli dari berbagai cabang ilmu, juga
memberikan kepada mereka hadiah-hadiah berupa emas
seberat buku yang diterjemahkannya.
Dengan demikian di masa al-Makmun ada tiga
macam aktivitas pengembangan ilmu, pertama, digalakkannya
diskusi-diskusi ilmiah di kalangan para tokoh dan ahli. Kedua,
dilakukannya penerjemahan buku-buku secara besar-besaran
ke dalam bahasa Arab. Ketiga, didirikannya perpustakaan
sebagai tempat penyimpanan buku-buku ini . Untuk tiga
hal itu al-Makmun bertindak sebagai motor penggeraknya.
Hal itu membuktikan keintelektualan al-Makmun dan
kecintaannya kepada ilmu pengetahuan.
Sebagai Syekh penerjemah pada saat itu yaitu Hunain
bin Ishak, salah seorang sarjana yang paling besar dan mulia
di zamannya. Dia yaitu seorang Kristen Nestarian yang pada
waktu mudanya bekerja sebagai apoteker pada seorang dokter
pribadi khalifah.
Kecakapan Hunain sebagai penerjemah ditegaskan
oleh berita yang menyatakan bahwa dia sebagai penerjemah
menerima upah sebanyak 500 dinar setiap bulan, melebihi dari
yang diperoleh para penerjemah lainnya. Gaji ini
merupakan nilai yang cukup mahal untuk ukuran saat itu.
Selain itu al-Makmun membayar buku-buku terjemahan
dengan emas seberat kitab-kitab yang diterjemahkan. namun
puncak kemasyhuran Hunain di kemudian hari bukan saja
sebagai penerjemah, namun juga sebagai dokter. Khalifah al-
Makmun mengangkatnya sebagai dokter pribadi.
Maka kombinasi dari “Balai Ilmu” sebagai akademi,
sebagai balai penerjemah dan sebagai perpustakaan,
menjadikan kota Baghdad yang megah itu menjadi kota
intelektual dan sebagai profesornya warga Islam yang
diminati oleh para ilmuwan, pujangga, sastrawan, dan tokoh-
tokoh warga lainnya. Secara berbondong-bondong
mereka datang ke kota itu untuk mendiskusikan berbagai
cabang ilmu pengetahuan dan menerjamahkan buku ke dalam
bahasa Arab.
Dapat lebih ditegaskan lagi, bahwa ada beberapa faktor
untuk mewujudkan terciptanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan intelektual. Pertama, kesejahteraan hidup
melalui perbaikan ekonimi. Di masa khalifah Harun, para
cendikiawan, pujangga, sastrawan, dan lain-lain diberikan
fasilitas hidup. Mereka tinggal di istana khalifah. Di masa al-
Makmun, mereka digaji mahal.
Kedua, ilmu pengetahuan dihargai. Di masa khalifah
Harun, ia dan keluarga Persia berlomba-lomba memberi
hadiah kepada para penerjamah dalam bentuk emas seberat
buku yang diterjamahkannya.
Ketiga, penguasa negara yaitu orang yang bermental
ilmiah. Dari mereka diharapkan sokongan dan dukungan
menyediakan sebagian fasilitas negara untuk pengembangan
ilmu dan imtelektual, seperti khalifah al-Mansur, Harun al-
Rasyid, dan al-Makmun. Mereka menjadi mesin penggerak
berkembangnya ilmu pengetahuan. Pada masa mereka
lahirlah berbagai cabang ilmu pengetahuan beserta tokoh-
tokohnya.
7.5 Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan mengalami perkembangan pesat
pada masa Daulah Abbasiyah, melalui tiga pengembangan
ilmu, yang telah disebutkan di atas, yaitu diskusi ilmiyah,
penerjamahan buku-buku dan perpustakaan. Di antara ilmu-
ilmu umum yang berkembang pada masa Daulah Abbasiyah
yaitu sebagai berikut:
1. Ilmu Kedokteran
Ilmu kedokteran Islam telah ada semenjak masa
Rasulullah. Di kala itu dokter yang terkenal yaitu Al-
Harits bin Al-Kananah. Kedokteran Islam baru
berkembang pada masa dinasti Abbasiyah sesudah
mendapat pengaruh dari Judhisafur dan Iskandariyah.
Judhisafur yaitu sebuah perguruan kedokteran
di Persia, dan ada dokter-dokter yang berkumpul dari
Yunani, Persia dan India. Sedangkan Iskandariyah pada
waktu itu merupakan pusat kedokteran Yuanani di timur.
Pengaruh langsung dari Judhisafur ke dalam Islam terjadi
saat al-Mansur meminta bantuan dokter-dokter dari
sana. Pada waktu itu yang mengepalai pusat medisnya
yaitu Jirjis Bukhtyshu. Selain itu melalui penerjemahan
buku-buku kedokteran berbahasa Persia, Yunani dan India
ke dalam bahasa Arab turut juga mempengaruhi
berkembangnya ilmu kedokteran dalam Islam.
Penerjemahan pertama buku kedokteran berbahasa Persia
ke dalam bahasa Arab yaitu al-Muqaffa, sedangkan,
sedangkan penerjemah yang paling terkenal yaitu
Hunain bin Ishak, dan dia sekaligus sebagai dokter pribadi
al-Mukmin.
Akhirnya, melalui terjemahan-terjemahan buku
ini melahirkan tokoh besar kedokteran Islam,
seperti Ali bin Rabba al-Thabari, al-Razi dan Ibn Sina.
Bahkan dua yang terakhir sangat berpengaruh di timur
dan barat. Sumbangan terbesar al-Razi yaitu tentang
cacar dan campak, sedangkan karya terbesar Ibn Sina di
bidang kedokteran yaitu bukunya al-Qanun fi al-
Thibbi.
2. Ilmu Matematika
Perkembangan ilmu matematika dalam Islam
terjadi pada masa al-Mansur sebab perencanaan
pembangunan kota Baghdad didasarkan pada
perhitungan matematis, sebab banyak berkumpul
matematikawan untuk meneliti rencana ini . Salah
satu sumbangan besar matematikawan muslim yaitu
penemuan dan pemakaian angka 0 (nol) dalam bahasa
yang disebut sifir. Tanpa angka ini akan menyulitkan
manusia dalam membuat simbol-simbol bilangan. Dalam
hal ini barat ketinggalan 250 tahun dari Islam.
Di antara matematikawan muslim yang terkenal
yaitu Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Dialah yang
paling berjasa dalam memperkenalkan angka-angka
dalam perhitungan sebagai ganti alfabeta dan dia pula
orang pertama yang membicarakan aljabar secara
sistematis.
3. Ilmu Astronomi
Ilmuan-ilmuan muslim merupakan pakar
astronomi. Ilmu astronomi diperlukan untuk tujuan-
tujuan keagamaan, seperti menentukan waktu shalat,
waktu fajar dan munculnya bulan di bulan Ramadhan
serta menentukan arah kiblat. Para astronom muslim
mempelajari karya-karya Yunani dan Iskandariyah
khususnya Al-Magnestya Ptolemius, di samping karya
orang-orang Chadea, Syria, Persia dan India. Di masa
pemerintahan al-Mansur, dia menyuruh Abu Yahya al-
Batriq menerjemahkan buku Quadripartitumnya
Ptolemius ke dalam bahasa Arab yang berisi tentang
pengaruh bintang-bintang dan buku-buku geometri dan
fisika yang dimintanya dari Kaisar Byzantium. 258
Di antara sarjana-sarjana astronom muslim yaitu
Tsabit bin Qurra, al-Balhi, Hunain bin Ishak, Al-Abbadi
al-Battani, al-Buzjani al-Farghani dan lain-lain. Dan sarjana
astronomi muslim termasyhur pada masa al-Makmun
yaitu Yahya bin Mansur. Dia mengumpulkan tabel-tabel
astronomi bekerja sama dengan Samad bin Ali. Buku
“ Prinsip-prinsip Astronomi ” karangan al-Farghani
memperoleh penghargaan tinggi di Universitas Bologna
di Italia, selama masa renaeissance.
Ilmu fisika pun turut berkembang pesat pada masa
dinasti Abbasiyah. Di antara fisikawan muslim terkenal
yaitu Ibn Sina. Dalam bukunya al-Syifa’, dia membahas
tentang kecepatan suara dan cahaya. Menurut pendapatnya
penglihatan mendahului pendengaran. Hal ini dipicu
kenyataan bahwa melihat tidak memerlukan waktu,
sementara mendengar memerlukannya. Jangkauan
penglihatan lebih jauh daripada jangkauan pendengaran.
Akan namun kilat lebih cepat dari petir walaupun terjadi
secara bersamaan. Jadi kilat terdengar sesaat , sedangkan
petir terdengar belakangan.
Ibn al-Haitsham termasuk juga dalam jajaran
fisikawan terkemuka. Ia juga seorang peneliti optik yang
besar. Ia dikenal di Eropa dengan nama al-Hazen. Ia
menulis kira-kira 24 buah buku tentang fisika.
Al-Biruni terkenal sebab sumbangan-
sumbangannya dalam bidang fisika. khususnya mekanika
dan hidrosatika. Dia membahas tekanan dan ekuilibrium
benda-benda cair dan semburan ke atas dari mata air. Al-
Biruni menetapkan grafitasi 18 macam logam sampai 4
desimal.
Al-Kahzin mengatakan bahwa udara yaitu suatu
zat yang memiliki berat. Dia juga menunjukkan bahwa
udara memiliki tenaga mengangkat ke atas, sama
halnya dengan tenaga air sehingga berat sesuatu benda di
udara kurang dari berat yang sesungguhnya. Lebih lanjut
dia menyatakan bahwa kuat grafitasi berubah sesuai
dengan jarak antara benda yang jatuh dengan benda yang
menariknya.
Karya-karya Ibn Sina, Ibn al-Haitsham, al-Biruni,
al-Khazin dan sarjana-sarjana muslim lainnya tetap
menjadi karya-karya standar dan dipelajari oleh sarjana-
sarjana Barat sampai akhir abad ke 17.261
4. Ilmu Kimia
Jabir bin Hayyan terkenal di seluruh dunia sebagai
Bapak ilmu kimia muslim. Bahkan ada yang berpendapat
bahwa tidak ada ilmu kimia sebelum Jabir dalam
pengertian yang sesungguhnya (sebelumnya hanya untuk
tujuan-tujuan praktis). Jabir mangajukan gagasannya
tentang pengubahan beberapa macam logam menjadi
emas murni. Disebutkannya dalam ilmu kimia ada
keseimbangan, sebab emas yaitu logam yang paling
tahan terhadap panas, maka jika ada keadaan sumbang
dalam empat property logam, maka yaitu mungkin
untuk mengubahnya menjadi emas murni.
Buku-buku Jabir tentang kimia dan sains-sains
lainnya telah diterjamahkan ke dalam bahasa Latin dan
menjadi rujukan standar dan dipelajari sarjana-sarjana Eropa
seperti Kupp, Halmyard, M. Berthelat, P. Krans dan G. Sarten.
Al-Magriti juga salah seorang ilmuan-ilmuan
kimia. Dia menulis sebuah buku mengenai kimia yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sekarang dianggap
sebagai sumber penting mengenai sejarah kimia.
5. Ilmu Farmasi
Ilmu farmasi yaitu pelengkap bagi ilmu
kedokteran, sehingga dokter-dokter muslim menulis
tentang farmasi dan botani sebagai dua ilmu yang sangat
berguna dalam pengobatan, sehingga Ibn Sina dalam karya
monumentalnya, al-Qonun fi al-Tibbi menyediakan satu jilid
khususnya membahas materi-materi kedokteran dan
farmasi. Dia mendeskripsikan dengan rinsi tentang
tetumbuhan yang menghasilkan obat dan beberapa
macam hewan dan barang-barang tambang yang juga
menghasilkan obat.
Juga al-Biruni menulis sebuah buku tentang bahan
obat-obatan dengan judul farmasi. Demikian juga Ibn Al-
Haytsham menulis sebuah buku yang berjudul pengobatan
yang terdiri dari 30 jilid.263
6. Ilmu geografi
Geografi dalam Islam muncul sebagai ilmu akibat
perkembangan kota Baghdad sebagai pusat perdagangan.
Hal itu mendorong umat Islam untuk mewujudkan
keamanan dalam perjalanan, sehingga muncul lah ilmu
geografi. Karena banyak di antara mereka yang membuat
catatan tentang daerah-daerah lawatan yang akan dilaluinya.
Di masa awal dinasti Abbasiyah telah muncul ahli
geografi muslim bernama Ibn Khardazabah yang menulis
sebuah buku tentang geografi dengan judul al-Masalik wa
al-Mamalik. Buku ini merupakan buku geografi tertua
dalam bahasa Arab.264
Karya-karya besar umat Islam dalam bidang ilmu-
ilmu kealaman ini mambawa pengaruh cukup besar bagi
peradaban Barat hingga dewasa ini. Karena banyak karya-
karya mereka yang dijadikan buku standar pada Universitas-
universitas Barat berabad-abad lamanya. Pengaruh karya-
karya ilmuan-ilmuan ini menerobos ke Barat melalui
Andalusia, Cicilia, Perang Salib, Baghdad dan Mesir.
7. Falsafat
Kaum Muslimin baru mengenal falsafat sesudah
mereka bergaul dengan bangsa-bangsa lain, seperti Yunani,
Persia, dan India. Dan sesudah buku-buku falsafat mereka
diterjamahkan ke dalam bahasa Arab pada masa dinasti
Abbasiyah. Filosof Muslim pertama yaitu Al-Kindi (194 –
260 H / 809 – 873 M). al-Kindi sangat terpengaruh dengan
falsafat Aristoteles tentang hukum kausalitas dan sebagian
dari falsafat Neoplatonisme. Dalam dunia falsafat dia
dijuluki dengan filosof Arab. Karena dialah satu-satunya
orang Arab yang menekuni falsafat, di samping sebagai
seorang filosof, dia juga terkenal dalam bidang matematika,
astronomi, geografi, dan lain-lain.265
Filosof besar Muslim lainnya yaitu Ibn Sina (370
– 428 H / 980 – 1087 M). meskipun dia berusia pendek,
namun sempat meninggalkan karya yang penting antara
lain: al-Syifa’, al-Qonun fi al-Tibbi, al-Musiqa, dan al-Mantiq.
Di antara pengagumnya yaitu Alberto Magnus, guru
Thomas Aquino.
Al-Farabi (259 – 339 H / 873 – 950 M) dikenal dalam
dunia falsafat dengan julukan al-Muallim al-Tsani (guru
kedua sesudah Aristoteles). Selain sebagai filosof, dia juga
dikenal sebagai peletak dasar ilmu musik dan dia telah
memberikan pembagian ilmu pengetahuan secara
sistematis. Dengan demikian dia dipandang sebagai
pelanjut tugas Aristoteles.266
Al-Ghazali (450 – 505 H / 1055 – 1111 M) dikenal
sebagai salah seorang filosof muslim terkemuka. Karena
kedalaman ilmunya, dia dikenal sebagai Hujjatul Islam.
Dalam sejarah filsafat dia dikenal sebagai orang yang pada
mulanya syak terhadap segala-galanya. Dia mencari
kebenaran yang sebenarnya. Pada mulanya dia dapat
melalui panca indra, namun baginya kemudian ternyata
bahwa panca indra itu juga dusta. Karena tidak percaya
pada panca indra, dia kemudian meletakkan
kepercayaannya pada akal. namun akal juga tidak dapat
dipercayai. Dia mempelajari filsafat. Ternyata baginya
argumen-argumen yang dikemukakan para filosof tidak
kuat. Kemudia dia mengkritik para filosof. Akhirnya
tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syak yang
lama mengganggu pikirannya. Dalam tasawuf, dia
memperoleh keyakinan yang dicarinya.267
7. 4. Peranan Orang Persia Dalam Pemerintahan Daulah
Abbasiyah
Pada masa Daulah Umawiyah I berkuasa, orang-orang
Persia dianaktirikan baik secara politik, ekonomi maupun
sosial, maka sebagai bangsa yang sudah pernah mencapai
kemajuan dan kebudayaan yang tinggi tidak dapat menerima
perlakuan ini .
Oleh sebab itu mereka berpihak kepada Bani Abbas
disaat Bani Abbas ingin menumbangkan Daulah Umayyah.
Setelah Daulah Umayyah tumbang dan Bani Abbas berdiri,
maka Bani Abbas menjadikan orang Persia sebagai tulang
punggung pemerintahan yang baru mereka dirikan dengan
memberikan jabatan-jabatan penting kepada orang-orang
Persia.
Hubungan kekeluargaan itu dimulai dari isteri
khalifah Abu Abbas al-Syafah memelihara anak perempuan
Khalid bin Barmaki, kemudian sebaliknya anak Khalifah
dipelihara oleh isteri Khalid ibn Barmaki.268 Maka terjalinlah
hubungan kekeluargaan yang erat di antara mereka. Oleh
sebab itu, kehadiran orang-orang Persia dalam pemerintahan
Daulah Abbasiyah sudah terjalin sebelum berdirinya
pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Peran orang Persia dalam pemerintahan Daulah
Abbasiyah dimulai sejak masa pemerintahan Khalifah Abu
Abbas al-Syafah sebab Khalid ibn Barmaki dipercaya
menduduki jabatan menteri keuangan oleh khalifah al-Syafah,
kemudian sehabis itu diangkat menjadi gubernur di
Tabaristan.
Selanjutnya pada masa pemerintahan al-Mansur
peranan orang-orang Persia semakin meningkat karena
khalifah al-Mansur mengangkat Khalid bin Barmaki menjadi
wazir (perdana menteri) yang kedudukannya sebagai orang
kedua di bawah Khalifah. Nampaknya kecakapan yang
dimiliki oleh keluarga Persia ini memicu mereka
dipercaya khalifah-khalifah untuk menduduki jabatan-jabatan
penting dalam pemerintahan.
Kemudian saat khalifah al-Mahdi anak al-Mansur
menduduki jabatan khalifah menggantikan ayahnya, maka
diapun mempercayakan wazirnya kepada anak Khalid ibn
Barmaki, yaitu Yahya ibn Khalid, selain itu diapun kawin
dengan orang Persia yang kelak menjadi ibu Harun al-Rasyid.
Maka andil orang-orang Persia semakin meningkat dan
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Harun al-
Rasyid dan al-Makmun.
Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid, dia telah
benar-benar memberikan peranan yang penting kepada orang-
orang Persia. Selain dia mengangkat Yahya dalam jabatan
wazir juga kemudian digantikan oleh Ja’far ibn Khalid, bahkan
semua jabatan tinggi negara baik sipil maupun militer telah
diduduki oleh orang-orang pilihan dari keluarga Persia, juga
mereka diberikan wewenang penuh untuk mengatur pajak
dalam pemerintahan.
Selain itu, sumbangan bangsa Persia dalam memajukan
pemerintahan Daulah Abbasiyah yaitu mempersembahkan
istana-istana yang mereka bangun di Baghdad timur karena
mereka telah menjadi hartawan yang kaya.
Ada satu istana yang di bangun oleh wazir Ja’far yang
diberinama “istana Ja’farin” yang disumbangkannya kepada
khalifah Harun al-Rasyid dalam kedudukannnya sebagai
khalifah.
Andil mereka yang lain dalam pemerintahan Daulah
Abbasiyah yaitu kedermawanan mereka yang memberikan
hadiah-hadiah kepada para penyair, ahli ilmu, sehingga ilmu
pengetahuan berkembang dengan pesat, juga mereka pandai
mengatur administrasi negara, sehingga pemerintahan Daulah
Abbasiyah menjadi kaya raya sebab pendapatan negara
meningkat yang membuat kehidupan warga menjadi
makmur.
Akibat dari kemampuan dan ketangguhan mereka
dalam mengendalikan pemerintahan Daulah Abbasiyah
membuat nama mereka terkenal dimana-mana yang
membuat mereka menjadi pujaan dan buah tutur atau buah
bibir warga . Sehingga secara politis, populernya nama
mereka memicu wibawa pemerintahan beralih
kepada mereka sehingga wajah dihadapkan kepada mereka
dan orangpun tunduk kepada mereka, dan juga orang
menggantungkan harapan hanya kepada mereka, bukan
kepada Khalifah.
Akan namun sebab khalifah Harun al-Rasyid dan Al-
Makmun masih kuat, maka mereka berdua dapat
mengendalikan peranan orang-orang Persia ini sehingga
wibawa mereka sebagai khalifah tetap dihormati orang.
Sikap Harun al-Rasyid dan al-Makmun yang
mengistimewakan orang-orang Persia mungkin sebab pengaruh
ibunya yang bernama Khaisran isteri Khalifa al-Mahdi atau
sebab pengaruh isteri al-Makmun yang berasal dari Persia.
Dengan demikian orang-orang Persia bagi Harun dan al-
Makmun bukan orang luar melainkan yaitu keluarga sendiri
baik dari pertalian ibu maupun dari pertalian isteri.
Dari gambaran yang telah di bentangkan di atas dapat
disimpulkan bahwa betapa tingginya peranan orang-orang
Persia dalam memajukan pemerintahan Daulah Abbasiyah
yang mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Khalifah
Harun al-Rasyid dan al-Makmun.
Peran yang dimainkan orang-orang Persia ini
mengalami penurunan dan bahkan kehancurannya pada masa
pemerintahan Khalifah al-Muktasim (saudara al-Makmun,
ibunya berasal dari Turki) yang memerintah sesudah al-
Makmun, penyebabnya sebab mereka tidak menyetujui al-
Muktasim diangkat menjadi Khalifah, sesudah al-Makmun
malahan mereka mengusulkan anak al-Makmun bernama
Abbas diangkat menjadi Khalifah.
II. Periode Disintegrasi
8. Masa Kemunduran Daulah Abbasiyah dan Faktor-
Faktornya
Periode disintegrasi ditandai dengan menurunya
kekuasaan Khalifah di bidang politik sebab dilanda
perpecahan. Politik sentral Khalifah telah berpindah ke
daerah-daerah. Pemerintahan Daulah Abbasiyah banyak
melakukan tidakan yang tidak menyenangkan warga yang
memicu warga menjauhkan diri dari pemerintahan
pusat dan mendirikan pemerintahan-pemerntahan kecil di
daerah, akibatnya kekuasaan sentral pusat menjadi hilang
peranannya kalau tidak diktakan lumpuh, maka Khalifah
hanya sebagai lambang belaka.
Akibat dari itu semua Khalifah Abbasiyah yang lemah
meminta bantuan kepada Dinasti yang kuat di daerah untuk
membantunya mengatasi tekanan Sultan yang telah terlebih
dahulu masuk dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.
8.1. Tekanan Orang Turki
Sejarah masuknya orang-orang Turki ke dalam
pemerintahan Daulah Abbasiyah diawali dari kebijaksanaan
al-Makmun yang menunjuk saudaranya al-Muktashim menjadi
khalifah sepeninggal beliau, saat itu orang-orang Persia tidak
setuju sebab mereka berkeinginan agar al-Makmun
mengangkat anaknya yang bernama Abbas menjadi khalifah.
Hal itu tidak diinginkan al-Makmun. Akhirnya al-Muktasim
diangkat al-Makmun menjadi Khalifah menggantikannya.
Setelah al-Muktasim naik tahta, dia memindahkan ibu
kota Daulah Abbasiyah dari Baghdad ke Samarra kira-kira 95
Km ke arah hulu sungai Tigris dengan membangun istana dan
asrama-asrama tentara yang akan menampung 250.000
tentara. Dan sebagian dari kota yang dibangunnya itu
diberikannya kepada kepala-kepala suku Turki.274
Pilihannya jatuh kepada orang-orang Turki sebab dia
sendiri atau ibunya berasal dari Turki. Untuk memperkuat
pemerintahannya, maka dibentuknya lah tentara reguler yang
terdiri dari orang-orang Turki yang berasal dari para budak.
Orang Turki yang terkenal jiwa militernya semakin hari
semakin memperlihatkan prestasi mereka dalam bidang militer.
Akibatnya, pangkat-pangkat tertinggi dalam kemiliteran
diberikan kepada mereka sehingga secara perlahan-lahan
tentara Arab dan Persia semakin terdesak ke belakang.
Begitu besarnya peranan orang-orang Turki ini
dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah memicu tentara
dari unsur Arab dan Persia terpaksa mencari jalan ke